Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN ILMU ANESTESI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2017


UNIVERSITAS PATTIMURA

OBAT ANTI INFLAMASI NON STEROID DAN ANALGESIK OPIOID

Disusun oleh:

Yunita Y. Salaka
2017-84-019

PEMBIMBING:
dr. Ony Angkewijaya, SpAn

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU ANESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2017
BAB I
PENDAHULUAN

Tanda klasik dari adanya inflamasi yaitu kemerahan, edema, panas, nyeri dan

kehilangan fungsi. Ekspresi aktual dari proses inflamasi bergantung pada tempat

inflamasi tersebut terjadi. Misalnya, pada kulit abses mungkin dapat terbentuk

sebagai tanda dari adanya inflamasi. berbeda dengan pneumonia, tanda adanya

inflamasi dapat berupa hilangnya fungsi seperti hipoksia, sesak napas. Walaupun

begitu, proses patologikal yang sama terjadi pada kedua tempat tersebut.

Inflamasi dikarakteristik oleh adanya beberapa proses; inisiasi dari benda

asing atau cedera fisik, rekrutmen dan kemoatraksi sel-sel inflamator, dan aktivasi

sel tersebut untuk melepaskan mediator inflamasi yang memiliki kapasitas untuk

merusak atau membunuh invasi mikroba atau tumor. Inflamasi dapat terjadi akibat

respon autoimun terhadap jaringan host, seperti pada rheumatoid arthritis.

Pada beberapa kasus, respon inflamasi pada akhirnya akan reda kembali,

tetapi jika regulasi self-limiting tidak terjadi, respon inflamasi akan membutuhkan

intervensi farmakologi. Obat anti inflamasi dibutuhkan ketika respon inflamasi

menjadi tidak tepat, menyimpang dari yang biasanya, berlangsung terus menerus,

atau menyebabkan rusaknya jaringan tersebut.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PROSES INFLAMASI

Inflamasi terjadi ketika ada stimulus, seperti infeksi, stress fisik atau stress

kimiawi, adanya kerusakan seluler (Gambar 1). Kerusakan ini menginisiasi aktivasi

faktor transkripsi yang mengontrol ekspresi dari sejumlah mediator inflamasi.

diantara mediator inflamasi yang lebih penting adalah eikosanoid, oxidant

biologikal, sitokin, dan enzim digestif (protease, hialuronidase, kolagenase, dan

elastase). Hanya tiga pertama dari mediator inflamasi yang menjadi target

terapeutik untuk obat anti inflamasi.

Gambar 1. Overview proses inflamasi


Respon inflamasi dapat berubah seiring waktu dan dapat terbagi menjadi dua

fase. Fase cepat terjadi dalam waktu detik sampai menit dan menyebabkan

vasodilasi, dan meningkatkan aliran darah, edema, dan nyeri. Fase akut

dikarakteristik oleh induksi gen inflamasi oleh NF-κB dan faktor tranksripsi

lainnya. Selama fase ini, sebagian jumlah mediator inflamasi diproduksi. Fase
kronik terjadi berbulan-bulan sampai menahun dan ditandai dengan peningkatan

produksi mediator inflamasi. fase kronik sekunder terjadi setelah beberapa tahun

kerusakan oksidatif telah mendegradasi pembuluh darah dan jaringan. Misalnya

pada kanker dan arteriosclerosis.

B. EIKOSANOID
Eikosanoid adalah hasil produk oksigenasi asam lemak rantai panjang tak

jenuh ganda. Asam arakidonat, yakni prekusor eikosanoid yang paling penting dan

terbanyak. Agar sintesis asam arakidonat dapat terjadi, mula-mula asam arakidonat

harus dilepaskan atau dimobilisasi dari fosfolipid membran oleh satu atau lebih

lipase dari tipe fosfolipase A2 (PLA2). Selain itu, arakidonat juga dilepaskan oleh

kombinasi fosfolipasi C dan lipase digliserida.

Setelah terjadinya mobilisasi, asam arakidonat dioksigenasi melalui empat

jalur terpisah: jalur siklooksigenase (COX, lipoksigenase, epoksigenase P450, dan

juga isoprostan. Dua isozim COX yang unik mengubah asam arakidonat menjadi

endoperoksida prostaglandin. Sintase PGH-1 (COX-1), konstitutif, diekspresikan

secara konstan pada kebanyakan sel tanpa adanya rangsangan dari luar. COX-1

menghasilkan prostanoid untuk „penjagaan rumah“ seperti sitoproteksi epitel

lambung, dan bertanggung jawab untuk produksi basal prostaglandin, prostasiklin

dan tromboxan. Sebaliknya, sintase PGH-2 (COX-2) dapat dirangsang, ekspresinya

sangat bervariasi bergantung pada stimulus. COX-2, indusibel, merupakan produk

gen respons-dini yang terangsang secara bermakna oleh shear stress, faktor

pertumbuhan, promotor tumor, dan sitokin. COX-2 merupakan sumber utama


prostanoid pada inflamasi dan kanker. Produk inflamasi eikosanoid merupakan

target penting dari obat anti inflamasi. sebagai tambahan, efek samping dari obat

anti inflamasi biasanya akibat inhibisi produksi eikosanoid.

Sintase sangat penting, karena pada tahap inillah, obat antiinflamasi

nonsteroid menimbulkan efek terapeutiknya. Prostaglandin, tromboksan, dan

prostasiklin yang secara keseluruhan disebut prstanoid, dibentuk dari PGH2 melalui

kerja isomerase dan sintase. Metanolisme asam arakidonat berakibat produksi asam

hidroperoksieikosatetranoat (HPETE) yang diubah secara cepat menjadi derivat

hidroksi (HETE) dan leukotrien. Leukotrien yang paling sering diteliti adalah

leukotrien yang dihasilkan oleh 5-lipoksigenase yang terdaapat pada sel-sel

inflamasi. jalur ini sangat menarik karena dihubungkan dengan asma, syok

anafilaktik dan penyakit kardiovaskular.


C. OBAT ANTI INFLAMASI NON STEROID
OAINS memiliki variasi dalam penggunaan klinik sebagai antipiretik,

analgesik, dan agen antiinflamasi. OAINS menurunkan suhu tubuh pada saat febrile

dan dengan demikian efektif sebagai antipiretik. OAINS juga dapat digunakan

sebagai analgesik, mengurangi nyeri ringan sampai sedang seperti mialgia, nyeri

gigi, dismenorrhea, dan nyeri kepala. Tidak seperti analgesik opioid, OAINS tidak

menyebabkan depresi neurologikal atau ketergantungan. Sebagai agen anti

inflamasi OAINS digunakan untuk terapi pada kondisi seperti tegang otot,

tendinitis, bursitis. Obat ini juga digunakan untuk terapi pada nyeri kronik dan

inflamasi reumatoid arthritis, ostheoarthritis, dan variasi arhtritis seperti gout dan

spondilitis ankilosing.

OAINS dikelompokan ke dalam beberapa golongan kimiawi yaitu asam

salisilat, asam asetat, asam propionat, asam enolat, COX-2 selektif inhibitor, dan

asetaminofen.

Tabel 1. Klasifikasi OAINS


Mekanisme
Obat – obat NSAID memiliki efek analgesik dan antipiretik. Aktivitas antiinflamasi

OAINS diperantarai terutama melalui inhibisi sintesis prostaglandin dengan

menghambat aksi dari enyim cycloolxygenase (COX), enzim tersebut bertanggung

jawab untuk sintesis prostaglandin. NSAID bekerja dengan menghambat aktifitas

dari dua enzim yang berhubungan, yaitu: Cycloolxygenase-1 (COX-1), dan

Cycloolxygenase-2 (COX-2).

OAINS menurunkan sensitivitas pembuluh darah terhadap bradikinin dan

histamin, mempengaruhi produksi limfokin dari limfosit T, dan memulihkan

vasodilatasi akibat peradangan.

Nefrotoksisitas sebagian disebabkan oleh gangguan autoregulasi aliran darah

ginjal yang dimodulasi oleh prostaglandin.

Asetaminofen

Asetaminofen adalah salah satu obat terpenting dalam terapi nyeri ringan

sampai sedang, bila efek antiinflamaasinya tidak diperlukan.

Secara normal, parasetamol mengalami glukuronidasi dan sulfasi menjadi

konjugat yang sesuai, dan merupakan 95% dari seluruh metabolit yang

dieksresikan. Sedangkan sisanya 5% dimetabolisme melalui jalur konjugasi GSH

(glutathione) yang tergantung pada P450. Ketika asupan asetaminofen jauh

melebihi dosis terapeutik, jalur glukuronidasi dan sulfasi menjadi jenuh dan jalur

yang tergantung P450 menjadi bertambah penting. Hepatotoksisitas sedikit atau

tidak terjadi selama GSH tersedia untuk konjugasi. Namun, seiring perjalanan

waktu, GSH hepatik akan berkurang lebih cepat daripada regenerasinya, dan terjadi
akumulasi metabolit yang toksik dan reaktif. Dengan tidak adanya nukleofili

intrasel seperti GSH, metabolit reaktif ini (N-asetil-benzoiminokuinon) akan

bereaksi dengan gugus nukleofilik dari protein seluler, menghasilkan

hepatotoksisitas.

Ingesti akut asetaminofen sebesar 150-200 mg/kg (anak) atau total 7 g (dewasa)

dianggap berpotensi toksik. Awalnya, pasien tidak menunjukkan gejala atau

merasakan sedikit keluhan saluran cerna (mual, muntah). Setelah 24-36 jam,

muncul tanda – tanda kerusakan hati, dengan peningkatan kadar aminotransferase

dan hipoprotrombinemia.

Derajat parahnya kerusakan diperkirakan dari pengukuran kadar

aasetaminofen dalam serum. Jika kadarnya lebih besar dari 150-200mg/L sekitar 4

jam pascaingesti, pasien berisiko menderita kerusakan hati. Antidot asetilsistein

bekerja sebagai pengganti glutation dan langsung mengikat metabolit toksik yang

dihasilkan. Asetilsistein paling efektif diberikan dini dan harus dimulai dalam

waktu 8 – 10 jam jika memungkinkan.


Gambar Mekanisme hepatoksisitas asetaminofen

Gambar Berbagai Bentuk Sediaan Asetaminofen (Paracetamol)


Efek Samping OAINS

Penggunaan OAINS dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan

gastrik ulcer. Hal ini disebabkan karena inhibisi pada prostaglandin. Pada

prostaglandin di saluran cerna, berfungsi sebagai protekor mukosa saluran cerna

dari asam lambung, sehingga penggunaan dalam jangka waktu yang lama dapat

menyebabkan inhibisi prostaglandin pada saluran cerna dan dapat menyebabkan

perdarahan saluran cerna.

OAINS juga sebaiknya dihindari dalam penggunaan teerhadap orang yang

menderita sakit asthma. Penggunaan OAINS pada reaksi inflamasi hanya meng

hanya menghambat kerja enzim cyclooxygenase sedangkan lypoksigenase yang

menghasilkan leukotrien tidak dihambat. Peningkatan jumlah leukotrien dalam

tubuh akan memicu terjadinya serangan pada orang yang menderita penyakit

asthma.

Gambar Efek Samping Obat Anti Inflaamasi Non Steroid


D. ANALGESIK OPIOID
Opium, yang merupakan sumber morfin, diperoleh dari tanaman poppy, yakni

Papaver somniferum dan P.album. jika disayat, kulit biji poppy mengeluarkan

cairan putih yang berubah menjadi gom coklat. Gom ini adalah opium mentah.

Opium mengandung berbagai alkaloid, terutama morfin. Opiat adalah derivat dari

opium Opioid menunjuk kepada semua substansi dengan yang bekerja seperti

morphin.

Gambar tanaman poppy, Papaver somniferum

Obat – obatan opioid terdiri atas agonis penuh, agonis parsial, dan antagonis.

Morfin adalah agonis penuh pada reseptor opioid μ (mu), yakni reseptor opioid

analgesik utama.

Contoh obat – obatan yang bekerja sebagai agonis penuh yaitu morfin, morfin

6-glukuronida, meperidin, fentanyl, sufentanil, alfentanil, kodein, metadon, heroin,

tramadol.

Fentanil merupakan sintetik opioid poten μ receptor stimulating. Fentanil 50

sampai 100 kali lebih poten daripada morfin. Onset dan kandungan dalam plasma

bergantung pada dosis dan metode pemberian. Efek analgesia dari fentanil dapat
terjadi 1 sampai 2 menit setelah pemberian lewat intravena. Durasi fentaniö dapar

bertahan selama 2 sampai 4 jam. Fentanil di metabolisme lewat sistem izoensime

cytochrome P450.

a. Farmakonkinetik Opioid

Absorpsi. Kebanyakan opioid anagesik diabsorpsi dngan baik ada pemberian

subkutan, intramuskular, dan oral. Namun karena melalui metabolisme lintas

pertama, opioid dosis oral perlu diberikan melebihi dosis parenteral untuk

menghasilkan efek terapeutik. Akibat keragaman untuk menghasilkan metabolisme

lintas pertama opioid pada tiap orang, dosis oral efektif pada masing – masing orang

sulit diperkirakan jalur pemberian opioid lainnya meliputi mukosa oral via lozenge,

dan transdermal via patch transdermal, yang dapat memberikan efek analgesik

untuk beberapa hari.


Distribusi. Ambilan opioid oleh berbagai organ dan jaringan bergantung

pada faktor fisiologik dan kimmia. Meskipun semua opioid terikat pada protein

plasma dengan berbagai tingkat afinitas, senyawa ini cepat meninggalkan darah dan

banyak menumpuk di berbagai jaringan yang perfusinya tinggi, seperti otak, paru,

hati, ginjal, hati dan limpa.

Metabolisme. Opioid sebagian besar diubah menjadi metabolit polar yang

cepat dieksresikan oleh ginjal. Metabolisme oksidatif hepatik merupakan jalur

utama degradasi opioid fenilpiperidin, yang akhirnya akan menyisakan senyawa

induk yang tidak mengalami perubahan untuk dieksresi.

Ekskresi. Metabolit polar, termasuk konjugat glukuronida dari opioid

alangesik, terutama dieksresi melalui ginjal, dapat juga ditemukan sedikit obat yang

tidak mengalami perubahan dalam urine. Selain itu, konjugat glukuronida

ditemukan dalam empedu, tetapi sirkulasi enterohepatik hanya merupakan bagian

kecil dari proses eksresi.

b. Farmakodinamik
Mekanisme kerja
Opioid agonis menghasilkan analgesia melalui ikatannya dengan reseptor

tertentu terkopel-protein G dalam daerah di otak dan medula spinalis yang terlibat

dalam transmisi dan modulasi nyeri.

Tipe reseptor-tiga golongan reseptor opioid yang utama (μ, δ, dan κ) telah

dikenali pada berbagai tempat dalam sistem saraf dan jaringan lainnya. Pada tingkat

molekular, reseptor-reseptor opioid merupakan sekeluarga protein yang secara fisik

berkopel dengan protein G (G protein-coupled), dan melalui mekanisme ini


mempengaruhi gerbang kanal ion, memodulasi disposisi Ca2+ intrasel, dan

mengubah fosforilasi protein. Opioid memiliki dua efek tidak langsung G protein-

coupled pada saraf:

1). Opioid menutup kanal Ca2+ voltage-gated di ujung saraf prasinaptik

sehingga menurunkan pembebasan transmiter,

2). Opioid menghiperpolarisasi sehingga menghambat neuron

pascasinaptik melalui pembukaan kanal K+

Gambar Tempat kerja opioid di medula spinalis. Agonis mu (μ), delta (δ), dan
kappa (κ) menurunkan pembebasan transmiter dari ujung prasinaptik aferen
primer nosiseptor.

Ketiga reseptor utama opioid sangat banyak ditemukan dijumpai di kornu

posterior medulla pinalis. reseptor – reseptor ini terdapat dalam neuron penghantar

rasa nyeri di medula spinalis dan di aferen primer yang menyampaikan pesan nyeri

kepada neuron di medulla spinalis. Agonis opioid menghambat pembebasan


transmiter eksitatoris dari aferen primer penghantar rasa nyeri. Selain itu, agonis

opioid juga secara langsung menghambat neuron penghantar nyeri di medula

spinalis. Dengan demikian, opioid memiliki efek analgesik kuat yang bekerja secara

langsung di medula spinalis. Efek spinal ini telah dimanfaatkan secara klinis

sebagai analgetik regional melalui pemberian langsung opioid analgetik pada

medula spinalis; efek ini lebih sedikit menimbulkan depresi napas, mual dan

muntah dan sedasi daripada efek supraspinal yang timbul melalui pemberian opioid

secara sistemik.

Pada berbagai keadaan, opioid biasanya diberikan secara sistemik sehingga

bekerja secara serentak di berbagai tempat, tidak hanya di jaras asenden transmisi

nyeri. Yang berawal dari ujung perifer khusus tempat rangsang nyeri ditransduksi,

tapi juga di jaras desenden. Opioid secara langsung menghambat neuron, namun

kerja ini menghasilkan aktivasi neuron inhibitoris desenden yang mengirim proses

– proses ke medula spinalis dan menghambat neuron penghantar rasa nyeri.

Aktivasi inni terbukti terjadi akibat inhibisi neuron inhibitoris di beberapa tempat.

Berbagai interaksi pada tempat- tempat ini secara bersama-sama meningkatkan efek

analgesik keseluruhan milik agonis opioid.


Gambar Mekanisme Kerja Opioid dalam menghilangkan nyeri

EFEK FARMAKOLOGIKAL OPIOID


Efek pada SSP- efek-efek opioid analgesik dengan afinitas pada reseptor μ

terutama terjadi di SSP, yang terpenting ialah analgesia, euforia, sedasi, dan depresi

pernapasan. Pemakaian berulang menimbulkan toleranasi tingkat tinggi terhadap

semua efek – efek ini.

Analgesia- Agonis opioid berinteraksi dengan reseptor di otak dan di medula

spinalis. Ketika terjadi ikatan awal opioid di otak menyebabkan pelepasan

neurotransmiter inhibitor serotonin, yang menstimulasi inhibisi dari dorsal neuron.

Di medulla spinalis, morfin menginhibisi pelepasan peptida dari sejumlah

nociceptive. Morfin juga memiliki efek terhadap jalur descending noradrenegik.

Opioid memiliki efek yang sangat dalam pada regio cerebrocortical yang

mengontrol somatosensori dan aspek diskriminatif dari nyeri. Dengan demikian,


opioid menekan persepsi nyeri dengan mengeliminasi atau mengubah aspek

emosional dari nyeri dan menginduksi euphoria dan tidur dengan dosis yang tinggi.

Pasien menjadi inatentif terhadap stimulus nyeri, rasa gelisah berkurang, dan lebih

relaks.

Sebagai tambahan, opioid menekan respon polisinaptik tetapi meningkatkan

respon monosinaptik dan dapat menyebabkan efek kejang pada dosis yang tinggi.

Euforia – Pasien atau pengguna obat-obatan intravena yang mendapatkan

morfin intravena biasanya mengalami sensasi „melayang“ yang nyaman disertai

penurunan ansietas dan distres. Akan tetapi, disforia, suatu saat keadaan tidak

menyenangkan yang ditandai dengan rasa gelisah dan malaise, kadang dapat

terjadi.

Sedasi- efek opioid sering disertai dengan timbulnya rasa mengantuk dan

berkabutnya kesadaran. Jarang dijumpai amnesia. Opioid lebih menginduksi tidur

pada pasien yang berusia lanjut daripada pasien yang berusia muda dan sehat.

Biasanya, pasien mudah dibangunkan dari tidur ini. Akan tetapi, kombinasi morfin

dengan depresan sentral lainnya, seperti sedatif-hipnotik, dapat menimbulkan tidur

yang sangat dalam. Pada dosis analgesik standar, morfin mengganggu pola tidur

REM dan non-REM normal. Efek ini merupakan ciri khas semua opioid.

Depresi pernapasan- semua analgesik opioid menimbulkan depresi

pernapasan yang nyata melalui penghambatan mekanisme pernapasan di batang

otak. PCO2 alveolus dapat meningkat, tetapi pertanda depresi pernapasan yang

paling terpercaya adalah menurunnya respon terhadap uji karbon dioksida. Depresi
pernapasan ditentukan oleh dosis dan sangat dipengaruhi oleh derajat masukan

sensoris lainnya pada waktu yang sama.

Penekanan batuk- penekanan refleks batuk merupakan efek opioid yang

telah diketahui dengan baik. Akan tetapi penekanan batuuk oleh opioid dapat

menyebabkan penumpukan sekret sehingga dapat menyumbat saluran napas dann

menyebabkan atelektasis.

Miosis- konstriksi pupil disebabkan oleh semua agonis opioid. Miosis

merupakan efek farmakologik opioid yang sedikit atau tidak menimbulkan

toleranasi, sehingga miosis bermanfaat dalam menegakkan diagnosis keracunan

opioid.

Rigiditas – peningkatan tonus pada otot – otot batang tuubuh yang besar

terjadi pada penggunaan beberapa opioid. Rigiditas batang tubuh menurunkan

kemampuan dada untuk mngembang sehingga mempengaruhi ventilasi. Efek ini

dapat diatasi dengan pemberian antagonis opioid.

Saluran cerna – konstipasi dapat terjadi sebagai akibat efek dari opioid.

Reseptor opioid banyak terdapat di saluran cerna, dan efek konstipasi opioid

diperantarai melalui efeknya pada sistem saraf enterik.

Antagonis Opioid

Obat antagonis opioid yang murni meliputi nalokson, nalthrekson, dan

nalmerfen, merupakan turunan morfin dengan gugusan pengganti pada posisi

N12.afinitas agen – agen ini relatif tinggi berikatan dengan reseptor tipe μ, tetapi
rendah untuk berikatan dengan reseptor – reseptor lain. Agen – agen ini juga

meredakan agonis pada tempat κ dan δ.

Nalokson adalah antagonis murni dan lebih disukai dariipada obat agonis-

antagonis lemah yang lebih tua. Nalokson terutama digunakan sebagai terapi

overdosis opioid akut. Nalokson biasanya diberikan melalui suntikan dan

mempunyai durasi kerja yang sangat singkat (1-2jam). Sangat penting untuk

diingat, bahwa durasi kerja nalokson relatif singkat, karena pasien mengalami

depresi berat mungkin pulih setelah diberikan satu dosis nalokson dan tampak

normal, hanya untuk kembali koma 1- 2 jam kemudian.

Dosis awal nalokson biasanya 0,1-0,4 mg intravena untuk depresi pernapasan

dan SSP yang membahayakan jiwa. Terapi pemeliharaan digunakan menggunakan

obat yang sama 0.4-0.8 mg intravena, dan diulang bila perlu.


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Respon inflamasi merupakan suatu bentuk mekanisme pertahan tuuh

terhadap adanya benda asing. Namun respon inflamasi yang berlebihan

membutuhkan bantuan penggunaan obat farmakologi untuk dapat

mengurangi aktifitas reakasi inflamasi yang kronik. Hal ini yang menjadi

dasar dalam penggunaan obat anti inflamasi non steroid. Namun perlu

diperhatikan dalam efek samping yang ditimbulkan akibat penggunaan

OAINS agar efek terapi dan tujuan terapi dapat tercapai.

Begitu pula dengan penggunaan opioid dalam mengurangi sensasi

nyeri. Dalam penggunaan batas normal opioid dapat menghilangkan rasa

nyeri dengan memberikan sensasi euforia. Namun dalam penggunaan

berlebihan dapat menjadi toksik. Sebagai antidot, toksisitas opioid dapat

diberikan antagonis opioid.

B. Saran
Sekiranya penggunaan OAINS dan analgesik Opioid dapat

diperhatikan beberapa kondisi pasien dan effek dari masing – masing obat

yang diberikan terhadap pasien, agar efek dan tujuan terapiutik dari

penggunaan kedua golongan obat tersebut dapat tercapai dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai