0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
37 tayangan1 halaman
Sejarah terdiri dari fragmen-fragmen yang disusun secara acak dan tidak berujung, sehingga merupakan diskontinuitas. Setiap fragmen memiliki logika sendiri sesuai dengan konteks sosial dan budaya masing-masing, baik secara geografis maupun historis. Tidak ada kesatuan universal dalam memahami sejarah karena sifat diskontinuitasnya.
Deskripsi Asli:
gambaran abstrak seputar teori Diskontinuitas oleh Michel Foucault
Sejarah terdiri dari fragmen-fragmen yang disusun secara acak dan tidak berujung, sehingga merupakan diskontinuitas. Setiap fragmen memiliki logika sendiri sesuai dengan konteks sosial dan budaya masing-masing, baik secara geografis maupun historis. Tidak ada kesatuan universal dalam memahami sejarah karena sifat diskontinuitasnya.
Sejarah terdiri dari fragmen-fragmen yang disusun secara acak dan tidak berujung, sehingga merupakan diskontinuitas. Setiap fragmen memiliki logika sendiri sesuai dengan konteks sosial dan budaya masing-masing, baik secara geografis maupun historis. Tidak ada kesatuan universal dalam memahami sejarah karena sifat diskontinuitasnya.
Sejarah adalah diskontinuitas, hanya berupa fragmen-fragmen atu penggalan-penggalan dari
berbagai cerita yang disusun secara acak dan pada ujungnya tidak ada ujung yang merupakan ujung, ia tetap menjadi fragmen bagi satu sama lain untuk saling tetap melengkapi dan sifatnya acak tidak teratur, mungkin kalau kita memakai dialektika hegel seperti tesis bertemu anti tesis menjadi sintesis, itu bisa terjadi dalam sub-sub diskontinuitas tapi tidak terjadi pada keseleruhuan bentuk sublim dari Diskontinuitas tersebut, karena sifat dasarnya ialah hanya berupa fragmen dan acak. Kita tidak bisa memakai logika Indonesia untuk memahami logika barat karena sifatnya beda, atau yang sering disebut Heidegger sebagai Faksititas-faksititas tertentu itu tidak bsia kita gunakan karena fragmen yang sudah terjadi pada pola pikir masyarakat Indonesia berbeda dengan pola pikir masyarakat barat ataupun sebaliknya, masing-masing lokal punya cara berfikir sendiri. Bahkan, lokal yang sama di penggalan waktu yang berbeda mungkin cara ber-nalar nya juga berbeda, pasti terdapat Diskontinuitas di sana, dan bahkan sifat dari diskontinui ini sendiri bisa progresif, bisa regresif, dan bisa mundur, dan kita susah untuk mencari hubungan sebab-akibatnya. Karena, masing-masing fragmen ada logika nya masing-masing. Sebuah penangkapan terhadap Universalitas adalah hanya tindakan yang berujung pada sia-sia belaka, melihat hakekat, esensi, semua itu tidak ada semua itu sebuah bentuk yang utuh atau tunggul atau inti, itu sama sekali tidak ada, karena sifatnya hanya berupa penggalan demi penggalan yang membentuk sebuah satu formasi yang baru yang mana bukan merupakan sebuah Universalitas luhur atau tunggal, melainkan hanya berupa komponen-komponen alat bantu sebuah fragmen yang menjadikannya sejarah. Kita harus mampu menilai menggunakan fragmen yang ada pada saat itu walaupun memang berasal dari masa lalu tetapi cara kita untuk menilai suatu fragmen itu ialah menggunakan visual kontemporer karena berupa gabungan-gabungan, jangan di generalisir apa-pun. Masing-masing fragmen tetap memiliki logicnya sendiri. Dari sini nanti maka lahirlah sebuah pandangan baru dalam menilisik sebuah sejarah yaitu Epistem