Anda di halaman 1dari 20

KAJIAN PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DI

DIREKTORAT PENGENDALIAN DAN PEMANTAUAN PERTANAHAN

NAMA : NUR KHOLIS, SH., M.Kn


JABATAN : CALON ANALIS PENETAPAN HAK ATAS
TANAH
NIP : 19881112 201801 1 001
ANGKATAN : XVII (TUJUH BELAS)
SATKER PENEMPATAN :DIREKTORAT JENDERAL
PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG
DAN PENGUASAAN ATAS TANAH

PELATIHAN DASAR CPNS GOLONGAN III


GELOMBANG III

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN


KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/
BADAN PERTANAHAN NASIONAL
BOGOR
2018
A. PENDAHULUAN

Gemah ripah loh jinawi, ungkapan kata yang sering disematkan pada
Indonesia, kata tersebut memiliki arti yakni kekayaan alam yang berlimpah. Indonesia
juga dikenal sebagai negara agraris karena sebagian besar penduduk Indonesia
mempunyai pencaharian di bidang pertanian atau bercocok tanam. Pada Februari
2016, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 31,74 persen angkatan kerja di Indonesia
atau 38,29 juta bekerja di sektor pertanian. Dengan angka tersebut, telah terjadi
hampir dua juta pekerja sektor pertanian beralih ke sektor lain hanya dalam setahun.

Sebagai negara agraris, pertanian di Indonesia menghasilkan berbagai macam


tumbuhan komoditas ekspor, antara lain padi, jagung, kedelai, sayur-sayuran, aneka
cabai, ubi, dan singkong. Selain itu, Indonesia juga dikenal dengan hasil
perkebunannya, antara lain karet, kelapa sawit, tembakau, kapas, kopi, dan tebu.
Sejarah mencatat Indonesia pernah mengalami masa swasembada pangan
khususnya komoditas beras, pada tahun 1984 dan menjaga stabilitas ketahanan
pangan hingga mampu mengirimkan berupa 100.000 ton padi bagi korban kelaparan
di sejumlah negara afrika.

Berbicara tentang komoditas beras tidak akan lepas dari peranan lahan
sawah, akan tetapi pertumbuhan penduduk secara signifikan, pertumbuhan ekonomi
dan demografi diberbagai daerah menuntut adanya pembangunan guna memenuhi
kebutuhan-kebutuhan penduduk tersebut, terbentuknya wilayah-wilayah kota baru
Kawasan pemukiman, pusat perekonomian yang baru yang dekat dengan Kawasan
pertanian telah memicu perubahan alih fungsi lahan sawah menjadi penggunaan non
pertanian secara masif luas alih fungsi lahan sawah ke non sawah diperkirakan
mencapai 150.000 – 200.000Ha/tahun.
Alih fungsi lahan sawah ke non pertanian selain mengurangi luas lahan sawah
juga mengakibatkan berbagai kerugian yaitu : 1) Secara ekonomi alih fungsi
menyebabkan hilangnya investasi yang telah dilakukan untuk membangun sarana
irigasi dan prasarana pertanian lainnya; 2) Secara ekologi alih fungsi lahan sawah
menyebabkan hilangnya fungsi sawah sebagai tampungan air (air hujan, aliran
permukaan) sementara yang berfungsi menurunkan kejadian banjir; 3) Hilangnya
kesempatan kerja dan pendapatan bagi petani penggarap, buruh tani, penggilingan
padi, dan sektor-sektor pedesaan lainnya; 4) dari sisi ketahanan pangan dapat
mengancam daya dukung wilayah secara nasional dalam menjaga kemandirian,
ketahanan dan kedaulatan pangan.

Sebagai salah satu upaya pemerintah menjaga ketersediaan lahan sawah pada
tahun 2009 Pemerintah bersama-sama dengan DPR mengesahkan lahirnya Undang-
Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
(selanjutnya disebut UU No. 41/2009). Undang-undang ini diharapkan dapat
menahan laju konversi lahan sawah khususnya sawah dengan irigasi teknis sehingga
dapat menopang ketahanan pangan nasional dan Indonesia memiliki lahan pertanian
abadi.

Akan tetapi, seiring perjalanan waktu setelah ditetapkannya UU No. 41/2009


implementasi dari regulasi tersebut belum mampu mengimbangi alih fungsi lahan
yang terus terjadi. Disisi lain, program pencetakan sawah baru yang menjadi salah
satu tupoksi Kementerian Pertanian acap tidak mencapai target dan masih
menyisakan berbagai permasalahan seperti ketersediaan sarana pendukungnya
seperti petani, irigasi, dan juga akses usaha.

Guna memperkuat kedudukan UU No.41/2009, selanjutnya pemerintah


mengeluarkan peraturan perundangan yang berfungsi memperjelas fungsi dan
kedudukan dari undang-undang tersebut, yaitu (i) PP No.1/2011 Tentang Penetapan
dan alih Fungsi Lahan Pertanian; (ii) PP No.12/2012 Tentang Insentif Perlindungan
Lahan; (iii) PP No.25/2012 Tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan; dan (iv) PP No.30/2012 tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan. Peraturan perundangan tentang alih fungsi lahan di
lahan LP2B hanya dapat dilakukan untuk kepentingan publik saja sedangkan alih
fungsi lainnya tidak diperkenankan. Peraturan tentang insentif dimaksudkan bahwa
pemerintah memberikan insentif kepada lahan pertanian yang terkena LP2B berupa
perbaikan prasarana dan sarana serta bantuan input produksi sampai dengan pasca
panen, misalnya jaminan harga. Sedangkan peraturan tentang sistem informasi LP2B
dimaksudkan untuk memberikan arahan bahwa penetapan LP2B harus dapat diakses
ataupun diinformasikan ke masyarakat. Adapun peraturan tentang pembiayaan pada
dasarnya menjelaskan kegiatan-kegiatan LP2B yang didanai serta sumber
pendanaannya.

Persoalannya adalah apakah Apakah pemerintah daerah telah mengeluarkan


peraturan perundangan daerah terkait dengan LP2B, dimana dari 508
kabupaten/kota di Indonesia, baru 225 (44,29%) kabupaten/kota yang menetapkan
LP2B, dan dari total luas lahan sawah data tahun 2016 seluas 7.750.000 Ha,
6.404.306,04 Ha (82,64%) telah ditetapkan sebagai LP2B dan yang telah menetapkan
secara geospasial baru seluas 19.171 Ha (0,24%) padahal ini yang paling utama data
geospasial titik koordinat lahan-lahan yang menjadi objek LP2B, karena untuk
melakukan pengendalian dengan maksimal maka harus ditetapkan terlebih dahulu
lahan sawah yang akan dipertahankan dari alih fungsi.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang telah memperbarui luas lahan baku
sawah. Pada 2013 luas lahan baku sawah sebesar 7,75 juta hektare, sedangkan pada
2018 berdasarkan hasil verifikasi, luas lahan baku sawah sebesar 7,1 juta hektaer.
Artinya, selama lima tahun terakhir terjadi penurunan luas lahan baku sawah sebesar
635 ribu hektare. Jumlah diatas masih mungkin berkurang karena terhadap data
tersebut belum dilakukan pengurangan dengan data pertanahan yaitu ijin-ijin yang
telah terbit diatas lahan sawah tersebut meskipun eksistingnya saat ini masih
merupakan lahan sawah, oleh karena itu guna memastikan lahan sawah eksisting
yang benar-benar bisa dipertahankan sebagai lahan sawah berkelanjutan
Kementerian ATR/BPN khususnya Direktorat Jenderal Pengendalian Pemanfaatan
Ruang dan Penguasaan Tanah saat ini tengah melakukan verifikasi data lahan sawah
terhadap data pertanahan yang memiliki tujuan untuk 1) Mendata lokasi lahan-lahan
sawah yang dapat ditetapkan sebagai lahan sawah berkelanjutan dengan
mengumpulkan data spasial lahan tersebut setelah dikurangi ijin-ijin yang telah
dikeluarkan terhadap lahan tersebut; 2) Menetapkan lahan tersebut sebagai lahan
sawah berkelanjutan; 3) Membuat regulasi guna mengendalikan perubahan alih
fungsi lahan sawah berkelanjutan. Untuk tahun ini telah dilakukan pada 8 Provinsi
diantaranya Sumatera Barat, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI
Yogyakarta, Bali dan Nusa Tenggara Barat, dan dilanjutkan dengan 12 Provinsi di
Tahun 2019 dan sisa di 14 provinsi akan dilakukan di tahun 2020.
makalah ini ditujukan untuk melihat kegiatan pengendalian alih fungsi lahan
sawah yang saat ini tengah dilakukan oleh Direktorat Pengendalian Pemantauan
Pertanahan, Kementerian ATR/BPN, identifikasi masalah yang dialami selama proses
pelaksanaan kegiatan serta solusi bagi permasalahan tersebut.

B. KEGIATAN PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DI DIREKTORAT


PENGENDALIAN DAN PEMANTAUAN PERTANAHAN
Direktorat Pengendalian dan Pemantauan Pertanahan adalah salah satu bagian
dari Direktorat Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah,
Kementerian Agraria Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya disebut
Kementerian ATR/BPN). Sesuai dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Pasal 538
Direktorat Pengendalian dan Pemantauan Pertanahan mempunyai tugas
melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar,
prosedur, dan kriteria, dan pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta
pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang pengendalian dan pemantauan
pertanahan.
Direktorat Pengendalian dan Pemantauan Pertanahan menyelenggarakan
fungsi:
a. penyiapan perumusan kebijakan di bidang pengendalian dan pemantauan
pertanahan;
b. pelaksanaan kebijakan di bidang pengendalian dan pemantauan pertanahan;
c. penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang
bidang pengendalian dan pemantauan pertanahan;
d. pemberian bimbingan teknis, supervisi dan perizinan kerja sama di bidang
pengendalian dan pemantauan pertanahan;
e. pelaksanaan pemantauan, evaluasi dan pelaporan di bidang pengendalian dan
pemantauan pertanahan; dan
f. pelaksanaan urusan tata usaha Direktorat.
Direktorat Pengendalian dan Pemantauan Pertanahan terdiri atas :
a. Subdirektorat Pengendalian Penerapan Kebijakan dan Program Pertanahan;
b. Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Tanah Pertanian;
c. Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Tanah Non Pertanian;
d. Subbagian Tata Usaha.
Terkait kegiatan pengendalian alih fungsi lahan sawah berada pada Subdirektorat
Pemantauan dan Evaluasi Tanah Pertanian, sebagaimana dalam Peraturan Menteri
ATR/BPN Nomor 8 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kementerian Agraria Tata
Ruang Badan Pertanahan Nasional Pasal 545 Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi
Tanah Pertanian memiliki tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan
kebijakan, pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan
kriteria, dan pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pelaksanaan
pemantauan, evaluasi dan pelaporan kegiatan pemantauan dan evaluasi
pemanfaatan tanah pertanian. Dan fungsi yaitu :

a. penyiapan bahan perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, penyusunan


norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pemberian bimbingan teknis dan
supervisi, serta pelaksanaan pemantauan, evaluasi dan pelaporan kegiatan
pemantauan pemanfaatan tanah pertanian; dan
b. penyiapan bahan perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, penyusunan
norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pemberian bimbingan teknis dan
supervisi, serta pelaksanaan pemantauan, evaluasi dan pelaporan kegiatan
evaluasi dan pembinaan pemanfaatan tanah pertanian.
ada 3 (tiga) program kegiatan yang pada tahun ini dilakukan oleh Subdirektorat
Pemantauan dan Evaluasi Tanah Pertanian :

1) Pelaksanaan Petunjuk Teknis Pengendalian Alih fungsi Lahan Sawah;


Petunjuk teknis ini telah mulai disosialisasikan untuk dilaksanakan sejak April
2018 ini yang bertujuan sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan pengendalian
alih fungsi lahan sawah. Ada 4 pokok kegiatan yang tercantum dalam Petunjuk
Teknis ini diantaranya :
a. Verifikasi data lahan sawah terhadap data pertanahan
Kegiatan ini dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
dengan menggunakan citra sawah tahun 2017 dari BIG di overlay dan
dikurangin dengan data pertanahan sehingga datanya tidak hanya
tekstual tapi dilengkapi dengan spasial seperti :
-Pertimbangan Teknis Pertanahan (PTP) yang telah dikeluarkan,
-Hak Atas Tanah seperti HGB dan Hak Pakai yang telah terbit diatas
lahan sawah;
- Proyek Strategis Nasional (PSN) seperti bandara, rel kereta dll yang
renananya menggunakan lahan sawah; dan
- Lahan sawah yang berada pada Kawasan bukan pertanian menurut
RTRW.
b. Pengendalian Status Quo lahan sawah berkelanjutan.
Pada tahapan pengendalian status quo lahan sawah berkelanjutan,
setalah proses verifikasi lahan sawah terhadap data pertanahan, maka
hasilnya dilakukan sinkronisasi data oleh Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian dengan data dari instansi lainnya yaitu,
kementerian pertanian untuk verifikasi cetak sawah baru, Kementerian
PUPR terkait sawah beririgasi teknis, untuk nantinya menetapkan
lahan sawah hasil sinkronisasi tersebut sebagai Lahan Sawah
Berkelanjutan (LSB) sebelum diintegrasikan kedalam RTRW. Selama
masa status quo ini setiap kegiatan alih fungsi lahan sawah harus
mendapatkan persetujuan dari Menteri ATR/BPN.
c. Pengendalian integrasi lahan sawah berkelanjutan kedalam RTRW.
Setelah ditetapkannya lahan sawah berkelanjutan dalam status quo,
maka proses selanjutnya adalah mengintegrasikan lahan sawah
berkelanjutan untuk dimasukkan dalam RTRW dari masing-masing
daerah atau memasukkan dalam Peraturan Daerah (Perda) tentang
LP2B masing-masing daerah sesuai dengan amanat UU 41/2009. Dalam
tahapan ini tetap diperlukan pengendalian alih fungsi untuk
memastikan bahwa LSB tersebut telah diintegrasikan dalam Perda
LP2B dan atau Perda RTRW.
d. Proteksi/Pengendalian alih fungsi lahan sawah berkelanjutan.
Proteksi merupakan upaya perlindungan terhadap Lahan Sawah agar
tidak beralih fungsi. Proteksi dalam rangka pengendalian alih fungsi
lahan sawah dilaksanakan dengan melakukan:
- Tindakan administrasi dan atau yuridis terhadap penguasaan
dan pemilikan lahan sawah.
- Pemasangan papan peringatan/himbauan
- Catatan melalui Aplikasi KKP.
e. Penyuluhan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Berkelanjutan
Pengendalian alih fungsi lahan sawah merupakan tugas Bersama
antara Pemerintah dengan masyarakat. Oleh karena itu, kesepahaman
antara Pemerintah dan masyarakat mengenai pentingnya
pengendalian alih fungsi lahan sawah sangat dibutuhkan. Untuk
mencapai kesepahaman tersebut perlu dilakukan koordinasi dengan
instansi/dinas terkait untuk menyelenggarakan penyuluhan tentang
pengendalian alih fungsi lahan sawah kepada petani, masyarakat non
petani, badan usaha, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan
terkait lainnya.
2) Pembuatan Iklan dan Media Sosialisasi Pengendalian Alih Fungsi Lahan
Sawah;
Sosialisasi merupakan aspek yang sangat penting dalam seluruh proses
pembentukan kebijakan, sosialisasi menjadi media pembuat kebijakan untuk
menyampaikan maksud dan tujuan kebijakan tersebut agar diketahui oleh
masyarakat luas, dimana menurut Harton dan Hunt (1987) sosialisasi
kebijakan adalah “cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya”.
Begitu juga terhadap kebijakan pengendalian alih fungsi lahan sawah yang
kegiatan sosialisasinya tengah dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN dengan
melibatkan pihak ketiga sebagai pengarah dan pembuat konsep iklan, mulai
dari pamflet, papan himbauan untuk dipasang di Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota, jingle, iklan radio spot, video sketcher untuk sosialisasi di
internal kementerian hingga iklan layanan masyarakat yang akan ditayangkan
di televisi nasional yang saat ini masih dalam proses produksi, kemungkinan
akan disosialisasikan pada tahun 2019. Ini untuk mencapai tujuan dari
kebijakan terciptanya pengendalian alih fungsi lahan sawah guna mendukung
kedaulatan dan ketahanan pangan nasional.
3) Pembuatan Perpres Percepatan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah.
Suatu kebijakan memerlukan regulasi yang jelas untuk memberikan legal
standing dan kekuatan hukum bagi berjalannya kebijakan tersebut. UU
41/2009 beserta peraturan pelaksanaannya belum dapat diimplementasikan
di lapangan, hal ini karena masih terdapat RTRW/RRTR yang masih dalam
tahap penyelesaian atau RTRW/RRTR tidak secara tegas memuat penetapan
LP2B, sehingga dibutuhkan percepatan untuk mengendalikan alih fungsi lahan
sawah dan mengintegrasikan LSB ke dalam RTRW maupun Perda LP2B.
Hal ini yang menjadi dasar dibentuknya Rancangan Peraturan Presiden
Percepatan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Berkelanjutan(Raperpres),
untuk tercapainya suatu peraturan atau kepastian hukum yang
mengendalikan alih fungsi lahan sawah dengan menetapkan sebagai lahan
sawah berkelanjutan sebelum ditetapkan menjadi bagian dari LP2B dalam
RTRW. Raperpres ini mengatur mengenai :
- Pengertian sawah berkelanjutan lebih spesifik dan mudah dipahami
berbeda dengan ketentuan LP2B pada UU 41/2009 yang sulit
dipahami, tetapi nantinya data lahan sawah akan disinkronkan dalam
LP2B;
- Perecepatan penetapan lahan sawah berkelanjutan,
- Integrasi LSB dengan Tata Ruang Wilayah atau RTRW,
- Pengendalian alih fungsi lahan sawah
- Insentif lahan sawah
- Pembinaan dan Pengawasan.
Dimana saat ini telah dalam proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan
HAM yang jika prosesnya lancar dapat ditetapkan pada akhir tahun 2018.
C. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN
Sebaik-baiknya suatu kebijakan atau program dirumuskan tidak ada yang dapat
berjalan sempurna, selalu ada permasalahan-permasalahan yang timbul pada
saat kebijakan itu dilaksanakan, Sebagai sebuah kegiatan yang baru berjalan,
kegiatan pengendalian alih fungsi lahan sawah tidak luput dari permasalahan-
permasalahan, penulis mencatat ada beberapa permasalahan dasar yang timbul
dalam pelaksanaan kegiatan ini, diantaranya :
1. Belum adanya kesepahaman dari segi pengertian dan jenis objek lahan
sawah. Ini permasalahan dasar yang kerap ditemui pada saat kendali mutu
dan ekspose, terjadi perbedaan pemahaman mengenai lahan sawah seperti
apa yang menjadi objek penetapan LSB, apakah yang benar-benar hanya
digunakan untuk menanam padi saja atau yang ditanami selain padi juga
termasuk objek LSB
2. Data yang dikumpulkan daerah masih berupa data numerik belum ada data
spasial. Sebagaimana disebutkan dengan jelas dalam Petunjuk Teknis
Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah bahwa data yang dibutuhkan selain
tekstual juga harus ada data spasial, karena jika yang ditampilkan hanya data
tekstual/numerik data itu masih belum berbunyi, ketika akan dilakukan
pengecekan lokasi data tersebut susah untuk ditemukan letaknya ;
3. Kegiatan verifikasi data lahan sawah bersamaan dengan kegiatan yang
dilakukan oleh Direktorat Penatagunaan Tanah mendata LP2B. kegiatan ini
pada dasarnya mendata objek yang sama tapi hasil yang dicari berbeda, jika
LP2B mendata setiap data lahan pertanian baik itu sawah, ladang/tegalan
untuk mendapatkan luas lahan baku sawah, maka LSB hanya mendata
sawahnya saja yang kondisinya masih eksis sebagai sawah untuk ditetapkan
sebagai LSB, objek yang sama dan nama yang identik membuat diskomunikasi
kegiatan ditingkat Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota;
4. Kurangnya tenaga SDM dalam melaksanakan kegiatan verifikasi data lahan
sawah, ini masalah klasik uang dikeluhkan hampir setiap Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota, ada beberapa program kegiatan yang saat ini berjalan
Bersama sehingga membuat daerah memprioritaskan program yang menjadi
target nasional, seperti kita ketahui di Kementerian ATR/BPN program yang
menjadi prioritas adalah Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
5. Objek lahan sawah yang berpotensi ditetapkan pada saat dilakukan
pengecekan dilapangan bertentangan dengan RTRW yang telah diatur oleh
daerah setempat.
6. Belum adanya sosialisasi baik internal Kementerian ATR/BPN terkait tugas
dari Direktorat Pengendalian dan Pemantauan Pertanahan, tujuan dan
sasaran dalam Penetapan LSB maupun secara global terhadap seluruh
masyarakat luas.
7. Belum ada regulasi secara khusus yang mengatur mengenai penetapan LSB
maupun pengendalian alih fungsi lahan sawah yang memberikan kepastian
hukum bagi kegiatan penetapan LSB.

Pembuatan daftar permasalahan ini bukan sebagai bagian mencari cela ataupun
permasalahan dari kegiatan ini, akan tetapi sebagai evaluasi dan monitoring
kegiatan untuk menghasilkan peningkatan yang lebih baik bagi kegiatan di
tahapan selanjutnya, dimana program ini memang masih dalam proses berjalan,
untuk diketahui pada tahun 2018 ini baru dilakukan di 8 provinsi yaitu Sumatera
Barat, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa timur, DI Yogyakarta, Bali dan Nusa
Tenggara Barat, dilanjutkan di tahun 2019 pada 12 provinsi dan sisa daerah
lainnya pada tahun 2020.

D. ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH KEGIATAN PENGENDALIAN ALIH FUNGSI


LAHAN SAWAH
Jika dibagian sebelumnya telah disebutkan daftar dari identifikasi masalah dalam
kegiatan pengendalian alih fungsi lahan sawah, maka pada bagian ini penulis
mencoba mengurai permasalahan tersebut serta alternative solusi untuk
permasalahan tersebut guna meningkatkan kegiatan yang sudah terlaksana.

1. Belum adanya kesepahaman dari segi pengertian dan jenis objek lahan sawah.
Ini bukan masalah sepele karena perbedaan persepsi mengenai objek lahan akan
berakibat pada hasil akhir pada saat penetapan objek lahan. Sejatinya dalam
Petunjuk Tenis Alih fungsi Lahan Sawah sudah ada pengertian lahan sawah adalah
“lahan usaha tani yang secara fisik permukaan tanahnya rata, dibatasi oleh
pematang, sehingga dapat ditanami padi dengan sistem genangan dan
palawija/tanaman pangan lainnya”.
Dalam pengertian diatas sebenarnya sudah disebutkan dengan cukup detail
mulai dari ciri lahan maupun jenis tanaman yang tidak hanya ditanami padi, tapi
penulis masih menemui perbedaan persepsi ini pada waktu melakukan kendali
mutu kegiatan verifikasi data lahan sawah di Kantor Pertanahan Grobogan dan
Demak, pelaksana di lapangan masih ragu menetapkan objek lahan tersebut
sebagai lahan sawah atau bukan dikarenakan pada saat di cek lahan tersebut
tidak ditanami dan ada juga yang tidak ditanami padi tapi selain padi seperti tebu,
jagung, padahal sawah tidak harus yang benar-benar ditanami padi atau ada
beberapa lahan sawah yang memang tidak selalu ditanami padi karena
bergantung pada kebutuhan air seperti pada sawah tadah hujan.
Dari hal tersebut atas penulis menganggap perlu untuk melengkapi pengertian
sawah yang ada pada Petunjuk Teknis Alih fungsi Lahan Sawah dengan
menyebutkan jenis lahan sawah yang umum dikenal seperti lahan sawah
beririgasi teknis dan sawah tadah hujan, serta menyebutkan lebih spesifik jenis
tanaman yang ditanam. Ini dapat dimuat dalam pengertian sawah pada
Raperpres.
2. Data yang dikumpulkan daerah masih berupa data numerik belum ada data
spasial.
Kembali pada petunjuk teknis bentuk data yang harus disediakan oleh Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota ada dua, yaitu data tekstual maupun data spasial,
yang terjadi adalah data yang disediakan hanya tekstual saja sehingga tidak dapat
menunjukkan letak dari lahan sawah tersebut, cukup simple sebenarnya data ini
pada dasarnya sudah ada pada Kantor Pertanahan dalam GEO KKP tinggal
dioverlaykan dengan citra lahan sawah tahun 2017 dari BIG.
Sehingga hal yang harus dilakukan adalah untuk tidak bosan-bosan mengoreksi
dan menyampaikan kekurangan data yang harus dilengkapi, hal ini sudah
dilakukan oleh Direktorat Pengendalian dan Pemantauan Pertanahan, dalam
kegiatan ekspose hasil verifikasi data lahan sawah terhadap data pertanhanan
untuk setiap daerah yang belum lengkap datanya diminta mengikuti ekspose
selanjutnya dengan membawa kelengkapan data.
3. Kegiatan verifikasi data lahan sawah bersamaan dengan kegiatan yang
dilakukan oleh Direktorat Penatagunaan Tanah mendata LP2B.
Kegiatan yang dilaksanakan antara Penatagunaan Tanah dan Pengendalian dan
Pemantauan Pertanahan sebenarnya memiliki objek yang sama tapi berbeda
hasil yang dicari, Penatagunaan Tanah mendata lahan pertanian secara
keseluruhan yaitu LP2B sedangkan Pengendalian mendata hanya lahan sawahnya
saja, maka secara hematnya adalah kedua Direktorat ini dapat bekerjamasama
menyelesaikan kedua pekerjaanya sekaligus, namun yang terjadi adalah
disharmonisasi dan miskomunikasi. Sehingga yang perlu dilakukan adalah kedua
Direktorat ini duduk bersama untuk bekerjasama demi kepentingan yang lebih
besar yaitu kepentingan nasional.
4. Kurangnya tenaga SDM dalam melaksanakan kegiatan verifikasi data lahan
sawah.
Ini masalah yang paling sering dikeluhkan oleh Kantor Pertanahan dalam setiap
kegiatan, jumlah SDM tidak sebanding dengan kegiatan dan target yang harus
diselesaikan, beberapa tim kegiatan di isi oleh orang yang sama, baik itu untuk
PTSL maupun untuk LP2B dan LSB, sehingga beberapa karyawan melakukan
banyak kegiatan.
Solusi sederhana bagi kegiatan jika memiliki anggaran yang cukup dapat
melakukan rekrutmen tenaga ahli lepas untuk suatu kegiatan, pegawai BPN
cukup sebagai pengawas dari pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga ahli, jika tidak
ada cukup dana maka dapat disiasati dengan memetakan lokasi kegiatan, suatu
tim dibagi pada beberapa kegiatan yang memang lokasinya berada berdekatan
sehingga dapat mengefektifkan baiya serta waktu pelaksanaan.
5. Objek lahan sawah yang berpotensi ditetapkan pada saat dilakukan
pengecekan dilapangan bertentangan dengan RTRW.
Ini yang cukup riskan dalam kegiatan pengendalian alih fungsi lahan sawah, ketika
lokasi lahan sawah yang masuk sebagai objek LSB berbenturan dengan RTRW
yang telah disahkan oleh daerah, contohnya lahan sawah tersebut masuk dalam
Kawasan industri pada RTRW, ini pastinya menimbulkan dilema bagi Kantor
Pertanahan karena RTRW jika dalam RTRW diperbolehkan BPN tidak bisa
menghalangi kegiatan tersebut.
Ini yang menuntut percepatan penetapan lahan sawah berkelanjutan harus
dilakukan dengan mengintegrasikan LSB dengan RTRW daerah untuk mendesak
daerah memasukkan LSB pada RTRW maupun Perda LP2B mereka
kecenderungan yang terjadi sekarang pemerintah daerah enggan melaksanakan
amanat dari UU 41/2009 beberapa alasannya seperti LP2B dapat mengganggu
investasi dan tidak memberikan tambahan Pendapatan Asli Daerah (PAD) ,
kekhawatiran kewajiban penyediaan anggaran untuk insentif dan selama ini
belum ada konsekuensi bagi daerah yang tidak menetapkan LP2B, maka saat ini
dengan kewenangan persetujuan RTRW daerah yang ada pada Kementerian
ATR/BPN, ATR/BPN harus berani memaksa daerah memasukkan LSB pada RTRW
mereka dengan konsekuensi Perda RTRW mereka tidak disetujui revisinya.
6. Belum adanya sosialisasi baik internal Kementerian ATR/BPN terkait tugas dari
Direktorat Pengendalian dan Pemantauan Pertanahan.
pengendalian alih fungsi lahan sawah yang kegiatan sosialisasinya tengah
dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN dengan melibatkan pihak ketiga sebagai
pengarah dan pembuat konsep iklan, mulai dari pamflet, papan himbauan untuk
dipasang di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, jingle, iklan radio spot, video
sketcher untuk sosialisasi di internal kementerian hingga iklan layanan
masyarakat yang akan ditayangkan di televisi nasional yang saat ini masih dalam
proses produksi, kemungkinan akan disosialisasikan pada tahun 2019. Ini untuk
mencapai tujuan dari kebijakan terciptanya pengendalian alih fungsi lahan sawah
guna mendukung kedaulatan dan ketahanan pangan nasional.
7. Belum ada regulasi secara khusus yang mengatur mengenai penetapan LSB
maupun pengendalian alih fungsi lahan sawah.
Untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan sawah pemerintah telah memasang
rambu-rambu peraturan dari tahun 1990an mulai dari peraturan setingkat
Kepres, SK Menteri, Surat Edaran Menteri, hingga terakhir UU 41/2009 mengenai
LP2B beserta peraturan perundang-undangan pelaksanaanya mengalami
kendala, kewajiban untuk memasukkan LP2B dalam Peraturan Daerah khusus
maupun dalam RTRW belum dilakukan oleh daerah-daerah, sehingga masih
belum mampu meberikan ketetapan hukum mengenai pengendalian alih fungsi
lahan sawah.
Untuk lebih mengefektifkan implementasi peraturan yang telah ada, menurut
Irawan (2001) perlu dilakukan penyempurnaan baik yang menyangkut obyek
yang dilindungi maupun perangkat kelembagaanya. Konsep pengendalian alih
fungsi lahan yang dikembangkan sedikitnya harus memiliki tiga sifat yaitu : (1)
mampu mengurangi peluang rekayasa tertentu yang memungkinkan terjadinya
konversi lahan tanpa melanggar aturan yang berlaku. (2) dilengkapi dengan
upaya penegakan supremasi hukum secara jelas, baik yang menyangkut besarnya
sanksi dan (3) masyarakat luas dapat mengenal dengan mudah obyek lahan yang
dilindungi dari konversi lahan sehingga mekasnisme kontrol social dapat
berlangsung lebih efektif.
Terkait regulasi hukum mengenai pengendalian alih fungsi lahan sawah
Hal ini yang menjadi dasar dibentuknya Rancangan Peraturan Presiden
Percepatan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Berkelanjutan(Raperpres),
untuk tercapainya suatu peraturan atau kepastian hukum yang mengendalikan
alih fungsi lahan sawah dengan menetapkan sebagai lahan sawah berkelanjutan
sebelum ditetapkan menjadi bagian dari LP2B dalam RTRW. Raperpres ini
mengatur mengenai :
- Pengertian sawah berkelanjutan lebih spesifik dan mudah dipahami
berbeda dengan ketentuan LP2B pada UU 41/2009 yang sulit
dipahami, tetapi nantinya data lahan sawah akan disinkronkan dalam
LP2B;
- Perecepatan penetapan lahan sawah berkelanjutan,
- Integrasi LSB dengan Tata Ruang Wilayah atau RTRW,
- Pengendalian alih fungsi lahan sawah
- Insentif lahan sawah
- Pembinaan dan Pengawasan.
Dimana saat ini telah dalam proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM
yang jika prosesnya lancar dapat ditetapkan pada akhir tahun 2018.
E. KESIMPULAN
Kegiatan pengendalian alih fungsi lahan sawah dan pentepan LSB karena Alih
fungsi lahan sawah ke non pertanian selain mengurangi luas lahan sawah juga
mengakibatkan berbagai kerugian yaitu : 1) Secara ekonomi alih fungsi
menyebabkan hilangnya investasi yang telah dilakukan untuk membangun sarana
irigasi dan prasarana pertanian lainnya; 2) Secara ekologi alih fungsi lahan sawah
menyebabkan hilangnya fungsi sawah sebagai tampungan air (air hujan, aliran
permukaan) sementara yang berfungsi menurunkan kejadian banjir; 3) Hilangnya
kesempatan kerja dan pendapatan bagi petani penggarap, buruh tani,
penggilingan padi, dan sektor-sektor pedesaan lainnya; 4) dari sisi ketahanan
pangan dapat mengancam daya dukung wilayah secara nasional dalam menjaga
kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan.
Kementerian ATR/BPN memberikan amanah pada Direktorat Pengendalian dan
Pemantauan Pertanahan dalam pelaksanaan percepatan pengendalian alih
fungsi lahan sawah dan penetapan LSB diantara kegiatan yang telah dilaksanakan
yaitu 1) pembuatan petunjuk teknis alih fungsi lahan sawah; 2) pembuatan media
sosialisasi kegiatan pengendalian alih fungsi lahan sawah; 3) Pembuatan
Raperpres Percepatan penetapan LSB dan Pengendalian dan Pemantauan
Pertanahan. Dalam pelaksanaan kegiatan tidak terlepas dari permasalahan-
permasalahan, tulisan ini bukan untuk mencari cela dari kegiatan ini tapi sebagai
evaluasi dan pemberian alternatif solusi bagi peningkatan kegiatan kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

A. Daftar Buku dan Jurnal

Harsono, Boedi, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan


Peraturan-peraturan Hukum Tanah, Jambatan, Jakarta

Parlindungan A.P, 1991, Landreform di Indonesia Strategi dan


Sasarannya, Mandar Maju, Bandung.

Parlindungan A.P, 2009, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar


Maju, Bandung.

Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia. 2015.


“Akuntabilitas” Modul Pendidikan dan Prajabatan Golongan III. Jakarta
: LAN.

Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia. 2015. “Komitmen


Mutu” Modul Pendidikan dan Prajabatan Golongan III. Jakarta : LAN.

Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia. 2017. “Pelayanan


Publik” Modul Pelatihan Dasar Calon PNS. Jakarta : LAN.

Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia. 2017. “Habituasi”


Modul Pelatihan Dasar Calon PNS. Jakarta : LAN.

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Agraria dan Tata Ruang


/ Badan Pertanahan Nasional. 2018. Pedoman Mentor, Coach, Penguji
dan Peserta Pelatihan Dasar CPNS.

Ashari, 2003, “Tinjauan Tentang Alih Fungsi Lahan Sawah ke Non


Sawah dan Dampaknya di Pulau Jawa” Forum Penelitian Agro
Ekonomi Volume 21 Nomor 2;

Petunjuk Teknis Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah, Direktorat


Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah,
Kementerian ATR/BPN, 2018;

B. Daftar Peraturan Perundang-undangan


Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria;
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Berkelanjutan;

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan


Tanah

Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan


Alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2012 tentang Insentif


Perlindungan Lahan;

Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2012 tentang Sistem


Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan;

Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2012 tentang Pembiayaan


Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan;

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2015


tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang;

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2011


tentang Pedoman Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam
Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan Lokasi ddan Izin Perubahan
Penggunaan Tanah;

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan


Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015
tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agraria
dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional;
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 19 Tahun 2016 tentang Penetapan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada Wilayah yang Belum
Terbentuk Rencana Tata Ruang Wilayah;
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 38 Tahun 2016 tentang Sturktur Organisasi dan Tata Kerja
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota;

Anda mungkin juga menyukai