Anda di halaman 1dari 43

Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

BAB II
TEORI DASAR PERENCANAAN

2.1. MIXING (KOAGULASI – FLOKULASI)


2.1.1. Umum
Mixing merupakan dua proses yang terangkai menjadi kesatuan proses tak
terpisahkan. Pada proses koagulasi terjadi destabilisasi koloid dan partikel dalam
air sebagai akibat dari pengadukan cepat dan pembubuhan bahan kimia (disebut
koagulan). Akibat pengadukan cepat, koloid dan partikel yang stabil berubah
menjadi tidak stabil karena terurai menjadi partikel yang bermuatan positif dan
negatif. Pembentukan ion positif dan negatif juga dihasilkan dari proses
penguraian koagulan. Proses ini berlanjut dengan pembentukan ikatan antara ion
positif dari koagulan (misal Al3+) dengan ion negatif dari partikel (misal OH-) dan
antara ion positif dari partikel (misal Ca2+) dengan ion negatif dari koagulan
(misal SO42-) yang menyebabkan pembentukan inti flok (presipitat).
Segera setelah terbentuk inti flok, diikuti oleh proses flokulasi, yaitu
penggabungan inti flok menjadi flok berukuran lebih besar yang memungkinkan
partikel dapat mengendap. Penggabungan flok kecil menjadi flok besar terjadi
karena adanya tumbukan antar flok. Tumbukan ini terjadi akibat adanya
pengadukan lambat. Proses koagulasi-flokulasi dapat digambarkan secara
skematik pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Gambaran proses koagulasi-flokulasi

II-1 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

Proses koagulasi-flokulasi terjadi pada unit pengaduk cepat dan pengaduk


lambat. Pada bak pengaduk cepat, dibubuhkan koagulan. Pada bak pengaduk
lambat, terjadi pembentukan flok yang berukuran besar hingga mudah
diendapkan pada bak sedimentasi.

2.1.2. Kestabilan Partikel Tersuspensi

Air baku dari air permukaan umumnya mengandung partikel tersuspensi.


Partikel tersuspensi dalam air dapat berupa partikel bebas dan koloid dengan
ukuran yang sangat kecil, antara 0,001 mikron (10-6 mm) sampai 1 mikron (10-3
mm). Partikel yang ditemukan dalam kisaran ini meliputi (1) partikel anorganik,
seperti serat asbes, tanah liat, dan lanau/silt, (2) presipitat koagulan, dan (3)
partikel organik, seperti zat humat, virus, bakteri, dan plankton. Dispersi koloid
mempunyai sifat memendarkan cahaya. Sifat pemendaran cahaya ini terukur
sebagai satuan kekeruhan.
Partikel tersuspensi sangat sulit mengendap langsung secara alami (lihat Tabel
2.1). Hal ini karena adanya stabilitas suspensi koloid. Stabilitas koloid terjadi
karena:
o Gaya van der Waals. Gaya ini merupakan gaya tarik-menarik antara dua
massa, yang besarnya tergantung pada jarak antar keduanya. Gaya Van der
Waals terjadi akibat interaksi antara molekul-molekul non-polar (Gaya
London), antara molekul-molekul polar (Gaya dipol-dipol) atau antara
molekul non-polar dengan molekul polar (Gaya dipol-dipol terinduksi).
Berikut ini penjelasannya:
a. Gaya Dipol-dipol
Merupakan gaya yang bekerja antara molekul-molekul polar (senyawa
kovalen polar), yaitu molekul-molekul yang memiliki momen dipol.
Setiap senyawa kovalen polar memiliki dipol, yaitu muatan yang
terpolarisasi (terkutubkan) menjadi muatan positif dan negatif.
Dipol-dipol yang berbeda akan saling tarik-menarik, sedangkan yang
berlawanan akan tolak-menolak. Makin besar momen dipolnya,
semakin kuat gayanya.

II-2 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

Gambar 2.2. Gaya Dipol antar Molekul


Tanda "+" menunjukkan dipol positif, tanda "-" menunjukkan dipol negatif

Contoh dalam senyawa HCl

Gambar 2.3. Gaya Dipol pada Molekul HCl

b. Gaya Dipol Sesaat-Dipol Terinduksi (Gaya dispersi London)


Gaya antar molekul ini umumnya dimiliki senyawa kovalen nonpolar
yang tidak memiliki dipol (memiliki muatan namun tidak
terkutubkan).
Molekul-molekul pada senyawa kovalen nonpolar tersusun dari inti
atom dan elektron-elektron yang selalu bergerak bebas. Karena
elektron selalu bergerak, muatan pada molekul nonpolar akhirnya
terkutubkan (dipol sesaat) yang kemudian dapat menginduksi molekul
nonpolar lainnya (dipol terinduksi). Gaya antarmolekul ini dikenal
dengan sebutan gaya dispersi London.
Kemudahan suatu molekul untuk membentuk dipol sesaat atau untuk
menginduksi (mengimbas) suatu dipol disebut polarisabilitas
(keterpolaran).
Polarisabilitas ini berkaitan dengan massa molekul relatif(Mr) dan
bentuk molekul. Pada umumnya, makin banyak jumlah elektron,
makin mudah mengalami polarisasi. Karena jumlah elektron berkaitan
dengan Mr, maka semakin besar Mr, semakin kuat gaya London. Gaya

II-3 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

dispersi London ini termasuk gaya yang relatif lemah, karena interaksi
yang terjadi adalah antar molekul nonpolar. Contoh molekul yang
mengalami gaya london diantaranya: gas hidrogen, gas nitrogen,
metana dan gas-gas mulia.

Gambar 2.4. Gaya London pada Molekul H2, N2, CH4, dan Gas mulia
Dua buah molekul nonpolar berinteraksi, kemudian salah satu molekul
mulai terkutubkan karena pergerakan elektron yang bebas membentuk
dipol sesaat. Disebut dipol sesaat karena dipol molekul tersebut dapat
berpindah milyaran ribu kali dalam satu detik. Pada saat berikutnya dipol
itu hilang atau bahkan sudah berbalik arahnya. Molekul tersebut
kemudian menginduksi molekul non polar yang lainnya. Sehingga terjadi
gaya dipol terinduksi. Oleh karena itu, gaya antar molekul ini disebut
gaya dipol sesaat-dipol terinduksi (gaya dispersi
London).

c. Gaya Dipol-dipol terinduksi


Suatu molekul polar yang berdekatan dengan molekul nonpolar, akan
dapat menginduksi molekul nonpolar. Akibatnya. Molekul nonpolar
memiliki dipol terinduksi. Dipol dari molekul polar akan saling tarik-
menarik dengan dipol terinduksi dari molekul nonpolar. Contohnya terjadi
pada interaksi antara HCl (molekul polar) dengan Cl2 (molekul nonpolar).

Gambar 2.5. Interaksi antara Molekul Polar dengan Molekul


Nonpolar

II-4 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

o Gaya Elektrostatik. Gaya elektrostatik adalah gaya utama yang menjaga


suspensi koloid pada keadaan yang stabil. Sebagian besar koloid
mempunyai muatan listrik. Oksida metalik umumnya bermuatan positif,
sedangkan oksida nonmetalik dan sulfida metalik umumnya bermuatan
negatif. Kestabilan koloid terjadi karena adanya gaya tolak antar koloid
yang mempunyai muatan yang sama. Gaya ini dikenal sebagai zeta
potensial.
o Gerak Brown. Gerak ini adalah gerak acak dari suatu partikel koloid yang
disebabkan oleh kecilnya massa partikel.
Gerak Brown adalah gerakan terus menerus dari suatu partikel
zat cair ataupun gas, artinya partikel-partikel ini tidak pernah dalam
keadaan stasioner atau sepenuhnya diam. Hal ini, pertama kali dibuktikan
dan dicetuskan oleh Robert Brown seorang botanis Skotlandia pada tahun
1827. Prinsip gerak ini mudah sekali, Brown mengamati beberapa partikel
dengan mikroskop dan dia menemukan bahwa pergerakan terus menerus
dari partikel-partikel kecil tersebut makin lama makin cepat
bila temperaturnya makin tinggi.

Gambar 2.6. Gerak Brown dalam Molekul


Gerak ini dapat diamati pada zat cair koloid atau gas. Di dalam suatu
ruang pergerakan partikel gas tersebut (analogie terhadap zat cair juga)
bergerak bebas dan tidak teratur, dengan kata lain partikel gas itu bergerak
dengan kecepatan yang berbeda-beda. Bila partikel gas tersebut menabrak
partikel gas lain atau menabrak tembok dinding ruang, maka kecepatan
serta arah vektornya ikut berubah. Penyebaran kecepatan ini dapat
dirumuskan dengan penyebaran kecepatan Maxwell yang memberikan

II-5 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

gambaran bahwa kecepatan partikel tergantung dari temperatur ruang dan


lingkungannya.
Kecepatan rata-rata pergerakan molekul di udara adalah 500m/s atau 1800
km/h. Kecepatan ini melebihi kecepatan gelombang suara yang besarnya
330 m/s. Energi dari partikel gas ideal juga tergantung dari suhu udara.
Teori gas kinetik memberikan hubungan proporsional antara energi rata2
kinetik dengan temperatur gas:

Gaya van der Waals dan gaya elektrostatik saling meniadakan. Kedua gaya
tersebut nilainya makin mendekati nol dengan makin bertambahnya jarak
antar koloid. Resultan kedua gaya tersebut umumnya menghasilkan gaya
tolak yang lebih besar (Gambar 2.7). Hal ini menyebabkan partikel dan
koloid dalam keadaan stabil.

Tabel 2.1 Pengendapan Partikel dalam Air

Ukuran Waktu Pengendapan


Partikel Tipe Partikel pada Kedalaman 1
(mm) Meter
10 Kerikil 1 detik
1 Pasir 10 detik
10-1 Pasir Halus 2 menit
10-2 Lempung 2 jam
-3
10 Bakteri 8 hari
10-4 Koloid 2 tahun
10-5 Koloid 20 tahun
-6
10 Koloid 200 tahun
Sumber: Water Treatment Handbook Vol. 1 (1991)

II-6 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

Gambar 2.7. Gaya-gaya pada koloid

2.1.3. Koagulasi
Koagulasi merupakan proses dimana bahan kimia (koagulan) ditambahkan
ke sistem pengolahan air (minum atau limbah) untuk membentuk partikel/ materi
halus menjadi partikel yang berukuran lebih besar sehingga dapat mengendap
dengan cepat. Dalam suatu suspensi, koloid tidak mengendap (bersifat stabil) dan
terpelihara dalam keadaan terdispersi, karena mempunyai gaya elektrostatis yang
diperolehnya dari ionisasi bagian permukaan serta adsorpsi ion-ion dari larutan
sekitar. Pada dasarnya koloid terbagi dua, yakni koloid hidrofilik yang bersifat
mudah larut dalam air (soluble)dan koloid hidrofobik yang bersifat sukar larut
dalam air (insoluble). Bila koagulan ditambahkan ke dalam air, reaksi yang terjadi
antara lain:
 Pengurangan zeta potensial (potensial elektrostatis) hingga suatu titik
dimana gaya van der walls dan agitasi yang diberikan menyebabkan
partikel yang tidak stabil bergabung serta membentuk flok;
 Agregasi partikel melalui rangkaian inter partikulat antara grup-grup
reaktif pada koloid;

II-7 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

 Penangkapan partikel koloid negatif oleh flok-flok hidroksida yang


mengendap
Untuk suspensi encer laju koagulasi rendah karena konsentrasi koloid yang
rendah sehingga kontak antar partikel tidak memadai, bila digunakan dosis
koagulan yang terlalu besar akan mengakibatkan restabilisasi koloid.
Untuk mengatasi hal ini, agar konsentrasi koloid berada pada titik
dimana flok-flok dapat terbentuk dengan baik, maka dilakukan proses recycle
sejumlah settled sludgesebelum atau sesudah rapid mixing dilakukan. Tindakan
ini sudah umum dilakukan pada banyak instalasi untuk meningkatkan efektifitas
pengolahan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses koagulasi antara lain:
1. Kualitas air meliputi gas-gas terlarut, warna, kekeruhan, rasa, bau, dan
kesadahan;
2. Jumlah dan karakteristik koloid;
3. Derajat keasaman air (pH);
4. Pengadukan cepat, dan kecepatan paddle;
5. Temperatur air;
6. Alkalinitas air, bila terlalu rendah ditambah dengan pembubuhan kapur;
7. Karakteristik ion-ion dalam air.

Koagulan yang banyak digunakan dalam pengolahan air minum adalah


aluminium sulfat atau garam-garam besi. Kadang-kadang koagulan-pembantu,
seperti polielektrolit dibutuhkan untuk memproduksi flok yang lebih besar atau
lebih cepat mengendap. Polielektrolit digunakan secara luas, baik untuk
pengolahan air proses maupun untuk pengolahan air limbah industri. Polielektrolit
dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu nonionik, kationik dan anionik; biasanya
bersifat larut air. Sifat yang menguntungkan dari penggunaan polielektrolit
adalah: volume lumpur yang terbentuk relatif lebih kecil, mempunyai kemampuan
untuk menghilangkan warna, dan efisien untuk proses pemisahan air dari lumpur (
dewatering).

II-8 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

Jenis-jenis polielektrolit antara lain:


Poli Akrilamida : mencakup ko-polimer dari akrilamida atau asam akrilat (acryl
acid), sejauh perbandingan akril amida lebih besar dari asam akrilat. Poliakril
amida adalah koagulan/ flokulan pembantu sintetik
Zat Kimia Pendukung: Kapur : CaO, Ca(OH)2Untuk menaikan pH
- Soda abu (Sodium bikarbonat) : Na2CO3
- Soda api (Sodium hidroksida) : NaOH
- Asam sulfat : H2SO4 , CO2Untuk menurunkan pH

Faktor utama yang mempengaruhi proses koagulasi-flokulasi air adalah


kekeruhan, padatan tersuspensi, temperatur, pH, komposisi dan konsentrasi kation
dan anion, durasi dan tingkat agitasi selama koagulasi dan flokulasi, dosis
koagulan, dan jika diperlukan, koagulan-pembantu. Beberapa jenis koagulan
beserta sifatnya dapat dilihat pada Tabel 2.2. Pemilihan koagulan dan
konsentrasinya dapat ditentukan berdasarkan studi laboratorium menggunakan jar
test apparatus (Gambar 2.8) untuk mendapatkan kondisi optimum.

Gambar 2.8. Jar Test

Reaksi kimia untuk menghasilkan flok adalah:


Al2(SO4)3.14H2O + 3Ca(HCO3)2  2Al(OH)3 + 3CaSO4 + 14H2O + 6CO2
Pada air yang mempunyai alkalinitas tidak cukup untuk bereaksi dengan alum,
maka perlu ditambahkan alkalinitas dengan menambah kalsium hidroksida.
Al2(SO4)3.14H2O + 3Ca(OH)2  2Al(OH)3 + 3CaSO4 + 14H2O

II-9 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

Derajat pH yang optimum untuk alum berkisar 4,5 hingga 8, karena aluminium
hidroksida relatif tidak terlarut.
Ferro sulfat membutuhkan alkalinitas dalam bentuk ion hidroksida agar
menghasilkan reaksi yang cepat. Untuk itu, Ca(OH)2 ditambahkan untuk
mendapatkan pH pada level di mana ion besi diendapkan sebagi Fe(OH)3. Reaksi
ini adalah reaksi oksidasi-reduksi yang membutuhkan oksigen terlarut dalam air.
Dalam reaksi koagulasi, oksigen direduksi dan ion besi dioksidasi menjadi ferri,
di mana akan mengendap sebagai Fe(OH)3.
2FeSO4.7H2O + 2Ca(OH)2 + 1/2 O2  2Fe(OH)3 + 2CaSO4 + 13H2O
Untuk berlangsungnya reaksi ini, pH harus sekitar 9,5 dan kadang-kadang
stabilisasi membutuhkan kapur berlebih.
Penggunaan ferri sulfat sebagai koagulan berlangsung mengikuti reaksi:
Fe2(SO4)3 + 3Ca(HCO3)2  2Fe(OH)3 + 3CaSO4 + 6CO2
Reaksi ini biasanya menghasilkan flok yang padat dan cepat mengendap.
Jika alkalinitas alami tidak cukup untuk reaksi, diperlukan penambahan kapur.
Rentang pH optimum adalah sekitar 4 hingga 12, karena ferri hidroksida relatif
tidak larut dalam rentang pH ini.
Reaksi ferri klorida sebagai koagulan berlangsung sebagai berikut:
2FeCl3 + 3Ca(HCO3)2  2Fe(OH)3 + 3CaCl2 + 6CO2
Penambahan kapur diperlukan bila alkalinitas alami tidak mencukupi.
2FeCl3 + 3Ca(OH)2  2Fe(OH)3 + 3CaCl2
Reaksi ferri klorida berlangsung pada pH optimum 4 sampai 12. Flok yang
terbentuk umumnya padat dan cepat mengendap.

II-10 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

Tabel 2.2. Beberapa Jenis Koagulan dalam Praktek Pengolahan Air

Gambar 2.9. Pengaruh pH terhadap kelarutan Fe(III) pada temperatur 25oC


(diambil dari Fair dkk, 1981)

Operasional dan Pemeliharaan bak koagulasi seperti:


 Pemeriksaan kualitas air baku di laboratorium instalasi sangat diperlukan
untuk menentukan dosis koagulan yang tepat, pemeriksaan yang perlu
dilakukan diantaranya mengukur kekeruhan air (turbidity) dan derajat
keasaman (pH) air baku.

II-11 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

 Dosis koagulan ditentukan berdasarkan percobaan jar-test, sedangkan pH


air baku ditentukan dengan komparator pH;
 Pengontrolan debit koagulan yang masuk ke splitter box dilakukan
setiap jam oleh operator instalasi;
 Pemeriksaan clogging pada saluran/pipa feeding dan pompa pembubuh
larutan koagulan dilakukan setiap harinya oleh operator instalasi,
dan pemeriksaan clogging pada orifice diffuser.

Tujuan pengadukan cepat (koagulasi) dalam pengolahan air adalah untuk


menghasilkan turbulensi air sehingga dapat mendispersikan bahan kimia yang
akan dilarutkan dalam air. Secara umum, pengadukan cepat adalah pengadukan
yang dilakukan pada gradien kecepatan besar (300 sampai 1000 detik-1) selama 5
hingga 60 detik atau nilai GTd (bilangan Champ) berkisar 300 hingga 1700.
Secara spesifik, nilai G dan td bergantung pada maksud atau sasaran pengadukan
cepat.
Kecepatan pengadukan merupakan parameter penting dalam pengadukan
yang dinyatakan dengan gradien kecepatan. Gradien kecepatan merupakan fungsi
dari tenaga yang disuplai (P):

𝑃
G = (µ .𝑉)^0,5

dalam hal ini:


P = suplai tenaga ke air (N.m/detik)
V = volume air yang diaduk, m3
µ = viskositas absolut air, N.detik/m2
Persamaan diatas berlaku umum untuk semua jenis pengadukan.
Adapun jenis-jenis pengadukan dalam koagulasi adalah sebagai berikut:
2.1.3.1. Pengadukan Mekanis
Pengadukan mekanis adalah metoda pengadukan menggunakan peralatan
mekanis yang terdiri atas motor, poros pengaduk (shaft), dan alat

II-12 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

pengaduk (impeller). Peralatan tersebut digerakkan dengan motor


bertenaga listrik. Berdasarkan bentuknya, ada tiga macam impeller, yaitu
paddle (pedal), turbine, dan propeller (baling-baling). Bentuk ketiga
impeller tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.10 dan Gambar 2.11.
Kriteria impeller dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Gambar 2.10. Tipe paddle (a) tampak atas, (b) tampak samping

Tabel 2.3. Kriteria Impeller


Tipe
Kecepatan Putaran Dimensi Keterangan
Impeller
diameter: 50-80% lebar bak
Paddle 20 - 150 rpm lebar: 1/6-1/10 diameter
paddle
Turbine 10-150 rpm diameter:30-50% lebar bak
jumlah pitch 1-2
Propeller 400-1750 rpm diameter: max. 45 cm
buah
Sumber: Reynold & Richards (1996)

II-13 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

Gambar 2.11. Tipe turbine dan propeller. (a) turbine blade lurus, (b) turbine
blade dengan piringan, (c) turbin dengan blade menyerong, (d) propeller 2
blade, (e) propeller 3 blade (Qasim, dkk., 2000)

Pengadukan mekanis dengan tujuan pengadukan cepat umumnya


dilakukan dalam waktu singkat dalam satu bak. Faktor penting dalam
perancangan alat pengaduk mekanis adalah dua parameter pengadukan,
yaitu G dan td. Sekadar patokan, Tabel 2.4 dapat digunakan dalam
pemilihan nilai G dan td. Pengadukan mekanis dengan tujuan pengadukan
lambat umumnya memerlukan tiga kompartemen dengan ketentuan G di
kompartemen I lebih besar daripada G di kompartemen II dan G di
kompartemen III adalah yang paling kecil (Gambar 2.12). Pengadukan
mekanis yang umum digunakan untuk pengadukan lambat adalah tipe
paddle yang dimodifikasi hingga membentuk roda (paddle wheel), baik
dengan posisi horisontal maupun vertikal (Gambar 2.13).

Tabel 2.4. Nilai Gradien Kecepatan dan Waktu Pengadukan


Waktu Pengadukan, td Gradien Kecepatan
(detik) (1/detik)
20 1000
30 900
40 790
50 700
Sumber: Reynold & Richards (1996)

II-14 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

Gambar 2.12. Pengadukan dengan alat pengaduk

Gambar 2.13. Paddle wheel dengan blade tegak lurus aliran air (tipe
horizontal shaft)

2.1.3.2. Pengadukan hidrolis


Pengadukan hidrolis adalah pengadukan yang memanfaatkan aliran
air sebagai tenaga pengadukan. Tenaga pengadukan ini dihasilkan dari
energi hidrolik yang dihasilkan dari suatu aliran hidrolik. Energi hidrolik
dapat berupa energi gesek, energi potensial (jatuhan) atau adanya
lompatan hidrolik dalam suatu aliran.
Jenis pengadukan hidrolis yang digunakan pada pengadukan cepat
haruslah aliran air yang menghasilkan energi hidrolik yang besar. Dalam
hal ini dapat dilihat dari besarnya kehilangan energi (headloss) atau
perbedaan muka air. Dengan tujuan menghasilkan turbulensi yang besar
tersebut, maka jenis aliran yang sering digunakan sebagai pengadukan
cepat adalah terjunan (Gambar 2.14), loncatan hidrolik, dan parshall
flume.

II-15 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

Jenis pengadukan hidrolis yang digunakan pada pengadukan


lambat adalah aliran air yang menghasilkan energi hidrolik yang lebih
kecil. Aliran air dibuat relatif lebih tenag dan dihindari terjadinya
turbulensi agar flok yang terbentuk tidak pecah lagi. Beberapa contoh
pengadukan hidrolis untuk pengadukan lambat adalah kanal bersekat
(baffled channel, Gambar 2.15), perforated wall, gravel bed dan
sebagainya.

Gambar 2.14. Pengadukan cepat dengan terjunan

Gambar 2.15. Denah pengadukan dengan baffled channel

2.1.3.3. Pengadukan pneumatis


Pengadukan pneumatis adalah pengadukan yang menggunakan udara (gas)
berbentuk gelembung sebagai tenaga pengadukan. Gelembung tersebut
dimasukkan ke dalam air dan akan menimbulkan gerakan pada air

II-16 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

(Gambar 2.16). Injeksi udara bertekanan ke dalam air akan menimbulkan


turbulensi, akibat lepasnya gelembung udara ke permukaan air. Aliran
udara yang digunakan untuk pengadukan cepat harus mempunyai tekanan
yang cukup besar sehingga mampu menekan dan menggerakkan air.
Makin besar tekanan udara, kecepatan gelembung udara yang dihasilkan
makin besar dan diperoleh turbulensi yang makin besar pula.

Gambar 2.16. Pengadukan Cepat Secara Pneumatis

2.1.4. Flokulasi
Proses flokulasi dalam pengolahan air bertujuan untuk
mempercepat proses penggabungan flok-flok yang telah dibibitkan pada proses
koagulasi.Partikel-partikel yang telah distabilkan selanjutnya saling bertumbukan
serta melakukan proses tarik-menarik dan membentuk flok yang ukurannya makin
lamamakin besar serta mudah mengendap. Gradien kecepatan merupakan
faktor penting dalam desain bak flokulasi. Jika nilai gradien terlalu besar maka
gaya geser yang timbul akan mencegah pembentukan flok, sebaliknya jika nilai
gradient terlalu rendah/tidak memadai maka proses penggabungan antar partikulat
tidak akan terjadi dan flok besar serta mudah mengendap akan sulit dihasilkan.
Untuk mendapatkan flok yang besar dan mudah mengendap maka bak
flokulasi dibagi atas tiga kompartemen, dimana pada kompertemen pertama
terjadi proses pendewasaan flok, pada kompartemen kedua terjadi
proses penggabungan flok, dan pada kompartemen ketiga terjadi pemadatan flok.

II-17 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

Pengadukan lambat (agitasi) pada proses flokulasi dapat dilakukan dengan


metoda yang sama dengan pengadukan cepat pada proses
koagulasi, perbedaannya terletak pada nilai gradien kecepatan di mana pada
proses flokulasi nilai gradien jauh lebih kecil dibanding gradien kecepatan
koagulasi.
Pengadukan lambat adalah pengadukan yang dilakukan dengan gradien
kecepatan kecil (20 sampai 100 detik-1) selama 10 hingga 60 menit atau nilai GTd
(bilangan Champ) berkisar 48000 hingga 210000. Untuk menghasilkan flok yang
baik, gradien kecepatan diturunkan secara bertahap agar flok yang telah terbentuk
tidak pecah lagi dan berkesempatan bergabung dengan yang lain membentuk
gumpalan yang lebih besar.
Tujuan dilakukan flokulasi pada air limbah selain lanjutan dari proses
koagulasi yaitu:
 Meningkatkan penyisihan Suspended Solid (SS) dan BOD dari
pengolahan fisik
 Memperlancar proses conditioning air limbah, khususnya limbah
industri.
 Meningkatkan kinerja secondary-clarifier dan proses lumpur aktif
 Sebagai pretreatment untui proses pembentukan secondary effluent
dalam filtrasi.

Gambar 2.17. Flokulasi (Slow Mixing)

Operasional dan Pemeliharaan bak flokulasi seperti:

II-18 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

 Penyisihan schum yang mengapung pada bak flokulasi dilakukan


setiap hari secara manual menggunakan alat sederhana (jala),
biasanya dilakukan pada pagi hari;
 Pengontrolan ukuran flok yang terbentuk melalui pengamatan visual;
 Pemeriksaan kemungkinan tumbuhnya algae pada dinding tangki
dan baffle;
 Pengontrolan kecepatan mixer jika pengadukan dilakukan
menggunakan mechanical mixer. Pengoperasian mixer
membutuhkan perawatan yang lebih besar dari penggunaan flokulator
baffle

2.2. SEDIMENTASI
2.2.1. Definisi Unit Sedimentasi
Unit sedimentasi merupakan peralatan yang berfungsi untuk memisahkan
solid dan liquid dari suspensi untuk menghasilkan air yang lebih jernih dan
konsentrasi lumpur yang lebih kental melalui pengendapan secara gravitasi.

2.2.2. Tujuan Sedimentasi


Secara keseluruhan, fungsi unit sedimentasi dalam instalasi pengolahan
adalah:
a. Mengurangi beban kerja unit filtrasi dan memperpanjang umur pemakaian
unit penyaring selanjutnya;
b. Mengurangi biaya operasi instalasi pengolahan.
Sedangkan sedimentasi pada pengolahan air minum ditujukan untuk:
a. Pengendapan air permukaan untuk penyisihan partikel diskret khususnya
pada pengolahan dengan filter pasir cepat
b. Pengendapan flok hasil koagulasi-flokulasi, khususnya sebelum disaring
dengan filter pasir cepat
c. Pengendapan lumpur hasil pembubuhan soda-kapur pada proses
penurunan kesadahan
d. Pengendapan lumpur pada penyisihan besi dan mangan dengan oksidasi.

II-19 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

Gambar 2.18. Unit Sedimentasi

2.2.3. Bentuk Bak Sedimentasi


 Segi empat (rectangular)

Gambar 2.19. Bak Sedimentasi Bentuk Segi Empat

II-20 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

 Lingkaran (circular)

Gambar 2.20. Bak sedimentasi bentuk lingkaran aliran horizontal

Gambar 2.21. Bak sedimentasi bentuk lingkaran aliran vertikal

II-21 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

2.2.4. Bagian-Bagian dari Bak Sedimentasi

Gambar 2.22. Bagian-Bagian dari Bak Sedimentasi

 Zona Inlet, zona ini mendistribusikan aliran air secara merata pada bak
sedimentasi dan menyebarkan kecepatan aliran yang baru masuk. Jika dua
fungsi ini dicapai, karakteristik aliran hidrolik dari bak akan lebih
mendekati kondisi bak ideal dan menghasilkan efisiensi yang lebih baik.
Zona inlet didesain secara berbeda untuk kolam rectangular dan circular.
Khusus dalam pengolahan air, bak sedimentasi rectangular dibangun
menjadi satu dengan bak flokulasi. Sebuah baffle atau dinding
memisahkan dua kolam dan sekaligus sebagai inlet bak sedimentasi.
Didesain dinding pemisah sangat penting, karena kemampuan bak
sedimentasi tergantung pada kualitas flok.
 Zona Pengendapan, dalam zona ini air mengalir pelan secara horizontal ke
arah outlet, dalam zona ini terjadi proses pengendapan. Lintasan partikel
tergantung pada besarnya kecepatan pengendapan.
 Zona Lumpur:
-Lumpur terakumulasi
-Kadang dilengkapi dengan sludge collector/scapper
 Zona Outlet, seperti zona inlet, zona outlet atau struktur effluent
mempunyai pengaruh besar dalam mempengaruhi pola aliran dan

II-22 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

karakteristik pengendapan flok pada bak sedimentasi. Biasanya weir


(pelimpah) dan bak penampun limpahan digunakan untuk mengontrol
outlet pada bak sedimentasi. Selain itu, pelimpah tipe V-notch atau orifice
terendam biasanya juga dipakai. Diantara keduanya, orifice terendam yang
lebih baik karena memiliki kecenderungan pecahnya sisa flok lebih kecil
selama pengaliran dari bak sedimentasi menuju filtrasi.
Selain bagian-bagian utama diatas, sering bak sedimentasi dilengkapi
dengan settler. Settler dipasang pada zona pengendapan (Gambar 2.23)
dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi pengendapan.

Gambar 2.23. Settler pada bak sedimentasi

2.2.5. Tipe Sedimentasi


Berdasarkan konsentrasi dan kecenderungan partikel berinteraksi, proses
sedimentasi terbagi atas empat macam:
1. Sedimentasi Tipe I/Plain Settling/Discrete particle
Merupakan pengendapan partikel diskrit, yaitu partikel yang dapat
mengendap bebas secara individual tanpa membutuhkan adanya
interaksi antar partikel dan tanpa menggunakan koagulan. Tujuan dari
unit ini adalah menurunkan kekeruhan air baku dan digunakan pada grit
chamber. Dalam perhitungan dimensi efektif bak, faktor-faktor yang
mempengaruhi performance bak seperti turbulensi pada inlet dan outlet,
pusaran arus lokal, pengumpulan lumpur, besar nilai G sehubungan
dengan penggunaan perlengkapan penyisihan lumpur dan faktor lain

II-23 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

diabaikan untuk menghitung performance bak yang lebih sering disebut


dengan ideal settling basin.
Sesuai dengan pengertian sedimentasi tipe I, maka pengendapan
terjadi karena adanya interaksi gaya-gaya di sekitar partikel, yaitu gaya
drag dan gaya impelling. Massa partikel menyebabkan adanya gaya
drag dan diimbangi oleh gaya impelling, sehingga kecepatan
pengendapan partikel konstan.
Gaya impelling adalah resultan dari gaya yang disebabkan oleh
gaya berat partikel atau gaya gravitasi (ke arah bawah) dan gaya apung
(bouyant, ke arah atas), lihat Gambar 2.20. Arah gaya impelling adalah
ke bawah dan dinyatakan dengan persamaan:
FI = Fg – Fb = (ρs – ρ) g V
Dimana:
FI = gaya impelling, N
ρs = densitas massa partikel, kg/m3
ρ = densitas massa air, kg/m3
V = volume partikel, m3
g = percepatan gravitasi, m/detik2

Gambar 2.24. Gaya-gaya yang bekerja pada partikel di air

II-24 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

Gaya drag adalah gaya yang melawan gaya impelling sehingga


partikel dalam kondisi setimbang. Arah gaya ini adalah ke atas dan
dinyatakan dengan persamaan:

FD = CD AC ρ (vs2/2)

Dimana:
FD = gaya drag, N
CD = koefisien drag
AC = luas potongan melintang partikel, m2
vs = kecepatan pengendapan, m/detik

dalam kondisi yang seimbang, maka FD = FI, maka


diperoleh persamaan:
(ρs – ρ) g V = CD AC ρ (vs2/2)

atau

2𝑔 (ρ𝑠 – ρ) 𝑉
vs = √ CD ρ AC

Bila V/AC = (2/3) d, maka diperoleh:

4𝑔 (ρ𝑠 – ρ)
vs = √ 𝑑
3CD ρ

atau
4𝑔
vs = √3𝐶 (𝑆𝑔 − 1)𝑑
𝐷

ρ𝑠
dimana Sg adalah spesific gravity ( ρ ). Besarnya nilai CD tergantung

pada bilangan Reynold.


24
 Bila NRe< 1 (laminar), CD = 𝑁𝑅𝑒
24 3
 Bila NRe = 1 – 104 (transisi), CD = 𝑁𝑅𝑒 + 𝑁𝑅𝑒 0,5 + 0,34 atau CD =
18,5
𝑁𝑅𝑒 0,6

II-25 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

 Bila NRe > 104 (turbulen), CD = 0,34 sampai 0,4

Bilangan Reynold dapat dihitung menggunakan persamaan:


ρ.d.Vs
NRe = µ

Pada kondisi aliran laminar, persamaan dapat disederhanakan menjadi:


𝑔
Vs = 18 𝑣 (𝑆𝑔 − 1)𝑑 2

Atau
𝑔
Vs = 18 𝑣 (ρ𝑠 – ρ)𝑑 2

dimana: µ = viskositas absolut dinamis, N.detik/m2


v = viskositas kinematis, m2/detik
Persamaan pada kondisi laminar disebut persamaan Stoke’s.
Pada kondisi aliran tubulen, persamaan

2. Sedimentasi Tipe II (Flocculant Settling)


Pengendapan material koloid dan solid tersuspensi terjadi melalui
adanya penambahan koagulan, biasanya digunakan untuk
mengendapkan flok-flok kimia setelah proses koagulasi dan flokulasi.
Pengendapan partikel flokulen akan lebih efisien pada ketinggian bak
yang relatif kecil. Karena tidak memungkinkan untuk membuat bak
yang luas dengan ketinggian minimum, atau membagi ketinggian bak
menjadi beberapa kompartemen, maka alternatif terbaik untuk
meningkatkan efisiensi pengendapan bak adalah dengan memasang
tube settler pada bagian atas bak pengendapan untuk menahan flok–flok
yang terbentuk.
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan efisiensi bak pengendapan
adalah:
 Luas bidang pengendapan;
 Penggunaan baffle pada bak sedimentasi;
 Mendangkalkan bak;
 Pemasangan plat miring.

II-26 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

3. Sedimentasi Tipe III / Hindered Settling (Zone Settling)


Merupakan pengendapan dengan konsentrasi koloid dan partikel
tersuspensi adalah sedang, di mana partikel saling berdekatan sehingga
gaya antar pertikel menghalangi pengendapan paertikel-paertikel di
sebelahnya. Partikel berada pada posisi yang relatif tetap satu sama lain
dan semuanya mengendap pada suatu kecepatan yang konstan. Hal ini
mengakibatkan massa pertikel mengendap sebagai suatu zona, dan
menimbulkan suatu permukaan kontak antara solid dan liquid.
Jenis sedimentasi yang umum digunakan pada pengolahan air
bersih adalah sedimentasi tipe satu dan dua, sedangkan jenis ketiga
lebih umum digunakan pada pengolahan air buangan.

4. Sedimentasi Tipe IV
Merupakan unit lanjutan dari sedimentasi tipe III, dimana terjadi
pemampatan (kompresi) massa partikel hingga diperoleh konsentrasi
lumpur yang tinggi.

Gambar 2.25. Empat tipe sedimentasi

II-27 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

Gambar 2.26. Contoh Pengendapan pada final clarifier untuk proses lumpur aktif

2.2.6. Parameter Operasi pada Unit Sedimentasi


 Waktu tinggal (detention time)
 Laju luapan permukaan (overflow rate).
 Kecepatan aliran
 Laju luapan (weir overflow rate).

2.2.7. Operasional dan Pemeliharaan


 Pengontrolan kondisi pengendapan flok pada tangki dilakukan dengan
frekuensi 4 kali sehari. Proses pembentukan flok yang tidak sempurna
pada proses koagulasi dan flokulasi mengakibatkan banyaknya flok kecil
yang terbawa ke bak penyaring sehingga meningkatkan beban penyaring;
 Pengontrolan kualitas clarified water untuk memeriksa efisiensi bak
pengendapan. Efisiensi pengendapan yang jelek mengakibatkan
meningkatnya beban pengolahan pada unit filtrasi;
 Penyisihan schum, sludge yang mengapung dan pertumbuhan algae pada
dinding tangki, baffle, dan lounders terutama pada musim panas;
 Pengontrolan beban permukaan dan flow rate melalui observasi visual
dengan melihat ketinggian air pada weir pelimpah, bila debit air yang
diolah terlalu besar maka muka air akan melebihi ketinggian weir loading;

II-28 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

 Pengurasan lumpur yang dilakukan pada clarified water secara otomatis


dan manual menurut ketebalan lumpur yang dilakukan dengan
menggunakan pompa penguras.

2.3.FILTRASI
2.3.1. Umum
Filtrasi adalah suatu proses pemisahan zat padat dari fluida (cair maupun
gas) yang membawanya menggunakan suatu medium berpori atau bahan berpori
lain untuk menghilangkan sebanyak mungkin zat padat halus yang tersuspensi dan
koloid. Pada pengolahan air minum, Filtrasi digunakan untuk menyaring air hasil
dari proses koagulasi – flokulasi – sedimentasi sehingga dihasilkan air minum
dengan kualitas tinggi. Di samping mereduksi kandungan zat padat filtrasi dapat
pula mereduksi kandungan bakteri, menghilangkan warna, rasa bau, besi dan
mangan.
Pada filtrasi dengan media berbutir, terdapat tiga phenomena proses, yaitu:
1. Transportasi : meliputi proses gerak brown, sedimentasi, dan gaya tarik
antar partikel
2. Kemampuan menempel : meliputi proses mechanical straining, adsorpsi
(fisik - kimia), biologis
3. Kemampuan menolak : meliputi tumbukan antar partikel dan gaya tolak
menolak

2.3.2. Tipe Filter


Berdasarkan pada kapasitas produksi air yang terolah, saringan pasir dapat
dibedakan menjadi dua yaitu Saringan pasir cepat dan Saringan pasir lambat.

Saringan pasir cepat dapat dibedakan dalam beberapa kategori :


1. Menurut jenis media yang dipakai
2. Menurut sistem kontrol kecepatan filtrasi
3. Menurut arah aliran

II-29 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

4. Menurut kaidah grafitasi / dengan tekanan


5. Menurut pretreatment yang diperlukan.

2.3.2.1. Jenis-jenis Filter Berdasar Sistem Operasi dan Media


I. Jenis media Filter :
1. Single media : Satu jenis media seperti pasir silika, atau
dolomit saja
2. Dual media : misalnya digunakan pasir silica, dan anthrasit
3. Multi media : misalnya digunakan pasir silica, anthrasit dan
garnet.

1. Filter single media, filter cepat tradisional biasanya


menggunakan pasir kwarsa. Pada sistem ini penyaringan
SS terjadi pada lapisan paling atas sehingga dianggap
kurang efektif karena sering dilakukan pencucian. Gambar
2.26 menjelaskan kedalaman pasir, kerikil sebagai media
penyangga dan sistem pematusan (under drain).

2. Filter dual media, sering digunakan filter dengan media


pasir kwarsa di lapisan bawah dan antharasit pada lapisan
atas.
Keuntungan dual media :
Kecepatan filtrasi lebih tinggi (10 – 15 m/jam)
Periode pencucian lebih lama
Merupakan peningkatan filter single media (murah).

3. Multi media filter : terdiri dari anthrasit , pasir dan garnet


atau dolomit, fungsi multi media adalah untuk
memfungsikan seluruh lapisan filter agar berperan
sebagai penyaring.

II-30 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

Gambar 2.27. Filter aliran secara gravitasi dengan kelengkapannya (Tom D.


Reynolds, 1992).

II. Sistem kontrol kecepatan :


1. Constant rate : debit hasil proses filtrasi konstan sampai pada
level tertentu.
Hal ini dilakukan dengan memberikan kebebasan kenaikan level
muka air di atas media filter.
2. Declining rate : debit hasil proses filtrasi menurun seiring dengan
waktu filtrasi, atau level muka air di atas media filter dirancang
pada nilai yang tetap.

III. Sistem aliran :


1. Aliran down flow (kebawah)
2. aliran upflow (keatas)
3. aliran horizontal.

II-31 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

IV. Kaidah pengaliran :


1. Aliran secara gravitasi
2. Aliran di bawah tekanan (pressure filter)

V. Pretreatment :
1. Kogulasi – flokulasi – sedimentasi
2. Direct filtration

Gambar 2.27. menjelaskan keadaan filter saat beroperasi dan pada saat pencucian
(back washing).

Gambar 2.28. Potongan filter saat operasi dan pencucian balik (back wash)

II-32 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

2.3.2.2. Jenis-jenis Filtrasi Berdasarkan Kecepatan Penyaringan


Secara umum filtrasi berdasarkan kecepatan penyaringan, dibagi menjadi :
1. Saringan Pasir Lambat (SSF)
2. Saringan Pasir Cepat (RSF)

Tabel 2.5. Perbandingan SSF dan RSF


Deskripsi Slow Sand Filter Rapid Sand Filter
Kecepatan Penyaringan 1-3 mgad (ml/ hr) 100-300 mgad (ml/ hr)
Ukuran Bak Besar (0.5 acre) Kecil (0.01-0.1 acre)
Kedalaman bak Gravel 12 in, pasir 42 Gravel 18 in, pasir 30 in
Ukuran Pasir in, E=0.4-0.55; U=1.35-1.75
Distribusi Pasir E=0.25-0.35; U=2-3 Stratified
Sist underdrain Unstratified 1.Perforated pipe lateral
Split tile laterals 2.Porous plate 3.porous block
Head loss 1 ft-8 at 8 ft
Lama operasi 0.2 ft-4 ft 12-24-72 jm
Penetrsi susp.mat 20-30-60 hr Dalam
Metode puncucian Bag. Atas Back washing
Jml pemakaian air dlm Di keruk bag atas psr 1-4-6 %
pencucian 0.2-0.6 % Sedimentasi, Koagulasi,
Treatment pendahuluan Tidak ada Flokulasi
Treatment lanjutan Klorinasi Klorinasi
Investasi Relatif besar Relatif kecil
Biaya operasi Relatif kecil Relatif besar

2.3.2.2.1.Rapid Sand Filter (RSF)


RSF merupakan salah satu jenis unit filtrasi yang mampu
menghasilkan debit air yang lebih banyak dibandingkan Slow Sand
Filter, namun kurang efektif untuk mengatasi bau dan rasa yang
ada pada air yang disaring. Selain itu, debit air yang cepat
menyebabkan lapisan bakteri yang berguna untuk menghilangkan
patogen tidak akan terbentuk sebaik apa yang terjadi Slow Sand
Filter, sehingga membutuhkan proses desinfeksi yang lebih
intensif. Perbedaan utama dari RSF dan SSF adalah bahwa pada
SSF arah aliran airnya dari atas ke bawah, sedangkan pada RSF
dari bawah ke atas (up flow). Selain itu pada RSF umumnya dapat
melakukan backwash atau pencucian saringan tanpa membongkar
keseluruhan saringan.

II-33 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

Gambar 2.29. Rapid Sand Filter (RSF)

Media
Media filter dapat tersusun dari pasir silika alami, anthrasit, atau
pasir garnet. Media ini umumnya memiliki variasi dalam ukuran,
bentuk, dan komposisi kimia.

RSF dapat menggunakan media tunggal, media ganda, atau multi


media. Pada media tunggal digunakan pasir kwarsa saja, media
ganfa digunakan pasir kwarsa dan antrasit, multi media digunakan
pasir kwarsa, anthrasit, dan karbon aktif. RSF memiliki ukuran
media pasir berkisar antara 0,5-2,0 mm, dengan laju aliran 5-15
m/jam dan waktu operasi berkisar antara 1-3 hari.

Dasar Filter dan Underdrain


Dasar filter dapat terdiri dari system perpipaan yang tersusun dari
lateral dan manifold untuk mengalirkan air terolah, dimana air
diterima melalui lubang orifice yang diletakkan pada pipa lateral.
Manifold dan lateral ditujukan agar distribusi merata

Hidrolika Pencucian dengan Aliran ke Atas (Back Washing)


Selama proses filtrasi berlangsung akan terjadi penurunan debit air
produksi akibat clogging atau pemampatan oleh kotoran yang

II-34 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

tersaring dan tertahan pada media yang menyebabkan diameter pori


mengecil. Hal ini ditandai oleh :
1. Penurunan kapasitas produksi
2. Peningkatan kehilangan energi (headloss) yang diikuti oleh
kenaikan muka air di atas media filter.
3. Penurunan kualitas air terproduksi.
Teknik pencucian RSF dapat dilakukan dengan menggunakan back
washing, dengan kecepatan tertentu agar media filter terfluidisasi
dan terjadi tumbukan antar media sehingga kotoran yang menempel
pada media akan lepas dan terbawa bersama aliran air.

Pokok-Pokok dalam Perencanaan RSF


1. Ukuran dan kedalaman media penyaring
2. Filter Gravel
Tujuan dari media filter gravel :
- Menghindari pasir terbawa aliran ke dalam under drain.
- Membantu distribusi aliran pada proses pencucian
(back wash).
Ukuran gravel antara 1/8 s/d 1,5 inchi, dengan ketebalan gravel
antara 9 s/d 18 inchi (20 s/d 40 cm)
3. Under Drain
Fungsi under drain :
- Untuk mengalirkan air hasil penyaringan (air bersih) dan
dialirkan ke clear well.
- Untuk mendistribusikan air keperluan back wash merata
keseluruh media pasir.
Jenis-jenis saluran under drain :
- Manifold dan pipa lateral/ pipe grid.
- Filter floor/ false bottom

II-35 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

4. Wash water gutter


Saluran ini berfungsi untuk mengalirkan air yang mengandung
kotoran dari hasil pencucian pasir (back wash)
5. Hidrolika Filtrasi
- Kondisi penyaringan
- Fluidized bed
Ketika filter dibackwash, pada saat sebelum material
terangkat keatas (kritis) terjadi kondisi dimana gaya angkat keatas
dari air sama besar dengan berat material filter. Pada saat itu terjadi
keseimbangan antara kehilangan tekanan pada expanded bed
dengan frictional resistance dari partikel pasir.

2.3.2.2.2.Slow Sand Filter


Filter pasir lambat adalah filter yang mempunyai kecepatan
filtrasi lambat. Dibandingkan filter cepat, kecepatan filtrasi pada
filter lambat sekitar 20 – 50 kali lebih lambat, yaitu sekitar 0,1
hingga 0,4 m/jam. Kecepatan yang lebih lambat ini disebabkan
ukuran media pasir juga lebih kecil (effective size = 0,15 – 0,35
mm).
Filter pasir lambat cukup efektif digunakan dalam menghilangkan
kandungan bahan organik dan organisme pathogen dari air baku
yang mempunyai kekeruhan relatif rendah. Filter pasir lambat
banyak digunakan untuk pengolahan air dengan kekeruhan air baku
di bawah 50 NTU. Efisiensi filter pasir lambat tergantung pada
distribusi ukuran partikel pasir, ratio luas permukaan filter terhadap
kedalaman dan kecepatan filtrasi.

Filter pasir lambat bekerja dengan cara pembentukan lapisan


gelatin atau biofilm yang disebut lapisan hypogeal di beberapa
milimeter bagian atas lapisan pasir halus. Lapisan ini mengandung
bakteri, fungi, protozoa, rotifera, dan larvae serangga air. Lapisan

II-36 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

hypogeal adalah lapisan yang melakukan pemurnian efektif dalam


pengolahan air minum. Selama air melewati lapisan ini, partikel
akan terperangkap dan organik terlarut akan teradsorpsi, diserap
dan dicerna oleh bakteri, fungi dan protozoa.

Proses yang terjadi dalam lapisan hypogeal sangat kompleks dan


bervariasi, tetapi yang utama adalah mechanical straining terhadap
kebanyakan bahan tersuspensi dalam lapisan tipis yang berpori-pori
sangat kecil kurang dari satu mikron. Ketebalan lapisan ini
meningkat terhadap waktu hingga mencapai sekitar 25 mm, yang
menyebabkan aliran mengecil.

Pengujian kualitas air dilakukan secara berkala sampai standar


dilampaui. Ketika kecepatan filtrasi turun sampai tingkat tertentu,
filter harus dicuci dengan mengambil lapisan pasir bagian atas
setebal sekitar 25 mm.

Keuntungan filter lambat antara lain:

• Biaya konstruksi rendah

• Rancangan dan pengoperasian lebih sederhana

• Tidak diperlukan tambahan bahan kimia

• Variasi kualitas air baku tidak terlalu mengganggu

• Tidak diperlukan banyak air untuk pencucian, pencucian hanya


dilakukan di bagian atas media, tidak dilakukan backwash

Kerugian filter pasir lambat adalah besarnya kebutuhan lahan, yaitu


sebagai akibat dari lambatnya kecepatan filtrasi.

Secara umum, filter pasir lambat hampir sama dengan filter pasir
cepat. Filter lambat tersusun oleh bak filter, media pasir, dan sistem

II-37 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

underdrain (Gambar 2.29). Kriteria filter cepat dan filter lambat


dapat dilihat pada Tabel 2.6.

Gambar 2.30. Slow Sand Filter (SSF)

Tabel 2.6. Kriteria untuk Filter Pasir Cepat dan Filter Pasir Lambat
Kriteria Filter Pasir Cepat Filter Pasir Lambat
Kecepatan filtrasi 4 – 21 m/jam 0,1 – 0,4 m/jam
Ukuran bed Kecil 40 – 400 m2 Besar, 2000 m2
Kedalaman bed 30 – 45 cm kerikil, 60 – 70 30 cm kerikil, 90 – 110 cm
cm pasir, tidak berkurang pasir, berkurang 50 – 80 cm
saat pencucian saat pencucian
Ukuran pasir Effective size >0,55 mm, Effective size
uniformity coefficient <1,5 0,25-0,3 mm, uniformity
coefficient 2-3

Distribusi ukuran media Terstratifikasi Tidak terstratifikasi


Sistem underdrain Pipa lateral berlubang yang Sama dengan filter cepat
mengalirkan air ke pipa atau batu kasar dan beton
utama berlubang sebagai saluran
utama
Kehilangan energi 30 cm saat awal, hingga saat awal, hingga 120 cm
275 cm saat akhir 6 cm saat akhir
Filter run (jarak waktu 12 – 72 jam 20 – 60 hari
pencucian)
Metoda pembersihan Mengangkat kotoran dan Mengambil lapisan pasir di
pasir ke atas dengan permukaan dan mencucinya
backwash
Jumlah air untuk 1 – 6% dari air tersaring 0,2 – 0,6% dari air
pembersihan tersaring
Pengolahan pendahuluan Koagulasi-flokulasi- Biasanya tidak ada bila

II-38 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

sedimentasi kekeruhan kurang dari 50


NTU
Biaya konstruksi Relatif tinggi Relatif rendah

Biaya operasi Relatif tinggi Relatif rendah


Biaya depresiasi Relatif tinggi Relatif rendah
Sumber: Schulz dan Okun (1984)

2.3.3. Media Filter dan Distribusi Pasir


Media Filter dapat tersusun dari pasir silika alami, anthrasit, atau pasir
garnet. Media ini umumnya memiliki variasi dalam ukuran, bentuk dan komposisi
kimia. Pemilihan media filter yang akan digunakan dilakukan dengan analisa
ayakan (sieve analysis). Hasil ayakan suatu media filter digambarkan dalam kurva
akumulasi distribusi untuk mencari ukuran efektif dan keseragaman media yang
diinginkan.

Effective Size (ES) atau ukuran efektif media filter adalah ukuran media filter
bagian atas yang dianggap paling efektif dalam memisahkan kotoran yang
besarnya 10 % dari total kedalaman lapisan media filter atau 10 % dari fraksi berat,
ini sering dinyatakan sebagai P10 (persentil 10). P10 yang dapat dihitung dari
ratio ukuran rata- rata dan standar deviasinya.

Uniformity Coefficient (UC) atau koefisien keseragaman adalah angka


keseragaman media filter yang dinyatakan dengan perbandingan antara ukuran
diameter pada 60 % fraksi berat terhadap ukuran (size).
𝜇𝑔
ES = P10 = 𝜎𝑔1.282

UC = P60 / P10 = 𝜎𝑔1.535


Kriteria untuk keperluan filter pasir cepat atau rapid sand filter adalah :
Single media Pasir :
UC = 1,3 – 1,7.
ES = 0,45 – 0,7 mm
Untuk dual media :

II-39 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

Antrasit UC = 1,4 – 1,9


ES = 0,5 – 0,7.

2.3.4. Hidrolika Pencucian dengan Aliran ke Atas (Back Washing)


Pada saat filtrasi berlangsung, media filtrasi akan diliputi oleh flok-flok
dari air yang diolah, yang akan menyumbat rongga di antara butiran-butiran media
dan menyulitkan proses pencucian filter. Proses backwash dilakukan untuk
mengekspansi media sehingga filter dapat dibersihkan. Ekspansi ini akan
menyebabkan butiran filter bergesekan satu sama lain dengan kuat, sehingga flok-
flok yang tertahan sepanjang kedalaman filter bed akan terlepas untuk selanjutnya
dibuang keluar filter. Secara umum proses pencucian filter (backwashing)
dilakukan dengan arah aliran balik ke atas (up flow water wash) dengan
fluidisasi bed secara penuh. Air pencuci melewati media filter melalui sistem
underdrain. Pada awal proses selama 30 detik air pencuci disemprotkan tidak
dengan kecepatan penuh. Hal ini dilakukan untuk menghindari rusaknya media
penyangga akibat tekanan kuat yang secara tiba-tiba disemprotkan dari bawah.
Aliran backwash akan melepas partikel tersuspensi yang melekat pada media
filter. Untuk kemudian diberikan kecepatan penuh sampai semua partikel
tersuspensi terlepas dari media filter.
Fasilitas backwash harus dapat menghasilkan kecepatan backwash yang
memadai dan distribusi aliran yang merata. Kecepatan backwash haruslah cukup
tinggi untuk memfluidisasi media filter seluruhnya. Kecepatan aliran backwash ini
tergantung pada metode yang digunakan untuk pencucian pada filter tersebut,
apakah hanya menggunakan sistem backwash saja dalam proses pencucian
ataukah ada sistem tambahan seperti air wash atau surface wash. Selain itu juga
kecepatan backwash yang sesuai harus ditentukan berdasarkan specific grafity
(Sg) media, ukuran butiran-butiran media, dan temperatur air. Namun kecepatan
backwash yang terlalu tinggi harus dihindari karena merupakan suatu pemborosan
air, disamping itu juga dapat merusak lapisan kerikil sebagai media penyangga.
Disamping itu, kecepatan backwash yang berlebih tidak efektif untuk pencucian
filter karena butiran-butiran pasir terpisah jauh melebihi ekspansi media yang

II-40 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

dibutuhkan, dan ada kemungkinan media filter dapat terbawa keluar sampai ke
dalam gutter-gutter air pencuci.
Pada umunya durasi pencucian menggunakan sistem backwash
berlangsung antara 10 – 15 menit. Proses pencucian filter akan membersihkan
media filter dari kotoran yang menempel akan tetapi proses pembersihan tersebut
dapat meningkatkan terbentuknya “mud ball”. Mud ball merupakan
penggumpalan dari kekeruhan yang terkoagulasi, flok, pasir, dan bahan pengikat
lainnya. Mud ball menyerupai agar-agar pada permukaan media filter akibat
proses pencucian filter yang kurang sempurna.
Filter yang bersih merupakan awal yang baik untuk menyaring air dari
sedimentasi. Tindakan lain yang digunakan agar media tidak cepat kotor sehingga
harus melakukan backwash lebih sering adalah dengan penggunaan polimer
sebagai langkah awal. Selain itu pencucian filter juga harus melihat dari segi
ekonomisnya karena air yang digunakan untuk proses pencucian merupakan air
bersih yang siap untuk didistribusikan pada masyarakat. Pada umumnya air yang
digunakan untuk pencucian filter antara 10-15% dari air bersih yang dihasilkan

2.3.5. Dasar Filter dan Underdrain


Persyaratan :
-dapat mendukung media di atasnya
-distribusi merata pada saat pencucian
Untuk pencucian interfilter : headloss 20 – 30 cm (distribusi kurang merata pada
saat pencucian).
Dasar filter dapat terdiri dari sistem perpipaan yang tersusun dari lateral dan
manifold, dimana air diterima melalui lubang orifice yang diletakkan pada pipa
lateral.
Kecepatan pencucian ± 36 m/jam (600 l/m.menit), dengan tinggi ekspansi sebesar
15 cm sehingga headloss = 25 cm.

Manifold dan lateral ditujukan agar distribusi merata, headloss 1 – 3 m dengan


kriteria sistem manifold – lateral :

II-41 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

-Perbandingan luas orifice/filter = 0,0015 – 0,005


-Perbandingan luas lateral/ orifice = 2 – 4
-Perbandingan luas manifold/lateral = 1,5 – 3
-Diameter orifice = 0,6 – 2 cm
-Jarak antara orifice = 7,5 – 30 cm
-Jarak antara lateral = orifice

2.3.6. Filtrasi Pada Pengolahan Air dan Air Buangan


Perencanaan suatu sistem saringan pasir cepat untuk pengolahan air
tergantung pada tujuan pengolahan dan pre-treatment yang telah dilakukan pada air
baku sebagai influen filter.
Saringan pasir lambat adalah sistem filtrasi yang pertama kali digunakan
untuk pengolahan air, dimana sistem ini dikembangkan sejak tahun 1800 SM.
Prasedimentasi dilakukan pada air baku mendahului proses filtrasi.
Saringan pasir cepat selalu didahului dengan proses koagulasi – flokulasi
dan pengendapan untuk memisahkan padatan tersuspen yang terkandung dalam air
baku. Jika kekeruhan pada influen saringan pasir cepat berkisar 5 – 10 JTU maka
efisiensi penurunan kekeruhannya dapat mencapai 90 – 98 %. Standar operasi
saringan pasir cepat adalah 1,37 /det-m namun sering dioprasikan pada rentang
beban hidrolik 2,04 – 3,4 /det-m
Pada pengolahan air limbah filtrasi dipergunakan untuk pengolahan lanjut
(advance wastewater treatment), antara lain :
 Penyaringan efluen dari secondary treatment secara biologis
 Penyaringan efluen dari secondary treatment yang diolah secara kimiawi
 Penyaringan air limbah segar yang telah diproses secara kimiawi

II-42 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)


Tugas Besar Desain Kimia-Fisika II 2013

II-43 Sarah Az-Zahra (25-2010-023)

Anda mungkin juga menyukai