Anda di halaman 1dari 68

PROPOSAL SKRIPSI

FORMULASI DAN UJI EFEKTIVITAS SEDIAAN

SALEP MINYAK ATSIRI RIMPANG LENGKUAS

MERAH (Alpinia Purpurata K. Schum) TERHADAP

Candida albicans

Disusun Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.,Farm)

Disusun Oleh :

Ryan Saputra Tatang

15040059

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI FARMASI MUHAMMADIYAH

TANGERANG

BANTEN

2019
PROPOSAL SKRIPSI

FORMULASI DAN UJI EFEKTIVITAS SEDIAAN

SALEP MINYAK ATSIRI RIMPANG LENGKUAS

MERAH (Alpinia Purpurata K. Schum) TERHADAP

Candida albicans

Disusun Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Disusun Oleh:

Ryan Saputra Tatang

15040059

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI FARMASI MUHAMMADIYAH

TANGERANG BANTEN

2019

i
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan hayati

terbesar di dunia yang memiliki lebih dari 30.000 spesies tanaman tingkat

tinggi. Hingga saat ini, tercatat 7000 spesies tanaman telah diketahui

khasiatnya namun kurang dari 300 tanaman yang digunakan sebagai bahan

baku industri farmasi secara regular. Sekitar 1000 jenis tanaman yang telah

diidentifikasi dari aspek botani sistematik tumbuhan dengan baik. WHO

pada tahun 2008 mencatat bahwa 68% penduduk dunia masih

menggantungkan sistem pengobatan tradisional yang mayoritas melibatkan

tumbuhan untuk menyembuhkan penyakit dan lebih dari 80% penduduk

dunia menggunakan obat herbal untuk mendukung kesehatan mereka

(Saifudin, et.al., 2011).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lengkuas memiliki khasiat

sebagai antijamur. Salah satu hasil penelitian menyatakan bahwa adanya

perbedaan yang signifikan dalam menghambat pertumbuhan jamur Candida

albicans secara in vitro pada ekstrak lengkuas merah dan ekstrak lengkuas putih.

Perbedaan tersebut ditandai dengan rerata luas diameter pada daya hambat jamur

Candida albicans dalam cawan petri terhadap ekstrak lengkuas merah sebesar

6,33 mm sedangkan pada ekstrak lengkuas putih sebesar 5,00 mm (Tiwi Pratiwi,

2018).

1
2

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Anik Andayani,2014.

Tentang anti candida minyak atsiri lengkuas putih (Alpinia Galanga)

terhadap c. albicans penyebab candidiasis secara invitro yaitu dengan

hasil menunjukkan bahwa konsentrasi minyak atsiri lengkuas putih 12,5%

mampu menghambat pertumbuhan C. albicans. Minimum Inhibitory

Concentration (MIC) minyak atsiri lengkuas putih pada konsentrasi 1,56%

dan Minimum Fungisidal Concentration (MFC) minyak atsiri lengkuas

putih pada konsentrasi 3,25%.

Selain itu, rimpang lengkuas merah Alpinia purpurata K. Schum

mengandung senyawa flavonoid, kaempferol-3rutinoside dan kaempferol-

3-oliucronide(Cristiane P. Victorio, 2009) . Itokawa dan Takeya (1993)

menjelaskan bahwa tanaman lengkuas mengandung golongan senyawa

flavonoid, fenol dan terpenoid yang dapat digunakan sebagai bahan dasar

obat-obatan modern. Rimpang lengkuas merah Alpinia purpurat K. Schum

dapat digunakan untuk mengobati masuk angin, diare, gangguan perut,

penyakit kulit, radang telinga, bronkhitis, dan pereda kejang (Soenanto dan

Sri, 2009).

Salah satu sediaan topikal yaitu salep dapat memungkinkan kontak

dengan tempat aplikasi lebih lama sehingga pelepasan zat aktif minyak

atsiri akan lebih maksimal. Selain itu sediaan salep juga lebih disukai

karena lebih mudah, praktis, menimbulkan rasa dingin, melindungi daerah

yang terluka dari udara luar dan mempermudah perbaikan kulit,

menjadikan kulit lebih lembab atau untuk menghasilkan efek emolient


3

serta menghantarkan obat pada kulit untuk efek khusus topikal atau

sistemik (Tjay dan Rahardja, 2002).

Berdasarkan hal tersebut peneliti ingin melakukan penelitian lebih

lanjut tentang Formulasi Dan Uji Aktivitas Sediaan Salep Minyak Atsiri

Rimpang Lengkuas Merah (alpinia purpurata K. schum) Terhadap

Candida albicans. Evaluasi dilakukan pada semua formula untuk melihat

formula yang terbaik berdasarkan stabilitas fisik sediaan yang memenuhi

persyaratan dan efektif sebagai antifungi terhadap Candida albicans.

I.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan beberapa

permasalahan, yaitu :

a. Bagaimanakah sifat fisik sediaan salep minyak atsiri rimpang lengkuas

merah (alpinia purpurata K. schum) berdasarkan uji organoleptis,

homogenitas, pH, daya lekat, viskositas, dan daya sebar ?

b. Pada konsentrasi formulasi berapakah sediaan salep minyak atsiri

rimpang lengkuas merah (alpinia purpurata K. schum) mempunyai

efektivitas yang paling baik terhadap fungi Candida albicans ?

c. Bagaimana perbandingan salep minyak atsiri rimpang lengkuas merah

(alpinia purpurataK. schum) dengan sediaan salep yang di buat di

pasaran sebagai antifungi Candida albicans?


4

I.3 Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui sifat fisik sediaan salep minyak atsiri rimpang

lengkuas merah (alpinia purpurata K. schum) berdasarkan uji

organoleptis, homogenitas, pH, daya lekat, viskositas, dan daya sebar.

b. Mengetahui pada konsentrasi formulasi berapakah sediaan salep

minyak atsiri rimpang lengkuas merah (alpinia purpurata K. schum)

mempunyai efektivitas yang paling baik terhadap fungi Candida

albicans.

c. Mengetahui perbandingan salep minyak atsiri rimpang lengkuas

merah (alpinia purpurataK. schum) dengan sediaan salep yang di buat

di pasaran sebagai antifungi Candida albicans.

I.4 Manfaat Penelitian

A. Bagi Peneliti

a. Menerapkan dan memanfaatkan ilmu yang telah didapat selama

pendidikan.

b. Menambah pengetahuan tentang formulasi sediaan salep minyak

atsiri rimpang lengkuas merah (alpinia purpurata K. schum).

B. Bagi Institusi

a. Hasil penelitian dapat menjadi inspirasi bagi dunia farmasi dalam

pengembangan potensi tanaman herbal lengkuas merah (alpinia

purpurata K. schum), terutama sebagai sediaan salep.


5

b. Dapat berguna sebagai sumber informasi guna kepentingan

penelitian selanjutnya.

C. Bagi Masyarakat

Dapat memberikan informasi obat alternatif dari bahan alam

atau tumbuhan yang dapat bermanfaat sebagai obat antifungi.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Morfologi Tanaman

Lengkuas termasuk tumbuhan tegak yang tinggi batangnya

mencapai 2-2,5 meter. Lengkuas dapat hidup didaerah dataran rendah

samapi dataran tinggi, lebih kurang 1200 meter diatas permukaan laut.

Lengkuas mempunyai batang pohon yang terdiri dari susunan pelepah-

pelepah daun. Daun-daunnya berbentuk bulat panjang dan antara daun

yang terdapat pada bagian bawah terdiri dari pelepah-pelepah saja,

sedangkan bagian atas batang terdiri dari pelepah-pelepah lengkap dengan

helaian daun. Bunganya muncul pada bagian ujung tumbuhan. Rimpang

umbi lengkuas selain berserat kasar juga mempunyai aroma yang khas.

Rimpang lengkuas merupakan salah satu bahan obat alam yang

telah banyak digunakan oleh masyarakat untuk pengobatan tradisional,

terbagi menjadi dua jenis, yaitu lengkuas putuh (Alpinia galanga (L.)

wold) dan lengkuas merah (Alpinia purpurataka K. Schum). Varietas

rimpang umbi merah atau dapat disebut sebagai lengkuas merah (Alpinia

purpurataka K.Schum) mempunyai ukuran yang lebih besar daripada

lengkuas putih dan khasiatnya untuk obat lebih banyak (midun, 2012).

6
7

II.1.1 Klasifikasi Lengkuas merah (Alpinia purpurata K. Schum)

Tinjauan mengenai tumbuhan ini meliputi klasifikasi, nama

daerah, deskripsi tumbuhan, manfaat serta kandungan kimia.

Gambar II.1 Lengkuas merah (Alpinia purpurata K. schum)

II.1.2 Taksonomi Tanaman

Berikut taksonomi lengkuas merah menurut (Rahmat, 2017),

yaitu :

Kingdom : Plantae

Devisio : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Ordo : Zingiberales

Famili : Zingiberaceae

Genus : Alpinia

Spesies : Alpinia purpurata K. Schum

II.1.3 Kandungan Kimia

Lengkuas yang dikenal kaya akan kandungannya kimia

mengandung lebih kurang 1% minyak atsiri berwarna kuning

kehijauan yang terutama terdiri dari metil-sinamat 48%, sineol


8

20%-30%, kamfer 1%, sekuiterpen, serta eugenol rasa pedih pada

lengkuas. Didalam lengkuas merah (Alpinia purpurataka K.Schum)

terdapat zat antibakteri yaitu berupa saponin, tanin. Selain itu,

lengkuas mengandung resin yang dapat galangol, kristal berwarna

kuning yang disebut kamfarida dan galangin, kadinen,

haksabidrokadalen hidrat, kuersetin, amilum, dan galangin,

kadinen, heksabidrokadalen hidrat, kuersetin, amilum, dan

beberapa senyawa flavonoid yang merupakan golongan fenolik

terbesar dan terpenoid. Pada golongan flavonoid adalah kalkon.

Kalkon adalah komponen berwarna kuning terang.

Komponen lainnya ditemukan pada Alpinia adalah

flavonon. komponen flavonon dan dihidroflavonol dikenal sebagai

senyawa yang bersifat fungsistatik dan fungsida dan yang terdapat

pada tumbuhan alpina dan kaempferia dari golongan zingiberaceae

adalah alpinetin (Wattimena dkk, 1991).


9

Komposisi rimpang lengkuas merah kering dapat dilihat pada Tabel

II.1

Tabel II.1 Komposisi Rimpang Lengkuas merah kering.

Komponen Kandungan(%)

Air 7,65

Abu 12,28

Lemak 1,59

Pati 26,44

Serat kasar 11,55

Protein 3,07

Minyak atsiri 0,27

Kamferid 0,07

Mineral 0,03

Bentuk senyawa bioaktif lainnya adalah dari golongan

terpenoid. golongan ini dikenal sebagai kelompok utama pada

tanaman sebagai penyusun minyak atsiri. Terpenoid mempunyai

rumus dasar (C5H8)n atau dengan satu unit isopren. Jumlah n

menunjukan klasifikasi pada terpenoid yang dikenal dengan

moniterpen, seskwiterpen, diterpen, triterpen, tertraterpen dan


10

politerpen. Struktur terpenoid ada yang berbentuk siklik dan ada

yang tidak (Guenther, 2006).

II.1.4 Khasiat Tanaman

Khasiat rimpang lengkuas juga sudah dibuktikan secara

ilmiah melalui berbagai penelitian sebagai anti jamur. Secara

tradisional sejak zaman dahulu, parutan rimpak lengkuas merah

lengkuas kerap digunakan sebagai obat penyakit kulit, terutama

disebabkan oleh jamur seperti panu, kurap, eksim, jerawat, koreng,

bisul, dan sebagainya. Senyawa kimia utama lengkuas yang

berpotensi sebagai antijamur adalah minyak atsiri yang tersusun

atas eugenol, seskuiterpen, pinen, metil-sinamat, kaemferida,

galangan, dan galangol (Handajani, 2008).


11

II.2 Candida Albicans

II.2.1. Taksonomi Candida Albicans

Taksonomi Candida albicans menurut Enan, Gamal dkk, 2015

Kingdom : Mycetae

Phylum : Ascomycota

Subphylum : Ascomycotina

Order : Saccharomycetales

Family : Saccharomycetaceae

Genus : Candida

Gambar II.2 Candida Albicans 100 x perbesaran mikroskop (Mouna Akeel,

2015)

Candida albicans jamur candida telah dikenal dan

dipelajari sejak abad ke-18 yang menyebabkan penyakit yang

dihubungkan dengan higiene yang buruk. Nama Kandida

diperkenalkan pada Third Internasional Microbiology Congress di

New York pada tahun 1938, dan dibakukan pada Eight Botanical

Congress di Paris pada tahun 1954. Candida albicans penyebab

kondisi terdapat diseluruh dunia dengan sedikit perbedaan variasi

penyakit pada setiap area. Kandidiasis interdigitalis lebih sering

terdapat di daerah tropis sedangkan kandidiasis kuku pada iklim


12

dingin. Penyakit ini dapat mengenai semua umur terutama bayi dan

orang tua.

Infeksi yang disebabkan Kandida dapat berupa akut,

subakut atau kronis pada seluruh tubuh manusia. Candida albicans

adalah monomorphic yeast dan yeast like organisme yang tumbuh

baik pada suhu 25-30oC dan 35-37oC. Struktur dan Pertumbuhan

Candida albicans yaitu organisma yang memiliki dua wujud dan

bentuk secara simultan/dimorphic organisme. Pertama adalah

yeast-like state (non-invasif dan sugar fermenting organisme).

Kedua adalah fungal form memproduksi root-like

structure/struktur seperti akar yang sangat panjang/rhizoids dan

dapat memasuki mukosa (invasif). 4-5 Dinding sel Kandida dan

juga C. albicans bersifat dinamis dengan struktur berlapis, terdiri

dari beberapa jenis karbohidrat berbeda : (i) Mannan (polymers of

mannose) berpasangan dengan protein membentuk glikoprotein

(mannoprotein); (ii) α-glucans yang bercabang menjadi polimer

glukosa yang mengandung α-1,3 dan α-1,6 yang saling berkaitan,

dan (iii) chitin, yaitu homopolimer N-acetyl-D-glucosamine (Glc-

NAc) yang mengandung ikatan α-1,4.

Unsur pokok yang lain adalah protein (6-25%) dan lemak

(1-7%). Yeast cells dan germ tubes memiliki komposisi dinding sel

yang serupa, meskipun jumlah α-glucans, chitin, dan mannan relatif

bervariasi karena faktor morfologinya. Jumlah glucans jauh lebih


13

banyak dibanding mannan pada Candida albicans yang secara

imunologis memiliki keaktifan yang rendah. Jamur Candida

tumbuh dengan cepat pada suhu 25-37oC pada media perbenihan

sederhana sebagai sel oval dengan pembentukan tunas untuk

memperbanyak diri, dan spora jamur disebut blastospora atau sel

ragi/sel khamir. Morfologi mikroskopis Candida albicans

memperlihatkan pseudohyphae dengan cluster di sekitar

blastokonidia bulat bersepta panjang berukuran 3-7x3-14 µm.

Jamur membentuk hifa semu/pseudohifa yang sebenarnya adalah

rangkaian blastospora yang bercabang, juga dapat membentuk hifa

sejati.3-7 Pseudohifa dapat dilihat dengan media perbenihan

khusus.

Candida albicans dapat dikenali dengan kemampuan untuk

membentuk tabung benih/germ tubes dalam serum atau dengan

terbentuknya spora besar berdinding tebal yang dinamakan

chlamydospore. Formasi chlamydospore baru terlihat tumbuh pada

suhu 30-37oC, yang memberi reaksi positif pada pemeriksaan germ

tube. Identifikasi akhir semua spesies jamur memerlukan uji

biokimiawi (Mouna Akeel, 2015).

Kandidiasis invasif (KI) adalah bentuk infeksi berat dan

invasif yang disebabkan oleh spesies jamur Candida. Penyakit ini

dapat bermanifestasi sebagai kandidemia, kandidiasis diseminata,

endokarditis, meningitis, endoftalmitis, dan infeksi pada organ


14

dalam lainnya. Bentuk infeksi Candida yang lebih ringan dan

superfisial, seperti kandidiasis orofaringeal dan esofageal, tidak

termasuk didalamnya. (Ostrosky-Zeichner L & Pappas PG, 2006).

Spesies Candida penyebab KI tersering adalah C. albicans, namun

saat ini terdapat peningkatan proporsi spesies Candida non

albicans yang menjadi penyebab KI, yaitu C. tropicalis, C.

parapsilosis, dan jenis Candida yang lain (Paramythiotou E, at al

2014)

II.3 Simplisia

II.3.1. Pengertian Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai

obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali

dinyatakan lain. Simplisia merupakan bahan yang telah dikeringkan

(Katno, 2008).

Berdasarkan bahan bakunya simplisia dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu

1. Simplisia nabati, adalah simplisia yang berupa tanaman utuh,

bagian tanaman atau eksudat tanaman (isi sel yang secara

spontan keluar dari tanaman atau yang dengan cara tertentu

dikeluarkan dari selnya, atau zat-zat nabati lainnya yang dengan

cara tertentu dipisahkan dari tanamannya).


15

2. Simplisia hewani, adalah simplisia yang berupa hewan utuh,

bagian hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan

dan belum berupa zat kimia murni.

3. Simplisia pelikan atau mineral, adalah simplisia yang berupa

bahan pelikan atau mineral yang belum diolah atau telah diolah

dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni

(Katno, 2008).

Prosedur standar pengolahan tanaman obat menjadi

simplisia bertujuan untuk memenuhi persyaratan simplisia

bahan baku obat tradisional, terutama untuk menjamin

keseragaman senyawa aktif, keamanan, dan khasiat sediaan

akhir.

II.3.2. Tahapan Pembuatan Simplisia

Tahapan pembuatan simplisia menurut, Katno, 2008. Yaitu :

1. Pengumpulan Bahan Baku

Bahan baku simplisia idealnya diperoleh dari tanaman obat

yang dibudidayakan secara intensif. Beberapa hal yang harus

diperhatikan dalam pengumpulan bahan baku simplisia adalah

tanaman yang akan digunakan, umur tanaman atau bagian

tanaman saat panen, serta waktu yang tepat untuk panen.

Pengumpulan dilakukan dengan hati-hati agar tidak

merusak bahan dan tanaman induknya, bahan yang dikumpulkan


16

benar-benar dipilih sesuai kebutuhan. Penggunaan alat-alat dari

logam sebaiknya dihindari karena akan merusak beberapa

senyawa kimia yang terdapat dalam tanaman, misalnya tanin,

fenol dan likosida.

2. Sortasi Basah

Sortasi basah dilakukan pada bahan segar dengan cara

memisahkan kotoran dan atau bahan asing lainnya yang terikut

saat pengumpulan, seperti tanah, kerikil, rumput, gulma, dan

bagian tanaman yang tidak diinginkan. Tanah sangat potensial

sebagai tempat hidup mikroba yang dapat menurunkan mutu

simplisia. Dilakukan pula pemilihan bahan berdasarkan ukuran

panjang, lebar, besar ataupun kecil. Sortasi basah berfungsi

untuk mengurangi cemaran mikroba, serta memperoleh

simplisia dengan jenis dan ukuran seperti yang dikehendaki.

3. Pencucian

Tanah dan kotoran yang tidak dapat dihilangkan pada

kegiatan sortasi basah dapat dibersihkan pada tahap pencucian.

Pencucian berfungsi untuk menurunkan jumlah mikroba yang

menyebabkan pembusukan dan membuat penampilan fisik

simplisia lebih menarik. Pencucian dilakukan dengan air bersih

(standar air minum), sebaiknya dengan air mengalir agar kotoran

yang terlepas tidak menempel kembali. Kotoran yang melekat


17

dengan kuat dan berada di bagian yang sudah dibersihkan dapat

dihilangkan dengan penyemprotan air bertekanan tinggi.

4. Perajangan (pengubahan bentuk)

Beberapa jenis bahan baku simplisia seringkali harus

diubah menjadi bentuk lain misalnya irisan, potongan dan

serutan, untuk memudahkan kegiatan pengeringan, pengemasan,

penggilingan dan penyimpanan serta pengolahan selanjutnya.

Semakin tipis ukuran hasil rajangan atau serutan akan

mempercepat proses penguapan air sehingga mempercepat

waktu pengeringan, namun jika terlalu tipis dapat menyebabkan

berkurangnya kadar senyawa aktif, terutama senyawa yang

mudah menguap.

5. Pengeringan

Bahan tanaman jarang sekali digunakan dalam keadaan

segar, karena mudah rusak dan tidak dapat disimpan dalam

waktu lama. Pada dasarnya pengeringan bahan simplisia dapat

dilakukan dengan dua cara, yaitu secara alamiah dan buatan.

Pengeringan secara lamiah memanfaatkan unsur iklim antaranya

cahaya matahari, hembusan angin, dan pergantian udara.

Pengeringan buatan dilakukan dengan menggunakan suatu alat

yang memanfaatkan energi panas, listrik, atau api.


18

6. Sortasi Kering

Prinsip kegiatan sortasi kering sama dengan sortasi basah,

tetapi dilakukan saat bahan simplisia telah kering sebeum

dikemas. Sortasi kering bertujuan untuk memisahkan benda-

benda asing dan pengotor lain yang masih ada, seperti bagian

yang tidak diinginkan, tanah, atau pasir. Kegiatan sortasi kering

dilakukan untuk lebih menjamin simplisia benar-benar bebas

dari bahan asing.

7. Pengemasan

Pengemasan atau pengepakan simplisia sangat berpengaruh

terhadap mutu simplisia terkait dengan pengangkutan dan

penyimpanan. Kegiatan ini bertujuan untuk melindungi

(proteksi) simplisia saat pengangkutan, distribusi dan

penyimpanan, dari gangguan luar seperti suhu, kelembaban,

sinar, pencemaran mikroba, serta serangan berbagai jenis

serangga.

8. Penyimpanan

Kegiatan penyimpanan dilakukuan bila simplisia secara

kuantitatif melebihi kebutuhan serta untuk memenuhi kebutuhan

jangka panjang. Penyimpanan merupakan upaya untuk

mempertahankan kualitas simplisia, baik fisik maupun jenis dan

kadar senyawa kimianya, sehingga tetap memenuhi persyaratan

mutu yang ditetapkan.


19

II.4 Ekstraksi dan Ekstrak

II.4.1 Pengertian Ekstrak

Ekstrak adalah suatu produk hasil pengambilan zat aktif

melalui proses ekstraksi menggunakan pelarut, dimana pelarut yang

digunakan diuapkan kembali segingga zat aktif ekstrak menjadi

pekat. Bentuk dari ekstrak yang dihasilkan dapat berupa ekstrak

kental atau ekstrak kering tergantung jumlah pelarut yang diuapkan

(Marjoni, Riza, 2016)

II.4.2 Parameter Ekstraksi (Depkes RI, 2000)

Dalam memperoleh ekstraksi yang baik harus diperhatikan

parameter-parameter sebagi berikut;

1. Parameter Nonspesifik

a. Susut Pengeringan

Susut pengeringan merupakan pengukuran sisa zat

setelah pengeringan pada temperature 1050C selama 30 menit

atau sampai berat konstan, yang dinyatakan sebagai nilai

persen. Dalam hal khusus (jika bahan tidak mengandung

minyak menguap atau atsiri dan sisa pelarut organik

menguap) identik dengan kadar air, yaitu kandungan air

karena berada di atmosfer atau lingkungan udara terbuka.

Tujuannya adalah untuk memberikan batasan maksimal

(rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses


20

pengeringan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait

dengan kemurnian dan kontaminasi.

b. Bobot Jenis

Bobot Jenis merupakan masa per satuan volume pada

suhu kamar tertentu (250C) yang ditentukan dengan alat

khusus piknometer atau alat lainnya. Tujuannya untuk

memberikan batasan tentang besarnya masa per satuan

volume yang merupakan parameter khusus ekstrak cair

sampai ekstrak pekat (kental) yang masih dapat dituang. Nilai

atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian

dan kontaminasi.

c. Kadar Air

Pengukuran kandungan air yang berada didalam bahan,

dilakukan dengan cara yang tepat. Tujuannya untuk

memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya

kandungan air didalam bahan. Nilai atau rentang yang

diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi.

d. Kadar Abu

Bahan dipanaskan pada temperatur dimana senyawa

organic dan turunannya terdestruksi dan menguap, sehingga

menyisakan unsur mineral dan anorganik. Tujuannya untuk

memberikan gambaran kandungan mineral internal dan

eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbentuk


21

ekstrak. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan

kemurnian dan kontaminasi.

e. Sisa pelarut.

Menentukan kandungan sisa pelarut tertentu (yang

memang ditambahkan). Tujuannya untuk memberikan

jaminan bahwa selama proses tidak meninggalkan sisa

pelarut yang memang seharusnya tidak boleh ada.

f. Residu pestisida

Menentukan kandungan sisa pestisida yang mugkin saja

peprnah ditambahkan atau mengkontanminasi pada bahan

simplisia pembuat ekstrak. Tujuannya untuk memberikan

jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung pestisida melebihi

nilai yang dietapkan karena berbahaya bagi kesehatan. Nilai

atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian

dan kontaminasi.

g. Cemaran logam berat

Menentukan kandungan logam berat secara

spektroskopi serapan atom atau lainnya yang lebih valid.

Tujuannya untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak

mengandung logam berat tertentu (Hg, Pb, Cd, dan lain-lain)

melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya bagi

kesehatan.
22

h. Cemaran mikroba

Menentukan adanya mikroba yang patogen secara

analisis mikrobiologis. Tujuannya untuk memberikan

jaminan bahwa ekstrak tidak boleh mengandung mikroba

patogen yang melebihi batas.

2. Parameter Spesifik

a. Identitas

Meliputi deskripsi tata nama (nama ekstrak, nama latin

tumbuhan, bagian tumbuhan yang digunakan, nama

tumbuhan indonesia) dan dapat mempunyai senyawa

identitas. Tujuannya untuk memberikan identitas obyektif

dari nama dan spesifik dari senyawa identitas.

b. Organoleptik

Meliputi penggunaan panca indra untuk

mendeskripsikan bentuk (padat, serbuk, kering, kental, cair)

warna (kuning, coklat, dan lain-lain), bau (aromatic, tidak

berbau, berbau), rasa (pahit, manis, kelat). Dengan tujuan

untuk pengenalan awal yang sederhana.

c. Senyawa yang terlarut dalam pelarut tertentu.

Melarutkan pelarut ekstrak dengan pelarut (alkohol atau

air) untuk ditetapkan jumlah solute yang identik dengan

jumlah senyawa kandungan secara gravimetri.


23

II.4.3 Metode-metode Ekstraksi

Metode Ekstraksi menurut Marjoni, Riza, 2016, yaitu :

1. Ekstraksi secara dingin

Metode ekstraksi secara dingin bertujuan untuk

mengekstrak senyawa-senyawa yang terdapat dalam simplisia

yang tidak tahan terhadap panas atau bersifat termolabil.

Ekstraksi secara dingin dapat dilakukan dengan beberapa cara

berikut ini:

a. Maserasi

Maserasi adalah proses ekstraksi sederhana yang

dilakukan hanya dengan cara merendam simplisia dalam

satu atau campuran pelarut selama waktu tertentu pada

temperatur kamar dan terlindung dari cahaya.

b. Perkolasi

Perkolasi adalah proses penyarian zat aktif secara

dingin dengan cara mengalirkan pelarut secara kontinu pada

simplisia selama waktu tertentu.

2. Ekstraksi secara panas

Metode panas digunakan apabila senyawa-senyawa yang

terkandung dalam simplisia sudah dipastikan tahan panas.

Metode ekstraksi yang membutuhkan panas diantaranya:


24

a. Seduhan

Seduhan merupakan metode ekstraksi paling

sederhana hanya dengan merendam simplisia dengan air

panas selama waktu tertentu (5-10 menit).

b. Penggodokan (Coque)

Penggodokan merupakan penyarian dengan cara

menggodok simplisia menggunakan api langsung dan

hasilnya dapat langsung digunakan sebagai obat baik secara

keseluruhan termasuk ampasnya atau hanya hasil godokan

saja tanpa ampas.

c. Infusa

Infusa merupakan sediaan cair yang dibuat dengan

cara menyari simplisia nabati dengan air pada suhu 900C

selama 15 menit.

d. Digestasi

Digestasi adalah proses ekstraksi yang cara kerjanya

hampir sama dengan maserasi, hanya saja digesti

mengunakan pemanasan rendah pada suhu 30-400C. Metode

ini biasanya digunakan untuk simplisia yang tersari baik

pada suhu biasa.

e. Dekokta

Proses penyarian secara dekokta hampir sama dengan

infusa, perbedaannya hanya terletak pada lamanya watu


25

pemanasan pada dekokta lebih lama dibanding metode

infusa, yaitu 30 menit dihitung setelah suhu mencapai 900C.

Metode ini sudah sangat jarang digunakan karena selain

proses penyariannya yang kurang sempurna dan juga tidak

dapat digunakan untuk mengekstraksi senyawa yang

bersifaat yang termolabil.

f. Refluks

Refluks merupakan proses ekstraksi dengan pelarut

pada titik didih pelarut selama waktu dan jumlah pelarut

tertentu dengan adanya pendingin balik (kondensor). Proses

ini umumnya dilakukan 3-5 kali pengulangan pada residu

pertama, sehingga termasuk proses ekstraksi yang cukup

sempurna.

g. Soxhletasi

Proses soxhletasi merupakan proses ekstraksi panas

menggunakan alat khusus berupa esktraktor soxhlet. Suhu

yang digunakan lebih rendah dibandingkan dengan suhu

pada metoda refluks.


26

II.4.4 Pelarut Untuk Ekstraksi

Pelarut pada umumnya adalah zat yang berada pada larutan

dalam jumlah yang besar, sedangkan zat lainnya dianggap sebagai

zat terlarut. Menurut Marjoni, Riza, 2016, yaitu :

1. Macam-macam pelarut

a. Air

Air merupakan salah satu pelarut yang mudah, murah

dan dipakai secara luas oleh masyarakat. Pada suhu kamar,

air merupakan pelarut yang baik. Secara umum peningkatan

suhu air, dapat meningkatkan kelarutan suatu zat.

b. Etanol

Berbeda dengan air yang dapat melarutkan berbagai

macam zat aktif, etanol hanya dapat melarutkan zat-zat

tertentu saja seperti alkaloida, glikosida, damar-damar dan

minyak atsiri. Etanol tidak bisa digunakan untuk

mengekstraksi bahan dari jenis-jenis gom, gula dan

albumin.

c. Gliserin

Gliserin digunakan sebagai pelarut terutama untuk

menarik zat aktif dari simplisia yang mengandung zat

samak. Di samping itu, gliserin juga merupakan pelarut

yang baik untuk golongan tanin dan hasil oksidannya,

berbagai jenis gom dan albumin.


27

d. Eter

Eter merupakan pelarut yang sangat mudah menguap

sehingga tidak dianjurkan untuk pembuatan sediaan obat

yang akan disimpan dalam jangka waktu yang lama.

e. Heksana

Heksana adalah pelarut yang berasal dari hasil

penyulingan minyak bumi. Heksana merupakan pelarut

yang baik untuk lemak dan minyak. Pelarut ini biasanya

dieprgunakan untuk menghilangkan lemak pengotor dari

simplisia sebelum simplisia tersebut dibuat sediaan galenik.

2. Pengelompokan Pelarut yang digunakan dalam Ekstraksi

Berdasarkan Kepolaran

a. Pelarut Polar

Pelarut polar adalah senyawa yang memiliki rumus

umum ROH dan menunjukan adanya atom hidrogen yang

menyerang atom elektronegatif (oksigen). Contoh pelarut

polar diantaranya : Air, metanol, etanol dan asam asetat.

b. Pelarut semipolar

Pelarut semipolar adalah pelarut yang memiliki

molekul yang tidak mengandung ikatan O-H. Pelarut

semipolar memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah

dibandingkan dengan pelarut polar. Contoh pelarut


28

semipolar adalah : Aseton, etil asetat, DMSO dan dikloro

metan.

c. Pelarut nonpolar

Pelarut nonpolar merupakan senyawa yang memiliki

konstanta dielektrik yang rendah dna tidak larut dalam air.

Contoh pelarut non polar : Heksana, kloroform dan eter.

(Marjoni, Riza, 2016)

II.5 Minyak atsiri

II.5.1 Definisi

Minyak atsiri adalah salah satu kandungan tanaman yang

sering disebut minyak terbang. Minyak atsiri dinamakan demikian

karena minyak tersebut mudah menguap. Selain itu, minyak atsiri

juga disebut essential oil (yang berasal dari kata essence) karena

minyak tersebut memberikan bau pada tanaman

(Koensoemardiyah, 2010).

Minyak atsiri merupakan salah satu jenis minyak nabati yang

multimanfaat. Karakteristik fisiknya berupa cairan kental yang

dapat disimpan pada suhu ruang. Bahan baku minyak ini diperoleh

dari berbagai bagian tanaman seperti daun, bunga, buah, biji, kulit

biji, batang, akar, atau rimpang. Salah satu ciri utama minyak atsiri

yaitu mudah menguap dan beraroma khas. Karena itu, minyak ini
29

banyak digunakan sebagai bahan dasar pembuatan wewangian dan

kosmetika (Rusli, 2010).

II.5.2 Minyak Atsiri Pada Rimpang Lengkuas merah

Secara umum, komponen senyawa kimia yang terkandung

dalam lengkuas terdiri dari minyak menguap (volatile oil), minyak

tidak menguap (nonvolatile oil), dan pati. Minyak atsiri termasuk

jenis minyak menguap dan merupakan suatu komponen yang

memberikan rasa pahit dan pedas. Rimpang lengkuas merah selain

mengandung senyawa-senyawa kimia tersebut, juga mengandung

gigerol, 1,8-cineole, 10-dehydro-gingerdione, 6-gingerdione,

arginine, a-linolenic acid, aspartic, β-sitosterol, caprylic acid,

capsaicin, chlorogenis acid, farnesal, farnesene, farnesol, dan unsur

pati seperti tepung kanji, serta serat-serat resin dalam jumlah

sedikit (Tim Lentera, 2002).

Berdasarkan beberapa penelitian, dalam minyak atsiri

lengkuas merah terdapat unsur-unsur n-nonylaldehyde, d-

camphene, d-β phellandrene, methyl heptone, cineol, d-borneol,

geraniol, linalool, acetates dan caprylate, citral, chavicol, dan

zingiberene. Bahan-bahan tersebut merupakan bahan baku

terpenting dalam industri farmasi atau obat-obatan (Tim Lentera,

2002).
30

Minyak atsiri umumnya berwarna kuning, sedikit kental, dan

merupakan senyawa yang memberikan aroma yang khas pada

lengkuas merah . Kandungan minyak atsiri rimpang lengkuas

merah sekitar 2,58%-2,72% dihitung berdasarkan berat kering.

Kandungan minyak atsiri jenis rimpang lengkuas merah yang lain

berada dibawahnya. Besarnya kandungan minyak atsiri dipengaruhi

oleh umur tanaman. Artinya, semakin tua umur lengkuas tersebut,

maka semakin tinggi kandungan minyak atsirinya. Namun, selama

dan sesudah pembungaan, persentase kandungan minyak atsiri

tersebut berkurang, sehingga dianjurkan tidak melakukan

pemanenan pada saat itu. Dengan demikian, selain umur tanaman,

kandungan minyak atsiri rimpang lengkuas merah juga dipengaruhi

oleh umur panen (Tim Lentera, 2002).

II.5.3 Teknik Pengolahan Minyak Atsiri

Isolasi minyak atsiri dapat dilakukan dengan beberapa cara,

yaitu: Penyulingan (destilation), pengepresan (pressing), ekstraksi

dengan pelarut menguap (solvent ectraction), dan ekstraksi dengan

lemak (Yuliani dan Satuhu, 2012).

1. Penyulingan

a. Penyulingan dengan Air

Pada metode ini, bahan tanaman yang akan disuling

mengalami kontak langsung dengan air mendidih. Bahan


31

dapat mengapung diatas air atau terendam secara sempurna,

tergantung pada berat jenis dan jumlah bahan yang disuling.

Ciri khas model ini yaiut adanya kontak langsung antara

bahan dan air mendidih. Penyulingan ini sering disebut

dengan penyulingan langsung.

Penyulingan dengan cara langsung ini dapat

menyebabkan banyaknya rendemen minyak yang hilang

(tidak tersuling) dan terjadi pula penurunan mutu minyak

yang diperoleh (Yulianti dan Satuhu, 2012).

b. Penyulingan dengan uap

Metode ini disebut juga penyulingan uap atau

penyulingan langsunng. Pada prinsipnya, model ini sama

dengan penyulingan langsung. Hanya saja, air penghasil uap

tidak diisikan bersama-sama dalam ketel penyulingan. Uap

yang digunakan berupa uap dengan tekanan lebih dari 1

atmosfer (Yuliani dan Satuhu, 2012).

c. Penyulingan dengan uap dan air

Pada metode ini, bahan tanaman yang akan disuling

diletakkan di atas rak-rak atau saring berlubang. Ketel

penyulingan diisi dengan air sampai permukaannya tidak

jauh dari bagian bawah saringan. Ciri khas model ini yaitu

uap selalu dalam keadaan basah, jenuh dan tidak terlalu

panas. Bahan tanaman yang akan disuling hanya


32

berhubungan dengan uap dan tidak dengan air panas

(Yuliani dan Satuhu, 2012).

2. Metode pengepresan

Ekstraksi minyak atsiri dengan cara pengepresan umumnya

dilakukan terhadap bahan berupa biji, buah, atau kulit buah yang

memiliki kandungan minyak atsiri yang cukup tinggi. Akibat

tekanan pengepresan, maka sel-sel yang mengandung minyak

atsiri akan pecah dan minyak atsiri akan mengalir ke permukaan

bahan. Contohnya minyak atsiri dari kulit jeruk (Yuliani dan

Satuhu, 2012).

3. Ekstraksi dengan pelarut menguap

a. Ekstraksi dengan pelarut menguap (Solvent Extraction)

Prinsipnya adalah melarutkan minyak atsiri dalam

pelarut organik yang mudah menguap. Ekstraksi dengan

pelarut organik pada umumnya digunakan mengekstraksi

minyak atsiri yang mudah rusak oleh pemanasan uap dan air,

terutama untuk mengekstraksi minyak atsiri yang berasal dari

bunga misalnya bunga cempaka, melati, mawar dan kenanga.

Pelarut yang umum digunakan adalah petroleum eter, karbon

tetraklorida (Yuliani dan Satuhu, 2012).

b. Ekstraksi dengan lemak padat

Proses ini umumnya digunakan untuk mengekstraksi

bunga-bungaan, untuk mendapatkan mutu dan rendeman


33

minyak atsiri yang tinggi. Metode ekstraksi dapat dilakukan

dengan dua cara yaitu enfleurasi dan maserasi (Yuliani dan

Satuhu, 2012).

c. Enfleurasi (Enfleurage)

Proses ini pada umumnya absorbsi minyak atsiri oleh

lemak digunakan pada suhu rendah sehingga minyak

terhindar dari kerusakan yang disebabkan oleh panas. Metode

ini digunakan untuk mengekstraksi beberapa jenis minyak

bunga yang masih melanjutkan kegiatan fisiologisnya dan

memproduksi minyak setelah bunga dipetik. Hasilnya disebut

ekstrait (Yuliani dan Satuhu, 2012).

d. Maserasi (Maceration)

Cara ini dilakukan terhadap bahan tumbuhan yang bila

dilakukan penyulingan atau enfleurasi akan menghasilkan

minyak atsiri dengan rendeman yang rendah. Padcara ini

absorbsi minyak atsiri oleh lemak dalam keadaan panas pada

suhu 80º C selama 1,5 jam. Setelah selesai pemanasan,

campuran disaring panas-panas, jika perlu kelebihan lemak

pada ampas disiram dengan air panas. Kemudian dilakukan

penyulingan untuk memperoleh minyak atsiri (Yuliani dan

Satuhu, 2012).
34

II.6 Sistem kulit

Kulit adalah lapisan jaringan yang terdapat pada bagian luar yang

menutupi dan melindungi permukaan tubuh. Pada permukaan kulit

bermuara kelenjar keringat dan kelenjar mukosa (Syaifuddin, 2006).

Gambar II.3 Struktur Kulit

Sumber : Bramantyo, Husni, 2016.

II.6.1 Lapisan Kulit

Menurut Syaifuddin, 2006. Lapisan Kulit terdiri dari 3

bagian yaitu Epidermis, Dermis, dan Subkutis.

1. Epidermis

a. Stratum Korneum, selnya sudah mati, tidak mempunyai inti

sel (inti selnya sudah mati ) dan mengandung zat keratin.

b. Stratum lusidum, selnya pipih, bedanya dengan stratum

granulosum ialah sel-sel sudah banyak yang kehilangan inti

dan butir-butir sel telah menjadi jernih sekali dan tembus

sinar. Lapisan ini hanya terdapat pada telapak tangan dan

telapak kai. Dalam lapisan terlihat seperti suatu pita yang


35

bening, batas-batas sel sudah tidak begitu terlihat, disebut

stratum lusidum.

c. Stratum granulosum, stratum ini terdiri dari sel-sel pipih

seperti kumparan. Sel-sel tersebut terdapat hanya 2-3 lapis

yang sejajar dengan permukaan kulit. Dalam sitoplasma

terdapat butir-butir yang disebut keratohialin yang

merupakan fase dalam pemebentukan keratin oleh karena

banyaknya butir-butir stratum granulosum.

d. Stratum spinosum atau stratum akantosum, lapisan ini

merupakan lapisan yang paling tebal dan dapat mencapai

0,2 mm terdiri dari 5-8 lapisan. Sel-selnya disebut spinosum

karena jika kita lihat di bawah mikroskop sel-selnya terdiri

dari sel yang bentuknya poligonal (banyak sudut) dan

mempunyai tanduk (spinal) disebut akantosum karena sel-

selnya berduri. Ternyata spina atau tanduk tersebut adalah

hubungan antara sel yang lain yang disebut intercelular

bridges atau jembatan interselular.

2. Stratum basal atau germinativum, disebut stratum basal karena

sel-selnya terdiri dari bagian basal. Stratum germinativum

menggantikan sel-sel yang di atasnya dan merupakan sel-sel

induk. Bentuknya slindris (tabung) dengan inti yang lonjong. Di

dalamnya terdapat butir-butir yang halus disebut butir melanin

warna. Sel tersebut disususn seperti pagar (palisade) di bagian


36

bawah sel tersebut terdapat suatu membran yang disebut

membran basalis. Sel-sel basalis dengan membran basalis

merupakan batas terbawah dari epidermis dengan dermis.

Ternyata batas ini tidak datar tetapi bergelombang. Pada waktu

kerium menonjol pada epidermis tonjoloan ini disebut papila

kori (papila kulit), dan epidermis menonjol ke arah korium.

Tonjolan ini disebut rete ridges atau rete pegg (Prosessus

interpapilaris).

3. Dermis

Dermis merupakan lapisan kedua dari kulit. Batas dengan

epidermis dilapisi oleh membran basalis dan di sebelah bawah

berbatasan dengan subkutis tetapi batas ini tidak jelas hanya kita

ambil sebgaai patokan ialah mulainya terdapat sel lemak.

Dermis terdiri dari dua lapisan yaitu bagian atas, pars papilaris

(stratum papilaris) dan bagian bawah, retikularis (stratum

retikularis). Batas antara pars papilaris dan pars retikularis

adalah bagian bawahnya sampai ke subkutis.

Baik pars papilaris maupun pars retikularis terdiri dari

jaringan ikat longgar yang tersusun dari serabut-serabut.

Serabut-serabut tersebut yaitu serabut kolagen, serabut elastis,

dan serabut retikulus. Serabut ini saling beranyaman dan

masing-masing mempunyai tugas yang berbeda. Serabut

kolagen, untuk memberikan kekuatan kepada kulit, serabut


37

elastis, untuk memberikan kelenturan pada kulit, dan serabut

retikulus, terdapat di sekitar kelenjar dan folikel rambut dan

memberikan kekuatan pada alai tersebut.

4. Subkutis

Subkutis terdiri dari kumpulan-kumpulan sel-sel lemak

dan di antara gerombolan ini berjalan serabut-serabut jaringan

ikat dermis. Sel-sel lemak ini bentuknya bulat dengan intinya

terdesak ke pinggir, sehingga membentuk seperti cincin. Lapisan

lemak ini disebut penikulus adiposus yang tebelnya tidak sama

pada tiap-tiap tempat dan juga pembagian antara laki-laki dan

perempuan tidak sama (berlainan). Guna penikulus adiposus

adalah sebagai shock breaker atau pegas bila tekanan trauma

mekanis yang menimpa pada kulit, isolator panas atau untuk

mempertahankan suhu, penimbunan kalori, dan tambahan untuk

kecantikan tubuh. Di bawah subkutis terdapat selaput otot

kemudian baru terdapat otot.

II.6.2 Bagian Kulit (Syaifuddin, 2006)

1. Rambut

Sel epidermis yang berubah, rambut tumbuh dari

folikel rambut di dalam epidermis. Folikel rambut dibatasi oleh

epidermis sebelah atas, dasarnya terdapat papil tempat rambut

tumbuh. Akar berada di dalam folikel pada ujung paling dalam


38

dan bagian sebelah luar disebut batang rambut. Pada folikel

rambut terdapat otot polos kecil sebagai penegak rambut.

Rambut terdiri dari :

a. Rambut panjang di kepala, pubis dan jenggot

b. Rambut pendek di lubang hidung, liang telinga dan alis

c. Rambut bulu lanugo di seluruh tubuh

d. Rambut seksual di pubis dan aksila (ketiak)

Warna kulit dipengaruhi oleh pembuluh darah pada

kulit, banyak sedikitnya lemak, dan pigmen kulit yang disebut

melanin. Banyak sedikitnya melanin dipengaruhi oleh ras atau

suku bangsa, hormon, dan pengaruh sinar ultraviolet dan

inframerah.

2. Kuku

Kuku adalah sel epidermis kulit-kulit yang telah

berubah, tertanam dalam palung kuku menurut garis lekukan

pada kulit. Palung kuku mendapat persarafan dan pembuluh

darah yang banyak. Bagian proksimal terletak dalam lipatan

kulit yang merupakan awal kuku tumbuh, badan kaku, bagian

yang tidak ditutupi kulit dengan kuat terikat dalam palung kulit

dan bagian atas merupakan bagian bebas. Bagian dari kuku

terdiri dari ujung kuku atas ujung batas, badan kuku yang

merupakan bagian yang besar, dan akar kuku (radiks).


39

II.6.3 Fungsi Kulit

Menurut Syaifuddin, 2006. Kulit pada manusia mempunyai

fungsi yang sangat penting selain menjalin kelangsungan hidup

secara umum yaitu :

a. Fungsi proteksi.

Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan

fisis atau mekanis, misalnya terhadap gesekan, tarikan,

gangguan kimiawi yang dapat menimbulkan iritasi (lisol, karbol

dan asam kuat). Gangguan panas misalnya radiasi, sinar

ultraviolet, gangguan infeksi dari luar misalnya bakteri dan

jamur. Karena adanya bantalan lemak, tebalnya lapisan kulit dan

serabut-serabut jaringan penunjang berperan sebagai pelindung

terhadap gangguan fisis. Melanosit turut berperan dalam

melindungi kulit terhadap sinar matahari dengan mengadakan

tannig (pengobtan dengan asam asetil).

b. Proteksi rangsangan kimia

Terjadi karena sifat stratum korneum yang impermeabel

terhadap berbagai zat kimia dan air. Di samping itu terdapat

lapisan keasaman kulit yang melindungi kontak zat kimia

dengan kulit. Lapisan keasaman kulit terbentuk dari hasil eksresi

keringat dan sebum yang menyebabkan keasaman kulit antar pH

5-6,5. Ini merupakan perlindungan terhadap infeksi jamur dan

sel-sel kulit yang telah mati melepaskan diri secara teratur.


40

c. Fungsi absorbsi

Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan

benda padat, tetapi cairan yang mudah menguap lebih mudah

diserap, begitu juga yang larut dalam lemak. Permeabilitas kulit

terhadap O2, CO2 dan uap air memungkinkan kulit ikut

mengambil bagian pada fungsi respirasi. Kemampuan absorbsi

kulit dipengaruhi tebal tipisnya kulit, hidarsi, kelembapan, dan

metabolisme. Penyerapan dapat berlangsung melalui celah di

antara sel, menembus sel-sel epidermis, atau melalui saluran

kelenjar dan yang lebih banyak melalui sel-sel epidermis.

d. Fungsi kulit sebagai pengatur panas

Suhu tubuh tetap stabil meskipun terjadi perubahan suhu

lingkungan. Hal ini karena adanya penyesuaian antara panas

yang dihasilkan oleh pusat pengatur panas, medula oblongata.

Suhu normal dalam tubuh yaitu suhu viseral 36-37,5 derajat

untuk suhu kulit rendah. Pengendalian persarafan dan

vasomotorik dari arterial kutan ada dua cara yaitu vasodilatasi

(kapiler melebar, kulit menjadi panas dan kelebihan panas

dipancarkan ke kelenjar keringat sehingga terjadi penguapan

cairan pada permukaan tubuh) dan vasokonstriksi (pembuluh

darah mengerut, kulit menjadi pucat dan dingin, hilangnya

keringat dibatasi, dan panas suhu tubuh tidak dikeluarkan).


41

e. Fungsi eksresi

Kelenjar-kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak

berguna lagi atau zat sisa metabolisme dalam tubuh berupa

NaCl, Urea, asam urat, dan amonia. Sebum yang diproduksi

oleh kulit berguna untuk melindungi kulit karena lapisan sebum

(bahan berminyak yang melindungi kulit) ini menahan air yang

berlebih sehingga kulit tidak menjadi kering. Prosuksi kelenjar

lemak dan keringat menyebabkan keasaman pada kulit.

f. Fungsi persepsi

Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis

dan subkutis. Respons terhadap rangsangan panas di perankan

oleh dermis dan subkutis, terhadap dingin diperankan oleh

dermis, perabaan diperankan oleh papila dermis dan

markelrenvier, sedangkan tekanan diperankan oleh epidermis.

Serabut saraf sensorik lebih banyak jumlahnya di daerah yang

erotik.

II.7 Salep

II.7.1 Pengertian Salep

Salep adalah sediaan Obat Tradisional setengah padat

terbuat dari Ekstrak yang larut atau terdispersi homogen dalam

dasar Salep yang sesuai dan digunakan sebagai obat luar (BPOM

R1,2014).
42

Salep adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan

dan digunakan sebagai obat luar. Bahan obatnya harus larut atau

terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok (F.I.ed.III).

Salep adalah sediaan setengah padat ditujukan untuk

pemakaian topikal pada kulit atau selaput lender. Dasar salep yang

digunakan sebagai pembawa dibagi dibagi dalam empat kelompok

yaitu dasar salep senyawa hidrokarbon, dasar salep serap, dasar

salep yang dapat dicuci dengan air, dan dasar salep laru dalam air.

Salep obat menggunakan salah satu dari dasar salep tersebut (FI IV,

hal. 18).

II.7.2 Persyaratan salep

Persyaratan salep menurut FI ed III antara lain :

a. Pemerian tidak boleh berbau tengik.

b. Kadar, kecuali dinyatakan lain dan untuk salep yang

mengandung obat keras atau narkotik, kadar bahan obat adalah

10%.

c. Dasar salep

d. Homogenitas, jika salep dioleskan pada sekeping kaca atau

bahan transparan lain yang cocok, harus menunjukkan susunan

yang homogen.

e. Penandaan, pada etiket harus tertera “obat luar” (Syamsuni,

2005).
43

II.7.3 Penggolongan Salep

1. Menurut Konsistensinya salep dapat dibagi:

a. Unguenta adalah salep yang mempunyai konsistensinya

seperti mentega, tidak mencair pada suhu biasa, tetapi

mudah dioleskan tanpa memakai tenaga.

b. Cream (krim) adalah salep yang banyak mengandung air,

mudah diserap kulit, suatu tipe yang dapat dicuci dengan

air.

c. Pasta adalah salep yang mengandung lebih dari 50% zat

padat (serbuk), suatu salep tebal karena merupakan penutup

atau pelindung bagian kulit yang diolesi.

d. Cerata adalah salep lemak yang mengandung presentase

lilin (wax) yang tinggi sehingga konsistensinya lebih keras

(ceratum labiale).

e. Gelones/spumae/jelly adalah salep yang lebih halus,

umumnya cair dan sedikit mengandung atau tanpa mukosa,

sebagai pelicin atau basis, biasanya terdiri atas campuran

sederhana dari minyak dan lemak dengan titik lebur rendah.

Contoh: starch jellies (10% amilum dengan air mendidih).

2. Menurut sifat farmakologi/terapeutik dan penetrasinya, salep

dapat dibagi:

a. Salep epidermis digunakan untuk melindungi kulit dan

menghasilkan efek lokal, tidak diabsorpsi, kadang-kadang


44

ditambahkan antiseptik anstrigensia untuk meredakan

rangsangan atau anasteti lokal. Dasar salep yang baik adalah

dasar salep senyawa hidrokarbon.

b. Salep endodermis adalah salep yang bahan obatnya

menembus ke dalam kulit, tetapi tidak melalui kulit,

terabsorpsi sebagian, digunakan untuk melunakkan kulit

atau selaput lendir. Dasar salep yang terbaik adalah minyak

lemak.

c. Salep diadermis adalah salep yang bahan obatnya

menembus ke dalam tubuh melalui kulit dan mencapai efek

yang diinginkan, misalnya salep yang mengandung senyawa

merkuri iodida, beladona.

3. Menurut dasar salepnya. Salep dapat dibagi:

a. Salep hidrofobik yaitu salep yang tidak suka air atau salep

dengan dasar salep berlemak (greasy bases) tidak dapat

dicuci dengan air misalnya campuran lemak-lemak dan

minyak lemak.

b. Salep hidrofilik yaitu salep yang suka air atau kuat menarik

air, biasanya dasar tipe M/A (Syamsuni, 2006).


45

II.7.4 Penggolongan dasar salep

a. Dasar salep hidrokarbon

Dasar salep hidrokarbon (bersifat lemak) bebas air,

preparat yang berair mungkin dapat dicampurkan hanya dalam

jumlah sedikit saja, bila lebih minyak sukar bercampur. Dasar

hidrokarbon dipakai terutama untuk efek emolien. Dasar salep

tersebut bertahan pada kulit untuk waktu yang lama dan tidak

memungkinkan larinya lembab ke udara dan sukar dicuci.

Kerjanya sebagai bahan penutup saja. Contoh : Vaseline,

paraffin, minyak mineral (Ansel, 1989).

b. Dasar salep absorbsi

Dasar salep ini berguna sebagai emolien walaupun

tidak menyediakan derajat penutupan seperti yang dihasilkan

dasar salep berlemak. Dasar salep ini juga bermanfaat untuk

percampuran larutan berair ke dalam larutan berlemak. Contoh

: Petrolatum hidrofilik, lanolin anhidrida, lanolin, cold cream

(Ansel,1989).

c. Dasar salep larut dalam air

Basis yang larut dalam air biasanya disebut sebagai

greseless karena tidak mengandung bahan berlemak, karena

dasar salep ini sangat mudah melunak dengan penambahan air.

Dasar salep ini lebih baik digunakan untuk dicampurkan


46

dengan bahan tidak berair atau bahan padat. Contoh :

Polietilenglikol (Ansel, 1989).

d. Dasar salep yang dapat dicuci dengan air.

Dasar salep ini adalah emulsi minyak dalam air, antara

lain salep hidrofilik (krim). Dasar salep ini dapat dicuci dengan

air, karena mudah dibersihkan dari kulit atau dilap basah

sehingga lebih dapat diterima untuk dasar kosmetika. Beberapa

bahan obat dapat menjadi lebih efektif menggunakan dasar

salep ini dari pada dasar salep hidrokarbon. Keuntungan lain

dari dasar salep ini adalah dapat diencerkan dengan air dan

mudah menyerap cairan yang terjadi pada kelainan

dermatologik.

II.8 Preformulasi bahan

II.8.1 Vaselin Album

Vaselin album (Farmakope Indonesia IV hal. 822,

Handbook of Excipients 6th edition hal. 331)

Pemerian : Putih atau kekuningan pucat, massa berminyak

transparan dalam lapisan tipis setelah

didinginkan pada suhu 0o.

Kelarutan : Tidak larut dalam air, sukar larut dalam etanol

dingin atau panas dan dalam etanol mutlak

dingin, mudah larut dalam benzene, dalam


47

karbon disulfide, dalam kloroform, larut dalam

heksan, dan dalam sebagian besar minyak lemak

dan minyak atsiri.

Konsentrasi : 10 – 30 %

Guna : emollien dan basis salep

OTT : merupakan bahan inert yang tidak dapat

bercampur dengan banyak bahan.

Stabilitas : Jika teroksidasi dapat menimbulkan warna dan

bau yang tidak dikehendaki. Untuk

mencegahnya dapat ditambahkan antioksidan.

Simpan di tempat tertutup rapat, terlindung dari

cahaya, ditempat sejuk dan kering.

II.8.2 Paraffin Liquidum

Paraffin Liquidum (Handbook of Pharmaceutical

Excipients Edisi 6 hlm. 445, FI IV hlm. 652)

Pemerian : Transparan, tidak berwarna, cairan kental, tidak

berfluoresensi, tidak berasa dan tidak berbau

ketika dingin dan berbau ketika dipanaskan.

Kelarutan : Praktis tidak larut etanol 95%, gliserin dan air.

\Larut dalam jenis minyak lemak hangat.

Stabilitas : Dapat teroksidasi oleh panas dan cahaya.

Khasiat : Laksativ (pencahar).


48

Dosis : Emulsi oral : 15 – 45 ml sehari (DI 88 hlm. 1630)

HLB Butuh : 10 – 12 (M/A). 5 – 6 (A/M)

OTT : Dengan oksidator kuat.

Penyimpanan : Wadah tertutup rapat, hindari dari cahaya, kering

dan sejuk.

II.9 Kerangka konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Variasi konsentrasi salep minyak a. Evaluasi fisik salep meliputi :

atsiri rimpang lengkuas merah 1. Organoleptik

(Alpina purpurataka K.Schum) 2. Uji homogenitas

FI 5% EVALUASI 3. pH

FII 10% 4.Uji Daya Sebar

FIII 15 % 5. Viskositas

Kontrol Positif 6. Daya Lekat

Kontrol Negatif b. Uji sediaan salep terhadap

pertumbuhan bakteri Candida

albicans.

Gambar II.10 Kerangka Konsep

II.10 Penelitian relavan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Yandri Naldi dan

Icha Siti Aisah, 2014 yaitu tentang Anti Candida Minyak Atsiri Lengkuas

Merah (Alpinia Purpurata K. Schum) Terhadap Candida Albicans

Penyebab Candidiasis Secara Invitro Penelitian ini dilakukan dengan


49

menggunakan design experimental laboratory. Ekstrak minyak atsiri

lengkuas putih diperoleh dengan metode destilasi. Pengujian efektivitas

minyak atsiri lengkuas putih dengan metode difusi agar dan dilusi

(pengenceran). Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi minyak

atsiri lengkuas merah 5% mampu menghambat pertumbuhan Candida

albicans. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) minyak atsiri lengkuas

merah pada konsentrasi 5% dan Maksimal konsentrasi minyak atsiri

lengkuas merah pada konsentrasi 25% dapat menghambat pertumbuhan

jamur candida albicans.

Berdasarkan penelitian yang telah di lakukan oleh Neneng

Rachmalia Izzatul Mukhlishah, dkk (2016) yaitu penelitian tentang

Minyak atsiri bunga cengkeh (Syzygium aromaticum) yang diformula

dalam bentuk sediaan topikal salep dengan menggunakan basis

hidrokarbon (Vaselin album dan Paraffin liquidum). Salep dibuat

dengan metode peleburan dengan konsentrasi MABC 5% (F1), 10%

(FII) dan 15% (FIII). Salep dari ketiga formula ini kemudian dievaluasi

sifat fisiknya, meliputi daya sebar, daya lekat dan pH. Selain itu

dievaluasi juga sifat iritatifnya pada kulit dengan menggunakan hewan

uji marmut jantan dengan metode Draize test. Data percobaan yang

diperoleh kemudian dianalisis secara statistik dengan taraf

kepercayaan 95%. Hasil uji statistik dengan uji LSD menunjukkan

terdapat perbedaan yang signifikan antar formula. Semakin tinggi

konsentrasi MABC, menyebabkan makin besar daya sebar (p<0,05)


50

dan daya lekat (p<0,05 antara F1 dan FIII). Namun pada uji pH setelah

dilakukan uji Kruskal Wallis untuk masing-masing formula ternyata

tidak memberikan perbedaan yang signifikan (p>0,05). Hasil uji iritasi

Draize test menunjukkan pula bahwa salep basis hidrokarbon dengan

konsentrasi MABC 5%, 10% dan 15% tidak menimbulkan efek iritasi.

II.11 Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah dan tinjauan pustaka maka dapat

dibuat hipotesis yaitu, minyak atsiri rimpang lengkuas merah (Alpinia

Purpurata K.Schum) dalam bentuk sediaan salep memberikan efek

antijamur terhadap Candida Albicans. Pada konsentrasi 15% dapat

menghambat pertumbuhan jamur Candida Albican.


BAB III

METODELOGI PENELITIAN

III.1. Deskripsi Penelitian

III.1.1 Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

eksperimen karena dilakukan secara langsung terhadap sampel

yang akan diujikan. Sampel yang digunakan adalah Rimpang

Lengkuas Merah (Apinia purpurata K. Schum) yang dibersihkan

kemudian dirajang dan didestilasi menggunakan metode destilasi

uap.

III.1.2 Subyek Penelitian

Subyek penelitian ini yaitu membuat formulasi sediaan

salep dari minyak atsiri Rimpang Lengkuas Merah (Apinia

purpurata K. Schum) yang di ambil di Kampung Sodong Pabuaran,

RT 002 RW 003 Desa Sodong, Kecamatan Tigaraksa, Kabupaten

Tangerang Provinsi Banten.

III.1.3 Obyek Penelitian

Obyek penelitian ini yaitu minyak atsiri dari rimpang

lengkuas merah yang akan diformulasikan menjadi 3 formulasi

sediaan salep minyak atsiri rimpang lengkuas merah dengan

52
53

berbagai konsentrasi yaitu: 5%, 10%, 15%. Dan akan di

lakukan uji Organeoleptik (warna, bau, bentuk), Homogenitas, pH,

Viskositas, Daya Lekat dan Daya Sebar.

III.1.4 Tempat Penelitian

Pada penelitian ini Destilasi minyak atsiri Rimpang

Lengkuas Merah (Apinia purpurata K. Schum) akan dilaksanakan

di Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balitro), yang


54

berlokasi di Ciwaringin, Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat.

Untuk pembuatan formulasi sediaan salep dan uji evaluasi sifat

fisik akan dilaksanakan di Laboratorium Farmasetika, Sekolah

Tinggi Farmasi Muhammadiyah Tangerang, yang beralamat di Jl.

Raya Pemda KM.4 No. 13, Matagara, Tigaraksa,Tangerang,

Banten. Sedangkan pengujian formulasi sediaan salep minyak atsiri

Rimpang Lengkuas Merah (Apinia purpurata K. Schum) terhadap

fungi Candida albicans dilaksanakan di Pusat Penelitian Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi (PUSPITEK) yang beralamat di Jl.

Raya Puspitek, Serpong, Kota Tangerang Selatan.

III.1.5 Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret 2019 hingga

bulan Mei 2019, selama kurang lebih tiga bulan.

III.2 Alat dan Bahan Penelitian

III.2.1 Alat Penelitian

Alat yang digunakan yaitu sperangkat alat destilasi-

UAP,timbangan analitik, timbangan neraca, penangas air, mortir

dan stemper, sendok tanduk, sudip, alat gelas, pH meter, pipet tetes,

kaca objek, kaca arloji, viscometer Brookfield, pot plastik, sendok

tanduk, jarum ose, cawan petri, gelas erlemenyer, inkubator, dan

Laminar Air Flow (LAF).


55

III.2.2 Bahan Penelitian

Bahan yang akan digunakan yaitu minyak atsiri dari

Rimpang Lengkuas Merah (Apinia purpurata K. Schum), vaselin

album, paraffin liquidum, nutrien agar (NA), fungi Candida

Albicans dan Aquadest.

III.3 Variabel Penelitian

III.3.1 Variabel Independen

Variabel yang menjadi sebab timbulnya atau berubahnya

variabel terikat. Pada penelitian ini yang akan menjadi variable

bebas adalah perbandingan konsentrasi formulasi sediaan salep

Minyak Atsiri Rimpang Lengkuas Merah (Apinia purpurata K.

Schum), yaitu 5%, 10% dan 15%, kontrol positif, kontrol negatif.

III.3.2 Variabel Dependen

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau

menjadi akibat karena adanya variabel bebas. Variabel terikat

dalam penelitian ini adalah sifat fisik (meliputi : organeoleptik, uji

homogeitas, pH, viskositas, Daya Sebar dan Daya Lekat) dan uji

efektivitas sediaan terhadap fungi Candida albicans.


56

III.4 Difinisi Operasional

Tabel III.6 Definisi Operasional Penelitian


No Variable Definisi Operasional Katagori Skala

1 Minyak Atsiri Zat Aktif Jumlah minyak Kategorik


atsiri sesuai
konsentrasi pada
tiap formula
2 Organoleptis Perubahan warna, bentuk, Adanya perubahan Ordinal
dan bau dari masing-masing atau tidak
salep
3 Homogenitas Homegenitas penyebaran Ketidak homogenan Interval
minyak atsiri rimpang salep atau terdapat
lengkuas merah dalam partikel kasar
sediaan salep
4 pH Indikator kesesuaian pH pH kulit 4,5-6,5 Interval
salep dengan pH kulit
5 Uji Daya Lekat Kemampuan salep melekat Lama atau tidaknya Interval
terhadap kulit waktu melekat
6 Viskositas Sifat alir sediaan salep Terlihat baik atau Ordinal
tidaknya sifat alir
7 Daya Sebar Daya sebar yang dihasilkan Permukaan Ordinal
salep pada kulit penyebaran yang
dihasilkan dengan
meningkatkan
beban
8 Uji Sediaan Pengaruh sediaan salep Berpengaruh atau Interval
terhadap bakteri minyak atsiri sereh wangi tidaknya sediaan
Candida terhadap koloni bakteri salep terhadap
albicans Candida albicans pertumbuhan
bakteri Candida
albikans
57

III.5 Prosedur Penelitian

III.5.1 Pengajuan Judul

Langkah pertama dalam penelitian ini adalah mengajukan

judul penelitian ke BAAK Sekolah Tinggi Farmasi

Muhammadiyah Tangerang. Judul yang diajukan kemudian

disetujui oleh Ketua Program Pendidikan S1 Sekolah Tinggi

Farmasi Muhammadiyah Tangerang, kemudian menentukan dosen

pembimbing untuk penelitian.

III.5.2 Study Literatur

Sebelum dilakukan pembuatan proposal peneliti melakukan

studi literature terlebih dahulu yang berguna untuk mendukung

penelitian ini. Studi literature yang dilakukan peneliti mencari

literature dan buku – buku serta jurnal – jurnal yang mendukung

penelitian.

III.5.3 Pembuatan Proposal

Setelah judul sudah di setujui langkah selanjutnya adalah

menyusun dan membuat proposal dan melakukan konsultasi

kepada dosen pembimbing disertai dengan melakukan pencarian

literature – literature yang mendukung pada penelitian ini, sehingga

didapatkan proposal yang baik.


58

III.5.4 Izin Penelitian

Pengajuan izin penelitian dilakukan sebelum peneliti

melaksanakan penelitian. Peneliti melakukan pengurusan surat ijin

penelitian ke BAAK Sekolah Tinggi Farmasi Muhammadiyah

Tangerang.

III.5.5 Cara Kerja

a. Determinasi Tanaman

Sebelum dilakukan proses penyulingan, sampel

lengkuas merah yang berasal dari di Desa Sodong, Kecamatan

Tigaraksa, Kabupaten Tangerang Provinsi Banten. di

determinasi terdahulu di LIPI Cibinong Bogor, untuk

memastikan bahwa tanaman yang digunakan benar.

b. Penyiapan Bahan yang digunakan

Bagian tanaman yang diambil adalah rimpang lengkuas

merah. Sampel yang telah dibersihkan, dicuci hingga bersih

kemudian diangin-anginkan. Selanjutnya dilakukan destilasi

untuk memperoleh minyak atsiri tanaman.

c. Pembuatan Minyak Atsiri

Sample sebanyak 2 kg setelah dicuci dilakukan

perajangan lalu dikering anginkan. Selanjutnya bahan tersebut

dimasukkan ke alat destilasi Andayani, dkk 2014.


59

Selanjutnya minyak yang diperoleh akan dikeringkan

dengan menambahkan drying agent, kemudian disaring dan

dihitung rendemennya. Rendemen adalah perbandingan antara

ekstrak yang diperoleh dengan massa awal (Depkes, 2000).

Rendemen minyak atsiri ditentukan dengan perhitungan

sebagai berikut :

Minyak yang diperoleh


% Rendemen = x 100 %
Berat sampel awal

d. Pembuatan Salep

1. Formulasi Salep

Formulasi Salep Rimpang Lengkuas Merah (Apinia

purpurataK. Schum) yaitu mengacu pada formula

Emulsifying ointment B.P dari Anief (2008), dalam Ilmu

Meracik Obat Teori dan Praktik. Kemudian pada masing-

masing formula divariasi konsentrasi minyak atsiri

Rimpang Lengkuas Merah (Apinia purpurataK. Schum)

sebesar 5%, 10% dan 15%.


60

Tabel III.2 Formulasi sediaan Salep

Nama Bahan Sediaan

FI FII FIII Kegunaan

Bahan

Konsentrasi minyak 5% 10% 15% Zat Aktif

atsiri rimpang

lengkuas merah

Vaselin Album 85,5 g 81g 76.5g Basis Salep

Paraffin Liquidum 9,5g 9g 8,5g Zat Pengikat

Keterangan :

Sediaan FI : formula dengan minyak atsiri 5%

Sediaan FII : formula dengan minyak atsiri 10%

Sediaan FIII : formula dengan minyak atsiri 15%

2. Pembuatan Salep

Pembuatan salep dilakukan dengan memanaskan

vaselin album kemudian ditambahkan paraffin liquidum

sambil diaduk sampai terbentuk massa yang kental dan

homogen. Minyak atsiri ditambahkan kemudian dicampur

dalam keadaan dingin hingga homogen (Naibaho dkk.,

2013).

1) Evaluasi Fisik Sediaan Salep


61

a. Uji Organoleptik

Uji organoleptik dilakukan untuk melihat tampilan

fisik sediaan secara visual dengan cara

pengamatan pada bau, warna, dan tekstur dari

sediaan.

b. Uji homogenitas sediaan

Sediaan diuji homogenitasnya dengan cara

mengoleskannya pada keping kaca preparat dan

tutup dengankaca preparat lain. Kemudian melihat

ada atau tidaknya partikel-partikel pada sediaan.

c. Uji daya sebar

Sebanyak 0,5 g salep diletakkan diatas kaca bulat

yang berdiameter 15 cm, kaca lainnya diletakkan

diatasnya dan dibiarkan selama 1 menit. Diameter

sebar salep diukur. Setelahnya, ditambahkan 100

gr beban tambahan dan didiamkan selama 11

menit lalu diukur diameter yang konstan yang

terbentuk (Naibaho dkk, 2013).

d. Uji Viskositas

Pengukuran viskositas di lakukan menggunakan

alat Fast Touch Viscometer (Lamy Rheology) serial

N: 17.07.TF 132. Voltage : 24 VDC Power : 60 W,

Frequencyn : 50/60 Hz. Pengukuran viskositas


62

salep dilakukan menggunakan spindle L No.4 pada

alat Lamy Rheology dengan kecepatan 100 rpm

pada durasi 23 detik.

e. Uji daya lekat

Salep yang sudah ditimbang sebesar 0,25 g

diletakkan di atas gelas obyek yang telah

ditentukan luasnya, lalu diletakkan gelas obyek

yang lain di atas salep tersebut dan ditekan dengan

beban 1 kg selama 5 menit. Selanjutnya dipasang

gelas obyek pada alat tes. Dilepas beban seberat 80

gram,dan dicatat waktunya hingga kedua gelas

obyek tersebut terlepas (Naibaho dkk., 2013).

f. Uji pH sediaan

Salep yang sudah ditimbang sebesar 0,5 g

dilarutkan dengan 5 mL aquades, kemudian di cek

pH larutannya (Naibaho dkk., 2013).

2) Uji Sediaan Salep Terhadap Fungi Candida albicans

a. Sterilisasi Alat

Cara sterilisasi dengan membungkus alat-alat

menggunakan kertas kemudian dimasukkan kedalam

oven pada suhu 140-170C selama 1-2 jam.

(Hasdianah, 2012)
63

b. Pembuatan Suspensi Jamur

Pembuatan inolulum jamur di awali dengan

pembiakan 1 ose jamur dari biakan murni Candida

albicans lalu di suspensikan ke dalam tabung reaksi

yang berisi 5 ml NaCl 0,9% steril dan di inkubasi

selama 24 jam pada suhu 37C. (Santoso dkk, 2013)

c. Penyiapan Cakram Kertas

Cakram kertas dibuat dari kertas saring yang dipotong

bulat, berdiameter 6 mm, kemudian dimasukan dalam

cawan petri dan disterilkan dalam autoklav pada suhu

121C selama 15 menit (Santoso dkk, 2013).

d. Penanaman Jamur

Jamur candida albicans diinokulasi pada media SDA,

diambil dengan mengguganakan kapas lidi steril yang

telah dicelupkan pada biakan jamur. Kapas lidi

digoreskan pada seluruh media secara merata dan

biarkan mongering pada suhu kamar (Santoso dkk,

2013).

e. Tahap pelaksanaan pengujian anti jamur sediaan salep

minyak atsiri rimpang lengkuas merah (Alpinia

purpurata K.Schum) dengan metode cakram (disc)

sebagai berikut:
64

1. Sebanyak 12 cakram kertas yang telah disiapkan

direndam selama kurang lebih 5 menit dalam salep

minyak atsiri lengkuas merah untuk setiap

konsentrasi. Untuk konsentrasi minyak atsiri 5 %

b/v sebanyak 3 cakram kertas, 10% b/v sebanyak 3

cakram kertas, 15% b/v sebanyak 3 cakram kertas

2. Cakram yang telah di rendam dengan berbagai

konsentrasi, diambil dengan pinset kemudian

diletakan sambil ditekan pada permukaan media

SDA kemudian diletakan 3 cakram kertas dengan

variasi konsentrasi minyak atsiri.

3. Biarkan perlakuan diinkubasi dalam incubator pada

suhu 37C selama 24 jam.

4. Diamkan zona hambat yang terbentuk pada media

SDA yaitu berupa daerah bening di sekitar cakram

kertas, setelah diinkubasi 24 jam.

5. Dilakukan pengukuran diameter zona hambat

untuk setiap konsentrasi minyak atsiri dari rimpang

lengkuas merah (Santoso dkk, 2013).

6. Pengamatan dilakukan dengan mengukur diameter

zona bening di sekitar metode kertas cakram

(Kirby bauer) pada masing-masing konsentrasi

minyak atsiri, kontrol positif (Ketoconazole salep)


65

dan kontrol negative (Formula salep tanpa minyak

atsiri) dengan menggunakan jangka sorong. Data

hasil penelitian ditabulasi dan dianalisis dengan

cara membandingkan diameter hambatan untuk

semua konsentrasi (Andayani,dkk, 2014).

III.5.6 Pengumpulan Data

Data yang diperoleh pada penelitian ini merupakan data primer.

III.6 Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis menggunakan

aplikasi SPSS 23 one way ANOVA. Data dapat disajikan dalam bentuk

tabel dan grafik disertai narasi.

III.7 Rencana Penelitian

Tabel.III.6 Rencana Penelitan

Keterangan Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei
Pengajuan Judul √

Studi Literatur √ √

Penyusunan √ √ √ √
Proposal
Sidang Proposal √

Penelitian √ √

Pengolahan Data √ √

Penyusunan √
Laporan
SidangHasil √
66

LAMPIRAN

Penimbangan Bahan
1) Formula I
Penimbangan Formula I
No Nama Bahan Perhitungan Penimbangan

1 Minyak atsiri rimpang 5% × 100 = 5 g


lengkuas merah
2 Vaselin Album 85,5 % × 100 = 85,5 g

3 Paraffin Liquidum 9,5 % × 100 = 9.5 g

Total 100 gram

2) Formula II
Penimbangan Formula II
No Nama Bahan Perhitungan Penimbangan

1 Minyak atsiri rimpang lengkuas 10 % × 100 = 10 g


merah
2 Vaselin Album 81% × 100 = 81 g

3 Paraffin Liquidum 9% × 100 = 9 g

Total 100 gram

3) Formula III
Penimbangan Formula III
No Nama Bahan Perhitungan Penimbangan

1 Minyak atsiri 15 % × 100 = 15 g


rimpang lengkuas
merah
2 Vaselin Album 76,5 % × 100 = 76,5 g

3 Paraffin Liquidum 8,5 % × 100 = 8,5 g

Total 100 gram


67

Anda mungkin juga menyukai