Anda di halaman 1dari 1

Diskontinuitas Sejarah

Sejarah adalah diskontinuitas, hanya berupa fragmen-fragmen atu penggalan-penggalan dari


berbagai cerita yang disusun secara acak dan pada ujungnya tidak ada ujung yang merupakan
ujung, ia tetap menjadi fragmen bagi satu sama lain untuk saling tetap melengkapi dan
sifatnya acak tidak teratur, mungkin kalau kita memakai dialektika hegel seperti tesis bertemu
anti tesis menjadi sintesis, itu bisa terjadi dalam sub-sub diskontinuitas tapi tidak terjadi pada
keseleruhuan bentuk sublim dari Diskontinuitas tersebut, karena sifat dasarnya ialah hanya
berupa fragmen dan acak. Kita tidak bisa memakai logika Indonesia untuk memahami logika
barat karena sifatnya beda, atau yang sering disebut Heidegger sebagai Faksititas-faksititas
tertentu itu tidak bsia kita gunakan karena fragmen yang sudah terjadi pada pola pikir
masyarakat Indonesia berbeda dengan pola pikir masyarakat barat ataupun sebaliknya,
masing-masing lokal punya cara berfikir sendiri. Bahkan, lokal yang sama di penggalan
waktu yang berbeda mungkin cara ber-nalar nya juga berbeda, pasti terdapat Diskontinuitas
di sana, dan bahkan sifat dari diskontinui ini sendiri bisa progresif, bisa regresif, dan bisa
mundur, dan kita susah untuk mencari hubungan sebab-akibatnya. Karena, masing-masing
fragmen ada logika nya masing-masing. Sebuah penangkapan terhadap Universalitas adalah
hanya tindakan yang berujung pada sia-sia belaka, melihat hakekat, esensi, semua itu tidak
ada semua itu sebuah bentuk yang utuh atau tunggul atau inti, itu sama sekali tidak ada,
karena sifatnya hanya berupa penggalan demi penggalan yang membentuk sebuah satu
formasi yang baru yang mana bukan merupakan sebuah Universalitas luhur atau tunggal,
melainkan hanya berupa komponen-komponen alat bantu sebuah fragmen yang
menjadikannya sejarah. Kita harus mampu menilai menggunakan fragmen yang ada pada saat
itu walaupun memang berasal dari masa lalu tetapi cara kita untuk menilai suatu fragmen itu
ialah menggunakan visual kontemporer karena berupa gabungan-gabungan, jangan di
generalisir apa-pun. Masing-masing fragmen tetap memiliki logicnya sendiri. Dari sini nanti
maka lahirlah sebuah pandangan baru dalam menilisik sebuah sejarah yaitu Epistem

Anda mungkin juga menyukai