Anda di halaman 1dari 7

GIZI LANSIA

2.1 Lansia
Pengertian usia lanjut dapat dibedakan atas dua macam, yaitu usia lanjut kronoligis atau usia
kalender dan usia lanjut biologis. Usia kronoligis mudah diketahui dan dihitung, yaitu saat seseorang
merayakan ulang tahunnya. Sebaliknya usia biologis adalah usia yang sesungguhnya dimiliki
seseorang. Usia biologis menunjukkan kondisi jaringan yang sebenarnya. Terlepas dari beberapa
usia kronoligis seseorang, banyaknya kemunduran jaringan yang terjadi akan menyebabkan
meningkatnya usia biologis orang yang bersangkutan. Usia biologis inilah yang sesungguhnya dapat
diupayakan agar tidak terlalu cepat bertambah (Almatsier, Soetardjo dan Soekatri 2011).

Usia lanjut dapat memberi persepsi yang berbeda, tergantung dari siapa yang menyebutnya
dan untuk apa. Pada umumnya usia lanjut diartikan sebagai usia saat memasuki masa pensiun yang
di Indonesia dapat berkisar antara usia di atas 55 tahun (Muis, Nurkinasih dan Darmojo 1992).
Namun, batasan lansia menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia,
adalah 60 tahun ke atas. Sedangkan menurut WHO dalam Notoatmojo (2007), di antaranya: usia
pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45-59 tahun, lanjut usia (elderly), antara 60-74 tahun,
lanjut usia tua (old), antara 75-90 tahun dan usia sangat tua (very old), di atas 90 tahun.

Di Indonesia, lanjut usia dimulai sejak usia 60 tahun sesuai dengan yang tertera pada
Undang-Undang no: 13/1998 tentang Kesejahteraan Lansia. Di Amerika, usia 65 tahun digunakan
sebagai benchmarck dalam mengelompokkan penduduk berusia lanjut. WHO membagi umur tua
sebagai berikut: usia 60 – 74 tahun disebut umur lanjut (elderly), usia 75 – 90 tahun disebut umur tua
(old) dan usia di atas 90 tahun disebut umur sangat tua (very-old). Sedangkan Neugarten (1975)
mengelompokkan umur : Young old : 55 – 75 tahun, Old – old : > 75 tahun dan Oldest – old : > 85
tahun.

Usia harapan hidup (Life Expectancy Rate) merupakan lama hidup manusia didunia. Usia
harapan hidup perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Harapan hidup penduduk Indonesia
mengalami peningkatan jumlah dan proporsi sejak 1980. Harapanhidup perempuan adalah 54 tahun
pada 1980, kemudian 64,7 tahun pada 1990, dan 70tahun pada 2000.Meningkatnya usia harapan
hidup penduduk Indonesia membawa implikasi bertambahnya jumlah lansia. Berdasarkan data,
wanita Indonesia yang memasuki masa menopause saat ini semakim meningkat setiap tahunnya.
Meningkatnya jumlah itu sebagai akibat bertambahnya populasi penduduk usia lanjut dan tingginya
usia harapan hidup diiringi membaiknya derajat kesehatan masyarakat.

Penyebab panjangnya umur manusia, diluar soal takdir tentunya, tergantung dari beberapa
faktor antara lain:
• Pola makan
• Penyakit bawaan dari lahir: mereka yang diberi berkah oleh Tuhan Yang Maha Kuasa untuk
menjalani hidup lebih panjang adalah orang-orang yang terkait dengan rendahnya penyakit
degeneratif. Yaitu penyakit-penyakit yang mengancam kehidupan manusia, seperti penyakit kanker,
jantung koroner, diabetes dan stroke.
• Lingkungan tempat tinggal
• Stress atau tekanan (Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, ahli gizi Institut Pertanian Bogor)

Melewati kehidupan di dunia hingga usia 100 tahun mungkin menjadi harapan sebagian
manusia. Mereka berpendapat bahwa dengan semakin panjang umur semakin banyak hal-hal yang
dapat dilakukan, terlepas itu perbuatan yang baik maupun buruk.Penyebab panjangnya umur
manusia, diluar soal takdir tentunya, tergantung dari beberapa faktor. Tapi yang paling berpengaruh
adalah pola makan. Mereka yang mempunyai kesempatan untuk menikmati hidup lebih lama ini
adalah orang-orang yang sangat memperhatikan pola makannya.“Mereka mengurangi konsumsi
kalori ke dalam tubuhnya.

Menurut Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, ahli gizi Institut Pertanian Bogor:
• Orang-orang lanjut usia mulai mengurangi konsumsi kalori dengan hanya memakan kacang-
kacangan (kedelai), makan ikan dan minum teh hijau maupun the hitam.
• Melakukan puasa seperti yang dilakukan umat Islam pada bulan Ramadhan.
• Melakukan diet terhadap jenis makanan goreng-gorengan, selain juga mengurangi porsi makan
sehari-hari.
• Pada awal usia 50 tahunan, disaat proses metabolisme tubuh sudah mulai lambat,mereka banyak
makan makanan yang mengandung zat anti oksidan yang bermanfaatbagi tubuh.
• Makan ikan yang mengandung zat omega 3 yang sangat tinggi, yang dapat mengurangi kolesterol
dalam tubuh.
• Mereka juga memangkas konsumsi protein dan lemak dalam tubuh, dengan cara mengurangi
makanan yang mengandung lemak dan protein hewani, seperti telor, susu,daging, keju, dsb.
• Menyarankan agar para manula tersebut mulai kembali ke makanan 'back to nature'atau kembali ke
alam.
• Diantaranya degan cara mengkonsumsi makanan tanpa dimasak atau menjadi seorang vegetarian

2.2 Masalah Gizi Lansia


Perubahan keadaan fisiologis yang terjadi pada Lansia antara lain karena proses menjadi tua
merupakan proses alami secara fisiologis dan biologis yang terjadi pada seluruh organ dan sel tubuh
(Astawan & Wahyuni, 1998 dalam Herlina, 2001). Selain itu terjadi penurunan kemampuan sensitifitas
indera penciuman dan perasa pada lansia mengakibatkan selera makan menurun sehingga
menimbulkan masalah kekurangan gizi. Disamping itu, kekuatan, ketahanan dan kelenturan otot
rangka berkurang, mengakibatkan kepala dan leher terfleksi ke depan, ruas tulang belakang
mengalami kifosis, panggul dan lutut juga terfleksi sedikit. Keadaan tersebut menyebabkan postur
tubuh terganggu (Arisman, 2004).
Sedangkan perubahan fisiologi yang berhubungan dengan aspek gizi pada lansia antara lain
semakin berkurangnya indera penciuman dan perasa sehingga umumnya lansia kurang dapat
menikmati makanan dgn baik. Hal itu sering menyebabkan kurangnya asupan atau penggunaan
bumbu, seperti kecap atau garam yang berlebihan berdampak kurang baik bagi kesehatan lansia.
(Krause dan Katahunleen (1984). Pada lansia juga terjadi penurunan sekresi saliva yang dapat
menimbulkan kesulitan dalam menelan dan dapat mempercepat terjadinya proses kerusakan pada
gigi (Webb & Copeman, 1996). Kehilangan gigi pada lansia juga dapat mempengaruhi status gizi
lansia. Separuh lansia banyak kehilangan gigi, hal ini mengakibatkan terganggunya kemampuan
dalam mengkonsumsi makanan dengan tekstur keras, sedangkan makanan yang lunak kurang
mengandung vit A, vit C, dan serat sehingga menyebabkan mudah mengalami konstipasi. (Rusilanti ,
2006).
Beberapa hal yang terjadi pada lansia yang juga memepengaruhi status gizi lansia antara lain
menurunnya sekresi HCL. HCL merupakan faktor ekstrinsik yang membantu penyakiterapan vit B 12
dan kalsium, serta utilisasi protein. Kekurangan HCL dapat menyebabkan lansia mudah terkena
osteoporosis, defisiensi zat besi yang menyebabkan anemia, sehingga oksigen tidak dapat diangkut
dengan baik. Selain itu pada lansia juga terjadi penurunan sekresi pepsin dan enzim proteolitik yang
mengakibatkan pencernaan protein tidak efisien. Menurunnya sekresi garam empedu juga dapat
terjadi pada lansia, sehingga mengganggu proses penyerapan lemak dan vitamin A,D,E,K.
Menurunnya motilitas usus pada lansia juga sering terjadi, sehingga memperpanjang “transit time”
dalam saluran gastrointestinal mengakibatkan pembesaran perut dan konstipasi. (Rusilanti , 2006)
Proses menua merupakan proses yang kompleks karena melibatkan perubahan-perubahan
fisik, psikologik, fungsi dan sosial-ekonomi sekelompok penduduk. Dari segi fisik penuaan sel-sel
dapat berakibat pada penurunan cadangan faali berbagai fungsi, seperti ginjal, jantung dan
sebagainya; kegagalan mempertahankan mekanisme homeostatik, misalnya gangguan pengontrolan
tekanan darah; dan kegagalan sistem imunitas dengan akibat pada peningkatan penyakit keganasan
dan autoimun. Perubahan fisik yang berkelanjutan dengan gangguan fungsi akan berhubungan
dengan gangguan masukan zat gizi dan energi yang terjadi mulai dari alat penguyah, pengecap,
pencernaan dan penyerapan. Intoleransi terhadap beberapa makanan dan obstipasi sering menjadi
bagian dari keluhan para lanjut usia (Muis et al. 1992).
Penyakit orang lanjut usia berbeda dengan penyakit orang dewasa muda (Oswari, 1997).
Penyakit pd lansia meliputi (Nugroho, 1995): Penyakit sistem pernafasan (TBC, Bronkhitis, radang
paru), penyakit. kardiovaskuler dan pembuluh darah seperti PJK, dan stroke, keluhan lambung,
perasaan tidak enak di perut, sembelit, penyakit sistem urogenital misalnya peradangan kandung
kemih, peradangan ginjal, penyakit akibat keganasan kanker, penyakit gangguan metabolik/ endokrin
seperti Diabetes Mellitus, gout, penyakit persendian dan tulang atau osteoperosis, dan kepikunan.
Hasil penelitian Lina, (2001) Sebanyak 90% lansia di desa dan 93,33% di kota mempunyai keluhan.
Jenis keluhan paling banyak dirasakan; pegal-pegal, sakit kepala, sakit pinggang. Penyakit terbanyak
diderita di desa hipertensi, di kota ditambah dengan asam urat. Sebanyak 57,67 % lansia
menyatakan keluhan mempengaruhi makan mereka. Pengaruh yang ditimbulkan kurang nafsu
makan, makan tidak teratur, sulit makan, dan pantangan makanan tertentu.
Masalah yang timbul pada Lansia diantaranya : berkurangnya cairan dalam jaringan-jaringan
tubuh, meningkatnya kadar lemak tubuh, meningkatnya kadar zat kapur dalam jaringan otak dan
pembuluh darah, penurunan zat kapur dalam tulang, perubahan pada jaringan ikat, menurunnya laju
metabolisme basal per satuan berat badan, menurunnya aktivitas hormon, menurunnya aktivitas
enzim terutama enzim pencernaan, terbentuknya pigmen ketuaan pada otot jantung, sel-sel saraf,
kulit serta berkurangnya frekuensi denyut jantung sehingga menyebabkan berkurangnya peredaran
darah dan zat gizi. (Astawan & Wahyuni, 1988). Faktor-faktor penyebab masalah : Gizi, ketika masa
pertumbuhan maupun masa tua, lingkungan; fisik, keluarga, pekerjaan, pergaulan yang dapat
menekan pikiran yang mengakibatkan stress, gen yang ada dalam tubuh seseorang (Takasihaeng,
2000).

2.3 Kebutuhan Gizi Lansia


Kebutuhan tubuh akan zat gizi ditentukan oleh banyak faktor, antara lain tingkat metabolisme
basal, tingkat pertumbuhan, aktivitas fisik, usia, jenis 7 kelamin dan faktor yang bersifat relatif, di
antaranya yakni gangguan pencernaan (ingestion), perbedaan daya serap (absorption), tingkat
penggunaan (utilization) dan perbedaan pengeluaran (excretion) dan pengahancuran (destruction)
zat tersebut di dalam tubuh (Supariasa, Bakri dan Hajar 2001).
Menurut Arisman (2009), lansia memerlukan pangan yang relatif kecil jumlahnya tetapi tinggi
mutunya. Mutu yang tinggi dimaksudkan untuk mengimbangi penyusutan faali yang cepat serta untuk
mempertahankan daya tahan tubuh terhadap penyakit. Sedang jumlah yang kecil yang tercermin dari
nilai energinya, terutama untuk menghindari masalah kegemukan yang membahayakan lansia.
Adanya perubahan-perubahan pada tubuh lansia, menghendaki pola konsumsi pangan yang berbeda
dibandingkan pada usia-usia yang lebih muda. Pada prinsipnya kebutuhan akan macam zat gizi bagi
lansia tetap sama seperti yang dibutuhkan oleh orang-orang dengan usia yang lebih muda, yang
berubah hanyalah jumlah dan komposisinya. Konsumsi energi sebaiknya dikurangi, disesuaikan
dengan menurunnya aktivitas tubuh. Sebaliknya konsumsi makanan sumber protein, vitamin dan
mineral perlu ditingkatkan baik dari segi jumlah maupun mutunya. Sayuran dan buah-buahan
sebaiknya dikonsumsi dalam jumlah yang cukup secara teratur dan bervariasi. Selain sebagai
sumber vitamin dan mineral, sayuran dan buah-buahan juga merupakan sumber serat yang baik. Hal
ini sangat perlu mengingat kelompok lansia sering mendapatkan kesulitan dalam buang air besar.
Dengan adanya serat yang cukup, kesulitan tersebut dapat di atasi dengan mudah (Astawan dan
Wahyuni 1988).
Penilaian konsumsi pangan dapat menggambarkan kualitas dan kuantitas asupan dan pola
makan lansia melalui pengumpulan data dalam survei konsumsi makanan. Metode yang umum
digunakan dalam survei konsumsi makanan terdiri dari jangka pendek (24 hours food recall, dietary
record) dan jangka panjang (Food Frequency Quesioner) (Fatmah 2010). Dalam mengkaji asupan
makanan ada tiga tingkat kegiatan, yaitu 1) perhitungan asupan makanan; 2) perhitungan kebutuhan
zat gizi, dan 3) membandingkan asupan zat gizi dengan kebutuhan gizi. Kegiatan tersebut
memerlukan informasi penunjang antara lain, status ekonomi, pekerjaan, dan aktivitas fisik (Depkes
2006).
Angka kecukupan gizi untuk wanita usia lanjut pada tahun 1998 berdasarkan WKNPG VI
adalah 1850 Kkal dan mengalami penurunan sebanyak 250 Kkal jika kita mengacu pada Depkes RI
(2005) yaitu menjadi 1600 Kkal. Kecukupan gizi pada lansia prosentase untuk zat gizi makro adalah
sebagai berikut: 20 – 25% protein, 20% lemak, 55 – 60% karbohidrat. Asam lemak yang dikonsumsi
sebaiknya yang memiliki kandungan asam lemak tak jenuh jamak (poly unsaturated fatty acid) yang
tinggi, yaitu asam lemak omega 3 dan omega 9 seperti yang terdapat pada ikan yang hidup di laut
dalam (Krause, et al, 1984).
Rata-rata konsumsi energi adalah 1571,54 ± 223,02 Kkal, apabila yang menjadi acuan
adalah ketentuan Depkes RI 2005 maka rata-rata konsumsi tersebut sudah bisa dikatagorikan baik
yaitu lebih dari 90 % dari angka kecukupan gizi. Rata-rata konsumsi protein lebih dari kecukupan
yang dianjurkan. Vitamin B1 (mg) dan vitamin C (mg) masih kurang dari yang dianjurkan. Rata-rata
tingkat konsumsi Kalori, protein, dan zat besi lansia di pedesaan dan lansia di perkotaan kurang dari
80,00% angka kecukupan yang di anjurkan. Pada umumnya lansia kurang mengkonsumsi buah-
buahan dan sayuran, beberapa zat gizi seperti Kalsium, Seng, Potasium, Vitamin B6, Magnesium,
dan Folat kurang tersedia dalam diet lansia, serta konsumsi karbohidrat kompleks di bawah
kecukupan yang dianjurkan (Herlina, 2001). Menurut Oswari (1997), pada orang lanjut usia ada dua
hal yang perlu diperhatikan yang berkaitan dengan kebiasaan makannya yaitu pengaruh dari gizi
yang tidak bermutu karena tidak cukup protein, mineral, dan vitamin yang dimakan dan pengaruh
makanan yang salah sebagai akibat salah makan atau terlalu banyak makan. Pada lansia
penggunaan energi makin menurun karena proses metabolisme basalnya makin menurun
(Wirakusumah, 2000). Sebaliknya konsumsi makanan sumber protein, vitamin, dan mineral perlu
ditingkatkan baik jumlah maupun mutunya. Sebaiknya dipilih makanan yang lunak, mudah dikunyah,
dan untuk meningkatkan selera makan dapat ditambahkan bumbu (Astawan & Wahyuni,1988).
Rekomendasi untuk Lanjut usia yang sehat (Litin, 2007 ) Memiliki pola makan yang baik
dengan : meningkatkan serat,memilih makanan padat gizi, minum banyak cairan, mengurangi lemak,
kolesterol, garam, batasi alkohol, hindari nikotin, tetap aktif secara fisik, mengendalikan stress,
melatih otak, tetap bersosialisasi, mencari nilai-nilai sprituil, memeriksakan kesehatan secara teratur.
Meningkatnya massa tubuh, meningkat pula risiko kematian. Sebagian besar laki-laki kelebihan berat
badan memiliki risiko kematian 67 % lebih tinggi dibandingkan laki-laki yang lebih kurus. (John W.
Santrock).
Kebutuhan energi dan zat gizi sangat bervariasi meskipun faktor-faktor seperti ukuran badan,
jenis kelamin, macam kegiatan dan faktor lainnya sudah diperhitungkan. Jumlah zat gizi yang
dibutuhkan dapat tergantung pada kualitas makanan karena efisiensi penyerapan dan
pendayagunaan zat gizi oleh tubuh dipengaruhi oleh kompisisi dan keadaan makanan secara
keseluruhan (Soehardjo dan Koesharto 1992). Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004)
mengelompokkan angka kecukupan yang dianjurkan untuk usia 50-64 tahun dan di atas 65 tahun
dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Angka kecukupan zat gizi untuk lansia per orang per hari
ZAT GIZI ANGKA KECUKUPAN GIZI
PRIA WANITA
50-64 TAHUN >65 TAHUN 50-64 TAHUN >65 TAHUN
Energi (kal) 2350 2050 1750 1600
Protein (g) 60 60 50 45
Kalsium (mg) 800 800 800 800
Fe (mg) 13 13 12 12
Vitamin A (RE) 600 600 500 500
Vitamin C (mg) 90 90 75 75
Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004)

Menurut Ruslianti dan Kusharto (2006), asupan energi lansia laki-laki khususnya yang berada
di Kota Bogor hanya 70% dari angka kecukupan gizi (AKG) dan 30% dari mereka mempunyai indeks
massa tubuh (IMT) <18,5. Berdasarkan ambang batas yang ditetapkan Ditjen Gizi Masyarakat,
prevalensi gizi kurang ≥20% merupakan kriteria masalah gizi berat.

Energi
Kebutuhan energi secara umum menurun seiring bertambahnya usia pada periode lansia
karena terjadinya perubahan komposisi tubuh, penurunan angka metabolisme basal, dan
pengurangan aktivitas fisik (Harris 2000). Manusia memperoleh energi dan zat gizi dengan
mengonsumsi makanan yang dapat berasal dari hewan atau tumbuhan. Tubuh manusia
menghasilkan energi yang berasal dari metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Energi
dibutuhkan secara teratur untuk mempertahankan kondisi tubuh terutama untuk memelihara fungsi
dasar tubuh yang disebut metabolisme basal sebesar 60-70% dari kebutuhan energi total (Frary and
Johnson 2000). Energi metabolisme basal adalah energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan
aktivitas metabolisme sel dan jaringan, selain itu untuk mengatur proses sirkulasi darah, pernafasan,
pencernaan dan sistem urinari.
Kebutuhan energi setiap individu merupakan tingkat asupan energi yang didapat dari
makanan yang akan menyeimbangkan pengeluaran energi yang sesuai dengan ukuran dan
komposisi tubuh serta tingkat aktivitas fisik. Berat badan merupakan indikator kecukupan energi
karena tubuh secara unik memiliki kemampuan mengubah karbohidrat, protein, dan lemak untuk
memenuhi kebutuhan energi. Oleh karena itu mengonsumsi makanan terlalu banyak atau sedikit
secara terus menerus akan berdampak pada perubahan berat badan (Frary and Johnson 2000).
Energi yang dibutuhkan lansia berbeda dengan energi yang dibutuhkan oleh dewasa karena
perbedaan aktivitas fisik yang dilakukan. Selain itu, energi juga dibutuhkan oleh lansia untuk menjaga
sel-sel maupun organ-organ dalam tubuh agar bisa tetap berfungsi dengan baik walaupun fungsinya
tidak sebaik seperti saat masih muda (Fatmah 2010).

Protein
Protein adalah substansi kimia dalam makanan yang terbentuk dari serangkaian atau rantai-
rantai asam amino. Protein dalam makanan di dalam tubuh akan berubah menjadi asam amino yang
sangat berguna bagi tubuh yaitu untuk membangun dan memelihara sel, seperti sel otot, tulang,
enzim dan sel darah merah. Bagi lansia asupan protein total yang dibutuhkan manusia akan menurun
sesuai dengan perubahan usia seseorang. Hal ini terkait dengan penurunan fungsi sel-sel tubuh
manusia. Akan tetapi ada beberapa sumber yang menyatakan bahwa kebutuhan asupan protein
cenderung tetap karena proses regenarasi tubuh akan terus berlajan sesuai laju regenerasi sel yang
terjadi (Fatmah 2010). Besaran protein dipatok pada angka 0,8 g/kg BB/hari. Angka ini diperoleh dari
perhitungan asupan energi sebesar 1900 kkal untuk perempuan dan 2300 kkal untuk laki-laki
(Arisman 2009).
Bahan makanan yang berasal dari hewan merupakan sumber protein yang baik dalam jumlah
maupun mutu seperti telur, susu, daging, unggas, ikan dan kerang. Sumber protein nabati adalah
kacang kedelai dan hasilnya, seperti tahu dan tempe serta kacang-kacangan lainnya. Kacang kedelai
merupakan sumber protein nabati yang mempunyai mutu tertinggi (Almatsier 2004). Pemilihan protein
yang baik bagi lansia sangat penting menginggat sintesis protein di dalam tubuh tidak sebaik saat
muda, dan banyak terjadi kerusakan sel yang harus segera diganti. Pakar gizi menganjurkan
kebutuhan protein lansia dipenuhi dari yang bernilai biologis tinggi seperti telur, ikan dan protein
hewani lainnya karena kebutuhan asam amino essensial meningkat pada usia lanjut. Akan tetapi
harus diingat bahwa konsumsi protein berlebih akan memberatkan kerja ginjal dan hati (Fatmah
2010).

Vitamin
Vitamin merupakan senyawa kimia yang sangat esensial bagi tubuh walau ketersediaanya di
dalam tubuh dalam jumlah sedemikian kecil dan diperlukan bagi kesehatan dan pertumbuhan tubuh
yang normal. Terdapat beberapa jenis vitamin yang bermanfaat bagi sistem imunitas tubuh dan
mencegah timbulnya radikal bebas pada lansia, misalnya vitamin A dan vitamin C (Fatmah 2010).

Vitamin A adalah vitamin larut lemak yang pertama ditemukan. Vitamin A esensial untuk
pemeliharaan kesehatan dan kelangsungan hidup (Almatsier 2004). Vitamin A pada lansia memiliki
fungsi untuk melawan radikal bebas yang menyebabkan penuaan. Selain itu juga, vitamin A berfungsi
untuk memelihara kesehatan kulit mencegah timbulnya penyakit kanker dan jantung koroner. Manfaat
lainnya menghambat pertumbuhan sel kanker, mencegah penyumbatan arteri yang menyebabkan
serangan jantung dan menurunkan risiko stroke (Fatmah 2010). Sumber vitamin A yang sudah
terbentuk (performed) hanya terdapat pada pangan hewani seperti hati, minyak hati ikan, kuning telur
sebagai sumber utama. Sayuran terutama berdaun hijau dan buah berwarna kuning-jingga
mengandung karetenoid provitamin A (Gibson 2005). Kekurangan atau kelebihan vitamin A akan
menimbulkan efek samping atau penyakit. Kelebihan vitamin A akan menyebabkan toksisitas dan
jarang terjadi pada usia lanjut; sedangkan kekurangan vitamin A akan menyebabkan respons
kekebalan yang menurun (sering terkena penyakit infeksi), terhambatnya perkembangan mental dan
yang lebih parah adalah terjadinya xeroftalmia (Fatmah 2010)

Vitamin C mempunyai banyak fungsi di dalam tubuh, sebagai koenzim atau kofaktor. Pada
lansia, vitamin C bermanfaat menghambat berbagai penyakit. Fungsinya antara lain meningkatkan
kekebalan tubuh, melindungi dari serangan kanker, melindungi arteri, meremajakan dan
memproduksi sel darah putih, memperbaiki kualitas sperma dan mencegah penyakit gusi (Fatmah
2010). Kandungan vitamin C serum pada lansia lebih rendah jika dibandingkan dengan orang yang
lebih muda. Dukungan melalui konsumsi pangan tinggi vitamin C lebih efektif dalam meningkatkan
status vitamin C pada lansia (Harris 2000). Vitamin C pada umumnya hanya terdapat di dalam
pangan nabati, yaitu sayur dan buah terutama yang asam seperti nenas, rambutan, jeruk, pepaya,
gandaria dan tomat. Vitamin C juga terdapat di dalam sayuran daun-daunan dan jenis kol (Almatsier
2004). Kekurangan vitamin C yang berat akan mengakibatkan fungsinya pada sintesis kolagen
menjadi terganggu dan akan tampak sebagai perdarahan terutama pada jaringan lunak seperti gusi.
Gejala ini disebut sariawan (scurvy). Pada derajat yang lebih ringan, diduga kekurangan vitamin C
akan berpengaruh pada sistem pertahanan tubuh dan kecepatan penyembuhan luka (Fatmah 2010).

Mineral
Meskipun tampak sehat, kekurangan sebagian vitamin dan mineral tetap saja berlangsung
pada lansia. Kebutuhan energi yang menurun tidak seiring dengan penurunan kebutuhan vitamin dan
mineral, bahkan kebutuhan vitamin dan mineral cenderung sama atau meningkat. Rendahnya status
mineral pada lansia dapat terjadi karena asupan mineral yang tidak cukup, perubahan fisiologis dan
pengobatan (Harris 2000).

Kalsium atau Ca merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tubuh, yaitu 1,5-
2% dari berat badan orang dewasa atau sekitar 1 kg. Lebih dari 99%, berada di tulang dan gigi
bersama fosfor membentuk kalsium fosfat, zat keras yang memberikan kekakuan pada tubuh.
Kalsium juga hadir dalam serum darah dalam jumlah kecil namun memegang peranan penting.
Secara umum, fungsi kalsium bagi lansia adalah sebagai komponen utama tulang dan gigi, berperan
dalam kontraksi dan relaksasi otot, fungsi saraf, proses penggumpalan darah, menjaga tekanan
darah agar tetap normal serta sistem imunitas tubuh (Fatmah 2010). Sumber utama kalsium adalah
susu dan produk olahan susu, seperti keju. Ikan dimakan dengan tulang termasuk ikan kering
merupakan sumber kalsium yang baik. Serealia, kacang-kacangan dan produk olahan kacang-
kacangan seperti tahu dan tempe, serta sayuran hijau merupakan sumber kalsium yang baik juga,
tetapi bahan makanan ini mengandung zat yang menghambat penyerapan kalsium seperti serat fitat
dan oksalat (Almatsier 2004).

Zat besi atau Fe merupakan mineral makro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh
manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 g di dalam tubuh dewasa. Besi mempunyai beberapa fungsi
esensial di dalam tubuh sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat
angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan
tubuh. Walaupun banyak terdapat di dalam makanan, banyak penduduk dunia mengalami
kekurangan besi, termasuk Indonesia. Kekurangan besi sejak tiga puluh tahun terakhir diakui
berpengaruh terhadap produktivitas kerja, penampilan kognitif dan sistem kekebalan (Almatsier
2004).
Zat besi dapat diperoleh dari daging, jeroan, ikan dan unggas yang mengandung kadar tinggi
besi heme. Sumber besi non-heme berasal dari nabati seperti kedelai, kacang-kacangan, sayuran
daun hijau, dan rumput laut. Kekurangan zat besi pada lansia bisa menyebabkan anemia, karena
bentuk sel yang kecil serta inti sel menjadi pucat karena kekurangan kromatin. Sedangkan kelebihan
zat besi dapat berakibat fatal pada lansia yang menderita parkinson, hemosiderosis dan talasemia
yang dapat menyebabkan kulit menjadi keputihan, penyimpanan besi pada hati, jantung, pankreas
dan paru-paru (Fatmah 2010).

2.4 Penentuan Status Gizi Lansia

Penentuan status gizi lansia dilakukan dengan pengukuran berat badan (BB) dan
tinggi lutut (TL). Berat badan lansia diukur dengan cara berdiri, menggunakan timbangan
injak dengan kapasitas 120 kg dan ketelitian 0,1 kg.

Tinggi lutut direkomendasikan oleh WHO (1995) dalam Fatmah (2010) untuk
digunakan sebagai predikor tinggi badan pada seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.

Tinggi lutut diukur dengan sebuah caliper berupa tongkat pengukur yang dilengkapi
dengan papan kayu untuk membentuk sudut 900. Tinggi lutut terlentang diukur pada kaki kiri
yang dibengkokkan pada lutut. Salah satu ujung caliper diposisikan di bawah, di bagian
tumit, sedangkan yang satu lagi diposisikan di bagian atas bagian lutut.

Rumus TLChumlea yang digunakan untuk memprediksi tinggi badan (TB) adalah
sebagai berikut.
Lansia pria TB = 84,88 – (0,24 x Usia) + (1,83 x Tinggi Lutut)
Lansia wanita  TB = 64,19 – (0,04 x Usia) + (2,02 x Tinggi Lutut)
Selanjutnya data BB dan TB yang didapat digunakan untuk menentukan indeks massa tubuh
(IMT)sebagai penentu status gizi lansia. Penggunaan IMT hanya berlaku bagi orang dewasa
berumur di atas 18 tahun. Indek masa tubuh (IMT) tidak dapat diterapkan pada bayi, anak,
remaja, ibu hamil, dan olahragawan. Selain itu, IMT juga tidak bisa diterapkan pada keadaan
khusus (penyakit) lainnya seperti adanya edema, asites dan hepatomegalia (Supariasa et al.
2001). Nilai IMT diperoleh dengan membagi berat badan dalam kilogram dengan kuadrat
tinggi badan dalam meter. Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT pada populasi Asia Pasific
dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT pada populasi Asia Pasific
Klasifikasi IMT (kg/m2)
Underweight <18,5
Normal 18,5-22,9
Pre-obese 23-24,9
Obese-I 25-29,9
Obese-I >30
Sumber: WHO (2000) dalam PDGKI (2008)

DAFTAR PUSTAKA

Herlina. 2001. Mempelajari Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kebiasaan makan dan
Status gizi lansia di Pedesaan dan Perkotaan [skripsi]. Bogor:IPB
Litin, SC. 2007. Family Healtahun Book. Jakarta:Gramedia
Takasihaeng, J. 2000. Hidup Sehat di Usia Lanjut. Penerbit Harian Kompas, Jakarta.
Wirakusumah, E.S. 2000, Tetap Bugar di Usia Lanjut. Trubus Agriwijaya, Jakarta
Kemenkes. 2012. Pedoman Pelayanan Gizi Lanjut Usia. Jakarta: Dirjen Bina Gizi Kesahatan
Ibu dan Anak Kemenkes RI

Anda mungkin juga menyukai