Anda di halaman 1dari 57

PENGUJIAN TAHAN AIR HUJAN

I. Maksud dan Tujuan


1.1 Maksud
Melakukan pengujian tahan air terhadap kain contoh uji dengan uji hujan
1.2 Tujuan
Mengetahui bagaimana cara melakukan pengujian tahan air terhadap kain dengan uji
hujan dan mengetahui sifat tahan air pada kain contoh uji tersebut.
II. Teori Dasar
Air dapat menembus kain dengan dengan tida cara:
1. Oleh pembasahan kain, diikuti sifat kapiler yang membawa air menembus kain.
2. Oleh tekanan air yang menekannya melalui rongga – rongga pada kain.
3. Oleh kombinasi kedua cara tersebut diatas.
Apabila kain dibuat rapat sedemikian hingga tidak ada rongga – rongga diantara
benang, kain masih mungkin tembus air jika dapat membasahi kain. Apabila kain tenun
biasa dibuat dari serat yang diberi proses kimia sehingga tidak dapat dibasahi oleh air,
maka air dapat menggelincir dipermukaan kain tanpa menembusnya. Tetapi jika air
terkumpul dipermukaan dengan ketebalan tertentu atau air menetesi kain dengan tekanan
yang lebih kuat, air akan menmbus kain melalui rongga-rongga pada kain.hal ini dapat
terjadi pada kain yang disebut kain tahan gerimis. Agar kain benar – benar tidak dapat
ditembus oleh air, misalnya untuk jas hujan, kain dilapisi karet, atau untuk terpal, kain
dilapisi sejenis ter. Kain yang dilapisi pelapis juga tidak tembus udara, sehingga tidak
nyaman dipakai. Untuk pakaian biasa diperlukan sifat tahan air cukup namun masih
bersifat tembus udara dan uap air.
Uraian diatas menunjukkan sifat kedap air (waterproof), tahan air (water resistance)
dan tolak air (water repellence). Kain kedap air adalah kain yang dilapisi dengan zat tidak
tembus air sehingga tidak tembus udara juga. Kain tahan air adalah sifat kain untuk
mencegah pembasahan dan tembus air, tetapi masih bersifat tembus udara. Kain tolak air
adalah sifat serat, benang atau kain yang menolak pembasahan air.Kain bersifat tolak air
dapat ditembus air dengan tekanan, misalnya tetesan air hujan yang cukup lebat.
Walaupun terdapat hubungan antara tolak air dan tahan air, untuk tujuan masing – masing
diperlukan pengujian yang berbeda, yaitu uji siram untuk menilai tolak air, dan uji hujan
untuk menilai tahan air.
Prinsip pengujian uji siram adalah menyiramkan air pada permukaan kain dengan
kondisi tertentu, sehingga menghasilkan pola kebasahan pada permukaan kain, yang
ukurannya relative bergantung pada sifat tolak air kain.Evaluasi dilakukan dengan
menbandingkan pola kebasahan kain dengan gambar pada Penilaian Uji Siram Standar.
Dalam hubungan antara air dan kain, banyak istilah yang kadang-kadang
membingungkan, misalnya istilah storm-proof dan shower-proof pada jas hujan. Oleh
karena itu sebelum dilakukan pengujian cara uji tahan air atau tolak air perlu dibicarakan
mengenai beberapa istilah dan definisi berikut ini:
*. Proses tahan air (water-proof)
Merupakan proses untuk melapisi kain dengan lemak, wax atau karet untuk mencegah
menyerapnya air kedalam kain. Penambahan zat anti air dapat dilakukan dengan melapisi
permukaan kain secara mekanis atau juga dapat secara reaksi antara serat dan zat
penyempurnaan. Sifat khusus dari kain anti air adalah daya tembus udara yang rendah.
*. Daya tolak air (water – repellant)
Merupakan sifat kain untuk tidak menyebarkan butiran air keseluruh permukaan kain.
Karena kain yang anti air biasanya tidak tembus udara, maka sifatnya menjadi kurang
nyaman dipakai sebagai bahan pakaian.
Cara pengujian siram ini dapat digunakan pada semua jenis kain, baik yang tidak maupun
sudah melalui proses penyempurnaan tahan air atau tolak air. Dalam uji siram dipakai
siraman air yang berasal dari corong dengan lubang penyiraman. Air disiramkan diatas
contoh uji yang dipasang pada lingkaran penyulam dan dipasang pada kedudukan miring
45oC terhadap bidang horizontal.
Penilaian uji siram bervariasi sebagai berikut :
100 : Tidak ada air yang menempel atau yang membasahi permukaan kain.
90 : Terjadi sedikit pembasahan pada permukaan kain bagian atas.
80 : Terjadi pembasahan pada permukaan kain bagian atas yang terkena
siraman.
70 : Terjadi pembasahan pada sebagian daerah permukaan kain bagian atas.
50 : Terjadi Pembasahan pada seluruh permukaan kain bagian atas
0 : Terjadi pembasahan pada seluruh permukaan kain bagian atas dan bawah
Sedangkan untuk prinsip uji hujan adalah menyiramkan air dengan tekanan tetesan
air tertentu pada permukaan kain dengan kondisi tertentu dan dalam waktu tertentu.Diukur
jumlah air yang menembus kain dan jumlah air yang terserap kain. Kondisi pengujian yang
berhubungan dengan tekanan tetesan air, seperti besar tetesan air, jarak penyiram dari
contoh uji, letak contoh uji terhadap tetesan air dan waktu penyiraman berbeda antara
standar satu dengan standar lainnya.
Dalam hubungan antara air dan kain, banyak istilah yang kadang-kadang
membingungkan, misalnya istilah storm-proof dan shower-proof pada jas hujan. Oleh
karena itu sebelum dilakukan pengujian cara uji tahan air atau tolak air perlu dibicarakan
mengenai beberapa istilah dan definisi berikut ini:
*. Proses tahan hujan (shower-proof)
Ialah proses untuk memperlambat daya serap dan daya penetrasi air dengan sifat kainnya
yang tetap tembus udara dan umumnya dilakukan dengan pemulihan jenis serat dan
konstruksi kain tertentu.
Cara ini dimaksudkan untuk menentukan daya tolak air suatu kain. Cara ini
terutama dipergunakan untuk kain-kain yang mempunyai daya tolak air tetapi masih
tembus udara.
Kain dipasang pada 4 buah tabung yang dipasang tepat di bawah curahan air hujan
buatan. Air hujan buatan disiramkan dari lubang-lubang penyiram air. Air yang menembus
kain ditampung dalam tabung dan jumlah air yang tertampung diukur, begitu pula air yang
tertampung di atas kain diukur jumlahnya.
Penyiraman air hujan dipasang sejarak 150 cm dari keempat tabung yang dipasang
pada alas yang berputar dengan kecepatan 5 putaran per menit. Pada saat kain yang
dipasang pada tabung diputar di bawah curahan air hujan buatan, alat penghapus yang
berada di dalam tabung akan menggosok kain bagian dalam untuk meniru gosokan
mekanis yang ditimbulkan oleh pemakai jas hujan dalam pemakaian yang sebetulnya.
Gerakan menggosok kain ini akan membantu penetrasi air ke dalam kain.
Air yang dipergunakan untuk pengujian harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
 Suhu air tidak boleh kurang dari 25oC dan tidak lebih dari 29oC.
 air tidak boleh kurang dari 6,0 dan tidak lebih dari 8,0.
 Kecepatan aliran air hujan tidak boleh dari 62 ml per menit per tabung dan tidak lebih
dari 68 ml per menit per tabung.
Sifat khusus dari kain yang dipakai untuk jas hujan, tutup mobil, atau tenda adalah
kemampuan kain tersebut untuk menolak air atau sebaliknya air tidak dapat menembus
kain yang digunakan untuk kantong air.
III. Percobaan
3.1 Alat
a. Bundesmann Rain Tester
b. Pemotong contoh uji berbentuk
c. alat pemutar contoh uji untuk menghilangkan tetesan – tetesan air dipermukaan contoh
uji.
3.2 Bahan
Contoh uji dipotong membentuk lingkaran
3.3 Cara Pengujian
a. Rangkaian tabung – tabung pemegang contoh uji tanpa contoh uji dipasang pada alat.
Pastikan slang pembuangan air pada tiap – tiap tabung tidak bocor.
b. Timbang contoh uji awal (sebelum dilakukan percobaan)
c. Pasang contoh uji pada tabung contoh uji
d. Contoh uji dihujani dan motor penggerak penggosok permukaan bawah kain dijalankan
selama 10 menit.
e. Contoh uji dipress tanpa lipatan
f. Contoh uji yang basah ditimbang
g. Air yang tembus pada tabung contoh uji diukur.
h. Lakukan evaluasi
3.4 Evaluasi
Perembasan pada tabung dan %penyerapan setelah dilakukan pengujian tahan air hujan
IV. Data Percobaan
4.1 Perembesan
Tidak ada air yang tertampung pada tabung
4.2 Penyerapan
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 − 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙
% 𝑝𝑒𝑛𝑦𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑛 = 𝑥 100%
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙

9,96−9,283
= 9,283
𝑥 100%

= 7,29%

V. Diskusi
Kain daya tahan air dengan proses uji hujan untuk memperlambat daya serap dan
daya penetrasi terhadap air. Kain uji masih tetap tembus udara. Biasanya dengan
pemilihan jenis serat dan konstruksi kain tertentu, kain dapat dibuat sifat anti hujan sesuai
yang diinginkan. Prinsip pengujiannya yaitu menyiram kain dengan air dengan diputa,r
selama waktu 10 menit. Kondisi pengujian dapat dilakukan berdasarkan standar yang kita
pakai karena setiap standar berbeda.
Dilihat dari perembesan kain hal tersebut ditunjukan dengan tidak adanya air yang
tertampung pada tabung alat uji bundessman rain tester. Hal tersebut menunjukkan
bahwa penyerapan kain rendah sehingga air tidak mudah masuk pada kain contoh uji
tersebut. Selain itu tidak terjadinya perembesan pada kain yang berarti kain tersebut
memiliki sifat tolak air yang tinggi.

VI. Kesimpulan
Pada hasil pengujian tahan air didapat persen penyerapan air pada contoh uji adalah
7,29% dan tidak terjadi perembesan pada kain contoh uji sehingga kain contoh uji tersebut
memiliki sifat tahan air yang tinggi.
Lampiran
PENGUJIAN DAYA SERAP TERHADAP KAIN BERBULU

I. Maksud dan Tujuan


1.1 Maksud
Melakukan pengujian perubahan daya serap pada kain berbulu.
1.2 Tujuan
Mengetahui bagaimana cara melakukan pengujian daya serap terhadap kain berbulu serta
mengetahui waktu serap dan kapasitas serap kain berbulu.
II. Teori Dasar
Untuk mengetahui kecepatan basah (welting time) maka dikenal dua macam cara yaitu :
 Uji tetes dilakukan pada permukaan kain yang rata dan halus.
 Uji keranjang dilakukan pada permuaan kain yang rata dan halus.
Pada prinsipnya kedua pengujian ini adalah sama yaitu ntuk mengetahui kecepatan
basah dari contoh uji tetapi perbedaannya terletak pada kasar atau tidaknya permukaan
contoh uji. Prinsip uji tetes adalah menghitung waktu dari air yang diteteskan pada
perumukaan kain yang dipasang tegang sampai air tesebut hilang terserap. Yang
dimaksud dengan waktu basah adalah waktu dari saat air diteteskan sampai air hilang
terserap.
Daya serap adalah salah satu factor yang menentukan kegunaan dan untuk tujuan
tertentu misalnya kain pembalut, kain handuk dan lain-lain. Beberapa kain harus
mempunyai kemampuan untuk menyerap air atau cairan secara cepat atau mudah
terbasahi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembasahan kain :
 Bila setets air dijatuhkan pada permukaan dari tiga jenis benda padat yang rata, maka
tiga jenis benda tersebut munkin berbentuk bulat, pipih atau antara bulat dan pipih.
Karena sifat air maka perbedaan kondisi tekanan air pada ketiga permukaan benda
padat disebabkan oleh perbedaan sifat dari gabungan antara air dan permukaan benda
padat.
 Permukaan benda padat dimana tetesan air akan membentuk bola menunjukan sudut
kontak yang tinggi, dan akan cenderung mengelinding meninggalkan permukaan
benda padat dalam keadaan kering. Semakin kecil sudut kontak semakin mudah
tetesan air menyebar keseluruh permukaa benda padat dan membasahi enda padat
tersebut. Perbedaan permukaan dosebabkan oleh perbedaan energi permukaan dan
tegangan permukaan pada antara muka dari dua fase, yaitu padat-cair, cair-udara, dan
padat-udara.
Percobaan oleh Cassie menunjukan bahan yang tahan air akan memberikan sudut
kontak tinggi. Sudut kontak yang tinggi akan terjadi pada air diatas suatu permukaan yang
kering dan sudut kontak tersebut akan mengecil apabila cairan makin berkurang,
permukaan menjadi basah.
Kebanyakan kain mempunyai permukaan yang rata dan relative halus, tetapi untuk
keperluan tertentu, seperti handuk mempunyai permukaan yang berbulu, baik bulu yang
dipotong atau yang masih berbentuk lengkungan. Perbedaan cara tersebut memerlukan
cara pengujian daya serap yang berbeda pula.
Untuk kain berbulu, prinsip pengujiannya dilakukan dengan menjatuhkan kain contoh
uji dari ketinggian tertentu kepermukaan air.Waktu yang diperlukan oleh kain contoh uji
sampai tenggelam diukur dan dicatat sebagai waktu basah.Kapasitas serap kain dihitung
dari selisih berat basah kain contoh uji setelah tenggelam dikurangi berat kering kain
contoh uji dibandingkan berat kain contoh uji kering dinyatakan dalam persen.
Uji daya serap cara keranjang
Dalam uji ini, daya serap diyatakan dalam dua cara yaitu waktu serap dan kapasitas
serap. Daya serap adalah kemampuan kain menyerap air, sedangkan waktu serap adalah
waktu yang diperlukan untuk pembasahan sempurna seluruh contoh uji yang dinyatakan
dalam detik, basah sempurna yang dimaksud adalah pada saat contoh uji tepat mulai
tenggelam.
Pengujian daya serap sangat penting untuk dilakukan yaitu untuk mengendalikan mutu
kain yang khusus dibuat dengan daya serap besar. Kain yang membutuhkan daya serap
besar adalah kain handuk mutu kain handuk ini ditentukan oleh kemampuannya untuk
daya serap air yang mungkin tergantung dari sifat serat atau konstruksi handuk tersebut.
III. Percobaan
3.1 Alat
a. Keranjang berbentuk silinder, salah satu ujungnya terbukang dengan diameter 30 mm dan
tinggi 50 mm. Keranjang dibuat dari kawat tembaga dan jarak kawat 15 x 15 mm serta
berat keranjang 3 gram.
b. Piala gelas dengan berat 35,53 gram.
c. Penjepit
d. Stop watch
3.2 Bahan
a. Sepotong kain dengan lebar 75 mm dan panjang tertentu sehingga berat 5 gram
b. Air Suling 2 liter
3.3 Cara Pengujian
a. Uji waktu serap memotong contoh uji dengan lebar 7,5cm panjang tertentu sehingga
beratnya 5  0,1 gram.
b. Gulung contoh uji kearah panjang sehingga membentuk silinder dengan tinggi 75 mm
c. Lalu contoh uji dimasukkan kedalam keranjang kemudian keranjang dijatuhkan dengan
ketinggian 2,5 cm dari permukaan air.
d. Uji kapasitas serap dilakukan setelah mengetahui waktu serapnya maka membiarkan
keranjang tembaga contoh uji selama 10 detik. Mengambil contoh uji beserta keranjang
tembaga kedalam piala gelas.
e. Menimbang contoh uji, keranjang tembaga dan piala tersebut.
3.4 Evaluasi
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ − 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
𝐾𝑎𝑝𝑎𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑠𝑒𝑟𝑎𝑝 = 𝑥100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
IV. Data Percobaan
 Handuk 1
Berat Wadah = 35,94 gram
Berat Kawat = 3 gram
Berat Basah = 73,63 gram
Berat Kering Total = 3 + 5,081 + 35,94 = 43,175 gram
Berat Bahan = 5,081 gram
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ − 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
𝐾𝑎𝑝𝑎𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑠𝑒𝑟𝑎𝑝 = 𝑥100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
73,63 − 43,175
= 𝑥100%
5,081
= 599,38 %
 Handuk 2
Berat Wadah = 35,96 gram
Berat Kawat = 3 gram
Berat Basah = 71,63 gram
Berat Kering Total = 3 + 4,619 + 35,94 = 43,579 gram
Berat Bahan = 4,619 gram
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ−𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
𝐾𝑎𝑝𝑎𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑠𝑒𝑟𝑎𝑝 = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
𝑥100%

71,63 − 43,579
= 𝑥100%
4,619
= 607,49 %
𝐻𝑎𝑛𝑑𝑢𝑘 1 + 𝐻𝑎𝑛𝑑𝑢𝑘 2
𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 =
2
599,38% − 607,49%
= = 603,435%
2
V. Diskusi
Dari data pengamatan yang diperoleh, ternyata didapat waktu serap rata-rata selama
lebih dari satu menit ; dan kapasitas serapnya sebesar 603,435%. Pada uji daya serap ini,
kain yang diuji adalah kain jenis handuk dimana pada umumnya mempunyai kapasitas
serap yang besar sesuai dengan fungsinya yaitu untuk menyerap air. Kapasitas kain ini
sebesar 603,435% yang berarti kain ini mempunyai kemampuan untuk menyerap air
sebanyak 5 kali dari berat kain itu sendiri. Kemampuan menyerap air yang besar ini
dikarenakan bahan yang digunakan untuk membuat kain ini biasanya adalah serat yang
hidrofil ( misalnya : kapas atau campurannya) dan mempunyai bulu-bulu disepanjang
permukaan baik atas maupun bawah yang dapat menyerap banyak air. Ditinjau dari segi
konstruksi, kain ini mempunyai tetal yang rendah sehingga jarak antar benangnya tidak
begitu rapat sehingga memungkinkan air utuk terserap lebih banyak karena ada ruang
kosong antara benang yang satu dengan benang yang lainnya.

VI. Kesimpulan
Setelah haslil praktikum tersebut dapat di simpulkan bahwa daya serap handuk ini
baik, dikarenakan nilanya diatas kapasitah 500% dan yang di dapatkan pada hasil
praktikum adalah 603,435%.
Lampiran

Handuk 1 Handuk 2
PENGUJIAN TAHAN API
(SNI 7728-2011)

I. Maksud dan Tujuan


1.1 Maksud
Melakukan pengujian tahan api terhadap kain contoh uji dengan cara vertical.
1.3 Tujuan
Mengetahui bagaimana cara melakukan pengujian tahan api terhadap kain dengan uji
vertical dan mengetahui sifat tahan pada kain contoh uji tersebut.
II. Teori Dasar
Dalam industri yang memungkinkan pakaian terkena percikan api tinggi, diperlukan
pakaian pelindung yang tahan api (flame resistance), yaitu sifat tidak meneruskan nyala
api atau jika api yang membakar diambil, nyala api segera padam.
Dalam rumah tangga, pakaian yang dapat meneruskan nyala api akan menimbulkan
kecelakaan, terutama untuk pakaian anak kecil. Pengujian sifat nyala api dan tahan api
diperlukan untuk memperkirakan kemungkinan bahaya tersebut.
Factor yang mempengaruhi sifat nyala api atau tahan api adalah jenis serat dan berat
kain. Struktur benang dan struktur kain seperti kain katun, kain rajut dan sebagainya tidak
berpengaruh terhadap sifat nyala api dan tahan api.
Sifat nyala api sebagian ditentukan oleh jenis serat yang digunakan. Serat selulosa
seperti kapas, linen dan rayon mudah meneruskan pembakaran.Kain wol biasanya sulit
menyala, tetapi penyempurnaan yang membuat kain kaku memungkinkan nilon dan
polyester mudah menyala.
Pada kain – kain yang meneruskan nyala api, sifat tahan apinya bergantung pada
berat kain dan kandungan seratnya. Untuk kain dengan serat sama, makin berat kainnya,
makin tahan api.
Dalam kenyataan nyata, banyak factor yang berpengaruh pada sifat tahan api, dan
terdapat beberapa cara uji tahan api. Untuk pakaian, pengujian yang banyak digunakan
adalah uji sifat nyala api tekstil pakaian (cara 45o) dan uji tahan api (uji vertical).
Prinsip pengujian tahan api (cara vertical) adalah membakar kain yang dijepit rangka dan
diletakkan vertical selama waktu tertentu. Diukur waktu dari saat api diambil sampai nyala
padam, waktu saat nyala padam sampai bara padam dan panjang sobekan pada contoh
uji karena sobekan dengan gaya tertentu.
Factor yang berpengaruh pada sifat nyala api atau tahan api adalah jenis serat dan
berat kain. Struktur benang dan struktur kain seperti kain tenun, kain rajut, dan sebagainya
tidak berpengaruh pada sifat nyala api dan tahan api. Sifat nyala api sebagian ditentukan
oleh jenis serat yang digunakan. Serat selulosa, linen, dan rayon mudah sekali
meneruskan pembakaran. Kain wol biasanya sulit menyala, nylon dan polyester
mengkerut dari nyala api dan sulit menyala, tetapi penyempurnaan yang membuat kain
kaku memungkinkan nylon dan polyester mudah nyala.
Pada kain-kain yang meneruskan nyala api, sifat tahan apinya bergantung pada berat
kain dan kandungan seratnya. Untuk kain dengan serat sama, makin berat kainnya, makin
tahan api. Dalam keadaan nyata, banyak factor yang berpengaruh pada sifat tahan api
dan terdapat beberapa cara ui tahan api. Untuk pakaian, pengujian yang banyak
digunakan adalah uji sifat nyala api tekstil pakaian (cara 450) dan uji tahan api (cara
vertical).
Prinsip uji sifat tahan api (cara vertical) adalah membakar kain yang dijepit rangka dan
diletakkan vertical selama waktu tertentu. Diukur waktu dari saat api diambil sampai nyala
padam, waktu dari saat nyala padam sampai bara padam dan panjang sobekan pada
contoh uji karena sobekan dengan gaya tertentu.
Untuk mencegah tejadinya kebakaran, maka perlu digunakan kain yang memiliki sifat
ketahanan terhadap nyala api yang baik.
Beberapa istilah yang berhubungan dengan tahan nyala api antara lain :
*. Mudah terbakar (flammable), untuk kain yang meneruskan nyala api dengan cepat dan
apabila dijauhkan dari api kain akan terus terbakar.
*. Anti nyala api (flame-proof), untuk kain yang tahan nyala api dan tidak meneruskan
nyala api, misalnya nyala api pada kain akan segera redam begitu api dijauhkan dari kain.
*. Tahan nyala api (flame-resistance), adalah nilai yang diperoleh pada uji kain yang
dinyatakan sebagai waktu (detik) yang diperlukan untuk meneruskan nyala api sepanjang
100 inci kain kearah vertikal.
*. Bahan asli anti nyala api (inherently flame proof), adalah bahan yang bersifat tahan
nyala api meskipun tidak diberi proses penyempurnaan anti nyala api.
*. Bahan anti nyala api permanen (durably flame proof material) adalah kain yang tetap
tahan nyala api setelah proses pencucian yang berulang-ulang.
*. Bahan anti nyala api sementara (temporally flame proof material), adalah kain yang
setelah proses pencucian berulang akan kehilangan sifat tahan nyala api.
Pengaruh konstruksi kain terhadap nyala api adalah sebagai berikut :
 Komposisi serat pada kain
Sifat anti nyala api sangat dipengaruhi oleh jenis seratnya. Serat-serat selulosa seperti
kapas, flax dan rayon mempunyai sifat tahan nyala api yang rendah, sedangkan wol
biasanya sulit tebakar. Bahan nilon dan poliester adalah serat termoplastik yang
mengkeret dari nyala api dan cenderung untuk tidak terbakar, meskipun karena proses
penganjian atau pencelupan dengan zat warna tertentu dapat menyebabkan kain nilon
dan poliester mudah terbakar.
 Jenis benang
Konstruksi benang tidak berpengaruh terhadap sifat anti nyala api pada bahan
 Struktur kain
Sifat anti nyala api pada kain tidak tergantung pada konstruksi misalnya kain tenun, kain
rajut, kain renda, kain felt, dan sebagainya.
 Berat kain
Berat kain berpengaruh langsung terhadap sifat anti nyala api untuk jenis serat apapun,
makin berat sifat nyala apinya makin baik.
Untuk kain tahan terhadap nyala api diuji dengan jalur vertikal (vertical strip test)
sedangkan untuk kain yang tidak tahan nyala api diuji dengan cara uji miring (the 45o test).
Untuk menguji apakah sifat tahan nyala api permanen atau tidak, perlu diterangkan
apakah pengujian dilakukan sebelum proses pencucian atau proses cuci kering (dry
cleaning) atau sesudahnya
III. Percobaan
3.1 Alat
a. Alat uji tahan api vertikal
b. Pembakar Bunsen tinggi sekitar 150 mm dengan diameter lubang 9,5 mm
c. Stop watch
d. Mistar
e. Pemegang contoh uji
f. Pemberat sesuai berat kain contoh uji.
3.2 Bahan
Contoh uji dengan ukuran 76 mm x 300 mm dengan arah lusi dan arah pakan.
3.3 Cara Pengujian (SNI 7728-2011)
a. Menyiapkan contoh uji masing-masing 2 buah untuk arah pakan dan arah lusi dengan
ukuran 7 x 32 cm diberi tanda pada permukaan yang berlawanan dengan permukaan yang
akan diuji.
b. Contoh uji dikondisikan ( oven 100oC, 1jam ) lalu dalam eksikator selama 15 menit.
c. Contoh uji diletakkan vertical pada pemegang contoh ujung bawah abagian tengah tepat
diatas nyala api ( panjang nyala api 3,8 cm bagian yang terbakar 1,9 cm ).
d. Tutup kaca alat, lalu baker selama 12 detik.
e. Evaluasi dilakukan dengan mencatat waktu sampai api tepat hilang dari kain, catat waktu
bara, ujung panjang arang dari yang terbakar sampai ujung sobekan.
3.4 Evaluasi
Catat waktu nyala dan waktu bara, waktu nyala 0 detik berarti kain tersebut memiliki sifat
tahan api sangat baik.

IV. Data Percobaan


Hasil Uji Lusi Pakan

Waktu Nyala 16,4 detik 13,4 detik


Waktu Bara 2,6 detik 2,7 detik
Panjang Arang Kain 0 cm 0 cm

V. Diskusi
Pengujian dengan cara uji tahan api vertical dimaksudkan untuk kain yang telah diberi
penyempurnaan tahan nyala api. Didalam pengujian dibedakan antara yang dapat
terbakar, tetapi tahan terhadap nyala api atau tidak meneruskan nyala api, dengan kain
termoplastik yang tidak terbakar bila didekatkan pada nyala api tetapi meleleh dan
mengkerut menjauhi nyala api. Kecepatan nyala api vertical diperhitungkan dari kecepatan
berkurangnya berat kain.Meskipun timbangan torsi dapat dipakai untuk jenis kain cara ini
kurang praktis untuk dipakai dalam industri. Uji tahan nyala api yang sekarang banyak
dilakukan, dibedakan antara kain yang mudah terbakar atau kurang tahan nyala api
dengan kain yang tahan terhadap nyala api. Untuk kain yang tahan terhadap nyala api
diuji vertical (vertical strip test) dan untuk kain yang tidak tahan nyala api diuji dengan cara
uji miring 45o ( the 45o test). Pengaruh kostruksi kain terhadap tahan nyala api yaitu
panjang arang hasil pengujian kain adalah sepanjang kain contoh uji karena bersifat
Flammable (mudah terbakar), karena itu tidak dilakukan pengujian untuk mengetahui
penjang arang dengan beban tertentu. Semakin tebal kain contoh uji maka makin berat
kainnya sehinga beban yang digunakan untuk mengukur panjang arangnya pun semakin
berat.
Pada pengujian tahan api, contoh uji pada arah lusi waktu padamnya lebih lama
dibandingkan arah pakan, dengan waktu total padam 28,4 detik untuk arah lusi dan 25,4
detik untuk arah pakan. Hal ini memungkinkan ketebalan benang pakan lebih besar
daripada lusi, sehingga waktu padam pada arah lusi lebih lama.
Dari hasil yang didapat, panjang arang dinyatakan nol, karena contoh uji habis
terbakar seluruhnya. Hal ini dapat terjadi karena contoh uji merupakan serat yang dapat
ataupun bersifat meneruskan pembakaran. Oleh karena itu, contoh uji terbakar seluruhnya
dan tidak menyisakan arang. Dengan kata lain, contoh uji tidak tahan api. Hal tersebut
dapat dikarenakan contoh uji yang tidak diberikan penyempurnaan tahan api.
VI. Kesimpulan
Pada hasil pengujian tahan api didapat waktu padam arah lusi 16,4 detik dan arah
pakan 13,4 detik. Kain habis terbakar sehingga dapat disimpulkan bahwa kain tersebut
meneruskan pembakaran dan tidak memiliki sifat tahan api dengan kata lain tidak tahan
terhadap api.
Lampiran

Lusi Pakan
PENGUJIAN TAHAN LUNTUR WARNA TERHADAP PENCUCIAN
(SNI 8214-2017)

I. Maksud dan Tujuan


1.1 Maksud
Melakukan pengujian tahan luntur warna terhadap pencucian pada bahan tekstil.
1.2 Tujuan
Mengetahui bagaimana cara melakukan pengujian tahan luntur warna terhadap
pencucian serta mengetahui nilai ketahanan luntur warna terhadap pencucian pada kain
hasil pencapan.
II. Teori Dasar
Evaluasi terhadap kain tekstil dapat dilakukan secara kimia maupun secara fisika.
Pada praktikum kali ini dilakukan pengujian secara kimia dimana yang diujikan adalah
seperti maksud diatas. Pengujian ini dilakukan untuk mengevaluasi dan mengetahui
tingkat ketahanan dari suatu bahan sesuai dengan penerapan SNI. Penerapan SNI
digunakan karena :
 SNI wajib merupakan jaminan mutu
 Produk yang kita uji kemungkinan memiliki daya saing internasional karena dapat diterima
di pasar global
 SNI bekerja sesuai dengan code of good practice
 Hambatan teknis dapat dihindari
 Meningkatkan transparansi pasar dan kompetisi dalam perdagangan
Adapun manfaat dari SNI sebagai berikut :
 Sudah harmonisasi dengan standar internasional
 Memudahkan produsen dalam pemenuhan standar mutu, kesesuaian dan sertifikasi serta
menghindari pengujian berulang-ulang di berbagai Negara tujuan yang dapat
menghambat akses ke pasar luar negeri
Dalam pemakaian sehari-hari baik ditinjau dari segi kepentingan konsumen maupun
produsen, tahan luntur warna pada bahan tekstil mempunyai arti yang sangat penting.
Ketahanan luntur warna ditinjau dari segi kepentingan konsumen meliputi bermacam-
macam tahan luntur, misalnya tahan luntur terhadap sinar matahari, pencucian, gosokan
dan penyetrikaan. Sedangkan dari segi kepentingan produsen misalnya untuk mengetahui
pengaruh dari proses penyempurnaan terhadap kain berwarna. Dengan adanya
bermacam-macam sifat ketahanan luntur zat warna, maka timbul beragam jenis pengujian
yang disesuaikan dengan kondisi, dengan prinsip pengujian yang sama. Untuk mencegah
timbulnya beragam penilaian yang berbeda, perlu dicantumkan standar pengujian yang
dilakukan. Penilaian secara visual dilakukan dengan membandingkan perubahan yang
terjadi dengan suatu standar perubahan warna. Standar yang dikenal adalah standar yang
dikeluarkan ISO yaitu standar skala abu-abu untuk menilai perubahan warna contoh uji
dan standar skala penodaan untuk menilai penodaan warna pada kain putih.
Dalam hal ini setelah bahan di uji, maka dilakukan evaluasi. Hal ini merupakan aspek
yang sangat penting dalam mengantisipasi produk oleh pembeli karena tidak sesuai
dengan standar yang telah ditentukan. Standar uji yang digunakan memakai yang terbaru,
berikut beberapa standar uji : SNI (Standar Nasional Internasional), ISO ( Internasional
Standars Organization), ASTM (American Siciety for Testing and Materials), AATCC
(American Association of Textile Chemist and Colorist), ANSI (American Standars
Institute), BS (British Standar), dan JIS (Japanese Industial Standars).
Untuk mendapatkan hasil pengujian yang sama maka :
 lebih baik dilakukan oleh beberapa pengamat
 ketelitian tidak akan diperoleh jika nilai standar tidak diketahui
 paham beberapa hal, nilai standar dari beberapa sifat tekstil tidak diketahui
 kondisi atmosfir pengujian adalah kondisi standar yang sudah diketahui yaitu sesuai
dengan (SNI 7649:2009:ISO139) : tekstil-ruangan : standar untuk pengkondisian dan
pengujian.
Penilain tahan luntur warna dilakukan dengan melihat adanya perubahan warna asli
sebagai tidak perubahan, ada sedikit perubahan, cukup berubah dan berubah sama
sekali. Penilaian secara visual dilakukan dengan membandingkan perubahan warna yang
terjadi dengan suatu stndar perubahan warna. Standar yang dikenal adalah standard yang
dibuat oleh Society of Dyes and Colourist (SDC) di Amerika Serikat yaitu berupa gyey
scale untuk perubahan warna karena kelunturan warna dan staining scale untuk
perubahan warna karena penodaan warna karena penodaan pada kain putih. Standard
gray scale dan staining scale digunakan untuk menilai perubahan warna yang terjadi pada
pengujian tahan luntur warna terhadap pencucian, keringat, gosokan, setrika,dll.
2.1 Gray scale
Gray scale terdiri dari Sembilan pasangan standard lempeng abu-abu, setiap
pasangan mewakili perbedaan warna atau kekontrasan warna sesuai dengan penilaian
tahan luntur dengan angka.pada gray scale, penilaian tahan luntur warna dan perubahan
warna yang sesuai, dilakukan dengan membandingkan perbedaan pada contoh yang
telah diuji dengan contoh asli terhadap perbadaan standar perubahan warna yang
digambarkan oleh gray scale dan dinyatakan dengan rumus CIE lab :
Rumus nilai kekhromatikan adam
Toleransi untuk standar kerja
Nilai tahan luntur warna Perbedaan warna (CIE lab)
(CIE lab)
5 0 +0,2
4-5 0,8 +0,2
4 1,7 +0,3
3-4 2,5 +0,3
3 3,4 +0,4
2-3 4,8 +0,5
2 6,8 +0,6
1-2 9,6 +0,7
1 13,6 +1,0
Spesifikasi kolorimetri yang tepat dari warna abu-abu standard dan perubahan warna
pada gray scale. Nilai 5 berarti tidak ada perubahan dan seterusnya sampai nilai 5 yang
berarti perubahan warna sangat besar. Nilai tahan luntur 5 ditunjukkan pada skala oleh
dua lempeng yang identik yang diletakkan berdampingan berwarna abu-abu netral dengan
reflektansi 12 + 1 persen. Perbedaan warna sama dengan nol. Bilai tahan luntur 4 – 5
sampai 1 ditunjukkan oleh lempeng pembanding yang identik dan yang dipergunakan
untuk tingkat 5, berpasangan dengan lempeng abu-abu netral sama tetapi lebih muda.
Perbedaan secara visual dari pasangan-pasangan nilai 4, 3, 2, dan 1 adalah tingkat
geotetrik dari perbedaan warna atau kekontrasan.
2.2 Staining scale
Pada staining scale penialain penodaan warna pada kain putih di dalam pengujian
tahan luntur warna, dilakukan dengan membandingkan perbedaan warna dari kain putih
yang dinodai dan kain putih yang tidak ternodai, terhadap perbedaan yang digambarkan
staining scale, dan dinyatakan dengan nilai kkhromatikan adam seperti gray scale, hanya
besar perbedaan warnanya berbeda. Staining scale terdiri dari satu pasangan standar
lempeng putih dan 8 pasang standar lempeng abu-abu dan putih, dan setiap pasang
mewakili perbedaan warna atau kekontrasan warna sesuai dengan penilaian penodaan
dengan angka.
Nilai tahan luntur 5 ditunjukkan pada skala oleh dua lempeng yang identik yang diletakkan
berdampingan, mempunyai reflektansi tidak kurang dari 85%. Perbedaan warna sama
dengan nol.nilai tahan luntur 4-5 sampai 1 ditunjukkan oleh lempeng putih pembanding
yang identik dengan yang dipergunakan untuk nilai 5, berpasanagn dengan lempeng yang
sama tetapi berwarna abu-abu netral.
Perbedaan warna (CIE Toleransi untuk standar
Nilai tahan luntur warna
lab) kerja (CIE lab)
5 0 +0,2
4-5 2,2 +0,3
4 4,3 +0,3
3-4 6,0 +0,4
3 8,5 +0,5
2-3 12,0 +0,7
2 16,9 +1,0
1-2 24,0 +1,5
1 34,1 +2,0

2.3 Tahan Luntur Warna Terhadap Pencucian


Sifat ketahanan luntur warna terhadap pencucian pada bahan tekstil memiliki arti yang
sangat penting dalam aplikasinya sehari-hari. Pengujian ini dapat dilakukan dengan
beberapa cara yang disesuaikan dengan penggunaan dari bahan tekstil yang akan diuji.
Prinsip pengujiannya adalah dengan mencuci sehelai kain yang diambil dari contoh
dengan ukuran tertentu, kemudian dijahitkan diantara dua helai kain putih dengan ukuran
yang sama. Sehelai dari kain putih tersebut adalah sejenis dengan kain yang diuji,
sedangkan helai lainnya sesuai dengan pasangannya. Penilaian yang dilakukan adalah
dengan memberi perbandingan contoh yang telah dicuci dengan penodaannya pada kain
putih. Untuk perbahan warna pada contoh dilakukan menggunakan skala abu-abu (gray
scale) sedangkan penodaan warnanya dilakukan menggunakan skala penodaan (staining
scale). Contoh uji dicuci dengan suatu alat launderometer atau alat yang sejenis dengan
pengatur suhu secara termostatik dan kecepatan putaran 42 rpm. Pengujian dilakukan
pada kondisi alat, suhu, waktu, dan deterjen tertentu, sesuai dengan cara pengujian yang
telah ditentukan.
Prinsip pengujiannya adalah sebagai berikut :
Contoh uji yang sudah diberi kain pelapis dicuci dalam larutan pencucian dengan
sabun AATCC 4 g/l dengan kondisi tertentu, dibilas pada suhu 40°C netralkan dengan
larutan 0,2 g/l asam asetat glacial kemudian bilas lagi dan keringkan. Perubahan warna
pada contoh uji dinilai dengan Standar Skala Abu-abu, penodaan warna pada kain pelapis
dinilai dengan menggunakan Standar Skala Penodaan.
Gosokan diperoleh dengan lemparan gessekan dan tekanan bersama-sama dengan
digunakannya perbandingan larutan yang rendah dan sejumlah kelereng baja yang
sesuai. Jenis sabun yang digunakan pada pencucian ini adalah sabun standar deterjen
yang dikeluarkan oleh AATCC atau sabun dengan pesyaratan sebagai berikut :
 kadar zat penguap pada 105 °C
 jumlah alkali bebas, zat yang terlarut dalam alkohol dan NaCL bebas maksimum 6 %
 alkali bebas sebagai NaOH, maxsimum 0,2 %
 zat yang tidak larut dalam air maxsimum 1%
 titra asam lemak maxsimum 39%
 kadar sabun non hidrat maxsimum 85 %
Hasil evaluasi tahan luntur warna terhadap angka-angka gray scale dan staining scale
adalah sebagai berikut :
Standar skala penodaan dan perubahan warna
Nilai tahan luntur warna Evaluasi tahan luntur warna
5 Baik sekali
4-5 Baik
4 Baik
3-4 Cukup baik
3 Cukup
2-3 Kurang
2 Kurang
1-2 Jelek
1 Jelek
Dalam penggunaan gray scale sifat perubahan warna baik dalam corak, kecerahan,
ketuaan atau kombinasinya tidak dinilai. Dasar evaluasinya adalah keseluruhan
perbedaan atau kekontrasan antara contoh uji yang asli dengan yang telah dilakukan
pengujian.
Cara pengujian tahan luntur warna bahan tekstil dalam larutan pencuci komersial
adalah metoda pengujian tahan luntur warna tekstil dalam larutan pencuci dengan
menggunakan salah satu kondisi pencucian komersial yang dipilih, untuk mendapatkan
nilai perubahan warna dan penodaan pada kain pelapis. Kondisi pencucian dapat dipilih
sesuai dengan keperluan dari 16 kondisi yang disediakan. Cara pengujian ini
dimaksudkan untuk menentukan tahan luntur warna terhadap pencucian yang berulang-
ulang. Berkurangnya warna dan pengaruh gosokan yang dihasilkan oleh larutan dan
gosokan 5 kali pencucian tangan atau pencucian dengan mesin, hamper sama dengan
satu kali pengujian ganda, sedangkan satu kali pengujian tunggal sama dengan hasil satu
kali pencucian. Kondisi pencucian berbeda-beda bergantung pada suhu yang
dikehendaki. Jenis sabun yang digunakan dala pencucian ini, adalah sabun standar
detergen yang dikeluarkan oleh AATC atau ECE.

III. Percobaan
3.1 Alat
a. Launder O-meter, yang dilengkapi dengan:
- Penangas air dengan pengatur suhu yang terkontrol pada suhu yang ditetapkan ± 2oC
- Tabung baja tahan karat berkapasitas 550 ± 50 ml, berdiameter 75 mm ± 5 mm, dan
tinggi 125 ml ± 10 ml.
- Frekwensi putaran tabung 40 putaran per menit ± 2 putaran per menit.
b. Kelereng baja tahan karat dengan diameter ± 6 mm.
c. pH meter dengan ketelitian 0,1
d. neraca analitis dengan ketelitian 0,1 g.
e. kain pelapis masing-masing berukuran 10x4 cm (polyester kapas)
f. Sabun tanpa pemutih optik seperti sabun standar AATCC atau sabun ECE
g. Grey scale dan staining scale
h. Air suling
i. Larutan 0.2 g/l asam asetat glacial
3.2 Bahan
a. Potong kain 4x10 cm, potong kain pelapis dengan ukuran yang sama
b. Letakan contoh uji pada kain pelapis kemudian jahit
3.3 Cara Pengujian (SNI 8214-2017)
a. Memotong kain contoh uji dengan ukuran 4 x 10 cm dan memotong kain pelapis dengan
ukuran yang sama
b. Masukkan 200 ml larutan yang mengandung 0,5% volue sabun yang sesuai dan 10
kelereng baja tahan karat kedalam bejana, kemudian bejana ditutup rapat dan diprnaskan
sampai 40oC.
c. Bejana tersebut diletakkan pada tempatnya dimana pemanasan bejana diatur sedemikian
sehingga tiap sisi terdiri dari sejumlah bejana yang sama.
d. Mesin dijalankan untuk pemanasan pendahuluan.
e. Masukan diberhentikan kemudian membuka tutup bejana kembali lalu mesin Linitest
dijalankan selama 45 menit.
f. Mesin dihentikan dan contoh uji dikeluarkan kemudian membilas contoh uji dan
mengasamkannya dengan larutan asam asetat 0,05 %.
g. Contoh uji diperas dan dikeringkan
h. Contoh uji diperiksa perubahan warnanya dengan grey scale dan staining scale.
3.4 Evaluasi
Standar skala penodaan dan perubahan warna
Nilai tahan luntur warna Evaluasi tahan luntur warna
5 Baik sekali
4-5 Baik
4 Baik
3-4 Cukup baik
3 Cukup
2-3 Kurang
2 Kurang
1-2 Jelek
1 Jelek

IV. Data Percobaan


4.1 Grey Scale
Gray Scale Nilai

Contoh Uji I 4/5


Contoh Uji II 4/5

4.2 Staining Scale


Staining Scale Penodaan Poliester Penodaan Kapas

Contoh Uji I 4 5
Contoh Uji II 5 4/5

V. Diskusi
Suatu bahan tekstil apabila dilakukan pencucian dengan suhu tinggi akan mengalami
kelunturan warna pada bahan tersebut, tingkat kelunturannya tergantung pada kualitas
zat warna yang digunakan. Apabila zat warna yang digunakan mempunyai kelemahan
terhadap pencucian panas menggunakan sabun, maka hasil yang akan diperoleh setelah
pencucian akan mengalami perubahan warna. Pada uji pencucian ini daya tahan zat
warna dapat diuji dengan menggunakan kain pelapis, jika mengalami kelunturan maka
kain pelapis ini akan ternodai. Penodaan tersebut dapat dinilai tingkatnya dengan standar
skala penodaan (staining skale) sedang bahan yang mengalami kelunturan setelah
pencucian ketuaan warnanya akan berkurang dan ini dapat dinilai dengan standar skala
abu – abu (grey skale).
Namun pada standar pengukuran tersebut sering didapati hasil yang tidak
memuaskan karena pengukuran ini hanya bertumpu pada kecermatan mata manusia
untuk menganalisanya. Oleh karena itu biasanya hasil contoh uji dari kain yang sama
dapat menghasilkan skala penodaan dan skala abu – abu yang berbeda.
Dari data hasil pengujian yang diperoleh nilai stainning scale rata-rata pada kain
poliester dan kapas sebesar 4/5, yang menunjukkan bahwa kain contoh uji mempunyai
ketahanan luntur yang cukup baik. Seperti pada uji sebelumnya telah diungkapkan bahwa
kain contoh uji merupakan kain printing yang biasanya dalam proses industri tidak
dilakukan proses pencucian. Dan pada kain contoh uji ini masih ada sisa- sisa zat warna
yang tidak terserap sempurna oleh bahan atau tidak terikat oleh binder yang digunakan
pada proses pencapan dan luntur/larut dalam uji pencucian ini.
Uji stainning scale ini menggunakan dua jenis kain pelapis yang sifatnya sangat
bertentangan, yaitu kain poliester yang mempunyai sifat hidrofob dan kain kapas yang
mempunyai sifat hidrofil. Penggunaan kain pelapis ini seharusnya menggunakan kain
yang tersusun atas serat multifiber sehingga pelunturan zat warnanya dapat terdeteksi
dengan tepat karena setiap zat warna mempunyai daya stainning/penodaan yang berbeda
terhadap serat yang berbeda pula. Tetapi penggunaan kain pelapis poliester dan kain
kapas dirasa sudah mewakili berbagai jenis zat warna yang mungkin dipakai untuk
mencelup/mencap kain contoh uji, dengan membagi dalam dua jenis yaitu hodrofil dan
hidrofob. Jika kain contoh uji di celup/dicap dengan menggunakan zat warna yang bersifat
hidrofil, maka jika terjadi kelunturan maka penodaan pada kain kapas akan lebih tua
daripada pada kain poliester; dan sebaliknya jika kain contoh uji dicelup/dicap dengan
menggunakan zat warna yang bersifat hidrofob, maka penodaan terhadap poliester akan
lebih tua daripada pada kain kapas.
Uji gray scale mendapatkan nilai gray scale kain contoh uji sebesar 4/5 yang berarti
bahwa kain contoh uji ini mempunyai ketahanan luntur warna terhadap pencucian yang
baik yaitu dengan mengasumsikan bahwa zat warna yang luntur adalah zat warna yang
tidak terserap oleh bahan pada waktu proses pencelupan.

VI. Kesimpulan
Pada hasil pengujian tahan luntur warna terhadap pencucian pada kain hasil
pencelupan didapat nilai uji grey scale adalah 4/5 dan nilai uji staining scale pada kain
kapas adalah 5 dan 4/5 sedangkan pada kain polyester adalah 4 dan 5 yang berarti kain
tersebut memiliki ketahanan luntur terhadap pencucian sangat baik.
Lampiran

Lusi Pakan
PENGUJIAN TAHAN LUNTUR WARNA TERHADAP GOSOKAN
(SNI 8214-2017)

I. Maksud dan Tujuan


1.1 Maksud
Melakukan pengujian tahan luntur warna terhadap gosokan pada bahan tekstil.
1.2 Tujuan
Mengetahui bagaimana cara melakukan pengujian tahan luntur warna terhadap gosokan
serta mengetahui nilai ketahanan luntur warna terhadap gosokan pada kain hasil
pencapan.
II. Teori Dasar
Penilain tahan luntur warna dilakukan dengan melihat adanya perubahan warna asli
sebagai tidak perubahan, ada sedikit perubahan, cukup berubah dan berubah sama
sekali. Penilaian secara visual dilakukan dengan membandingkan perubahan warna yang
terjadi dengan suatu stndar perubahan warna. Standar yang dikenal adalah standard yang
dibuat oleh Society of Dyes and Colourist (SDC) di Amerika Serikat yaitu berupa gyey
scale untuk perubahan warna karena kelunturan warna dan staining scale untuk
perubahan warna karena penodaan warna karena penodaan pada kain putih. Standard
gray scale dan staining scale digunakan untuk menilai perubahan warna yang terjadi pada
pengujian tahan luntur warna terhadap pencucian, keringat, gosokan, setrika,dll.
2.1 Gray scale
Gray scale terdiri dari Sembilan pasangan standard lempeng abu-abu, setiap
pasangan mewakili perbedaan warna atau kekontrasan warna sesuai dengan penilaian
tahan luntur dengan angka.pada gray scale, penilaian tahan luntur warna dan perubahan
warna yang sesuai, dilakukan dengan membandingkan perbedaan pada contoh yang
telah diuji dengan contoh asli terhadap perbadaan standar perubahan warna yang
digambarkan oleh gray scale dan dinyatakan dengan rumus CIE lab :
Rumus nilai kekhromatikan adam
Toleransi untuk standar kerja
Nilai tahan luntur warna Perbedaan warna (CIE lab)
(CIE lab)
5 0 +0,2
4-5 0,8 +0,2
4 1,7 +0,3
3-4 2,5 +0,3
3 3,4 +0,4
2-3 4,8 +0,5
2 6,8 +0,6
1-2 9,6 +0,7
1 13,6 +1,0

Spesifikasi kolorimetri yang tepat dari warna abu-abu standard dan perubahan warna
pada gray scale. Nilai 5 berarti tidak ada perubahan dan seterusnya sampai nilai 5 yang
berarti perubahan warna sangat besar. Nilai tahan luntur 5 ditunjukkan pada skala oleh
dua lempeng yang identik yang diletakkan berdampingan berwarna abu-abu netral dengan
reflektansi 12 + 1 persen. Perbedaan warna sama dengan nol. Bilai tahan luntur 4 – 5
sampai 1 ditunjukkan oleh lempeng pembanding yang identik dan yang dipergunakan
untuk tingkat 5, berpasangan dengan lempeng abu-abu netral sama tetapi lebih muda.
Perbedaan secara visual dari pasangan-pasangan nilai 4, 3, 2, dan 1 adalah tingkat
geotetrik dari perbedaan warna atau kekontrasan.
2.2 Staining scale
Pada staining scale penialain penodaan warna pada kain putih di dalam pengujian
tahan luntur warna, dilakukan dengan membandingkan perbedaan warna dari kain putih
yang dinodai dan kain putih yang tidak ternodai, terhadap perbedaan yang digambarkan
staining scale, dan dinyatakan dengan nilai kkhromatikan adam seperti gray scale, hanya
besar perbedaan warnanya berbeda. Staining scale terdiri dari satu pasangan standar
lempeng putih dan 8 pasang standar lempeng abu-abu dan putih, dan setiap pasang
mewakili perbedaan warna atau kekontrasan warna sesuai dengan penilaian penodaan
dengan angka.
Nilai tahan luntur 5 ditunjukkan pada skala oleh dua lempeng yang identik yang
diletakkan berdampingan, mempunyai reflektansi tidak kurang dari 85%. Perbedaan
warna sama dengan nol.nilai tahan luntur 4-5 sampai 1 ditunjukkan oleh lempeng putih
pembanding yang identik dengan yang dipergunakan untuk nilai 5, berpasanagn dengan
lempeng yang sama tetapi berwarna abu-abu netral.
Perbedaan warna (CIE Toleransi untuk standar
Nilai tahan luntur warna
lab) kerja (CIE lab)
5 0 +0,2
4-5 2,2 +0,3
4 4,3 +0,3
3-4 6,0 +0,4
3 8,5 +0,5
2-3 12,0 +0,7
2 16,9 +1,0
1-2 24,0 +1,5
1 34,1 +2,0

2.3 Tahan Luntur Warna Terhadap Gosokan


Pengujian ini dimaksudka untuk menguji penodaan dari bahan berwarna pada kain,
yang disebabkan karena gosokan dipakai untuk tekstil berwarna dari segala macam serat,
baik dalam bentuk benang maupun kain. Dan pengaruh gosokan tersebut dinilai baik
dalam keadaan kering maupun basah.
Prinsip pengerjaannya yaitu dengan menggosokan kai putih kering maupun basah yang
telah dipasang pada Crockmeter pada contoh uji dengan ukuran tertentu. Penodaan pada
kain putih dinilai dengan menggunakan Staining scale.
Kain putih yang dipakai adalah kain kapas dengan konstruksi 100 x 96 helai/ inci, beratnya
135,3 gram/m2, telah diputihkan, tidak dikanji dan tidak disempurnakan, dipotong dengan
ukuran 5x5 cm.
Alat Crockmeter mempunyai jari dengan diameter 1,5 cm yang bergerak 1 kali maju
mundur sejauh 10cm setiap kali putaran, dengan gaya tekanan pada kain seberat 900
gram. Evaluasi dilakukan dengan membandingkan penodaan warna pada kain putih
terhadap Staining Scale.
III. Percobaan
3.1 Alat
a. Alat crockmeter, mempunyai jari dengan diameter 1,5cm, yang bergerak satu kali maju
mundur sejauh 10 cm setiap kali putaran, dengan gaya tekanan pada kain seberat 900
gram.
b. Staining Scale
3.1 Bahan
a. Kain kapas dengan konstruksi 100 x 96 /inch2 dan berat 135,3 gram/meter2 yang telah
diputihkan, tidak dikanji serta tidak melalui proses penyempurnaan untuk kemudian
dipotong berukuran 5 x 20Potong kain 5 x 20 cm
b. Air Suling
3.2 Cara Pengujian (SNI 8214-2017)
a. Cara Pengujian Kering
- Contoh uji diletakan rata diatas alat penguji dengan sisi panjang, searah dengan arah
gosokan.
- Jari Crockmeter dibungkus dengan kain putih kering dengan anyamannya miring
terhadap arah gosokan.
- Kemudian digosokan 10 kali maju mundur (20 kali gosokan) dengan memutar alat
pemutar 10 kali dengan kecepatan satu putaran per detik.
- Kain putih diambil dan dievaluasi dengan grey scale.
b. Cara Uji Gosokan Basah
- Kain putih dibasahi denganair suling, kemudian diperas diantara kertas saring, sehingga
kadar air dalam kain menjadi 65 ± 5 % terhadap berat kain pada kondisi standar
kelembaban relatif 65 ± 2 %
- Kemudian dikerjakan seperti pada cara gosok kering secepat mungkkin untuk
menghindari penguapan. Kain putih dikeringkan diudara sebelum dievaluasi.\
- Bandingkan kain pelapis hasil uji gosok basah dengan staining scale
3.3 Evaluasi
Standar skala penodaan dan perubahan warna
Nilai tahan luntur warna Evaluasi tahan luntur warna
5 Baik sekali
4-5 Baik
4 Baik
3-4 Cukup baik
3 Cukup
2-3 Kurang
2 Kurang
1-2 Jelek
1 Jelek

IV. Data Percobaan


Staining Scale
Contoh Uji Uji Gosok Basah Uji Gosok Kering

I 3/4 4

II 3/4 4

V. Diskusi
Pengujian tahan luntur warna terhadap gosokan, dilakukan untuk mengetahui
ketahanan bahan terhadap gosokan, karena ketika dipakai baju yang digunakan akan
terkena gesekan secara fisika dengan benda mati disekitar. Ketika terkena gosokan, maka
kain harus memiliki ketahanan yang baik agar tidak mudah luntur atau menodai. Oleh
karena itu dilakukan uji gosokan kering dan basah yang dilakukan pada kain dengan
ukuran 5 x 20 cm dan kain pelapis kapas dengan ukuran 5 x 5 cm dengan menggunakan
alat Crockmeter. Hasil penodaan yang di dapat dari pengujian tahan luntur terhadap gosok
kering ini yaitu 4 atau baik. Kain ini sudah layak digunakan sebagai tekstil pakaian. Pada
uji gosok basah dilakukan terhadap kapas basah kemudian dilihat penodaannya. Hasil
yang didapat yaitu 3/4 yang artinya cukup baik. Pada uji gosokan basah, penodaan yang
didapat lebih banyak. Hal tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor diantaranya
tegangan yang dikenakan pada kain yang digosok tidak sama satu sama lain

VI. Kesimpulan
Pada hasil pengujian tahan luntur warna terhadap gosokan pada kain hasil pencapan
didapat nilai uji staining scale (penodaan) terhadap uji kering adalah 4 yang berarti baik
dan nilai uji staining scale terhadap uji basah adalah 3/4 yang berarti kain tersebut
memiliki ketahanan luntur terhadap gosokan cukup baik.
Lampiran

Gosok Kering Gosok Basah


Sampel 1 Sampel 2 Sampel 1 Sampel 2
PENGUJIAN TAHAN LUNTUR WARNA TERHADAP KERINGAT
(SNI 8214-2017)

I. Maksud dan Tujuan


1.1 Maksud
Melakukan pengujian tahan luntur warna terhadap keringat pada bahan tekstil.
1.2 Tujuan
Mengetahui bagaimana cara melakukan pengujian tahan luntur warna terhadap keringat
serta mengetahui nilai ketahanan luntur warna terhadap keringat pada kain hasil
pencapan.
II. Teori Dasar
Penilain tahan luntur warna dilakukan dengan melihat adanya perubahan warna asli
sebagai tidak perubahan, ada sedikit perubahan, cukup berubah dan berubah sama
sekali. Penilaian secara visual dilakukan dengan membandingkan perubahan warna yang
terjadi dengan suatu stndar perubahan warna. Standar yang dikenal adalah standard yang
dibuat oleh Society of Dyes and Colourist (SDC) di Amerika Serikat yaitu berupa gyey
scale untuk perubahan warna karena kelunturan warna dan staining scale untuk
perubahan warna karena penodaan warna karena penodaan pada kain putih. Standard
gray scale dan staining scale digunakan untuk menilai perubahan warna yang terjadi pada
pengujian tahan luntur warna terhadap pencucian, keringat, gosokan, setrika,dll.
2.1 Gray scale
Gray scale terdiri dari Sembilan pasangan standard lempeng abu-abu, setiap
pasangan mewakili perbedaan warna atau kekontrasan warna sesuai dengan penilaian
tahan luntur dengan angka.pada gray scale, penilaian tahan luntur warna dan perubahan
warna yang sesuai, dilakukan dengan membandingkan perbedaan pada contoh yang
telah diuji dengan contoh asli terhadap perbadaan standar perubahan warna yang
digambarkan oleh gray scale dan dinyatakan dengan rumus CIE lab :
Rumus nilai kekhromatikan adam
Toleransi untuk standar kerja
Nilai tahan luntur warna Perbedaan warna (CIE lab)
(CIE lab)
5 0 +0,2
4-5 0,8 +0,2
4 1,7 +0,3
3-4 2,5 +0,3
3 3,4 +0,4
2-3 4,8 +0,5
2 6,8 +0,6
1-2 9,6 +0,7
1 13,6 +1,0

Spesifikasi kolorimetri yang tepat dari warna abu-abu standard dan perubahan warna
pada gray scale. Nilai 5 berarti tidak ada perubahan dan seterusnya sampai nilai 5 yang
berarti perubahan warna sangat besar. Nilai tahan luntur 5 ditunjukkan pada skala oleh
dua lempeng yang identik yang diletakkan berdampingan berwarna abu-abu netral dengan
reflektansi 12 + 1 persen. Perbedaan warna sama dengan nol. Bilai tahan luntur 4 – 5
sampai 1 ditunjukkan oleh lempeng pembanding yang identik dan yang dipergunakan
untuk tingkat 5, berpasangan dengan lempeng abu-abu netral sama tetapi lebih muda.
Perbedaan secara visual dari pasangan-pasangan nilai 4, 3, 2, dan 1 adalah tingkat
geotetrik dari perbedaan warna atau kekontrasan.
2.2 Staining scale
Pada staining scale penialain penodaan warna pada kain putih di dalam pengujian
tahan luntur warna, dilakukan dengan membandingkan perbedaan warna dari kain putih
yang dinodai dan kain putih yang tidak ternodai, terhadap perbedaan yang digambarkan
staining scale, dan dinyatakan dengan nilai kkhromatikan adam seperti gray scale, hanya
besar perbedaan warnanya berbeda. Staining scale terdiri dari satu pasangan standar
lempeng putih dan 8 pasang standar lempeng abu-abu dan putih, dan setiap pasang
mewakili perbedaan warna atau kekontrasan warna sesuai dengan penilaian penodaan
dengan angka.
Nilai tahan luntur 5 ditunjukkan pada skala oleh dua lempeng yang identik yang
diletakkan berdampingan, mempunyai reflektansi tidak kurang dari 85%. Perbedaan
warna sama dengan nol.nilai tahan luntur 4-5 sampai 1 ditunjukkan oleh lempeng putih
pembanding yang identik dengan yang dipergunakan untuk nilai 5, berpasanagn dengan
lempeng yang sama tetapi berwarna abu-abu netral.
Perbedaan warna (CIE Toleransi untuk standar
Nilai tahan luntur warna
lab) kerja (CIE lab)
5 0 +0,2
4-5 2,2 +0,3
4 4,3 +0,3
3-4 6,0 +0,4
3 8,5 +0,5
2-3 12,0 +0,7
2 16,9 +1,0
1-2 24,0 +1,5
1 34,1 +2,0

2.3 Tahan Luntur Warna Terhadap Keringat


Beberapa zat warna sangat dipengaruhi oleh keringat, sehingga akan memberikan
perubahan terhadap intensitas warna pada bagian-bagian kain yang terkena keringat.
Pengujian ini dimaksudkan untuk menentukan tahan luntur warna dari segala macam dan
bentuk bahan tekstil berwarna terhadap keringat. Contoh uji yang terpisah dari bahan
tekstil berwarna direndam dalam larutan keringat buatan yang bersifat basa dan asam
untuk kemudian diberi tekanan mekanik tertentu dan dikeringkan secara perlahan pada
suhu yang naik sedikit demi sedikit. Pada saat pengujian, contoh uji dipasangkan bersama
dua helai kain putih yang terdiri dari dua jenis serat yaitu serat yang sejenis dengan bahan
yang diuji serta bahan dari serat menurut pasangannya. Hasil pengujian diamati dari
perubahan warna pada contoh uji dan penodaannya terhadap kain putih menggunakan
standar skala abu-abu dan standar penodaan.
Standar ini meliputi cara uji tahan luntur warna dari segala macam dan bentuk bahan
tekstil berwarna terhadap keringat. Prinsip pengujian dari uji tahan luntur warna terhadap
keringat adalah contoh uji dipotong dengan ukuran 6 x 6 cm dan dijahit diantara sepasang
kain putih dengan ukuran yang sama. Contoh-contoh uji yang terpisah dari bahan tekstil
berwarna dalam larutan keringat buatan bersifat asam dan basa, kemudian diberikan
tekanan mekanik tertentu dan dikeringkan perlahan-lahan pada suhu yang naik sdikit demi
sedikit
Pada saat pengujian, contoh uji dipasangkan dengan dua helai kain putih dimana yang
sehelai dari serta yang sejenis dengan bahan yng diuji, sedangkan yang sehelai lagi dari
serat menurut pasangan seperti dibawah ini :
Kain pertama Kain kedua
 Kapas  Wool
 Wool  kapas
 Sutera  kapas
 Linen  wool
 Rayon viskosa  wool
 Poliamida  wool/rayon viskosa
 Poliester  wool
 Poliakrilat  wool
 Asetat  rayon viskosa
Pengujian ini dimaksudkan untuk menentukan tahan luntur warna dari segala macam
dan bentuk bahan tekstil berwarna terhadap keringat. Contoh-contoh ui yang terpisah dari
bahan tekstil berwarna direndam dalam larutan keringat buatan bersifat basa dan asam
kemudian diberikan tekanan mekanik tertentu dan dikeringkan perlahan-lahan pada suhu
yang naik sedikit demi sedikit.
Larutan keringat buatan Asam Basa

ISO AATCC ISO AATCC

Ristidin Monohidroklorida 0,5 0,25 0,5 0,25


(gram)

Natrium Klorida (gram) 5 10 5 10

Dinatrium Hidrogen Orto 2,2 1 2,5 1


Fosfat

Air Suling 1000 1000 1000 1000

pH 5,5 4,3 8 8

Pada saat pengujian, contoh uji dipasangkan degan dua helai kain putih dimana yang
sehelai dari serat yang sejenis dengan bahan yang diuji, sedangkan sehelai lagi dari serat
menurut pasangannya.
III. Percobaan
1.2 Alat
a. AATCC Perspiration Tester atau alat lain yang sejenis
b. Alat pemeras mangel yang dilengkapi dengan pengatur tekanan
c. Gelas piala 500 ml dan pengaduk gelas yang ujungnya dipipihkan
d. Grey Scale dan Staining Scale
e. Lempeng-lempeng kaca atau plastic
f. Oven dengan pengatur suhu
1.3 Bahan
a. Potong kain 4x10 cm, potong kain pelapis dengan ukuran yang sama
b. Letakan contoh uji pada kain pelapis kemudian jahit
c. Larutan keringat buatan asam tiap liter
- Natrium klorida 5 gram
- Sodium dihidrogen orto-posfat 2,2 gram
- Histidin monohidroklorida monohidrat 0,5 gram
- pH 5,5
d. Larutan keringat buatan basa tiap liter
- Natrium klorida 5 gram
- Disodium dihidrogen orto-posfat dihidrat 0,5 gram

1.4 Cara Pengujian (SNI 8214-2017)


a. Memotong kain contoh uji dengan ukuran 4 x 10 cm dan memotong kain pelapis dengan
ukuran yang sama
b. Menjahit dua buah contoh uji kain berwarna diantara kain putih, kemudian direndam dalam
larutan keringat buatan yang bersifat basa, sedangkan dua buah contoh lainnya dalam
larutan keringat bersifat asam selama 15-30 menit untuk mendapatkan pembasahan yang
sempurna.
c. Contoh uji diperas dan diletakkan diantara dua lempengkaca, lalu dipasang pada
perspiration tester dan diberi tekanan 10 pound ( 60 gram/cm2 ) dan diatur sehingga
contoh uji dalam kedudukan tegak pada waktu meletakkannya dalam pemanas.
d. Contoh uji yang telah siap dimasukkan kedalm pemanas pada suhu 38  1 oC selama
paling sedikit 6 jam. Untuk mudahnya contoh uji tersebut dapat dikerjakan selama 16 jam.
e. Dilakukan evaluasi perubahan warna terhadap contoh uji yang sudah kering dengan grey
scale dan evaluasi penodaan warna pada kain putih dengan staining scale.
1.5 Evaluasi
Standar skala penodaan dan perubahan warna
Nilai tahan luntur warna Evaluasi tahan luntur warna
5 Baik sekali
4-5 Baik
4 Baik
3-4 Cukup baik
3 Cukup
2-3 Kurang
2 Kurang
1-2 Jelek
1 Jelek
IV. Data Percobaan
4.1 Grey Scale
 Asam
Gray Scale Nilai

Contoh Uji I 4/5


Contoh Uji II 4/5

 Basa
Gray Scale Nilai

Contoh Uji I 4
Contoh Uji II 4

4.2 Staining Scale

Penodaan Poliester Penodaan Kapas


Contoh Uji
Asam Basa Asam Basa

I 4/5 4/5 4/5 4/5

II 4/5 4/5 4/5 4/5

V. Diskusi
Dari hasil pengujian tahan luntur warna terhadap keringat, kain contoh uji hasil
pencapan dipotong dengan ukuran 4 x 10 cm dan potong kain pelapis yaitu polyester dan
kapas putih kemudian kain contoh uji hasil pencapan dijahitkan pada kain pelapis putih
untuk mengetahui penodaan warna serta perubahan warna setelah pengujian tahan luntur
terhadap keringat. Uji ini berdasarkan SNI ISO 105 E04 yaitu uji tahan luntur warna
terhadap keringat. Pada pengujian ini dilakukan dengan menggunakan keringat asam dan
basa buatan. Kain direndam dan dikeringkan sesuai standar uji. Setelah dilakukan
pengujian, dilakukan evaluasi berupa penodaan warna dan perubahan warna setelah
pencucian terhadap kain kapas dan polyester putih.. Untuk staining scale, nilai yang
didapatkan pada penodaan kain kapas didapat nilai 4/5 yang berarti ketahanan luntur
warna tehadap keringat baik dan penodaan pada kain polyester didapat nilai yang sama
yaitu 4/5 yang berarti nilai ketahanan luntur terhadap keringat baik. Sehingga kain contoh
tersebut sudah sangat baik atau layak untuk digunakan sebagai tekstil pakaian.
VI. Kesimpulan
Pada hasil pengujian tahan luntur warna terhadap keringat pada kain hasil pada
poliester asam dan dan basa 4/5 berarti baik dan untuk kapas asam dan basa 4/5 baik
berati kain tersebut baik terhadap daya tahan luntur keringat.
Lampiran

Asam Basa

Lusi Pakan Lusi Pakan


PENGUJIAN PERUBAHAN DIMENSI BAHAN TEKSTIL PADA PROSES PENCUCIAN
DAN PENGERINGAN
(SNI 8214-2017)

I. Maksud dan Tujuan


1.1 Maksud
Melakukan pengujian perubahan dimensi bahan tekstil pada proses pencucian dan
pengeringan.
1.2 Tujuan
Mengetahui bagaimana cara melakukan pengujian perubahan dimensi bahan tekstil pada
proses pencucian dan pengeringan serta menentukan perubahan dimensi pada kain tenun
dan kain rajut jika mengalami proses pencucian dan pengeringan (mulur/mengkeret).
II. Teori Dasar
Dimensi kain adalah ukuran panjang, lebar, dan tebal kain. Panjang kain adalah jarak
antara ujung kain yang satu dengan ujung lainnya, yang diukur searah dengan lusi pada
kain tenun atau wale pada kain rajut dimana kain tidak dalam keadaan terlipat dan rata
serta dalam keadaan tidak tegang. Lebar kain adalah jarak antara pinggir kain yang satu
dengan pinggir yang lain, yang diukur searah dengan dengan pakan kain tenun dan
courese pada kain rajut dimana kain dalam keadaan tidak terlipat dan rata serta dalam
keadaan regang. Untuk kain shuttleless loom pengukuran lebar kain diukur wale paling
pinggir ke wale paling pinggir lainnya, sedangkan untuk kain rajut bundar pengukuran
lebar kain dilakukan antara pinggir kain terlipat tegak lurus ke pinggir kain lainnya dikali
dua. Tebal kain adalah jarak antara dua permukaan kain yang berbeda.
Berat kain adalah untuk berat untuk satu satuan luas tertentu atau berat untuk satu
satuan panjang tertentu dari kain, yang dinyatakan dalam gram per meter persegi, gram
per meter dll. Tekanan adalah gaya yang dibebankan pada suatu permukaan kain per unit
luas yang dinyatakan dalam kg/cm2 atau kPa.
Kain tenun atau rajut apabila telah mengalami pemakaian dan pencucian akan
mengakibatkan perubahan terhadap dimensi kain baik ke arah pakan atau lusi untuk kain
tenun, maupun kearah course atau wales untuk kain rajut, dimana perubahan ini jika
terjadi harus dipulihkan kembali dengan cara :
*. Tension Presser
*. Knit Shrinkage Gauge
*. Hand Iron
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengujian stabilitas dimensi adalah proses
pencucian, pengeringan dan pemulihan. Kain yang bermutu baik adalah kain yang tidak
mengalami perubahan dimensi setelah pemakaian sehari-hari. Penyebab utama dari
perubahan dimensi kain adalah mengkeret setelah pencucian. Ada dua jenis mengkeret
pada kain. Yang pertama adalah mengkeret karena tegangan mekanis pada waktu proses
pertenunan dan penyempurnaan, dimana pada saat tersebut kain tertarik untuk sementara
sehingga ketika dilakukan pencucian akan relaxation kebentuk semula. Jenis yang kedua
adalah karena adanya kemampuan serat untuk menggumpal (felting) dalam pencucian.
Peralatan dan bahan yang umum digunakan dalam pengujian adalah mesin cuci jenis
silinder yang berputar bolak-balik. Wadahnya mempunyai diameter dala 50-61 cm dengan
disertai tiga buah sirip selebar kira 7,5 cm terpencar sepanjang bagian dalam dari alat
pencuci. Alat pencuci berputar dengan kecepatan 5-10 putaran sebelum membalik
dengan saluran masuk air yang cukup besar. Untuk pengisian mesin cuci sampai
permukaan air setinggi 20 cm selama kurang dari satu menit.
Dalam pengujian stabilitas ini dipergunakan empat cara pencucian yang bervariasi dari
kondisi pencucian yang paling berat sampai yang paling ringan dan dimaksudkan untuk
mencakup semua kondisi pencucian baik pencucian secara komersil maupun pencucian
dengan tangan. Pengeringan dilakukan dengan lima macam cara pengeringan yang
mencakup semua pengeringan baik pengeringan secara komersil maupun pengeringan
dalam rumah tangga. Untuk menentukan daya pemulihan dimensi dipergunakan tiga cara
yang diperlukan untuk tekstil yang memerlukan pemulihan dengan penyetrikaan atau
pemakaian setelah pencucian. Pengujian-pengujian ini bukan pengujian yang dipercepat
dan harus diulang untuk mengevaluasi perubahan dimensi setelah pencucian berulang.
Tabel I menunjukkan semua cara pencucian, pengeringan dan pemulihan. Dalam
setiap pengujian harus ditentukan kombinasi cara pengujian mana yang sesuai untuk
dapat mengevaluasi perubahan dimensi kain atau pakaian setelah pencucian baik secara
komersil maupun pencucian dalam rumah tangga. Cara pengujian dapat dinyatakan
dengan kode yang terdiri dari angka romawi, huruf dan angka arab. Misalnya uji IV E 1
menyatakan contoh yang telah dicuci dengan cara “III” pada suhu 71oC selama 60 menit
dalam mesin, dikeringkan dalam pengering putar (tumble dryer) menurut cara “E” dan
mengalami pemulihan dengan Penekan Tegangan (Tension Pressure) menurut cara “1”.
Cara pencucian Cara pengeringan Cara pemulihan
38o – 43oC selama 30 menit Pengeringan tetes (drip dry) Penekan tegangan
49o – 53oC selama 45 menit Pengeringan tekan datar Pengukur mengkeret
60o – 65oC selama 45 menit Pengeringan kasa Kain rajut
71o – 76oC selama 60 menit Pengeringan gantung Setrika tangan
95 – 100 C selama 60 menit
o o
Pengeringan putar
III. Percobaan
3.1 Alat
a. Kain tenun yang telah diobras dan rajut 50 cm x 50 cm
b. Mesin cuci
c. Pengering putar
d. Deterjen tanpa pemutih optic
e. Natrium perborat tetrahidrat
f. Kain pemberat
g. Mistar atau alat ukur baja tahan karat
h. Pena dengan tinta permanen
i. Meja datar
j. Gunting
3.2 Bahan
c. Kain kapas dengan konstruksi 100 x 96 /inch2 dan berat 135,3 gram/meter2 yang telah
diputihkan, tidak dikanji serta tidak melalui proses penyempurnaan untuk kemudian
dipotong berukuran 5 x 20Potong kain 5 x 20 cm
d. Air Suling
3.3 Cara Pengujian (SNI 8214-2017)
a. Cara uji kain tenun
 Menyiapkan contoh uji kain tenun dengan ukuran 50 x 50 cm dengan tepi diobras.
 Meletakkan plat/mal pengukur diatas bahan sedemikian rupa sehingga sisi lubang palat
pengukur sejajar dengan lusi dan pakan, sehingga sejumlah kain yang sama terjulur dari
bawah plat pengukur semua sisi.
 Menggambar lubang tersebut pada kain contoh uji dengan spidol.
 Memberikan sebuah titik ditengah-tengah setiap sisi dari bujur sangkar.
 Masukan bahan kedalam mesin cuci dan mengerjakannya selama 30 menit.
 Melakukan pengukuran mengkeret atau mulur dari contoh uji.
b. Cara uji kain rajut
 Menyiapkan kain rajut.
 Memberikan tanda pada contoh uji dalam bentuk kotak bujur sangkar.
 Memberikan tanda arah wales maupun arah coursenya.
 Masukkan bahan kedalam mesin cuci dan mengerjakannya selama 30 menit.
 Melakukan pengukuran mengkeret atau mulur dari contoh uji.
3.4 Evaluasi
𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 − 𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑎𝑤𝑎𝑙
𝑝𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛 𝑝𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 = 𝑥100%
𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑎𝑤𝑎𝑙
𝑙𝑒𝑏𝑎𝑟 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 − 𝑙𝑒𝑏𝑎𝑟 𝑎𝑤𝑎𝑙
𝑝𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛 𝑝𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑙𝑒𝑏𝑎𝑟 = 𝑥100%
𝑙𝑒𝑏𝑎𝑟 𝑎𝑤𝑎𝑙
Jika hasil % perubahan dimensi kain bernilai positif maka kain tersebut mulur, jika hasil %
perubahan dimensi kanin bernilai negative maka kain tersebut mengkeret.
IV. Data Percobaan
4.1 Kain Tenun

Lusi (Awal) Pakan (Awal) Lusi (Akhir) Pakan (Akhir)

35 cm 34,5 cm 34,5 cm 34,1 cm

35,1 cm 34,9 cm 34,7 cm 34,4 cm

34,9 cm 34,9 cm 34,5 cm 33 cm

ẋ = 35 cm ẋ = 34,7 cm ẋ = 34,5 cm ẋ = 33,83 cm

4.2 Kain Rajut

Lusi (Awal) Pakan (Awal) Lusi (Akhir) Pakan (Akhir)

25,2 cm 25,1 cm 24,2 cm 24,2 cm

25,3 cm 25 cm 24,1 cm 24,2 cm

25 cm 25 cm 24,3 cm 24,1 cm

ẋ = 25,1 cm ẋ = 25,03 cm ẋ = 24,2 cm ẋ = 24,1 cm

V. Perhitungan
5.1 Kain Tenun
𝐿𝑢𝑠𝑖 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 − 𝐿𝑢𝑠𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙
% 𝑝𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑙𝑢𝑠𝑖 = 𝑥100%
𝐿𝑢𝑠𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙
34,5 − 35
= 𝑥 100%
35
= -1,44% (mengkeret)
𝑃𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 − 𝑃𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑎𝑤𝑎𝑙
% 𝑝𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑘𝑎𝑛 = 𝑥100%
𝑃𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑎𝑤𝑎𝑙
33,83 − 34,7
= 𝑥 100%
34,7
= -2,50% (mengkeret)
5.2 Kain Rajut
𝑤𝑎𝑙𝑒𝑠 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 − 𝑤𝑎𝑙𝑒𝑠 𝑎𝑤𝑎𝑙
% 𝑝𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑙𝑢𝑠𝑖 = 𝑥100%
𝑤𝑎𝑙𝑒𝑠 𝑎𝑤𝑎𝑙
24,2 − 25,1
= 𝑥 100%
25,1
= −3,5% (mengkeret)
𝑐𝑜𝑢𝑟𝑠𝑒𝑠 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 − 𝑐𝑜𝑢𝑟𝑠𝑒𝑠 𝑎𝑤𝑎𝑙
% 𝑝𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑘𝑎𝑛 = 𝑥100%
𝑐𝑜𝑢𝑟𝑠𝑒𝑠 𝑎𝑤𝑎𝑙
24,1 − 25,1
= 𝑥 100%
25,1
= −3,71% (mengkeret)
VI. Diskusi
Dari data persentase mengkeret yang diperoleh, terlihat bahwa persentase mengkeret
benang pakan lebih besar dari pada benang lusi. Hal ini bisa saja terjadi karena konstruksi
dan komposisi benangnya yang berbeda. Jika ditinjau dari sifat serat, serat alam
mempunyai persen mengkeret yang lebih besar dari pada serat sintetik terutama rayon
dan kapas karena pada waktu pembuatan seratnya, serat sintetik sudah melalui tahap
seting untuk didapatkan serat yang stabil dimensinya. Persen mengkeret benang lusi lebih
kecil, mungkin komposisi benang lusi ini lebih banyak benang sintetiknya atau mugkin
benang lusi ini tersusun atas serat sintetik saja sehingga mengkeretnya lebih kecil. Hal
lain yang dapat mempengaruhi juga yaitu pada waktu proses pembuatan kain
(pertenunan). Seperti diketahui dalam proses pertenunan, benang lusi berada dalam
posisi kearah panjang dan benang pakan pada posisi ke arah lebar. Untuk menjaga agar
“peluncuran/penembakan” pakan dapat berjalan lancar maka benang lusi harus dalam
kondisi tegang yaitu dengan cara ditarik. Pada waktu penegangan, benang ditarik
sedemikian rupa sehingga didapatkan benang yang tegang/kencang dan tidak saling
menumpuk. Karena adanya penarikan ini, dimensi benang ke arah panjang bertambah
sampai batas tertentu.
Dalam proses pencucian, biasanya terjadi proses pelepasan tegangan yang dialami
oleh benang/kain pada waktu proses pertenunan. Air dan zat yang dipakai dalam proses
pencucian, akan mengisi ruang-ruang amorf dalam serat sehingga serat/benang
mengalami penggelembungan kearah lebar dan penyusutan kearah panjang dan orientasi
rantai molekul serat biasanya searah/sejajar dengan arah benang. Dengan adanya
penyusutan ini mengakibatkan panjang benang antara sebelum dan sesudah pencucian
akan berubah karena adanya pelepasan tegangan yang dialami benang.

VII. Kesimpulan
Pada hasil pengujian perubahan dimensi bahan tekstil pada proses pencucian dan
pengeringan didapat pada kain tenun untuk arah lusi -1,44% dan arah pakan -2,50% serta
pada kain rajut untuk arah lusi -3,5% dan arah pakan -3,71% jadi kain tenun maupun kain
rajut mengalami mengkeret kain.
Lampiran

Kain Tenun

Kain Rajut
PENGUJIAN TOLAK AIR

I. Maksud dan Tujuan


1.1 Maksud
Melakukan pengujian tolak air terhadap kain contoh uji.
1.2 Tujuan
Mengetahui bagaimana cara melakukan pengujian tolak air terhadap kain dengan uji siram
dan mengetahui nilai uji siram pada kain contoh uji tersebut.
II. Teori Dasar
Air dapat menembus kain dengan dengan tida cara:
1. Oleh pembasahan kain, diikuti sifat kapiler yang membawa air menembus kain.
2. Oleh tekanan air yang menekannya melalui rongga – rongga pada kain.
3. Oleh kombinasi kedua cara tersebut diatas.
Apabila kain dibuat rapat sedemikian hingga tidak ada rongga – rongga diantara
benang, kain masih mungkin tembus air jika dapat membasahi kain. Apabila kain tenun
biasa dibuat dari serat yang diberi proses kimia sehingga tidak dapat dibasahi oleh air,
maka air dapat menggelincir dipermukaan kain tanpa menembusnya. Tetapi jika air
terkumpul dipermukaan dengan ketebalan tertentu atau air menetesi kain dengan tekanan
yang lebih kuat, air akan menmbus kain melalui rongga-rongga pada kain.hal ini dapat
terjadi pada kain yang disebut kain tahan gerimis. Agar kain benar – benar tidak dapat
ditembus oleh air, misalnya untuk jas hujan, kain dilapisi karet, atau untuk terpal, kain
dilapisi sejenis ter. Kain yang dilapisi pelapis juga tidak tembus udara, sehingga tidak
nyaman dipakai. Untuk pakaian biasa diperlukan sifat tahan air cukup namun masih
bersifat tembus udara dan uap air.
Uraian diatas menunjukkan sifat kedap air (waterproof), tahan air (water resistance)
dan tolak air (water repellence). Kain kedap air adalah kain yang dilapisi dengan zat tidak
tembus air sehingga tidak tembus udara juga. Kain tahan air adalah sifat kain untuk
mencegah pembasahan dan tembus air, tetapi masih bersifat tembus udara. Kain tolak air
adalah sifat serat, benang atau kain yang menolak pembasahan air.Kain bersifat tolak air
dapat ditembus air dengan tekanan, misalnya tetesan air hujan yang cukup lebat.
Walaupun terdapat hubungan antara tolak air dan tahan air, untuk tujuan masing – masing
diperlukan pengujian yang berbeda, yaitu uji siram untuk menilai tolak air, dan uji hujan
untuk menilai tahan air.
Prinsip pengujian uji siram adalah menyiramkan air pada permukaan kain dengan
kondisi tertentu, sehingga menghasilkan pola kebasahan pada permukaan kain, yang
ukurannya relative bergantung pada sifat tolak air kain.Evaluasi dilakukan dengan
menbandingkan pola kebasahan kain dengan gambar pada Penilaian Uji Siram Standar.
Dalam hubungan antara air dan kain, banyak istilah yang kadang-kadang
membingungkan, misalnya istilah storm-proof dan shower-proof pada jas hujan. Oleh
karena itu sebelum dilakukan pengujian cara uji tahan air atau tolak air perlu dibicarakan
mengenai beberapa istilah dan definisi berikut ini:
*. Proses tahan air (water-proof)
Merupakan proses untuk melapisi kain dengan lemak, wax atau karet untuk mencegah
menyerapnya air kedalam kain. Penambahan zat anti air dapat dilakukan dengan melapisi
permukaan kain secara mekanis atau juga dapat secara reaksi antara serat dan zat
penyempurnaan. Sifat khusus dari kain anti air adalah daya tembus udara yang rendah.
*. Daya tolak air (water – repellant)
Merupakan sifat kain untuk tidak menyebarkan butiran air keseluruh permukaan kain.
Karena kain yang anti air biasanya tidak tembus udara, maka sifatnya menjadi kurang
nyaman dipakai sebagai bahan pakaian.
Cara pengujian siram ini dapat digunakan pada semua jenis kain, baik yang tidak
maupun sudah melalui proses penyempurnaan tahan air atau tolak air. Dalam uji siram
dipakai siraman air yang berasal dari corong dengan lubang penyiraman. Air disiramkan
diatas contoh uji yang dipasang pada lingkaran penyulam dan dipasang pada kedudukan
miring 45oC terhadap bidang horizontal.
Penilaian uji siram bervariasi sebagai berikut :
100 : Tidak ada air yang menempel atau yang membasahi permukaan kain.
90 : Terjadi sedikit pembasahan pada permukaan kain bagian atas.
80 : Terjadi pembasahan pada permukaan kain bagian atas yang terkena
siraman.
70 : Terjadi pembasahan pada sebagian daerah permukaan kain bagian atas.
50 : Terjadi Pembasahan pada seluruh permukaan kain bagian atas
0 : Terjadi pembasahan pada seluruh permukaan kain bagian atas dan bawah

III. Percobaan
3.1 Alat
a. AATCC spray tester
b. Simpai border berdiameter 14,1 cm
3.2 Bahan
2 buah kain contoh uji dengan ukuran 180 mm x 180 mm
3.3 Cara Pengujian
a. Pasang contoh uji pada simpai bordir sehingga tidak terdapat kerutan – kerutan pada
kain.
b. Letakkan simpai beserta contoh uji pada penyangga contoh uji sedemikian sehingga
titik tengah penyemprot tepat diatas titik tengah simpai.
c. Tuangkan 250 ml air kedalam corong penyemprot.
d. Biarkan semprotan air pada permukaan kain sampai air benar benar habis pada
tabung penyemprot.
e. Ambil simpai beserta contoh uji, dan ketukkan satu kali untuk membuang air
dipermukaan kain.
f. Ulangi pekerjaan tersebut dua kali.
1. Lakukan evaluasi dengan melihat nilai uji siram
3.4 Evaluasi
Nilai Uji Siram
100 : Tidak ada air yang menempel atau yang membasahi permukaan kain.
90 : Terjadi sedikit pembasahan pada permukaan kain bagian atas.
80 : Terjadi pembasahan pada permukaan kain bagian atas yang terkena
siraman.
70 : Terjadi pembasahan pada sebagian daerah permukaan kain bagian atas.
50 : Terjadi Pembasahan pada seluruh permukaan kain bagian atas
0 : Terjadi pembasahan pada seluruh permukaan kain bagian atas dan bawah

IV. Data Percobaan


Sampel 1 = 80 (ISO 3) : Terjadi Pembasahan pada permukaan kain bagian atas yang
terkena siraman
Sampel 2 = 80 (ISO 3) : Terjadi Pembasahan pada permukaan kain bagian atas yang
terkena siraman

V. Diskusi
Pada uji siram, kain diletakan pada simpai bordir dengan permukaan rata tanpa
adanya kekusutan dan kerutan pada permukaan kain. Dalam uji siram dipakai siraman air
yang berasal dari corong dengan lubang penyiraman. Air disiramkan diatas contoh uji
yang dipasang pada simpai bordir dan dipasang pada kedudukan miring 45oC terhadap
bidang horizontal. Waktu penuangan air tidak boleh menyentuh corong.
Pada hasil pengujian tolak air dengan membandikan kain yang telah dilakukan
pengujian dengan gambar pada penilaian uji standar menunjukkan bahwa contoh uji
memiliki nilai uji siram 80 yang artinya Terjadi Pembasahan pada permukaan kain bagian
atas yang terkena siraman. Dengan kata lain, contoh uji dapat menolak air. Hal tersebut
dapat terjadi karena kemungkinan besar kain contoh uji dilakukan proses penyempurnaan
tolak air atau menambahkan zat ataupun resin yang dapat menolak air, sehingga kain
contoh uji hanya terbasahi sebagian permukaan yang terkena siraman.

VI. Kesimpulan
Pada hasil pengujian tolak air didapat nilai uji siram 80 yang berarti Terjadi
Pembasahan pada permukaan kain bagian atas yang terkena siraman, contoh uji
sehingga kain tersebut dapat menolak air.
Lampiran

Sampel 1 Sampel 2
PENGUJIAN DAYA SERAP TERHADA KAIN TIDAK BERBULU

I. Maksud dan Tujuan


1.1 Maksud
Melakukan pengujian perubahan daya serap pada kain tidak berbulu.
1.2 Tujuan
Mengetahui bagaimana cara melakukan pengujian daya serap terhadap kain tidak berbulu
serta mengetahui waktu serap kain tidak berbulu.
II. Teori Dasar
Untuk mengetahui kecepatan basah (welting time) maka dikenal dua macam cara yaitu :
 Uji tetes dilakukan pada permukaan kain yang rata dan halus.
 Uji keranjang dilakukan pada permuaan kain yang rata dan halus.
Pada prinsipnya kedua pengujian ini adalah sama yaitu ntuk mengetahui kecepatan
basah dari contoh uji tetapi perbedaannya terletak pada kasar atau tidaknya permukaan
contoh uji. Prinsip uji tetes adalah menghitung waktu dari air yang diteteskan pada
perumukaan kain yang dipasang tegang sampai air tesebut hilang terserap. Yang
dimaksud dengan waktu basah adalah waktu dari saat air diteteskan sampai air hilang
terserap.
Daya serap adalah salah satu factor yang menentukan kegunaan dan untuk tujuan
tertentu misalnya kain pembalut, kain handuk dan lain-lain. Beberapa kain harus
mempunyai kemampuan untuk menyerap air atau cairan secara cepat atau mudah
terbasahi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembasahan kain :
 Bila setets air dijatuhkan pada permukaan dari tiga jenis benda padat yang rata, maka
tiga jenis benda tersebut munkin berbentuk bulat, pipih atau antara bulat dan pipih.
Karena sifat air maka perbedaan kondisi tekanan air pada ketiga permukaan benda
padat disebabkan oleh perbedaan sifat dari gabungan antara air dan permukaan benda
padat.
 Permukaan benda padat dimana tetesan air akan membentuk bola menunjukan sudut
kontak yang tinggi, dan akan cenderung mengelinding meninggalkan permukaan
benda padat dalam keadaan kering. Semakin kecil sudut kontak semakin mudah
tetesan air menyebar keseluruh permukaa benda padat dan membasahi enda padat
tersebut. Perbedaan permukaan dosebabkan oleh perbedaan energi permukaan dan
tegangan permukaan pada antara muka dari dua fase, yaitu padat-cair, cair-udara, dan
padat-udara.
Percobaan oleh Cassie menunjukan bahan yang tahan air akan memberikan sudut
kontak tinggi. Sudut kontak yang tinggi akan terjadi pada air diatas suatu permukaan yang
kering dan sudut kontak tersebut akan mengecil apabila cairan makin berkurang,
permukaan menjadi basah.
Kebanyakan kain mempunyai permukaan yang rata dan relative halus, tetapi untuk
keperluan tertentu, seperti handuk mempunyai permukaan yang berbulu, baik bulu yang
dipotong atau yang masih berbentuk lengkungan. Perbedaan cara tersebut memerlukan
cara pengujian daya serap yang berbeda pula.
Prinsip pengujian daya serap kain tidak berbulu dilakukan dengan meneteskan setetes
air dari ketinggian tertentu kepermukaan kain. Waktu yang diperlukan oleh pantulan
cahaya karena setetes air untuk menghilang diukur dan dicatat sebagai waktu basah.
Untuk kain berbulu seperti handuk, cara ini tidak dapat digunakan, karena tetesan air akan
segera tertutup oleh bulu-bulu dari handuk tersebut.

III. Percobaan
3.1 Alat
a. Buret yang 1 ml-nya mempunyai 15-25 tetes
b. Simpai bordir
c. Stop watch
3.2 Bahan
a. Sepotong kain yang cukup untuk dipasang rata pada simpai border.
b. Air Suling
3.3 Cara Pengujian
a. Pasang kain pada simpai border
b. Letakkan simpai tersebut dibawah buretdengan jarak 1 cm dari ujung buret.
c. Teteskan setetes air dari buret kepermukaan kain.
d. Ukur waktu yang diperlukan hingga bulatan air rata dengan permukaan kain. Catat waktu
serapnya.
e. Lakukan lima kali pada tempat yang berbeda.
3.4 Evaluasi
Semakin kecil atau < 1 detik waktu serap kain semakin baik daya serap kain tersebut,
semakin besar atau > 60 detik waktu serap kain maka daya serap kain tersebut jelek.

IV. Data Percobaan


Uji Tetes Waktu Serap
I 4,02 detik
II 5,72 detik
III 4,55 detik
IV 4,15 detik
V 4,52 detik
Rata-rata 4,59 detik

V. Diskusi
Dari hasil pengujian didapatkan waktu penyerapan kain terhadap air lebih besar dari
60 detik. Hal ini menunjukkan kain contih uji kurang dapat menyerap air dengan baik.
Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap daya serap kain terhadap air misalnya
konstruksi kain (anyaman), jumlah tetal, dan penyempurnaan resin. Konstruksi kain
dengan benang yang rapat (tetalnya tinggi) biasanya kurang dapat menyerap air, karena
tidak ada ruang yang dapat disusupi oleh air, sehingga pernyerapan airnya hanya dimulai
dari permukaan atas saja, tetapi jika kain itu mempunyai tetal yang lebih rendah, maka
ada jarak antara benang yang satu dengan benang yang lain sehingga memungkinkan
bagi air untuk meresap lebih cepat dan juga proses penyerapannya tidak hanya dimulai
dari permulaan atas kain saja, tetapi juga dari sisi samping dari benang.

Sedangkan dilihat dari proses finishing, kain yang diresin biasanya mempunyai
kamampuan menyerap air yang sangat rendah , terutama jika resin yang digunakan yaitu
resin anti/tolak air.Resin ini pada umumnya mengadakan ikatan tiga dimensi dan
membuat suatu jaringan kearah panjangn, tebar dan ke dalam serat. Resin ini akan
menghalangi air untuk masuk kedalam bahan, dan keadaaan inilah yang diinginkan agar
didapatkan kain yang tehan air. Pada kain contoh uji ini digunakan kain untuk bahan
payung, jadi kemungkinan besar sudah dilakukan proses resin anti air atau tahan air,
sehingga daya serapnya terhadap air sangat rendah.

VI. Kesimpulan
Pada hasil pengujian daya serap terhadap kain tidak berbulu didapat waktu serap kain
kurang dari 5 detik yang berarti kain tersebut memiliki daya serap yang kurang baik karena
kurang dari 60 detik.
Lampiran
DAFTAR PUSTAKA
N.M. Susyami Hitariat, dkk. 2005. Bahan Ajar Praktek Evaluasi Tekstil III (Evaluasi Kain).
Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil: Bandung.
Moerdoko Wibowo, dkk,Evaluasi Tekstil Bagian Fisika, Institut Teknologi Bandung, 1973
Widayat, S.Teks, Bahan Perkuliahan Evaluasi Kain, 2000
http://sisni.bsn.go.id/index.php/sni_main/sni/detail_sni/7717
http://www.testex.com/id/leistungen/was-wir-pruefen/
https://superakhwat08.wordpress.com/2013/06/21/rangkaian-evaluasi-secara-kimia-
terhadap-kain-tekstil-i-maksud/
LAPORAN PENGUJIAN DAN EVALUASI TEKSTIL 3

(KIMIA)

NAMA : ADITYA SUSANTO


NPM : 17020004
GRUP : 2K1
DOSEN : MAYA K., S.S,T.M.T
ASISTEN : MIA K S.ST
ENGKON

POLITEKNIK STT TEKSTIL BANDUNG


2019

Anda mungkin juga menyukai