Disusun oleh:
Yunita Y. Salaka
2017-84-019
PEMBIMBING:
dr. Ony Angkewijaya, SpAn
Tanda klasik dari adanya inflamasi yaitu kemerahan, edema, panas, nyeri dan
kehilangan fungsi. Ekspresi aktual dari proses inflamasi bergantung pada tempat
inflamasi tersebut terjadi. Misalnya, pada kulit abses mungkin dapat terbentuk
sebagai tanda dari adanya inflamasi. berbeda dengan pneumonia, tanda adanya
inflamasi dapat berupa hilangnya fungsi seperti hipoksia, sesak napas. Walaupun
begitu, proses patologikal yang sama terjadi pada kedua tempat tersebut.
asing atau cedera fisik, rekrutmen dan kemoatraksi sel-sel inflamator, dan aktivasi
sel tersebut untuk melepaskan mediator inflamasi yang memiliki kapasitas untuk
merusak atau membunuh invasi mikroba atau tumor. Inflamasi dapat terjadi akibat
Pada beberapa kasus, respon inflamasi pada akhirnya akan reda kembali,
tetapi jika regulasi self-limiting tidak terjadi, respon inflamasi akan membutuhkan
menjadi tidak tepat, menyimpang dari yang biasanya, berlangsung terus menerus,
Inflamasi terjadi ketika ada stimulus, seperti infeksi, stress fisik atau stress
kimiawi, adanya kerusakan seluler (Gambar 1). Kerusakan ini menginisiasi aktivasi
elastase). Hanya tiga pertama dari mediator inflamasi yang menjadi target
fase. Fase cepat terjadi dalam waktu detik sampai menit dan menyebabkan
vasodilasi, dan meningkatkan aliran darah, edema, dan nyeri. Fase akut
dikarakteristik oleh induksi gen inflamasi oleh NF-κB dan faktor tranksripsi
lainnya. Selama fase ini, sebagian jumlah mediator inflamasi diproduksi. Fase
kronik terjadi berbulan-bulan sampai menahun dan ditandai dengan peningkatan
produksi mediator inflamasi. fase kronik sekunder terjadi setelah beberapa tahun
B. EIKOSANOID
Eikosanoid adalah hasil produk oksigenasi asam lemak rantai panjang tak
jenuh ganda. Asam arakidonat, yakni prekusor eikosanoid yang paling penting dan
terbanyak. Agar sintesis asam arakidonat dapat terjadi, mula-mula asam arakidonat
harus dilepaskan atau dimobilisasi dari fosfolipid membran oleh satu atau lebih
lipase dari tipe fosfolipase A2 (PLA2). Selain itu, arakidonat juga dilepaskan oleh
juga isoprostan. Dua isozim COX yang unik mengubah asam arakidonat menjadi
secara konstan pada kebanyakan sel tanpa adanya rangsangan dari luar. COX-1
gen respons-dini yang terangsang secara bermakna oleh shear stress, faktor
target penting dari obat anti inflamasi. sebagai tambahan, efek samping dari obat
prostasiklin yang secara keseluruhan disebut prstanoid, dibentuk dari PGH2 melalui
kerja isomerase dan sintase. Metanolisme asam arakidonat berakibat produksi asam
hidroksi (HETE) dan leukotrien. Leukotrien yang paling sering diteliti adalah
inflamasi. jalur ini sangat menarik karena dihubungkan dengan asma, syok
analgesik, dan agen antiinflamasi. OAINS menurunkan suhu tubuh pada saat febrile
dan dengan demikian efektif sebagai antipiretik. OAINS juga dapat digunakan
sebagai analgesik, mengurangi nyeri ringan sampai sedang seperti mialgia, nyeri
gigi, dismenorrhea, dan nyeri kepala. Tidak seperti analgesik opioid, OAINS tidak
inflamasi OAINS digunakan untuk terapi pada kondisi seperti tegang otot,
tendinitis, bursitis. Obat ini juga digunakan untuk terapi pada nyeri kronik dan
inflamasi reumatoid arthritis, ostheoarthritis, dan variasi arhtritis seperti gout dan
spondilitis ankilosing.
salisilat, asam asetat, asam propionat, asam enolat, COX-2 selektif inhibitor, dan
asetaminofen.
Cycloolxygenase-2 (COX-2).
Asetaminofen
Asetaminofen adalah salah satu obat terpenting dalam terapi nyeri ringan
konjugat yang sesuai, dan merupakan 95% dari seluruh metabolit yang
melebihi dosis terapeutik, jalur glukuronidasi dan sulfasi menjadi jenuh dan jalur
tidak terjadi selama GSH tersedia untuk konjugasi. Namun, seiring perjalanan
waktu, GSH hepatik akan berkurang lebih cepat daripada regenerasinya, dan terjadi
akumulasi metabolit yang toksik dan reaktif. Dengan tidak adanya nukleofili
hepatotoksisitas.
Ingesti akut asetaminofen sebesar 150-200 mg/kg (anak) atau total 7 g (dewasa)
merasakan sedikit keluhan saluran cerna (mual, muntah). Setelah 24-36 jam,
dan hipoprotrombinemia.
aasetaminofen dalam serum. Jika kadarnya lebih besar dari 150-200mg/L sekitar 4
bekerja sebagai pengganti glutation dan langsung mengikat metabolit toksik yang
dihasilkan. Asetilsistein paling efektif diberikan dini dan harus dimulai dalam
gastrik ulcer. Hal ini disebabkan karena inhibisi pada prostaglandin. Pada
dari asam lambung, sehingga penggunaan dalam jangka waktu yang lama dapat
menderita sakit asthma. Penggunaan OAINS pada reaksi inflamasi hanya meng
tubuh akan memicu terjadinya serangan pada orang yang menderita penyakit
asthma.
Papaver somniferum dan P.album. jika disayat, kulit biji poppy mengeluarkan
cairan putih yang berubah menjadi gom coklat. Gom ini adalah opium mentah.
Opium mengandung berbagai alkaloid, terutama morfin. Opiat adalah derivat dari
opium Opioid menunjuk kepada semua substansi dengan yang bekerja seperti
morphin.
Obat – obatan opioid terdiri atas agonis penuh, agonis parsial, dan antagonis.
Morfin adalah agonis penuh pada reseptor opioid μ (mu), yakni reseptor opioid
analgesik utama.
Contoh obat – obatan yang bekerja sebagai agonis penuh yaitu morfin, morfin
tramadol.
sampai 100 kali lebih poten daripada morfin. Onset dan kandungan dalam plasma
bergantung pada dosis dan metode pemberian. Efek analgesia dari fentanil dapat
terjadi 1 sampai 2 menit setelah pemberian lewat intravena. Durasi fentaniö dapar
cytochrome P450.
a. Farmakonkinetik Opioid
pertama, opioid dosis oral perlu diberikan melebihi dosis parenteral untuk
lintas pertama opioid pada tiap orang, dosis oral efektif pada masing – masing orang
sulit diperkirakan jalur pemberian opioid lainnya meliputi mukosa oral via lozenge,
dan transdermal via patch transdermal, yang dapat memberikan efek analgesik
pada faktor fisiologik dan kimmia. Meskipun semua opioid terikat pada protein
plasma dengan berbagai tingkat afinitas, senyawa ini cepat meninggalkan darah dan
banyak menumpuk di berbagai jaringan yang perfusinya tinggi, seperti otak, paru,
alangesik, terutama dieksresi melalui ginjal, dapat juga ditemukan sedikit obat yang
b. Farmakodinamik
Mekanisme kerja
Opioid agonis menghasilkan analgesia melalui ikatannya dengan reseptor
tertentu terkopel-protein G dalam daerah di otak dan medula spinalis yang terlibat
Tipe reseptor-tiga golongan reseptor opioid yang utama (μ, δ, dan κ) telah
dikenali pada berbagai tempat dalam sistem saraf dan jaringan lainnya. Pada tingkat
mengubah fosforilasi protein. Opioid memiliki dua efek tidak langsung G protein-
Gambar Tempat kerja opioid di medula spinalis. Agonis mu (μ), delta (δ), dan
kappa (κ) menurunkan pembebasan transmiter dari ujung prasinaptik aferen
primer nosiseptor.
posterior medulla pinalis. reseptor – reseptor ini terdapat dalam neuron penghantar
rasa nyeri di medula spinalis dan di aferen primer yang menyampaikan pesan nyeri
spinalis. Dengan demikian, opioid memiliki efek analgesik kuat yang bekerja secara
langsung di medula spinalis. Efek spinal ini telah dimanfaatkan secara klinis
medula spinalis; efek ini lebih sedikit menimbulkan depresi napas, mual dan
muntah dan sedasi daripada efek supraspinal yang timbul melalui pemberian opioid
secara sistemik.
bekerja secara serentak di berbagai tempat, tidak hanya di jaras asenden transmisi
nyeri. Yang berawal dari ujung perifer khusus tempat rangsang nyeri ditransduksi,
tapi juga di jaras desenden. Opioid secara langsung menghambat neuron, namun
kerja ini menghasilkan aktivasi neuron inhibitoris desenden yang mengirim proses
Aktivasi inni terbukti terjadi akibat inhibisi neuron inhibitoris di beberapa tempat.
Berbagai interaksi pada tempat- tempat ini secara bersama-sama meningkatkan efek
terutama terjadi di SSP, yang terpenting ialah analgesia, euforia, sedasi, dan depresi
Opioid memiliki efek yang sangat dalam pada regio cerebrocortical yang
emosional dari nyeri dan menginduksi euphoria dan tidur dengan dosis yang tinggi.
Pasien menjadi inatentif terhadap stimulus nyeri, rasa gelisah berkurang, dan lebih
relaks.
respon monosinaptik dan dapat menyebabkan efek kejang pada dosis yang tinggi.
penurunan ansietas dan distres. Akan tetapi, disforia, suatu saat keadaan tidak
menyenangkan yang ditandai dengan rasa gelisah dan malaise, kadang dapat
terjadi.
Sedasi- efek opioid sering disertai dengan timbulnya rasa mengantuk dan
pada pasien yang berusia lanjut daripada pasien yang berusia muda dan sehat.
Biasanya, pasien mudah dibangunkan dari tidur ini. Akan tetapi, kombinasi morfin
yang sangat dalam. Pada dosis analgesik standar, morfin mengganggu pola tidur
REM dan non-REM normal. Efek ini merupakan ciri khas semua opioid.
otak. PCO2 alveolus dapat meningkat, tetapi pertanda depresi pernapasan yang
paling terpercaya adalah menurunnya respon terhadap uji karbon dioksida. Depresi
pernapasan ditentukan oleh dosis dan sangat dipengaruhi oleh derajat masukan
telah diketahui dengan baik. Akan tetapi penekanan batuuk oleh opioid dapat
menyebabkan atelektasis.
opioid.
Rigiditas – peningkatan tonus pada otot – otot batang tuubuh yang besar
Saluran cerna – konstipasi dapat terjadi sebagai akibat efek dari opioid.
Reseptor opioid banyak terdapat di saluran cerna, dan efek konstipasi opioid
Antagonis Opioid
N12.afinitas agen – agen ini relatif tinggi berikatan dengan reseptor tipe μ, tetapi
rendah untuk berikatan dengan reseptor – reseptor lain. Agen – agen ini juga
Nalokson adalah antagonis murni dan lebih disukai dariipada obat agonis-
antagonis lemah yang lebih tua. Nalokson terutama digunakan sebagai terapi
mempunyai durasi kerja yang sangat singkat (1-2jam). Sangat penting untuk
diingat, bahwa durasi kerja nalokson relatif singkat, karena pasien mengalami
depresi berat mungkin pulih setelah diberikan satu dosis nalokson dan tampak
mengurangi aktifitas reakasi inflamasi yang kronik. Hal ini yang menjadi
dasar dalam penggunaan obat anti inflamasi non steroid. Namun perlu
B. Saran
Sekiranya penggunaan OAINS dan analgesik Opioid dapat
diperhatikan beberapa kondisi pasien dan effek dari masing – masing obat
yang diberikan terhadap pasien, agar efek dan tujuan terapiutik dari