Anda di halaman 1dari 29

Bab 1

Tinjauan Pustaka

1.1 Pendahuluan

Status Epileptikus merupakan masalah kesehatan umum yang diakui meningkat akhir-
akhir ini terutama di Negara Amerika Serikat. Ini berhubungan dengan mortalitas yang tinggi
pada 152.000 kasus di USA yang terjadi tiap tahunnya menghasilkan kematian.1 Begitu pula
dalam praktek sehari-hari, Status Epileptikus merupakan masalah yang tidak dapat secara cepat
dan tepat tertangani untuk mencegah kematian ataupun akibat yang terjadi kemudian.

Status Epileptikus secara fisiologis didefenisikan sebagai aktivitas epilepsi tanpa adanya
normalisasi lengkap dari neurokimia dan homeostasis fisiologis dan memiliki spektrum luas
dari gejala klinis dengan berbagai patofisiologi, anatomi dan dasar etiologi.2 Berdasarkan
observasi pada pasien yang menjalani monitoring video-electroencephalography (EEG)
selama episode kejang, komponen tonik-klonik terakhir satu sampai dua menit dan jarang
berlangsung lebih dari lima menit.2 Batas ambang untuk membuat diagnosis ini oleh karenanya
harus turun dari lima sampai sepuluh menit.

Banyaknya jenis status epileptikus sesuai dengan bentuk klinis epilepsi: status petitmal,
status psikomotor, dan lain-lain. Biasanya bila status epileptikus tidak bisa diatasi dalam satu
jam, sudah akan terjadi kerusakan jaringan otak yang permanen. Oleh karena itu, gejala ini
harus dapat dikenali dan ditanggulangi secepat mungkin. Rata-rata 15 % penderita meninggal,
walaupun pengobatan dilakukan secara tepat. Lebih kurang 60-80% penderita yang bebas dari
kejang setelah lebih dari 1 jam akan menderita cacat neurologis atau berlanjut menjadi
penderita epilepsi

Berdasarkan kompleksitas dari penyakit ini, Status Epileptikus tidak hanya penting untuk
menghentikan kejang tetapi identifikasi pengobatan penyakit dasar merupakan bagian utama
pada penatalaksanaan Status Epileptikus

1
1.2 Definisi Status Epileptikus

Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status
epileptikus didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang
tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung
lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang
persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus
dipertimbangkan sebagai status epileptikus.

1.3 Epidemiologi Status Epileptikus

Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan angka kejadian
kira-kira 60.000 – 160.000 kasus dari status epileptikus tonik-klonik umum yang terjadi di
Amerika Serikat setiap tahunnya.3 Pada sepertiga kasus, status epileptikus merupakan gejala
yang timbul pada pasien yang mengalami epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada pasien
yang didiagnosa epilepsi, biasanya karena ketidakteraturan dalam memakan obat
antikonvulsan. Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 1-2 persen, tetapi
mortalitas yang berhubungan dengan penyakit yang menyebabkan status epileptikus kira-kira
10 persen. Pada kejadian tahunan menunjukkan suatu distribusi bimodal dengan puncak pada
neonatus, anak-anak dan usia tua.

Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari Status Epileptikus dapat
dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia tua Status Epileptikus kebanyakan
sekunder karena adanya penyakit serebrovaskuler, disfungsi jantung, dementia. Pada Negara
miskin, epilepsy merupakan kejadian yang tak tertangani dan merupakan angka kejadian yang
paling tinggi.

1.4 Etiologi Status Epileptikus

Status epileptikus dapat disebabkan oleh berbagai hal (tabel 1). Secara klinis dan
berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase. Fase pertama terjadi mekanisme
kompensasi, seperti peningkatan aliran darah otak dan cardiac output, peningkatan oksigenase
jaringan otak, peningkatan tekanan darah, peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa
serum dan penurunan pH yang diakibatkan asidosis laktat. Perubahan syaraf reversibel pada
tahap ini. Setelah 30 menit, ada perubahan ke fase kedua, kemampuan tubuh beradaptasi

2
berkurang dimana tekanan darah, pH dan glukosa serum kembali normal. Kerusakan syaraf
irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga aktivitas kejang berlanjut mengarah pada terjadinya
hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan syaraf yang
irreversibel.

Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat, ketika
peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi. Keadaan ini diikuti oleh
penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi kehilangan syaraf dan
kehilangan otak berlanjut.

Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi maksimal
pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks serebri, serebellum,
hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus mungkin paling sensitif akibat
efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf maksimal dalam zona Summer.
Komplikasi terjadinya status epileptikus dapat dilihat dari tabel 2

Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks dan
melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan meningkatkan
pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan masuknya ion Natrium dan
Kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.

Etiologi status epileptikus

 Alkohol
 Anoksia
 Antikonvulsan-withdrawal
 Penyakit cerebrovaskular
 Epilepsi kronik
 Infeksi SSP
 Toksisitas obat-obatan
 Metabolik
 Trauma
 tumor

3
1.5 Komplikasi status epileptikus

 Otak

 Peningkatan Tekanan Intra Kranial


 Oedema serebri
 Trombosis arteri dan vena otak
 Disfungsi kognitif
 Gagal Ginjal
 Myoglobinuria, rhabdomiolisis
 Gagal Nafas
 Apnoe
 Pneumonia
 Hipoksia, hiperkapni
 Gagal nafas
 Pelepasan Katekolamin
 Hipertensi
 Oedema paru
 Aritmia
 Glikosuria, dilatasi pupil
 Hipersekresi, hiperpireksia
 Jantung
 Hipotensi, gagal jantung, tromboembolisme
 Metabolik dan Sistemik
 Dehidrasi
 Asidosis
 Hiper/hipoglikemia
 Hiperkalemia, hiponatremia
 Kegagalan multiorgan
 Idiopatik
 Fraktur, tromboplebitis, DIC

4
1.6 Faktor risiko dan Klasifikasi

Faktor risiko dan klasifikasi status epileptikus adalah satu pertiga kasus terjadi pada
epilepsi berulang, satu pertiga pada kasus epilepsi yang tidak teratur meminum obat
antikonvulsan, pada usia kebanyakan tipe sekunder karena adanya demensia, penyakit
serebrovaskular, dan disfungsi jantung.

Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena penanganan
yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya status epileptikus
dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan, area tertentu dari korteks (Partial onset) atau
dari kedua hemisfer otak (Generalized onset), kategori utama lainnya bergantung pada
pengamatan klinis yaitu, apakah konvulsi atau non-konvulsi.

Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus. Satu


versi mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status epileptikus umum (tonik-klonik,
mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial (sederhana atau kompleks).

Versi lain membagi berdasarkan status epileptikus umum (overt atau subtle) dan status
epileptikus non-konvulsi (parsial sederhana, parsial kompleks, absens).

1. Overt generalized convulsive status epilepticus


Aktivitas kejang yang berkelanjutan dan intermiten tanpa ada kesadaran penuh.
a. Tonik
b. Klonik
c. Tonik – klonik
2. Subtle generalized convulsive status epilepticus diikuti dengan generalized convulsive
status epilepticus dengan atau tanpa aktivitas motorik
3. Simple / partial status epilepticus (consciousness preserved)
a. simple motor status epilepticus
b. sensory status epilepticus
c. aphasic status epilepticus
4. nonconvulsive status epilepticus (consciousness impaired)
a. petitmal status epilepticus
b. complex partial status epilepticus

5
Versi ketiga dengan pendekatan berbeda berdasarkan tahap kehidupan (batas pada periode
neonatus, infant, dan anak-anak, anak-anak dan dewasa, hanya dewasa).

1.7 Gambaran klinik

Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah
keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic) merupakan
bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira 44
sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.

 Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epileptikus)

Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan potensial
dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik umum atau kejang
parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-klonik umum,
serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran
diantara serangan dan peningkatan frekuensi.

Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan
otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien menjadi sianosis
selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan
tekanan darah, hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat
serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan
metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak
tertangani.

6
 Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus)

Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum mendahului


fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.

 Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)

Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan
kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan
merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome.

 Status Epileptikus Mioklonik.

Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan mioklonus


adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat
kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat
dengan prognosa yang buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik,
infeksi atau kondisi degeneratif.

 Status Epileptikus Absens

Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas
atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai
suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupai
“slow motion movie” dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin

7
ada riwayat kejang umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak. Pada EEG
terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat.
Respon terhadap status epileptikus Benzodiazepin intravena didapati.

 Status Epileptikus Non Konvulsif

Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial
kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-konvulsif
ditandai dengan stupor atau biasanya koma.

Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia, delusional, cepat


marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan
pada beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike
wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.

 Status Epileptikus Parsial Sederhana


a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-
jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan
berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang
mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG
sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform
discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering
berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari
status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau
gangguan berbahasa (status afasik).
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik
unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.

 Status Epileptikus Parsial Kompleks

Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang
cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi otomatisme,
gangguan berbicara, dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan. Pada EEG

8
terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan
epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini dapat dibedakan dari status absens dengan
EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan status
epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.

1.8 Diagnosis dan pemeriksaan penunjang

Diagnosa dilakukan dengan cepat dalam waktu 5 – 10 menit. Hal yang pertama kita lakukan
adalah:

 anamnesis
riwayat epilepsi, riwayat menderita tumor, infeksi obat, alkohol, penyakit
serebrovaskular lain, dan gangguan metabolit. Perhatikan lama kejang, sifat kejang
(fokal, umum, tonik/klonik), tingkat kesadaran diantara kejang, riwayat kejang
sebelumnya, riwayat kejang dalam keluarga, demam, riwayat persalinan, tumbuh
kembang, dan penyakit yang sedang diderita.
 Pemeriksaan fisik
pemeriksaan neurologi lengkap meliputi tingkat kesadaran penglihatan dan
pendengaran refleks fisiologis dan patologi, lateralisasi, papil edema akibat
peningkatan intrakranial akibat tumor, perdarahan, dll. Sistem motorik yaitu parestesia,
hipestesia, anestesia.
 Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan laboratorium yaitu darah, elektrolit, glukosa, fungsi ginjal dengan
urin analisis dan kultur, jika ada dugaan infeksi, maka dilakukan kultur darah
dan
 imaging yaitu CT Scan dan MRI untuk mengevaluasi lesi struktural di otak
 EEG untuk mengetahui aktivitas listrik otak dan dilakukan secepat mungkin jika
pasien mengalami gangguan mental
 Pungsi lumbar, dapat kita lakukan jika ada dugaan infeksi CNS atau perdarahan
subarachnoid.

1.9 Diagnosis banding

1. Reaksi konversi
2. syncope

9
1.10 Penatalaksanaan

Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang membutuhkan


anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan penanganan segera.
Mungkin dan harus dirawat pada ruang intensif (ICU). Protokol penatalaksanaan status
epileptikus pada makalah ini diambil berdasarkan konsensus Epilepsy Foundation of America
(EFA). Lini pertama dalam penanganan status epileptikus menggunakan Benzodiazepin.
Benzodiazepin yang paling sering digunakan adalah Diazepam (Valium), Lorazepam (Ativan),
dan Midazolam (Versed).

Ketiga obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid (GABA)
oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-Barbiturat. Berdasarkan
penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang mengalami status
epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok (pada tabel di bawah), dimana
Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang berhasil menghentikan kejang sebanyak
65 persen.

Nama obat Dosis (mg/kg) Persentase

1. Lorazepam 0,1 65 %
2. Phenobarbitone 15 59 %
3. Diazepam + Fenitoin 0.15 + 18 56 %
4. Fenitoin 18 44 %

Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan Diazepam


dan karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak dan
akan terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis awal, konsentrasi
Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan
depresi pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam adalah sama.

Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan


Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan tidak lebih
dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang. Efek
samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin parenteral berisi
Propilen glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan penyuntikan harus menggunakan jarum
suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan
10
“purple glove syndrome”. Larutan dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin,
karena akan terjadi presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.

Status Epileptikus Refrakter

Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit.
Walaupun dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan alasan yang
cukup banyak seperti, dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia rekuren, atau hipokalsemia
persisten.

Kesalahan diagnosis kemungkinan lain-tremor, rigor dan serangan psikogenik dapat


meniru kejang epileptik. Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat tinggi dibandingkan
dengan yang berespon terhadap terapi lini pertama. Dalam mengatasi status epileptikus
refrakter, beberapa ahli menyarankan menggunakan Valproat atau Phenobarbitone secara
intravena. Sementara yang lain akan memberikan medikasi dengan kandungan anestetik seperti
Midazolam, Propofol, atau Tiofenton. Penggunaan ini dimonitor oleg EEG, dan jika tidak ada
kativitas kejang, maka dapat ditapering. Dan jika berlanjut akan diulang dengan dosis awal.

Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus, (EFA, 1993)

Pada : awal menit

1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu intubasi)
a. Periksa tekanan darah
b. Mulai pemberian Oksigen
c. Monitoring EKG dan pernafasan
d. Periksa secara teratur suhu tubuh
e. Anamnesa dan pemeriksaan neurologis
2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa,
hitung darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah; periksa
AGDA (Analisa Gas Darah Arteri)
3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat
4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100 mg
IV atau IM untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernicke’s encephalophaty
5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)

11
6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena
dengan kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika
kejang tetap terjadi berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan
kecepatan 150 mg per menit, dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika
kejang berhenti, berikan Fosfenitoin secara intravena atau intramuskular dengan 7 mg
per kg per 12 jam. Dapat diberikan melalui oral atau NGT jika pasien sadar dan dapat
menelan.

Pada : 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung

1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperatur


2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan kecepatan 100
mg per menit

Pada : 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung

Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus intravena
hingga kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1 mg per kg per jam;
kecepatan infus lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan apakah kejang telah berhenti.
Pertahankan tekanan darah stabil.

-atau-

Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10 mg per kg
per menit, titrasi dengan bantuan EEG.

-atau-

Berikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis pemeliharaan
berdasarkan gambaran EEG.

12
13
1.11 Prognosis

Prognosis status epileptikus adalah tergantung pada penyebab yang mendasari status
epileptikus. Pasien dengan status epileptikus akibat penggunaan antikonvulsan atau akibat
alkohol biasanya prognosisnya lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan dengan cepat dan
dilakukan pencegahan terjadi komplikasi. Pasien dengan meningitis sebagai etiologi maka
prognosis tergantung dari meningitis tersebut.

14
BAB 2

STATUS PASIEN

2.1 Keterangan Umum

Nama : Sdr. T

Umur : 16 tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : Pelajar

Alamat : Singgahan

MRS : 26 Juni 2012

Tgl pemeriksaan : 27 Juni 2012

No registrasi : 252112

2.2 Anamnesa

2.2.1 Keluhan Utama

Kejang

2.2.2 RPS

Kejang sejak jam 10.30 wib. Kejang ± 10 kali. Tiap kejang ± 1 menit sikap kejang

fleksi ekstensi dan setelah kejang px tertidur. Panas (-). Muntah (+) sekitar 7 kali.

Muntahan berupa air warna kuning bening, bau amis. Mengompol saat kejang 3x.

Sebelumya px merasa sakit kepala ± 3 hari.

2.2.3 RPD :-

2.2.4 RPK :-

2.2.5 Rsos :-

2.3 Pemeriksaan Fisik

 Kesan : Baik

15
 GCS : 456

 Tekanan Darah : 130/80 mmHg

 Nadi : 74 x/menit

 Suhu : 36,3oC

 Pernafasan : 28 x/menit

 Anemi :-

 Icterus :-

 Sianosis :-

 Leher : JVP normal, tidak ada benjolan

 Jantung : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis tidak teraba

Perkusi : Batas jantung kanan parasternal kanan ICS8

batas jantung kiri midklavikula kiri 1CS8

 Cardiomegali

Auskultasi : normal

 Paru : Inspeksi : Gerak nafas simetris, retraksi ICS –

Palpasi : Fremitus normal simetris

Perkusi : Paru sonor +|+

+|+

+|+

Auskultasi : Rh/Wh -/-

 Abdomen : Inspeksi : normal

Palpasi : normal

Perkusi : timpani

Auskultasi : BU kesan normal

16
 Ekstremitas : akral hangat, edema -

2.4 Status Psikologis

 Afek dan emosi : baik

 Proses berpikir : baik

 Kecerdasan : baik

 Penyerapan : baik

 Kemauan : baik

 Psikomotor : baik

2.5 Pemeriksaan Neurologis

 Status mental

 GCS : 456

 Bahasa : normal

 Bicara : normal

 Meningeal sign

 Kaku kuduk :-

 Kernig sign :-

 Brudzinski 1 :-

 Brudzinski 2 :-

 Brudzinski 3 :-

 Brudzinski 4 :-

 Nervus kranialis Kanan Kiri

 N.I (Olfaktorius)

Penghidu : normal normal

 N.II (Optikus)

Visus : tidak dievaluasi tidak dievaluasi

17
Lapang pandang : normal normal

Funduskopi : tidak dievaluasi tidak dievaluasi

 N.III (Okulomotorius)

Ptosis : tidak ada tidak ada

Eksoftalmus : tidak ada tidak ada

Pupil : bulat, 3 mm bulat, 3 mm

Reflek cahaya : + +

Nistagmus : tidak ada tidak ada

 N.IV (Trokhlearis)

Posisi bola mata : di tengah di tengah

Pergerakan mata : normal normal

 N.V (Trigeminus) Kanan Kiri

Sensibilitas : V1 normal normal

V2 normal normal

V3 normal normal

Motorik : Inspeksi : normal normal

Palpasi : normal normal

Mengunyah : normal normal

Menggigit : normal

Reflek dagu : normal

Reflek kornea : normal normal

 N.VI (Abdusen)

Pergerakan mata : normal normal

 N.VII (Fasialis)

Motorik : M. Frontalis normal normal

18
M. Oblik okuli normal normal

M. Oblik oris normal normal

 N. VIII (Vestibulokoklearis)

Detik arloji : tidak dievaluasi tidak dievaluasi

Suara berbisik : tidak dievaluasi tidak dievaluasi

Tes weber : tidak dievaluasi tidak dievaluasi

Tes rinne : tidak dievaluasi tidak dievaluasi

 N.IX (Glosofaringeus)

Inspeksi : normal normal

Pengecapan 1/3 belakang : tidak dievaluasi

 N.X (Vagus) Kanan Kiri

Posisi arkus faring: normal normal

Reflek telan/muntah : tidak dievaluasi

 N.XI (asesorius)

Mengangkat bahu : normal normal

Memalingkan kepala : normal normal

 N.XII (Hipoglosus)

Deviasi lidah : tidak ada tidak ada

Fasikulasi : tidak ada tidak ada

Tremor : tidak ada tidak ada

Atrofi : tidak ada tidak ada

Ataxia : tidak ada tidak ada

 Pemeriksaan motorik

 Tonus : N|N

N|N

19
 Kekuatan Otot : 5|5

5|5

 Gerak involunter : –

 Pemeriksaan sensoris

 Protopatik

Raba : Normal

Nyeri : Normal

Suhu : Normal

 Proprioseptif

Posisi sendi : Normal

Tekan : Normal

 Sensasi Kombinasi

Grafestesi : normal

Stereognosi : normal

 Sensasi khusus

Pembauan : normal

Penglihatan : normal

Pendengaran : normal

Pengecapan : normal

 Sensorik luhur

Praksis : normal

Menulis : normal

Membaca : normal

Berhitung : normal

 Reflek

20
 Reflek Fisiologis

BPR : +2|+2

TPR : +2|+2

KPR : +2|+2

APR : +2|+2

 Reflek Patologis

H/T : -/-

Babinski : -/-

Chaddock : -/-

Gordon : -/-

Oppenheim : -/-

Gonda : -/-

Schaefer : -/-

 Pemeriksaan serebelar

 Disdiadokinesis : normal

 Finger to nose : normal

 Otonomik

 Miksi: dbn

 Defekasi: dbn

 Keringat: tes perspirasi tidak dievaluasi

2.6 Pemeriksaan Penunjang

2.6.1 Laboratorium

GDA Cholesterol TG BUN CREATININ ALBUMIN URIC SGOT/SGPT HBS


ACID Ag

119 103 45 16 1,07 3,10 11,49 41/32 (-)

21
• WBC : 22,2 x 103 /uL (4,8-10,8)

• RBC (eri) : 4,24 x 106/uL(4,2-10,8)

• Hb : 12,1 g/dL (12-18)

• HCT : 36,5 % (37-52)

• PLT : 300 x 103/uL(150-450)

• P-LCR :36,1 % (13-43)

• MCV :85,1 fL (79-99)

• MCH : 28,2 pg (27-31)

• MCHC :33,2 g/dL (33-37)

• RDW : 12,7 % (11,5-14,5)

• MPV : 11,3 fL (9-13)

• PDW : 16,1 fL (9-17)

• CYM% : 22% (25-40)

• NEUT% : 86% + (50-70)

• MXD% : 10% (25-30)

• CYM# :1,4 x 103/uL(0,8-4)

• NEUT# :4,2 x 103/uL(2-7,7)

• MXD# :0,6 x 103/uL(2-7,7)

2.7 Diagnosis

2.7.1 Diagnosis Klinis

 Epilepsi

 Vomiting

 Chepalgia

22
2.7.2 Diagnosis Topis

Serebrum (neuron kortek/sub kortek)

2.7.3 Diagnosis Etiologis

Status Epileptikus

2.8 Terapi

 Terapi umum 6 B (breath, brain, bowel, bladder, bone and skin)

 Diazepam inj 10 mg iv (diberikan 2-5 menit) bila kejang

 Phenitoin iv infus 15mg/kg dengan rata rata 50mg/menit

 Ranitidine inj 50mg/2ml 2x

 Ibuprofen 200mg 3x1

Tanggal S O A P

27 Juni  Px sudah tidak  Kesadaran: CM  Dx klinis: CT-Scan Kepala


2012 kejang  GCS 456 Cephalgia,
 Mengeluh  TD: 130/80 Konvulsi, Terapi:
masih sedikit mmHg Vomiting
pusing  N: 74x/menit  ABCDE
 Dx topis:
 Muntah (-)  RR: 24x/menit
 BAK bisa, tadi  S: 36,3oC
Serebrum  Diazepam inj
(neuron 10 mg iv
pagi  N.Kranialis:
kortek/sub (diberikan 2-5
 BAB belum N.III,IV,VI dbn
kortek) menit) bila
N.VII dbn  Dx etiologis: kejang
N.IX dbn Status  Phenitoin iv
N.XII dbn epileptikus infus 15mg/kg
 Pupil bulat dengan rata
isokor 3/3, rata
Reflek cahaya 50mg/menit
+/+  Ranitidine inj
 Sensoris: 50mg/2ml 2x
dbn  Ibuprofen
 Kekuatan Otot: 200mg 3x1
5|5
5|5
 Reflek
fisiologis:
BPR +2/+2
TPR +2/+2
KPR +2/+2

23
APR +2/+2
 Reflek patologis:
Babinski: -/-
Chaddok -/-
Oppenheim -/-
Schaefer -/-
Gordon -/-
Gonda -/-
H/T -/-

28 Juni  Px sudah tidak  Kesadaran: CM  Dx klinis: CT-Scan Kepala


2012 kejang  GCS 456 Cephalgia,
 Mengeluh  TD: 130/80 Konvulsi, Terapi:
masih sedikit mmHg Vomiting
pusing  N: 74x/menit  ABCDE
 Dx topis:
 Muntah (-)  RR: 28x/menit
 BAK bisa, tadi  S: 36,3oC
Serebrum  Diazepam inj
(neuron kortek/ 10 mg iv
pagi  N.Kranialis:
subkortek) (diberikan 2-5
 BAB belum N.III,IV,VI dbn
menit) bila
N.VII dbn  Dx etiologis: kejang
N.IX dbn Status  Phenitoin iv
N.XII dbn epileptikus infus 15mg/kg
 Pupil bulat dengan rata
isokor 3/3, rata
Reflek cahaya 50mg/menit
+/+  Ranitidine inj
 Sensoris: 50mg/2ml 2x
Dbn  Ibuprofen
 Kekuatan Otot: 200mg 3x1
5|5
3|3
 Reflek
fisiologis:
BPR +2/+2

24
TPR +2/+2
KPR +2/+2
APR +2/+2
 Reflek patologis:
Babinski: -/-
Chaddok -/-
Oppenheim -/-
Schaefer -/-
Gordon -/-
Gonda -/-
H/T -/-
29 Juni  Px sudah tidak  Kesadaran: CM  Dx klinis: CT-Scan Kepala
2012 kejang  GCS 456 Cephalgia,
 Mengeluh  TD: 130/80 Konvulsi, Terapi:
masih sedikit mmHg Vomiting
pusing  N: 70x/menit  ABCDE
 Dx topis:
 Muntah (-)  RR: 20x/menit
 BAK bisa, tadi  S: 36,3oC
Serebrum  Diazepam inj
(neuron kortek/ 10 mg iv
pagi  N.Kranialis:
subkortek) (diberikan 2-5
 BAB belum N.III,IV,VI dbn
menit) bila
N.VII dbn  Dx etiologis: kejang
N.IX dbn Status  Phenitoin iv
N.XII dbn epileptikus infus 15mg/kg
 Pupil bulat dengan rata
isokor 3/3, rata
Reflek cahaya 50mg/menit
+/+  Ranitidine inj
 Sensoris: 50mg/2ml 2x
 dbnKekuatan  Ibuprofen
Otot: 200mg 3x1
5|5
5|5
 Reflek
fisiologis:
BPR +2/+2
TPR +2/+2
KPR +2/+2
APR +2/+2
 Reflek patologis:
Babinski: -/-
Chaddok -/-
Oppenheim -/-
Schaefer -/-
Gordon -/-
Gonda -/-
H/T -/-

25
BAB 3

PEMBAHASAN

Pada kasus ini keluhan utama yang dialami pasien adalah kejang 10 kali. Dalam
menegakkan diagnosis kejang berulang, hal pertama yang harus kita lakukan adalah
menetukan penyebab kejang berdasarkan anamnesa dan pemeriksaam fisik yang tepat.
Anamnesis meliputi :
 riwayat epilepsi, riwayat menderita tumor, infeksi obat, alkohol, penyakit
serebrovaskular lain, dan gangguan metabolit. Perhatikan lama kejang, sifat
kejang (fokal, umum, tonik/klonik), tingkat kesadaran diantara kejang, riwayat
kejang sebelumnya, riwayat kejang dalam keluarga, demam, riwayat persalinan,
tumbuh kembang, dan penyakit yang sedang diderita.
Pemeriksaan fisik
 pemeriksaan neurologi lengkap meliputi tingkat kesadaran penglihatan dan
pendengaran refleks fisiologis dan patologi, lateralisasi, papil edema akibat
peningkatan intrakranial akibat tumor, perdarahan, dll. Sistem motorik yaitu
parestesia, hipestesia, anestesia.
Pemeriksaan penunjang

26
 Pemeriksaan laboratorium yaitu darah, elektrolit, glukosa, fungsi ginjal dengan
urin analisis dan kultur, jika ada dugaan infeksi, maka dilakukan kultur darah
dan
 imaging yaitu CT Scan dan MRI untuk mengevaluasi lesi struktural di otak
 EEG untuk mengetahui aktivitas listrik otak dan dilakukan secepat mungkin jika
pasien mengalami gangguan mental
 Pungsi lumbar, dapat kita lakukan jika ada dugaan infeksi CNS atau perdarahan
subarachnoid.

Pada kasus ini pasien datang ke rumah sakit akibat kejang ± 10 kali sikap kejang fleksi

ekstensi disertai muntah ± 7 kali yang sebelumnya mengalami nyeri kepala selama 3hr. Kejang

yang dialami px merupakan salah satu kriteria dari status epileptikus karena kejang terjadi lebih

dari 2 kali, setelah kejang pasien tidak sadar kemudian terjadi kejang lagi. Etiologi kejang pada

pasien diduga idiopatik. Karena meskipun ditemukan tanda infeksi yaitu dengan peningkatan

WBC dan neutrofil, tetapi tanpa pemberian antibiotik dalam terapi medikamentosa ternyata

pasien bisa membaik. Tidak ditemukan penyakit serebrovaskular lain atau gangguan metabolik

pada pasien untuk dicurigai sebagai etiologi. Diperlukan pemeriksaan penunjang lain seperti

CT-Scan, MRI, EEG, dan pungsi lumbar untuk menemukan etiologi yang lain. Pada reflek

fisiologi didapatkan kesan normal dan tidak didapatkan reflek patologis. Kekuatan tonus otot,

psikologis dan status interna baik.

Terapi terbaik untuk penanganan status epileptikus adalah dengan pemberian diazepam

secara iv dengan dosis 10 mg dalam waktu 2 sampai 5 menit jika kejang . Selain itu phenitoin

dapat diberikan secara intravena dengan dosis 15mg/kgbb dengan kecepatan 50mg/menit. Bisa

juga ditambahkan obat-obatan simtomatis seperti ranitidin inj 50 mg/2ml 2x1 dan ibuprofen

200 mg 3x1.

27
Daftar pustaka

1. Status Epileptikus. Available at:


http://www.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepd
f=0&pdf=&html=061214-gtfy209.htm. Accessed on March, 4 2012. 20.00
2. Patofisiologi status epileptikus. Available at:
http://www.scribd.com/doc/55010066/Patofisiologi-Status-Epileptikus. accessed on
March, 4 2012. 20.00
3. Diagnosis banding status epileptikus. Available at:
http://books.google.co.id/books?id=tK2fFEK2QfoC&pg=PA2074&lpg=PA2074&dq
=diagnosis+banding+status+epileptikus&source=bl&ots=WPhvCWUROp&sig=WRc
ZJz1NUR1NuxNauKc0DSqC32A&hl=id&sa=X&ei=e1xTT8OnB4aGrAeIzOnDDQ
&ved=0CC8Q6AEwAw#v=onepage&q=status%20epileptikus&f=false. Accessed on:
March, 4 2012.20.00
4. Status epileptikus. Available at: http://co-ass.blogspot.com/2008/03/tanda-dan-gejala-
psikiatri.html. accessed on March, 4 2012. 20.00
5. Status epileptikus. Available at: http://adc.bmj.com/content/79/1/78/F1.large.jpg.
accessed on March, 4 2012. 20.00

28
6. Status Epileptikus. Available at: http://www.scribd.com/doc/31403191/Makalah-
EMS-Status-Epiletikus-Dan-SJS. accessed on March, 4 2012. 20.00

29

Anda mungkin juga menyukai