FIQHI MUNAKAHAT
Disusun Oleh:
Kelompok IV
Tim penyusun
i
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
ii
I PENDAHULUAN
1
II PEMBAHASAN
1
Tihami dan Sohari Sahrni, Fikih Munakahat: Kajian Fikih nikah lengkap, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, cet.II, 2010), h.64-66.
2
dinikahi oleh laki-laki yang sepersusuan dengannya), sama halnya seperti mahram
dalam pertalian nasab, sebagaimana telah dijelaskan di atas.2
Larangan kawin karena hubungan sesusuan berdasarkan pada lanjutan surat an-
Nisa’ ayat 23 di atas:
... ع ِّة
َ ضا َّ َض ْعنَ ُك ْم َوأَخ ََوات ُ ُك ْم ِّمن
َ الر َ ا ُ َّم َهات ُ ُك ُم الالَّتِّ ْى ا َ ْر...
Artinya:
“(Diharamkan atas kamu mengawini) ibu-ibumu yang menyusukan kamu, dan
saudara-saudara perempuan sepersusuan ...” (QS. An-Nisa’ [4]: 23).
Menurut riwayat Abu Daud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah dari Aisyah,
keharaman karena sesusuan ini diterangkan dalam hadis yang berbunyi:
2
Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis: Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan
Pendapat para Ulama, (Bandung: Mirzan, Cet. I, 2002), h. 14.
3
2.2.5 Saudara susuan perempuan, baik saudara seayah kandung maupun seibu
saja.3
Dan apabila yang disusui itu seorang anak perempuan, maka yang menjadi
mahram baginya disebabkan persusuan adalah: laki-laki (atau ayah susuan)yang
menjadi suami dari ibu susuannya, dan yang menjadi penyebab keluarnya air susu
dari perempuan tersebut. Demikian pula ayah dari ayah susuannya itu dan
seterusnya dalam garis ke atas, anak-anaknya serta cucu-cucunya dan seterusnya
dalam garis ke bawah, dan saudara-saudaranya dalam garis menyamping. (Sebab
mereka itu kini menjadi sama seperti datuknya sendiri, saudara-saudaranya dan
anak-anak dan saudaranya, atau paman-pamannya sendiri).
Akan tetapi, harus diingat bahwa hubungan mahram akibat persusuan (seperti
diuraikan di atas) hanya terbatas antara seorang anak susuan dengan ayah dan ibu
susuannya serta keluarga mereka berdua sebagaimana tersebut di atas, akan tetapi
tidak sebaliknya. Jelasnya, tidak ada hubungan mahram antara si ibu susuan dan
suaminya serta keluarga mereka kecuali dengan si anak susuan itu sendiri dan
keturunannya dalam garis ke bawah, tidak dengan anggota keluarga anak tersebut
yang lain, dalam garis ke atas ataupun menyamping.
Berdasarkan ketentuan ini, beberapa perempuan yang dalam pertalian
keturunan (nasab) dianggap mahram, dan karenanya diharamkan menikahinya,
tidak dianggap sama dalam kaitannya dengan pertalian persusuan. Beberapa
contoh, sebagai berikut:
a. Apabila Anda, misalnya, mempunyai seorang saudara (laki-laki ataupun
perempuan) yang pernah disusui oleh seorang perempuan “asing” (yakni yang
tidak ada hubungan nasab maupun periparan dengan Anda). Dalam hal ini,
perempuan tersebut tidak menjadi mahram bagi Anda, meskipun ia adalah ibu
(tepatnya: ibu susuan) bagi saudara Anda itu. Padahal, dalam pertalian nasab,
perempuan seperti itu adalah mahram, karena kedudukannya adalah salah satu
di antara dua kerabat Anda: yakni sebagai ibu kandung atau ibu tiri Anda sendiri,
yang kedua-duanya adalah mahram.
3
Abd. Rahman Gazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, Cet. I, 2003), h. 105-107.
4
b. Apabila seorang perempuan (bukan ibu kandung Anda) pernah menyusui Anda,
dan bersamaan dengan itu ia juga menyusui seorang anak perempuan lain yang
bukan saudara kandung Anda. Maka meskipun anak perempuan itu adalah
saudara Anda sepersusuan, dan karenanya ia adalah mahram bagi Anda, namun
ia bukan mahram bagi saudara kandung Anda. Jadi, tidak haram baginya
menikahi anak perempuan tersebut, padahal ia adalah “saudara” Anda sendiri.
Perlu kiranya diperhatikan, bahwa persusuan (dalam bahasa Arab disebut
radha’ah) yang menimbulkan hubungan mahram sebagaimana tersebut di atas,
hanya berlaku apabila memenuhi dua persyaratan, yaitu (pertama) berlangsungnya
persusuan ketika si anak yang disusui masih berusia di bawah dua tahun; dan
(kedua) kadar persusuan yang cukup.4
Mengenai berapa kali seorang bayi menyusui pada seorang ibu yang
menimbulkan keharaman perkawinan seperti keharaman hubungan nasab
sebagaimana tersebut dalam hadis di atas, melihat dalil yang kuat ialah yang tidak
dibatasi jumlahnya, asal seorang bayi telah menyusu dan kenyang pada seseorang
itu menyebabkan keharaman perkawinan. Demikian pendapat Hanafi dan Maliki.
Menurut pendapat syafi’i, Ibnu Hamdan Imam Ahmad menurut sebagian riwayat,
membatasi sekurang-kurangnya 5 (lima) kali susuan dan mengenyangkan.
Kemudian adapun pendapat Tsaur Abu Ubaid, Daud Ibnu Ali Az-Zhahiriy dan Ibnu
Muzakkir, sedikitnya tiga kali susuan yang mengenyangkan.5
2.3 Larangan Kawin Karena Hubungan Mushaharah (Pertalian Kerabat
Semenda)
Keharaman ini disebutkan dalam lanjutan surat an-Nisa’ ayat 23 yaitu sebagai
berikut:
الالتِّ ْى دَخ َْلت ُ ْم ِّب ِّه َّن َفا ِّْن لَّ ْم
َّ سائِّ ُك ُم َ الالتِّ ْى فِّى ُح ُج ْو ِّر ُك ْم ِّم ْن ِّن َّ سا ِّئ ُك ْم َو َربَائِّبُ ُك ُم َ ِّا ُ َّم َهاتُ ن
... صالَ ِّب ُك ْم َ ت َ ُك ْونُ ْوا دَخ َْلت ُ ْم بِّ ِّه َّن فَ َال ُجنَا َح
ْ َ علَ ْي ُك ْم َو َح َالئِّ ُُل أَ ْبنَا ِّئ ُك ُم الَّ ِِّذَيْنَ ِّم ْن ا
Artinya:
4
Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis: Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan
Pendapat para Ulama, h. 15-16.
5
Abd. Rahman Gazali, Fiqh Munakahat, h. 107.
5
“Dan (diharamkan) ibu-ibu istrimu, anak-anak istrimu yang dalam
pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu
mengawininya, dan istri-istri anak kandungmu...” (QS. An-Nisa’ [4]: 23).
Jika diperinci adalah sebagai berikut:
2.3.1 Mertua perempuan, nenek perempuan istri dan seterusnya ke atas, baik dari
garis ibu atau ayah.
2.3.2 Anak tiri, dengan syarat kalau telah terjadi hubungan kelamin antara suami
dengan ibu anak tersebut.
2.3.3 Menantu, yakni istri anak, istri cucu, dan seterusnya ke bawah.
2.3.4 Ibu tiri, yakni bekas istri ayah, untuk ini tidak disyaratkan harus adanya
hubungan seksual antara ibu dengan ayah.
Persoalan dalam hubungan mushaharah ini adalah apakah keharaman itu
disebabkan karena semata-mata akad (perkawinan) yang sah, atau dapat juga
dikarenakan perzinaan?
Imam syafi’i berpendapat bahwa larangan perkawinan karena mushaharah
hanya disebabkan oleh semata-mata akad saja, tidak bisa karena perzinaan, dengan
alasan tidak layak perzinaan yang dicela itu disamakan dengan hubungan
mushaharah. Sebaliknya, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa larangan
perkawinan karena mushaharah, di samping disebabkan akad yang sah, bisa juga
disebabkan karena perzinaan. Perselisihan pendapat disebabkan oleh perbedaan
dalam menafsirkan firman Allah yang berbunyi:
... ف َ ْاء اَِّلَّ َما قَد
َ َسل ِّ س ِّ ََوَلَ تَن ِّك ُْح ْو َما ن َك َح ا َ َباؤُ ُك ْم ِّمن
َ الن
“Janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu
kecuali pada masa lampau...” (QS. An-Nisa’ [4]: 22).
Kata “ma nakaha” ada yang menafsirkan “wanita yang dikawini ayah secara
akad yang sah” (Syafi’i). Sedangkan Imam Hanafi menafsirkan wanita yang
disetubuhi oleh ayah, baik dengan perkawinan atau perzinaan.
Istri ayah (ibu tiri) haram dikawini dengan sepakat para ulama atas dasar
semata-mata akad walaupun tidak disetubuhi. Kalau sudah terjadi akad nikah, baik
sudah disetubuhi atau belum namanya adalah “istri ayah” (zaujatul ab).
6
Ibu istri (mertua) digolongkan di dalamnya nenek dari istri dan ibu dari ayah
istri hingga ke atas, karena mereka digolongkan dalam ummahatu nisa’i (ibu-ibu
istri).
Anak istri (anak tiri) dengan syarat keharamannya karena telah menyetubuhi
ibunya; artinya, kalau seorang pria dan wanita baru terikat hanya semata akad
(belum terjadi persetubuhan) maka mengawini anaknya tidak haram (boleh).
Sebagian ulama berpendapat, ini berlaku pula secara timbal balik untuk ibu istri
(mertua), artinya, haram pula mengawini ibu istri (mertua) hukumnya tidak haram
sedangkan yang lainnya (jumhur) berpendapat, syarat persetubuhan itu hanya
berlaku bagi anak tiri saja, tidak berlaku bagi mertua. Mereka berselisih pendapat
dalam memahami nash ayat 23 surat an-Nisa’:
6
Tihami dan Sohari Sahrni, Fikih Munakahat: Ka jian Fikih nikah lengkap, h.68-71.
7
demikian disebut sumpah li’an. Apabila terjadi sumpah li’an antara suami istri
maka putuslah hubungan perkawinan keduanya untuk selama-lamanya. Keharaman
ini didasarkan pada firman Allah dalam surat an-Nur ayat 6-9:
ً ُ غف
ورا َر ِّحي ًما َّ ف ۗ ِّإ َّن
َ ََّللاَ َكان َ َوأ َ ْن تَ ْج َمعُ ْوا َبيْنَ ْاْل ُ ْختَي ِّْن ِّإ ََّل َما قَ ْد
َ َسل
7
Abd. Rahman Gazali, Fiqh Munakahat, h. 111-112.
8
“... (Dan diharamkan atas kamu) menghimpunkan (dalam perkawinan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang.” (QS. An-
Nisa’ [4]: 23).
Keharaman mengumpulkan dua wanita dalam satu perkawinan ini juga
diberlakukan terhadap dua orang yang mempunyai hubungan keluarga bibi
dan kemenakan. Larangan ini dinyatakan dalam sebuah hadis Nabi riwayat
Bukhari Muslim dari Abu Hurairah:
...اء
ِّ س
َ الن َ َو ْال ُم ْْح
ِّ َصنَاتُ ِّمن
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami...” (QS.
An-Nisa’ [4]: 24).
2.5.3 Wanita yang sedang dalam iddah, baik iddah cerai maupun iddah ditinggal
mati berdasarkan firman Allah surat al-Baqarah ayat 228-234.
2.5.4 Wanita yang ditalak tiga haram kawin lagi dengan bekas suaminya, kecuali
kalau sudah kawin lagi dengan orang lain dan telah berhubungan kelamin
serta dicerai oleh suami terakhit itu dan telah habis masa iddahnya
berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 229-230.
2.5.5 Wanita yang sedang melakukan ihram baik ihram umrah maupun ihram haji
tidak boleh dikawini. Hal ini berdasarkan hadis Nabi Saw. yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim dan Utsman bi Affan:
ُ ُ َلَ ََي ْن ِّك ُح ْال َم ْْح َر ُُم َوَلََيُ ْن ِّك َح َوَلَ ََي ْخت
) (رواه مسلم عن عثمان بن عفان.ب
“Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah, tidak boleh menikahkan,
dan tidak boleh pula meminang.”
9
2.5.6 Wanita musyrik, haram dinikahi. Maksud wanita musyrik ialah yang
menyembah selain Allah. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah dalam surat
al-Baqarah ayat 24.
Adapun wanita Ahli Kitab, yakni wanita Nasrani dan wanita Yahudi boleh
dinikah, Allah berfirman dalam surat al-Maidah ayat 5.8
Dalam kompilasi hukum Islam, larangan kawin seperti telah diuraikan di atas,
dijelaskan pula secara rinci dalam Bab IV sebagai berikut:
Pasal 39
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita disebabkan:
1. Karena pertalian nasab:
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau
keturunannya;
b. Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;
c. Dengan seorang wanita keturunan saudara yang melahirkannya.
2. Karena pertalian kerabat semenda:
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya;
b. Dengan seorang wanita bekas istri yang menurunkannya;
c. Dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya
hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qabla al-dukhul;
d. Dengan seorang wanita bekas istri keturunannya.
3. Karena pertalian susuan:
a. Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;
b. Dengan seorang wanita susuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah;
c. Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke
bawah;
d. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;
e. Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.
Pasal 40
8
Tihami dan Sohari Sahrni, Fikih Munakahat: Ka jian Fikih nikah lengkap, h. 72-74.
10
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita karena keadaan tertentu:
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria
lain.
b. Seorang wanita yang masih dalam masa iddah dengan pria lain.
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Pasal 41
1) Seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai
hubungan pertalian nasab atau susuan dengan istrinya.
a. Saudara kandung, seayah, atau seibu serta keturunannya.
b. Wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun istri-istrinya telah di
talak raj’i, tetapi masih dalam masa iddah.
Pasal 42
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita
apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang istri, yang ke empat-
empatnya masih terkait tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj’i, ataupun
salah seorang diantaramereka masih terikat tali perkawinan sedangkan yang lainnya
dalam masa iddah talak raj’i.
Pasal 43
1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria:
a. Dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali.
b. Dengan seorang wanita bekas istrinya dili’an.
2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a gugur, kalau bekas istri tadi telah kawin
dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba’da dukhul dan habis
masa iddahnya.
Pasal 44
11
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang
pria yang tidak beragama Islam.9
III PENUTUP
9
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 2000, h. 26-29.
12
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan QS. An-Nisa’ [4]: 23 wanita yang haram dikawini disebabkan
oleh pertalian nasab antara lain yaitu ibu, anak perempuan, saudara perempuan,
bibi, dan kemenakan (keponakan) perempuan.
Larangan kawin karena hubungan sesusuan berdasarkan pada lanjutan QS. An-
Nisa’ [4]: 23 yaitu ibu susuan, nenek susuan, bibi susuan, kemenakan susuan
perempuan, dan saudara susuan perempuan.
Larangan kawin karena hubungan mushaharah (pertalian kerabat semenda)
disebutkan dalam lanjutan QS. An-Nisa’ [4]: 23 yaitu mertua perempuan, anak tiri,
menantu, dan ibu tiri.
Larangan kawin karena adanya sumpah li’an yang dilakukan oleh suami istri.
Seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina begitu pun sebaliknya sehingga
terjadinya sumpah li’an di antara keduanya.
Wanita-wanita yang haram dinikahi tidak untuk selamanya (bersifat
sementara) adalah dua perempuan bersaudara haram dikawini oleh seorang laki-
laki dalam waktu bersamaan, wanita yang terikat perkawinan dengan laki-laki lain
haram dinikahi oleh seorang laki-laki, wanita yang sedang dalam iddah, baik iddah
cerai maupun iddah ditinggal mati, wanita yang ditalak tiga haram kawin lagi
dengan bekas suaminya, wanita yang sedang melakukan ihram baik ihram umrah
maupun ihram haji tidak boleh dikawini, dan wanita musyrik.
DAFTAR PUSTAKA
13
Al-Habsyi, Muhammad Bagir. 2002. Fiqih Praktis: Menurut Al-Qur’an, As-
Sunnah, dan Pendapat para Ulama. Cet, I; Bandung; Mirzan.
Tihami dan Sohari Sahrni. 2010. Fikih Munakahat: Kajian Fikih nikah lengkap.
Cet. II; Jakarta; PT Raja Grafindo Persada.
14