Anda di halaman 1dari 21

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN

DENGAN HIPERSENSITIVITAS

D
I
S
U
S
U
N

Oleh:
Kelompok 3
1. Fitri Sepriani
2. Heny Laia
3. Herlina Tarigan
4. Imelda Siburian
5. Ika Sarma
6. Rut Marlia
7. Sanriwifa Sitinjak
8. Santa Santi
9. Sofia Lorain
10. Saril Simarmata
11. Sri Nasrani
12. Sri Waty
13. Srinta Decy
14. Stefani Priscilla
15. Sulistyowati Gulo
16. Timo Rauli
Dosen: Adventina Hutapea, S.Kep.,Ns

PROGRAM STUDI DI NERS TAHAP AKADEMIK


STIKes SANTA ELISABETH MEDAN
2015
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Imunitas atau kekebalan adalah sistem pada organisme yang
bekerjamelindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan
mengidentifikasi danmembunuh patogen serta sel tumor, sehingga tubuh bebas
patogen dan aktivitas dapat berlangsung dengan baik.Selain dapat menghindarkan
tubuh diserang patogen, imunitas juga dapatmenyebabkan penyakit, diantaranya
hipersensitivitas dan autoimun. Hipersensitivitasadalah respon imun yang
merusak jaringan tubuh sendiri. Reaksi hipersensitivitasterbagi menjadi empat
tipe berdasarkan mekanisme dan lama waktu reaksihipersensitif, yaitu reaksi
hipersensitivitas tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV.
(Kowalak, 2011).
Autoimunitas adalah kegagalan dari suatu organisme untuk mengenali
bagian-bagian penyusunnya sendiri sebagai diri, yang memungkinkan respon
imun terhadap sel sendiri dan jaringan tubuh. Setiap penyakit dari hasil respon
imun yang menyimpang diistilahkan sebagai suatu penyakit autoimun .
Autoimunitas sering disebabkan oleh kurangnya perkembangan kuman dari tubuh
target dan dengan demikian tindakan respon kekebalan tubuh terhadap sel sendiri
dan jaringan. Contoh penyakit auto imun yang paling seringa dalah menonjol
termasuk penyakit seliak, diabetes melitus tipe 1 (IDDM), lupus eritematosus
sistemik (SLE), sindrom Sjögren , Churg-Strauss Syndrome , tiroiditis
Hashimoto , penyakit Graves , idiopatik thrombocytopenic purpura , rheumatoid
arthritis (RA) dan alergi.
(Price, 2005).
Kesalahpahaman bahwa sistem kekebalan tubuh seseorang sama sekali
tidak mampu mengenali antigen diri bukanlah hal baru. Paul Ehrlich , pada awal
abad kedua puluh, mengajukan konsep autotoxicus horor, dimana ‘normal’ tubuh
tidak mount respon kekebalan terhadap yang sendiri jaringan. Dengan demikian,
setiap respon autoimun dianggap menjadi abnormal dan dipostulasikan untuk
dihubungkan dengan penyakit manusia.Sekarang, sudah diakui bahwa respon
autoimun merupakan bagian integral dari sistem kekebalan tubuh vertebrata
(kadang disebut ‘autoimunitas alami’), biasanya dicegah dari penyebab penyakit
oleh fenomena toleransi imunologi diri antigen. Autoimunitas tidak harus bingung
dengan alloimmunity .
(Smeltzer, 2001).
Sistem imun tubuh telah berkembang sedemikian rupa sehingga mampu
mengenal setiap antigen asing dan membedakannya dengan struktur antigen diri
(self antigen), tetapi dapat saja timbul gangguan terhadap kemampuan pengenalan
tersebut sehingga terjadi respons imun terhadap antigen diri yang dianggap asing.
(Price, 2005).

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Agar mahasiswa mampu memahami Asuhan Keperawatan klien dengan
Hipersentivitas.

1.2.2 Tujuan Khusus


1. Mahasiswa mampu memahami konsep dasar medis asuhan
keperawatan hipersentivitas.
2. Mahasiswa mampu memahami konsep dasar keperawatan asuhan
keperawatan hipersentivitas.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Medis


2.2.1 Definisi
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana
tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap
bahan-bahan yang umumnya nonimunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia
bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh
dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas
tersebut disebut allergen. Hipersensitivitas merupakan respon yang berlebihan
atau respon yang tidak tepat dan terjadi pada pajanan antigen yang kedua kali.
(Kowalak, 2011).

2.2.2 Klasifikasi
Umumnya reaksi hipersensivitas diklasifikasikan menjadi 4 tipe, yaitu :
a. Tipe I : Reaksi Anafilaksi (yang diantarai oleh IgE).
b. Tipe II : reaksi sitotoksik (spesifik jaringan)
c. Tipe III : reaksi imun kompleks (yang diperantarai oleh kompleks
imun)
d. Tipe IV : Reaksi tipe lambat (yang diantarai oleh sel)
(kowalak, 2011)

2.2.3 Etiologi
Faktor yang berperan dalam alergi dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Faktor Internal
1. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi :
asam lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi
imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen
makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi
makanan tertentu.
2. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai
janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan
dan norma kehidupan setempat.
3. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan
penyerapan alergen bertambah.
b. Fakor Eksternal
Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih,
stress) atau beban latihan (lari, olah raga).
Makanan seperti telur,kacang,susu,dll.

2.2.4 Patofisiologi
Tipe I : Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi,
dalam hal ini IgE yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat
terlepasnya histamin. Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat.
Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau
anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan
bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan
gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian.Waktu
reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga
dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam.Hipersensitivitas tipe I
diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE).
Komponen seluler utama pada reaksi ini dalah mastosit atau basofil.Reaksi
ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan eosinofil.Uji
diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah
tes kulit (tusukan dan intradermal) danELISA untuk mengukur IgE total dan
antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi)
yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya
alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh
alergen).
Tipe II:hipersensiitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi
berupaimunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen
pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau
spesifik pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan dengan antigen
tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen
permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target
sel.Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang
berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan
jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:
 Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel
epidermal).
 Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang
dapat menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti
hapten untuk produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel
darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan
 Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan
glomerulus sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).
e. Tipe III : reaksi imun kompleks
Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan komplemen membentuk
kompleks imun.Keadaan ini menimbulkanneurotrophichemotactic factor yang
dapat menyebabkan terjadinya peradangan atau kerusakan lokal.Pada umumnya
terjadi pada pembuluh darah kecil. Pengejawantahannya di kornea dapat berupa
keratitis herpes simpleks, keratitis karena bakteri.(stafilokok, pseudomonas) dan
jamur. Reaksi demikian juga terjadi pada keratitis Herpes simpleks.

Tipe IV : sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal
sebagai imunitas seluler. Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi
dengan antigen, dan menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin) yang jumpai
pada reaksi penolakan pasca keratoplasti, keraton- jungtivitis flikten, keratitis
Herpes simpleks dan keratitis diskiformis.

2.2.5 Pathway
2.2.6. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala utama pada reaksi hipersensitivitas dapat digolongkan
menjadi reaksi sistemik yang ringan, sedang dan berat.
Ringan. Reaksi sistemik yang ringan terdiri dari rasa kesemutan serta hangat pada
bagian perifer dan dapat disertai dengan perasaan penuh dalam mulut serta
tenggorokan. Kongesti nasal, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin
dan mata berair dapat terjadi. Awitan gejala dimulai dalam waktu 2 jam pertama
sesudah kontak.
Sedang. Reaksi sistemik yang sedang dapat mencakup salah satu gejala diatas
disamping gejala flushing, rasa hangat, cemas, dan gatal-gatal. Reaksi yang lebih
serius berupa bronkospasme dan edema saluran pernafasan atau laring dengan
dispnea, batuk serta mengi. Aawitan hgejala sama seperti reaksi yang ringan.
Berat. Reaksi sistemik yang berat memiliki onset mendadak dengan tanda-tanda
serta gejala yang sama seperti diuraikan di atas dan berjalan dengan cepat hingga
terjadi bronkospasme, edema laring, dispnea berat serta sianosis. Disfagia
(kesulitan menelan), kram abdomen, vomitus, diare, dan serangan kejang-kejang
dapat terjadi. Kadang-kadang timbul henti jantung

2.5. Komplikasi
 Eritroderma eksfoliativa sekunder
Eritroderma ( dermatitis eksfoliativa ) adalah kelainan kulit yang ditandai
dengan adanya eritema seluruh / hampir seluruh tubuh, biasanya disertai
skuama (Arief Mansjoer , 2000 : 121). Etiologi eritroderma eksfoliativa
sekunder :
o Akibat penggunaan obat secara sistemik yaitu penicillin dan derivatnya
, sulfonamide , analgetik / antipiretik dan ttetrasiklin.
o Meluasnya dermatosis ke seluruh tubuh , dapat terjadi pada liken
planus , psoriasis , pitiriasis rubra pilaris , pemflagus foliaseus ,
dermatitis seboroik dan dermatitis atopik.
o Penyakit sistemik seperti Limfoblastoma.(Arief Mansjoer , 2000).

 Abses limfedenopati
Limfadenopati merujuk kepada ketidaknormalan kelenjar getah bening dalam
ukuran, konsistensi ataupun jumlahnya. Limfadenopati dapat timbul setelah
pemakaian obat-obatan seperti fenitoin dan isoniazid. Obat-obatan lainnya
seperti allupurinol, atenolol, captopril, carbamazepine, cefalosporin, emas,
hidralazine, penicilin, pirimetamine, quinidine, sulfonamida, sulindac).
Pembesaran karena obat umumnya seluruh tubuh (generalisata).
 Furunkulosis
Furunkel adalah peradangan pada folikel rambut dan jaringan
yangdisekitarnya, yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus.
Apabila furunkelnya lebihdari satu maka disebut furunkolosis.Faktor
predisposisi:
o Hygiene yang tidak baik
o Diabetes mellitus
o Kegemukan
o Sindrom hiper IgE
o Carier kronik S.aureus (hidung)
o Gangguan kemotaktik
o Ada penyakit yang mendasari, seperti HIV
o Sebagai komplikasi dari dermatitis atopi, ekscoriasi, scabies atau
pedikulosis (adanya lesi pada kulit atau kulit utuh bisa juga karena
garukan atau sering bergesekan).
 Rinitis
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen
yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi
paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet,1986).
 Stomatitis
Stomatitis Aphtous Reccurent atau yang di kalangan awam disebut sariawan
adalah luka yang terbatas pada jaringan lunak rongga mulut. Hingga kini,
penyebab dari sariawan ini belum dipastikan, tetapi ada faktor-faktor yang
diduga kuat menjadi pemicu atau pencetusnya.
Beberapa diantaranya adalah:
 Trauma pada jaringan lunak mulut (selain gigi), misal tergigit,
atau ada gigi yang posisinya di luar lengkung rahang yang
normal sehingga menyebabkan jaringan lunak selalu
tergesek/tergigit pada saat makan/mengunyah
 Kekurangan nutrisi,terutama vitamin B12, asam folat dan zat
besi.
 Stress
 Gangguan hormonal, seperti pada saat wanita akan memasuki
masa menstruasi di mana terjadi perubahan hormonal sehingga
lebih rentan terhadap iritasi
 Gangguan autoimun / kekebalan tubuh, pada beberapa kasus
penderita memiliki respon imun yang abnormal terhadap
jaringan mukosanya sendiri.
 Penggunaan gigi tiruan yang tidak pas atau ada bagian dari gigi
tiruan yang mengiritasi jaringan lunak
 Pada beberapa orang, sariawan dapat disebabkan karena
hipersensitivitas terhadap rangsangan antigenik tertentu
terutama makanan.
 Konjungtivitis
Konjungtivitis adalah radang atau infeksi pada konjungtiva dimana batasnya
dari kelopak mata hingga sebagian bola mata.Etiologi:
o Infeksi oleh virus
o Reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang
o Iritasi oleh angin, debu, asap dan polusi lainnya
o Kelainan saluran air mata, dll.
 Kolitis Bronkolitis
 Hepatomegali

2.2.7 . Pemeriksaan penunjang


 RAST (Radio Allergo Sorbent Test) atau ELISA (Enzym Linked
Immunosorbent Assay test )
Pemeriksaan yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik, namun memerlukan
biaya yang mahal. Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap alergen hirup dan
makanan. Tes ini memerlukan sampel serum darah sebanyak 2 cc. Lalu serum
darah tersebut diproses dengan mesin komputerisasi khusus,hasilnya dapat
diketahui setelah 4 jam.
Kelebihan tes ini : dapat dilakukan pada usia berapapun, tidak dipengaruhi
oleh obat-obatan.
 Skin Prick Test (Tes tusuk kulit)
Tes ini untuk memeriksa alergi terhadap alergen hirup dan makanan, misalnya
debu, tungau debu, serpih kulit binatang, udang, kepiting dan lain-lain. Tes ini
dilakukan di kulit lengan bawah sisi dalam, lalu alergen yang diuji ditusukkan
pada kulit dengan menggunakan jarum khusus (panjang mata jarum 2 mm),
jadi tidak menimbulkan luka, berdarah di kulit. Hasilnya dapat segera
diketahui dalam waktu 30 menit Bila positif alergi terhadap alergen tertentu
akan timbul bentol merah gatal.Syarat tes ini :
o Pasien harus dalam keadaan sehat dan bebas obat yang mengandung
antihistamin (obat anti alergi) selama 3 – 7 hari, tergantung jenis
obatnya.
o Umur yang di anjurkan 4 – 50 tahun.
 Skin Test (Tes kulit)
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang disuntikkan.
Dilakukan di kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan obat yang akan di
tes. Hasil tes yang positif menunjukkan adanya reaksi hipersensitivitas yang
segera pada individu tersebut, atau dengan kata lain pada epikutan individu
tersebut terdapat kompleks IgE mast.
 Patch Test (Tes Tempel)
Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada penyakit
dermatitis atau eksim. Tes ini dilakukan di kulit punggung. Hasil tes ini baru
dapat dibaca setelah 48 jam. Bila positif terhadap bahan kimia tertentu, akan
timbul bercak kemerahan dan melenting pada kulit.Syarat tes ini :
o Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang
berkeringat, mandi, posisi tidur tertelungkup, punggung tidak boleh
bergesekan.
o 2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung steroid
atau anti bengkak. Daerah pungung harus bebas dari obat oles, krim
atau salep.
o Hasil tes baru dapat dibaca setelah 15 menit. Bila positif akan timbul
bentol, merah, gatal.
 Tes Provokasi
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang diminum,
makanan, dapat juga untuk alergen hirup, contohnya debu. Tes provokasi
untuk alergen hirup dinamakan tes provokasi bronkial. Tes ini digunakan
untuk penyakit asma dan pilek alergi. Tes provokasi bronkial dan makanan
sudah jarang dipakai, karena tidak nyaman untuk pasien dan berisiko tinggi
terjadinya serangan asma dan syok.
 Uji gores (scratch test)
Merupakan uji yang membawa resiko yang relatif rendah, namun reaksi alergi
sistemik telah dilaporkan. Tes ini dilakukan diperkutan.
 Uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-
point titration/ SET)
Memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan tes kulit cukit.
SET (Skin End Point Titration) merupakan pengembangan larutan tunggal
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai
konsentrasi. Selain dapat mengetahui alergen penyebab, dapat juga
menentukan derajat alergi serta dosis awal untuk immunoterapi.Uji cukit
paling sesuai karena mudah dilakukan dan dapat ditoleransi oleh sebagian
penderita termasuk anak, meskipun uji intradermal (SET) akan lebih ideal.
 Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya
dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini
berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari
suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi.
 Pemeriksaan lain seperti analisa gas darah, elektrolit, dan gula darah, tes
fungsi hati,tes fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi, rontgen thorak,
dan lain-lain.

2.8. Penatalaksanaan farmakologis dan non farmakologis


Penatalaksanaan farmakologis
a. Adrenalin
Adrenalin termasuk golongan adrenergik yang akan meningkatkan
konsentrasi cAMP dalam mastosit sehingga terjadi hambatan degranulasi. Selain
itu adrenalin mempunyai manfaat terhadap sel sasaran, yaitu:
 Perangsangan terhadap pembuluh darah kulit, selaput lendir dan kelenjar
liur.
 Mengendurkan otot polos usus, bronkhus dan pembuluh darah otot rangka.
 Perangsangan jantung dengan akibat peningkatan denyut jantung,
kekuatan kontraksinya dan tekanan darah.
 Perangsangan pusat-pusat pengaturan di otak, misalnya pernafasan.
Semua manfaat itu akan dapat mengurangi gejala-gejala reaksi anafilaktik.
Cara pemberiannya yaitu dengan memasukkan larutan adrenalin (epinefrin)
1/1000 dalam air sebanyak 0,01 ml/kgBB, maksimum 0,5 ml (larutan 1:1000),
diberikan secara intramuskular atau subkutan pada lengan atas atau paha. Kalau
anafilaksis terjadi karena suntikan, berikan suntikan adrenalin kedua 0,1-0,3 ml
(larutan 1:1000) secara subkutan pada daerah suntikan untuk mengurangi absorbsi
antigen. Dosis adrenalin pertama dapat diulangi dengan jarak waktu 15- 20 menit
bila diperlukan. Kalau terdapat syok atau kolaps vaskular atau tidak berespons
dengan medikasi intramuskular, dapat diberikan adrenalin 0,1 ml/kgBB dalam 10
ml NaCl fisiologik (larutan 1:10.000) secara intravena dengan kecepatan lambat
(1-2 menit) serta dapat diulang dalam 5-10 menit.
b. Difenhidramin
Difenhidramin merupakan kelompok antihistamin yang bekerja
menghambat histamin yang dihasilkan oleh sel mastosit. Difenhidramin dapat
diberikan secara intravena (kecepatan lambat selama 5 – 10 menit), intramuskular
atau oral (1-2 mg/kgBB) sampai maksimum 50 mg sebagai dosis tunggal,
tergantung dari beratnya reaksi. Yang perlu diingat adalah bahwa difenhidramin
bukan merupakan substitusi adrenalin. Difenhidramin diteruskan secara oral setiap
6 jam selama 24 jam untuk mencegah reaksi berulang. Kalau penderita tidak
memberikan respon dengan tindakan di atas, jadi penderita masih tetap hipotensif
atau tetap dengan kesulitan bernapas, maka penderita perlu dirawat di unit
perawatan intensif dan pengobatan diteruskan dengan langkah berikut:
· Cairan intravena
Untuk mengatasi syok dapat diberikan cairan NaCl fisiologis dan glukosa 5%
dengan perbandingan 1 : 4 selama 1-2 jam pertama atau sampai syok teratasi. Bila
syok sudah teratasi, cairan tersebut diteruskan dengan dosis sesuai dengan berat
badan.
c. Aminofilin
Apabila bronkospasme menetap, diberikan aminofilin intravena 4-7
mg/kgBB yang dilarutkan dalam cairan intravena (dekstrosa 5%) dengan jumlah
paling sedikit sama. Campuran ini diberikan intravena secara lambat (15-20
menit). Tergantung dari tingkat bronkospasme, aminofilin dapat diteruskan
melalui infus dengan kecepatan 0,2-1,2 mg/kgBB atau 4-5 mg/kgBB intravena
selama 20-30 menit setiap 6 jam. Bila memungkinkan kadar aminofilin serum
harus dimonitor.
d. Teofilin
Teofilin termasuk kelompok xantin yang mempunyai manfaat mengatasi
reaksi anafilaktis. Mekanisme kerjanya melalui sel mastosit dan sel sasarannya
seperti halnya adrenalin. Teofilin menghambat kerja enzim fosfodiesterase yang
akan merusak cAMP, sehingga kadar cAMP akan meningkat akibatnya
degranulasi mestosit dihambat. Selain itu teofilin akan bekerja pada pusat
pernafasan dan otot-otot bronkhus, terlebih saat otot-otot brunkhus dalam keadaan
kontraksi. Semua hal itu akan mengurangi gejala-gejala reaksi anafilaktik.
e. Vasopresor
Bila cairan intravena saja tidak dapat mengontrol tekanan darah, berikan
metaraminol bitartrat (Aramine) 0,0l mg/kgBB (maksimum 5 mg) sebagai
suntikan tunggal secara lambat dengan memonitor aritmia jantung, bila terjadi
aritmia jantung, pengobatan dihentikan segera. Dosis ini dapat diulangi bila
diperlukan, untuk menjaga tekanan darah. Dapat juga diberikan vasopresor lain
seperti levaterenol bitartrat (Levophed) 1 mg dalam 250 ml cairan intravena
dengan kecepatan 0,5 ml/menit atau dopamin (Intropine) yang diberikan bersama
infus, dengan kecepatan 0,3-1,2 mg/kgBB/jam.
f. Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan kelompok obat-obatan yang paling banyak
dipakai pada penyakit radang dan penyakit imunologik. Walaupun pada beberapa
binatang, pemberiannya menimbulkan kerusakan pada jaringan limfoid, namun
pada manusia hal tersebut tidak terjadi. Kortikosteroid mempunyai efek
menghambat radang, disamping menghambat respon imun dan menstabilkan
dinding sel mastosit. Dengan menghambat respons imun dapat menghambat
sintesis IgE.Kortikosteroid tidak menolong pada pelaksanaan akut suatu reaksi
anafilaksis. Pada reaksi anafilaksis sedang dan berat kortikosteroid harus
diberikan. Kortikosteroid berguna untuk mencegah gejala yang lama. Mula-mula
diberikan hidrokortison intravena 7-10 mg/kgBB lalu diteruskan dengan 5
mg/kgBB setiap 6 jam dengan bolus infus. Pengobatan biasanya dapat dihentikan
sesudah 2-3 hari.

Tabel obat-obatan yang digunakan :


No Nama obat Indikasi Kontraindikasi
1. Pehacain Anestesi lokal Inflamasi lokal atau sepsis,
septikemia, tirotoksikosis,
hipersensitif terhadap
anastesi lokal tipe amida

2. Phaminov Untuk meredakan danHipersensitivitas terhadap


mengatasi obstruksi saluranderivat xantin
napas yang berhubungan
dengan asma bronkial dan
penyakit paru kronik lain,
seperti emfisema dan
bronkitis kronis
3. Teosal Bronkitis asmatik, bronkitisHipertiroid, tirotoksikosis
akut atau kronis, emfisema
pulmonar
4. Hydrocortisone Dermatitis atopik, kontak,Penyakit virus, infeksi
alergi; pruritus anogenital,jamur dan bakteri pada
neurodermatitis kulit, akne, dermatitis
perioral, laktasi

2.2. Konsep Keperawatan


2.2.1 Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur,jenis kelamin,pendidikan, alamat, pekerjaaan,
agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, no register dan diagnose
medis.
2. Keluhan utama
Biasanya terdapat kemerahan dan bengkak pada kulit dan terasa gatal.
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluh nyeri perut, sesak nafas, demam, bibirnya bengkak,
tibul kemerahan pada kulit, mual muntah dan terasa gatal.
4. Riwayat penyakit dahulu
Mengkaji apakah sebelumnya pasien pernah mengalami nyeri
perut,sesak nafas, demam,bibirnya bengkak,tibul kemerahan pada
kulit,mual muntah,dan terasa gatal dan pernah menjalani perawatan di
RS atau pengobatan tertentu.
5. Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji apakah dalam keluarga pasien ada/tidak yang mengalami
penyakit yang sama.
6. Riwayat psikososial
Mengkaji orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga,
dampak penyakit pasien terhadap keluarga, masalah yang
mempengaruhi pasien, mekanisme koping terhadap stres, persepsi
pasien terhadap penyakitnya, tugas perkembangan menurut usia saat
ini, dan sistem nilai kepercayaan.
7. Pemeriksaan fisik
a. kulit, seluruh kulit harus diperhatikan apakah ada peradangan
kronik, bekas garukan terutama daerah pipi dan lipatan kulit
daerah fleksor.
b. Mata, diperiksa terhadap hiperemia, edema, sekret mata yang
berlebihan dan katarak yang sering dihubungkan dengan
penyakit atropi.
c. Telinga, telinga tengah dapat merupakan penyulit rinitis alergi.
d. Hidung, beberapa tanda yang sudah baku misal: salute, allergic
crease, allergic shiners, allergic facies.
e. Mulut dan orofaring pada rinitis alergik, sering terlihat mukosa
orofaring kemerahan, edema. Palatum yang cekung kedalam,
dagu yang kecil serta tulang maksila yang menonjol kadang-
kadang disebabkan alergi kronik.
f. Dada, diperiksa secara infeksi, palpasi, perkusi, auskultasi.
Pada waktu serangan asma kelainan dapat berupa hiperinflasi,
penggunaan otot bantu pernafasan.
g. Periksa tanda-tanda vital terutama tekanan darah.
8. Pemeriksaan Diagnostik.
a. Pemeriksaan pada jumlah leukosit dan hitung jenis sel.
b. Pemeriksaan sel eosinofil pada sekret konjungtiva, hidung,
sputum.
c. Pemeriksaan serum Ig E total dan Ig G spesifik.

2.2.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan terpajan allergen
2. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi
dermal,intrademal sekunder
4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
berlebih
5. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ( allergen,ex:
makanan).

2.2.3 INTERVENSI
NO Tujuan Intervensi
1 NOC: 1. Kaji frekuensi, kedalaman
Setelah melakukan pernapasan dan ekspansi paru.
tindakan 3 x 24 jam, Catat upaya pernapasan,
diharapkan pasien termasuk pengguanaan otot
menunjukkan pola nafas bantu/ pelebaran masal.
2. Observasi pola batuk dan
efektif dengan frekuensi
karakter secret.
dan kedalaman rentang
3. Auskultasi bunyi napas dan
normal.
catat adanya bunyi napas
Kriteria hasil :
adventisius seperti krekels,
 Frekuensi pernapasan mengi, gesekan pleura.
pasien normal (16-20 4. Tinggikan kepala dan bantu
kali per menit) mengubah posisi. Bangunkan
 Pasien tidak merasa pasien turun dari tempat tidur
sesak lagi dan ambulansi sesegera
 Pasien tidak tampak mungkin.
memakai alat bantu 5. Berikan oksigen tambahan.
6. Berikan humidifikasi
pernapasan
 Tidak terdapat tanda- tambahan, mis: nebulizer

tanda sianosis ultrasonic

2 Setelah dilakukan tindakan 1. Pantau suhu pasien ( derajat


keperawatan selama 3 x 24 dan pola ).
2. Pantau suhu lingkungan, batasi
jam, diharapkan suhu
atau tambahkan linen tempat
tubuh pasien menurun.
tidur sesuai indikasi.
Kriteria hasil :
3. Berikan kompres mandi
 Suhu tubuh pasien hangat; hindari penggunaan
kembali normal alcohol
( 36,5 oC -37,5 oC)
 Bibir pasien tidak
bengkak lagi
3 Setelah dilakukan tindakan 1. Lihat kulit, adanya edema,
keperawatan selama 3 x 24 area sirkulasinya terganggu
jam, diharapkan pasien atau pigmentasi.
2. Hindari obat intramaskular.
tidak akan mengalami
3. Beritahu pasien untuk tidak
kerusakan integritas kulit
menggaruk area yang gatal..
lebih parah.
Kriteria hasil :
 Tidak terdapat
kemerahan,bentol-
bentol dan odema
 Tidak terdapat
tanda-tanda
urtikaria,pruritus
dan angioderma
 Kerusakan
integritas kulit
berkurang

4 NOC: 1. Kaji turgor kulit, kelembaban


Setelah dilakukan tindakan membrane mukosa (bibir,
keperawatan selam 3 x 24 lidah).
2. Ukur dan pantau TTV, contoh
jam, diharapkan
peningakatan suhu/ demam
kekurangan volume cairan
memanjang, takikardia,
pada pasien dapat teratasi.
hipotensi ortostatik.
Kriteria hasil :
3. Beri obat sesuai indikasi
 Pasien tidak misalnya antipiretik,
mengalami diare antiemetic.
lagi
 Pasien tidak
mengalami mual
dan muntah
 Tidak terdapat
tanda-tanda
dehidrasi
 Turgor kulit
kembali normal
5 Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji tingkat nyeri (PQRST)
2. Observasi TTV
keperawatan selama 3 x 24
3. Bantu pasien melakukan
jam, diharapkan nyeri
teknik relaksasi
pasien teratasi 4. Berikan posisi yang nyaman
kriteria hasil : sesuai dengan kebutuhan
5. Ciptakan suasana yang tenang
Pasien menyatakan dan
6. Kolaborasi dengan dokter
menunjukkan nyerinya
dalam pemberian analgesik
hilang
Wajah tidak meringis
Skala nyeri 0
 Hasil pengukuran
TTV dalam batas
normal, TTV
normal yaitu :
 Tekanan darah :
140-90/90-60
mmHg
 Nadi
60-100 kali/menit
 Pernapasan
: 16-20 kali/menit
 Suhu 36-37oC

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume
3, Jakarta:EGC..
Price & Wilson.2003.Patofisiologi konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Vol
2.Edisi 6.Jakarta:EGC.

Anda mungkin juga menyukai