Anda di halaman 1dari 72

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Proses Manajemen berlaku untuk semua orang yang mencari cara untuk mempengaruhi
perilaku orang lain untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Proses ini dilakukan dengan
menggunakan pendekatan proses manajemen dengan melibatkan semua anggota untuk mencapai
tujuan yang telah di tetapkan.
Rumah sakit merupakan organisasi yang sangat kompleks dan sangat penting dalam
upaya peningkatan derajad kesehatan masyarakat indonesia. Rumah sakit sebagai salah satu
penyelenggara pelayanan kesehatan, salah satunya adalah penyelenggara pelayanan asuhan
keperawatan senantiasa memberikan pelayanan yang memuaskan kepada klien maupun keluarga.
Oleh karena itu, diperlukan cara pengelolaan pelayanan keperawatan yang mengikuti prinsip-
prinsip manajemen. RSUD dr. Abdoer Rahem Situbondo merupakan sebagai salah satu
penyelenggara pelayanan kesehatan,pendidikan, dan penelitian serta usaha lain di bidang
kesehatan.
RSUD dr. Abdoer Rahem Situbondo merupakan rumah sakit milik Pemerintah Daerah
Kabupaten Situbondo yang secara resmi menjadi rumah sakit Type C berdasarkan perda Nomor 5
tahun 1985 tanggal 23 Pebruari 1985 dan SK Menkes RI Nomor 303/Menkes/SK/IV/1987
tanggal 30 April 1987. Adapun dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya berpedoman pada
Peraturan Daerah Kabupaten Situbondo Nomor 08 tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Rumah sakit umum daerah Kabupaten Situbondo.
Dalam perjalanannya, RSUD dr. Abdoer Rahem Situbondo saat ini telah berstatus BLUD
penuh sesuai dengan amanat UU No. 44 tahun 2009 pasal 20 tentang Rumah sakit dan PP nomor
23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK - BLUD),
yang ditindak lanjuti dengan SK Bupati Situbondo Nomor 188/623/P/004.2/2009 tertanggal 23
Desember 2009. Penerapan PPK-BLUD diharapkan bisa memberikan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna. Status BLUD dapat diraih, karena atas komitmennya dalam
menjalankan amanah tersebut dapat berberfungsi sebagai pusat pelayanan kesehatan rujukan di
Kabupaten Situbondo yang paripurna dan bermutu yang menekankan pada pelayanan yang cepat,
tepat dan profesional dengan harga yang terjangkau serta menekankan pada kepuasan pelanggan.
Dalam memberikan pelayanan kesehatan RSUD dr. Abdoer Rahem bekerjasama dengan BPJS,
Telkom, PT. KAI, In Health,dan Jasa Raharja.

1
RSUD dr. Abdoer Rahem Situbondo memiliki 249 tempat tidur yang berfungsi sebagai pusat
pelayanan kesehatan rujukan di kabupaten Situbondo yang paripurna dan bermutu yang
menekankan pada pelayanan yang cepat, tepat dan profesional dengan harga yang terjangkau
serta menekankan pada kepuasan pelanggan. RSUD dr. Abdoer rahem Situbondo menyediakan
berbagai jenis pelayanan medis spesialistik dan medis umum juga menyelenggarakan kegiatan
pendidikan praktek bagi mahasiswa kesehatan. Sampai dengan 2016, Jumlah SDM yang dimiliki
rumah sakit adalah 659 orang yang terdiri dari tenaga medis 42 orang, tenaga paramedis 291
orang, Paramedis Non keperawatan 61 Orang, dan tenaga non kesehatan lainnya sebanyak 265
orang.
Manajemen keperawatan adalah suatu proses bekerja melalui anggota staf keperawatan
untuk memberikan asuhan, pengobatan dan bantuan terhadap para pasien dengan menggunakan
fungsi dan peran perawat (Gillies, 1989 dalam Mugianti, 2016). Manajemen keperawatan
merupakan pelayanan keperawatan professional dimana tim keperawatan dikelola dengan
menjalankan empat fungsi manajemen yaitu perencanaan, pengorganisasian, motivasi dan
pengendalian. Dari keempat fungsi manejemen tersebut saling terkait dan saling berhubungan
dan memerlukan keterampilan teknis, hubungan antar manusia dan konseptual yang mendukung
agar tercapainya asuhan yang bermutu, dan berdaya guna bagi klien. Maka manajemen
keperawatan perlu mendapat perhatiandan menjadi prioritas utama dalam pegembangan profesi
keperawatan, dengan tututan global baik dalam perkembangan ataupun perubahan memerlukan
perencanaan dan pengelolaan secara professional dengan memperhatikan setiap perubahan dan
kemajuan yang terjadi (Nursalam, 2014).
Perawat sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan, dituntut untuk memiliki
kemampuan manajerial yang tangguh sehingga pelayanan yang yang diberikan mampu
memuaskan kebutuhan klien.salah satu cara untuk dapat meningkatkan keterampilan manajerial
yang handal, selain didapatkan dari bangku kuliah juga harus melalui pembelajaran di lahan
praktik. Mahasiswa program profesi ners PSIK STIKES dr. SOEBANDI JEMBER dituntut untuk
dapat mengaplikasikan langsung pengetahuan manajerialnya dengan arahan dari pembimbing
lapangan maupun dari pembimbing pendidikan yang intensif. Selama praktek tersebut diharapkan
mahasiswa mampu menerapkan ilmu yang didapat dan mengelola ruang perawatan dengan
pendekatan proses manajemen. Sebagai wujud pengembangan dalam meningkatkan kemampuan
serta ketrampilan manajerial mahasiswa. PSIK STKIKES dr. SOEBANDI JEMBER melakukan
pembelajaran manajerial di Ruang Mawar RSUD dr.ABDOER RAHEEM SITUBONDO yang

2
berlangsung selama 3 minggu yaitu tanggal 18 Maret 2019 – 06 April 2019. Dengan adanya
praktik manajemen ini diharapkan mahasiswa mampu menerapkan ilmu yang didapat dan
mengelola ruang perawatan dengan pendekatan proses manajemen.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Menganalisis pelaksanaan manajemen keperawatan baik aspek asuhan
keperawatan maupun pelayanan keperawatan di ruang mawar (Bedah) RSUD dr.
ABDOER RAHEM SITUBONDO
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, ancaman, dan peluang manajemen keperawatan
di Ruang mawar (Bedah) RSUD dr. Abdoer Raheem Situbondo
b. Mengidentifikasi Masalah yang ada di Ruang Mawar (Bedah) RSUD dr. Abdoer
Raheem Situbondo
c. Menentukan Prioritas Masalah berdasarkan hasil identifikasi
d. Mengidentifikasi perencanaan tindakan manajemen asuhan keperawatan di Ruang
Mawar (Bedah) RSUD dr. Abdoer Raheem Situbondo
e. Mengidentifikasi implementasi dan evaluasi di Ruang Mawar (Bedah) RSUD dr. Abdoer
Raheem Situbondo

1.3 Manfaat
1.3.1 Bagi RSUD dr. Abdoer Rahem
a. Memberikan masukan dalam meningkatkan mutu pelayanan pada klien
b. Memberikan contoh aplikasi pelaksanaan manajemen keperawatan agar kegiatan
keperawatan dapat berjalan efektif dan efisien.
c. Meningkatkan daya tarik Rumah Sakit untuk tampil lebih baik dimata masyarakat
1.3.2 Bagi ruang mawar
a. Memberikan kesempatan pada perawat Ruang Mawar RSUD dr. Abdoer Raheem
Situbondo untuk mengaplikasikan teori manajemen.
b. Memberikan kesempatan untuk berfikir kritis dalam menganalisis pelaksanaan proses
manajemen diruang Mawar RSUD dr. Abdoer Raheem Situbondo.

3
c. Memberikan pengalaman pada perawat Ruang Mawar RSUD dr. Abdoer Raheem
Situbondo dalam bidang manajemen keperawatan.
1.3.3 Bagi mahasiswa
a. Sebagai sarana pembelajaran manajemen keperawatan
b. Mengasah softskill mahasiswa dalam kepemimpinan menuju dunia kerja

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepemimpinan Dalam Keperawatan


Kepemimpinan merupakan suatu kemampuan yang dimiliki seseorang sejak lahir
maupun lahir dari perilaku dalam memengaruhi dan mengarahkan staf melakukan pekerjaan
yang telah ditugaskan kepada mereka. Menurut Arwani (2006) kepemimpinan adalah suatu
seni dan proses untuk mempengaruhi dan mengarahkan orang lain agar mereka memiliki
motivasi untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu. Secara umum dapat disimpulkan
bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi orang lain dalam menentukan tujuan
organisasi, memotivasi perilaku oengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk
memperbaiki kelompok dilakukan oleh seseorang yang memiliki kemampuan untuk
memahami perilaku orang lain tanpa menggunakan kekuatan, sehingga orang–orang yang
dipimpinnya menerima dirinya sebagai sosok yang layak memimpin mereka.

2.2 Manajemen Keperawatan


John D. Millet (Sukarna, 2011) dalam buku Management In The Public Service
menyatakan Management Is The Process Of Directing And Facilitating The Work Of People
In Formal Group To Achieve A Desired End (Manajemen adalah proses pembimbingan dan
pemberian fasilitas terhadap pekerjaan orang–orang yang terorganisir dalam kelompok
formal untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki).
Manajemen keperawatan sangat penting bagi setiap aktivitas di rumah sakit terutama
bagi individu atau kelompok dalam organisasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Manajemen berorientasi pada proses (process oriented) yang berarti bahwa manajemen
membutuhkan sumber daya manusia, pengetahuan, dan keterampilan agar aktivitas menjadi
lebih efektif atau dapat menghasilkan tindakan dalam mencapai kesuksesan. Oleh sebab itu,
tidak akan ada organisasi yang akan sukses apabila tidak menggunakan manajemen yang
baik (Torang, 2013). Berdasarkan pengertian diatas, menurut pendapat penulis yang
dimaksud dengan manajemen keperawatan adalah ilmu yang mengatur proses untuk
mencapai tujuan keperawatan yang telah ditetapkan sebelumnya guna mencapai hasil yang
sesuai dengan ketetapan.

5
2.3 Fungsi-Fungsi Manajemen Keperawatan (POAC)
Pada fungsi manajemen keperawatan terdapat beberapa elemen utama yaitu Planning
(perencanaan), Organizing (perorganisasian), Actuating (penggerakan), dan Controling
(pendendalian/evaluasi)
2.3.1 Planning (Perencanaan)
Fungsi planning (perencanaan) adalah fungsi terpenting dalam manajemen, oleh
karena itu fungsi ini akan menentukan fungsi-fungsi manajemen yang lainnya. Fungsi
perencanaan merupakan landasan dasar dari fungsi manajemen secara keseluruhan. Tanpa
ada fungsi perencanaan tidak mungkin fungsi manajemen lainnya akan dapat dilaksanakan
dengan baik. Perencanaan akan memberikan pola pandang secara menyeluruh terhadap
semua pekerjaan yang akan dijalankan, siapa yang akan melakukan, dan kapan akan
dilakukan. Perencanaan merupakan tuntutan terhadap proses pencapaian tujuan secara
efektif dan efesien.
Di bidang kesehatan perencanaan dapat didefenisikan sebagai proses untuk
menumbuhkan, merumuskan masalah–masalah kesehatan di masyarakat, menentukan
kebutuhan dan sumber daya yang tersedia, menetapkan tujuan program yang paling pokok,
dan menyusun langkah–langkah untuk mencapai tujuan yang telah di tetapkan tersebut.
a. Tujuan perencanaan
1) Untuk menimbulkan keberhasilan dalam mencapai sasaran dan tujuan
2) Agar penggunaan personel dan fasilitas yang tersedia lebih efektif
3) Membantu dalam koping dengan situasi kritis
4) Meningkatkan efektivitas dalam hal biaya
5) Membantu menurunkan elemen perubahan, karena perencanaan berdasarkan masa
lalu dan akan datang
6) Dapat digunakan untuk menemukan kebutuhan untuk berubah
7) Penting untuk melakukan kontrol yang lebih efektif
b. Tahap dalam perencanaan
1) Penting untuk melakukan kontrol yang lebih efektif
2) Analisis situasi, bertujuan untuk mengumpulkan data atau fakta
3) Mengidentifikasi masalah dan penetapan prioritas masalah
4) Merumuskan tujuan program dan besarnya target yang ingin dicapai
5) Mengkaji kemungkinan adanya hambatan dan kendala dalam pelaksanaan program

6
6) Menyusun Rencana Kerja operasional (RKO)
c. Jenis perencanaan
1) Perencanaan strategi
Perencanaan strategis merupakan suatu proses berkesinambungan, proses yang
sistematis dalam pembuatan dan pengambilan keputusan masa kini dengan
kemungkinan pengetahuan yang paling besar dari efek–efek perencanaan pada masa
depan, mengorganisasikan upaya – upaya yang perlu untuk melaksanakan keputusan
ini terhadap hasil yang diharapkan melalui mekanisme umpan balik yang dapat
dipercaya, perencanaan strategis dalam keperawatan bertujuan untuk memperbaiki
alokasi sumber–sumber yang langka, termasuk uang dan waktu, dan untuk mengatur
pekerjaan divisi keperawatan.
2) Perencanaan operasional
Perencanaan operasional menguraikan aktivitas dan prosedur yang akan
digunakan, serta menyusun jadwal waktu pencapaian tujuan, menentukan siapa
orang–orang yang bertanggung jawab untuk setiap aktivitas dan prosedur.
Menggambarkan cara menyiapkan orang–orang untuk bekerja dan juga standart untuk
mengevaluasi perawatan pasien.
Didalam perencanaan operasional terdiri dari dua bagian yaitu rencana tetap
dan rencana sekali pakai. Rencana tetap adalah rencana yang sudah ada dan menjadi
pedoman di dalam kegiatan setiap hari, yang terdiri dari kebijaksanaan, standart
prosedur operasional dan peraturan. Sedangkan rencana sekali pakai terdiri dari
program–program dan proyek.
d. Manfaat perencanaan
1) Membantu proses manajemen dalam menyesuaikan diri dengan perubahan –
perubahan lingkungan
2) Memberikan cara pemberian perintah yang tepat untuk pelaksanaan
3) Memudahkan koordinasi
4) Memungkinkan manajer memahami keseluruhan gambaran operasional secara jelas
5) Membantu penembatan tanggungjawab lebih tepat
6) Membuat tujuan lebih khusus, lebih rinci dan lebih mudah dipahami
7) Meminimumkan pekerjaan yang tidak pasti
8) Menghemat waktu dan dana

7
e. Keuntungan perencanaan
1) Mengurangi atau menghilangkan jenis pekerjaan yang tidak produktif
2) Dapat dipakai sebagai alat pengukur hasil kegiatan yang dicapai
3) Memberikan suatu landasan pokok fungsi manajemen lainnya terutama fungsi
keperawatan
4) Memodifikasi gaya manajemen
5) Fleksibilitas dalam pengambilan keputusan
f. Kelemahan perencanaan
1) Perencanaan mempunyai keterbatasan dalam hal ketepatan informasi dan fakta-fakta
masa yang akan datang
2) Perencanaan memerlukan biaya yang cukup banyak
3) Perencanaan mempunyai hambatan psikologis
4) Perenanaan menghambat timbulnya inisiatif

2.3.2 Organizing (perorganisasian)


Pengorganisasian adalah suatu langkah untuk menetapkan, menggolongkan dan
mengatur berbagai macam kegiatan, penetapan tugas – tugas dan wewenang seseorang,
pendelegasian wewenang dalam rangka mencapai tujuan. Fungsi pengorganisasian
merupakan alat untuk memadukan semua kegiatan yang beraspek personil, finansial,
material dan tata cara dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, organisasi dapat dipandang sebagai rangkaian
aktivitas menyusun suatu kerangka yang menjadi wadah bagi segenap kegiatan usaha
kerjasama dengan jalan membagi dan mengelompokkan pekerjaan–pekerjaan yang harus
dilaksanakan serta menyusun jalinan hubungan kerja di antara para pekerjanya.
a. Manfaat pengorganisasian
Melalui fungsi pengorganisasian akan dapat diketahui :
1) Pembagian tugas untuk perorangan dan kelompok
2) Hubungan organisatoris anatar orang–orang di alam organisasi tersebut melalui
kegiatan yang dilakukannya
3) Pendelegasian wewenang
4) Pemanfaatan staff dan fasilitas fisik

8
b. Langkah – langkah pengorganisasian
1) Tujuan organisasi harus dipahami oleh staff. Tugas ini sudah terluang dalam fungsi
perencaan
2) Membagi habis pekerjaan dalam bentuk kegiatan pokok untuk mencapai tujuan
3) Menggolongkan kegiatan pokok kedalam satuan – satuan kegiatan yang praktis
4) Menetapkan berbagai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh staff dan menyediakan
fasilitas yang diperlukan
5) Penugasan personil yang tepat dalam melaksanakan tugas
6) Mendelegasikan wewenang

2.3.3 Actuating (penggerakan)


Perencanaan dan pengorganisasian yang baik kurang berarti bila tidak diikuti
dengan pelaksanaan kerja organisasi yang bertanggung jawab. Untuk itu maka semua
Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada harus dioptimalkan untuk mencapai visi, misi
dan program kerja organisasi. Pelaksanaan kerja harus sejalan dengan rencana kerja
yang telah disusun. Setiap pelaku organisasi harus bekerja sesuai dengan tugas, fungsi
dan peran, keahlian dan kompetensi masing-masing SDM untuk mencapai visi, misi
dan program kerja organisasi yang telah ditetapkan. Inti dari Actuating adalah
menggerakkan semua anggota kelompok untuk bekerja agar mencapai tujuan
organisasi.
Dalam mengimplementasikan aktivitas organisasi, pelaku organisasi harus :
a. Merasa yakin dan mampu melakukan suatu pekerjaan
b. Percaya bahwa pekerjaan telah menambahkan nilai untuk diri mereka sendiri
c. Tidak terbebani oleh masalah pribadi atau tugas lain yang lebih penting atau
mendesak
d. Tugas yang diberikan cukup relevan
e. Hubungan harmonis antar rekan kerja
Actuating (penggerakan) meliputi kepemimpinan dan koordinasi. Kepemimpinan
yakni gaya memimpin dari sang pemimpin dalam mengoptimalkan seluruh potensi dan
sumber daya organisasi agar mengarah pada pencapaian tujuan program dan
organisasi. Sedangkan koordinasi yakni suatu aktivitas membawa orang-orang yang
terlibat organisasi ke dalam suasana kerjasama yang harmonis. Dengan adanya

9
pengoordinasian dapat dihindari kemungkinan terjadinya persaingan yang tidak sehat
dan kesimpangsiuran di dalam bertindak antara orang-orang yang terlibat dalam
mencapai tujuan. Koordinasi ini mengajak semua sumber daya manusia yang tersedia
untuk bekerjasama menuju ke satu arah yang telah ditentukan. Tujuan Actuating
(Penggerakan) adalah :
a. Menciptakan kerjasama yang lebih efisien
b. Mengembangkan kemampuan & keterampilan staf
c. Menumbuhkan rasa memiliki & menyukai pekerjaan
d. Mengusahakan suasana lingkungan kerja yang meningkatkan motivasi & prestasi
kerja staf
e. Membuat organisasi berkembang secara dinamis

2.3.4 Controling (pendendalian/evaluasi)


Fungsi pengendalian merupakan fungsi yang terakhir dari proses menajemen,
yang memiliki kaitan yang erat dengan fungsi yang lainnya. Pengawasan merupakan
pemeriksaaan terhadap sesuatu apakah terjadi sesuai dengan rencana yang ditetapkan /
disepakati, instruksi yang telah dikeluarkan serta prinsip – prinsip yang telah
ditentukan, yang bertujuan untuk menunjukkan kekurangan dan kesalahan agar dapat
diperbaiki. Pengawasan juga diartikan sebagai suatu usaha sistematik untuk
menerapkan standart pelaksanaan dengan tujuan perencanaan, merancang sistem
informasi timbal balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standart yang telah
ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengukur penyimpangan – penyimpangan,
serta mengambil tindakan yang digunakan dengan cara paling efektif dan efesien
dalam pencapaian tujuan perusahaan.
Pengontrolan atau pengevaluasian adalah melihat bahwa segala sesuatu
dilaksanakan sesuai dengan rencana yang disepakati, instruksi yang telah diberikan,
serta prinsip – prinsip yang telah diberlakukan. Tugas seorang manajemen dalam
usahanya menjalankan dan mengembangkan fungsi pengawasan manajerial perlu
memperhatikan beberapa prinsip berikut :
a. Pengwasan yang dilakukan harus dimengerti oleh staff dan hasilnya mudah diukur,
misalnya menepati jam kerja

10
b. Fungsi pengawasan merupakan kegiatan yang amat penting dalam upaya mencapai
tujuan organisasi
c. Standart untuk kerja yang akan diawasi perlu dijelaskan kepada semua staff,
sehingga staff dapat lebih meningkatkan rasa tanggung jawab dan komitmen
terhadap kegiatan program
d. Kontol sebagai pengukuran dan koreksi kinerja untuk menyakinkan bahwa sasaran
dan kelengkapan rencana untuk mencapai tujuan telah tersedia, serta alat untuk
memperbaiki kinerja
e. Terdapat sepuluh karakteristik suatu sistem contol yang baik :
1) Harus menunjukkan sifat dari aktivitas
2) Harus melapoorkan kesalahan – kesalahan dengan segera
3) Harus memandang ke depan
4) Harus menunjukkan penerimaan pada titik kritis
5) Harus objektif
6) Harus fleksibel
7) Harus menunjukkan pola organisasi
8) Harus ekonomis
9) Harus mudah dimengerti
10) Harus menunjukkan tindakan perbaikan
Dua metode pengukuran yang digunakan unruk mengkaji pencapaikan tujuan–
tujuan keperawatan adalah :
a. Analisa tugas : kepala perawat melihat gerakan, tindakan dan prosedur yang
tersusun dalam pedoman tertulis, jadwal, aturan, catatan, anggaran. Hanya
mengukur dukungan fisik saja, dan secara relatif beberapa alat digunakan untuk
analisa tugas dalam keperawatan
b. Kontrol kualitas : kepala perawat dihadapkan pada pengukuran kualitas dan akibat –
akibat dari pelayanan keperawatan
Apabila fungsi pengawasan dan pengendalian dapat dilaksanakan dengan tepat,
maka akan diperoleh manfaat :
a. Dapat diketahui apakah suatu kegiatan atau program telah dilaksanakan sesuai
dengan standart atau rencana kerja

11
b. Dapat diketahui adanya penyimpangan pada pengetahuan dan pengertian staff
dalam melaksanakan tugas – tugasnya
c. Dapat diketahui apakah waktu dan sumber daya lainnya telah mencukupi kebutuhan
dan telah digunakan secara benar
d. Dapat diketahui apakah waktu dan sumber daya lainnya telah mencukupi kebutuhan
dan telag digunakan dengan benar

2.4 Komunikasi Efektif Dalam Pelayanan Keperawatan


a. Pengetian Komunikasi Efektif
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari
satu pihak kepada pihak lain. Menurut Hovland dalam Effendy (2010) komunikasi adalah
proses mengubah perilaku orang lain. Seseorang dapat mempengaruhi sikap, pendapat dan
perilaku orang lain apabila terjalin komunikasi yang komunikatif.
Komunikasi efektif yaitu komunikasi yang mampu menghasilkan perubahan sikap
(attitude change) pada orang lain yang bisa terlihat dalam proses komunikasi. Komunikasi
dengan orang lain kadang sukses atau efektif mencapai maksud yang dituju, namun
terkadang juga gagal. Adapun makna komunikasi yang efektif menurut Effendy (2010)
adalah komunikasi yang berhasil menyampaikan pikiran dengan menggunakan perasaan
yang disadari. Sedangkan menurut Walter Lippman dalam Effendy (2010) bahwa
komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang berusaha memilih cara yang tepat agar
gambaran dalam benak dan isi kesadaran dari komunikator dapat dimengerti, diterima
bahkan dilakukan oleh komunikan.
b. Tujuan Komunikasi Efektif
1) Memberikan kemudahan dalam memahami pesan yang disampaikan antara pemberi
informasi dan penerima informasi sehingga bahasa yang digunakan oleh pemberi
informasi lebih jelas dan lengkap
2) Dapat dimengerti dan dipahami dengan baik oleh penerima informasi, atau komunikan
3) Agar pengiriman informasi dan umpan balik atau feed back dapat seimbang sehingga
tidak terjadi monoton
4) Dapat melatih penggunaan bahasa nonverbal secara baik
5) Menggerakan klien untuk melakukan atau merubah sesuatu

12
Secara singkat dapat kita katakan bahwa tujuan komunikasi adalah mengharapkan
pengertian, dukungan, gagasan, dan tindakan komunikator dapat diterima oleh orang lain
(komunikasi). Sebagai tenaga kesehatan yang memiliki tanggungjawab sesuai dengan
tugas dan wewenangnya. Komunikasi yang dilakukan perawat bertujuan agar pelayanan
keperawatan yang diberikan dapat berjalan efektif. Kemampuan komunikasi yang efektif
ini merupakan keterampilan yang harus dimiliki oleh perawat professional.
c. Syarat-syarat komunikasi efektif
Syarat-syarat untuk berkomunikasi secara efektif antara lain :
1) Menciptakan suasana yang menguntungkan.
2) Menggunakan bahasa yang mudah ditangkap dan dimengerti.
3) Pesan yang disampaikan dapat menggugah perhatian atau minat di pihak komunikan.
4) Pesan dapat menggugah kepentingan dipihak komunikan yang dapat
menguntungkannya.
5) Pesan dapat menumbuhkan sesuatu penghargaan atau reward di pihak komunikan.
d. Bentuk komunikasi efektif
1) Komunikasi verbal efektif
Komunikasi verbal merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan simbol-
simbol verbal. Simbol-simbol verbal ini dapat diwujudkan ke dalam bentuk lisan
maupun tulisan. Unsur-unsur komunikasi secara lisan dapat dilakukan oleh dua orang
atau lebih melalui hubungan tatap muka secara langsung tanpa ada jarak maupun
peralatan yang menjadi medianya. Unsur-unsur komunikasi lisan dapat terlihat pada
kegiatan “ngobrol” yang dilakukan oleh orang-orang ketika berada di kantor, sekolah,
kampus, ataupun tempat-tempat lainnya.
Selain secara lisan, unsur-unsur komunikasi verbal juga dapat dilakukan melalui
tulisan. Unsur-unsur komunikasi ini dapat berupa surat-menyurat konvensional, surat
elektronik (email), chatting, dan lain sebagainya, yang perlu di perhatikan dalam
komunikasi verbal adalah :
a) Berlangsung secara timbal balik.
b) Makna pesan ringkas dan jelas.
c) Bahasa mudah dipahami.
d) Cara penyampaian mudah diterima.
e) Disampaikan secara tulus.

13
f) Mempunyai tujuan yang jelas.
g) Memperlihatkan norma yang berlaku.
h) Disertai dengan humor.
2) Komunikasi non verbal
Yaitu komunikasi yang menggunakan mimik atau bahasa tubuh dan merupakan
unsur-unsur komunikasi dalam bentuk komunikasi yang dilakukan tanpa menggunakan
kata-kata, melainkan melalui simbol-simbol lainnya. Dalam berkomunikasi dengan
pasien, perawat harus menggunakan komunikasi non verbal juga, seperti gerak tubuh,
pandangan mata ke pasien, jarak dengan pasien, postur, dan ekspresi wajah.
Selain dengan menggunakan bahasa verbal,menggunakan mimik atau bahasa
tubuh lebih memudahkan klien untuk mengerti dan memahami dari maksud
komunikasi yang perawat sampaikan. Sementara itu, komunikasi non verbal dapat pula
ditunjukkan dari hal-hal lain seperti gaya berpakaian, potongan rambut, intonasi suara,
hingga gaya berjalan, yang perlu di perhatikan dalam komunikasi non verbal adalah :
a) Penampilan visik.
b) Sikap tubuh dan cara berjalan.
c) Ekspresi wajah.
d) Sentuhan
e. Prinsip Komunikasi Efektif
Agar komunikasi menghasilkan komunikasi yang efektif, seseorang harus
memahami prinsip-prinsip dalam berkomunikasi. Ada lima prinsip komunikasi yang
efektif yang harus dipahami. Lima prinsip tersebut disingkat dengan REACH, yaitu
Respect, Empathy, Audible, Clarity,dan Humble. Lima prinsip komunikasi yang efektif
itu adalah sebagai berikut:
1) Respect (sikap menghargai)
Respect adalah sikap menghargai setiap individu yang menjadi sasaran pesan yang
akan kita sampaikan. Berarti rasa hormat & saling menghargai orang lain. Pada
prinsipnya, manusia ingin dihargai dan dianggap penting. Jika kita membangun
komunikasi dengan rasa dan sikap saling menghargai dan menghormati, maka kita
dapat membangun kerjasama.

14
2) Empathy (kemampuan mendengar)
Komunikasi yang efektif akan dengan mudah tercipta jika komunikator memiliki sikap
empathy. Empathy artinya kemampuan seorang komunikator dalam memahami dan
menempatkan dirinya pada situasi atau kondisi yang dihadapi orang lain. Salah satu
prasyarat utama dalam memiliki sikap empati adalah kemampuan kita untuk
mendengarkan atau mengerti terlebih dulu sebelm didengarkan atau dimengrti oleh
orang lain. Dengan memahami dan mendengar orang lain terlebih dahulu, kita dapat
membangun keterbukaan dan kepercayaan yang kita perlukan dalam membangun
kerjasama atau sinergi dengan orang lain. Sikap empati akan memampukan kita untuk
dapat menyampaikan pesan (message) dengan cara dan sikap yang akan memudahkan
penerima pesan (receiver) menerimanya.
3) Audible (dapat didengarkan atatu dimengerti dengan baik)
Audible mengandung arti dapat didengar atau dimengerti dengan baik. Jika empati
berarti kita harus mendengar terlebih dahuluataupun mampu menerima umpan balik
dengan baik, maka audible berarti pesan yang kita sampaikan dapat diterima oleh
penerima pesan. Penyampaian informasi agar mudah diterima dapat menggunakan
media yang cocok, sehingga penerima pesan betul-betul mengerti apa yang
disampaikan oleh pemberi informasi atau komunikator.
4) Clarity
Clarity adalah kejelasan dari pesan itu sendiri sehingga tidak menimbulkan multi
interpretasi atau berbagai penafsiran yang berlainan. Kesalahan penafsiran dapat
menimbulkan berbagai dampak yang tidak diinginkan. Clarity juga dapat diartikan
sebagai keterbukaan dan tranparansi. Harapannya dengan mengembangkan sikap
terbuka (tidak ada yang ditutupi atau disembunyikan), maka dapat menimbulkan rasa
percaya (trust) penerima pesan terhadap pemberi informasi.
5) Humble (rendah hati)
Humble adalah sikap rendah hati untuk membangun rasa saling menghargai. Prinsip
kelima dalam membangun komunikasi yang efektif adalah sikap rendah hati. Sikap ini
merupakan unsur yang terkait dengan prinsip pertama. Untuk membangun rasa
menghargai orang lain biasanya didasari oleh sikap rendah hati yang kita miliki.

15
2.5 Patient Safety
a. Pengertian
Patient safety rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat
asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal
yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan
belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalisir
timbulnya risiko. Mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil
juga merupakan salah satu konsep patient safety. Agency for Healthcare Research and
Quality (AHRQ), dengan National Forum for Quality Measurement and Reporting (the
National Quality Forum, atau NQF) pada 1999 yang mendefinisikan penerapan patient
safety sebagai jenis proses atau struktur yang penerapannya untuk mengurangi efek
samping dari berbagai penyakit dan prosedur dalam pelayanan kesehatan.
Patient safety merupakan prinsip mendasar dari pelayanan kesehatan. Setiap
aspek dalam proses pemberian asuhan memuat tingkat tertentu risiko ketidakamanan
yang melekat. Efek samping dapat dihasilkan dari masalah dalam praktik medikasi,
produk, prosedur atau sistem. Perbaikan patient safety menuntut upaya seluruh sistem
yang kompleks, melibatkan berbagai tindakan dalam perbaikan kinerja, keamanan
lingkungan dan manajemen risiko, termasuk pengendalian infeksi, penggunaan yang
aman saat pemberian obat, peralatan keselamatan, praktek klinis aman dan lingkungan
yang aman perawatan.
Insiden keselamatan pasien yang selanjutnya disebut insiden adalah setiap
kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang menyebabkan atau berpotensi
mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien, terdiri dari Kejadian Tidak
Diharapkan (KTD), Kejadian Nyaris Cedera (KNC), Kejadian Tidak Cedera (KTC), dan
Kejadian Potensial Cedera (KPC). KTD yang dapat menyebabkan cidera serius atau
bahkan kematian disebut kejadian sentinel
b. Tujuan Patient Safety
Patient safet memiliki tujuan sebagai berikut:
1) Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit
2) Meningkatnya akutanbilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat
3) Menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit.

16
4) Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan
kejadian tidak diharapkan
c. Langkah Penerapan Program Patient Safety
Program patient safety memiliki beberapa langkah dalam penerapannya, yaitu:
1) Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien
2) Membangun komitmen dan fokus yang jelas tentang keselamatan pasien.
3) Membangun sistem dan proses managemen resiko serta melakukan identifikasi dan
assessmen terhadap potensial masalah.
4) Membangun sistim pelaporan.
5) Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien.
6) Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien dengan melakukan
analisis akar masalah.
7) Mencegah cedera melalui implementasi sistim keselamatan pasien dengan
menggunakan informasi yang ada.
d. Standar Patient Safety
Standar keselamatan pasien tersebut terdiri dari tujuh standar, uraian tujuh
standar tersebut diatas adalah sebagai berikut:
1) Hak pasien
Standarnya adalah Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan
informasi tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya
Kejadian Tidak Diharapkan. Kriterianya adalah sebagai berikut:
(a) Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan.
(b)Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan
(c) Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan secara jelas
dan benar
(d)kepada pasien dan keluarganya tentang rencana dan hasil pelayanan, pengobatan
atau prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan terjadinya KTD.
2) Mendidik pasien dan keluarga
Standarnya adalah rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang
kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien. Keselamatan dalam
pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dengan keterlibatan pasien yang merupakan
partner dalam proses pelayanan. Rumah sakit harus memiliki sistem dan mekanisme

17
mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien
dalam asuhan pasien. Pemberian edukasi tersebut diharapkan pasien dan keluarga
dapat:
a) Memberikan informasi yang benar, jelas, lengkap dan jujur.
b) Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan keluarga.
c) Mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti
d) Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan.
e) Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan rumah sakit.
f) Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa.
g) Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati.
3) Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
Standar yang harus dimiliki rumah sakit adalah menjamin kesinambungan pelayanan
dan menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan. Kriterianya sebagai
berikut:
a) Terdapat koordinasi pelayanan secara menyeluruh mulai dari saat pasien masuk,
pemeriksaan, diagnosis, perencanaan pelayanan, tindakan pengobatan, rujukan dan
saat pasien keluar darirumah sakit.
b) Terdapat koordinasi pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan
kelayakan sumber daya secara berkesinambungan sehingga pada seluruh tahap
pelayanan transisi antar unit pelayanan dapat berjalan baik dan lancar.
c) Terdapat koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan komunikasi untuk
memfasilitasindukungan keluarga, pelayanan keperawatan, pelayanan sosial,
konsultasi dan rujukan, pelayanan kesehatan primer dan tindak lanjut lainnya.
d) Terdapat komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan sehingga dapat
tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan, aman dan efektif.
4) Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan
program peningkatan keselamatan pasien
Standarnya adalah rumah sakit harus mendesain proses baru atau memperbaiki proses
yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data,
menganalisis secara intensif KTD, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan
kinerja serta keselamatan pasien. Kriteria yang ditujukan sebagai berikut:

18
a) Setiap rumah sakit harus melakukan proses perancangan (desain) yang baik,
mengacu pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit,
b) kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis
yang sehat, dan faktor-faktor lain yang berpotensi risiko bagi pasien sesuai dengan
“Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit”.
c) Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja yang antara lain
terkait dengan: pelaporan insiden, akreditasi, manajemen risiko, utilisasi, mutu
pelayanan, keuangan.
d) Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif terkait dengan semua insiden,
dan secara proaktif melakukan evaluasi satu proses
e) kasus risiko tinggi.
f) Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil analisis
untuk menentukan perubahan sistem yang diperlukan,
g) agar kinerja dan keselamatan pasien terjamin.
5) Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
Standarnya adalah pimpinan mendorong & menjamin implementasi program KP
melalui penerapan “7 Langkah Menuju KP RS”; menjamin berlangsungnya program
proaktif identifikasi risiko patient safety & program mengurangi KTD; dorong &
tumbuhkan komunikasi & koordinasi antar unit & individu berkaitan dengan
pengambilan keputusan tentang patient safety; mengalokasikan sumber daya yang
adekuat untuk mengukur, mengkaji, & meningkatkan kinerja RS serta tingkatkan
patient safety; serta mengukur & mengkaji efektifitas kontribusinya dalam
meningkatkan kinerja RS & patient safety, dengan kriteria sebagai berikut:
a) Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien.
b) Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan program
meminimalkan insiden.
c) Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari rumah
sakit terintegrasi dan berpartisipasi.
d) Tersedia prosedur “cepat-tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan kepada
pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain dan penyampaian
informasi yang benar dan jelas untuk keperluan analisis.
e) Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan insiden,

19
f) Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden
g) Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan antar
pengelola pelayanan
h) Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan
i) Tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan informasi menggunakan kriteria
objektif untuk mengevaluasi efektivitas perbaikan kinerja rumah sakit dan
keselamatan pasien
6) Mendidik staf tentang keselamatan pasien
Standarnya rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk
setiap jabatan mencakup keterkaitan jabatan dengan keselamatan pasien secara jelas.
Rumah sakit juga menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan yang
berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung
pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien. Kriterianya sebagai berikut:
a) Setiap rumah sakit harus memiliki program pendidikan, pelatihan dan orientasi
bagi staf baru yang memuat topik tentang keselamatan paien sesuai dangan
tugasnya masing- masing.
b) Setiap rumah sakit harus mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap
kegiatan inservice training dan memberi pedoman yang jelas tentang pelaporan
insiden.
c) Setiap rumah sakit harus menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok
guna mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaburatif dalam rangka melayani
pasien.
7) Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien
Standarnya rumah sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi
keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan eksternal.
Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat dengan kriteria sebagai
berikut:
a) Perlu disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses manajemen
untuk memperoleh data dan informasi tentang hal- hal terkait dengan keselamatan
pasien.
b) Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk merevisi
manajemen informasi yang ada.

20
e. Nine Life Saving Solution
WHO Collaborating Center for Patien Safety pada tahun 2007, menetapkan The
Nine Patient Safety Solutions (Sembilan Solusi Life-Saving Keselamatan Pasien Rumah
Sakit) yang disusun oleh lebih dari 100 Negara dengan mengidentifikasi dan
mempelajari berbagai masalah keselamatan pasien. Solusi keselamatan pasien adalah
sistem atau intervensi yang dibuat mampu mencegah atau mengurangi cedera pasien
yang berasal dari proses pelayanan kesehatan.
Sembilan Solusi ini merupakan panduan yang bertujuan membantu rumah sakit
memperbaiki proses asuhan pasien yang berguna untuk menghindari cedera maupun
kematian yang dapat dicegah. Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS)
mendorong seluruh rumah sakit se-Indonesia untuk menerapkan sembilan solusi
keselamataan pasien rumah sakit baik secara langsung maupun bertahap. Solusi tersebut
antara lain adalah:
1) Perhatikan nama obat, rupa dan ucapan mirip (look-alike, sound-alike medication
names)
Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip (NORUM), yang membingungkan staf pelaksana
adalah salah satu penyebab yang paling sering dalam kesalahan obat (medication
error) dan ini merupakan suatu keprihatinan di seluruh dunia. Puluhan ribu obat yang
ada saat ini di pasar, maka sangat berpotensi signifikan terjadinya kesalahan akibat
bingung terhadap nama merek dagang atau generik serta kemasan.
2) Pastikan identifikasi pasien (Patient Identification)
Kegagalan yang meluas dan terus menerus untuk mengidentifikasi pasien secara benar
sering mengarah kepada kesalahan pengobatan, transfuse maupun pemeriksaan,
pelaksanaan prosedur yang keliru, orang penyerahan bayi kepada bukan keluarganya.
Rekomendasi ditekankan pada metode untuk verifikasi terhadap identitas pasien,
termasuk keterlibatan pasien dalam proses ini, standardisasi dalam metode identifikasi
di semua rumah sakit dalam suatu sistem layanan kesehatan, dan partisipasi pasien
dalam konfirmasi ini, serta penggunaan protokol untuk membedakan identifikasi
pasien dengan nama yang sama.

21
3) Komunikasi secara benar saat serah terima/pengoperan Pasien (Communicaton during
Patient Hand-Overs)
Kesenjangan dalam komunikasi saat serah terima/ pengoperan pasien antara unit-unit
pelayanan, dan didalam serta antar tim pelayanan, bisa mengakibatkan terputusnya
kesinambungan layanan, pengobatan yang tidak tepat, dan potensial dapat
mengakibatkan cedera terhadap pasien. Rekomendasi ditujukan untuk memperbaiki
pola serah terima pasien termasuk penggunaan protokol untuk mengkomunikasikan
informasi yang bersifat kritis; memberikan kesempatan bagi para praktisi untuk
bertanya dan menyampaikan pertanyaan-pertanyaan pada saat serah terima, dan
melibatkan para pasien serta keluarga dalam proses serah terima.
4) Pastikan tindakan yang benar pada bagian tubuh yang benar (Performance of Correct
Procedure at Correct Body Site)
Penyimpangan pada hal ini seharusnya sepenuhnya dapat dicegah. Kasus-kasus
dengan pelaksanaan prosedur yang keliru atau pembedahan sisi tubuh yang salah
sebagian besar adalah akibat dan miskomunikasi dan tidak adanya informasi atau
informasinya tidak benar. Faktor yang paling banyak kontribusinya terhadap
kesalahan-kesalahan macam ini adalah tidak ada atau kurangnya proses pra-bedah
yang distandardisasi. Rekomendasinya adalah untuk mencegah jenis-jenis kekeliruan
yang tergantung pada pelaksanaan proses verifikasi prapembedahan; pemberian tanda
pada sisi yang akan dibedah oleh petugas yang akan melaksanakan prosedur; dan
adanya tim yang terlibat dalam prosedur, sesaat sebelum memulai prosedur untuk
mengkonfirmasikan identitas pasien, prosedur dan sisi yang akan dibedah.
5) Mengendalikan cairan elektrolit pekat (Control of Concentrated Electrolyte Solution)
Semua obat-obatan, produk biologis, vaksin dan zat kontras memiliki potensi risiko,
cairan elektrolit pekat yang digunakan terutama untuk injeksi lebih berbahaya.
Rekomendasinya adalah membuat standarisasi dari dosis, unit ukuran dan istilah; dan
pencegahan atas mencampur larutan yang salah tentang cairan elektrolit pekat yang
spesifik.
6) Pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan (Assuring
Medication Accuracy at Transitions in Care)
Kesalahan medikasi terjadi paling sering pada saat transisi/pengalihan.
Rekonsiliasi (penuntasan perbedaan) medikasi adalah suatu proses yang

22
didesain untuk mencegah salah obat (medications error) pada titik-titik transisi
pasien. Rekomendasinya adalah menciptakaan suatu daftar yanng paling
lengkap dan akurat dan seluruh medikasi yng sedang diterima pasien juga
disebut sebagai “home medication list”, sebagai perbandingan dengan daftar
saat administrasi, penyerahan dan/ atau perintah pemulangan bilamana
menuliskan perintah medikasi; dan komunikasikan daftar tersebut kepada
petugas layanan yang berikut dimana pasien akan ditransfer atau dipulangkan.
7) Hindari salah kateter dan salah sambung selang (Avoiding Catheter and Tubing
Mis-Connection)
Selang, kateter, dan spuit (syringe) yang digunakan harus didesain sedemikian
rupa agar mencegah kemungkinan terjadinya KTD (Kejadian Tidak
Diharapkan) yang bisa menyebabkan cedera atas pasien melalui penyambungan
selang dan spuit yang salah, serta memberikan medikasi atau cairan melalui
jalur yang keliru. Rekomendasinya adalah menganjurkan perlunya perhatian
atas medikasi secara detail/rinci bila sedang mengerjakan pemberian medikasi
serta pemberian makan (misalnya selang yang benar, dan bilamana
menyambung alat-alat kepada pasien (misalnya menggunakan sambungan dan
selang yang benar).
8) Gunakan alat injeksi sekali pakai (Single Use of Injection Devices)
Salah satu keprihatinan global terbesar adalah penyebaran HIV, Hepatitis B, dan
Hepatitis C yang diakibatkan oleh pemakaian ulang (reuse) dari jarum suntik.
Rekomendasinya adalah perlunya melarang pakai ulang jarum di fasilitas
layanan kesehatan; pelatihan periodik para petugas di lembaga-lembaga layanan
kesehatan khususnya tentang prinsip-prinsip pengendalian infeksi, edukasi
terhadap pasien dan keluarga mereka mengenai penularan infeksi melalui darah;
dan praktek jarum suntik sekali pakai yang aman.
9) Tingkatkan kebersihan tangan untuk pencegahan infeksi nosokomial
(Improved Hand Hygiene to Prevent Health Care-Associated Infection) Setiap
saat lebih dari 1,4 juta orang di seluruh dunia diperkirakan menderita infeksi
yang diperoleh di banyak rumah sakit. Kebersihan tangan yang efektif adalah
ukuran preventif yang primer untuk menghindarkan masalah ini.
Rekomendasinya adalah mendorong implementasi penggunaan cairan, seperti

23
alkohol, hand-rubs, dan cairan pembersih lainnya. Fasilitas kebersihan tangan
tersebut disediakan pada titik-titik pelayanan tersedianya sumber air pada
semua kran, pendidikan staf mengenai teknik kebersihan tangan yang benar
mengingatkan penggunaan tangan bersih ditempat kerja; dan pengukuran
kepatuhan penerapan kebersihan tangan melalui pemantauan/ observasi dan
teknik-teknik yang lain.
f. International Patient Safety Goals
IPSG atau International Patient Safety Goals merupakan sasaran yang harus
dicapai suatu rumah sakit yang terakreditasi Joint Commisison International untuk standar
akreditasi internasional rumah sakit. IPSG sendiri sudah diaplikasikan di banyak rumah
sakit di Indonesia melalui kebijakan yang tercantum dalam PERMENKES Nomor 1691
Tahun 2011 tentang Keselamatan Pasien di Rumah Sakit. IPSG memiliki 3 komponen
utama, yaitu:
1) Standar, merupakan prinsip
2) Deskripsi, merupakan penjelasan standar
3) ME (Measurable element), merupakan kebutuhan rinci dari standar dan nilai
skor berdasarkan ME.
Semua ME (Measurable element) dirata-ratakan untuk mendapatkan skor
standar, semua standar dirata-ratakan untuk mendapatkan skor chapter, dan
semua chapter dirata-ratakan untuk mendapatkan skor total. Berikut merupakan
standar International Patient Safety Goals:
a) Identify Patient Correctly (Mengidentifikasi pasien secara tepat)
(1) Pasien diidentifikasi menggunakan 2 penanda, bukan termasuk nomor
ruang pasien atau lokasi. Identifikasi pasien adalah proses pencatatan
data pasien yang benar sehingga dapat menetapkan dan mempersamakan
data tersebut dengan individu yang bersangkutan. Identifikasi dilakukan
mulai pendaftaran hingga keluar rumah sakit. Identifikasi dilakukan
dengan minimal 2 cara identifikasi, yaitu nama lengkap dan tanggal lahir
pasien atau nomor rekam medis. Nomor kamar dan nama ruangan tidak
boleh dipakai. Untuk pasien yang tidak sadar melalui gelang tangan.
(2) Pasien diidentifikasi sebelum pemberian medikasi, tranfusi, atau produk
darah. Pasien diidentifikasi sebelum diberi obat, darah, maupun produk

24
dari darah. Pemberian obat: mengetahui jenis obat, khasiat, efek
samping, kontra indikasi, dosis umum, dan cara pemberian obat. Siapkan
obat sesuai instruksi yang ada dalam DO (Daftar Obat). Lakukan prinsip
5 Benar dan 1 Dokumentasi (benar pasien, benar obat, benar dosis, benar
cara, benar waktu, benar dokumentasi). Perawat saksi memberi paraf
pada kolom abu-abu dan yang memberi obat pada kolom putih bila obat
sudah diberi
(3) Pasien diidentifikasi sebelum pengambilan sampel darah atau specimen
lainnya untuk tes klinis. Pasien diidentifikasi sebelum diambil darah dan
spesimen lain untuk uji klinis. Pemberian transfusi darah: lakukan
double checkdengan perawat lain: instruksi dokter, nama, tanggal lahir,
dan golongan darah pasien, jenis, jumlah darah dan nomor harus sesuai
dengan form permintaan, form cross match, dan yang tertulis di kantong
darah dan cek tanggal dan jam kadaluarsa. Sebelum transfusi cek tanda
vital: tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu, dan skor nyeri serta keadaan
umum pasien. Setelah transfusi cek tanda vital: reaksi alergi serta
keluhan pasien setiap 15 menit untuk jam pertama selanjutnya setiap jam
sampai dengan transfusi selesai dan dokumentasikan dalam lembar
grafik observasi. Sampel lab: beri label pasien pada formulir
pemeriksaan laboratorium.
(4) Pasien diidentifikasi sebelum memberikan perawatan atau prosedur
tindakan. Pasien diidentifikasi sebelum diberi perawatan dan prosedur.
Misalnya operasi: Serah terima dari ruangan dilakukan oleh penata
anestesi/perawat bedah dengan perawat ruangan, cek dokumen pasien
pada status pasien serta checklist pre dan post operasi
(5) Adanya SOP sebagai kebijakan dan / atau prosedur yang mendukung
praktik yang konsisten di semua situasi dan lokasi.
b) Improve Effective Communication (Meningkatkan komunikasi efektif)
(1) Perintah verbal dan via telepon atau hasil tes klinis ditulis oleh penerima
perintah atau hasil tes. Instruksi verbal, instruksi via telepon, atau hasil
tes penunjang klinis ditulis oleh penerima instruksi. Obat: ditulis di
kolom "instruksi obat via telepon" di halaman terakhir dari DO.

25
(2) Tes penunjang klinis yang penting meliputi: tes laboratorium yang
CITO/segera, pemeriksaan radiologi, elektrokardiogram (EKG),
pemeriksaan lain yang memerlukan respon yang cepat. Penunjang medis
(laboratorium, radiologi): ditulis secara lengkap di catatan
perkembangan integrasi.
Perintah verbal dan via telepon atau hasil tes klinis dibacakan kembali
oleh penerima. Instruksi verbal, instruksi via telepon, atau hasil tes
penunjang klinis dibacakan kembali oleh penerima instruksi. Pembacaan
ulang ditulis dengan lengkap dan jelas. Tulis "read back +" di catatan
perkembangan terintegrasi dengan tinta warna.
(3) Perintah atau hasil tes dikonfirmasi oleh individu yang memberikan
perintah atau hasil tes klinis. Verifikasi oleh pemberi instruksi dalam
waktu 1x24 jam sejak instruksi diberikan dengan cara tanda tangan
instruksi yang telah ditulis sebelumnya.
(4) Adanya SOP sebagai kebijakan dan/atau prosedur yang mendukung
praktek yang konsisten dalam memverifikasi akurasi komunikasi verbal
dan telepon.
c) Improve Safety of High Alert Medication (Meningkatkan keamanan obat
berisiko tinggi)
(1) Adanya SOP sebagai kebijakan dan/atau prosedur yang dikembangkan
untuk identifikasi alamat, lokasi, pelabelan, dan penyimpanan obat
resiko tinggi
(2) SOP tersebut diimplementasikan.
(3) Konsentrat elektrolit tidak berada di ruang pasien dirawat hingga dibutuhkan
secara klinis dan tindakan dilakukan untuk menghindari ketidaksengajaan
pemberian. Lakukan verifikasi terhadap konsentrasi obat, kecepatan pemberian
dan jalur masuk yang digunakan. Pemberian obat yang berisiko tinggi
sebaiknya dengan infusion/syringe pump dan kecepatan pemberian harus selalu
dimonitor. Penyimpanan obat yang berisiko tinggi harus terpisah dan diberi
label berwarna merah.
(4) Obat yang berisiko tinggi antara lain: insulin, opiat dan narkotika, injeksi
kalium chloride (KCl), antikoagulan intravena (heparin), natrium chloride

26
(NaCl) 3% potassium chloride, potasium fosfat, sodium klorida > 0,9%,
MgSO4 40% dan Dextrose 40%. Konsentrat elektrolit yang disimpan di unit
perawatan pasien dengan jelas diberi label dan disimpan dalam lemari dengan
akses khusus.
d) The organization develops an approach to Ensure Correct-Site, Correct
Procedure, Correct-Patient Surgery (Rumah sakit membuat pendekatan
untuk kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien operasi)
(1) Rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan dimengerti untuk
identifikasi lokasi operasi dan melibatkan pasien didalam proses
penandaan.
(2) Rumah sakit menggunakan suatu cheklist atau proses lain untuk
memverifikasi saat pre operasi tepat-lokasi, tepat-prosedur, dan tepat-
pasien dan semua dokumen serta peralatan yang diperlukan tersedia,
tepat dan fungsional. Lakukan “surgical safety checklist” dengan benar
pada semua pasien yang akan dilakukan prosedur operasi. Lakukan
checklist terhadap kelengkapan dokumen medis (termasuk informed
consent), pemeriksaan radiologi dan alat-alat operasi yang akan
digunakan. Benar sisi, benar pasien, dan benar prosedur juga harus
dipastikan pada prosedur endoskopi, aspirasi perkutan, biopsy, katerisasi
jantung dan vaskuler serta tindakan invasif lainnya.
(3) Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur sebelum
"incisi/time out" tepat sebelum dimulainya suatu prosedur tindakan
pembedahan. Lakukan “Time Out” sebelum incisi pembedahan. “Time
out” ini harus berupa pengecekan aktif (secara lisan), dilakukan di sisi
dimana tindakan itu akan dilakukan dan melibatkan semua anggota tim
dari operasi/ prosedur, termasuk pula dari pasien, bila memungkinkan
(4) Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung suatu proses
yang seragam untuk memastikan tepat lokasi, tepat-prosedur, dan tepat-
pasien, termasuk prosedur medis dan dental yang dilaksanakan di luar
kamar operasi.

27
e) Reduce the Risk of Health Care-Associated Infections (Pengurangan resiko
infeksi terkait pelayanan kesehatan)
(1) Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand hygiene
terbaru yang diterbitkan dan sudah diterima secara umum (dari WHO
Guidelines on Patient Safety). Tangan merupakan media penyebaran
bakteri patogen yang paling sering. Cuci tangan adalah faktor terpenting
untuk mencegah penyebaran bakteri patogen dan resistensi terhadap
antibiotika.
(2) Seluruh pihak di rumah sakit telah menerapkan program kebersihan
tangan yang efektif. Cuci tangan pada saat: sebelum menyentuh pasien,
sebelum melakukan tindakan aseptik, sebelum terkontaminasi dengan
cairan tubuh pasien dan setelah melakukan tindakan-tindakan invasif,
setelah menyentuh pasien, setelah menyentuh daerah sekitar pasien.
(3) Kebijakan dan atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan
pengurangan secara berkelanjutan resiko dari infeksi yang terkait
pelayanan kesehatan.
f) Reduce the Risk of Patient Harm Resulting from Falls (Pengurangan risiko
pasien jatuh)
(1) Rumah sakit menerapkan proses asesmen awal atas pasien terhadap
resiko jatuh dan melakukan asesmen ulang bila pasien diindikasikan
terjadi perubahan kondisi atau pengobatan dan lain-lain. Kaji pasien
resiko jatuh dengan form pengkajian pasien resiko jatuh pada setiap
pasien masuk rawat. Lakukan pengkajian ulang risiko jatuh setiap 3 hari
atau sewaktu-waktu bila ada perubahan antara lain: mendapatkan
medikasi baru yang dapat berisiko pasien jatuh, pasca tindakan atau
prosedur yang mengurangi mobilitas pasien, mengalami perubahan
perilaku, tingkat kesadaran atau kondisi klinis, setelah pasien jatuh,
pindah dari unit satu ke unit lainnya
(2) Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi resiko jatuh bagi mereka
yang pada hasil asesmen dianggap beresiko jatuh. Untuk pasien dengan
resiko jatuh dengan level 2 dipasang gelang warna hijau. Letakkan
papan resiko jatuh pada meja pasien atau pada papan di atas kepala

28
pasien. Jelaskan pada keluarga. Pasang pagar pengaman tempat tidur.
Gunakan pengikat tangan atau baju apollo sesuai kondisi. Dekatkan bel
ke pasien dan jelaskan penggunaannya kepada pasien dan keluarga.
Lakukan observasi tiap 2-3 jam sekali. Saat observasi pastikan posisi
pasien aman dan nyaman misal: posisi tidur tidak merosot, bagian tubuh
tidak keluar pagar tempat tidur, dan lain -lain. Pastikan lingkungan
pasien aman (rem tempat tidur terkunci, pagar tempat tidur terpasang,
lantai tidak basah, penerangan cukup) sebelum meninggalkan pasien.
Dokumentasikan pada catatan perkembangan terintegrasi tentang
kondisi dan tindakan yang dilakukan pada setiap ronde dan laporkan ke
penanggungjawab shift. Beritahukan keluarga bahwa pasien harus ada
yang menunggu. Beritahukan keluarga untuk menginformasikan kepada
perawat apabila ada pergantian keluarga yang menunggu agar dapat
dijelaskan kembali pengamanan yang dilakukan agar pasien tidak jatuh.
Beritahu penunggu bila meninggalkan pasien harus memberitahu
perawat.
(3) Langkah-langkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan, pengurangan
cedera akibat jatuh dan dampak dari kejadian yang tidak diharapkan.
Kaji ulang setelah 3 hari. Pastikan semua tindakan pencegahan sudah
dilakukan, gunakan checklist intervensi keperawatan pasien yang
beresiko jatuh.
(4) Kebijakan dan atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan
pengurangan berkelanjutan resiko pasien cedera akibat jatuh di rumah
sakit.

2.6 Manajemen Konflik


a. Definisi Manajemen Konflik
Manajemen adalah suatu sikap atau proses untuk mengatur atau mengawasi
kerja seseorang dalam organisasi. Karena manajemen merupakan proses penting yang
menggerakan organisasi. Tanpa adanya manajemen yang efektif tidak ada usaha yang
berhasil cukup lama.

29
Konflik merupakan proses interaksi antara dua orang atau lebih, atau dua
kelompok atau lebih yang bertentangan dalam berpendapat dan tujuannya. Menurut
Wirawan (2010), konflik adalah proses pertentangan yang diekspresikan diantara dua
pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai objek konflik, menggunakan pola pikir
dan interaksi yang menghasilkan keluaran konflik.
Jadi Manajemen konflik adalah cara yang dapat digunakan dari pihak yang terlibat
konflik atau pihak ketiga untuk mengahadapi perselisihan atara dua orang atau lebih atau
dua kelompok atau lebih supaya menemukan titik terang atas permasalahan tersebut.
Menurut Wirawan (2010), manajemen konflik merupakan proses pihak yang
terlibat konflik atau pihak ketiga menyusun strategi konflik dan menerapkan untuk
mengendalika n konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan. Ade Florent (2010)
manajemen konflik merupakan cara yang dilakuka n oleh pimpinan dalam menstimulasi
konflik, mengurangi konflik dan menyelesai kan konflik yang bertujuan untuk
meningkatkan kinerja individu dan produktivitas organisasi.
b. Teori tentang manajemen konflik
Menurut Thomas dan Kilmann (1974) dalam Wirawan (2010), mengelompokkan
manajemen konflik berdasarkan dua dimensi ya itu :
1) Kerjasama (cooperativeness) pada sumbu horizontal
2) Keasertifan (assertiveness) pada sumbu vertikal
Kerjasama adalah upaya memuaskan orang lain jika menghadapi konflik. Disisi lain,
keasertifan adalah upaya untuk memuaskan diri sendiri jika terjadi konflik. Berdasarkan
kedua dimensi ini, Thomas dan Kilmann mengemukakan lima jenis gaya manajemen
konflik.
Berdasarkan dua dimensi ini, Thomas dan Kilmann dalam Wirawan (2010),
mengemukakan lima jenis gaya manajemen konflik yaitu :
1) Kompetisi (competing)
Gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan tinggi dan tingkat kerjasama
rendah. Gaya ini merupakan gaya yang berorientasi pada kekuasaan, dimana seseorang
akan menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk memenangkan konflik terhadap
lawannya. Alasan pihak yang terlibat konflik menggunakan gaya manajemen kompetisi
yaitu :

30
a) Merasa mempunyai kekuasaan dan sumber-sumber lainnya untuk memaksakan
sesuatu kepada lawan konfliknya.
b) Tindakan dan keputusan perlu diambil dengan cepat, misalnya dalam keadaan
darurat. Keterlambatan mengambil keputusan akan memberikan dampak yang
tidak baik.
c) Dalam tindakan yang tidak popular, terdapat hal yang tidak harus dilakukan,
seperti mengurangi biaya, peraturan baru, dan pendisiplinan pegawai.
d) Melindungi perusahaan dari kebangkrutan dan keadaan yang dapat merusak citra
perusahaan.
Menurut Wirawan (2010), indikator yang mempengaruhi gaya manajemen konflik
kompetisi adalah :
a) Berdebat dan membantah
Metode konfrontasi (perdebatan) dapat merupakan salah satu cara dalam mengelola
konflik dalam organisasi.
b) Kolaborasi (collaborating)
Gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan rendah dan kerjasama tinggi.
Gaya ini melakukan upaya bernegosiasi untuk menciptakan solusi yang sepenuhnya
memuaskan pihak-pihak yang terlibat konflik. Menurut Derr dalam Wirawan
(2010), kaloborasi merupakan gaya manajemen konflik yang paling disukai karena
mendorong hubungan interpersonal, kekuatan kreatif untuk inovatif dan perbaikan,
meningkatkan balikan dan aliran informasi serta mengembangkan iklim organisasi
yang lebih terbuka, percaya, pengambilan risiko dan perasaan baik terhadap
integritas. Alasan pihak yang terlibat konflik menggunakan gaya manajemen konflik
kolaborasi adalah :
(1)Menciptakaan solusi yang integratif dan tujuan kedua belah pihak pihak terlalu
penting untuk di kompromikan.
(2)Tujuan pihak yang terlibat konflik untuk mempelajari terlebih jauh pandangan
dari lawan konflik
(3)Kedua belah pihak tidak mempunyai cukup kekuasaan dan sumber-sumber untuk
untuk memaksakan kehendak demi mencapai tujuannya.

31
Menurut Wirawan (2010), indikator yang mempengaruhi gaya manajemen konflik
kolaborasi adalah
(1)Mendengarkan dengan baik yang dikemukakan lawan konflik.
(2)Kemampuan bernegosiasi
(3)Mengidentifikasi pendapat lawan
(4)Menganalisis masukan
c) Kompromi (compromising)
Gaya manajemen konflik atau menengah, dimana tingkat keasertifan dan kerjasama
sedang. Gaya manajemen konflik ini berada ditengah-tengah antara gaya kolaborasi
dan kompromi. Dalam keadaan tertentu, kompromi dapat berarti membagi
perbedaan diantara dua posisi dan memberikan konsesi untuk mencari titik tengah.
Menurut Wirawan (2010), indikator yang mempengaruhi gaya manajemen konflik
kompromi adalah :
(1) Kemampuan bernegosiasi dan bermusyawara
(2) Mendengarkan dengan baik yang dikemukakan lawan konflik
(3) Mengevaluasi nilai
(4) Menemukan jalan tengah
d) Menghindar
Gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan dan kerjasama rendah. Menurut
Thomas dan Kilmann (1974) dalam Wirawan (2010), bentuk menghindar tersebut bisa
berupa menjauhkan diri dari pokok masalah, menundah pokok masalah hingga waktu
yang tepat, atau menarik diri dari konflik yang mengancam dan merugikan. Alasan
pihak yang terlibat konflik menggunakan gaya manajemen konflik menghindar adalah:
(1) Kepentingan objek konflik rendah atau ada konflik lain yang sangat penting dan
perlu mendapatkan perhatian.
(2) Potensi biaya yang diperlukan untuk menenangkan konflik lebih besar daripada
nilai solusinya.
(3) Untuk menenangkan para karyawan dan mengurangi ketegangan, serta
menciptakan suasana kerja yang kondusif dan tenang sehingga dapat
meningkatkan kinerjan karyawan.

32
Menurut Wirawan (2010), indikator yang mempengaruhi gaya manajemen konflik
menghindar adalah :
(1) Kemampuan untuk menarik diri
(2) Kemampuan untuk meninggalkan sesuatu tanpa terselesaikan
(3) Kemampuan untuk mengesampingkan masalah
(4) Kemampuan untuk menerima kekalahan
(5) Kemampuan untuk melupakan sesuatu yang menyakitkan hati
e) Mengakomodasi (accommodating)
Gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan rendah dan kerjasama tinggi.
Gaya ini mengabaikan kepentingan dirinya sendiri dan berupaya memuaskan
kepentingan lawan konfliknya. Gaya akomodasi memberikan kesan seakan-akan
mudah menyetujui ide seseeorang dan ingin bekerjasama dan kesan demikan hanya
bersifat diperlukan bukan kenyataan. Gaya ini bermanfaat apabila sebuah persoalan
konflik bersifat lebih penting bagi orang lainnya.
Menurut Wirawan (2010), indikator yang mempengaruhi gaya manajemen konflik
mengakomodasi adalah :
(1) Kemampuan untuk melupakan keinginan diri sendiri
(2) Kemampuan untuk melayani konflik
(3) Kemampuan untuk mematuhi perintah atau melayani lawan konflik
c. Tujuan Manajemen Konflik
Konflik merupakan suatu fenomena yang sering kali tidak bisa dihindaridan menghambat
pencapaian tujuan organisasi. Sumber daya organisasi – sumber daya manusia, sumber
daya financial, dan sumber daya tekhnolgi - digunakan untuk menyelesaikan suatu konflik
bukan untuk meningkatkan produktivitas organisasi. Oleh karena itu, manajemen konflik
harus dilakukan secara sistematis untuk mencapai suatu tujuan. Menurut Wirawan (2010),
tujuan-tujuan dari manajemen konflik yaitu :
1) Mencegah gangguan kepada anggota organisasi untuk memfokuskan diri pada visi,
misi dan tujuan organisasi.
2) Memahami orang lain dan menghormati keberagaman.
3) Meningkatkan kreativitas.
4) Meningkatkan keputusan melalui pertimbangan berdasarkan pemikiran berbagai
informasi dan sudut pandang.

33
5) Memfasilitasi pelaksanaan kegiatan melalui peran serta, pemahaman bersama, dan
kerja sama.
6) Menciptakan prosedur dan mekanisme penyelesaian konflik.
7) Menimbulkan iklim orgnisasi konflik dan lingkungan kerja yang tidak
menyenangkan: takut, moral, rendah, sikap saling curiga.
8) Meningkatkan terjadinya pemogokan.
9) Mengarahkan pada sabotase bagipihak yang kalah dalam konflik.
10) Mengurangi loyalitas dan komitmen organisasi.
11) Tergantung proses produksi dan operasi.
12) Meningkatkan biaya pengadilan karena tuntutan karyawan yang mengajukan
konflik ke pengadilan.
d. Pengaruh konflik
1) Pengaruh Positif Terjadinya Konflik
Konflik dapat menimbulkan dampak atau pengaruh positif jika konflik tersebut
dimanajemen dengan baik. Ade Florents (2010), mengemukakan beberapa manfaat
dari konflik, yaitu :
a) Konflik akan mencegah stagnasi.
b) Konflik akan memberikan stimulasi terhadap timbulnya rasa penting dan
keingintahuan.
c) Konflik dapat membantu bagi pengujian kemampuan, sangat berguna untuk
keperluan belajar dan pengembangan.
d) Konflik akan menjadi media pengungkapan persoalan, sehingga dapat di pelajari
jalan pemecahannya.
e) Konflik dapat membantu orang – orang dan kelompok untuk menciptakan
identitas dan citra mereka.
f) Konflik merupakan dasar bagi terjadinya perubahan, baik perorangan maupun
perubahan sosial.
2) Pengaruh Negatif Terjadinya Konflik
Sedangkan dampak atau pengaruh yang ditimbulkan jika konflik tidak dimanajemen
dengan baik atau suatu perusahaan tidak memiliki manajemen konflik yang baik untuk
mengatasi suatu konflik di dalamnya. Maka akan mengakibatkan sebagai berikut:

34
a) Tidak lagi sejalan antar seseorang dengan orang lain atau kelompok dengan
kelompok lain untuk menuju tujuan perusahaan.
b) Dapat menurunkan kinerja karyawan.
c) Menghambat tumbuh kembang kerjasama dalam perusaahaan.
d) Dapat menghalangi kerjasama anatar individu.
e) Dapat menggangu saluran komunikasi antar karyawan.
e. Faktor-faktor yang mempengaruhi konflik
Gaya manajemen konflik yang digunakan pihak-pihak yang terlibat konflik
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain :
1) Asumsi Mengenai Konflik
Asumsi seserorang mengenai konflik akan mempengaruhi pola perilakunya dalam
menghadapi situasi konflik. Birokrat yang berpendapat konflik merupakan sesuatu
yang buruk dan akan berusaha menekan lawan konfliknya dengan menggunakan gaya
manajemen konflik kompetisi. Ia menganggap konflik merupakan pelanggaran norma,
peraturan atau tatanan birokrasi.sebaiknya, seseorang birokrat yang menganggap
konflik adalah baik dan toleran terhadap konflik akan menggunakan gaya manajemen
konflik kolaborasi atau kompromi dalam memanajemeni konflik.
2) Persepsi Mengenai Penyebab Konflik
Persepsi seseorang mengenai penyebab konflik akan mempengaruhi gaya manajemen
konfliknya. Presepsi seseorang menganggap penyebab konflik menentukan kehidupan
atau harga dirinya akan berupaya untuk berkompetensi dan memenangkan konflik.
Sebaliknya, jika seseorang menganggap penyebab konflik tidak penting bagi
kehidupan atau harga dirinya, ia akan menggunakan pola menghindar dalam
menghadapinya.
3) Pola Komunikasi Dalam Interaksi Konflik
Konflik merupakan pola interaksi komunikasi di antara pihak secara persuasif, tanpa
gangguan dan menggunakan humor.
4) Kekuasaan yang Dimiliki
Konflik merupakan permainan kekuasaan di antara kedua belah pihak yang terlibat
konflik. Jika pihak yang terlibat konflik merasa memiliki kekuasaan yang lebih
besar dari lawan konfliknya, kemungkinan besar ia tidak mau mengalah dalam
interaksi konflik. Terlebih lagi, jika masalah konfliknya sangat esensial bagi

35
kehidupannya. Sebaliknya, jika ia mempunyai kekuasaan lebih rendah dan
memprediksikan bahwa dirinya tidak biasa menang dalam konflik, ia akan
menggunakan gaya manajemen konflik kompromi, akomodasi dan menghindar.
5) Sumber yang Dimiliki
Gaya manajemen konflik yang digunakan oleh pihak yang terlibat konflik di pengaruhi
oleh sumber-sumber yang memilikinya. Sumber-sumber tersebut anatara lain :
kekuasaan, pengetahuan, pengalaman dan uang.
6) Kepribadian
Kepribadian seseorang mempengaruhi gaya manajemen konfliknya. Seseorang yang
mempunyai gaya pemberani, tidak sabar dan berambisi untuk menang cenderung
memilih gaya berkompetisi sedangkan orang-orang yang penakut dan pasif
cenderung untuk menghindari konflik

2.7 Mutu Pelayanan Keperawatan


2.7.1 Standar
a. Pengertian
Standar adalah tingkat keprimaan dan digunakan sebagai dasar perbandingan.
Standar adalah suatu norma atau persyaratan yang biasanya berupa suatu dokumen
formal yang menciptakan kriteria, metode, proses, dan praktik rekayasa atau teknis
yang seragam. Suatu standar dapat pula berupa suatu artefak atau perangkat formal lain
yang digunakan untuk kalibrasi (Kamus Bahasa Indonesia).
Standar adalah tingkat minimum yang jika dicapai kemungkinan besar akan
menimbulkan kepuasan bagi pelanggan atau masyarakat. Standar adalah model untuk
dicontoh atau diteladani (Oxford dictionary). Standar adalah kajibanding pencapaian
(benchmarking) yang didasarkan pada tingkat keprimaan yang diinginkan, standar
dapat dijadikan model untuk dicontoh dan digunakan sebagai dasar kajibanding
(WHO).
Peraturan Pemerintah No.102/2000 dijelaskan bahwa standar adalah spesifikasi
teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metoda yang disusun
berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat
keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang

36
akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya, sedangkan dalam UU
No 23/1992 pasal 53 ayat 2 disebutkan bahwa standar adalah pedoman yang harus
dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik.
b. Standar Layanan Kesehatan
Standar layanan kesehatan adalah suatu pernyataan tentang mutu yang
diharapkan, yaitu akan menyangkut masukan, proses dan keluaran (outcome) sistem
layanan kesehatan. Standar layanan kesehatan merupakan suatu alat organisasi untuk
menjabarkan mutu layanan kesehatan ke dalam terminologi operasional sehingga
semua orang yang terlibat dalam layanan kesehatan akan terikat dalam suatu sistem,
baik pasien, penyedia layanan kesehatan, penunjang layanan kesehatan, ataupun
manajemen organisasi layanan kesehatan, dan akan bertanggung gugat dalam
menjalankan tugas dan perannya masing-masing.

2.7.2 Mutu
a. Pengertian
Mutu adalah nilai kepatutan yang sebenarnya (proper value) terhadap unit
pelayanan tertentu, baik dari aspek technical (ilmu, ketrampilan, dan teknologi medis
atau kesehatan) dan interpersonal (tata hubungan perawat – pasien, dokter – pasien:
komunikasi, empati dan kepuasan pasien) (Widayat, 2009). Mutu yang baik adalah
tersedia dan terjangkau, tepat kebutuhan, tepat sumber daya, tepat standar profesi atau
etika profesi, wajar dan aman, mutu memuaskan bagi pasien yang dilayani (Sabarguna,
2006).
Menurut Mirza Tawi (2008), mutu pelayanan kesehatan sebenarnya menunjuk
pada penampilan (performance) dari pelayaan kesehatan yang dikenal dengan keluaran
(output) yaitu hasil akhir kegiatan dari tindakan dokter dan tenaga profesi lainnya
terhadap pasien, dalam arti perubahan derajat kesehatan dan kepuasan baik positif
maupun sebaliknya. Sedangkan baik atau tidaknya keluaran tersebut sangat
dipengaruhi oleh proses (process), masukan (input) dan lingkungan (environment).
Maka jelaslah bahwa baik atau tidaknya mutu pelayanan kesehatan sangat dipengaruhi
oleh unsur-unsur tersebut, dan untuk menjamin baiknya mutu pelayanan kesehatan
ketiga unsur harus diupayakan sedemikian rupa agar sesuai dengan standar dan atau
kebutuhan.

37
1) Unsur masukan
Unsur masukan (input) adalah tenaga, dana dan sarana fisik, perlengkapan serta
peralatan. Secara umum disebutkan bahwa apabila tenaga dan sarana (kuantitas dan
kualitas) tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan (standard of personnel
and facilities), serta jika dana yang tersedia tidak sesuai dengan kebutuhan, maka
sulit diharapkan baiknya mutu pelayanan (Nursalam, 2014).
2) Unsur lingkungan
Unsur lingkungan adalah kebijakan, organisasi, manajemen. Secara umum
disebutkan apabila kebijakan, organisasi dan manajemen tersebut tidak sesuai
dengan standar dan atau tidak bersifat mendukung, maka sulitl diharapkan baiknya
mutu pelayanan (Nursalam, 2014).
3) Unsur proses
Unsur proses adalah tindakan medis, keperawatan atau non medis. Secara umum
disebutkan apabila tindakan tersebut tidak sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan (standard of conduct), maka sulit diharapkan mutu pelayanan menjadi
baik (Nursalam, 2014).
b. Dimensi Mutu
Pendekatan dalam kualitas pelayanan yang banyak dijadikan acuan adalah model
kualitas dengan metode SERVEQUAL (Service Quality) yang dapat digunakan sebagai
penentuan mutu pelayanan, model ini dikembangkan dengan lima dimensi mutu
pelayanan yaitu :
1) Bukti fisik (Tangibles), yang meliputi penampilan fasilitas fisik seperti gedung dan
ruangan, kebersihan, kerapihan, kenyamanan ruangan, dan penampilan petugas.
2) Kehandalan (Reliability), yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang
tepat atau akurat dan kemampuan memberikan pelayanan sesuai dengan yang
dijanjikan.
3) Daya tanggap (Responsiveness), yaitu kesediaan untuk membantu pelanggan,
respon dan memberikan pelayanan yang cepat yang meliputi kecepatan karyawan
dalam menangani keluhan pelanggan serta kesigapan karyawan dalam melayani
pelanggan.
4) Jaminan (Assurance), yaitu kegiatan untuk menjamin kepastian terhadap pelayanan
yang akan diberikan kepada pelanggan, hal ini meliputi kemampuan petugas atas

38
pengetahuan terhadap jasa secara tepat, keterampilan dalam memberikan pelayanan
sehingga dapat menumbuhkan rasa aman pada pelanggan sehingga dapat
menanamkan kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan.
5) Empati (Emphaty), yaitu membina hubungan dan perhatian secara individual yang
diberikan perusahaan kepada pelanggan seperti mendengarkan keluhan konsumen,
kemudahan konsumen untuk menghubungi perusahaan, kemampuan petugas untuk
berkomunikasi dengan konsumen/pelanggan dan usaha perusahaan untuk
memahami kebutuhan pelanggannya (Nursalam, 2014).
c. Persepsi Mutu
Pandangan atau sering disebut juga dengan persepsi merupakan suatu proses
dimana individu memberikan makna terhadap kesan indera mereka pada saat
memperoleh pelayanan kesehatan, setiap orang akan mempunyai persepsi yang
berbeda secara objektif, karena persepsi merupakan penafsiran yang nyata dan masing-
masing orang memandang hal tersebut dari sudut perspektif yang berbeda (Robbins,
2008).
Persepsi mutu pelayanan kesehatan merupakan hasil dari pengalaman dan apa
yang mereka dapatkan dalam layanan kesehatan yang nantinya mempunyai persepsi
berbeda-beda tentang unsur penting dalam menentukan mutu layanan kesehatan.
Perbedaan ini antara lain disebabkan oleh terdapatnya perbedaan latar belakang,
pendidikan, umur, jenis kelamin, pekerjaan, pengalaman, dan lingkungan (Wijono,
2011).
Persepsi mutu adalah pandangan seseorang terhadap stimulus yang diterima
dari panca indera, sehingga nantinya dapat memberikan penilaian atas pelayanan yang
mereka terima, jika sudah sesuai dengan apa yang mereka harapkan maka para
konsumen akan merasa puas akan pelayanan yang telah mereka terima dan rasakan
(Walgito, 2010).
d. Penilaian Mutu Pelayanan Keperawatan
1) Audit Struktur (Input)
Struktur merupakan masukan (input) yang meliputi sarana fisik
perlengkapan/peralatan, organisasi, manajemen, keuangan, sumber daya manusia
dan sumber daya lainnya dalam fasilitas keperawatan. Baik tidaknya struktur
sebagai input dapat diukur dari jumlah besarnya mutu, mutu struktur, besarnya

39
anggaran atau biaya dan kewajaran. Penilaian juga dilakukan terhadap
perlengkapan-perlengkapan dan instrumen yang tersedia dan dipergunakan untuk
pelayanan. Selain itu pada aspek fisik, penilaian juga mencakup pada karakteristik
dari administrasi organisasi dan kualifikasi dari profesi kesehatan. Pendapat yang
hampir sama dikemukakan oleh Tappen (1995), yaitu bahwa struktur berhubungan
dengan pengaturan pelayanan keperawatan yang diberikan dan sumber daya yang
memadai (Wijono 2000). Aspek dalam komponen struktur dapat dilihat melalui :
a) Fasilitas, yaitu kenyamanan, kemudahan mencapai pelayanan dan keamanan
b) Peralatan, yaitu suplai yang adekuat dan seni menempatkan peralatan
c) Staf, meliputi pengalaman, tingkat absensi, rata-rata turnover dan rasio pasien-
perawat
d) Keuangan, yaitu meliputi gaji, kecukupan dan sumber keuangan.
e) Tenaga, obat tekhnologi dan informasi
2) Proses (Process)
Pendekatan ini merupakan proses yang mentransformasi struktur (input) ke
dalam hasil (outcome). Proses adalah kegiatan yang dilaksanakan secara profesional
oleh tenaga kesehatan dalam hal ini perawat dan interaksinya dengan pasien
(Wijono 2000).
Kegiatan proses mencakup diagnosa, rencana perawatan, indikasi tindakan,
prosedur dan penanganan kasus. Penilaian dilakukan terhadap perawat dalam
merawat pasien. Baik tidaknya proses dapat diukur dari relevan tidaknya proses
bagi pasien, fleksibelitas/efektifitas, mutu proses itu sendiri sesuai dengan standar
pelayanan yang semestinya, dan kewajaran (tidak kurang dan tidak berlebihan).
Pendekatan ini difokuskan pada pelaksanaan pemberian pelayanan keperawatan
oleh perawat terhadap pasien dengan menjalankan tahap-tahap asuhan keperawatan.
Pada penilaiannya dapat menggunakan teknik observasi maupun audit dari
dokumentasi keperawatan. Indikator baik tidaknya proses dapat dilihat dari
kesesuaian pelaksanaan dengan standar operasional prosedur, relevansi tidaknya
dengan pasien dan efektifitas pelaksanaannya.
3) Hasil (Outcome)
Pendekatan ini adalah hasil akhir kegiatan dan tindakan perawat
terhadap pasien. Adanya perubahan derajat kesehatan dan kepuasan baik positif

40
maupun negatif. Baik tidaknya hasil dapat diukur dari derajat kesehatan pasien dan
kepuasan pasien terhadap pelayanan perawatan yang telah diberikan (Wijono 2000).
Pada proses pelayanan keperawatan, outcome dapat berupa perubahan yang
terjadi pada konsumen termasuk kepuasan dari konsumen. Tanpa mengukur hasil
kinerja rumah sakit dan tidak diketahui apakah input proses yang baik menghasilkan
output yang baik (Nursalam, 2014).
Pendekatan-pendekatan di atas dapat digunakan sebagai indikator dalam
melakukan penilaian terhadap mutu. Namun, sebagai suatu sistem penilaian mutu
sebaiknya dilakukan pada ketiga unsur dari sistem tersebut yang meliputi struktur,
proses dan hasil. Setelah didapatkan hasil penilaiannya, maka dapat dilakukan
strategi yang tepat untuk mengatasi kekurangan atau penilaian negatif dari mutu
pelayanan tersebut. Seiring berjalannya waktu, strategi peningkatan mutu
mengalami perkembangan yang dapat menjadi wacana kita mengenai strategi mana
yang tepat dalam melakukan upaya yang berkaitan dengan mutu pelayanan.
e. Upaya Peningkatan Mutu
Peningkatan mutu dapat dilakukan dengan berebagai cara yang dapat dijelaskan
sebagai berikut :
1) Mengembangkan akreditasi dalam meningkatkan mutu rumah sakit
2) ISO 9001:2000 yaitu standar internasional untuk sistem manajeman kualitas yang
bertujuan untuk menjamin kesesuaian proses pelayanan keperawatan
3) Memperbaharui keilmuan untuk menjamin tindakan medis dan tindakan
keperawatan didukung oleh bukti ilmiah yang mutakhir
4) Good corporate governance
5) Clinical governance
6) Mengembangkan aliansi dengan rumah sakit di dalam ataupun luar negeri
7) Melakukan evaluasi terhadap strategi pembiayaan
8) Orientasi ada pada pelayanan (Nursalam, 2014).

2.7.3 Pelayanan Keperawatan


Menurut Undang-undang No.38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, Pelayanan
keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan bagian integral

41
dari pelayanan keperawatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan
kepada individu, keluarga, kelompok atau masyarakat, baik sehat maupun sakit.
Pelayanan kesehatan dan keperawatan yang dimaksud adalah bentuk implementasi
praktek keperawatan yang ditujukan kepada pasien/klien baik kepada individu, keluarga
dan masyarakat dengan tujuan upaya peningkatan kesehatan dan kesejahteraan guna
mempertahankan dan memelihara kesehatan serta menyembuhkan dari sakit, dengan kata
lain upaya praktek keperawatan berupa promotif, preventif, kuratif dan rehabilitasi
(Craven & Hirnle, 2000).
Pelayanan keperawatan prima adalah pelayanan keperawatan profesional yang
memiliki mutu, kualitas, dbersifat efektif, efisien sehingga memberikan kepuasan pada
kebutuhan dan keinginan lebih dari yang diharapkan pelanggan atau pasien. Pelayanan
prima, sebagaimana tuntutan pelayanan yang memuaskan pelanggan atau masyarakat,
maka diperlukan persyaratan agar dapat dirasakan oleh setiap pelayan untuk memiliki
kualitas kompetensi yang profesional, dengan demikian kualitas kompetensi
profesionalisme menjadi sesuatu aspek penting dan wajar dalam setiap transaksi.
Pada proses pngembangan budaya pelayanan keperawatan prima, Gultom (2006)
mengembangkan pelayanan keperawatan prima dengan menyelaraskan faktor-faktor.
Ability (kemampuan), Attitude (sikap), Appearance (penampilan), Attention (perhatian),
Action (tindakan), Accountability (tanggung jawab).
a. Kemampuan (Ability)
Kemampuan adalah pengetahuan dan keterampilan yang mutlak diperlukan
untuk menunjang program layanan prima, yang meliputi kemampuan dalam bidang
keperawatan yang ditekuni, melaksanakan komunikasi yang efektif, mengembangkan
motivasi, membina hubungan dengan tenaga kesehatan lain.
Perawat harus mempunyai pengetahuan dan wawasan luas, terlebih lagi pada saat
ini ketika perawat dituntut untuk menjadi seorang profesional. Pengetahuan dan
wawasan yang dimaksud bukan hanya sebatas bidang keperawatan tapi menyeluruh.
Pengetahuan yang luas dari perawat sangat berguna untuk memberikan pelayanan
keperawatan yang profesional. Menurut Utama (1999), keterampilan merupakan
kemampuan untuk melakukan sesuatu yang baik dan benar. Seorang perawat dikatakan
terampil apabila telah dapat memberikan pelayanan keperawatan dengan baik dan
benar. Baik dan benarnya perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan mengacu

42
pada dasar pendidikannya dan standar keperawatan. Akan tetapi, keterampilan seorang
perawat bukan hanya tergantung dari tingginya pendidikan yang diterimanya, tapi
pengalaman dalam melakukan pelayanan keperawatan juga sangat berpengaruh
(Zulkifli, 1999).
b. Sikap (Attitude)
Sikap adalah perilaku yang harus ditonjolkan perawat ketika menghadapi
pasien. Pada proses memberikan asuhan keperawatan, perawat menggunakan keahlian,
kata-kata yang lembut, sentuhan, memberikan harapan, selalu berada disamping pasien
dan bersikap sebagai media penberi asuhan. Sikap ini diberikan melalui kejujuran,
kepercayaan dan niat baik. Adapun sikap-sikap dalam pelayanan prima adalah
semangat, memakai cara yang baik, pro-aktif, positif, penuh kesabaran dan tidak
mengada-ada dan tepat waktu.
Pada proses memberikan pelayanan kesehatan, sikaf tersebut harus dimiliki
oleh seorang perawat karena sikaf perawat juga sangat berpengaruh terhadap kepuasan
pasien. Sikap perawat yang baik dan ramah dapat menimbulkan rasa simpati pasien
terhadap perawat.
c. Penampilan (Appearance)
Penampilan perawat baik berupa fisik maupun nonfisik yang mampu
merefleksikan kepercayaan diri dan kredibilitas dari pihak lain. Penampilan seseorang
merupakn salah satu hal pertama yang diperhatikan selama komuniksi interpersonal.
Kesan pertama timbul dalam 20 detik sampai 4 menit pertama. 84% dari kesan
terhadap seseorang berdasarkan penampilannya (Lalli Ascosi, 1990 dalam Potter dan
Perry, 1993).
Bentuk fisik, cara berpakaian dan berhias menunjukkan kepribadiaan, status
sosial, pekerjaan, agama, budaya dan konsep diri. Perawat yang memperhatikan
penampilan dirinya dapat menimbulkan cita diri dan profesional yang positif.
Penampilan fisik perawat dapat mempengaruhi persepsi pasien terhadap pelayanan
atau asuhan keperawatan yang diterima, karena tiap pasien mempunyai citra
bagaimana seharusnya penampilan seorang perawat. Walaupun penampilan tidak
sepenuhnya mecerminkan kemampuan perawat tetapi mungkin akan lebih sulit bagi
perawat untuk membina rasa percaya terhadap pasien jika perawat tidak memenuhi
citra pasien.

43
d. Perhatian ( Attention)
Perhatian adalah kepedulian penuh terhadap pasien, baik yang berkaitan dengan
perhatian akan kebutuhan dan keinginan pasien maupun pemahaman atas saran dan
kritik. Perhatian yang diberikan perawat, terutama ketika pasien sendiri dan merasa
menadi beban bagi orang lain, adalah sangat berguna untuk mempercepat proses
penyembuhan. Penyakit yang diderita oleh pasien terjadi bukan hanya kelemahan
fisiknya, tetapi dapat juga terjadi karena adanya gangguan pada kejiwaannya. Sikap
yang baik terutama perhatian yang diberikan oleh perawat kepada pasien, diyakuni
ddapat mempercepat proses penyembuhan kejiwaannya. Sehingga dengan sembuhnya
kejiwaan maka dapat mempengaruhi kesembuhan fisiknya.
e. Tindakan (Action)
Tindakan adalah berbagai kegiatan nyata yang harus dilakukan dalam memberikan
layanan kepada pasien. Layanan ini seyogianya berlandaskan ilmu pengetahuan,
prinsip dari teori keperawatan serta penampilan dan sikap serta sesuai dengan
kompetensi dan kewenangan yang diemban kepada perawat tersebut. Apabila perawat
terampil dalam memberikan tindakan keperawatan, maka secara otomatis pasien juga
akan merasakan kepuasan dari tindakan yang diberikan perawat tersebut. Hal ini teradi
karena perawat yang terampil dapat menimbulkan rasa aman dan nyaman bagi pasien
saat melakukan suatu tindakan. Tindakan perawat yang sesuai dengan standar
keperawatan dapat menjamin bahwa asuhan keperawatan yang diberikan juga
berkualitas.
b Tanggung jawab (Accountability)
Tanggung jawab adalah suatu sikaf keberpihakan kepada pasien sebagai wujud
kepedulian untuk menghindarkan atau meminimalkan kerugian atau ketidakpuasan
pasien. Perawat merupakan salah satu profesi yang berhubungan dan berinteraksi
langsung dengan pasien, baik itu klien sebagai individu, keluarga maupun masyarakat,
oleh karena itu dalam memberikan asuhan keperawatannya perawat dituntut untuk
memahami dan berprilaku sesuai dengan etika keperawatan. Agar seorang perawat
dapat bertanggung jawab dan bertanggung gugat maka perawat harus memegang
teguh nilai-nilai yang mendasari praktik keperawatan itu sendiri., yaitu: perawat
membantu pasien untuk mencapai tingkat kesehatan optimum, perawat membantu
meningkatkan autonomi pasien mengekspresikan kebutuhannya, perawat mendukung

44
martabat kemanusiaan dan berprilaku sebagai advokat bagi pasien, perawat menjaga
kerahasiaan pasien, beriorentasi pada akuntabilitas perawat, dan perawat bekera dalam
lingkungan yang kompeten, etik, dan aman.

2.7.4 Standar Mutu Pelayanan Keperawatan


Sesuai dengan peranan yang dimiliki oleh masing-masing unsur pelayanan kesehatan,
standar dalam program menjaga mutu secara umum dapat dibedakan atas dua macam
yakni:
a. Standar Pelayanan Minimal
Standar persyaratan minimal adalah keadaan minimal yang harus dipenuhi untuk dapat
menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan yang bermutu. Standar persyaratan
minimal terdiri dari :
1) Standar Masukan (stuktur)
Dalam standar masukan ditetapkan persyaratan minimal unsur masukan yang
diperlukan untuk dapat menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu
terdiri dari :
a) Jenis, jumlah dan kualifikasi tenaga pelaksana;
b) Jenis, jumlah dan spesifikasi sarana;
c) Jumlah dana (modal);
Jika standar masukan merujuk pada tenaga pelaksana disebut dengan nama
standar ketenagaan (standard of personnel). Sedangkan jika standar masukan
merujuk pada sarana dikenal dengan nama standar sarana (standard of facilities).
Untuk dapat menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan yang bermutu, standar
masukan tersebut haruslah dapat ditetapkan.
2) Standar Lingkungan
Dalam standar lingkungan ditetapkan persyaratan minimal unsur lingkungan yang
diperlukan untuk dapat meyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu, terdiri
dari :
a) Garis-garis besar kebijakan (policy);
b) Pola organisasi (organization);
c) Sistem manajemen (management) yang harus dipatuhi oleh setiap pelaksana
pelayanan kesehatan;

45
Standar lingkungan ini populer dengan sebutan standar organisasi dan
manajemen (standard organization and management). Sama halnya dengan
masukan, untuk dapat menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan yang
bermutu, maka standar lingkungan harus ditetapkan.
3) Standar Proses
Dalam standar proses ditetapkan persyaratan minimal unsur proses yang harus
dilakukan untuk dapat menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu,
terdiri dari :
a) Tindakan medis;
b) Tindakan non medis;
Standar proses dikenal dengan nama standar tindakan (standar of conduct).
Pada dasarnya baik tidaknya mutu pelayanan kesehatan sangat ditentukan oleh
kesesuaian tindakan dengan standar proses, maka haruslah dapat diupayakan
tersusunnya standar proses.
b. Standar Penampilan Minimal
Standar penampilan minimal merujuk pada penampilan layanan kesehatan yang
masih dapat diterima. Standar ini, karena merujuk pada unsur keluaran,
disebut dengan nama standar keluaran, atau populer dengan sebutan standar
penampilan (standar of performance). Standar keluaran merupakan hasil akhir atau
akibat dari layanan kesehatan. Standar keluaran akan menunjukkan apakah layanan
kesehatan berhasi atau gagal. Keluaran (outcome) adalah apa yang diharapkan akan
terjadi sebagai hasil dari layanan kesehatan yang diselenggarakan dan terhadap apa
keberhasilan tersebut akan diukur. Standar keluaran berupa penampilan aspek medis
dan penampilan aspek non medis.
Mutu pelayanan yang diselenggarakan masih dalam batas-batas kewajaran dapat
diketahui dengan membandingkan pada standar keluaran yang ditetapkan. Untuk dapat
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan maka keempat standar tersebut perlu
dipantau, dan dinilai secara obyektif serta berkesinambungan. Bila ditemukan
penyimpangan,perlu segera diperbaiki. Pada proses pelaksanaannya pemantauan
standar-standar tersebut tergantung kemampuan yang dimiliki, maka perlu disusun
prioritas.

46
Pemantauan dan penilaian standar ini diukur dari indikator yang sesuai, yang
secara umum dapat dibedakan pula atas empat macam yaitu indikator masukan, proses,
lingkungan serta keluaran. Dalam praktik sehari-hari, sekalipun indikator mutu
pelayanan kesehatan sebenarnya hanya merujuk pada indikator keluaran, namun karena
pelayanan kesehatan pada dasarnya merupakan hasil interaksi dari unsur masukan
dengan unsur lingkungan dan proses, menyebabkan ukuran pelayanan kesehaatan
bermutu sering dikaitkan pula dengan ketiga indikator tersebut. Dengan perkataan lain,
indikator masukan, proses, serta lingkungan yng sebenarnya lebih merujuk pada faktor-
faktor yang mempengaruhi mutu pelayanan kesehatan, turut diperhitungkan pada
waktu membicarakan mutu pelayanan kesehatan.
Kegiatan dalam mendukung pencapaian mutu pelayanan kesehatan, keperawatan
sebagai bagian yang terintegrasi dengan pelayanan kesehatan juga memiliki andil
dalam mencapai pelayanan kesehatan yang bermutu. Upaya pemantauan yang
berkesinambungan diperlukan untuk menilai mutu pelayanan keperawatan di sarana
kesehatan. Program pengendalian mutu yang menunjang tercapainya pelayanan
keperawatan yang efisien dan efektif di sarana kesehatan . Sehingga diperlukan standar
mutu dalam pelayanan keperawatan yang terdiri dari :
1) Struktur
a) Adanya kebijakan program pengendalian mutu pelayanan keperawatan di sarana
kesehatan.
b) Adanya program pengendalian mutu pelayanan keperawatan.
c) Adanya standar pelayanan keperawatan.
d) Adanya mekanisme pelaksanaan program pengendalian mutu.
e) Adanya tim pengendalian mutu dalam Organisasi Pelayanan Kesehatan.
f) Adanya sumber daya yang menandai dalam jumlah dan kualitas.
2) Proses
a) Menyusun alat pengendalian mutu sesuai dengan metoda yang dipilih.
b) Melaksanakan upaya pengendalian mutu antara lain : audit keperawatan/
supervise keperawatan, Gugus Kendali Mutu, survey kepuasan pasien,
keluarga/petugas, presentasi kasusdan ronde keperawatan.
c) Menganalisa dan menginterpretasikan data hasil evaluasi pengendalian mutu.
d) Menyusun upaya tindak lanjut.

47
3) Hasil
a) Adanya dokumen hasil pengendalian mutu.
b) Adanya dokumen umpan balik dan upaya tindak lanjut.
c) Adanya dokumen hasil survey kepuasan pasien, keluarga dan petugas.
d) Adanya penampilan klinik tenaga keperawatan sesuai dengan standar pelayanan
keperawatan.
e) Menurunya angka kejadian komplikasi sebagai akibat pmberian asuhan
keperawatan antara lain : dekubitus, jatuh, pneumia, pneumia orthostatic, infeksi
nasokomial, drop foot.

2.8 Pengelolaan SDM RS


2.8.1 Ketenagaan (Man/ M1)
a. Umur
Semakin tua usia seseorang karyawan semakin kecil kemungkinan keluar dari
pekerjaan, karena semakin kecil alternatif untuk memperoleh kesempatan pekerjaan
lain. Di samping itu karyawan yang bertambah tua biasanya telah bekerja lebih lama,
memperoleh gaji yang lebih besar dan berbagai keuntungan lainnya. Hubungan usia
dengan kinerja atau produktivitas dipercaya menurun dengan bertambahnya usia. Hal
ini disebabkan karena ketrampilan-ketrampilan fisiknya sudah mulai menurun. Tetapi
produktivitas seseorang tidak hanya tergantung pada ketrampilan fisik serupa itu.
Karyawan yang bertambah tua, bisa meningkat produktivitasnya karena pengalaman
dan lebih bijaksana dalam mengambil keputusan (Mangkunegara, 2009).
b. Jenis Kelamin
Beberapa isu yang sering diperdebatkan, kesalahpahaman dan pendapat-
pendapat tanpa dukungan mengenai apakah kinerja wanita sama dengan pria ketika
bekerja. Misalnya ada/tidaknya perbedaan yang konsisten pria-wanita dalam
kemampuan memecahkan masalah, ketrampilan, analisis, dorongan, motivasi,
sosiabilitas atau kemampuan bekerja (Robbins, 2001).
Secara umum diketahui ada perbedaan yang signifikan dalam produktifitas
kerja maupun dalam kepuasan kerja, tapi dalam masalah absen kerja karyawati lebih
sering tidak masuk kerja daripada laki-laki. Alasan yang paling logis adalah karena
secara tradisional wanita memiliki tanggung jawab urusan rumah tangga dan keluarga.

48
Bila ada anggota keluarga yang sakit atau urusan sosial seperti kematian tetangga dan
sebagainya, biasanya wanita agak sering tidak masuk kerja.
c. Masa Kerja
Banyak studi tentang hubungan antara senioritas karyawan dan produktivitas.
Meskipun prestasi kerja seseorang itu bisa ditelusuri dari prestasi kerja sebelumnya,
tetapi sampai ini belum dapat diambil kesimpulan yang meyakinkan antara dua
variabel tersebut. Hasil riset menunjukkan bahwa suatu hubungan yang positif antara
senioritas dan produktivitas pekerjaan. Masa kerja yang diekspresikan sebagai
pengalaman kerja, tampaknya menjadi peramal yang baik terhadap produktivitas
karyawan. Studi juga menunjukkan bahwa senioritas berkaitan negatif dengan
kemangkiran. Masa kerja berhubungan negatif dengan keluar masuknya karyawan dan
sebagai salah satu peramal tunggal paling baik tentang keluar masuknya karyawan
(Mangkunegara, 2006).
d. Pendidikan
Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara dalam Hasbullah (2005) yaitu
tuntunan di dalam tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu
menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai
manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan
kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Salah satu upaya untuk meningkatkan sumber
daya keperawatan adalah melalui pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, mengikuti
pelatihan perawatan keterampilan teknis atau keterampilan dalam hubungan
interpersonal. Sebagian besar pendidikan perawat adalah vokasional (D3
Keperawatan).
Untuk menjadi perawat profesional, lulusan SLTA harus menempuh
pendidikan akademik S1 Keperawatan dan Profesi Ners. Tetapi bila ingin menjadi
perawat vokasional, (primary nurse) dapat mengambil D3 Keperawatan/Akademi
Keperawatan. Lulusan SPK yang masih ingin menjadi perawat harus segera ke D3
Keperawatan atau langsung ke S1 Keperawatan. Selanjutnya, lulusan D3 Keperawatan
dapat melanjutkan ke S1 Keperawatan dan Ners. Dari pendidikan S1 dan Ners, baru
ke Magister Keperawatan/spesialis dan Doktor/Konsultan (Gartinah et. al., 1999).

49
e. Pelatihan Kerja
Secara umum pelatihan merupakan bagian dari pendidikan yang
menggambarkan suatu proses dalam pengembangan organisasi maupun masyarakat.
Pendidikan dengan pelatihan merupakan suatu rangkaian yang tak dapat dipisahkan
dalam sistem pengembangan sumberdaya manusia, yang di dalamnya terjadi proses
perencanaan, penempatan, dan pengembangan tenaga manusia. Dalam proses
pengembangannya diupayakan agar sumberdaya manusia dapat diberdayakan secara
maksimal, sehingga apa yang menjadi tujuan dalam memenuhi kebutuhan hidup
manusia tersebut dapat terpenuhi.
Moekijat (2000) juga menyatakan bahwa “pelatihan adalah suatu bagian
pendidikan yang menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan
keterampilan diluar sistem pendidikan yang berlaku, dalam waktu yang relatif singkat
dan dengan metode yang lebih mengutamakan praktek daripada teori.
Alex S. Nitisemito (2006) mengungkapkan tentang tujuan pelatihan sebagai
usaha untuk memperbaiki dan mengembangkan sikap, tingkah laku dan pengetahuan,
sesuai dari keinginan individu, masyarakat, maupun lembaga yang bersangkutan.
Dengan demikian pelatihan dimaksudkan dalam pengertian yang lebih luas, dan tidak
terbatas sematamata hanya untuk mengembangkan keterampilan dan bimbingan saja.
Pelatihan diberikan dengan harapan individu dapat melaksanakan pekerjaannya
dengan baik. Seseorang yang telah mengikuti pelatihan dengan baik biasanya akan
memberikan hasil pekerjaan lebih banyak dan baik pula dari pada individu yang tidak
mengikuti pelatihan.
Dengan demikian, kegiatan pelatihan lebih ditekankan pada peningkatan
pengetahuan, keahlian/keterampilan (skill), pengalaman, dan sikap peserta pelatihan
tentang bagaimana melaksanakan aktivitas atau pekerjaan tertentu. Hal ini sejalan
dengan pendapat Henry Simamora (1995) yang menjelaskan bahwa pelatihan
merupakan serangkaian aktivitas yang dirancang untuk meningkatkan keahlian,
pengetahuan, pengalaman ataupun perubahan sikap seorang individu atau kelompok
dalam menjalankan tugas tertentu.

50
f. Struktur organisasi menurut Nursalam (2014)
1) Peran sebagai kepala ruangan
Fungsi:
a) Menentukan standar pelaksanaan kerja
b) Memberi pengarahan kepada ketua dan anggota tim
c) Supervisi dan evaluasi tugas staf.
Uraian Tugas:
a) Perencanaan:
(1) Menunjuk ketua tim yang bertugas di kamar masing-masing
(2) Mengikuti serah terima pasien dari shift sebelumnya
(3) Mengidentifikasi tingkat ketergantungan pasien
(4) Mengidentifikasi jumlah perawat yang dibutuhkanberdasarkan aktifitas
dan kebutuhan pasien
(5) Merencanakan metode penugasan dan penjadwalan staf
(6) Merencanakan strategi pelaksanaan asuhan keperawatan
(7) Merencanakan kebutuhan logistik dan fasilitas ruangan kelolaan
(8) Melakukan pelaporan dan pendokumentasian
b) Pengorganisasian dan ketenagaan:
(1) Merumuskan metode penugasan keperawatan
(2) Merumuskan tujuan dari metode penugasan keperawatan
(3) Merumuskan rincian tugas ketua tim dan anggota tim secara jelas
(4) Membuat rentang kendali diruang rawat
(5) Mengatur dan mengendalikan tenaga keperawatan, misal: membuat roster
dinas, mengatur tenaga yang ada setiap hari sesuai dengan jumlah dan
kondisi pasien
(6) Mengatur dan mengendalikan pelaksanaan asuhan keparawatan dalam
bentuk diskusi, bimbingan dan penyampaian informasi
(7) Mengatur dan mengendalikan logistik dan fasilitas ruangan;
(8) Mengatur dan mengendalikan situasi lahan praktek
(9) Mendelegasikan tugas kepada ketua tim
(10) Melakukan koordinasi dengan tim kesehatan lain
(11) Melakukan pelaporan dan pendokumentasian.

51
c) Pengarahan:
(1)Memberi pengarahan tentang penugasan kepada ketua tim
(2)Memberikan pengarahan kepada ketua tim tentang pelaksanaan asuhan
keperawatan dan fungsi-fungsi manajemen
(3)Menginformasikan hal-hal yang dianggap penting dan berhubungan dengan
asuhan keperawatan pasien
(4)Memberikan motivasi dalam meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan
sikap
(5) Melalui supervisi:
(a) Supervisi langsung terhadap pelaksanaan asuhan keperawatan melalui
pengamatan sendiri atau laporan langsung secara lisan dari ketua tim;
(b) Supervisi tidak langsung dengan cara mengecek, membaca dan
memeriksa rencana keperawatan serta catatan yang dibuat selama dan
sesudah proses keperawatan dilaksanakan
(c) Memperbaiki, mengatasi kelemahan atau kendala yang terjadi pada
saat itu juga.
(d) Membimbing bawahan yang kesulitan dalam melaksanakan tugasnya;
(e) Memberi pujian kepada bawahan yang melaksanakan tugas dengan
baik
(f) Memberi teguran kepada bawahan yang membuat kesalahan
(g) Melibatkan bawahan sejak awal hingga akhir kegiatan
(h) Melakukan pelaporan dan pendokumentasian.
d) Pengawasan:
Melalui komunikasi: mengawasi dan berkomunikasi langsung dengan ketua
tim maupun anggota tim/ pelaksana mengenai asuhan keperawatan yang
diberikan secara langsung kepada pasien
(1)Melalui evaluasi: mengevaluasi upaya/ kerja ketua tim dan anggota tim/
pelaksana dan membandingkan dengan peran masing-masing serta dengan
rencana keperawatan yang telah disusun
(2)Memberi umpan balik kepada ketua tim
(3)Mengatasi masalah dan menetapkan upaya tindak lanjut
(4)Pengendalian logistik dan fasilitas ruangan

52
(5)Memperhatikan aspek etik dan legal dalam pelayanan keperawatan
(6)Melakukan pelaporan dan pendokumentasian.
(7)Gaya kepemimpinan yang bisa diterapkan: demokratik, otokratik, pse
udo demokartik, situasional, dll
(8)Peran manajerial: informasional, interpersonal, decisional.
2) Peran sebagai ketua tim
Fungsi:
a) Membuat perencanaan berdasarkan tugas dan kewenangannya yang
didelegasikan oleh kepala ruangan
b) Membuat penugasan, supervisi dan evaluasi kinerja anggota tim/pelaksana
c) Mengetahui kondisi pasien dan dapat menilai kebutuhan pasien
d) Mengembangkan kemampuan anggota tim/pelaksana
e) Menyelenggarakan konferensi
Uraian Tugas:
a) Perencanaan:
(1)Mengikuti serah terima pasien dari shift sebelumnya bersama kepala
ruangan
(2) Bersama kepala ruangan melakukan pembagian tugas untuk anggota
tim/pelaksana
(3)Menyusun rencana asuhan keperawatan
(4)Menyiapkan keperluan untuk pelaksanaan asuhan keperawatan
(5)Memberi pertolongan segera pada pasien dengan masalah kedaruratan
(6)Melakukan ronde keperawatan bersama kepala ruangan
(7)Mengorientasikan pasien baru
(8)Melakukan pelaporan dan pendokumentasian
b) Pengorganisasian dan ketenagaan:
(1) Merumuskan tujuan dari metode penugasan keperawatan tim
(2) Bersama kepala ruangan membuat rincian tugas untuk anggota
tim/pelaksana sesuai dengan perencanaan terhadap pasien yang menjadi
tanggung jawabnya dalam pemberian asuhan keperawatan
(3) Melakukan pembagian kerja anggota tim/ pelaksana sesuai dengan tingkat
ketergantungan pasien

53
(4) Melakukan koordinasi pekerjaan dengan tim kesehatan lain
(5) Mengatur waktu istirahat untuk anggota tim/ pelaksana
(6)Mendelegasikan tugas pelaksanaan proses keperawatan kepada anggota
tim/pelaksana
(7)Melakukan pelaporan dan pendokumentasian.
c) Pengarahan:
(1) Memberi pengarahan tentang tugas setiap anggota tim/ pelaksana
(2) Memberikan informasi kepada anggota tim/ pelaksana yang berhubungan
dengan asuhan keperawatan
(3) Melakukan bimbingan kepada anggota tim/ pelaksana yang berhubungan
dengan asuhan keperawatan
(4) Memberi pujian kepada anggota tim/ pelaksana yang melaksanakan
tugasnya dengan baik, tepat waktu, berdasarkan prinsip, rasional dan
kebutuhan pasien
(5) Memberi teguran kepada anggota tim/pelaksana yang melalaikan tugas atau
membuat kesalahan
(6) Memberi motivasi kepada anggota tim/pelaksana
(7) Melibatkan anggota tim/ pelaksana dari awal sampai dengan akhir kegiatan
(8) Melakukan pelaporan dan pendokumentasian.
d) Pengawasan:
(1) Melalui komunikasi: mengawasi dan berkomunikasi langsung dengan
anggota tim/ pelaksana asuhan keperawatan kepada pasien
(2) Melalui supervisi: melihat/ mengawasi pelaksanaan asuhan keperawatan
dan catatan keperawatan yang dibuat oleh anggota tim/ pelaksana serta
menerima/ mendengar laporan secara lisan dari anggota tim/pelaksana
tentang tugas yang dilakukan
(3) Memperbaiki, mengatasi kelemahan atau kendala yang terjadi pada saat itu
juga
(4) Melalui evaluasi:
(a) Mengevaluasi kinerja dan laporan anggota tim/ pelaksana dan
membandingkan dengan peran masing-masing serta dengan rencana
keperawatan yang telah disusun

54
(b) Penampilan kerja anggota tim/ pelaksana dalam melaksanakan tugas
(c) Upaya peningkatan kemampuan, keterampilan dan sikap.
(5) Memberi umpan balik kepada anggota tim/ pelaksana
(6) Mengatasi masalah dan menetapkan upaya tindak lanjut
(7) Memperhatikan aspek etik dan legal dalam pelaksanaan asuhan
keperawatan.
(8) Melakukan pelaporan dan pendokumentasian.
(9) Gaya kepemimpinan yang bisa diterapkan: demokratik, otokratik, pseudo
demokartik, situasional, dll
(10) Peran manajerial: informasional, interpersonal, decisional.
3) Peran sebagai perawat pelaksana:
a) Perencanaan:
(1)Bersama kepala ruang dan ketua tim mengadakan serah terima tugas;
(2)Menerima pembagian tugas dari ketua tim
(3)Bersama ketua tim menyiapkan keperluan untuk pelaksanaan asuhan
keperawatan
(4)Mengikuti ronde keperawatan bersama kepala ruangan
(5)Menerima pasien baru
(6)Melakukan pelaporan dan pendokumentasian
b) Pengorganisasian dan ketenagaan:
(1) Menerima penjelasan tujuan dari metode penugasan keperawatan tim;
(2) Menerima rincian tugas dari ketua tim sesuai dengan perencanaan terhadap
pasien yang menjadi tanggung jawabnya dalam pemberian asuhan
keperawatan
(3) Melaksanakan tugas yang diberikan oleh ketua tim
(4) Melaksanakan koordinasi pekerjaan dengan tim kesehatan lain
(5) Menyesuaikan waktu istirahat dengan anggota tim/ pelaksana lainnya
(6) Melaksanakan asuhan keperawatan
(7) Menunjang pelaporan dan pendokumentasian tindakan keperawatan yang
dilakukan.

55
c) Pengarahan:
(1)Menerima pengarahan dan bimbingan dari ketua tim tentang tugas setiap
anggota tim/ pelaksana
(2)Menerima informasi dari ketua tim berhubungan dengan asuhan
keperawatan
(3)Menerima pujian dari ketua tim
(4)Dapat menerima teguran dari ketua tim apabila melalaikan tugas atau
membuat kesalahan
(5)Mempunyai motivasi terhadap upaya perbaikan
(6)Terlibat aktif dari awal sampai dengan akhir kegiatan
(7)Menunjang pelaporan dan pendokumentasian.
d) Pengawasan:
(1) Menyiapkan dan menunjukkan bahan yang diperlukan untuk proses
evaluasi serta terlibat aktif dalam mengevaluasi kondisi pasien
(2) Menunjang pelaporan dan pendokumentasian.

g. Kebutuhan tenaga perawat berdasarkan tingkat ketergantungan pasien


1) Metode Douglas
Klasifikasi Pasien Berdasarkan Tingkat Ketergantungan Dengan Metode Douglas
(2001).
Tabel 2.1 Tingkat Ketergantungan Pasien

No. Klasifikasi dan Kriteria

1 Minimal Care (1-2 jam)


1. Dapat melakukan kebersihan diri sendiri, mandi, ganti pakaian dan
minum
2. Pengawasan dalam ambulasi atau gerakan
3. Observasi Tanda vital setiap shift
4. Pengobatan minimal, status psikologi stabil
5. Persiapan prosedur pengobatan

56
2 Parsial Care (3-4 jam)
1. Dibantu dalam kebersihan diri, makan dan minum, ambulasi
2. Observasi tanda vital tiap 4 jam
3. Pengobatan lebih dari 1 kali
4. Pakai foley kateter
5. Pasang infuse, intake out-put dicatat
6. Pengobatan perlu prosedur
3 Total Care (5-6 jam)
1. Dibantu segala sesuatunya
2. Posisi diatur
3. Observasi tanda vital tiap 2 jam
4. Pakai NG tube
5. Terapi intravena, pakai suction
6. Kondisi gelisah / disorientasi / tidak sadar

2) Perhitungan Tenaga Perawat Menurut Depkes


a) Lossday
( jumlah minggu dalam 1 tahun + cuti+ hari besar) x jumlah perawat yang ada
Jumlah hari kerja efektif 1 tahun

jumlah tenaga keperawatan yang mengerjakan tugas non keperawatan


seperti membuat perincian pasien pulang, kebersihan ruangan, kebersihan
alat makan pasien di perkirakan 25% dari jam pelayanan keperawatan
( jumlah tenaga perawat + lossday ) x 25%
b) Perhitungan tenaga perawat menurut PPNI
TP = (Z x 52 mg) x 7 hr (TT x BOR) x125%
41 mg) x 40 jam/mg
c) BOR
BOR di rumah sakit. Rumus untuk mencari BOR adalah sebagai berikut:
(1) BOR/hari = Jumlah pasien x 100%
TT

57
(2) BOR/bulan = Jumlah pasien dalam 30 hari x 100%
TT x 30 hari
(3) BOR/tahun = Jumlah pasien dalam 1 tahun x 100%
TT x 365

2.8.2 Sarana dan Prasarana (Material/ M2)


a. Lingkungan Fisik
1) Fasilitas fisik lokasi
a) Lokasi unit ini harus dekat dengan fasilitas radiology dan ruang laboratorium
untuk kemudahan dan efisiensi
b) Lokasi juga harus berdekatan dengan ruang emergensi dan dekat dengan unit
perawatan khusus, untuk mengembangkan suatu unit pelayanan terpadu.
2) Ukuran
Ukuran ruangan ditentukan berdasarkan beban kasus dan kompleksitas
rumah sakit. Menurut standar Gudelines for Contraction and Equipment for Hospital
and Medical Vasilities (1992-1993) :
a) Kapasitas ruangan untuk kelas satu maksimum dua pasien, catatan: dalam
konstruksi baru kapasitas ruangan maksimum seharusnya dapat menampung dua
pasien. peraturan sekarang, kapasitas maksimum ruangan menampung sekitar
empat pasien.
b) Dalam konstruksi baru ruang pasien harus mempunyai luas minimal 9,2 m2,
ukuran lantai perbed dan luas area tergantung dari kebijakan RS setempat dan
lahan yang ada, ukuran lantai perbed sama dengan ruas area single bed. Ruang
toilet, kloset, loker, gudang, ruang depan, susunan ruangan seharusnya berukuran
minimal 0,91 m2 termasuk dari sisi dan kaki tempat tidur dan dinding. diruang
multiple bed ukuran lantai minimal 1,22 m2, dalam area multiple bed ruangan
pasien berukuran minimal 80 kaki sama dengan ukuran single bed yaitu 9,29 m2.
c) Ruang operator perawat harus mengarah kesemua ruangan.
d) Dalam konstruksi baru, wastapel harus disediakan di setiap ruangan pasien. letak
wastapel harus berdekatan dengan tempat tidur dan tempat menyuci peralatan.
Toilet harus dirancang untuk satu tempat tidur atau dua tempat tidur
e) Ruang pasien mempunyai jendela pada bagian yang sesuai

58
f) Setiap pasien harus dekat dengan toilet tanpa harus keluar ruangan. satu toilet
diperuntukkan untuk empat tempat tidur atau lebih dari ruang pasien. Toilet
memiliki water closet dan wastapel yang menggunakan pintu double acting
g) Setiap pasien harus terpisah dari lemari pakaian, loker
h) Jika dalam ruangan terdapat banyak tempat tidur diperlukan penghalang untuk
menjaga privasi
i) Untuk ventilasi, ruang oksigen, ruang oksigen, vakum udara dan listrik harus
sesuai dengan standar
3) Desain Ruangan
Tata letak ruang rawat inap harus disesuaikan dengan struktur yang telah
ada, tetapi unit berbentuk melingkar atau persegi empat mungkin yang paling
efisien dengan menempatkan stasiun perawatan di tengah. Desain seperti ini akan
memberikan pengamatan yang maksimal kepada klien. selain itu harus mempunyai
washtafel dan dapat dikombinasikan menjadi ruang rapat dan ruang komunikasi,
serta mempunyai pintu darurat.

2.8.3 Metode (Methode/ M3)


a. Model Penugasan Asuhan Keperawatan
Proses manajeman keperawatan dalam aplikasinya dilapangan berada sejajar
dengan proses keperawatan sehingga keberadaan manajemen keperawatan
dimaksudkan untuk mempermudah proses keperawatan sehingga dapat mengarahkan
keperawatan menuju profesionalisme (Nursalam, 2011). Salah satu sistem pelayanan
keperawatan profesional adalah dengan melaksanakan model asuhan keperawatan
profesional tim yang merupakan suatu metode pemberian asuhan keperawatan dimana
seorang perawat profesional memimpin sekelompok tenaga keperawatan dalam
memberikan asuhan keperawatan kelompok klien melalui upaya kooperatif dan
kolaboratif. Keuntungan dari model asuhan keperawatan profesional tim di antaranya
memungkinkan pelayanan keperawatan yang menyeluruh, mendukung pelaksanaan
proses keperawatan dan memungkinkan komunikasi antar tim sehingga konflik mudah
diatasi dan memberi kepuasan kepada anggota tim. Hal ini diharapkan mampu
meningkatkan kepuasaan bagi pasien, perawat dan tenaga kesehatan lainnya sehingga
tercapai suatu pelayanan yang paripurna (Nursalam, 2014).

59
Konsep Dasar Model Asuhan Keperawatan Profesional (MAKP) Tim. Metode
tim merupakan suatu metode pemberian asuhan keperawatan dimana seorang perawat
profesional memimpin sekelompok tenaga keperawatan dalam memberikan asuhan
keperawatan kelompok klien melalui upaya kooperatif dan kolaboratif ( Douglas,
1999). Model tim didasarkan pada keyakinan bahwa setiap anggota kelompok
mempunyai kontribusi dalam merencanakan dan memberikan asuhan keperawatan
sehingga timbul motivasi dan rasa tanggung jawab perawat yang tinggi sehingga
diharapkan mutu asuhan keperawatan meningkat. Menurut Kron & Gray (1987)
pelaksanaan model tim harus berdasarkan konsep berikut ;
1) Ketua tim sebagai perawat profesional harus mampu menggunakan tehnik
kepemimpinan.
2) Komunikasi yang efektif penting agar kontinuitas rencana keperawatan terjamin.
3) Anggota tim menghargai kepemimpinan ketua tim.
4) Peran kepala ruang penting dalam model tim. Model tim akan berhasil baik bila
didukung oleh kepala ruang.
Metode yang digunakan bila perawat pelaksana terdiri dari berbagai latar
belakang pendidikan dan kemampuannya.Metode ini menggunakan tim yang terdiri
dari anggota yang berbeda- beda dalam memberikan asuhan keperawatan terhadap
sekelompok pasien. Perawat ruangan dibagi menjadi 2 – 3 tim/ group yang terdiri dari
tenaga professional, tehnikal dan pembantu dalam satu grup kecil yang saling
membantu. Dalam penerapannya ada kelebihan dan kelemahannya yaitu (Nursalam,
2007):
1) Kelebihan :
a) Memungkinkan pelayanan keperawatan yang menyeluruh.
b) Mendukung pelaksanakaan proses keperawatan.
c) Memungkinkan komunikasi antar tim sehingga konflik mudah diatasi dan
memberi kepuasan kepada anggota tim.
2) Kelemahan :
a) Komunikasi antar anggota tim terbentuk terutama dalam bentuk konferensi tim,
yang biasanya membutuhkan waktu dimana sulit untuk melaksanakan pada
waktu-waktu sibuk.

60
b) Perawat tidak trampil berlindung pada perawat trampil
Pada dasarnya di dalam Model Tim menurut Kron & Gray (1987) terkandung
dua konsep utama yang harus ada, yaitu :
(1) Kemampuan ini harus dipunyai oleh Ketua Tim, yaitu perawat profesional
(Registered Nurse) yang ditunjuk oleh Kepala Ruangan untuk bertanggung
jawab terhadap sekelompok pasien dalam merencanakan asuhan
keperawatan, merencanakan penugasan kepada anggota tim, melakukan
supervisi dan evaluasi pelayanan keperawatan yang diberikan.
(2) Komunikasi yang efektif. Proses ini harus dilaksanakan untuk memastikan
adanya kesinambungan asuhan keperawatan yang diberikan dalam rangka
memenuhi kebutuhan pasien secara individual dan membantunya dalam
mengatasi masalah. Proses komunikasi harus dilakukan secara terbuka dan
aktif melalui laporan, pre atau post conference atau pembahasan dalam
penugasan, pembahasan dalam merencanakan dan menuliskan asuhan
keperawatan dan mengevaluasi hasil yang telah dicapai.
b. Tanggung Jawab Perawat Dalam Model Asuhan Keperawatan Profesional (MAKP)
Tim
1) Tanggung jawab anggota tim:
a) Memberikan asuhan keperawatan pada pasien di bawah tanggung jawabnya.
b) Bekerjasama dengan anggota tim dan antar tim.
c) Memberikan laporan.
2) Tanggung jawab ketua tim:
a) Membuat perencanaan.
b) Membuat penugasan, supervisi dan evaluasi.
c) Mengenal/ mengetahui kondisi pasien dan dapat menilai tingkat kebutuhan
pasien.
d) Mengembangkan kemampuan anggota.
e) Menyelenggarakan konferensi.
3) Tanggung jawab kepala ruang:
a) Perencanaan
b) Menunjuk ketua tim yang akan bertugas di ruangan masing- masing.
c) Mengikuti serah terima pasien di shift sebelumnya

61
d) Mengidentifikasi tingkat ketergantungan klien: gawat, transisi dan persiapan
pulang bersama ketua tim.
e) Mengidentifikasi jumlah perawat yang dibutuhkan berdasarkan aktifitas dan
kebutuhan klien bersama ketua tim, mengatur penugasan/ penjadwalan.
f) Merencanakan strategi pelaksanaan keperawatan.
g) Mengikuti visite dokter untuk mengetahui kondisi, patofisiologis, tindakan medis
yang dilakukan, program pengobatan dan mendiskusikan dengan dokter tentang
tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien.
h) Mengatur dan mengendalikan asuhan keparawatan:
(1) Membimbing pelaksanaan asuhan keperawatan.
(2) Membimbing penerapan proses keperawatan dan menilai asuhan
keperawatan.
(3) Mengadakan diskusi untuk pemecahan masalah.
(4) Memberikan informasi kepada pasien atau keluarga yang baru masuk RS.
(5) Membantu mengembangkan niat pendidikan dan latihan diri.
(6) Membantu membimbing terhadap peserta didik keperawatan.
(7) Menjaga terwujudnya visi dan misi keperawatan di rumah sakit.
i) Pengorganisasian
(1) Merumuskan metode penugasan yang digunakan
(2) Merumuskan tujuan metode penugasan.
(3) Membuat rincian tugas tim dan anggota tim secara jelas.
(4) Membuat rentang kendali kepala ruangan membawahi 2 ketua tim dan
ketua tim membawahi 2 – 3 perawat.
(5) Mengatur dan mengendalikan tenaga keperawatan: membuat proses dinas,
mengatur tenaga yang ada setiap hari dan lain- lain.
(6) Mengatur dan mengendalikan logistik ruangan.
(7) Mengatur dan mengendalikan situasi tempat praktik.
(8) Mendelegasikan tugas kepala ruang tidak berada di tempat, kepada ketua
tim.
(9) Memberi wewenang kepada tata usaha untuk mengurus administrasi
pasien.
(10) Identifikasi masalah dan cara penanganannya.

62
j) Pengarahan
(1) Memberikan pengarahan tentang penugasan kepada ketua tim.
(2) Memberikan pujian kepada anggota tim yang melaksanakan tugas dengan
baik.
(3) Memberikan motivasi dalam peningkatan pengetahuan, keterampilan dan
sikap.
(4) Menginformasikan hal – hal yang dianggap penting dan berhubungan
dengan asuhan keperawatan pasien.
(5) Melibatkan bawahan sejak awal hingga akhir kegiatan.
(6) Membimbing bawahan yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan
tugasnya.
(7) Meningkatkan kolaborasi dengan anggota tim lain.
c. Timbang Terima
Profesionalisme dalam pelayanan keperawatan dapat dicapai dengan
mengoptimalkan peran dan fungsi perawat, terutama peran dan fungsi mandiri perawat.
Hal ini dapat diwujudkan dengan baik melalui komunikasi yang efektif antara perawat
maupun dengan tim kesehatan lainnya. Salah satu bentuk komunikasi yang harus
ditingkatkan efektifitasnya adalah saat penggantian shift, yaitu timbang terima pasien.
Timbang terima pasien (operan) merupakan teknik atau cara untuk
menyampaikan dan menerima suatu laporan yang berkaitan dengan pasien. Timbang
terima pasien harus dilakukan seefektif mungkin dengan menjelaskan secara singkat
jelas dan komplit tentang tindakan mandiri perawat, tindakan kolaboratif yang sudah
dilakukan atau belum dan perkembangan pasien saat itu. Informasi yang disampaikan
harus akurat sehingga kesinambungan asuhan keperawatan dapat berjalan dengan
sempurna. Timbang terima dilakukan oleh perawat shift sebelumnya kepada perawat
shift setelahnya secara tulisan dan lisan (Nursalam,2014).

63
Tabel 2.2 Mekanisme kegiatan timbang terima
Tahap Kegiatan Waktu Tempat Pelaksanaan
Pra 1. Kedua kelompok dinas sudah 10 Nurse Kepala ruang, ketua TIM,
Timbang siap dan berkumpul di Ners menit station perawat pelaksanan
Terima Station
2. Kepala ruang mengecek
kesiapan timbang terima setiap
PP
3. Kelompok yang akan bertugas
menyiapkan catatan ( Work
Sheet), PP yang akan
mengoperkan, menyiapkan
buku timbang terima
4. Kepala ruangan membuka
acara timbang terima
dilanjutkan dengan doa
Pelaksan PP dinas pagi melakukan timbang 20 Nurse Kepala Ruang, Ketiua Tim,
aan terima kepada PP dinas sore. Hal- menit Stasion perawat Pelaksana
timbang hal yang perlu disampaikan PP
terima pada saat timbang terima adalah :
1. Identitas klien dan diagnosa
medis termasuk hari keberapa
atau post op hari keberapa.
2. Masalah keperawatan
3. Data yang mendukung
4. Tindakan keperawatan yang
sudah atau yang belum
dilaksanakan
5. Rencana umum yang perlu
dilakukan : pemeriksaaan
penunjang, konsul, prosedur
tindakan tertentu.

64
6. Lama timbang terima klien Disamping
kurang lebih 5 menit, kecuali tempat
kondisi khusus yang tidur klien
memerlukan keterangan yang
lebih rinci
Post Klarifikasi hasil validasi data oleh 5 menit Nurse Kepala Ruang, Ketiua Tim,
timbang PP sore : Station perawat Pelaksana
terima 1. Penyampaian alat-alat
kesehatan
2. Laporan timbang terima
ditanda tangani oleh kedua PP
dan mengetahui Kepala
Ruangan (kalau pagi saja )
3. Reward kepada kepala ruang
terhadap perawat yang akan
dan selesai bertugas
4. Penutup oleh kepala ruangan

Nursalam, 2007

65
d. Supervisi keperawatan
Supervisi dalam praktik keperawatan profesional adalah suatu proses pemberian
berbagai sumber yang dibutuhkan perawat untuk menyelesaikan tugas-tugas dalam
mencapai tujuan organisasi. Supervisi dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu tugas
teknis dan manajerial. Hampir semua tugas teknis dapat didelegasikan oleh supervisor
kepada stafnya. Sementara, tidak semua tugas manajerial dapat didelegasikan karena
memerlukan supervisi dan pemberian wewenang. Misalnya, staf dapat menyusun suatu
perencanaan, anggaran pembelian, dan kegiatan yang lainnya tetapi tugas untuk
membuat persetujuan, rekomendasi, pelaksanaan masih merupakan hak dan wewenang
seorang supervisor (Nursalam,2014)
e. Ronde Keperawatan
Ronde keperawatan merupakan suatu sarana bagi perawat untuk membahas
masalah keperawatan dengan melibatkan pasien dan seluruh tim keperawatan, konsultan
keperawatan serta divisi terkait (medis, gizi, rehabilitasi dan medis lainnya). Ronde
keperawatan juga merupakan suatu proses belajar bagi perawat dengan harapan dapat
meningkatkan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor. Kepekaan dan cara berfikir
kritis perawat akan tumbuh dan terlatih melalui suatu transfer pengetahuan dan
pengaplikasian teori secara langsung pada kasus nyata. Dengan pelaksanaan ronde
keperawatan yang berkesinambungan, diharapkan dapat meningkatkan kemampuan
perawat ruangan untuk berfikir secara kritis dalam peningatan perawatan secara
profesional. Dalam pelaksanaan ronde keperawatan akan terlihat kemampuan perawat
dalam melaksanakan kerja sama antar tim kesehatan yang lain guna mengatasi masalah
kesehatan yang terjadi pada pasien (Nursalam,2014)
f. Discharge Planning
Asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien dilakukan secara
berkesinambungan dimulai saat pasien masuk rumah sakit sampai dengan pasien pulang.
Rentang kesinambungan asuhan keparawatan merupakan keperawatan yang selalu
dibutuhkan pasien dimanapun pasien berada. Rentang keparawatan yang kontinue
(continues of care) adalah integrasi sistem keperawatan yang berfokus kepada pasien
terdiri atas mekanisme pelayanan keperawatan yang membimbing dan mengarahkan
pasien sepanjang waktu. Oleh karena itu diperlukan adanya perencanaan pasien pulang
(discharge planning), yang bertujuan untuk meningkatkan status kesehatan pasien secara

66
signifikan dan menurunkan biaya-biaya yang diperlukan untuk rehabalitas lanjut.
Dengan adanya discharge planning, pasien diharapkan dapat mempertahankan
kesehtannya dan membantu pasien untuk lebih bertanggung jawab terhadap kesehantan
mereka sendiri (Nursalam, 2014).
Ruang Mawar sudah menyediakan sarana discharge planning seperti discharge
planning yang berisi identitas pasien, perencanaan perawatan dan jadwal kontrol yang
terlampir pada status pasien. Discharge planning yang dilakukan saat ini sudah
terlaksana dengan baik, dan saat pasien pulang perawat mengedukasi dan memberikan
surat kontrolnya. Discharge planning yang dilakukan segera setelah pasien masuk rumah
sakit hingga pasien pulang bertujuan diharapkan pasien dan keluarga memiliki kesiapan
fisik, psikologis, dan sosial terhadap kesehatannya, tercapainya kemandirian pasien dan
keluarga dan terlaksananya perawatan pasien yang berkelanjutan. Selebihnya discaharge
planning diharapkan dapat mendukung upaya mengurangi angka kekambuhan dan
komplikasi. Dengan demikian dalam discharge planning card dibutuhkan adanya
informasi yang berfokus pada masalah pasien, sehingga dalam discharge planning card
perlu disertakan informasi mengenai penyakit, rehabilitasi, pencegahan, perawatan rutin
dan cara mengantisipasi masalah yang dapat terjadi.
g. Dokumentasi keperawatan
Dokumentasi adalah catatan otentik yang dapat dibuktikan atau dijadikan bukti
dalam persoalan hukum. Komponen dari dokumentasi mencangkup aspek komunikasi,
proses keperawatan, dan standart keperawatan. Manfaat dan pentingnya dokumentasi
keperawatan terkadang sering terabaikan sebagian besar perawat, manfaat dan
pentingnya dokementasi keperawatan antara lain dari segi hukum , karena semua catatan
informasi tentang pasien merupakan dokumentasi yang resmi dan bernilai hukum, oleh
karena itu data harus diidentifikasi secara lengkap, jelas, objektif dan ditandatangani
oleh perawat dan tenaga kesehatan. Dalam hal ini perlu dicantumkan waktu dan
sebaliknya dihindari adanya penulisan yang dapat menimbulkan interpretasi yang salah
(Nursalam,2014)
h. Program pengendalian indikator mutu
Peningkatan mutu melakukan prioritas utama di semua rumah sakit. Upaya
tersebut dilaksanakan melalui pembangunan sarana, prasarana pengadaan peralatan dan
ketenagakerjaan serta perangkat lunak lainnya, sejalan dengan pembangunan rumah
67
sakit pada umumnya. Namun demikian, disadari pula masih banyak kendala yang
dihadapi, terutama yang berkaitan dengan standart kebutuhan dan tuntutan sistem
pelayanan yang masih belum selaras dengan perkembangan iptek yang semakin besar.
Dengan semakin meningkatnya pendidikan dan keadaan social ekonomi
masyarakatmulai cenderung menuntut pelayanan umum yang lebih baik, lebih ramah
dan lebih bermutu termasuk pula pelayanan kesehatan.
i. Program pengendalian indikator klinik
Indikator klinik merupakan suatu ukuran kwantitas yang digunakan sebagai
pedoman untuk mengukur dan mengevaluasi kwaitas asuhan yang diberikan kepada
pasien dan dampak terhadap pelayanan Pengendalian indikator klinik merupakan salah
satu program berada dibawah naungan Tim Peningkatan Mutu dan Kesehatan Pasien
(PMKP).(Depkes RI, 2009).
j. Pelaksanaan SOP
Standart operasional prosedur adalah suatu standar / pedoman tertulis yang
dipergunakan untuk mendorong dan menggerakkan suatu kelompok untuk mencapai
tujuan organisasi. Standar operasional prosedur merupakan tatacara atau tahapan yang
dibakukan dan yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja tertentu (Perry
dan Potter, 2006).
Standar operasioal prosedur sangat diperlukan dalam pelayanan keperawatan.
Standar operasioal prosedur sangat membantu perawat untuk mencapai asuhan yang
berkualitas. Tingkatan standar terbagi menjadi dua yaitu standar minimum dan standar
optimum. Standar minimum harus dicapai oleh perawat, sementara standar optimum
adalah suatu keadaan ideal yang ingin dicapai. Ada empat ketentuan standar yaitu harus
tertulis, mengandung komponen struktur, proses, dan outcomes , berorientasi pada
pelanggan serta disetujui dan disahkan oleh yang berwenang. Penggunaan standar
terutama pada tiga proses evaluasi, menilai diri sendiri, inspeksi, dan akreditasi.
Program 6 sasaran keselamatan pasien
Berdasarkan sasaran keselamatan pasien (SKP) yang dikeluarkan oleh standart
akreditasi rumah sakit edisi 1 (kemenkes, 2011) dan CCI akreditasi, maka sasaran
tersebut meliputi 6 elemen berikut.
1) Sasaran I : ketepatan identifikasi pasien
2) Sasaran II : peningkatan komunikasi yang efektif
68
3) Sasaran III : peningkatan keamanan obat yang perlu di waspadai (high – alert
medications)
4) Sasaran IV : kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi
5) Sasaran V : pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan kesehatan
6) Sasaran VI : pengurangan resiko pasien jatuh.

2.8.4 Sumber Keuangan (Money/ M4)


Merupakan salah satu unsur yang tidak dapat diabaikan. Uang merupakan alat
tukar dan alat pengukur nilai. Besar-kecilnya hasil kegiatan dapat diukur dari jumlah uang
yang beredar dalam perusahaan. Oleh karena itu uang merupakan alat (tools) yang penting
untuk mencapai tujuan karena segala sesuatu harus diperhitungkan secara rasional. Hal ini
akan berhubungan dengan berapa uang yang harus disediakan untuk membiayai gaji
tenaga kerja, alat-alat yang dibutuhkan dan harus dibeli serta berapa hasil yang akan
dicapai dari suatu organisasi (Simamora,2006)

2.8.5 Sumber Mutu (Quality / M5)


a. Pelayanan kesehatan
Pelayanan adalah produk yang dihasilkan oleh suatu
organisasi dapat menghasilkan barang atau jasa. Jasa diartikan
juga sebagai pelayanan karena jasa itu menghasilkan pelayanan (Supranto, 2011).
Kotler(1997) dalam Tjiptono (2014),menjelaskan karakteristik dari pelayan
an sebagai berikut :
1) Intangibility (tidak berwujud), yaitu suatu pelayanan mempunyai sifat tidak
berwujud, tidak dapat dirasakan atau dinikmati, tidak dapat dilihat, didengar dan
dicium sebelum dibeli oleh konsumen. Misalnya
: pasien dalam suatu rumah sakit akan merasakan bagaimana
pelayanan keperawatan yang diterimanya setelah menjadi pasien rumah sakit
tersebut.
2) Inseparibility (tidak dapat dipisahkan), yaitu pelayanan yang
dihasilkan dan dirasakan pada waktu bersamaan dan apabila
dikehendaki oleh seseorang untuk diserahkan kepada pihak lainnya, dia akan
tetap merupakan bagian dari pelayanan tersebut. Dengan kata lain,
69
pelayanan dapat diproduksi dan dikonsumsi/dirasakan secara
bersamaan. Misalnya : pelayanan keperawatan yang diberikan pada pasien
dapat langsung dirasakan kualitas pelayanannya.
3) Variability (bervariasi), yaitu pelayanan bersifat sangat bervariasi
karena merupakan non standardized dan senantiasa mengalami
perubahan tergantung dari siapa pemberi pelayanan, penerima
pelayanan dan kondisi di mana serta kapan pelayanan tersebut
diberikan. Misalnya : pelayanan yang diberikan kepada pasien di ruang rawat
inap kelas VIP berbeda dengan kelas tiga.
4) Perishability (tidak tahan lama), dimana pelayanan itu merupakan komoditas
yang tidak tahan lama dan tidak dapat disimpan. Misalnya :
jam tertentu tanpa ada pasien di ruang perawatan, maka pelayanan
yang biasanya terjadi akan hilang begitu saja karena tidak dapat disimpan
untuk dipergunakan lain waktu.
Definisi pelayanan kesehatan menurut Depkes RI (2012) adalah setiap upaya
yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit
serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan ataupun
masyarakat.
Menurut Donabedian (1988) aspek pelayanan kesehatan adalah sebagai
berikut:
a) Struktur, sarana fisik, perlengkapan, dan perangkat organisasi dan manajemen
mulai dari keuangan, SDM, dan sumber daya lainnya
b) Proses, semua kegiatan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan mulai dari
dokter, perawat, apoteker dan professional lainnya dalam berinteraksi dan
berkomuniksi dengan klien.
c) Output, hasil akhir kegiatan dan pelayanan professional yang telah
diberikan kepada klien dalam meningkatkan derajat kesehatan dan
kepuasan klien.
Berdasarkan kebijakan Depkes RI (2011), mutu pelayanan keperawatan
adalah pelayanan kepada pasien yang berdasarkan standar keahlian untuk memenuhi
kebutuhan dan keinginan pasien, sehingga pasien dapat memperoleh kepuasan dan
70
akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan kepada rumah sakit, serta dapat
menghasilkan keunggulan kompetitif melalui pelayanan yang bermutu, efisien,
inovatif dan menghasilkan customer responsiveness.
Standar praktek keperawatan telah disahkan oleh MENKES Rl dalam Surat
Keputusan Nomor : 660/Menkes/SK/IX/2011. Kemudian diperbaharui dan disahkan
berdasarkan SK DIRJEN YANMED Rl No : 00.03.2.6.7637, tanggal 18 Agustus
2011. Kemudian pada tahun 1996,DPP PPNI menyusun standar profesi keperawatan
SK No: 03/DPP /SKI/1996 yang terdiri dari standar pelayanan keperawatan, praktek
keperawatan, standar pendidikan keperawatan dan standar pendidikan keperawatan
berkelanjutan.
Mutu pelayanan keperawatan dapat merupakan suatu pelayanan yang
komprehensif meliputi bio-psiko-sosio-spiritual yang diberikan oleh perawat
professional kepada pasien (individu, keluarga masyarakat) baik sakit maupun sehat
dimana perawat yang diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien dan standart
pelayanan. Namun pada dasarnya, definisi mutu pelayanan keperawatan itu dapat
berbeda-beda tergantung dari sudut pandang mana mutu tersebut dilihat
(Rakhmawati, 2010).
Berbagai sudut pandang mengenai definisi mutu pelayanan keperawatan
tersebut diantaranya yaitu:
a) Sudut Pandang Pasien (Individu, Keluarga, Masyarakat)
Meishenheimer (1989) menjelaskan bahwa pasien atau keluarga pasien
mendefinisikan mutu sebagai adanya perawat atau tenaga kesehatan yang
memberikan perawatan. Sedangkan Wijoyo (2013) menjelaskan mutu pelayanan
berarti suatu empati,respek dan tanggap akan kebutuhannya, pelayanan harus
sesuai dengan kebutuhan mereka, diberikan dengan cara yang ramah pada waktu
mereka berkunjung. Pada umumnya mereka ingin pelayanan yang mengurangi
gejala secara efektif dan mencegah penyakit,
sehingga pasien beserta keluarganya sehat dan dapat melaksanakan tugas
mereka sehari-hari tanpa gangguan fisik.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat dikatakan bahwa mutu
pelayanan keperawatan didefinisikan oleh pasien (individu, keluarga atau
masyarakat) sebagai pelaksanaan keperawatan yang sesuai dengan kebutuhannya
71
yang berlandaskan rasa empati, menghargai, tanggap dan keramahan dari perawat
serta kemampuan perawat dalam memberikan
pelayanan. Selain itu melalui pelayanan keperawatan tersebut, juga dapat
menghasilkan peningkatan derajat kesehatan pasien.
b) Sudut Pandang Perawat
Mutu berdasarkan sudut pandang perawat sering diartikan dengan
memberikan pelayanan keperawatan sesuai yang dibutuhkan pasien agar menjadi
mandiri atau terbebas dari sakitnya (Meishenheimer, 1989). Mutu pelayanan
berarti bebas melakukan segala sesuatu secara professional untuk meningkatkan
derajat kesehatan pasien dan masyarakat sesuai dengan ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang maju, mutu pelayanan yang baik dan memenuhi standart
yang baik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perawat sebagai tenaga
professional yang memberikan pelayanan keperawatan terhadap pasien
mendefinisikan mutu pelayanan keperawatan sebagai kemampuan melakukan
asuhan keperawatan yang professional tehadap pasien (individu, keluarga,
masyarakat) dan sesuai standart keperawatan, perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi (Wijono, 2013).

72

Anda mungkin juga menyukai