Disusun oleh
Profesi Ners PSIK Universitas Brawijaya
Universitas
2019
SATUAN ACARA PENYULUHAN
G. Evaluasi
- Prosedur penilaian : Selama proses penyuluhan berlangsung dan setelah selesai
penyuluhan
- Peserta dapat mengajukan pertanyaan
- Peserta dapat menjawab umpan balik yang diberikan oleh penyuluh
- Peserta dapat menyebutkan kembali hal-hal penting yang ada dalam materi yang
telah disampaikan
H. Materi (terlampir)
I. Daftar Pustaka
Materi (Lampiran)
ACUTE MYELOID LEUKEMIA (AML)
A. Pengertian AML
Leukimia adalah suatu keganasan pada alat pembuat sel darah berupa proliferasio
patologis sel hemopoetik muda yang ditandai oleh adanya kegagalan sum-sum tulang
dalam membentuk sel darah normal dan adanya infiltrasi ke jaringan tubuh yang lain (Arief
Mansjoer, dkk, 2002). Leukimia adalah proliferasi tak teratur atau akumulasi sel darah putih
dalam sum-sum tulang menggantikan elemen sum-sum tulang normal (Smeltzer, S C and
Bare, B.G, 2001)
AML (Acute Myelogenous Leukimia) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel – sel progenitor dari seri myeloid
(Purnomo, 2005). AML mengenai sel stem hematopeotik yang kelak berdiferensiasi ke
semua sel mieloid: monosit, granulosit, eritrosit, eritrosit dan trombosit. Semua kelompok
usia dapat terkena; insidensi meningkat sesuai bertambahnya usia. Merupakan leukemia
nonlimfositik yang paling sering terjadi (Smeltzer, S C and Bare, B.G, 2001).
B. Klasifikasi AML
Menurut Wakui (2008), FAB telah mengklasifikasikan LMA menjadi 8 subtipe berdasarkan
pada hasil pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia. Berikut klasifikasi AML
1) M0 (AML berdiferensiasi minimal)
Merupakan bentuk paling tidak matang dari AML, yang juga disebut sebagai AML
dengan diferensiasi minimal.
2) M1 (AML tanpa maturasi)
Merupakan leukemia mieloblastik klasik yang terjadi hampir seperempat dari kasus
AML. Pada AML jenis ini terdapat gambaran azurophilic granules dan Auer rods. Sel
leukemik dibedakan menjadi 2 tipe, tipe 1 tanpa granula dan tipe 2 dengan granula,
dimana tipe 1 dominan di M1
3) M2 (AML dengan berbagai derajat maturasi
Sel leukemik pada M2 memperlihatkan kematangan yang secara morfologi
berbeda, dengan jumlah granulosit dari promielosit yang berubah menjadi granulosit
matang berjumlah lebih dari 10 %. Jumlah sel leukemik antara 30 – 90 %. Tapi lebih dari
50 % dari jumlah sel-sel sumsum tulang di M2 adalah mielosit dan promielosit.
4) M3 (leukemia promielositik)
Sel leukemia pada M3 kebanyakan adalah promielosit dengan granulasi berat, stain
mieloperoksidase + yang kuat. Nukleus bervariasi dalam bentuk maupun ukuran,
kadang-kadang berlobul . Sitoplasma mengandung granula besar, dan beberapa
promielosit mengandung granula berbentuk seperti debu . Adanya Disseminated
Intravaskular Coagulation ( DIC ) dihubungkan dengan granula-granula abnormal ini
5) M4 (Leukemia mielomonositik)
Terlihat 2 ( dua ) type sel, yakni granulositik dan monositik , serta sel-sel
leukemik lebih dari 30 % dari sel yang bukan eritroit. M4 mirip dengan M1, dibedakan
dengan cara 20% dari sel yang bukan eritroit adalah sel pada jalur monositik, dengan
tahapan maturasi yang berbeda-beda.
Jumlah monosit pada darah tepi lebih dari 5000 /uL. Tanda lain dari M4 adalah
peningkatan proporsi dari eosinofil di sumsum tulang, lebih dari 5% darisel yang bukan
eritroit, disebut dengan M4 dengan eoshinophilia. Pasien–pasien dengan AML type M4
mempunyai respon terhadap kemoterapi-induksi standar.
6) M5 (Leukemia monoblastik)
Pada M5 terdapat lebih dari 80% dari sel yang bukan eritroit adalah monoblas,
promonosit, dan monosit. Terbagi menjadi dua, M5a dimana sel monosit dominan
adalah monoblas, sedang pada M5b adalah promonosit dan monosit. M5a jarang terjadi
dan hasil perawatannya cukup baik.
7) M6 (Eritroleukemia)
Sumsum tulang terdiri lebih dari 50% eritroblas dengan derajat berbeda dari
gambaran morfologi Bizzare. Eritroblas ini mempunyai gambaran morfologi abnormal
berupa bentuk multinukleat yang raksasa. Perubahan megaloblastik ini terkait dengan
maturasi yang tidak sejalan antara nukleus dan sitoplasma. M6 disebut Myelodisplastic
Syndrome (MDS) jika sel leukemik kurang dari 30% dari sel yang bukan eritroit. M6
jarang terjadi dan biasanya kambuhan terhadap kemoterapi-induksi standar.
8) M7 (Leukemia megakarioblastik)
Beberapa sel tampak berbentuk promegakariosit/megakariosit.
D. Patofisiologi
(terlampir)
G. Penatalaksanaan AML
Tujuan terapi adalah memberantas atau eradikasi sel- sel leukemia dengan obat anti
leukemia. Prinsip system pengobatannya adalah melakukan induksi, konsolidasi, rumatan,
dan reinduksi. Penatalaksanaan umum yang dapat dilakukan (Arief Mansjoer, dkk, 2002):
a. Tranfusi darah diberikan bila kadar Hb< 6 g%. Trombosit diberi bila terjadi
trombositopenia berat dan perdarahan masif.
b. Kortikosteroid
c. Sitostatik
d. Hindari infeksi sekunder, penderita di isolasi
e. Imunoterapi.
Berdasarkan (Yuliana, 2017) terapi AML dapat dibagi menjadi :
Terapi Induksi
Terapi induksi bertujuan untuk mencapai remisi komplit yang didefinisikan sebagai
blast dalam sumsum tulang 1.000/μL, dan trombosit ≥ 100.000/μL
a. Untuk pasien usia 18-60 tahun terapi yang diberikan adalah: Tiga hari
anthracycline (daunorubicin 60 mg/m2 , idarubicin 10-12 mg/ m2, atau
anthracenedione mitoxantrone 10-12 mg/m2 ), dan 7 hari cytarabine (100-200
mg/ m2 infus kontinu) atau dikenal dengan “3 + 7” merupakan standar terapi
induksi. Respons komplit tercapai pada 60-80% pasien dewasa yang lebih muda.
b. Untuk pasien usia 60-74 tahun terapi yang diberikan serupa dengan pasien yang
lebih muda, terapi induksi terdiri dari 3 hari anthracycline (daunorubicin 45-60
mg/m2 atau alternatifnya dengan dosis ekuivalen) dan 7 hari cytarabine 100-200
mg/m2 infus kontinu). Penurunan dosis dapat dipertimbangkan secara
individual.8 Pada pasien dengan status performa kurang dari 2 serta tanpa
komorbiditas, respons komplit tercapai pada sekitar 50% pasien.
Terapi konsolidasi
Terapi konsolidasi atau pasca-induksi diberikan untuk mencegah kekambuhan dan
eradikasi minimal residual leukemia dalam sumsum tulang. Secara umum, terdapat
2 strategi utama terapi ini, yaitu kemoterapi dan transplantasi sel punca
hematopoietik. Pertimbangan pemberian terapi didasarkan pada risiko penyakit yang
dinilai dengan profil sitogenetika dan molekuler.
a. Pasien usia 16-60 tahun dengan risiko favorable mendapat terapi cytarabine 1-
1,5 g/ m2 IV setiap 12 jam selama 3 hari atau 1-1,5 g/ m 2 IV hari 1-6 sebanyak 2-
4 siklus.
b. Pasien dengan risiko intermediate I, intermediate II, atau adverse,
dipertimbangkan untuk dilakukan transplantasi sel hematopoietik alogeneik. Jika
tidak mungkin, diberi terapi konsolidasi seperti berikut: cytarabine 1-1,5 g/ m 2 IV
setiap 12 jam selama 3 hari atau 1-1,5 g/ m2 IV hari 1-6 sebanyak 2-4 siklus.
c. Pasien usia di atas 60 tahun dengan risiko favorable tanpa kondisi penyulit
mendapat terapi cytarabine 0,5-1 g/m2 IV setiap 12 jam hari 1-3 atau 0,5-1 g/m2
IV hari 1-6 sebanyak 2-3 siklus
Terapi kekambuhan
Pada sebagian besar pasien AML yang mencapai remisi komplit, leukemia akan
kambuh dalam 3 tahun setelah diagnosis. Secara umum, prognosis pasien setelah
kambuh adalah buruk. Pasien dengan kekambuhan dini (respons komplit pertama
kurang dari 6 bulan), sitogenetika adverse, atau usia lebih tua memiliki outcome
buruk.Terapi disesuaikan dengan kondisi pasien. Skor prognostik yang
memperkirakan harapan hidup dapat menjadi dasar penentuan terapi. Skor
prognostik dihitung sebagai berikut:
a. Durasi remisi sebelum relaps: > 18 bulan (skor 0); 7-18 bulan (skor 3); ≤ 6 bulan
(skor 5).
b. Sitogenetik saat didiagnosis: inv(16) atau t(16;16) (skor 0); t(8;21) (skor 3);
lainnya (skor 5).
c. Transplantasi sel punca hematopoietik: tidak (skor 0), ya (skor 2).
d. Usia saat kambuh: ≤ 35 tahun (skor 0); 36- 45 tahun (skor 1); > 45 tahun (skor 2)
Terapi kekambuhan bertujuan untuk mencapai remisi baru dan mengarah pada
transplantasi sel punca hematopoietik. Beberapa regimen yang digunakan adalah:
a. Cytarabine dosis sedang (0,5-1,5 g/m2 IV setiap 12 jam hari 1-3)
b. MEC (mitoxantrone 8 mg/m2 hari 1-5, etoposide 100 mg/m2 hari 1-5, cytarabine
100 mg/m2 hari 1-5)
c. FLAG-IDA (fludarabine 30 mg/m2 IV hari 1-5, cytarabine 1,5 g/m2 IV diberikan 4
jam setelah infus fludarabine hari 1-5, idarubicin 8 mg/m2 IV hari 3-5, GCSF 5
μg/ kg subkutan dari hari 6 sampai sel darah putih > 1 g/L)
Beberapa studi melaporkan data harapan hidup sekitar 5-15 bulan dengan
pemberian regimen terapi salvage. Jika pasien tidak dapat menerima terapi salvage
intensif, diberi terapi dengan intensitas lebih rendah (misalnya cytarabine dosis
rendah, agen hipometilasi) atau perawatan suportif terbaik. Transplantasi sel punca
hematopoietik termasuk terapi konsolidasi terpilih jika remisi kedua tercapai.The
International Bone Marrow Transplant Registry menunjukkan bahwa pada lebih dari
3.500 transplantasi sel punca alogeneik pada pasien AML, 3-year leukemia free
survival rate sekitar 60%, 35%, dan 25% selama remisi komplit pertama, remisi
komplit berikutnya, dan kekambuhan.
H. Komplikasi AML
Akibat proliferasi mieloid yang neoplastik, maka produksi elemen darah yang
laintertekan karena terjadi kompetisi nutrisi untuk proses metabolisme
(terjadigranulositopenia, trombositopenia). Sel-sel leukemia juga menginvasi tulang
disekelilingnya yang menyebabkan nyeri tulang. Proliferasi sel leukemia dalam
organmengakibatkan pembesaran limpa atau hepar. Kegagalan sumsum tulang merupakan
hipofungsi sumsum tulang primer sehingga terjadi penurunan produksi semua unsur sel
hemopoietik (pansitopeni). Kegagalan susmsum tulang merupakan ketidaksanggupan
sumsum tulang membentuk sel-sel darah. Kegagalan tersebut disebabkan kerusakan
primer sistem sel mengakibatkan anemia, leukopenia dan trombositopenia
a. Kelelahan (fatigue). Jika leukosit yang abnormal menekan sel-sel darah merah, maka
anemia dapat terjadi. Kelelahan merupakan akibat dari kedaan anemia tersebut.
Proses terapi AML juga dapat menyebabkan penurunan jumlah sel darah merah.
b. Pendarahan (bleeding). Penurunan jumlah trombosit dalam darah (trombositopenia)
pada keadaan AML dapat mengganggu proses hemostasis. Keadaan ini dapat
menyebabkan pasien mengalami epistaksis, pendarahan dari gusi, ptechiae, dan
hematom.
c. Rasa sakit (pain). Rasa sakit pada AML dapat timbul dari tulang atau sendi. Keadaan
ini disebabkan oleh ekspansi sum-sum tulang dengan leukosit abnormal yang
berkembang pesat.
d. Pembesaran Limpa (splenomegali). Kelebihan sel-sel darah yang diproduksi saat
keadaan AML sebagian berakumulasi di limpa. Hal ini menyebabkan limpa bertambah
besar, bahkan beresiko untuk pecah.
e. Stroke atau clotting yang berlebihan (excess clotting). Beberapa pasien dengan
kasus AML memproduksi trombosit secara berlebihan. Jika tidak dikendalikan, kadar
trombosit yang berlebihan dalam darah (trombositosis) dapat menyebabkan clot yang
abnormal dan mengakibatkan stroke.
f. Infeksi. Leukosit yang diproduksi saat keadaan AMLadalah abnormal, tidak
menjalankan fungsi imun yang seharusnya. Hal ini menyebabkan pasien menjadi lebih
rentan terhadap infeksi. Selain itu pengobatan LGK juga dapat menurunkan kadar
leukosit hingga terlalu rendah, sehingga sistem imun tidak efektif.
Daftar Pustaka
Bakta, I made. 2010. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC
Behrman, Kliegman, Arvin. 2008. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Ed. 15. Penerbit Buku
Kedokteran: EGC.
Desen, Wan. 2008. Buku Ajar Onkologi Klinis Ed. 2. Jakarta: Balai penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Hoffbrand, A. V, J. E. Pettit, P.A.H Moss. 2006. Kapita Selekta Hematologi edisi 4. Jakarta: EGC
Permono B, Ugrasena IDG. 2008. Leukemia Akut dalam Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati. 2006.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Ed. IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Supandiman, Iman. Prof. dr. DSPD. H. 2007. Hematologi Klinik Ed. 2. Penerbit Alumni :
Bandung
Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. 2008. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Patofisiologi
alopecia