Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Belacan atau sering juga disebut terasi merupakan bumbu khas yang ada di

Indonesia. Daerah penghasil terasi di Indonesia sangatlah banyak, contohnya di

Pulau Sumatera saja ada lebih dari dua Kabupaten/kota seperti di Langsa, Aceh

Tamiang, dan Langkat. Terasi saat ini sangat diminati oleh semua kalangan

masyarakat, terbukti terasi saat ini sangat mudah dijumpai di restoran.

Terasi banyak disukai orang karena memiliki aroma dan cita rasa yang khas.

Berdasarkan bahan bakunya, terasi yang sering diperdagangkan di pasar ada

dua jenis, yaitu terasi udang dan ikan. Walaupun demikian di tiap-tiap daerah

pasti memiliki ciri khasnya tersendiri. Terasi bisa awet hingga berbulan-bulan

hanya di dalam suhu ruangan.

Terasi biasa di buat menjadi sambal untuk lalap-lalapan seperti menimun,

kol, selada, dan buncis rebus. Di Kota Lhokseumawe masyarakatnya lebih

mengenal terasi dari Langsa dibandingkan dengan terasi yang berasal dari Aceh

tamiang. Padahal terasi yang berasal dari Kota Langsa mengambil bahan baku

dari Aceh tamiang.

1
2. Rumusan Masalah

a. Mengapa terasi bisa berpasir?

b. Mengapa terasi bisa pahit?

c. Mengapa masyarakat Lhokseumawe sebahagian besar hanya

mengetahui terasi yang lezat berasal dari Langsa?

3. Tujuan

a. Mengetahui masalah terasi berpasir.

b. Mengetahui penyebab rasa pahit pada terasi.

c. Meyakinkan masyarakat Lhokseumawe bahwa terasi yang lezat

tidak hanya berasal dari Langsa.

2
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Terasi

Terasi atau belacan adalah bumbu masak yang dibuat

dari ikan atau udang rebon yang difermentasikan, berbentuk

seperti adonan atau pasta dan berwarna hitam-coklat, kadang ditambah

dengan bahan pewarna sehingga menjadi kemerahan. Terasi merupakan

bumbu penting di kawasan asia tenggara dan china selatan. Terasi memiliki

bau yang tajam dan biasanya digunakan untuk membuat sambal terasi,

tetapi juga ditemukan dalam berbagai resep tradisional Indonesia. (dalam

Wikipedia:2016:1)

2. Sejarah Terasi

Alkisah dan awal mula TERASI ditemukan pada abad ke-14, pada

waktu itu, Pangeran Walangsungsang beserta istri dan adiknya, yang

bernama Nyi Mas Endang Ayu dan Nyi Mas Rarasantang, berkunjung ke

sebuah pedukuhan (penduduknya di bawah Kelurahan atau Desa), yakni

Pedukuhan Lemah Wungkuk dan menemukan sebuah rumah yang dihuni

seorang kakek tua, yang bernama Ki Gedeng Alang-alang. Pangeran

Walangsungsang beserta istri dan adiknya pun, beristirhat disana.

Dan selama tinggal, Pangeran Walangsunsang atau biasa dikenal

Pangeran Cakrabuana memasuki hutan rawa belukar menebangi pepohonan

besar dan kecil tiap hari dan hutan menjadi gundul, ia tanami palawija dan

menjadi perkebunan.

3
Kemudian si kakek Tua melihat hutan yang tadinya banyak pohon

lebat, sekarang sudah menjadi perkebunan, dengan tanaman palawija dan si

kakek pun sangat senang sekali.

Cakrabuana lalu disuruh menangkap ikan dan udang rebon. Ia diberi

jala, alat penangkap ikan dan perahu kecil. Tiap malam ia pergi menangkap

ikan dan udang rebon (ebi) untuk memenuhi kebutuhan hidup selama

tinggal di pedukuhan.

Singkat cerita, Raja Padjajaran yang pada waktu itu dipimpin oleh

Prabu Siliwangi mendengar ada pedukuhan yang warganya berkebun dan

menangkap ikan dan udang rebon. Karena wilayah tersebut masih dalam

kekuasaannya, Sang Prabu segera memanggil Ki Dipati Palimanan, Gedeng

Kiban namanya.

Sang Prabu berkata, “Hai wilayah di Palimanan sekarang bawahan

engkau, tanah pantai yang jadi pemukiman, banyak orang yang berkebun

dan ada nelayan yang menangkap ikan dan udang rebon, aku lebih terasih

kepada tumbukan ikan rebon, agar diperiksa sampai jelas dan ditetapkan

setiap tahun pedukuhan tersebut harus bayar upeti dengan sepikul bubukan

rebon yang sudah halus dalam bentuk gelondongan,” katanya.

Lalu ki Dipati mengucap sandika (siap menjalankan perintah),

kemudian meninggalkan ruang sidang dan memanggil tujuh orang mantri

(ponggawa pepitu), mereka pun langsung menghadap kepadanya.

Ki Dipati berkata, “Hai ponggawa pepitu, sekarang periksalah

dukuh baru di pinggir pantai, ada berapa orang nelayan penangkap ikan dan

4
rebon, seyogyanya (seharusnya) diberi ketetapan upeti tiap tahun sepikul

bubukan rebon yang sudah halus bentuk gelondongan. Harap diperikasa

dengan jelas, karena Sang Prabu Siliwangi, terasih sekali kepada bubukan

rebon yang sudah berbentuk gelondongan,” katanya.

Ki Mantri pepitu mengucap sandika. Segera menghindar dari

hadapannya, mereka terus berjalan menuju ke pantai.

Diceritakan pada saat itu, Cakrabuana bersama sang istri dan sang

adiknya sedang menumbuk rebon di lumping batu dengan hulu batu, sambil

berceloteh “Oga age, geura age, geura bebek (cepat-cepatlah ditumbuk)!”

kata mereka.

Tidak lama kemudian datanglah utusan Palimanan Mantri pepitu

memeriksa pemukiman itu, sudah ada 346 orang, Cakrabuana pun bertemu

dihadapan mereka.

Jubir Mantri pepitu berkata, “Hai tukang penangkap rebon, oleh

perintah Sang Prabu engkau diharuskan mengirim upeti tiap tahun satu pikul

bubukan rebon yang berbentuk gelondongan, karena Sang Prabu sangat

terasih sekali dan minta kejelasan bagaimana membikin terasi itu.”

Cakrabuana mengucap “sandika. Adapun menangkapnya dengan

jala tiap malam, diambilnya pagi-pagi. Rebon lalu diuyahi (digaremi) dan

kemudian diperas, dijemur, setelah kering lalu ditumbuk digelondongi.

Adapun air perassannya dimasak dengan diberi bumbu-bumbu. Masakan

perasan air rebon lebih enak dan diberi nama petis blendrang.”

5
Ki Mantri berkata, “Coba ingin tahu rasanya cai (air) rebon itu.” Cakrabuana

segera menyuruh istrinya memasak air perasan rebon.

Setelah masak lalu dihidangkan kepada Ki Mantri pepitu. Dan akhirnya

mereka makan bersama dengan lauk pauk petis blendrang, sambil saling

berkata, “bahwa cai (air) rebon lebih enak ketimbang gragenya (terasinya).”

Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang

rebon ini berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang

kemudian menjadi sebutan Cirebon, kala waktu tahun 1447 M.

Menurut Ratu Raja Arimbi Nurtina, S. T. juru bicara Kesultanan

Kanoman, Terasi adalah bahan olahan untuk bumbu makanan, terbuat dari

udang kecil atau rebon yang ditumbuk halus dan dibentuk bulat

gelondongan, nama terasi diambil dari kata terasih yang artinya suka dan

terasi adalah bagian dari sejarah Cirebon.

3. Proses Pembuatan Terasi Tamiang

a. Cuci udang hingga bersih.

b. Lalu udang ditiriskan.

c. Kemudian beri garam pada udang secukupnya.

d. Tumbuk udang hingga halus.

e. Lalu jemur udang yang telah ditumbuk di terik matahari.

f. Lalu tumbuk kembali udang tersebut.

6
4. Mengapa Terasi Bisa Berpasir

Terkadang banyak terasi yang dijual di pasar dalam keadaan berpasir,

itu disebabkan karena beberapa hal:

a. Proses pencucian kurang bersih.

b. Tempat penjemuran yang dekat dengan jalan raya.

c. Alas yang digunakan untuk menjemur tidak sesuai.

5. Mengapa terasi bisa pahit

Banyak terasi setelah dimasak rasanya pahit karena pada proses

pembuatan terasi tersebut. Contohnya pada proses pembuatan terasi udang,

udang yang hendak di tumbuk atau di haluskan masih terdapat ikan-ikan

kecil dan kekurangan garam juga dapat menyebabkan terasi itu pahit.

6. Mengapa masyarakat Lhokseumawe sebagian besar hanya

mengetahui terasi yang lezat berasal dari Langsa

Masyarakat Lhokseumawe sebagian besar hanya mengetahui terasi

dari Langsa yang sangat enak dibandingkan dengan terasi dari Tamiang

dikarenakan terasi dari Langsa lebih dulu merambah ke dalam pasar

Lhokseumawe dibandingkan dengan terasi dari Tamiang. Bahkan saat ini

terasi dari Tamiang sangat sulit dicari di pasar-pasar yang ada di

Lhokseumawe dan sekitarnya. Kalau dari pengalaman saya saat menjual

terasi tamiang di pasar Lhokseumawe banyak yang bertanya tentang

terasinya pahit dan berpasir atau tidak dikarenakan sebagian besar terasi

langsa yang di masak kemudian rasanya pahit dan berpasir.

7
Terasi dari Langsa proses pembuatannya sudah menggunakan

teknologi modern sedangkan dari Tamiang masih menggunakan alat

tradisional seperti lesung untuk menghaluskan udangnya. Maka dari itu

terasi tamiang masih sangat terjaga kualitasnya.

8
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

a. Terasi berpasir karena penjemuran yang dekat sama jalan raya.

b. Terasi pahit karena udang dan ikan bercampur.

c. Masyarakat Lhokseumawe lebih kenal terasi langsa karena terasi

langsa telah lebih dulu merambah pasar Lhokseumawe.

2. Saran

Sebaiknya belilah terasi yang lebih higenis, agar rasa yang

dihasilkanpun memuaskan.

Anda mungkin juga menyukai