Anda di halaman 1dari 10

2.

Patofisiologi Diabetic Foot Infection

Infeksi kaki diabetik didefinisikan sebagai invasi dan multiplikasi organisme patogen
yang menginduksi respons inflamasi diikuti kerusakan jaringan lunak atau tulang distal
maleolus kaki penderita diabetes. Infeksi kaki penderita diabetes berhubungan erat dengan
morbiditas serta menyebabkan ketidaknyamanan, penurunan fungsi fisik dan mental, serta
kualitas hidup penderitanya. Infeksi kaki diabetik merupakan komplikasi tersering yang
membutuhkan perawatan di rumah sakit serta penyebab utama amputasi ekstremitas
bawah pada penderita diabetes.1

Infeksi awal akibat kerusakan sawar pertahanan kulit, umumnya di daerah trauma atau
ulserasi. Neuropati perifer baik sensorik, motorik, maupun otonom merupakan faktor
utama terjadinya kerusakan kulit; luka terbuka ini selanjutnya menjadi daerah kolonisasi
bakteri (umumnya flora normal) dan selanjutnya berkembang menjadi invasi dan infeksi
bakteri. Iskemia jaringan kaki berkaitan dengan penyakit arteri perifer umum ditemukan
pada penderita infeksi kaki diabetik. Walaupun jarang menjadi penyebab utama, iskemia
pada ekstremitas akan meningkatkan risiko luka menjadi terinfeksi dan akan berkaitan
dengan luaran akibat infeksi. Luka pada kaki penderita diabetik sering menjadi luka
kronik, berkaitan dengan advanced glycation end-products (AGEs), inflamasi persisten,
dan apoptosis yang diinduksi oleh keadaan hiperglikemia.1

Gambar 2.1 Patofisiologi Infeksi kaki diabet berkaitan dengan Faktor Risiko1
Mayoritas kasus infeksi kaki diabetik terbatas pada bagian yang relatif superfisial.
Namun, infeksi dapat menyebar ke jaringan subkutan termasuk fascia, tendon, otot, sendi,
dan tulang. Anatomi kaki terbagi menjadi beberapa kompartemen yang rigid namun saling
berhubungan, sehingga infeksi mudah menyebar antar kompartemen. Respons inflamasi
akan meningkatkan tekanan kompartemen melebihi tekanan kapiler, menyebabkan
nekrosis jaringan akibat iskemia. Tendon yang terdapat dalam kompartemen menjadi
perantara penyebaran infeksi ke proksimal yang umumnya bergerak dari area bertekanan
tinggi menuju ke tekanan rendah.1

Tanda dan gejala sistemik (seperti demam, menggigil) yang menandakan leukositosis
atau gangguan metabolik signifikan jarang ditemukan; adanya tanda sistemik berkaitan
dengan keadaan infeksi berat yang berpotensi membahayakan keselamatan ekstremitas
dan nyawa.1

Gambar 2.2 Klasifikasi infeksi kaki diabetik berdasarkan Infectious Diseases Society
of America (IDSA) dan International Working Group on the Diabetic Foot (IWGDF).1
Gambar 2.3 Sistem klasifikasi luka diabetik berdasarkan Universitas Texas1

Tatalaksana Non-Farmakologi Diabetic Foot Infection

Perawatan Luka Mayoritas infeksi kaki diabetik membutuhkan debridement untuk


mengangkat jaringan terinfeksi dan nekrotik untuk mempercepat proses penyembuhan luka.
Belum ada penelitian prospektif yang mengevaluasi frekuensi dan jenis tindakan debridement
yang optimal untuk kasus ulkus kaki diabetik. Tidak ada satu balutan yang efektif untuk
semua kondisi ulkus diabetes. Pemilihan balutan untuk ulkus diabetes disesuaikan dengan
kondisi luka. Secara umum, infeksi kaki diabetik dengan eksudat ekstensif membutuhkan
balutan yang mampu menyerap kelembapan, sedangkan luka kering membutuhkan terapi
topikal untuk meningkatkan kelembapan luka. Balutan luka yang optimal sebaiknya diganti
minimal 1 kali sehari untuk membersihkan luka serta evaluasi keadaan infeksi luka.1

Penatalaksanaan kaki diabetik dengan ulkus harus dilakukan sesegera mungkin.


Komponen penting dalam manajemen kaki diabetik dengan ulkus adalah:6

 Kendali metabolik (metabolic control): Pengendalian keadaan metabolik


sebaik mungkin seperti pengendalian kadar glukosa darah, lipid, albumin,
hemoglobin dan sebagainya.6
 Kendali vaskular (vascular control):
Perbaikan asupan vaskular (dengan operasi atau angioplasti), biasanya
dibutuhkan pada keadaan ulkus iskemik.6
 Kendali infeksi (infection control):
Pengobatan infeksi harus diberikan secara agresif jika terlihat tanda-tanda
klinis infeksi. Kolonisasi pertumbuhan organisme pada hasil usap, namun
tidak disertai tanda-tanda klinis, bukan merupakan infeksi.6
 Kendali luka (wound control):
Pembuangan jaringan terinfeksi dan nekrosis secara teratur.
Perawatan lokal pada luka, termasuk kontrol infeksi, dengan konsep TIME:
o Tissue debridement (membersihkan luka dari jaringan mati)

o Inflammation and Infection Control (kontrol inflamasi dan infeksi)

o Moisture Balance (menjaga keseimbangan kelembaban)

o Epithelial edge advancement (mendekatkan tepi epitel)6

 Kendali tekanan (pressure control):


Mengurangi tekanan karena tekanan yang berulang dapat menyebabkan ulkus,
sehingga harus dihindari. Hal itu sangat penting dilakukan pada ulkus
neuropatik. Pembuangan kalus dan memakai sepatu dengan ukuran yang
sesuai diperlukan untuk mengurangi tekanan.6
 Penyuluhan (education control):
Penyuluhan yang baik. Seluruh pasien dengan diabetes perlu diberikan
edukasi mengenai perawatan kaki secara mandiri.6

6. Paracetamol

Mekanisme Kerja Obat

Parasetamol merupakan golongan sintetik non-opioid yang bekerja sebagai analgetik


dan antipiretik sentral yang merupakan turunan dari p-aminofenol. Parasetamol bekerja
secara sentral dengan cara menghambat sintesis prostaglandin dan juga enzin
siklooksigenase, serta penghambatan transmisi sinyal melalui sistem serotogenik desenden
pada sumsum tulang belakang. Parasetamol merupakan obat anti-inflamasi non steroid
yang memiliki efek antipiretik dan analgetik. Efek analgetik parasetamol karena perannya
dalam menghambat enzim siklooksigenase baik disentral maupun perifer. Mekanisme lain
melalui jalur nitric oxide, dimana parasetamol menghambat hiperralgesia yang dimediasi
substansi P.2

Paracetamol/Acetaminophen adalah obat antiinflamasi non steroid (NSAID), dengan


mekanisme kerja yang berbeda dari NSAID lain. Mekanismenya yaitu adanya hambatan
pada siklooksigenase (COX) di otak secara selektif, hal ini biasa digunakan untuk
mengobati demam dan nyeri juga dapat menghambat sintesis prostaglandin di sistem saraf
pusat (SSP). Acetaminophen langsung bekerja di hipotalamus menghasilkan efek
antipiretik.3

a. Indikasi
Paracetamol adalah golongan analgetik antipiretik indikasinya yaitu meredakan nyeri
ringan sampai sedang dan demam.4
b. Kontra Indikasi
Gangguan fungsi hati berat karena dapat menyebabkan kerusakan hati yang parah jika
dikonsumsi dalam jumlah yang tidak tepat (hepatotoksisitas) dan hipersensitivitas.3,5
c. Interaksi Obat
Terapi indikasi tanpa obat kategori kondisi medis membutuhkan sebuah
inisiasi terapi obat terdapat 3 kasus. Pada 2 kasus pasien sama-sama didiagnosa dokter
batuk tetapi terapi yang diberikan tidak terdapat obat dengan indikasi tersebut.
Seharusnya diberikan obat batuk golongan ekspektoran supaya pasien mendapatkan
terapi yang diinginkan tercapai. Pada 1 kasus pasien mengalami keluhan gatal-gatal
tetapi tidak diberikan obat dengan indikasi tersebut. Seharusnya diberikan obat
golongan antihistamin seperti cetirizine supaya tercapainya terapi yang diinginkan.
Terapi penyebab DRP membutuhkan tambahan terapi untuk mencapai efek sinergis
dan aditif terjadi sebanyak 6 kasus.4
Pada 3 kasus pasien dengan GDS 220-230 mg/dl pasien hanya mendapatkan
monoterapi. Berdasarkan algoritma ADA jika HbA1c lebih dari 9% harus
menggunakan dua terapi dan menejemen gaya hidup agar kadar glukosa dalam darah
itu dapat terkonrol dengan baik, seperti obat golongan sulfonilurea dan glinida.
Terdapat 3 kasus pasien dengan GDS 240-261 mg/dl pasien hanya mendapatkan
monoterapi. Berdasarkan algoritma ADA jika HbA1c lebih dari 10% harus
menggunakan terapi tiga yaitu menejemen gaya hidup, metformin dan dua agen
tambahan obat golongan lainya seperti sulfonilurea dan glinide.4
Gambar 6.1c Interaksi Paracetamol dengan Obat Diabetes Mellitus4
d. Efek Samping
Acetaminophen yang tidak tepat dapat menyebabkan overdosis. Penggunaan
NAC untuk pengobatan keracunan asetaminofen berasal dari Inggris pada tahun 1970-
an. Selanjutnya, beberapa penelitian telah membuktikan NAC efektif dalam
pengobatan keracunan asetaminofen. Studi awal yang dilakukan terhadap hewan
menunjukkan kemampuan NAC untuk menurunkan risiko atau mencegah
hepatotoksisitas dapat menyebabkan kerusakan hati yang parah jika dikonsumsi
dalam jumlah yang tidak tepat.3
Jarang terjadi efek samping, tetapi dilaporkan terjadi reaksi hipersensitivitas,
ruam kulit, kelainan darah (termasuk trombositopenia, leukopenia, neutropenia),
hipotensi juga dilaporkan pada infus, PENTING: Penggunaan jangka panjang dan
dosis berlebihan atau overdosis dapat menyebabkan kerusakan hati, lihat pengobatan
pada keadaan darurat karena keracunan.5
e. Hubungan obat dengan data klinik dan data lab pasien
Pada pemeriksaan tanda vital, suhunya sempat tinggi 38oC, sehingga sesuai
indikasi obat Paracetamol yaitu demam, pasien membutuhkan analgetik.
Mekanismenya yaitu adanya hambatan pada siklooksigenase (COX) di otak secara
selektif, hal ini biasa digunakan untuk mengobati demam dan nyeri juga dapat
menghambat sintesis prostaglandin di sistem saraf pusat (SSP).3,5
f. Hubungan obat dengan umur pasien
Obat analgetik Paracetamol dapat diberikan pada dewasa dengan dosis
acetaminophen yang dianjurkan untuk orang dewasa adalah 650 mg sampai 1000 mg
setiap 4 sampai 6 jam, tidak melebihi 4 gram / hari.3
g. Aturan pakai dan dosis
Terapi Paracetamol 500 mg 3x1 peroral.4,5
h. Hubungan pengobatan dengan riwayat pasien
Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus selama 6 tahun, DRP obat tanpa
indikasi adalah terapi yang tidak diperlukan namun tetap diberikan tanpa indikasi
medis yang jelas. Hasil penelitian menunjukan bahwa DRP terapi obat tanpa indikasi
menghasilkan kasus sebanyak 4 kasus (7%) dengan kategori penyebab DRP tidak ada
kondisi medis yang sesuai untuk terapi obat pada saat ini. Penyebab DRP kategori
tidak ada kondisi medis yang sesuai untuk terapi obat pada saat itu terdapat 3 kasus.
Pada kasus tersebut pasien mendapatkan terapi Paracetamol 500 mg 3x1. Paracetamol
adalah golongan analgetik antipiretik indikasinya yaitu meredakan nyeri ringan
sampai sedang dan demam. Pada, batuk dan DM, tidak ada gejala demam atau nyeri
sehingga pemberian paracetamol termasuk obat tanpa indikasi tetapidapat diberikan
kombinasi dengan obat anti-diabetes seperti Metformin dan Glibenklamid.4
i. Lama penggunaan obat
Digunakan sampai suhu tubuh kembali normal.
j. ADME obat

Absorbsi Distribusi Metabolisme Ekskresi


Penyerapan Acetaminophen Dosis Melalui urin
Acetaminophen bersirkulasi bersama terapeutik, (sekitar 50%),
terjadi terutama dengan protein plasma sebagian kotoran ( sekitar
di duodenum hingga 50% dan besar APAP 46%).
karena sifatnya dimetabolisme terutama dimetabolism Acetaminophen
sebagai asam di hati, tepatnya terjadi e oleh enzim yang aman
lemah. pada mikrosom. Rute konjugasi mencapai
Penundaan utama metabolisme fase II, konsentrasi
waktu t diamati dilakukan dengan terutama puncak dalam 1,5
jika proses glukuronisasi UDP- jam, dengan waktu
Acetaminophen atau sulfasi, yang glukuronosilt paruh 1,5-3 jam,
dikonsumsi menghasilkan metabolit ransferase overdosis
bersama non-toksik, yang (UGT) dan Acetaminophen
makanan. Hal dieliminasi dalam urin. sulfotransfera menghasilkan
ini terutama Di sisi lain, 5-10% obat se (SULT), konsentrasi serum
penting pada dimetabolisme oleh mengubahny puncak (10-20
pasien yang sitokrom P450 2E1 a menjadi mg / mL) dalam 4
terkena route, menghasilkan N- senyawa jam.3
penyakit hati acetylpara-benzo tidak beracun
kronis karena quinone imine yang
terdapat risiko (NAPQI) yang, tidak kemudian
terhadap waktu seperti produk dari rute diekskresikan
paruh serum lain, NAPQI sangat dengan urin.
obat yang beracun (Jaeschke, Hanya
berkepanjangan McGill, and sebagian
(dengan rata- Ramachandran 2012). kecil yang
rata 2,0 hingga Dalam kondisi normal, diekskresikan
2,5 jam, dan molekul ini berasosiasi tidak berubah
hingga lebih dengan glutathione, dalam urin.
dari 4 jam). dinetralkan, sehingga APAP yang
Sementara membentuk sistein dan tersisa,
asupan.3 senyawa lain yang tidak sekitar 5-9%
beracun bagi tubuh.3 dimetabolism
e oleh enzim
sitokrom
P450 (CYPs),
terutama
CYP 2E1
menjadi
metabolit
antara N-
acetyl-
pbenzoquino
ne imine
(NAPQI)
yang sangat
reaktif.3

k. Sediaan Obat

Gambar 6.1k Sediaan Obat Paracetamol 500mg5

Daftar Pustaka
1. Hutagalung M.B.Z., Eljatin D.S., Awalita dkk. Diabetic Foot Infection (Infeksi Kaki
Diabetik): Diagnosis dan Tatalaksana. CDK-277/ vol. 46 no. 6. RS Royal Prima
Jambi: Indonesia; 2019.
2. Hidayat A.P., Harahap M.S., Villyastuti Y.W. PERBEDAAN ANTARA
PARASETAMOL DAN KETOROLAK TERHADAP KADAR SUBSTANSI P
SERUM TIKUS WISTAR SEBAGAI ANALGESIK. Jurnal Anestesiologi Indonesia.
Volume IX, Nomor 1. RSUP Dr. Kariadi Semarang: Indonesia; 2017.
3. Hidayat R.P. N-ACETYLCYSTEINE SEBAGAI TERAPI TOKSISITAS
ACETAMINOPHEN. Jurnal Medika Hutama. Vol 02 No 01. Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung: Lampung; Oktober 2020.
4. Rokiban A., Dwiauliaramdini, Sitijuwariyah. ANALISIS DRUG RELATED
PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN RAWAT JALAN DIABETES MELITUS
TIPE 2 DI UPT PUSKESMAS RAWAT INAP GEDONG AIR BANDAR
LAMPUNG. Jurnal Farmasi Lampung. Vol. 9 No. 2. Fakultas MIPA, Jurusan Farmasi
Universitas Tulang Bawang Lampung: Lampung; Desember 2020.
5. http://pionas.pom.go.id/monografi/parasetamol-asetaminofen Diakses pada 10
Oktober 2021.
6. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan
Diabetes Melitus Tipe 2 Dewasa di Indonesia. PB PERKENI: Jakarta; 2019.

Anda mungkin juga menyukai