MAKALAH
MATERI MUSKULOSKELETAL BERHUBUNGAN DENGAN FRAKTUR
Disusun Oleh :
1. Ayu fitriana
2. Idha Fitrianingrum
3. Citra Novitasari
4. Septiana Andini W
5. Susi Kurnia Sari
6. Syarifatul Mukaromah
7. Kristyaningrum
8. Vega Wulandari
9. Linda Aprilian
10.Tazkiyatun Nafs A
11.Elma Tri W
12.Wagiri
1
[Type text]
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas
rahmatNya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan baik. Dalam makalah
ini termuat informasi – informasi mengenai fraktur atau yang lazim dikenal sebagai patah
tulang.
Bagi orang awam, insiden patah tulang sering ditangani secara non medis yang
bahkan sering berujung pada komplikasi. Pemaparan pada makalah ini berupa cara tepat
menangani fraktur beserta akibat yang ditimbulkan jika tidak ditangani secara tepat.
Kami berterima kasi kepada semua pihak yang telah terlibat dalam proses pembuatan
makalah ini dengan berbagai cara. Kami juga mohon maaf atas segala kekurangan yang
tersaji dalam makalah ini, ataupun segala tindakan kami yang menimbulkan kesalahpahaman
sewaktu proses pembuatan makalah ini. Semoga apa yang kami sajikan boleh bermanfaat
bagi anda semua.
2
[Type text]
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Dalam kesehariannya, manusia selalu melakukan aktivitas fisik. Hal ini dilakukan
untuk memenuhi kebutuhannya sehari – hari, baik fisik maupun psikologi. Dalam
melakukan aktivitasnya, manusia membutuhkan dukungan dari tubuhnya berupa
kemampuan mobilisasi yang adekuat agar mampu mencapai semua kebutuhannya.
Dukungan yang didapat tersebut berupa kemampuan tubuh manusia untuk senantiasa
bergerak.
Gerakan yang dihasilkan merupakan koordinasi antara berbagai sistem dalam
tubuh manusia. Namun, sistem utama yang berperan dalam mobilisasi manusia adalah
sistem muskuluskeletal. Sistem ini merupakan koordinasi dari muskulus (otot) dan
skeleton (tulang), dimana muskulus sebagai organ gerak aktif menempel pada osteon
yang menyangganya. Fungsi ini hanya bisa dilakukan secara fisiologis jika keadaan
sistem tersebut tidak terganggu.
Ada banyak aktivitas yang justru dapat menghambat kerja dari sistem
muskuluskeletal akibat kerusakan yang ditimbulkan baik pada muskulus ataupun
skeleton. Salah satu masalah terbanyak adalah fraktur, atau yang sering dikenal dengan
patah tulang. Keadaan ini menyebabkan gangguan fungsi fisiologis (patologis), karena
nyeri yang ditimbulkan dan keterbatasan gerak yang diakibatkan.
Menanggapi masalah di atas, makalah ini memaparkan masalah fraktur beserta
penanganannya, baik dari segi keperawatan maupun medis.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Definisi fraktur?
2. Apa saja Etiologi dari fraktur?
3. Bagaimana Patofisiologi dari fraktur?
4. Apa saja Klasifikasi fraktur?
5. Apa saja Tanda dan gejala fraktur?
6. Apa saja Komplikasi fraktur?
7. Bagaimana Penatalaksanaan dari fraktur?
8. Apa saja yang perlu dilakukan Pemeriksaan penunjang?
9. Bagaimana Asuhan keperawatan pada pasien fraktur?
3
[Type text]
10. Tujuan
Untuk mengetahui:
1. Definisi fraktur
2. Etiologi
3. Patofisiologi
4. Klasifikasi fraktur
5. Tanda dan gejala
6. Komplikasi
7. Penatalaksanaan
8. Pemeriksaan penunjang
9. Asuhan keperawatan
4
[Type text]
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
1. Fraktur adalah suatu gangguan kontinuitas normal tulang yang terjadi ketika suatu
beban yang ditempatkan pada tulang melebihi kemampuan tulang untuk
menahannya (black, 2005 :2129).
2. Fraktur atau umumnya patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
atau tulang rawan yang disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000 : 347).
3. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik
dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan dari tulang itu sendiri dan jaringan lunak
di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap, tidak
lengkap. (Arice, 1995 : 1183).
4. Fraktur adalah terputusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang
disebabkan oleh kekerasan (Oswari, 2000 :144).
5. Fraktur adalah sebuah luka trauma yang terjadi pada tulang dimana kontinuitas
jaringan pada tulang mengalami kerusakan (Christensen & Kockrow, 2006 :
1400).
6. Fraktur atau patah tulang adalah hasil dari tekanan pada tulang. Fraktur dapat
terjadi karena berbagai alasan, tetapi jenis yang paling umum termasuk fraktur
traumatis, fraktur insufisiensi, dan fraktur stres. Fraktur traumatis adalah yang
paling umum dan hasil dari penyebab kecelakaan (misalnya, jatuh parah,
kecelakaan kendaraan bermotor) atau penyebab tidak disengaja atau disengaja
(yaitu, penyalahgunaan). Fraktur insufisiensi terjadi ketika kualitas tulang tidak
cukup untuk menangani tekanan normal dari penumpukan berat (misalnya,
osteoporosis). Fraktur stres (atau kelelahan) dikaitkan dengan tekanan beban-
beban yang berulang-ulang pada tulang yang biasanya sehat, umum di antara atlet
(mis. Pesenam, penari, pelari jarak jauh) dan personel militer. (Ottawa, 2012)
5
[Type text]
Secara makroskopis tulang terdiri dari dua bagian yaitu pars spongiosa
(jaringan berongga) dan pars kompakta (bagian yang berupa jaringan padat).
Permukaan luar tulang dilapisi selubung fibrosa (periosteum); lapis tipis jaringan ikat
(endosteum) melapisi rongga sumsum & meluas ke dalam kanalikuli tulang kompak.
Membran periosteum berasal dari perikondrium tulang rawan yang merupakan
pusat osifikasi. Periosteum merupakan selaput luar tulang yang tipis. Periosteum
mengandung osteoblas (sel pembentuk jaringan tulang), jaringan ikat dan pembuluh
darah. Periosteum merupakan tempat melekatnya otot-otot rangka (skelet) ke tulang
dan berperan dalam memberikan nutrisi, pertumbuhan dan reparasi tulang rusak.
Pars kompakta teksturnya halus dan sangat kuat. Tulang kompak memiliki
sedikit rongga dan lebih banyak mengandung kapur (Calsium Phosfat dan Calsium
Carbonat) sehingga tulang menjadi padat dan kuat. Kandungan tulang manusia
dewasa lebih banyak mengandung kapur dibandingkan dengan anak-anak maupun
bayi. Bayi dan anak-anak memiliki tulang yang lebih banyak mengandung serat-serat
sehingga lebih lentur. Tulang kompak paling banyak ditemukan pada tulang kaki dan
tulang tangan. Pars spongiosa merupakan jaringan tulang yang berongga seperti spon
(busa). Rongga tersebut diisi oleh sumsum merah yang dapat memproduksi sel-sel
darah. Tulang spongiosa terdiri dari kisi-kisi tipis tulang yang disebut trabekula.
Secara Mikroskopis tulang terdiri dari :
1. Sistem Havers (saluran yang berisi serabut saraf, pembuluh darah, aliran
limfe)
2. Lamella (lempeng tulang yang tersusun konsentris).
6
[Type text]
C. ETIOLOGI
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya fraktur :
1. Jumlah beban yang diberikan pada tulang
2. Jumlah perubahan yang terjadi pada struktur tulang akibat penyakit seperti
penyakit osteoporosis dan kanker.
Saat tulang patah periosteum dan pembuluh darah pada korteks, sumsum
tulang, dan jaringan lunak disekitarnya menjadi rusak. Perdarahan terjadi dari ujung
tulang yang patah dan dari jaringan lunak disekitarnya. Hematom dapat terbentuk di
kanal medulari antara ujung tulang yang fraktur dan di bawah periosteum. Kemudian
jaringan tulang yang terletak di daerah fraktur mengalami kematian. Jaringan nekrotik
ini menstimulasi sebuah respon peradangan yang ditandai dengan vasodilatasi, edema,
nyeri,
7
[Type text]
b. Proliferasi sel
Sel-sel dari lapisan dalam perioteum berproliferasi pada sekitar fraktur,
dimana sel-sel ini menjadi precusor dari osteoblast, osteogenesis ini berlangsung
terus, lapisan fibrosa periosteum melebihi tulang, Setelah beberapa hari kombinasi
dari perioteum yang meningkat dengan fase granulasi membentuk collar di ujung
fraktur.
c. Pembentukan callus
6 – 10 hari setelah fraktur jaringan granulasiberubah dan terbentuk callus.
Sementara pembentukan cartilago dan matrik tulang diawali dari jaringan callus yang
lunak. Callus ini bertambah banyak, callus sementara meluas, menganyam m2assa
tulang dan cartilago sehingga diameter tulang melebihi normal. Hal ini melindungi
fragmen tulang tapi tidak memberikan kekuatan callus sementara ini meluas melebihi
garis fraktur.
d. Ossifikasi
Callus yang menetap/apermanen menjadikan tulang kaku karena adanya
penumpukan garam-garam calsium dan bersatu bersma ujung-ujung tulang. Proses
ossifikasi ini mulai dari callus bagian luar kemudian bagian dalam dan terakhir bagian
tengah. Proses ini terjadi selama 3 – 10 minggu.
e. Konsolidasidan Remodelling
Pada waktu yang sama pembentukan tulang yang sebenarnya callus dibentuk
dari aktivitas osteoklast. Kelebihan-kelebihan tulang seperti di pahat dan diabsorbsi
dari callus. Proses pembentukan lagi ditentukan oleh beban tekanan dari otot.
E. KLASIFIKASI FRAKTUR
Klasifikasi fraktur berdasarkan kontak tulang dengan lingkungan :
8
[Type text]
1. Fraktur tertutup
Merupakan fraktur tanpa komplikasi dengan kulit tetap utuh disekitar fraktur tidak
menonjol keluar dari kulit. Fraktur terbuka adalah cedera di mana fraktur tulang dan /
atau fraktur hematoma terpapar pada lingkungan eksternal melalui pelanggaran
traumatis pada jaringan lunak dan kulit. Luka kulit mungkin terletak di lokasi yang
jauh dari fraktur dan tidak langsung di atasnya. Oleh karena itu, setiap fraktur yang
memiliki luka yang menyertai harus dianggap terbuka sampai terbukti sebaliknya.
(Jessica & Aaron, 2018)
2. Fraktur terbuka
Pada tipe ini, terdapat kerusakan kulit sekitar fraktur, luka tersebut menghubungkan
bagian luar kulit. Pada fraktur terbuka biasanya potensial untuk terjadinya infeksi,
luka terbuka ini dibagi menurut gradenya.
Grade I : luka bersih, kurang dari 1 Cm.
Grade II : luka lebih luas disertai luka memar pada kulit dan otot.
Grade III : paling parah dengan perluasan kerusakan jaringan lunak terjadi pula
kerusakan pada pembuluh darah dan syaraf.
9
[Type text]
1. Linear fraktur, adalah fraktur dengan garis retakan yang berbentuk lurus.
2. Oblique frakur, adalah fraktur dengan garis retakan yang membentuk garis 450
dari garis axis tulang.
3. Longitudinal fraktur
4. Transverse fraktur
5. Spiral fraktur
Klasifikasi berdasarkan tipe fraktur :
1. Avulsed Fracture
Adalah keadaan dimana fragmen tulang terpisah dari badan tulang dan masih
berada di dalam jaringan.
2. Compression Fracture
10
[Type text]
Adalah terjadi karena tekanan yang berlebihan pada tulang yang di berikan secara
tegak lurus pada tulang yang tegak ke atas (axis). Gaya gravitasi dan berat badan
juga ikut mempengaruhi tekanan yang diberikan pada tulang.
3. Comminuted Fracture
Adalah kerusakan pada tulang yang biasanya terjadi karena kecelakaan (sepeda
motor) dan menmbulkan lebih dari satu retakan tulang.
4. Greenstick Fracture
Pada fraktur ini salah satu sisi tulang remuk dan sisi tulang lain bengkok.
5. Impacted Fracture
Merupakan keadaan dimana tulang yang mengalami fraktur, saling tumpang tindih
antara satu dengan yang lain.
6. Pathologic Fracture
Merupakan fraktur yang terjadi saat tulang menjadi rapuh karena penyakit tulang
seperti osteoporosis dan tumor.
7. Stress (fatigue) fracture
Merupakan fraktur yang terjadi sebagai akibat kelelahan atau pembebanan
berulang pada tulang.
F. TANDA DAN GEJALA
12
[Type text]
G. PENATALAKSANAAN
1. GIPS
Secara umum gips digunakan untuk mempertahankan reduksi, namun harus
melewati sendi dan dibawah fraktur. Gips sebaiknya tidak berlaminasi dan sesuai
dengan geometri tulang yang diberi gips tersebut. Dengan membalut plester yang
lunak diatas tonjolan tulang biasanya dapat mencegah timbulnya ulserasi tekanan dan
dapat memaksimalkan kemampuan gips tersebut untuk mempertahankan posisi
fragmen frakur.
Reduksi dan pemasangan gips seringkalidapat diselesaikan dalam beberapa
jam setelah terjadi cedera yaitu saat pembengkakan jaringan lunak belum maksimal.
Selain itu proses reduksi juga dapat memperberat edema jaringan yang sudah ada.
Namun karena gips dipasang berbentuk melingkar, mengelilingi seluruh ekstremitas
maka suplay darah dan syaraf ke ekstremitas harus benar-benar diperhatikan.
Ekstremitas harus diletakkan lebih tinggi, bagian distal eksremitas yang mengalami
cedera harus diperiksa berulang-ulang guna mengawasi perkembangan nyeri,
kepucatan, paresi dn hilangnya denyut nadi. Semua itu adalah tanda-tanda dari
disfungsi neurovaskuler.
Semua keluhan penderita yang tetap dirasakan setelah reduksi harus benar-
benar mendapat perhatian. Pada beberapa jam pertama setelah cedera, pemberian obat
– obat narkoti secara berulang-ulang adalah suatu kontraindikasi. Hal ini dapat
menghilangkan nyeri yang timbul dari nekrosis jaringan.
13
[Type text]
2. TRAKSI
Traksi dilakukan dengan memasang beban dengan tali pada ekstremitas. Biasanya
lebih disukai traksi rangka dengan pin baja steril yang dimasukkan melalui fragmen
distal atau tulang yang lebih distal melalui pembedahan, bukan dengan taksi kulit.
Sewaktu memasang atau mempertahankan traksi ada beberapa factor penting yang
harus diperimbangkan yaitu:
a) Tali utama dipasang pada pin rangka, sebaiknya menimbulkan gaya tarik yang
segaris dengan sumbupanjang normal tulang panjang yang patah.
b) Berat ekstremitas maupun alat penyokong sebaiknya seimbang dengan pemberat
untuk menjamin agar reduksi dapat dipertahankan secara stabil dan mendukung
ekstremitas yang patah.
c) Traksi dapat bergerak bebas melalui katrol
d) Pemberat harus cukup tinggi diatas permukaan lantai dengan pasien dalam posisi
normal diatas tempat tidur sehingga perubahan posisi rutin tidak menyebabkan
pemberaterletak dilantai sehingga kehilangan regangan tali.
e) Traksi yang dipasang harus baik dan terasa nyaman.
Tujuan pemasangan traksi:
14
[Type text]
Penggunaan traksi ini pada anak lebih tua, aliran darah yang menuju ke
kaki mungkin akanmengalami gangguan akibat pengaruh hidrostatik yang cukup
besar dengan menempatkan kaki secara vertical dan akibat dari pembungkus
elastis.
Cara kerja/metoda:
a) Hanya satu pin rangka yang ditempatkan tranfersal melalui femur distal
atau tibia paroksimal.
b) Dipasang traksi dengan dan tali traksi utama pada pancang tersebut
c) Ekstremitas pasien ditempatkan dengan posisi panggul dan lutut
membentuk fleksi 35 o
Keuntungan:
a) Hanya satu pin rangka yang ditempatkan tranfersal melalui femur distal
atau tibia paroksimal.
b) Longitudinal pada patah tulang yang panjang.
15
[Type text]
Digunakan untuk menangani fraktur femur dan reduksi untuk fraktur panggul
mungkin lebih sering diperolehdengan memakai traksi russel.
Metoda/cara:
Keuntungan:
Lebih nyaman pada pasien dengan fraktur panggul selama evaluasi pre operasi.
Kerugian:
16
[Type text]
17
[Type text]
a) Dewasa: 1/3 BB
b) Anak 1/13 BB
2. Pembedahan
Tindakan operasi yang dilakukan untuk menobati fraktur.
Fiksasi internal dilakukan dalam tehnik aseptic yang sangat ketat dan pasien
untuk beberapa saat dapat antibiotika untuk pencegahan setelah pembedahan.
c) Transplantasi Tulang
Jarang dilakukan, tapi adakalanya dilakukan pada fraktur dimana tulang tidak
dapat lagi distukan (hancur) untuk mempertahankan keutuhan organ tubuh
digunakan transplantasi tulang. Ini akan juga mempengaruhi kerja otot terhadap
tulang.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Rontgen, untuk menentukan lokasi atau luasnya fraktur atau luasnya trauma, scan
tulang, temogram, untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
2. Darah lengkap, kemungkinan Hb meningkat atau menurun.
3. Masa pembekuan dan perdarahan
4. Pemeriksaan urin
18
[Type text]
5. EKG
I. FASE PENYEMBUHAN FRAKTUR
Menurut (Einhorn, 2015) Penyembuhan fraktur dan perbaikan jaringan skelet
melibatkan fase anabolik awal yang ditandai dengan peningkatan volume jaringan
terkait dengan rekrutmen de novo dan diferensiasi sel punca yang membentuk
jaringan skeletal dan vaskular. Berbatasan langsung dengan garis fraktur, kalus
kartilaginosa akan terbentuk. Perifer ke daerah pusat ini, di tepi jaringan tulang rawan
7 , 8
baru, periosteum membengkak dan pembentukan tulang primer dimulai.
Bersamaan dengan perkembangan jaringan tulang rawan, sel-sel yang akan
membentuk pembuluh darah yang baru lahir yang memasok tulang baru direkrut dan
9 , 10
berdiferensiasi dalam selubung otot di sekitarnya. Peningkatan tempat tidur
vaskuler yang mengelilingi dan kemudian tumbuh ke dalam kalus lebih lanjut
tercermin oleh peningkatan aliran darah ke area perbaikan jaringan. Ketika
diferensiasi kondrosit berkembang, matriks ekstraselular tulang rawan mengalami
mineralisasi dan fase anabolik perbaikan fraktur berakhir dengan apoptosis kondrosit.
11 , 12
Perkembangan histologis dan seluler dari peristiwa ini ditunjukkan pada Gambar
1 . Fase anabolik diikuti oleh fase berkepanjangan di mana aktivitas katabolik
mendominasi, dan ditandai dengan pengurangan volume jaringan kalus. Selama fase
aktivitas katabolik yang dominan ini, seperti resorpsi tulang rawan, proses anabolik
spesifik terus berlangsung; pembentukan tulang sekunder dimulai ketika tulang rawan
diserap dan angiogenesis primer berlanjut ketika jaringan tulang yang baru lahir
menggantikan tulang rawan. Selanjutnya, ketika remodeling tulang dimulai, matriks
mineralisasi pertama yang dihasilkan selama pembentukan tulang primer diserap oleh
osteoklas, dan kemudian tulang sekunder diletakkan selama periode resorpsi tulang
rawan juga diserap. Ketika jaringan kalus tulang terus diserap, periode yang
berkepanjangan ini ditandai dengan siklus osteoblas dan aktivitas osteoklas di mana
jaringan kalus diubah bentuknya menjadi struktur kortikal asli tulang (disebut
`remodeling berpasangan 'di sini). Selama periode ini, ruang sumsum dibentuk
kembali dan struktur sumsum asli dari jaringan hematopoietik dan tulang
diregenerasi. Pada periode akhir fase katabolik, remodeling vaskular yang luas terjadi
di mana peningkatan vaskular meningkat dan laju aliran vaskular yang tinggi kembali ke
13 , 14
tingkat pra-cedera. Meskipun proses ini terjadi secara berurutan, mereka tumpang
tindih secara substansial dan merupakan rangkaian perubahan populasi sel dan proses
19
[Type text]
Gambar 1
20
[Type text]
Gambar 2
Baik proses imun bawaan dan adaptif sangat penting selama fase
penyembuhan fraktur anabolik dan katabolik. Pada tahap inflamasi awal setelah
cedera, fungsi-fungsi kekebalan spesifik yang dimediasi sel menghilangkan jaringan
15 - 17
nekrotik, mempromosikan angiogenesis dan memulai perbaikan. Menariknya,
18
fraktur mengarah pada penekanan sistem kekebalan, dengan peningkatan lokal
dalam jumlah sel T regulator (IT REG ) yang diinduksi yang menekan respons imun
adaptif aktif dalam kalus fraktur. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa sel
punca mesenkimal secara aktif mempertahankan keadaan hipoimunogenik melalui
produksi faktor parakrin imunosupresif, 22-24 atau melalui aksi langsung sel-sel ini
25 , 26
pada populasi sel kekebalan, termasuk sel T. Efek tersebut menunjukkan bahwa
sel-sel ini memberikan toleransi kekebalan sepanjang tahap awal pembentukan tulang
endokhondral dan memberikan perlindungan pada jaringan yang sedang berkembang
dengan menekan allo-proliferasi sel T selama perekrutan sel induk dan pembentukan
19
tulang rawan. Pada berbagai tahap penyembuhan fraktur, sitokin dengan fungsi
19 27 , 28 19 , 29 19
inflamasi dan kekebalan tubuh, termasuk IL-1β, IL-6, IL-17F, IL-23
12 , 30
dan TNF, secara bervariasi diekspresikan dan memiliki efek yang berbeda.
21
[Type text]
Selama periode peradangan akut segera setelah cedera, sel-sel rekrutmen TNF dan IL-
6 yang diperlukan untuk regenerasi jaringan dan ketiadaan total mereka telah terbukti
12 , 27 - 30
menunda diferensiasi sel batang mesenkim skeletogenik. Di sisi lain, jika
peradangan tetap tidak terselesaikan, seperti dengan infeksi bakteri di lokasi cedera,
penyembuhan dapat gagal. 31 Dalam konteks peradangan kronis, seperti pada diabetes
mellitus yang diinduksi streptozotocin pada tikus, kalus tulang rawan dibuang
32 , 33
sebelum waktunya selama penyembuhan fraktur, dan pada model tikus lupus
erythematosus sistemik (SLE), aktivitas osteoklas dan pergantian tulang adalah pada
19
tikus. tinggi. Pada kedua model penyakit ini, akumulasi tulang yang lebih sedikit
primer dan sekunder terjadi selama penyembuhan fraktur daripada pada tikus kontrol.
Agen biologis antiinflamasi dan agen antiresorptif mungkin memiliki nilai terapeutik
dalam penyembuhan fraktur untuk pasien dengan SLE atau diabetes mellitus. 34
22
[Type text]
positif pada penyembuhan fraktur dan penting untuk dipertimbangkan dalam konteks
komorbiditas spesifik yang mempengaruhi regenerasi. 34
44 , 45
Tingkat trauma jaringan lunak dan jaringan keras eksternal, dan tekanan
mekanis yang dihasilkan oleh intervensi terapeutik, masing-masing akan
mempengaruhi asal sel-sel induk yang berkontribusi pada penyembuhan, tingkat
diferensiasi sel-sel tulang rawan versus sel-sel tulang. dan perkembangan
46 - 48
penyembuhan fraktur. Hasil dari pelacakan garis keturunan transgenik telah
menunjukkan bahwa kalus fraktur sebagian besar terbentuk dari sel-sel dari
49
periosteum. Studi lain menunjukkan bahwa sel-sel periosteal secara spesifik
merespons protein morphogenetic tulang 2 (BMP-2) untuk mempromosikan baik
kondrogenesis maupun osteogenesis, sedangkan sel-sel di ruang sumsum hanya akan
membentuk tulang sebagai respons terhadap BMP-2. Oleh karena itu, mekanisme
yang mengendalikan perbaikan tulang kortikal mungkin berbeda dengan yang
memperbaiki dan merombak tulang trabekuler, dan yang terjadi di ruang medula.
Luas dan jenis trauma yang menyertai fraktur juga akan mempengaruhi
sumber jaringan dari mana sel-sel induk yang berkontribusi terhadap kalus berasal.
Studi tikus transgenik menggunakan gen reporter yang diaktifkan secara kondisional
dalam sel batang otot menunjukkan bahwa sel-sel ini tidak berkontribusi secara
substansial untuk pembentukan kalus dalam model fraktur tibialis tertutup.
Sebaliknya, penelitian fraktur tibialis terbuka, di mana periosteum secara operasi
dilucuti dari tulang dengan fenestrasi otot tambahan, menunjukkan bahwa hampir
51
setengah sel dalam kalus berasal dari otot di sekitarnya. Dengan demikian, luasnya
cedera yang dapat diperbaiki terbatas; terlalu banyak kerusakan pada otot dan
periosteum dapat mengatasi pasokan sel batang regeneratif jaringan. Juga penting
adalah untuk mempertimbangkan sejauh mana jaringan pembuluh darah di selubung
otot sekitarnya terganggu; Kegagalan angiogenesis setelah fraktur atau osteotomi
dapat menyebabkan nonunion. 44
23
[Type text]
Stabilitas
24
[Type text]
Terapi
25
[Type text]
26
[Type text]
VI. FGF-2
82
Kawaguchi et al. menyelidiki penggunaan rekombinan manusia FGF-2
untuk meningkatkan penyembuhan fraktur poros tibialis. 70 pasien dengan fraktur
transversal atau oblique pendek dari tibialis diacak ke salah satu dari tiga kelompok
dan dinilai selama 24 minggu. Pasien di masing-masing kelompok disuntikkan, ke
fraktur mereka, dengan plasebo (gelatin hidro-gel), atau dengan dosis rendah (0,8 mg)
atau dosis tinggi (2,4 mg) hidrogel FGF-2. Persentase kumulatif pasien dengan
persatuan fraktur yang terbukti secara radiografi lebih tinggi pada kelompok yang
diobati dengan FGF-2 dibandingkan pada kelompok yang diobati dengan plasebo, dan
tidak ada perbedaan antara kelompok FGF-2 dosis tinggi dan dosis rendah yang
dilaporkan. Tidak ada pasien yang menjalani intervensi sekunder, dan tidak ada
perbedaan dalam jumlah atau jenis efek samping yang terdeteksi antara ketiga
kelompok.
VII. PDGF
Molekul pensinyalan peptida lain yang telah dipelajari secara luas untuk
peningkatan perbaikan kerangka adalah rekombinan manusia Homodimeric PDGF
83
subunit B (PDGF-BB). DiGiovanni et al . mendaftarkan 434 (dengan 397
menyelesaikan penelitian) pasien dalam uji coba noninferioritas prospektif terkontrol
(2: 1) dari pasien yang membutuhkan arthrodesis kaki belakang atau pergelangan
kaki. Para peneliti menguji hipotesis bahwa PDGF-BB, dikombinasikan dengan
matriks β-tricalcium fosfat ( n = 260; 394 sendi), akan aman dan efektif sebagai
alternatif dari standar perawatan saat ini, cangkok tulang autologous dari krista iliaka
( n = 137; 203 sendi). CT menunjukkan bahwa tulang dari 159 pasien (262 sendi)
27
[Type text]
pada kelompok PDGF dan 85 (127 sendi) pada kelompok autograft menyatu pada 6
bulan. Kelompok PDGF memiliki lebih sedikit rasa sakit dan peningkatan profil
keamanan. Para peneliti menyimpulkan bahwa, pada pasien yang membutuhkan
arthrodesis hindfoot atau pergelangan kaki, pengobatan dengan PDGF memiliki
tingkat fusi yang serupa, lebih sedikit rasa sakit dan lebih sedikit efek samping
dibandingkan dengan autografting.
VIII. BMP
bedah serta kuku intramedulla yang dikunci secara statis (standar perawatan) atau
standar perawatan plus, pada saat penutupan luka, baik 0,75mg / kg atau 1,50 mg / kg
86
BMP-2 tertanam dalam spons kolagen tipe I. Setelah 12 bulan, risiko intervensi
sekunder berkurang sebesar 44% pada kelompok yang diobati dengan dosis tinggi
BMP-2 dibandingkan dengan standar perawatan saja ( P = 0,005). 58% dari kelompok
BMP-2 `sembuh ', sebagaimana ditentukan oleh bukti radiografi dan kurangnya rasa
sakit di lokasi fraktur, dibandingkan dengan 38% dari kelompok yang dirawat dengan
perawatan biasa ( P = 0,001). Dibandingkan dengan perawatan biasa, pasien-pasien
yang dirawat dengan dosis tinggi BMP-2 memiliki lebih sedikit kegagalan pada kuku,
lebih sedikit infeksi dan penyembuhan luka yang lebih cepat. FDA memberikan
85
persetujuan pra-pemasaran untuk manusia rekombinan BMP-2, dan perawatan ini
sekarang tersedia di beberapa negara untuk perawatan fraktur tibialis yang terbuka
dan baru.
29
[Type text]
30
[Type text]
Gambar 3
Persilangan antara pensinyalan Wnt, PTH dan BMP dalam garis keturunan
tulang rawan dan sel tulang. Ligan Wnt memediasi pensinyalan kanonik melalui
pensinyalan β-catenin dan BMP dapat dimediasi oleh SMAD1, SMAD3 dan SMAD5.
Antagonis LRP5 dan LRP6 sclerostin dan DKK1 adalah fokus utama dari terapi
berbasis antibodi yang ditargetkan. Tahap-tahap utama dalam perkembangan garis
keturunan kartilago dan sel-sel tulang yang mereka bedakan dari sel-sel induk
skeletogenik digambarkan. Efek stimulasi dan penghambatan utama pada diferensiasi
dan proliferasi dari dua garis keturunan dilambangkan. Efek utama dari jalur BMP,
PTH dan Wnt pada diferensiasi osteoklas secara tidak langsung dimediasi oleh
berbagai aktivitas jalur yang mengatur ekspresi faktor parakrin dalam osteosit, yang
pada gilirannya mengatur diferensiasi dan fungsi osteoklas. Singkatan: BMP, protein
morfogenetik tulang; BMPR, reseptor protein morfogenetik tulang; DKK1, protein
terkait Dickkopf 1; LRP, protein terkait reseptor LDL; MSC, sel batang
mesenchymal; PTH, hormon paratiroid; PTH1R, reseptor hormon 1 paratiroid;
PTHrP, protein yang berhubungan dengan hormon paratiroid; RANKL, aktivator
reseptor ligan faktor κB nuklir; SMAD, ibu-ibu yang menentang homolog
decapentaplegic.
31
[Type text]
PTH adalah hormon alami yang memodulasi mineral homeostasis dan telah
dikembangkan sebagai obat untuk pengobatan osteoporosis. Peningkatan
penyembuhan fraktur menggunakan kedua bagian situs aktif dari molekul (asam
amino 1-34, juga dikenal sebagai teriparatide) dan molekul panjang penuh (asam
70
amino 1-84) telah dipelajari. Alkhiary et al . diselidiki fraktur femoralis diafisial
tertutup standar pada 270 tikus Sprague Dawley jantan yang diberikan injeksi
subkutan harian kendaraan (hingga 35 hari) atau 5 μg / kg atau 30 μg / kg PTH (1–
34). Pada 21 hari, kapalan dari kelompok yang diobati dengan 30 μg PTH (1–34)
mengalami peningkatan kekuatan ( p <0,05) signifikan, kekakuan, kadar mineral
tulang, kepadatan mineral tulang dan volume tulang rawan, dibandingkan dengan
kontrol. Tidak ada perubahan dalam kepadatan osteoklas yang terdeteksi,
menunjukkan bahwa pengobatan dengan PTH (1-34) meningkatkan pembentukan
tulang, tetapi tidak menyebabkan resorpsi tulang. Para peneliti menyimpulkan bahwa
administrasi sistemik harian PTH (1–34) menghasilkan efek anabolik berkelanjutan
sepanjang fase pemodelan tulang penyembuhan patah tulang. Data ini mendukung uji
klinis di mana wanita pascamenopause dengan fraktur radius distal yang
membutuhkan reduksi dan imobilisasi tertutup, tetapi bukan operasi, secara acak
ditugaskan untuk 8 minggu suntikan plasebo sekali sehari, atau 20 μg atau 40 μg PTH
(1– 34) dalam waktu 10 hari dari fraktur ( n = 34 di setiap kelompok). Perkiraan
waktu rata-rata dari fraktur menjadi bukti radiografi pertama jembatan kortikal
lengkap pada tiga dari empat korteks masing-masing adalah 9,1, 7,4, dan 8,8 minggu
pada ketiga kelompok (keseluruhan P = 0,015). Perbedaan yang signifikan secara
statistik antara dua dosis PTH (1-34) tidak ditemukan, tetapi waktu untuk
penyembuhan lebih pendek pada kelompok 20 μg PTH (1–34) dibandingkan pada
kelompok plasebo ( P = 0,006). Para peneliti menyimpulkan bahwa perbaikan fraktur
dapat dipercepat dengan 20 μg PTH (1-34), tetapi hasil ini memerlukan penelitian
lebih lanjut. Dalam studi prospektif terkontrol acak untuk mengevaluasi efek PTH (1-
84) pada penyembuhan fraktur panggul dan hasil fungsional pada wanita
pascamenopause, 65 pasien menjalani pemeriksaan radiografi dan CT fraktur
91
panggul. 21 pasien dirawat dengan suntikan 100 g PTH (1-84) sekali sehari,
dimulai 2 hari setelah masuk ke rumah sakit, dan 44 pasien lainnya diinjeksi dengan
saline. Semua pasien diobati dengan 1.000 mg kalsium dan 800 IU vitamin D. CT
32
[Type text]
diulangi setiap 4 minggu sampai bukti radiografi jembatan kortikal di lokasi fraktur
terlihat. Hasil menunjukkan waktu rata-rata untuk penyembuhan fraktur 7,8 minggu
untuk kelompok PTH (1-84) dibandingkan dengan 12,6 minggu untuk kelompok
kontrol ( P <0,001). Para peneliti menyimpulkan bahwa, pada pasien pascamenopause
dengan osteoporosis, fragmen PTH (1-84) mempercepat penyembuhan fraktur
panggul, dan meningkatkan hasil fungsional yang dinilai dengan skala analog visual
untuk rasa sakit dan tes `time-up and go '. 91
X. Keluarga Wnt
Protein terkait reseptor LDL adalah keluarga reseptor permukaan sel yang
terlibat dalam beragam proses biologis, termasuk metabolisme lipid, pengambilan
retinoid dan migrasi saraf. Protein terkait 5 LDL terkait (LRP5) diperlukan untuk
pensinyalan gen dalam keluarga Wnt dengan bertindak sebagai ko-reseptor. Aktivasi
pensinyalan Wnt dalam osteoblas biasanya menstimulasi pembentukan tulang, dan
antagonisme pensinyalan Wnt oleh protein-protein yang dikeluarkan dari keluarga
Dickkopf mencegah pembentukan kompleks aktif LRP5 dan dengan demikian
memodulasi massa tulang. Mutasi kehilangan fungsi pada LRP5 juga mengganggu
aktivasi pensinyalan Wnt dan mengurangi massa tulang; LRP5 Gly171Val merusak
kemampuan protein yang berhubungan dengan Dickkopf untuk mengantisipasi jalur
Wnt, dan pensinyalan Wnt tanpa lawan menyebabkan peningkatan massa tulang (
93
Gambar 3 ). Sclerostin, produk gen SOST yang diekspresikan secara eksklusif oleh
osteosit, menghambat LRP5 dan dengan demikian menghambat jalur pensinyalan
94 - 96
Wnt. Memang, displasia tulang sclerosing penyakit van Buchem (juga dikenal
sebagai hyperostosis corticalis generalisata familiaris) dan sclerosteosis ditandai oleh
33
[Type text]
tengkorak tebal, rahang persegi dan kelainan jari, dan berhubungan dengan hilangnya
94 , 95
fungsi mutasi pada SOST . Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
pengobatan antibodi anti-sclerostin meningkatkan penyembuhan tulang metafisial
97
pada tikus dan meningkatkan penyembuhan defek tibialis proksimal pada tikus
yang diovariektomi. Peningkatan kadar sclerostin serum selama penyembuhan patah
tulang pada manusia juga telah terdeteksi. Lebih lanjut, sebuah penelitian terhadap
wanita pascamenopause dengan osteoporosis, meskipun bukan uji klinis definitif dari
perawatan fraktur, telah menunjukkan bahwa terapi antibodi anti-sklerostin
(romosozumab) dapat meningkatkan kepadatan mineral tulang dan pembentukan
99
tulang. Studi-studi ini menunjukkan bahwa anggota jalur pensinyalan Wnt, dan
sclerostin khususnya, mungkin menjadi target terapi untuk peningkatan perbaikan
kerangka.
34
[Type text]
Tabel 1
Singkatan: BMP-2, protein morfogenetik tulang 2; DKK1, protein terkait Dickkopf 1; PTH,
hormon paratiroid.
35
[Type text]
Kesimpulan
Mengoptimalkan kondisi untuk panen, pemilihan, perluasan dan formulasi persiapan sel
induk osteogenik diperlukan untuk memajukan bidang penyembuhan kerangka dan untuk
menetapkan tahap untuk mengembangkan terapi lokal dan sistemik baru. Kita juga perlu
mengembangkan sistem pengiriman yang lebih baik untuk sel punca, faktor pertumbuhan dan
36
[Type text]
zat osteoinduktif, dan untuk mengeksplorasi aplikasi sistemik agen osteogenik. Identifikasi
pengaturan eksperimental yang tepat dan titik akhir klinis yang terukur dan bermakna untuk
desain uji klinis manusia juga diperlukan. Tujuan-tujuan ini, jika didasarkan pada fondasi
yang kuat dari pengetahuan sains dasar penyembuhan kerangka, akan mengarah pada metode
baru untuk meningkatkan perawatan pasien dengan cedera kerangka.
Poin-poin penting
■ Fraktur adalah organ besar, cedera traumatis paling umum pada manusia dan sekitar
10% tidak sembuh dengan baik
■ Penyembuhan fraktur melibatkan fase anabolik dari peningkatan volume jaringan,
yang membentuk jaringan kerangka baru, diikuti oleh fase katabolik yang
berkepanjangan di mana jaringan diubah menjadi struktur asli
■ Penyembuhan fraktur diatur oleh sifat dan tingkat trauma, stabilitas fiksasi fraktur
dan proses biologis, termasuk proses imunologis dan perkembangan yang terkait
dengan ontologi kerangka.
■ Berbagai strategi, yang melibatkan terapi sistemik berbasis sel biofisik, lokal, dan
sistemik yang memanipulasi proses morfogenetik yang mengontrol perkembangan
kerangka digunakan untuk mendorong penyembuhan
■ Dua terapi yang paling banyak diteliti untuk penyembuhan patah tulang secara
biologis adalah protein morfogenetik tulang, yang bekerja secara lokal, dan hormon
paratiroid, yang bekerja secara sistemik.
■ Untuk memajukan bidang penyembuhan kerangka dan untuk menetapkan tahap
untuk mengembangkan terapi lokal dan sistemik baru, kondisi untuk perekrutan dan
diferensiasi sel induk skeletogenik perlu dioptimalkan
Peningkatan biofisik
37
[Type text]
Bahan osteogenik
■ Tulang autologous 81
■ Sumsum tulang autologous 71
Bahan osteokonduktif
■ Kalsium fosfat
■ Kalsium hidroksiapetit
■ Kalsium sulfat
■ Komposit kalsium fosfat / kolagen
■ Tulang alogenik
■ Matriks tulang yang didemineralisasi
■ Faktor perbaikan jaringan
Hormon paratiroid 61 , 62 , 67 , 70
Antibodi anti-sclerostin 64 , 96 - 98
J. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
- Kebiasaan beraktivitas tanpa pengamanan memadai.
38
[Type text]
Pre Operasi
1. Nyeri berhubungan dengan patah tulang, spasme otot, edema dan kerusakan
jaringan lunak.
39
[Type text]
Post Operasi
1. Nyeri berhubungan dengan pemasangan pen, sekrup, drain dan adanya luka
operasi.
2. Risiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan adanya luka operasi.
3. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan nyeri dan terapi fraktur,
pemasangan traksi, gips dan fiksasi.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
bertambahnya metabolisme untuk penyembuhan tulang dan jaringan.
5. Regimen terapeutik in efektif berhubungan dengan kurang informasi mengenai
penyakit, tanda dan gejala, pengobatan dan pencegahannya.
6. Risiko tinggi terjadinya komplikasi post operasi b.d. imobilisasi.
Pre Operasi
1. Nyeri berhubungan dengan patah tulang, spasme otot, edema dan kerusakan
jaringan lunak.
HYD: Nyeri berkurang sampai dengan hilang dalam waktu 2-3 hari ditandai
dengan: klien mengatakan nyeri berkurang/hilang, ekspresi wajah santai,
dapat menikmati waktu istirahat dengan tepat, dan mampu melakukan
teknik relaksasi dan aktivitas sesuai dengan kondisinya.
Intervensi:
Intervensi:
2. Kaji aliran kapiler, warna kulit, dan kehangatan bagian distal fraktur.
R/ Warna kulit pucat merupakan tanda gangguan sirkulasi.
41
[Type text]
5. Monitor hasil laboratorium melalui kolaborasi dengan dokter (mppp, Hb, Ht).
R/ Mengidentifikasi tanda-tanda kelainan darah.
42
[Type text]
HYD: Kecemasan tidak terjadi dalam waktu 2-3 hari ditandai dengan klien tidak
mengeluh nyeri, mampu melakukan aktivitas sebagaimana mestinya, dan
mengungkapkan perasaan lebih santai, ekspresi wajah rileks.
Intervensi:
4. Kaji perilaku koping yang ada dan anjurkan penggunaan perilaku yang telah
berhasil digunakan untuk mengatasi kecemasan yang lain.
R/ Klien tampak lebih rileks dan tidak terlalu memikirkan hal-hal yang
menimbulkan kecemasan.
5. Berikan dukungan kepada klien untuk berinteraksi dengan keluarga, orang tua
terdekat.
R/ Orang terdekat merupakan pemberi support sistem yang paling tepat.
43
[Type text]
5. Dorong pasien untuk melanjutkan latihan aktif untuk sendi di atas dan di
bawah fraktur.
R/ Mencegah kekakuan sendi, kontraktur, dan kelemahan otot, meningkatkan
kembalinya aktivitas sehari-hari.
Post Operasi
1. Nyeri berhubungan dengan pemasangan pen, sekrup, drain dan adanya luka
operasi.
HYD: Nyeri berkurang sampai dengan hilang dalam waktu 2-3 hari ditandai
dengan: ekspresi wajah tenang, klien mengungkapkan nyeri berkurang.
Intervensi:
44
[Type text]
4. Berikan posisi yang nyaman pada tulang yang fraktur sesuai anatominya.
R/ Posisi anatomi memberikan rasa nyaman dan melancarkan sirkulasi darah.
45
[Type text]
Intervensi:
3. Bantu pasien dalam pemenuhan higiene, nutrisi, eliminasi yang tidak dapat
dilakukan sendiri.
R/ Kerjasama antara perawat dengan pasien yang baik mengefektifkan
pencapaian hasil dari tindakan keperawatan yang dilakukan.
6. Anjurkan dan bantu klien untuk mobilisasi fisik secara bertahap sesuai
kemampuan pasien dan sesuai program medik.
R/ Mobilisasi dini secara bertahap membantu dalam proses penyembuhan.
1. Kaji abdomen, catat adanya bising usus, distensi abdomen dan keluhan mual.
R/ Distensi abdomen dan atoni usus sering terjadi, mengakibatkan penurunan
tak adanya bising usus untuk mencerna makanan.
46
[Type text]
4. Kaji adanya peningkatan haus dan berkemih atau perubahan mental dan
ketajaman visual.
R/ Mewaspadai terjadinya hiperglikemia karena peningkatan pengeluaran
glukagon dan penurunan pengeluaran insulin.
47
[Type text]
2. Ajarkan dan anjurkan pasien untuk melakukan latihan pasif dan aktif secara
teratur.
R/ Dengan latihan aktif dan pasif diharapkan dapat mencegah terjadinya
kontraktur pada tulang.
5. Anjurkan pasien untuk tidak mengangkat beban berat pada tangan yang
fraktur.
R/ Mencegah stres pada tulang.
48
[Type text]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah dipaparkan dapat ditarik kesimpulan:
Fraktur merupakan cedera yang terjadi pada tulang akibat beban berlebih, namun
jika ditangani dengan benar (dengan penggunaan traksi atau gips) tidak akan
menimbulkan kecacatan.
B. SARAN
Berdasarkan pemaparan, kelompok memberi saran agar:
1. Tidak membebani tulang secara berlebih (mengangkat benda berat) yang
berpotensi mengakibatkan fraktur
2. Menjaga mekanika tubuh yang baik dan benar dalam beraktivitas (mengangkat
benda berat dengan tulang besar, jika terlalu berat menggunakan alat bantu)
3. Memperbaiki gaya hidup yang berisiko terjadinya fraktur (menaati peraturan lalu
lintas)
4. Meningkatkan asupan kalsium untuk nutrisi tulang (melalui susu, paparan cahaya
matahari)
5. Jika terjadi fraktur, segera minta penanganan medis secepatnya. Hindari tindakan
non medis yang dapat membahayakan.
49
[Type text]
DAFTAR PUSTAKA
Black, M.J & Hawkl, J.H. (2005). Medical Surgical Nursing: Clinical Management for
Positive Outcome. Seventh edition. USA: Elsevier Inc
Carpenito, L. J. (2001). Diagnosa Keperawatan Aplikasi untuk Praktik Klinik. Edisi 8.
Lippincott William & Willins.
Christensen, B. L & Kockrow, E. O. (2006). Foundation and Adult Health Nursing. Fifth
edition. USA: Elsevier Inc.
Hoppenfeld, S. & Murthy, V. L. (2000). Terapi & Rehabilitasi Fraktur. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. & Bare, B. (2004). Brunner & Suddarth’s textbook of medical surgical nursing.
10th edition. Lippincott & Wilkins.
Ottawa. (2012). Optimizing Health System Use of Medical Isotopes and Other Imaging Modalities. In
M. Mujoomdar, E. Russell, & C. Murray, Canandian Agency for Drugs and Technologies in
Health.
Jessica, & Aaron. (2018). Open Fracture. Stat Pearls Publishing, NCBI.
Einhorn, T. (2015). Fracture healing: mechanisms and interventions. Nat Rev Rheumatol HSS
Public Access, (1): 45–54. PMID: 25266456.
50