DENGAN HIPERSENSITIVITAS
D
I
S
U
S
U
N
Oleh:
Kelompok 3
1. Fitri Sepriani
2. Heny Laia
3. Herlina Tarigan
4. Imelda Siburian
5. Ika Sarma
6. Rut Marlia
7. Sanriwifa Sitinjak
8. Santa Santi
9. Sofia Lorain
10. Saril Simarmata
11. Sri Nasrani
12. Sri Waty
13. Srinta Decy
14. Stefani Priscilla
15. Sulistyowati Gulo
16. Timo Rauli
Dosen: Adventina Hutapea, S.Kep.,Ns
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Agar mahasiswa mampu memahami Asuhan Keperawatan klien dengan
Hipersentivitas.
2.2.2 Klasifikasi
Umumnya reaksi hipersensivitas diklasifikasikan menjadi 4 tipe, yaitu :
a. Tipe I : Reaksi Anafilaksi (yang diantarai oleh IgE).
b. Tipe II : reaksi sitotoksik (spesifik jaringan)
c. Tipe III : reaksi imun kompleks (yang diperantarai oleh kompleks
imun)
d. Tipe IV : Reaksi tipe lambat (yang diantarai oleh sel)
(kowalak, 2011)
2.2.3 Etiologi
Faktor yang berperan dalam alergi dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Faktor Internal
1. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi :
asam lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi
imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen
makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi
makanan tertentu.
2. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai
janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan
dan norma kehidupan setempat.
3. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan
penyerapan alergen bertambah.
b. Fakor Eksternal
Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih,
stress) atau beban latihan (lari, olah raga).
Makanan seperti telur,kacang,susu,dll.
2.2.4 Patofisiologi
Tipe I : Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi,
dalam hal ini IgE yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat
terlepasnya histamin. Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat.
Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau
anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan
bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan
gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian.Waktu
reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga
dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam.Hipersensitivitas tipe I
diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE).
Komponen seluler utama pada reaksi ini dalah mastosit atau basofil.Reaksi
ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan eosinofil.Uji
diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah
tes kulit (tusukan dan intradermal) danELISA untuk mengukur IgE total dan
antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi)
yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya
alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh
alergen).
Tipe II:hipersensiitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi
berupaimunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen
pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau
spesifik pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan dengan antigen
tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen
permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target
sel.Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang
berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan
jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:
Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel
epidermal).
Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang
dapat menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti
hapten untuk produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel
darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan
Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan
glomerulus sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).
e. Tipe III : reaksi imun kompleks
Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan komplemen membentuk
kompleks imun.Keadaan ini menimbulkanneurotrophichemotactic factor yang
dapat menyebabkan terjadinya peradangan atau kerusakan lokal.Pada umumnya
terjadi pada pembuluh darah kecil. Pengejawantahannya di kornea dapat berupa
keratitis herpes simpleks, keratitis karena bakteri.(stafilokok, pseudomonas) dan
jamur. Reaksi demikian juga terjadi pada keratitis Herpes simpleks.
Tipe IV : sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal
sebagai imunitas seluler. Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi
dengan antigen, dan menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin) yang jumpai
pada reaksi penolakan pasca keratoplasti, keraton- jungtivitis flikten, keratitis
Herpes simpleks dan keratitis diskiformis.
2.2.5 Pathway
2.2.6. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala utama pada reaksi hipersensitivitas dapat digolongkan
menjadi reaksi sistemik yang ringan, sedang dan berat.
Ringan. Reaksi sistemik yang ringan terdiri dari rasa kesemutan serta hangat pada
bagian perifer dan dapat disertai dengan perasaan penuh dalam mulut serta
tenggorokan. Kongesti nasal, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin
dan mata berair dapat terjadi. Awitan gejala dimulai dalam waktu 2 jam pertama
sesudah kontak.
Sedang. Reaksi sistemik yang sedang dapat mencakup salah satu gejala diatas
disamping gejala flushing, rasa hangat, cemas, dan gatal-gatal. Reaksi yang lebih
serius berupa bronkospasme dan edema saluran pernafasan atau laring dengan
dispnea, batuk serta mengi. Aawitan hgejala sama seperti reaksi yang ringan.
Berat. Reaksi sistemik yang berat memiliki onset mendadak dengan tanda-tanda
serta gejala yang sama seperti diuraikan di atas dan berjalan dengan cepat hingga
terjadi bronkospasme, edema laring, dispnea berat serta sianosis. Disfagia
(kesulitan menelan), kram abdomen, vomitus, diare, dan serangan kejang-kejang
dapat terjadi. Kadang-kadang timbul henti jantung
2.5. Komplikasi
Eritroderma eksfoliativa sekunder
Eritroderma ( dermatitis eksfoliativa ) adalah kelainan kulit yang ditandai
dengan adanya eritema seluruh / hampir seluruh tubuh, biasanya disertai
skuama (Arief Mansjoer , 2000 : 121). Etiologi eritroderma eksfoliativa
sekunder :
o Akibat penggunaan obat secara sistemik yaitu penicillin dan derivatnya
, sulfonamide , analgetik / antipiretik dan ttetrasiklin.
o Meluasnya dermatosis ke seluruh tubuh , dapat terjadi pada liken
planus , psoriasis , pitiriasis rubra pilaris , pemflagus foliaseus ,
dermatitis seboroik dan dermatitis atopik.
o Penyakit sistemik seperti Limfoblastoma.(Arief Mansjoer , 2000).
Abses limfedenopati
Limfadenopati merujuk kepada ketidaknormalan kelenjar getah bening dalam
ukuran, konsistensi ataupun jumlahnya. Limfadenopati dapat timbul setelah
pemakaian obat-obatan seperti fenitoin dan isoniazid. Obat-obatan lainnya
seperti allupurinol, atenolol, captopril, carbamazepine, cefalosporin, emas,
hidralazine, penicilin, pirimetamine, quinidine, sulfonamida, sulindac).
Pembesaran karena obat umumnya seluruh tubuh (generalisata).
Furunkulosis
Furunkel adalah peradangan pada folikel rambut dan jaringan
yangdisekitarnya, yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus.
Apabila furunkelnya lebihdari satu maka disebut furunkolosis.Faktor
predisposisi:
o Hygiene yang tidak baik
o Diabetes mellitus
o Kegemukan
o Sindrom hiper IgE
o Carier kronik S.aureus (hidung)
o Gangguan kemotaktik
o Ada penyakit yang mendasari, seperti HIV
o Sebagai komplikasi dari dermatitis atopi, ekscoriasi, scabies atau
pedikulosis (adanya lesi pada kulit atau kulit utuh bisa juga karena
garukan atau sering bergesekan).
Rinitis
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen
yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi
paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet,1986).
Stomatitis
Stomatitis Aphtous Reccurent atau yang di kalangan awam disebut sariawan
adalah luka yang terbatas pada jaringan lunak rongga mulut. Hingga kini,
penyebab dari sariawan ini belum dipastikan, tetapi ada faktor-faktor yang
diduga kuat menjadi pemicu atau pencetusnya.
Beberapa diantaranya adalah:
Trauma pada jaringan lunak mulut (selain gigi), misal tergigit,
atau ada gigi yang posisinya di luar lengkung rahang yang
normal sehingga menyebabkan jaringan lunak selalu
tergesek/tergigit pada saat makan/mengunyah
Kekurangan nutrisi,terutama vitamin B12, asam folat dan zat
besi.
Stress
Gangguan hormonal, seperti pada saat wanita akan memasuki
masa menstruasi di mana terjadi perubahan hormonal sehingga
lebih rentan terhadap iritasi
Gangguan autoimun / kekebalan tubuh, pada beberapa kasus
penderita memiliki respon imun yang abnormal terhadap
jaringan mukosanya sendiri.
Penggunaan gigi tiruan yang tidak pas atau ada bagian dari gigi
tiruan yang mengiritasi jaringan lunak
Pada beberapa orang, sariawan dapat disebabkan karena
hipersensitivitas terhadap rangsangan antigenik tertentu
terutama makanan.
Konjungtivitis
Konjungtivitis adalah radang atau infeksi pada konjungtiva dimana batasnya
dari kelopak mata hingga sebagian bola mata.Etiologi:
o Infeksi oleh virus
o Reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang
o Iritasi oleh angin, debu, asap dan polusi lainnya
o Kelainan saluran air mata, dll.
Kolitis Bronkolitis
Hepatomegali
2.2.3 INTERVENSI
NO Tujuan Intervensi
1 NOC: 1. Kaji frekuensi, kedalaman
Setelah melakukan pernapasan dan ekspansi paru.
tindakan 3 x 24 jam, Catat upaya pernapasan,
diharapkan pasien termasuk pengguanaan otot
menunjukkan pola nafas bantu/ pelebaran masal.
2. Observasi pola batuk dan
efektif dengan frekuensi
karakter secret.
dan kedalaman rentang
3. Auskultasi bunyi napas dan
normal.
catat adanya bunyi napas
Kriteria hasil :
adventisius seperti krekels,
Frekuensi pernapasan mengi, gesekan pleura.
pasien normal (16-20 4. Tinggikan kepala dan bantu
kali per menit) mengubah posisi. Bangunkan
Pasien tidak merasa pasien turun dari tempat tidur
sesak lagi dan ambulansi sesegera
Pasien tidak tampak mungkin.
memakai alat bantu 5. Berikan oksigen tambahan.
6. Berikan humidifikasi
pernapasan
Tidak terdapat tanda- tambahan, mis: nebulizer
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume
3, Jakarta:EGC..
Price & Wilson.2003.Patofisiologi konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Vol
2.Edisi 6.Jakarta:EGC.