Anda di halaman 1dari 19

Kerukunan dan Toleransi umat beragama dalam

pandangan Hindu
Kerukunan hidup beragama
Kerukunan umat beragama berarti antara pemeluk-pemeluk agama yang berbeda bersedia secara
sadar hidup rukun dan damai. Hidup rukun dan damai dilandasi oleh toleransi, saling pengertian,
saling menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan dan bekerjasama dalam kehidupan
sosial di masyarakat. Hidup rukun artinya hidup bersama dalam masyarakat secara damai, saling
menghormati dan saling bergotong royong/bekerjasama.

Manusia ditakdirkan Hyang Widdhi sebagai makhluk sosial yang membutuhkan hubungan dan
interaksi sosial dengan sesama manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kerja sama
dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan material, kebutuhan
spiritual, maupun kebutuhan akan rasa aman.

Kitab Weda (Kitab suci Umat Hindu) memerintahkan manusia untuk selalu menjalankan Tri Hita
Karana Yaitu : selalu berbakti kepada Hyang Widdhi, hidup rukun dengan alam lingkungan, serta
hidup rukun dengan sesama umat manusia. Dalam menjalin hubungan dengan umat manusia,
diperinthkan untuk selalu rukun tanpa memandang : ras, kebangsaan, suku, agama, orang asing,
pribumi maupun pendatang, dls. Sehingga umat Hindu selalu berdoa sebagai berikut :

Samjnanam nah svebhih, Samjnanam aranebhih, Samjnanam asvina yunam, ihasmasu ni


‘acchalam.(Atharvaveda VII.52.1

Artinya :

Semoga kami memiliki kerukunan yang sama dengan orang-orang yang dikenal dengan akrab,
Semoga kami memiliki kerukunan yang sama dengan orang-orang asing, semoga Engkau
memberkahi kami dengan keserasian (kerukunan/keharmonisan)

Janam bibhrati bahudha vivacasam, nanadharmanam prthivi yathaukasam, sahasram dhara


dravinasya me duham, dhruveva dhenur anapasphuranti ( Atharvaveda XII.I.45)

Artinya :

Semua orang berbicara dengan bahasa yang berbeda-beda, dan memeluk Agama (kepercayaan)
yang berbeda-beda, Sehingga Bumi Pertiwi bagaikan sebuah keluarga yang memikul
beban. Semoga Ia melimpahkan kemakmuran kepada kita dan menumbuhkan penghormatan
diantara kita, seperti seekor sapi betina kepada anak-anaknya

Bahkan umat Hindu selalu berdoa untuk keselamatan seluruh mahluk hidup, seperti bait ke 5 Puja
Trisandya yang wajib dilantunkan 3 (tiga) kali dalam sehari oleh umat Hindu yang taat :

Om Ksamasva mam mahadewa, sarwaprani hitangkara, mam moca sarwa papebyah, palayaswa
Sadasiwa) yang artinya : Hyang Widdhi ampunilah hamba, semoga semua mahluk
hidup (Sarwaprani) memperoleh keselamatan( hitangkara ),bebaskan hamba dari segala dosa
dan lindungilan hamba. (Keterangan. : Mahadewa dan Sadasiwa adalah nama-nama ke-Maha
Kuasa-an Hyang Widdhi Wasa/Tuhan YME).

Perintah-perintah Hyang Widdhi kepada manusia supaya selalu hidup rukun


Didalam pustaka suci weda terdapat perintah-perintah Hyang Widhi tentang hidup rukun
diantaranya :

1. Tri Hita Karana.


2. Tri Kaya Parisudha,
3. Catur paramita
4. Tat Twam Asi

1. Tri Hita Karana

Tri Hita Karana artinya tiga penyebab kebahagiaan yaitu :


1. Membina hubungan yang harmonis antara manusia dengan Hyang Widdhi Wasa/ Tuhan YME
(Parahyangan)
2. Membina hubungan harmonis antara manusia dengan manusia tanpa membedakan asal usul, ras,
suku, agama, kebangsaan dll. (Pawongan)
3. Membina hubungan harmonis antara manusia dengan alam lingkungan(Palemahan)

Ketiga-tiga hubungan yang harmonis ini dapat mendatangkan kebahagiaan, kedamaian, kerukunan
bagi kehidupan manusia.

Musuh-musuh dalam diri manusia penyebab terganggunya


Kerukunan dan ketentraman :
Ada enam musuh utama dalam diri manusia yang harus dikalahkan untuk meningkatkan
spiritualitas manusia, sekaligus bermanfaat menciptakan kerukunan dan kedamaian Umat
manusia. Ke-enam musuh yang ada pada manusia disebut Sad Ripu yaitu :
1. Kama artinya sifat penuh nafsu indriya terutama nafsu sex.
2. Lobha artinya sifat loba dan serakah.
3. Krodha artinya sifat pemarah/mudah marah.
4. Mada artinya sifat suka mabuk-mabukan
5. Moha artinya sifat angkuh dan sombong.
6. Matsarya artinya sifat dengki dan iri hati

Selain enam musuh utama dalam diri manusia yang harus dikalahkan, adalagi yang disebut Sad
Atatayi, yaitu enam kejahatan yang membuat manusia menderita, sehingga dilarang untuk
dilakukan yaitu :

1. Agnida: membakar milik orang lain.


2. Wisada: meracuni dengan racun ( insektisida maupun bahan kimia atau obat-obat terlarang)
orang lain atau mahluk lain.
3. Atharwa: menggunakan ilmu hitam (black magic, misalnya santet, sihir, gendam, leak dll)
untuk menyengsarakan orang lain.
4. Sastraghna: mengamuk atau membunuh .
5. Dratikrama: memperkosa termasuk juga pelecehan sexual.
6. Rajapisuna: memfitnah

Dalam Bhagavadgita XVI.21-22. Kama (nafsu sex), krodha (marah) dan lobha(serakah)
disebutkan sebagai tiga jalan menuju neraka (Triwidham narakasye’dam), Jalan untuk menuju
kehancuran diri (dwaram nasanam atmanah ), sehingga ketiganya harus disingkirkan (tasmad etat
trayam tyajet) dari diri manusia. Orang yang bisa membebaskan diri dari Kemarahan,
Keserakahan, dan Nafsu sexual yang tidak pantas dan berbuat untuk kemuliaan Tuhan
YME akhirnya bisa mencapai tempat yang tertinggi ( sorga bahkan moksa)

Kerukunan beragama dalam sejarah di Indonesia

Pada masa kerajaan-kerajaan di Indonesia, perselisihan antara sekte-sekte agama


Hindu (sekte: Brahmanisme, Waisnawa, Siwaisme, Pasupata, Sora, Kala,
Sakta, Bairawa, Ganapateya dll) dirukunkan oleh Mpu Kuturan. Mpu Kuturan yang
menjabat sebagai penasehat Raja Udayana ( Th.989-1011 M) menggabungkan berbagai
sekte keagamaan Hindu yang ada di Bali menjadi tiga sekte besar. Mpu Kuturan
memperkenalkan konsep Tri Murti yang diaktualisasikan dalam bentuk Kahyangan Tiga,
yaitu : Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem, yang disungsung oleh tiap-tiap Desa
pekraman(desa Adat) di Bali.

Perbedaan antara Siwaisme dan Budisme di Indonesia, dirukunkan oleh Mpu Tantular di
jaman Majapahit(Th.1380 M) menjadi Agama Siwa-Budha, yang tertuang dalam buku
Sutasoma, dimana Purusadha mewakili Siwaisme dan Sutasoma mewakili
Budhisme. Didalam Buku Sutasoma terdapat kalimat “Bhineka Tunggal Ika, tan hana
dharma mangrwa “,artinya : Meskipun berbeda-beda tetap Satu, tidak ada kebenaran
mendua.

Penyatuan sekte-sekte ini tidak bertentangan dengan Weda, kitab sucinya umat Hindu, kitab
yang berasal dari Hyang Widdhi, seperti dinyatakan langsung oleh Hyang Widdhi dalam BG.
XV.15” Weda ntakrid wedawid ewa ca ‘ham/Akulah pencipta weda dan Aku yang mengetahui
isi weda. Kitab Weda disebut juga sastrawiddhi/ sastra brahman karena berasal dari Hyang
Widdhi/Brahman/Tuhan YME.

Didalam Weda (Rg.Veda I.64.46) terdapat mantra berikut : Ekam sadvipra bahudha
vadanti, yang artinya : Ia adalah Esa (Ekam Sad=Ia Satu/Esa). Para bijaksana(Vipra=orang bijak)
menyebut dengan berbagai nama (bahudha vadanti=menyebut dengan berbagai nama ).

Penyatuan Siwa-Budha tidak otomatis membuat umat Budhis menjadi Siwaisme atau sebaliknya
penganut Siwaisme menjadi Budhis. Penyatuan hanya dalam tataran sosial
kemasyarakatan.Dengan konsep agama Siwa-Budha para menganut Siwaisme dan Budhisme bisa
hidup rukun, meski tetap dalam perbedaan tata cara ritual, tempat ibadah maupun penyebutan
terhadap nama Tuhan Yang Maha Esa.
Bahkan saat upacara besar seperti Tawur Agung ke Sanga, menjelang tahun baru
Saka/NYEPI), ke empat Pendeta yaitu, Pendeta Siwa, Pendeta Waisnawa, Pendeta dari
Brahmanisme dan Pendeta Buddha secara bersama-sama muput upacara Tawur Agung Kesanga.

Untuk mendapat gambaran lebih lanjut, di bawah ini akan


disampaikan beberapa mantra/sloka Kerukunan yang terdapat dalam
Kitab Weda :
1. Mantra-mantra yang memerintahkan manusia saling mencintai satu dengan
lainnya, berkata-kata yang lembut, menahan nafsu dan amarah dan pengendalian
diri/pengendalian indriya.

Wahai umat manusia, Aku memberimu sifat-sifat ketulusan, keikhlasan, mentalitas yang
sama dan perasaan berkawan tanpa kebencian (permusuhan). Seperti halnya induk sapi
mencintai anak-anaknya yang baru lahir, begitulah seharusnya kalian saling mencintai satu
sama yang lain.( Sahrdayam sammanasyam, avidvesam krnomi vah, anyo anyam abhi
haryata, vatsam jatam ivighnya) ( Atharvaveda III. 30.1)

Wahai umat manusia, berbicaralah dengan kata-kata yang lebih manis dari pada mentega
dan madu yang dijernihkan (Ghrtat svadiyo madhunas ‘cavovata) ( Rg.veda. VIII.24.20)

Seseorang yang berbicara dengan kata-kata yang manis menerima berkah (dari
Hyang Widdhi ) (Apnoti sukta vakena asisah )( YayurvedaXIX.29)

Dia yang dapat menahan nafsu birahi dan amarah didunia ini, sebelum meninggalkan jasad
raganya, dia adalah Yogi, dia adalah orang yang bahagia. (Saknoti ‘hai wa yah
sodhum, prak sarira wimoksanat, kamakrodhadbhawam wegam, sa yuktah sa sukhi
’narah). (Bhagavadgita V.23)

Menguasai panca indriya, perasaan dan pikiran, seseorang Muni yang berhasrat mencapai
kelepasan (moksa), membuang jauh-jauh nafsu, takut dan murka/marah, mereka akan
mencapai moksa. ( Yatendriya mano bhuddir, munir moksaparayanah, wigateccha bhaya
krodha, yah sada mukta cwasah). (Bhagavadgita V.28)

2. Mantra-Mantra yang memerintahkan untuk saling bertoleransi dalam ber-agama/


berkepercayaan kepada Tuhan YME dan tidak saling bermusuhan dan selalu
mengusahakan kesejahteraan umat manusia

Aku tidak pernah iri dan selalu bersikap adil terhadap semua mahluk, bagi-Ku tidak ada
yang paling Aku benci dan tidak ada yang paling Aku kasihi, tetapi yang berbakti kepadaku,
Dia berada pada-Ku dan Aku bersamanya /Samo ‘ham sarvabhutesa, na medewsyo ‘sti na
priyah, ye bhajanti tu mam bhaktya, mayite besu ca’pyaham, (Bhagavadgita IX.29)
Deng
analan apapun manusia mendekati-Ku, semuanya Kuterima sama, manusia menuju
jalan-Ku dari berbagai jalan. /Ye Yatha Mam Prapadyante,Tams Tathal Va Bhajamy
Aham, Mama Vartma Nuvartante, Manusyah Partha Arvasah, (Bhagawadgita,
IV.11)

Apapun bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut Agama, Aku perlakukan
kepercayaan mereka sama, supaya tetap teguh dan sejahtera/Yo yo yam yam tanum
bhaktah,sraddaya 'rcitum icchati, tasya-tasya calam sraddham, tam ewa
widadhamyaham (BG.VII.21)

Berpegang teguh pada kepercayaan itu, mereka berbakti pada keyakinan itu pula dan dari
padanya memperoleh harapan mereka, yang sebenarnya hanya dikabulkan oleh-Ku/ Sa taya
sraddhaya yuktas, tasya radhanam ihate, labhate ca tatah kaman, mayai wa wihitan hi tah,
(Bhagavadgita VII.22)

Akan tetapi hasil yang didapat mereka, orang-orang yang berpikiran picik adalah sementara, Yang
menyembah Dewata pergi ke pemujaan Dewa-dewa, tetapi para pemuja-Ku datang langsung
kepada-Ku/ Antawat tu phalam sesam, tad bhawatu alpamedhasam, dewam dewayajo yanti, mad
bhakta yanti mamapi ( Bhagavadgita VII.23).

Yang bekerja untuk-Ku,menjadikan Aku sebagai tujuan utama,selalu berbakti kepada-Ku, tiada
bermusuhan tehadap semua insani ( semua umat manusia), dia sampai kepada-Ku/Matkarmakrin
matparamo, madbhaktah sangavarjitah, nirvairah sarvabhuteshu, yah sa mam eti (BG. XI.55)

Dengan menahan panca indrya dan hawa nafsu, selalu seimbang (tenang) dalam segala situasi,
selalu berusaha untuk kesejahteraan umat manusia (semua insani), mereka juga sampai kepada-
Ku/Samniyamye ‘ndriyagramam, sarvatrasamabuddhayah, te prapnuvanti mam eva, sarvebhutahite
ratah (BG.XII.4)
3. Perintah Hyang Widdhi supaya umat manusia hidup Bersatu dan Rukun

Didalam Atharvaveda III.30.4 . Hyang Widdhi bersabda :

Wahai umat Manusia, persatuanlah yang menyatukan semua para Dewa, Aku memberikan yang
sama kepadamu juga sehingga kalian mampu menciptakan persatuan diantara kalian./ Yena deva
naviyanti, no ca vidvisate mithah, tat krnmo brahma vo grhe,samjnanam purunebhyah

Karena Aku berada dalam tubuh manusia, mereka yang dunggu tidak menghiraukan Aku, tidak
mengetahui prakerti-Ku yang lebih tinggi, sebagai raja agung alam semesta/Awajananti mam
mudha, manusim tanum asritam, param bhawam ajananto, mama bhutamaheswaram (BG. IX.11)
Dia yang melihat Tuhan bersemayam didalam semua mahluk, yang tidak dapat dimusnahkan,
walaupun berada pada mereka yang dapat musnah, sesungguhnya ialah yang melihat. (BG.
XIII.27))/samam sarwesu bhutesu, tistantam parameswaram, winasyatawa awinasyantam,yah pasyati
sa pasyati

Sesungguhnya ia yang melihat Tuhan bersemayam sama dimana-mana, ia tidak akan menyakiti
jiwa dengan jiwa dan ia pun mencapai tujuan utama(BG.XIII.28)/Samam pasyani hi sarwatra, sama
wasthitam iswaram,na hinasty atmana’tmanam,tato yati param gatim(BG.XIII.28)

Dari beberapa kutipan tersebu dapat ditarik kesimpulan bahwa semua manusia
diperintahkan untuk hidup rukun dan hidup saling hormat mengormati, karena didalam
diri manusia terdapat dzat hidup yang merupakan percikan Tuhan yaitu Atma. Atman
Brahman Aikiam yang artinya setiap orang mempunyai inti dari percikan suci yang sama
yaitu Brahman/Tuhan YME. Sehingga setiap orang harus memperlakukan orang lain ( tidak
perduli suku, ras, kebangsaan, kepercayaan, agama dll) sama. Seperti ia memperlakukan
dirinya sendiri. Karena semua mahluk hidup berasal dari dzat yang sama, maka semua
mahluk adalah satu keluarga, disebut juga Vasudaiva kutumbakam

Fanatisme buta menutup toleransi dan kerukunan umat beragama


Keyakinan terhadap perintah Trikayaparisudha, Tat Wam Asi, Tri Hita Karana, catur
paramita serta Atman Brahman Aikiam, Sad Ripu dan Sad Atatayimenuntun manusia untuk
mensucikan diri dari kebodohan dan kegelapan batin, dan menjauhkan diri dari sikap marah,
serakah dan nafsu. Sikap-sikap negatif yang sering muncul diakibatkan oleh ketidaktahuan
(avidya), juga didorong oleh sikap fanatisme buta yaitu sikap yang tidak mau menerima kebenaran
dari sumber lain (buku-buku lain), suatu sikap yang hanya meyakini kebenaran mutlak hanya ada
pada satu sumber.

Penganut sikap fanatisme buta ini tidak menyadari bahwa Tuhan YME adalah maha
segalanya, sehingga membatasi kemahakuasaannya hanya pada satu kelompok agama,
atau satu kelompok bangsa tertentu. Fanatisme yang buta sering menganggap rendah
agama lain namun sensitif terhadap agamanya sendiri. Sikap seperti ini sering
sekali meminta korban darah bahkan nyawa manusia untuk dipersembahkan atas
nama Tuhannya.

Munculnya sikap fanatisme buta semata-mata karena pengetahuan dan pemahaman yang
sempit terhadap agamanya sendiri dan tidak membuka diri untuk mengetahui kebenaran
dari sumber-sumber lain.

Di samping sikap fanatisme buta tersebut ada juga sikap yang toleran yang dapat
mewujudkan rasa kerukunan umat beragama, sikap taat pada agama yang dipeluknya tetapi
tidak merendahkan agama lain. Sikap semacam ini muncul karena memiliki pengetahuan
yang baik tentang agamanya dan juga membuka diri untuk mendengar kebenaran lain dari
berbagai sumber, termasuk kebenaran yang terdapat dari agama lain.
KERUKUNAN HIDUP UMAT BERAGAMA

A. Pengertian Kerukunan Umat Beragama


Dalam ajaran Hindu dikenal adanya butir-butir kerukunan sebagai berikut : Tri Hita Karana, Tri Kaya
Parisudha dan Tat Twam Asi.
Tri Hita Karana
Secara harfiah Tri Hita Karana dapat diartikan tiga penyebab kebahagiaan. (tri artinya tiga, hita artinya
kebahagiaan, dan karana artinya penyebab).
Unsur-unsur Tri Hita Karana adalah :
 Parhyangan, yaitu membina hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
 Pawongan, yaitu membina hubungan yang harmonis antara sesama manusia sehingga tercipta
keselarasan, keserasian dan keseimbangan.
 Palemahan, yaitu membina hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam lingkungannya.
Secara keseluruhan Tri Hita Karana merupakan tiga unsur keseimbangan hubungan Manusia dengan
Tuhan, hubungan Manusia dengan Manusia dan hubungan Manusia dengan alam lingkungannya yang
dapat mendatangkan kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan bagi kehidupan manusia. Ketiga unsur
tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan karena merupakan penyebab yang satu dengan yang lainnya
berjalan secara bersamaan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Manusia senantiasa ingat akan
kebesaran dan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa taqwa kepada Tuhan, senantiasa mohon
keselamatan dan senantiasa pula tidak lupa memohon ampun atas segala kesalahan yang diperbuat baik
kesalahan dalam berpikir, berkata maupun kesalahan dalam perbuatan yang nyata dalam kehidupan
sehari-hari.
Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain atau berhubungan sesama manusia dengan
mengembangkan sikap saling asah, saling asih dan saling asuh sehingga tercipta kerukunan hidup yang
selaras, serasi dan seimbang sesuai dengan sloka yang terdapat dalam Kekawin Ramayana : ….. Prihen
temen dharma dumeranang sarat, Saraga Sang Sadhu sireka tutana, Tan harta tan kama pidonya tan
yasa, Ya sakti Sang Sajjana dharma raksaka …. dst. Manusia senantiasa berhubungan dengan alam
lingkungannya dengan maksud untuk melestarikannya demi tercapainya kesejahteraan dan kedamaian
dalam kehidupan sehari-hari untuk mewujudkan kebahagiaan yang kekal baik di dunia maupun di akhirat
kemudian hari. Merusak alam lingkungan sama artinya merusak kehidupan manusia itu sendiri karena
segala kebutuhan manusia terdapat dalam lingkungan alam itu sendiri, baik binatang maupun tumbuh-
tumbuhan dan segala sesuatu yang terpendam di dalam alam semesta sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha
Esa.
Tat Twam Asi
Apabila diterjemahkan secara artikulasi Tat Twam Asi berarti Itu adalah Kamu atau Kamu adalah Itu.
Dalam pergaulan hidup sehari-hari hendaknya manusia senantiasa berpedoman kepada Tat Twam Asi,
sehingga tidak mudah melaksanakan perbuatan yang dapat menyinggung perasaan bahkan dapat
menyakiti hati orang lain dan pada akhirnya menimbulkan rasa iri hati dan benci. Tat Twam Asi menjurus
kepada Tepa Selira atau Tenggang Rasa yang dapat menuntun sikap dan prilaku manusia senantiasa tidak
melaksanakan perbuatan yang dapat menimbulkan sakit hati sehingga terjadi perpecahan dan
permusuhan.
Oleh karena itu janganlah suka menyakiti hati orang lain karena pada hakikatnya apa yang dirasakan
oleh orang lain seyogyanya kita rasakan juga. Jikalau kita memukul orang akan dirasakan sakit lalu
bagaimana kalau kita dipukul orang lain pasti akan sakit pula. Marilah kita membiasakan diri untuk
senantiasa menaruh rasa simpati kepada orang lain sehingga tidak pernah terlintas dalam hati untuk
berbuat yang dapat menyakiti orang lain, vasudeva kuthumbhakam : kita semua bersaudara. “Salahkanlah
diri sendiri terlebih dahulu sebelum menyalahkan orang”. “Senantiasalah mengoreksi diri sebelum
mengoreksi orang lain”. Untuk mendapat gambaran lebih lanjut di bawah ini akan disampaikan beberapa
sloka Kerukunan yang terdapat dalam Kitab Suci Agama Hindu sebagai berikut :
Sam Gacchadhvan Sam Vadadhvam, Sam Vo Manamsi Janatam, Deva Bhagam Yatha Purvo,
Sanjanano Upasate (Rg Veda X.191.2)
Berkumpul-kumpullah, bermusyawarahlah, Satu sama lain satukanlah semua pikiranmu, Dewa pada
jaman dulu, Senantiasa dapat bersatu.
Samani Va Akutih, Samana Hrdayani Vah, Samana Astu Vo Mano, Yatha Va Susahasati, (Rg Veda
X.191.4)
Samalah hendaknya tujuanmu, Samalah hendaknya hatimu, Samalah hendaknya pikiranmu, Semoga
semua hidup bahagia bersama.
Sarve Mandati Yasa Sagatena, Sabhasahena Sakhya Sakhyayah, Kilbisah Prt Pitusanir Hyosamaram,
Hito Bhavati Vajinaya, (Rg Veda X.17.10)
Semua teman senang hati dalam persahabatan yang dating, Dengan kejayaan setelah berhasil dalam
permusyawaratan, Tuhan sesungguhnya pelindung kita dari kejahatan, Yang memberi makan, bersiap baik
untuk pemulihan.
Yadi Na Syurmanusyesu, Ksaminah Prtivismah, Na Syat Sakhyam Manusyanam, Krodhamulahi
Vigrahah, (Sarasamuscaya, 94)
Apabila tidak ada orang yang ksamawan, sabar, tahan uji, Bagaikan Ibu Pertiwi niscaya tidak ada
kepastian persahabatan, Melainkanjiwa murka menyelubungi sekalian makhluk. Karenanya pasti
bertengkar satu sama lainnya.
Japye Nalva Samsidhyed, Brahmano Natra Samcayah, Kuryan Anyan Na Va Kuryan, Maitro Brahmana
Ncyate, (Manawa Dharmasastra II, 87)
Tak dapat disangkal lagi seorang yang utama, Dapat mencapai tujuan yang tertinggi dengan
mengucapkan mantra, Apakah ia melakukan yadnya melalui orang lain atau melalai-kannya, Ia yang
bersahabat dengan semua makhluk dinyatakan manusia utama.
Ye Yatha Mam Prapadyante, Tams Tathal Va Bhajamy Aham, Mama Vartma Nuvartante, Manusyah
Partha Arvasah, (Bhagawadgita, IV.II)
Jalan manapun ditempuh manusia, ke arah-Ku semuanya Kuterima, Dari mana-mana semua mereka
Devan Bhavayana Nana, Te Deva Bhavayantu Vah, Parasparam Bhavayantah, Suyah Param
Avapsyatha, (Bhagawadgita, III,II)
Dengan ini pujalah dewata, Semoga dewata memberkati engkau, Dengan saling menghormati begini,
Engkau mencapai kebajikan tertinggi
Dari beberapa kutipan yang terdapat dalam Kitab Suci tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
semua manusia mendambakan adanya penyesuaian pikiran dan tujuan untuk mencapai hidup bersama
yang bahagia. Hal tersebut sekaligus untuk mengantisipasi sikap-sikap yang negatif yang sering muncul
dalam masyarakat kita yang majemuk seperti misalnya sikap fanatisme buta yaitu sikap yang meyakini
kebenaran mutlak yang ada pada agama yang dipeluknya. Menurutnya hanya ada satu agama yang benar
yaitu agamanya sendiri dan tidak ada agama lain. Tuhan yang Satu (Esa) hanya menurunkan satu agama
saja dan tidak mungkin menurunkan agama yang berbeda. Hanya ada satu Kitab Suci yang berdasarkan
wahyu, sedangkan Kitab Suci yang lain adalah buatan manusia atau wahyu yang diselewengkan. Penganut
sikap fanatisme buta ini menganggap rendah agama lain namun sensitif terhadap agamanya sendiri. Sikap
semacam ini banyak menimbulkan ketegangan, pertengkaran dan permusuhan antar agama. Munculnya
sikap semacam itu semata-mata muncul karena pengetahuan dan pemahaman yang sempit terhadap
agamanya sendiri dan tidak mengetahui keberadaan agama yang lain.Di samping sikap fanatisme buta
tersebut perlu dipahami sikap yang toleransi yang dapat mewujudkan rasa kerukunan umat beragama.
Sikap toleransi adalah sikap menghormati agama yang dipeluknya tetapi tidak merendahkan agama lain.
Sikap semacam ini muncul apabila kita memiliki pengetahuan yang baik tentang agama kita dan juga
agama orang lain.
Kerukunan umat beragama berarti antara pemeluk-pemeluk agama yang berbeda bersedia secara
sadar hidup rukun dan damai. Hidup rukun dan damai dilandasi oleh toleransi, saling pengertian, saling
menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan dan bekerjasama dalam kehidupan sosial di
masyarakat. Hidup rukun artinya hidup bersama dalam masyarakat secara damai, saling menghormati dan
saling bergotong royong/bekerjasama. Manusia ditakdirkan Hyang Widdhi sebagai makhluk sosial yang
membutuhkan hubungan dan interaksi sosial dengan sesama manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia
memerlukan kerja sama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan
material, kebutuhan spiritual, maupun kebutuhan akan rasa aman. Kitab Weda (Kitab suci Umat
Hindu) memerintahkan manusia untuk selalu menjalankan Tri Hita Karana Yaitu : selalu berbakti kepada
Hyang Widdhi, hidup rukun dengan alam lingkungan, serta hidup rukun dengan sesama
umat manusia. Dalam menjalin hubungan dengan umat manusia, diperinthkan untuk selalu rukun tanpa
memandang : ras, kebangsaan, suku, agama, orang asing, pribumi maupun pendatang, dls. Sehingga
umat Hindu selalu berdoa sebagai berikut :
Samjnanam nah svebhih, Samjnanam aranebhih, Samjnanam asvina yunam, ihasmasu ni
‘acchalam.(Atharvaveda VII.52.1
Artinya :
Semoga kami memiliki kerukunan yang sama dengan orang-orang yang dikenal dengan akrab, Semoga
kami memiliki kerukunan yang sama dengan orang-orang asing, semoga Engkau memberkahi kami
dengan keserasian (kerukunan/keharmonisan)

Janam bibhrati bahudha vivacasam, nanadharmanam prthivi yathaukasam, sahasram dhara dravinasya
me duham, dhruveva dhenur anapasphuranti ( Atharvaveda XII.I.45)
Artinya :
Semua orang berbicara dengan bahasa yang berbeda-beda, dan memeluk Agama (kepercayaan) yang
berbeda-beda, Sehingga Bumi Pertiwi bagaikan sebuah keluarga yang memikul beban. Semoga Ia
melimpahkan kemakmuran kepada kita dan menumbuhkan penghormatan diantara kita, seperti seekor
sapi betina kepada anak-anaknya

Bahkan umat Hindu selalu berdoa untuk keselamatan seluruh mahluk hidup, seperti bait ke 5 Puja
Trisandya yang wajib dilantunkan 3 (tiga) kali dalam sehari oleh umat Hindu yang taat :

Om Ksamasva mam mahadewa, sarwaprani hitangkara, mam moca sarwa papebyah, palayaswa
Sadasiwa) yang artinya : Hyang Widdhi ampunilah hamba, semoga semua mahluk hidup (Sarwaprani)
memperoleh keselamatan ( hitangkara ),bebaskan hamba dari segala dosa dan lindungilan hamba.
(Keterangan. : Mahadewa dan Sadasiwa adalah nama-nama ke-Maha Kuasa-an Hyang Widdhi
Wasa/Tuhan YME).

Perintah-perintah Hyang Widdhi kepada manusia supaya selalu hidup rukun. Didalam pustaka suci weda
terdapat perintah-perintah Hyang Widhi tentang hidup rukun diantaranya :
1. Tri Hita Karana.
2. Tri Kaya Parisudha,
3. Catur paramita
4. Tat Twam Asi
1. Tri Hita Karana
Tri Hita Karana artinya tiga penyebab kebahagiaan yaitu :
1. Membina hubungan yang harmonis antara manusia dengan Hyang Widdhi Wasa/ Tuhan YME
(Parahyangan)
2. Membina hubungan harmonis antara manusia dengan manusia tanpa membedakan asal usul, ras,
suku, agama, kebangsaan dll. (Pawongan)
3. Membina hubungan harmonis antara manusia dengan alam lingkungan(Palemahan)
Ketiga-tiga hubungan yang harmonis ini dapat mendatangkan kebahagiaan, kedamaian, kerukunan bagi
kehidupan manusia.
2. Tri Kaya Parisudha
Tri Kaya Parisudha artinya tiga perilaku yang harus disucikan yaitu :
1.Manacika Parisudha, yaitu mensucikan pikiran, antara lain: selalu berpikir positif terhadap orang lain,
berpikir tenang (manahprasadah), lemah lembut (saumyatwam), pendiam (maunam), mengendalikan diri
(atmawinigrahah), jiwa suci/lurus hati (bhawasamsuddir).
2. Wacika Parisudha, yaitu mensucikan ucapan, antara lain : berkata yang lemah lembut, berkata yang
tidak melukai hati/tidak menyinggung perasaan/tidak menyebabkan orang marah (anudwegakaram
wakyam), berkata yang benar(satyam wakyam/satya wacana), berkata-kata yang menyenangkan
(priyahitam wakyam), dapat dipercaya dan berguna.
3.Kayika Parisudha, yaitu mensucikan perbuatan, antara lain : bertingkah laku yang santun, hormat
pada para orang suci/pendeta, hormat pada para guru, hormat pada orang yang arif
bijaksana, berperilaku suci( saucam), benar (arjawa), tidak menyakiti/membunuh mahluk lain (ahimsa).
Tri kaya Parisudha merupakan petunjuk Hyang Widdhi (BG.XVII.14-16) kepada manusia dalam
mencapai kesempurnaan Hidup. Trikaya parisudha diperintahkan supaya setiap orang selalu berpikir
positip terhadap orang lain, berkata-kata yang lemah lembut dan menyenangkan orang lain, serta
menghindari berperilaku yang membuat orang lain tidak senang. Melaksanakan Trikaya parisudha untuk
menghindari adanya rasa kurang menghormati harkat dan martabat manusia yang dapat menimbulkan
kemarahan dan rasa dendam yang berkepanjangan di antara sesama manusia.
3. Catur Paramita
Di samping itu dalam pergaulanya di masyarakat manusia diperintahkan untuk selalu mendasarkan
tingkah lakunya kepada “Catur Paramita” yaitu :
1. Maitri, mengembangkan rasa kasih sayang.
2. Mudhita, membuat orang simpati.
3. Karuna, suka menolong.
4. Upeksa, mewujudkan keserasian, keselarasan, kerukunan dan keseimbangan
4. Tat Twam Asi
Apabila diterjemahkan secara artikulasi Tat Twam Asi berarti Itu adalah Aku atau kamu adalah aku.
Dalam pergaulan hidup sehari-hari manusia diperintahkan selalu berpedoman kepada Tat Twam Asi,
sehingga tidak mudah melaksanakan perbuatan yang dapat menyinggung perasaan bahkan dapat
menyakiti hati orang lain dan pada akhirnya menimbulkan rasa iri hati benci dan kemarahan. Dengan
menganggap orang lain adalah diri kita sendiri, berarti kita memperlakukan orang lain, seperti apa yang
ingin orang lain lakukan terhadap kita. Tat Twam Asi menjurus kepada Tepa Selira atau Tenggang Rasa
yang menuntun manusia dalam berpikir, berkata-kata dan berperilaku, sehingga tidak berpikir negatif
terhadap orang lain, tidak berkata-kata yang dapat menyinggung perasaan orang lain, dan tidak
berperilaku yang dapat merugikan orang lain.
Musuh-musuh dalam diri manusia penyebab terganggunya Kerukunan dan ketentraman :
Ada enam musuh utama dalam diri manusia yang harus dikalahkan untuk meningkatkan spiritualitas
manusia, sekaligus bermanfaat menciptakan kerukunan dan kedamaian Umat manusia. Ke-enam musuh
yang ada pada manusia disebut Sad Ripu yaitu :
1. Kama artinya sifat penuh nafsu indriya terutama nafsu sex.
2. Lobha artinya sifat loba dan serakah.
3. Krodha artinya sifat pemarah/mudah marah.
4. Mada artinya sifat suka mabuk-mabukan
5. Moha artinya sifat angkuh dan sombong.
6. Matsarya artinya sifat dengki dan iri hati
Selain enam musuh utama dalam diri manusia yang harus dikalahkan, adalagi yang disebut Sad
Atatayi, yaitu enam kejahatan yang membuat manusia menderita, sehingga dilarang untuk
dilakukan yaitu :
1. Agnida: membakar milik orang lain.
2. Wisada: meracuni dengan racun ( insektisida maupun bahan kimia atau obat-obat terlarang) orang lain
atau mahluk lain.
3. Atharwa: menggunakan ilmu hitam (black magic, misalnya santet, sihir, gendam, leak dll) untuk
menyengsarakan orang lain.
4. Sastraghna: mengamuk atau membunuh .
5. Dratikrama: memperkosa termasuk juga pelecehan sexual.
6. Rajapisuna: memfitnah
Dalam Bhagavadgita XVI.21-22. Kama (nafsu sex), krodha (marah) dan lobha (serakah) disebutkan
sebagai tiga jalan menuju neraka (Triwidham narakasye’dam), Jalan untuk menuju kehancuran diri
(dwaram nasanam atmanah ), sehingga ketiganya harus disingkirkan (tasmad etat trayam tyajet) dari diri
manusia. Orang yang bisa membebaskan diri dari Kemarahan, Keserakahan, dan Nafsu sexual yang tidak
pantas dan berbuat untuk kemuliaan Tuhan YME akhirnya bisa mencapai tempat yang tertinggi ( sorga
bahkan moksa). Kemarahan atau orang yang marah dapat menimbulkan penderitaan bagi orang lain.
Kemarahan yang di ujudkan dengan kekerasan, misalnya membunuh, membakar, mencelakai dan lain
sebagainya mengganggu ketentraman dan kedamaian.
Orang yang cepat marah atau sering marah-marah dapat menderita berbagai penyakit diantaranya :
serangan jantung, hipertensi, stroke dan radang lambung (maag). Kenapa orang yang sering marah atau
cepat marah mudah terserang penyakit tersebut ?, mekanismenya sebagai berikut :
Pada saat marah, tonus syaraf simpatis akan meningkat. Syaraf simpatis mempunyai target organ
diantaranya di pembuluh darah, jantung dan glandula adrenal dan ginjal. Pada pemuluh darah
menyebabkan penyempitan pembuluh darah, pada jantung menyebabkan denyut jantung meningkat, pada
glandula adrenal memacu keluarnya hormon adrenalin yang menyebabkan pembuluh darah menyempit
dan jantung berdebar-debar, sedangkan pada ginjal memacu apparatus juxta glomerularis untuk
mengeluarkan renin.... dst menyebabkan penyempitan pemuluh darah dan tertimbunnya cairan pada
pembuluh darah. Pembuluh darah menyempit sementara pompa jantung bekerja sangat kuat ditambah
tertimbunnya cairan pada pembuluh darah menyebabkan tekanan dalam pembuluh darah sangat tinggi
(Hipertensi). Tekanan darah tinggi yang tidak bisa diatasi oleh pembuluh darah bisa menyebabkan
pecahnya pembuluh darah, kalau diotak disebut STROKE dan kalau di jantung bisa menyebabkan mati
mendadak(SADDEN DEATH). Kemarahan juga memacu syaraf parasimpatis pada lambung, sehingga
lambung mengeluaran asam lambung, penyebab radang lambung (penyakit maag). Oleh karena itu
kendalikan kemarahan dengan selalu BERSABAR.
Keserakahan, misalnya: mengurangi hak orang lain, menggelapkan hak orang lain, korupsi,
memindahkan patok/batas-batas tanah, merampas secara paksa hak-hak orang lain, dll dapat
menimbulkan penderitan pada orang lain. Apabila si korban tidak bisa menerima perlakuan tersebut dapat
menimbulkan percekcokan yang ujung-ujungya kerukunan terganggu. Sedangkan Nafsu seksual yang
tidak pada tempatnya (berzinah) dapat menimbulkan berbagai penyakit kelamin, HIV/AIDS dan bahkan
menimbulkan pertengkaran. Oleh karenanya marah, serakah dan nafsu disebut dalam kitab suci Weda(BG.
XVI.21 ) merupakan tiga jalan menuju neraka, jalan menuju kahancuran diri (Triwidham
narakasye’dam,dwaram nasanam atmanah)
Kerukunan beragama dalam sejarah di Indonesia. Pada masa kerajaan-kerajaan di Indonesia, perselisihan
antara sekte-sekte agama Hindu (sekte: Brahmanisme, Waisnawa, Siwaisme, Pasupata, Sora, Kala,
Sakta, Bairawa, Ganapateya dll) dirukunkan oleh Mpu Kuturan. Mpu Kuturan yang menjabat sebagai
penasehat Raja Udayana ( Th.989-1011 M) menggabungkan berbagai sekte keagamaan Hindu yang ada
di Bali menjadi tiga sekte besar. Mpu Kuturan memperkenalkan konsep Tri Murti yang diaktualisasikan
dalam bentuk Kahyangan Tiga, yaitu : Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem, yang disungsung oleh
tiap-tiap Desa pekraman(desa Adat) di Bali.
Perbedaan antara Siwaisme dan Budisme di Indonesia, dirukunkan oleh Mpu Tantular di jaman
Majapahit(Th.1380 M) menjadi Agama Siwa-Budha, yang tertuang dalam buku Sutasoma, dimana
Purusadha mewakili Siwaisme dan Sutasoma mewakili Budhisme. Didalam Buku Sutasoma terdapat
kalimat “Bhineka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa “, artinya : Meskipun berbeda-beda tetap Satu,
tidak ada kebenaran mendua. Penyatuan sekte-sekte ini tidak bertentangan dengan Weda, kitab sucinya
umat Hindu, kitab yang berasal dari Hyang Widdhi, seperti dinyatakan langsung oleh Hyang Widdhi dalam
BG. XV.15” Weda ntakrid wedawid ewa ca ‘ham/ Akulah pencipta weda dan Aku yang mengetahui isi
weda. Kitab Weda disebut juga sastrawiddhi/ sastra brahman karena berasal dari Hyang
Widdhi/Brahman/Tuhan YME.
Didalam Weda (Rg.Veda I.64.46) terdapat mantra berikut : Ekam sadvipra bahudha vadanti, yang
artinya : Ia adalah Esa (Ekam Sad=Ia Satu/Esa). Para bijaksana(Vipra=orang bijak) menyebut dengan
berbagai nama (bahudha vadanti=menyebut dengan berbagai nama ).
Penyatuan Siwa-Budha tidak otomatis membuat umat Budhis menjadi Siwaisme atau sebaliknya penganut
Siwaisme menjadi Budhis. Penyatuan hanya dalam tataran sosial kemasyarakatan.Dengan konsep agama
Siwa-Budha para menganut Siwaisme dan Budhisme bisa hidup rukun, meski tetap dalam perbedaan tata
cara ritual, tempat ibadah maupun penyebutan terhadap nama Tuhan Yang Maha Esa. Bahkan saat
upacara besar seperti Tawur Agung ke Sanga, menjelang tahun baru Saka/NYEPI), ke empat Pendeta
yaitu, Pendeta Siwa, Pendeta Waisnawa, Pendeta dari Brahmanisme dan Pendeta Buddha secara
bersama-sama muput upacara Tawur Agung Kesanga.
B. Agama Merupakan Rahmat Bagi Semua Umat Manusia
Agama Hindu (Bahasa Sanskerta: Sanātana Dharma सनातन धर्म “Kebenaran Abadi”), dan Vaidika-
Dharma (“Pengetahuan Kebenaran”). kata Hindu berakar dari kata Sindhu. Dalam Reg Weda, bangsa Arya
menyebut wilayah mereka sebagai Sapta Sindhu (wilayah dengan tujuh sungai di barat daya anak benua
India, yang salah satu sungai tersebut bernama sungai Indus). Hal ini mendekati dengan kata Hapta-Hendu
yang termuat dalam Zend Avesta (Vendidad: Fargard 1.18) — sastra suci dari kaum Zoroaster di Iran. Pada
awalnya kata Hindu merujuk pada masyarakat yang hidup di wilayah sungai Sindhu. Kata “agama” yang
dipergunakan oleh umat Hindu dalam hidup berketuhanan Yang Maha Esa berasal dari bahasa Sanskerta
dari akar kata “gam” yang artinya “pergi” atau “perjalanan”. Urat kata “gam” ini mendapat prefix “a” yang
berarti “tidak” dan tambahan “a” di belakang yang berarti “sesuatu” atau dapat berfungsi sebagai suffix
dalam bahasa Sanskerta guna mengubah kata kerja menjadi kata sifat. Dengan demikian kata agama
diartikan “sesuatu yang tidak pergi”, tidak berubah atau tetap, langgeng (abadi). Yang tidak pernah
berubah- ubah atau kekal abadi itu hanyalah Tuhan beserta ajarannya. Sebagai suatu istilah kemudian
kata agama mengandung suatu pengertian aturan- aturan atau ajaran- ajaran yang bersumber dari Tuhan
Yang Maha Esa (Sang Hyang Widhi Wasa) diturunkan berupa wahyu (Sruti) melalui para Nabi (Maha Resi)
untuk mengatur alam semesta beserta isinya baik dalam kehidupan rohaniah maupun dalam kehidupan
jasmaniah.
DHARMA
Kata “Dharma” berasal dari bahasa Sanskerta dari akar kata “dhr” (baca: dri) yang artinya menjinjing,
memangku, memelihara, mengatur, atau menuntun. Akar kata “dhr” ini kemudian berkembang menjadi
kata dharma yang mengandung arti hukum yang mengatur dan memelihara alam semesta beserta segala
isinya. Dalam hubungan dengan peredaran alam semesta, kata dharma dapat pula berarti kodrat.
Sedangkan dalam kehidupan manusia, dharma dapat berarti ajaran, kewajiban atau peraturan- peraturan
suci yang memelihara dan menuntun manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup yaitu tingkah laku dan
budi pekerti yang luhur.
Pustaka Smrti Santi Parwa 109.11:
Dharanad dharma ityahur
Dharmena widrtah prajah
Artinya:
Kata dharma dikatakan datang dari kata Dharana (yang berarti memangku, menjunjung, atau mengatur).
Dengan dharma semua makhluk diatur. Istilah Hindu yang dipergunakan sekarang sebagai nama agama
pada umumnya tidak dikenal pada jaman klasik. Beratus- ratus tahun sebelum tahun masehi, penganut
ajaran kitab suci Weda tumbuh subur dan berkembang pesat dalam masyarakat, sehingga para ahli
menyebutkannya dengan nama agama Weda atau Jaman Weda. Kemudian Hindu dipakai nama dengan
mengambil nama tempat di mana agama itu mulai berkembang, yakni di sekitar sungai Sindu atau Indus.
Kata Sindu inilah yang kemudian berubah menjadi kata Hindu karena terkena pengaruh hukum metathesis
dalam bahasa Sanskerta di mana penggunaan huruf “s” dan “h” dapat ditukar- tukar, misalnya kata “Soma”
dapat menjadi kata Homa, kata “Satima” dapat menjadi Hatima, dan sebagainya.
Kata Hindu atau Sindu dalam bahasa Sanskerta adalah tergolong kata benda masculine, yang berarti
titik- titik air, sungai, laut, atau samudra. Air melambangkan Amrita yang diartikan air kehidupan yang kekal
abadi, dipergunakan dalam upacara- upacara agama Hindu dalam bentuk tirtha (air suci). Istilah agama
dengan istilah dharma mempunyai pengertian yang sulit dibedakan, maka dalam kaitannya dengan nama
agama Hindu biasa juga disebut Hindu Dharma, bahkan di India lebih umum nama ini dipakai.
Tujuan Agama Hindu
MOKSARTHAM JAGADHITA YA CA ITI DHARMAH
Jadi secara garis besar tujuan agama Hindu adalah untuk mengantarkan umatnya dalam mencapai
kesejahteraan hidup di dunia ini maupun mencapai moksa yaitu kebahagiaan di akhirat kelak. Di dalam
kitab suci Weda dijelaskan tujuan agama sebagai tercantum dalam sloka “Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti
Dharmah” yang artinya bahwa tujuan agama atau dharma adalah untuk mencapai jagadhita dan moksa,
dengan kata lain bahwa agama (dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani dan kesejahteraan
hidup jasmani atau kebahagiaan secara lahir dan bathin. Moksa juga disebut Mukti artinya mencapai
kebebasan jiwatman atau juga disebut mencapai kebahagiaan rohani yang langgeng di akhirat. Jagadhita
juga disebut bhukti yaitu kemakmuran dan kebahagiaan setiap orang, masyarakat, maupun negara.
Salam Agama Hindu
OM SWASTYASTU
Untuk membina hubungan yang harmonis dan mempererat rasa persaudaraan dalam pergaulan di
masyarakat, agama Hindu mengajarkan salam persaudaraan (panganjali) dengan ucapan “Om
Swastiastu”. Salam ini dapat juga dipergunakan dalam memulai dan mengakhiri suatu kegiatan. Khusus
dalam mengakhiri sesuatu kegiatan dapat juga memakai “OM SANTI, SANTI, SANTI, OM” yang artinya
semoga damai. Pada waktu mengucapkan salam, kedua tangan dicakupkan di depan dada dengan ujung
jari mengarah ke atas, tetapi kalau keadaan tidak memungkinkan, sikap ini boleh tidak dilakukan. Yang
menerima salam seyogyanya memberikan jawaban dengan ucapan “Om Swastiastu” dengan sikap yang
sama pula.
“Om” artinya Tuhan, “Su” artinya baik, “Asti” artinya ada dan “Astu” artinya semoga, jadi
keseluruhannya berarti SEMOGA SELAMAT ATAS RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Dengan
demikian maka pada setiap kegiatan telah dilaksanakan saling doa mendoakan satu sama lain.
NAMASTE
Namaste berasal dari 2 kata “Namah” yang artinya menunduk, hormat; dan “Te” yang artinya padamu,
merupakan cara yang lazim digunakan untuk menyapa atau memberi salam di Asia Selatan. Namaste
digunakan oleh multi-agama dan lebih ditekankan pada representasi arti dari “Saya Menghormati Anda”.
Ketika berbicara dengan orang lain, biasanya diikuti oleh gerakan mencakupkan kedua tangan di depan
dada. Filosofi Namaste bagi saya pribadi lebih ke arah sifat diri yang rendah hati. Sebuah ungkapan yang
dengan sangat elegan memberi penghormatan kepada siapa saja tanpa memandang atribut orang
tersebut, apakah dia kaya, miskin, rupawan, buruk, terhormat, hina, sehat, sakit, dsb. Mendalami filosofi
Namaste, mengajarkan saya untuk lebih mencintai semua ciptaan Tuhan. Tak akan ada niat untuk
menindas, membunuh, menfitnah, mencaci-maki, ataupun sekedar menggosipkan orang lain di belakang.
Tindakan-tindakan tersebut sangat melukai rasa penghormatan saya kepada sesama. Dan otomatis
mencederai rasa bakti kepada Tuhan yang saya sembah.
Menghormati orang lain sama dengan menghormati diri sendiri. Karena sejatinya, di dalam diri saya
dan orang lain memiliki satu kesamaan yang agung. Yang Agung inilah yang disebut dengan “Jiwa”. Dan
Jiwa inilah “cahaya” Tuhan yang paling kecil yang berada di dalam diri kita yang harus kita berikan
penghormatan tertinggi. Namaste…!
Lambang Agama Hindu
Lambang atau simbul dalam keagamaan merupakan sarana pengikat keyakinan umatnya untuk lebih
mendekatkan hati dan perasaannya kepada cita- cita hidup keagamaan, disebut juga Niyasa atau Murti
Puja. Agama Hindu mempergunakan Swastika sebagai lambang. Adapun bentuk asli dari lambang
SWASTIKA ialah dua garis vertikal dan horisontal bersilang sama sisi, tegak lurus di tengah- tengah
(+).Sebagai kreasi seni budaya yang selalu berkembang, Swastika juga mengalami perkembangan
sehingga kemudian menjadi berbentuk :
Swastika menggambarkan keharmonisan perputaran alam semesta dengan segala romantika,
dinamika dan dialektikanya. Hal mana pada hakekatnya menunjukkan kemahabesaran Sang Hyang Widhi
Wasa selaku Maha Pencipta. Kata Swastika berarti keselamatan atau kesejahteraan. Garis vertikal
menunjukkan keharmonisan hubungan manusia dengan pencipta- Nya yaitu Sang Hyang Widhi Wasa,
sedangkan garis horisontal menunjukkan keharmonisan hubungan manusia dengan sesamanya, termasuk
hubungan manusia dengan alam. Apabila hubungan manusia dengan penciptanya dan hubungan manusia
dengan lingkungannya terjalin dengan harmonis, maka manusia akan mendapatkan keselamatan dan
kesejahteraan. Keselamatan dan kesejahteraan adalah hakekat tujuan agama. Keempat garis di ujung-
ujung garis vertikal dan garis horisontal menunjukkan arah perputaran Swastika, yaitu berputar ke arah
kanan. Jadi Swastika juga melukiskan gerak, yaitu gerak alam semesta yang berputar ke arah kanan. Pada
hakekatnya semua isi alam juga mengalami perputaran seperti angin, air, dan sebagainya, untuk
menimbulkan keharmonisan di alam ini.
c

TRI HITA KARANA


Juni 30th, 2011

Tri Hita Karana sudah dikenal atau diterapkan sejak dulu oleh umat Hindu. Tanpa kita sadari ketiga unsur Tri Hita
Karana itu kita laksanakan dalam kehidupan kita sehari – hari, seperti hubungan manusia dengan Ida Sang Hyang
Widhi, contohnya mebanten atau sembahyang, manusia dengan manusia, contohnya saling menghormati, dan
manusia dengan lingkungan, contohnya menjaga dan merawat lingkungan tempat kita hidup.

Hubungan ketiga unsur Tri Hita Karana yang dimagsud adalah hubungan manusia dengan Tuhan Sang Pencpta,
manusia dengan manusia, dan manusia Tri Hita Karana adalah tiga hal yang menyebabkan terciptanya
kesejahteraandan kemakmuran. Tri Hita Karana terdiri dari kata “Tri” yang berarti tiga, “Hita” yang berarti kebaikan,
kesenangan, kemakmuran, kegembiraan, kebahagiaan dan “Karana” berarti dengan alam atau lingkungan.
Ada tiga hal yang tidak apat dipisahkan dari satu dengan yang lainnya dalam Tri Hita Karana, yaitu :

– Parhayangan

– Palemehan

– Pawongan

– Parhyangan

– Parhyangan berasal dari kata Hyang yang berarti Tuhan. Parhyangan berarti ketuhanan atau hal hal yang
berkaitan dengan keagamaan dalam rangka memuja Sang Hyang Widhi. Sang Hyang Widhi adalah sumber dari segala
yang ada. Beliaulah yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Beliau adalah asal dan tujuan akhir dari
kehidupan. Dalam artian yang sempit, Parhyangan berupa tempat suci untuk memuja Sang Hyang Widhi.

– Palemahan

Palemahan berasal dari kata lemah yang artinya tanah. Palemahan juga berarti bhuwana atau alam. Dalam artian yang
sempit Palemahan berarti wilayah suatu pemukiman atau tempat tinggal.

– Pawongan

Pawongan berasal dari kata wong ( dalam bahasa jawa ) yang artinya orang. Pawongan berarti prihal yang berkaitan
dengan orang – orang atau perorangan dalam kehidupan masyarakat. Dalam artian yang sempit pawongan adalah
kelompok manusia yang bermasyarakat tinggal di wilayah desa.

Ketiga unsur ini tidak dapat dipisahkan dalam tatanan hidup masyarakat, bahkan senantiasa diterapkan dan
dilaksanakan sebagai suatu kebulatan padat, erat melekat pada setiap aspek kehidupan secara harmonis, dinamis,
dan produktif.

Di dalam falsafah Tri Hita Karana disebutkan bahwa Sang Hyang Widhi adalah Maha Ada. Adanya beliau adalah
mutlak, beliau tidak pernah ada, karena beliau selalu ada. Beliaulah yang menciptakan alam semesta ini dengan
segenap isinya. Proses penciptaan ini disebut sresti, beliau terlebih dahulu menciptakan bhuana atau alam, maka
munculah palemahan. Setelah itu barulah beliau menciptakan manusia (termasuk makhluk hidup lainnya). Setelah
manusia berkembang dan menghimpun diri dalam kehidupan bersama dan mendiami suatu wilayah tertentu, maka
muncullah masyarakat yang disebut Pawongan. Demikianlah Tri Hita Karana, yang mencakup Parhyangan,
Palemahan, dan Pawongan. Dalam hidup kita mempunyai dua kewajiban, yaitu sebagai berikut.

1. Menyelaraskan hubungan badan dengan Paramaatma (Sang Hyang Widhi).


2. Menyelaraskan hubungan dengan makhluk yang berbeda-beda, yaitu dewa-dewa, rsi, pitra, manusia dan makhluk
lainnya.

– Parhyangan (hubungan antara manusia dan Tuhan)


Hubungan antara manusia dengan tuhan (Ida Sang Hyang Widhi), mempunyai dasar dan bentuk yang beraneka warna,
baik dalam bidang rohani maupun jasmanikarena alam semesta beserta isinya ini berasal daripadanya dan beliau pula
yang mengatur semua itu.menyelaraskan hubungan badan (manusia) dengan Sang Hyang Widhi Wasa (Paramatma),
berarti menjadikan badan sendiri tempat untuk mewujudkan sifat dari Sang Hyang Widhi Wasa.

Oleh karena itu, badan jasmani kita harus bersih dan sehat serta pikiran (rohani) harus suci murni sehingga kita bisa
memperoleh sinar sici tuhan.

Menurut tinjauan “dharma” susilanya, manusia menyembah dan berbakti kepada Sang Hyang Widhi disebabkan oleh
sifat – sifat parama (mulia) yang dimiliki-Nya. Rasa bakti dan sujud kepada Tuhan timbul dalam hati manusia oleh
karena Sang Hyang Widhi “Maha Ada, Maha Kuasa dan Maha Pengasih” yang melimpahkan kasih dan kebijaksanaan
kepada umat-Nya sangat berhutang budhi lahir batin kepada beliau, dan hutang budhi ini tak akan terbalas dengan
apapun juga, karena kita adalah manusia yang memounyai kemampuan yang terbatas.

Karena hal tersebut diatas, maka satu – satunya “Dharma/Susila” yang dapat kita sajikan kepada beliau hanyalah
dengan jalan menghaturkan parama sukmaning idep atau rasa terima kasih kita yang setinggi – tingginya kepada
beliau, antara lain sebagai berikut :

– Dengan khidmat dan sujud bakti menghaturkan yadnya dan sembahyang (penyembahan kepada Sang Hyang
Widhi).

– Berziarah atau berkunjung ketempat – tempat suci atau tirta yatra untuk memohon kesucian lahir batin sambil
beryoga semadi dengan penuh keyakinan yang suci.

Mempelajari dengan sungguh – sungguh ajaran – ajaran mengenai Ketuhanan, mengamalkan serta menuruti dengan
teliti segala ajaran – ajaran kerohanian atau pendidikan mental spirituan, yang telah beliau limpahkan kedunia ini
berupa ajaran Cruti dan Smerti, serta selanjutnya kita amalkan kembali kepada umat manusia sesuai dengan norma
susila agama dengan penuh rasa bakti dan tulus iklas tanpa pamrih dan hanya atas nama beliau sendiri. Di samping
itu rasa bakti dan kasih terhadap Sang Hyang Widhi itu timbul dalam hati manusia berupa sembah, puji – pujian, doa
– doa penyerahan diri, rasa rendah hati, rasa bahagia,

dan hasrat berkorban untuk kebajikan. Kita seagai umat beragama dan bersusila harus menjunjung dan memenuhi
kewajiban, antara lain sebagai berikut :

– Cinta kepada kebenaran

– Cinta kepada kejujuran

– Cinta kepada keikhlasan

– Cinta kepada keadilan

Dengan demikian, jelaslah bagaimana hubungan antara Sang Hyang Widhi dengan alam semesta beserta isinya ini
khususnya antara beliau (Tuhan) dengan manusia.

Hubungan ini harus kita pupuk dan tingkatkan terus ke arah yang lebih tinggi dan lebih suci lahir batin, sesuai
dengan swadharmaning umat yang riligius “susilawan”, yakni untuk dapat mencapai moksartham jagadhita ya ca iti
dharma, yaitu kebahagiaan hidup duniawi dan kesempurnaan kebahagiaanrohani yang langgeng (moksa), yakni
sesuai dengan tujuan agama Hindu Satyam evam jayate na anetram.

– Pawongan ( Hubungan antara manusia dengan manusia)

Selain menyelaraskan hubungan antara atman dan paramatman atau antara manusia dengan manusia, kita sebagai
mahluk sosial juga harus membina hubungan yang rukun antara manusia dengan manusia lainnya. Yang dimagsud
dengan hubungan antara manusia dan manusia adalah anggota – anggota keluarga dan anggota – anggota
masyarakat. Misalnya hubungan suami isrti, saudara dengan keluarga, dan anggota masyarakat lainnya yang umur
dan kedudukannya sama dengan kita.
Hubungan dengan orang – orang sederajat hendaklah sampai tercitanya suasana rukun, harmonis, dan damai serta
saling bantu membantu satu sama lain dengan penuh kasih sayang, kasih mendorong rasa korban, rasa mengekang
diri, rasa mengabdi untuk kebahagiaan sesama. Kasih adalah dasar semua kebijakan (dharma) dan sebaliknya dengki
adalah dasar kedursilaan (adharma), kasih muncul dari dalam kalbu yang merupakan alam Paramatma, yaitu alam
ananda (kebahagiaan).

– Palemahan (Hubungan harmonis anatara Bhuana alit dengan Bhuwana agung (alam semesta))

Manusia hidup di dunia ini memerlukan ketentraman, kesejukan, ketenangan, dan kebahagiaanlahir batin. Untuk
mencapai tujuan tersebut manusia tidak bisa hidup tanpa bhuwana agung (alam semesta). Manusia hidup di alam dan
dari hasil alam. Hal inilah yang melandasi hubungan harmonis antara manusia dengan alam dimana mereka bertempat
tinggal.

Untuk tetap menjaga keseimbangan dan keharmonisan alam, umat Hindu melaksanakan upacara tumpek uye, (tumpek
kandang) yang bertujuan untuk melestarikan hidup binatang dan dan melaksanakan upacara tumpek wariga (tumpek
uduh, tumpek bubuh) untuk melestarikan tumbuh – tumbuhan serta memperingati hari lingkungan hidup sedunia.
Disamping itu pemerintah membuat suaka marga satwa. Lengkap dengan kebun raya dan kebun binatang, tujuannya
adalah untuk menjaga jangan sampai binatang dan tumbuhan langka itu sampai rusak atau punah.

Arti penting dari falsafah Tri Hita Karana itu merupakan inti hakikat dari ajaran agama Hindu secara universal. Ajaran
Tri Hita Karana mengarahkan manusia untuk selalu mengharmoniskan hubungan antara manusia dengan sang
pencipta, hubungan manusia dengan sesame, dan hubungan manusia dengan lingkungan alamnya.

Arah atau sasaran yang ingin dicapai oleh ajaran Tri Hita Karana adalah untuk mencapai Moksartham Jagadhita ya ca
iti dharma yang artinya tujuan agama atau dharma adalah tujuan mencapai kesejahteraan di dunia ini dan kebahagiaan
di akhirat.

Tujuan ajaran Tri Hita Karana adalah untuk mencapai keharmonisan antara manusia dengan Tuhan, hubungan yang
harmonis antara manusia dengan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam.

Dengan adanya keharmonisan alam semesta (bhuana agung) dengan manusia (bhuana alit) maka tercapailah tujuan
akhir agama Hindu, Moksa, yaitu bersatunya atman dengan paramaatman.

 Tri hita karana


Tri Hita Karana berasal dari kata “Tri” yang berarti tiga, “Hita” yang berarti kebahagiaan
dan “Karana” yang berarti penyebab. Dengan demikian Tri Hita Karana berarti “Tiga hal
yang menyebabkan terciptanya kebahagiaan dan kedamaian”. Tri Hita Karana adalah tiga hubungan
atau interakasi yang harus di seimbangkan dan diselaraskan agar kebahagiaan dan kesejahteraan dapat
tercapai dengan baik. Adapun bagian-bagian dari Tri Hita Karana yaitu:
1) Prahyangan
yaitu hubungan manusia dengan sang pencipta, agar hubungan manusia dengan Hyang Widhi
(Parahyangan) selalu harmaonis maka wujud nyata yang dapat dilakukan yaitu dengan minimal
sembahyang (Tri Sandya) tiga kali sehari serta selalu melakukan dan mengikuti kegiatan-kegiatan Bhakti
lainnya,
2) Pawongan
yaitu hubungan manusia dengan sesama manusia, agar keharmonisan hubungan manusia dengan sesama
manusia (Pawongan) selalu terwujud maka diperlukan sikap yang saling harga-menghargai dan sikap saling
hormat-menghormati atau yang biasa kita sebut dengan istilah toleransi antar sesama dengan demikian,
keharmonisan itu akan dapat tercapai
3) Palemahan
yaitu hubungan manusia dengan lingkungan atau alam, agar keharmonisan hubungan manusia dengan
alam (Palemahan) dapat terjaga maka kita sebagai manusia yang merupakan sentral dari pelaksana
ajaran Tri Hita Karana agar selalu dapat menjaga lingkungan kita, agar tetap selalu bersih dan selalu
melestarikannya tanpa hanya memanfaatkan sumber daya alamnya saja.

Anda mungkin juga menyukai