Gemah ripah loh jinawi, ungkapan kata yang sering disematkan pada
Indonesia, kata tersebut memiliki arti yakni kekayaan alam yang berlimpah. Indonesia
juga dikenal sebagai negara agraris karena sebagian besar penduduk Indonesia
mempunyai pencaharian di bidang pertanian atau bercocok tanam. Pada Februari
2016, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 31,74 persen angkatan kerja di Indonesia
atau 38,29 juta bekerja di sektor pertanian. Dengan angka tersebut, telah terjadi
hampir dua juta pekerja sektor pertanian beralih ke sektor lain hanya dalam setahun.
Berbicara tentang komoditas beras tidak akan lepas dari peranan lahan
sawah, akan tetapi pertumbuhan penduduk secara signifikan, pertumbuhan ekonomi
dan demografi diberbagai daerah menuntut adanya pembangunan guna memenuhi
kebutuhan-kebutuhan penduduk tersebut, terbentuknya wilayah-wilayah kota baru
Kawasan pemukiman, pusat perekonomian yang baru yang dekat dengan Kawasan
pertanian telah memicu perubahan alih fungsi lahan sawah menjadi penggunaan non
pertanian secara masif luas alih fungsi lahan sawah ke non sawah diperkirakan
mencapai 150.000 – 200.000Ha/tahun.
Alih fungsi lahan sawah ke non pertanian selain mengurangi luas lahan sawah
juga mengakibatkan berbagai kerugian yaitu : 1) Secara ekonomi alih fungsi
menyebabkan hilangnya investasi yang telah dilakukan untuk membangun sarana
irigasi dan prasarana pertanian lainnya; 2) Secara ekologi alih fungsi lahan sawah
menyebabkan hilangnya fungsi sawah sebagai tampungan air (air hujan, aliran
permukaan) sementara yang berfungsi menurunkan kejadian banjir; 3) Hilangnya
kesempatan kerja dan pendapatan bagi petani penggarap, buruh tani, penggilingan
padi, dan sektor-sektor pedesaan lainnya; 4) dari sisi ketahanan pangan dapat
mengancam daya dukung wilayah secara nasional dalam menjaga kemandirian,
ketahanan dan kedaulatan pangan.
Sebagai salah satu upaya pemerintah menjaga ketersediaan lahan sawah pada
tahun 2009 Pemerintah bersama-sama dengan DPR mengesahkan lahirnya Undang-
Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
(selanjutnya disebut UU No. 41/2009). Undang-undang ini diharapkan dapat
menahan laju konversi lahan sawah khususnya sawah dengan irigasi teknis sehingga
dapat menopang ketahanan pangan nasional dan Indonesia memiliki lahan pertanian
abadi.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang telah memperbarui luas lahan baku
sawah. Pada 2013 luas lahan baku sawah sebesar 7,75 juta hektare, sedangkan pada
2018 berdasarkan hasil verifikasi, luas lahan baku sawah sebesar 7,1 juta hektaer.
Artinya, selama lima tahun terakhir terjadi penurunan luas lahan baku sawah sebesar
635 ribu hektare. Jumlah diatas masih mungkin berkurang karena terhadap data
tersebut belum dilakukan pengurangan dengan data pertanahan yaitu ijin-ijin yang
telah terbit diatas lahan sawah tersebut meskipun eksistingnya saat ini masih
merupakan lahan sawah, oleh karena itu guna memastikan lahan sawah eksisting
yang benar-benar bisa dipertahankan sebagai lahan sawah berkelanjutan
Kementerian ATR/BPN khususnya Direktorat Jenderal Pengendalian Pemanfaatan
Ruang dan Penguasaan Tanah saat ini tengah melakukan verifikasi data lahan sawah
terhadap data pertanahan yang memiliki tujuan untuk 1) Mendata lokasi lahan-lahan
sawah yang dapat ditetapkan sebagai lahan sawah berkelanjutan dengan
mengumpulkan data spasial lahan tersebut setelah dikurangi ijin-ijin yang telah
dikeluarkan terhadap lahan tersebut; 2) Menetapkan lahan tersebut sebagai lahan
sawah berkelanjutan; 3) Membuat regulasi guna mengendalikan perubahan alih
fungsi lahan sawah berkelanjutan. Untuk tahun ini telah dilakukan pada 8 Provinsi
diantaranya Sumatera Barat, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI
Yogyakarta, Bali dan Nusa Tenggara Barat, dan dilanjutkan dengan 12 Provinsi di
Tahun 2019 dan sisa di 14 provinsi akan dilakukan di tahun 2020.
makalah ini ditujukan untuk melihat kegiatan pengendalian alih fungsi lahan
sawah yang saat ini tengah dilakukan oleh Direktorat Pengendalian Pemantauan
Pertanahan, Kementerian ATR/BPN, identifikasi masalah yang dialami selama proses
pelaksanaan kegiatan serta solusi bagi permasalahan tersebut.
Pembuatan daftar permasalahan ini bukan sebagai bagian mencari cela ataupun
permasalahan dari kegiatan ini, akan tetapi sebagai evaluasi dan monitoring
kegiatan untuk menghasilkan peningkatan yang lebih baik bagi kegiatan di
tahapan selanjutnya, dimana program ini memang masih dalam proses berjalan,
untuk diketahui pada tahun 2018 ini baru dilakukan di 8 provinsi yaitu Sumatera
Barat, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa timur, DI Yogyakarta, Bali dan Nusa
Tenggara Barat, dilanjutkan di tahun 2019 pada 12 provinsi dan sisa daerah
lainnya pada tahun 2020.
1. Belum adanya kesepahaman dari segi pengertian dan jenis objek lahan sawah.
Ini bukan masalah sepele karena perbedaan persepsi mengenai objek lahan akan
berakibat pada hasil akhir pada saat penetapan objek lahan. Sejatinya dalam
Petunjuk Tenis Alih fungsi Lahan Sawah sudah ada pengertian lahan sawah adalah
“lahan usaha tani yang secara fisik permukaan tanahnya rata, dibatasi oleh
pematang, sehingga dapat ditanami padi dengan sistem genangan dan
palawija/tanaman pangan lainnya”.
Dalam pengertian diatas sebenarnya sudah disebutkan dengan cukup detail
mulai dari ciri lahan maupun jenis tanaman yang tidak hanya ditanami padi, tapi
penulis masih menemui perbedaan persepsi ini pada waktu melakukan kendali
mutu kegiatan verifikasi data lahan sawah di Kantor Pertanahan Grobogan dan
Demak, pelaksana di lapangan masih ragu menetapkan objek lahan tersebut
sebagai lahan sawah atau bukan dikarenakan pada saat di cek lahan tersebut
tidak ditanami dan ada juga yang tidak ditanami padi tapi selain padi seperti tebu,
jagung, padahal sawah tidak harus yang benar-benar ditanami padi atau ada
beberapa lahan sawah yang memang tidak selalu ditanami padi karena
bergantung pada kebutuhan air seperti pada sawah tadah hujan.
Dari hal tersebut atas penulis menganggap perlu untuk melengkapi pengertian
sawah yang ada pada Petunjuk Teknis Alih fungsi Lahan Sawah dengan
menyebutkan jenis lahan sawah yang umum dikenal seperti lahan sawah
beririgasi teknis dan sawah tadah hujan, serta menyebutkan lebih spesifik jenis
tanaman yang ditanam. Ini dapat dimuat dalam pengertian sawah pada
Raperpres.
2. Data yang dikumpulkan daerah masih berupa data numerik belum ada data
spasial.
Kembali pada petunjuk teknis bentuk data yang harus disediakan oleh Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota ada dua, yaitu data tekstual maupun data spasial,
yang terjadi adalah data yang disediakan hanya tekstual saja sehingga tidak dapat
menunjukkan letak dari lahan sawah tersebut, cukup simple sebenarnya data ini
pada dasarnya sudah ada pada Kantor Pertanahan dalam GEO KKP tinggal
dioverlaykan dengan citra lahan sawah tahun 2017 dari BIG.
Sehingga hal yang harus dilakukan adalah untuk tidak bosan-bosan mengoreksi
dan menyampaikan kekurangan data yang harus dilengkapi, hal ini sudah
dilakukan oleh Direktorat Pengendalian dan Pemantauan Pertanahan, dalam
kegiatan ekspose hasil verifikasi data lahan sawah terhadap data pertanhanan
untuk setiap daerah yang belum lengkap datanya diminta mengikuti ekspose
selanjutnya dengan membawa kelengkapan data.
3. Kegiatan verifikasi data lahan sawah bersamaan dengan kegiatan yang
dilakukan oleh Direktorat Penatagunaan Tanah mendata LP2B.
Kegiatan yang dilaksanakan antara Penatagunaan Tanah dan Pengendalian dan
Pemantauan Pertanahan sebenarnya memiliki objek yang sama tapi berbeda
hasil yang dicari, Penatagunaan Tanah mendata lahan pertanian secara
keseluruhan yaitu LP2B sedangkan Pengendalian mendata hanya lahan sawahnya
saja, maka secara hematnya adalah kedua Direktorat ini dapat bekerjamasama
menyelesaikan kedua pekerjaanya sekaligus, namun yang terjadi adalah
disharmonisasi dan miskomunikasi. Sehingga yang perlu dilakukan adalah kedua
Direktorat ini duduk bersama untuk bekerjasama demi kepentingan yang lebih
besar yaitu kepentingan nasional.
4. Kurangnya tenaga SDM dalam melaksanakan kegiatan verifikasi data lahan
sawah.
Ini masalah yang paling sering dikeluhkan oleh Kantor Pertanahan dalam setiap
kegiatan, jumlah SDM tidak sebanding dengan kegiatan dan target yang harus
diselesaikan, beberapa tim kegiatan di isi oleh orang yang sama, baik itu untuk
PTSL maupun untuk LP2B dan LSB, sehingga beberapa karyawan melakukan
banyak kegiatan.
Solusi sederhana bagi kegiatan jika memiliki anggaran yang cukup dapat
melakukan rekrutmen tenaga ahli lepas untuk suatu kegiatan, pegawai BPN
cukup sebagai pengawas dari pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga ahli, jika tidak
ada cukup dana maka dapat disiasati dengan memetakan lokasi kegiatan, suatu
tim dibagi pada beberapa kegiatan yang memang lokasinya berada berdekatan
sehingga dapat mengefektifkan baiya serta waktu pelaksanaan.
5. Objek lahan sawah yang berpotensi ditetapkan pada saat dilakukan
pengecekan dilapangan bertentangan dengan RTRW.
Ini yang cukup riskan dalam kegiatan pengendalian alih fungsi lahan sawah, ketika
lokasi lahan sawah yang masuk sebagai objek LSB berbenturan dengan RTRW
yang telah disahkan oleh daerah, contohnya lahan sawah tersebut masuk dalam
Kawasan industri pada RTRW, ini pastinya menimbulkan dilema bagi Kantor
Pertanahan karena RTRW jika dalam RTRW diperbolehkan BPN tidak bisa
menghalangi kegiatan tersebut.
Ini yang menuntut percepatan penetapan lahan sawah berkelanjutan harus
dilakukan dengan mengintegrasikan LSB dengan RTRW daerah untuk mendesak
daerah memasukkan LSB pada RTRW maupun Perda LP2B mereka
kecenderungan yang terjadi sekarang pemerintah daerah enggan melaksanakan
amanat dari UU 41/2009 beberapa alasannya seperti LP2B dapat mengganggu
investasi dan tidak memberikan tambahan Pendapatan Asli Daerah (PAD) ,
kekhawatiran kewajiban penyediaan anggaran untuk insentif dan selama ini
belum ada konsekuensi bagi daerah yang tidak menetapkan LP2B, maka saat ini
dengan kewenangan persetujuan RTRW daerah yang ada pada Kementerian
ATR/BPN, ATR/BPN harus berani memaksa daerah memasukkan LSB pada RTRW
mereka dengan konsekuensi Perda RTRW mereka tidak disetujui revisinya.
6. Belum adanya sosialisasi baik internal Kementerian ATR/BPN terkait tugas dari
Direktorat Pengendalian dan Pemantauan Pertanahan.
pengendalian alih fungsi lahan sawah yang kegiatan sosialisasinya tengah
dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN dengan melibatkan pihak ketiga sebagai
pengarah dan pembuat konsep iklan, mulai dari pamflet, papan himbauan untuk
dipasang di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, jingle, iklan radio spot, video
sketcher untuk sosialisasi di internal kementerian hingga iklan layanan
masyarakat yang akan ditayangkan di televisi nasional yang saat ini masih dalam
proses produksi, kemungkinan akan disosialisasikan pada tahun 2019. Ini untuk
mencapai tujuan dari kebijakan terciptanya pengendalian alih fungsi lahan sawah
guna mendukung kedaulatan dan ketahanan pangan nasional.
7. Belum ada regulasi secara khusus yang mengatur mengenai penetapan LSB
maupun pengendalian alih fungsi lahan sawah.
Untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan sawah pemerintah telah memasang
rambu-rambu peraturan dari tahun 1990an mulai dari peraturan setingkat
Kepres, SK Menteri, Surat Edaran Menteri, hingga terakhir UU 41/2009 mengenai
LP2B beserta peraturan perundang-undangan pelaksanaanya mengalami
kendala, kewajiban untuk memasukkan LP2B dalam Peraturan Daerah khusus
maupun dalam RTRW belum dilakukan oleh daerah-daerah, sehingga masih
belum mampu meberikan ketetapan hukum mengenai pengendalian alih fungsi
lahan sawah.
Untuk lebih mengefektifkan implementasi peraturan yang telah ada, menurut
Irawan (2001) perlu dilakukan penyempurnaan baik yang menyangkut obyek
yang dilindungi maupun perangkat kelembagaanya. Konsep pengendalian alih
fungsi lahan yang dikembangkan sedikitnya harus memiliki tiga sifat yaitu : (1)
mampu mengurangi peluang rekayasa tertentu yang memungkinkan terjadinya
konversi lahan tanpa melanggar aturan yang berlaku. (2) dilengkapi dengan
upaya penegakan supremasi hukum secara jelas, baik yang menyangkut besarnya
sanksi dan (3) masyarakat luas dapat mengenal dengan mudah obyek lahan yang
dilindungi dari konversi lahan sehingga mekasnisme kontrol social dapat
berlangsung lebih efektif.
Terkait regulasi hukum mengenai pengendalian alih fungsi lahan sawah
Hal ini yang menjadi dasar dibentuknya Rancangan Peraturan Presiden
Percepatan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Berkelanjutan(Raperpres),
untuk tercapainya suatu peraturan atau kepastian hukum yang mengendalikan
alih fungsi lahan sawah dengan menetapkan sebagai lahan sawah berkelanjutan
sebelum ditetapkan menjadi bagian dari LP2B dalam RTRW. Raperpres ini
mengatur mengenai :
- Pengertian sawah berkelanjutan lebih spesifik dan mudah dipahami
berbeda dengan ketentuan LP2B pada UU 41/2009 yang sulit
dipahami, tetapi nantinya data lahan sawah akan disinkronkan dalam
LP2B;
- Perecepatan penetapan lahan sawah berkelanjutan,
- Integrasi LSB dengan Tata Ruang Wilayah atau RTRW,
- Pengendalian alih fungsi lahan sawah
- Insentif lahan sawah
- Pembinaan dan Pengawasan.
Dimana saat ini telah dalam proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM
yang jika prosesnya lancar dapat ditetapkan pada akhir tahun 2018.
E. KESIMPULAN
Kegiatan pengendalian alih fungsi lahan sawah dan pentepan LSB karena Alih
fungsi lahan sawah ke non pertanian selain mengurangi luas lahan sawah juga
mengakibatkan berbagai kerugian yaitu : 1) Secara ekonomi alih fungsi
menyebabkan hilangnya investasi yang telah dilakukan untuk membangun sarana
irigasi dan prasarana pertanian lainnya; 2) Secara ekologi alih fungsi lahan sawah
menyebabkan hilangnya fungsi sawah sebagai tampungan air (air hujan, aliran
permukaan) sementara yang berfungsi menurunkan kejadian banjir; 3) Hilangnya
kesempatan kerja dan pendapatan bagi petani penggarap, buruh tani,
penggilingan padi, dan sektor-sektor pedesaan lainnya; 4) dari sisi ketahanan
pangan dapat mengancam daya dukung wilayah secara nasional dalam menjaga
kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan.
Kementerian ATR/BPN memberikan amanah pada Direktorat Pengendalian dan
Pemantauan Pertanahan dalam pelaksanaan percepatan pengendalian alih
fungsi lahan sawah dan penetapan LSB diantara kegiatan yang telah dilaksanakan
yaitu 1) pembuatan petunjuk teknis alih fungsi lahan sawah; 2) pembuatan media
sosialisasi kegiatan pengendalian alih fungsi lahan sawah; 3) Pembuatan
Raperpres Percepatan penetapan LSB dan Pengendalian dan Pemantauan
Pertanahan. Dalam pelaksanaan kegiatan tidak terlepas dari permasalahan-
permasalahan, tulisan ini bukan untuk mencari cela dari kegiatan ini tapi sebagai
evaluasi dan pemberian alternatif solusi bagi peningkatan kegiatan kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA