Anda di halaman 1dari 50

[Type text]

MAKALAH
MATERI MUSKULOSKELETAL BERHUBUNGAN DENGAN FRAKTUR

Disusun Oleh :
1. Ayu fitriana
2. Idha Fitrianingrum
3. Citra Novitasari
4. Septiana Andini W
5. Susi Kurnia Sari
6. Syarifatul Mukaromah
7. Kristyaningrum
8. Vega Wulandari
9. Linda Aprilian
10.Tazkiyatun Nafs A
11.Elma Tri W
12.Wagiri

PROGRAM STUDI D-3 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH KUDUS TAHUN 2019

1
[Type text]

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas
rahmatNya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan baik. Dalam makalah
ini termuat informasi – informasi mengenai fraktur atau yang lazim dikenal sebagai patah
tulang.
Bagi orang awam, insiden patah tulang sering ditangani secara non medis yang
bahkan sering berujung pada komplikasi. Pemaparan pada makalah ini berupa cara tepat
menangani fraktur beserta akibat yang ditimbulkan jika tidak ditangani secara tepat.
Kami berterima kasi kepada semua pihak yang telah terlibat dalam proses pembuatan
makalah ini dengan berbagai cara. Kami juga mohon maaf atas segala kekurangan yang
tersaji dalam makalah ini, ataupun segala tindakan kami yang menimbulkan kesalahpahaman
sewaktu proses pembuatan makalah ini. Semoga apa yang kami sajikan boleh bermanfaat
bagi anda semua.

Kudus , 18 Januari 2019


Kelompok 1

2
[Type text]

BAB I
PENDAHULUAN

A. Pendahuluan
Dalam kesehariannya, manusia selalu melakukan aktivitas fisik. Hal ini dilakukan
untuk memenuhi kebutuhannya sehari – hari, baik fisik maupun psikologi. Dalam
melakukan aktivitasnya, manusia membutuhkan dukungan dari tubuhnya berupa
kemampuan mobilisasi yang adekuat agar mampu mencapai semua kebutuhannya.
Dukungan yang didapat tersebut berupa kemampuan tubuh manusia untuk senantiasa
bergerak.
Gerakan yang dihasilkan merupakan koordinasi antara berbagai sistem dalam
tubuh manusia. Namun, sistem utama yang berperan dalam mobilisasi manusia adalah
sistem muskuluskeletal. Sistem ini merupakan koordinasi dari muskulus (otot) dan
skeleton (tulang), dimana muskulus sebagai organ gerak aktif menempel pada osteon
yang menyangganya. Fungsi ini hanya bisa dilakukan secara fisiologis jika keadaan
sistem tersebut tidak terganggu.
Ada banyak aktivitas yang justru dapat menghambat kerja dari sistem
muskuluskeletal akibat kerusakan yang ditimbulkan baik pada muskulus ataupun
skeleton. Salah satu masalah terbanyak adalah fraktur, atau yang sering dikenal dengan
patah tulang. Keadaan ini menyebabkan gangguan fungsi fisiologis (patologis), karena
nyeri yang ditimbulkan dan keterbatasan gerak yang diakibatkan.
Menanggapi masalah di atas, makalah ini memaparkan masalah fraktur beserta
penanganannya, baik dari segi keperawatan maupun medis.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Definisi fraktur?
2. Apa saja Etiologi dari fraktur?
3. Bagaimana Patofisiologi dari fraktur?
4. Apa saja Klasifikasi fraktur?
5. Apa saja Tanda dan gejala fraktur?
6. Apa saja Komplikasi fraktur?
7. Bagaimana Penatalaksanaan dari fraktur?
8. Apa saja yang perlu dilakukan Pemeriksaan penunjang?
9. Bagaimana Asuhan keperawatan pada pasien fraktur?
3
[Type text]

10. Tujuan
Untuk mengetahui:
1. Definisi fraktur
2. Etiologi
3. Patofisiologi
4. Klasifikasi fraktur
5. Tanda dan gejala
6. Komplikasi
7. Penatalaksanaan
8. Pemeriksaan penunjang
9. Asuhan keperawatan

4
[Type text]

BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI
1. Fraktur adalah suatu gangguan kontinuitas normal tulang yang terjadi ketika suatu
beban yang ditempatkan pada tulang melebihi kemampuan tulang untuk
menahannya (black, 2005 :2129).
2. Fraktur atau umumnya patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
atau tulang rawan yang disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000 : 347).
3. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik
dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan dari tulang itu sendiri dan jaringan lunak
di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap, tidak
lengkap. (Arice, 1995 : 1183).
4. Fraktur adalah terputusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang
disebabkan oleh kekerasan (Oswari, 2000 :144).
5. Fraktur adalah sebuah luka trauma yang terjadi pada tulang dimana kontinuitas
jaringan pada tulang mengalami kerusakan (Christensen & Kockrow, 2006 :
1400).
6. Fraktur atau patah tulang adalah hasil dari tekanan pada tulang. Fraktur dapat
terjadi karena berbagai alasan, tetapi jenis yang paling umum termasuk fraktur
traumatis, fraktur insufisiensi, dan fraktur stres. Fraktur traumatis adalah yang
paling umum dan hasil dari penyebab kecelakaan (misalnya, jatuh parah,
kecelakaan kendaraan bermotor) atau penyebab tidak disengaja atau disengaja
(yaitu, penyalahgunaan). Fraktur insufisiensi terjadi ketika kualitas tulang tidak
cukup untuk menangani tekanan normal dari penumpukan berat (misalnya,
osteoporosis). Fraktur stres (atau kelelahan) dikaitkan dengan tekanan beban-
beban yang berulang-ulang pada tulang yang biasanya sehat, umum di antara atlet
(mis. Pesenam, penari, pelari jarak jauh) dan personel militer. (Ottawa, 2012)

5
[Type text]

B. ANATOMI – FISIOLOGI TULANG

Secara makroskopis tulang terdiri dari dua bagian yaitu pars spongiosa
(jaringan berongga) dan pars kompakta (bagian yang berupa jaringan padat).
Permukaan luar tulang dilapisi selubung fibrosa (periosteum); lapis tipis jaringan ikat
(endosteum) melapisi rongga sumsum & meluas ke dalam kanalikuli tulang kompak.
Membran periosteum berasal dari perikondrium tulang rawan yang merupakan
pusat osifikasi. Periosteum merupakan selaput luar tulang yang tipis. Periosteum
mengandung osteoblas (sel pembentuk jaringan tulang), jaringan ikat dan pembuluh
darah. Periosteum merupakan tempat melekatnya otot-otot rangka (skelet) ke tulang
dan berperan dalam memberikan nutrisi, pertumbuhan dan reparasi tulang rusak.
Pars kompakta teksturnya halus dan sangat kuat. Tulang kompak memiliki
sedikit rongga dan lebih banyak mengandung kapur (Calsium Phosfat dan Calsium
Carbonat) sehingga tulang menjadi padat dan kuat. Kandungan tulang manusia
dewasa lebih banyak mengandung kapur dibandingkan dengan anak-anak maupun
bayi. Bayi dan anak-anak memiliki tulang yang lebih banyak mengandung serat-serat
sehingga lebih lentur. Tulang kompak paling banyak ditemukan pada tulang kaki dan
tulang tangan. Pars spongiosa merupakan jaringan tulang yang berongga seperti spon
(busa). Rongga tersebut diisi oleh sumsum merah yang dapat memproduksi sel-sel
darah. Tulang spongiosa terdiri dari kisi-kisi tipis tulang yang disebut trabekula.
Secara Mikroskopis tulang terdiri dari :
1. Sistem Havers (saluran yang berisi serabut saraf, pembuluh darah, aliran
limfe)
2. Lamella (lempeng tulang yang tersusun konsentris).

6
[Type text]

3. Lacuna (ruangan kecil yang terdapat di antara lempengan–lempengan yang


mengandung sel tulang).
4. Kanalikuli (memancar di antara lacuna dan tempat difusi makanan sampai ke
osteon).

C. ETIOLOGI
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya fraktur :
1. Jumlah beban yang diberikan pada tulang
2. Jumlah perubahan yang terjadi pada struktur tulang akibat penyakit seperti
penyakit osteoporosis dan kanker.

Faktor resiko terjadinya fraktur antara lain :


1. osteoporosis
2. merokok
3. jatuh
4. kerusakan tulang yang menyebar
D. PATOFISIOLOGI

Saat tulang patah periosteum dan pembuluh darah pada korteks, sumsum
tulang, dan jaringan lunak disekitarnya menjadi rusak. Perdarahan terjadi dari ujung
tulang yang patah dan dari jaringan lunak disekitarnya. Hematom dapat terbentuk di
kanal medulari antara ujung tulang yang fraktur dan di bawah periosteum. Kemudian
jaringan tulang yang terletak di daerah fraktur mengalami kematian. Jaringan nekrotik
ini menstimulasi sebuah respon peradangan yang ditandai dengan vasodilatasi, edema,
nyeri,

7
[Type text]

TAHAP DAN PROSES PENYEMBUHAN TULANG


a. Haematoma : dari pembuluh darah yang pecah.
Dalam 24 jam mulai pembekuan darah dan terjadi hematom di sekitar fraktur.
Setelah 24 jam suplay darah ke ujung fraktur meningkat, hematoma ini mengelilingi
fraktur dan tidak diabsordsi selama penyembuhan tapi berubah dan berkembang
menjadi granulasi.

b. Proliferasi sel
Sel-sel dari lapisan dalam perioteum berproliferasi pada sekitar fraktur,
dimana sel-sel ini menjadi precusor dari osteoblast, osteogenesis ini berlangsung
terus, lapisan fibrosa periosteum melebihi tulang, Setelah beberapa hari kombinasi
dari perioteum yang meningkat dengan fase granulasi membentuk collar di ujung
fraktur.

c. Pembentukan callus
6 – 10 hari setelah fraktur jaringan granulasiberubah dan terbentuk callus.
Sementara pembentukan cartilago dan matrik tulang diawali dari jaringan callus yang
lunak. Callus ini bertambah banyak, callus sementara meluas, menganyam m2assa
tulang dan cartilago sehingga diameter tulang melebihi normal. Hal ini melindungi
fragmen tulang tapi tidak memberikan kekuatan callus sementara ini meluas melebihi
garis fraktur.

d. Ossifikasi
Callus yang menetap/apermanen menjadikan tulang kaku karena adanya
penumpukan garam-garam calsium dan bersatu bersma ujung-ujung tulang. Proses
ossifikasi ini mulai dari callus bagian luar kemudian bagian dalam dan terakhir bagian
tengah. Proses ini terjadi selama 3 – 10 minggu.

e. Konsolidasidan Remodelling
Pada waktu yang sama pembentukan tulang yang sebenarnya callus dibentuk
dari aktivitas osteoklast. Kelebihan-kelebihan tulang seperti di pahat dan diabsorbsi
dari callus. Proses pembentukan lagi ditentukan oleh beban tekanan dari otot.

E. KLASIFIKASI FRAKTUR
Klasifikasi fraktur berdasarkan kontak tulang dengan lingkungan :

8
[Type text]

1. Fraktur tertutup
Merupakan fraktur tanpa komplikasi dengan kulit tetap utuh disekitar fraktur tidak
menonjol keluar dari kulit. Fraktur terbuka adalah cedera di mana fraktur tulang dan /
atau fraktur hematoma terpapar pada lingkungan eksternal melalui pelanggaran
traumatis pada jaringan lunak dan kulit. Luka kulit mungkin terletak di lokasi yang
jauh dari fraktur dan tidak langsung di atasnya. Oleh karena itu, setiap fraktur yang
memiliki luka yang menyertai harus dianggap terbuka sampai terbukti sebaliknya.
(Jessica & Aaron, 2018)

2. Fraktur terbuka
Pada tipe ini, terdapat kerusakan kulit sekitar fraktur, luka tersebut menghubungkan
bagian luar kulit. Pada fraktur terbuka biasanya potensial untuk terjadinya infeksi,
luka terbuka ini dibagi menurut gradenya.
Grade I : luka bersih, kurang dari 1 Cm.
Grade II : luka lebih luas disertai luka memar pada kulit dan otot.
Grade III : paling parah dengan perluasan kerusakan jaringan lunak terjadi pula
kerusakan pada pembuluh darah dan syaraf.

Klasifikasi berdasarkan pola fraktur :

9
[Type text]

1. Linear fraktur, adalah fraktur dengan garis retakan yang berbentuk lurus.
2. Oblique frakur, adalah fraktur dengan garis retakan yang membentuk garis 450
dari garis axis tulang.
3. Longitudinal fraktur
4. Transverse fraktur
5. Spiral fraktur
Klasifikasi berdasarkan tipe fraktur :

1. Avulsed Fracture
Adalah keadaan dimana fragmen tulang terpisah dari badan tulang dan masih
berada di dalam jaringan.
2. Compression Fracture

10
[Type text]

Adalah terjadi karena tekanan yang berlebihan pada tulang yang di berikan secara
tegak lurus pada tulang yang tegak ke atas (axis). Gaya gravitasi dan berat badan
juga ikut mempengaruhi tekanan yang diberikan pada tulang.
3. Comminuted Fracture
Adalah kerusakan pada tulang yang biasanya terjadi karena kecelakaan (sepeda
motor) dan menmbulkan lebih dari satu retakan tulang.
4. Greenstick Fracture
Pada fraktur ini salah satu sisi tulang remuk dan sisi tulang lain bengkok.
5. Impacted Fracture
Merupakan keadaan dimana tulang yang mengalami fraktur, saling tumpang tindih
antara satu dengan yang lain.
6. Pathologic Fracture
Merupakan fraktur yang terjadi saat tulang menjadi rapuh karena penyakit tulang
seperti osteoporosis dan tumor.
7. Stress (fatigue) fracture
Merupakan fraktur yang terjadi sebagai akibat kelelahan atau pembebanan
berulang pada tulang.
F. TANDA DAN GEJALA

1. Deformitas : pembengkakan pada area perdarahan dapat menyebabkan


perubahan bentuk pada area fraktur. Spasme otot bisa menyebabkan pemendekan
tungkai, perputaran, atau pengecilan dibandingkan dengan area yang tidak terluka.
2. Nyeri : jika status neurologi klien baik, nyeri selalu menyertai fraktur dengan
intensitas dan tingkat keperahan yang berbeda setiap orang.
3. Krepitasi : rasa gemetar ketika ujung tulang bergeser.
4. Oedema : pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit yang terjadi
akibat trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur.
5. Spasme otot : sering muncul bersama fraktur, spasme otot involunter
sebenarnya berfungsi sebagai belat natural untuk mengurangi pergerakan yang
lebih jauh dari bagian fraktur.
6. Kemungkinan lain; kehilangan sensasi, mobilisasi abnormal dan hypovolemic
shock.
7. Nyeri hebat pada daerah fraktur. Nyeri bertambah hebat jika ditekan/raba.
8. Tak mampu menggerakkan kaki.
11
[Type text]

9. Terjadi pemendekan karena kontraksi/spasme otot-otot.


10. Adanya rotasi pada tungkai tersebut.
11. Hematoma, edema karena ekstravasasi darah dan cairan jaringan.
12. Perubahan bentuk/posisi berlebihan bila dibandingkan dengan keadaan normal.
F. KOMPLIKASI
Komplikasi awal :
1. Syok hipovolemik/traumatic akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke
jaringan yang rusak dan dapat terjadi pada fraktur ekstremitas, thorax pelvis, dan
vertebra
2. Syndrome emboli lemak, pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk jedalam
darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena
katekolamin yang dilepas oleh reaksi stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan
memudahkan terjadinya globula lemak dalam aliran darah. Globula lemak ini akan
bergabung dengan trombosit membentuk emboli yang kemudian menyubat pembuluh
darah kecil.
3. Compartment Syndrome , merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam
otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan, hal ini dapat disebabkan
karena (1) penurunan ukuran kompartemen otot karena vasia yang membungkus otot
terlalu ketat atau gips atau balutan yang menjerat, atau (2) peningkatan isi
kompatemen otot karena edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai
masalah (mis. Iskemia, cedera remuk).

Komplikasi jangka panjang :


1. Kekakuan sendi, dapat terjadi mengikuti edema, kontraktur sendi atau atrofi otot
karena immobilisasi yang lama.
2. Nekrosis avaskular tulang, terjadi bila tulang kehilangan darah dan mati, dapat terjadi
stelah fraktur, dislokasi, terapi kortikosteroid dosis tinggi berkepanjangan dan
penyakit ginjal kronik.
3. Malunion, penyembuhan Fraktur dengan deformitas (angulasi, perpendekan/rotasi)
4. Delayed ` union, Fraktur sembuh dalam jangka waktu yang lebih lama.
5. Nonunion : Fraktur yang tidak menyambung yang juga disebut pseudoarthritis,
nonunion yaitu terjadi karena penyambungan yang tidak tepat, tulang gagal
bersambung kembali.

12
[Type text]

G. PENATALAKSANAAN
1. GIPS
Secara umum gips digunakan untuk mempertahankan reduksi, namun harus
melewati sendi dan dibawah fraktur. Gips sebaiknya tidak berlaminasi dan sesuai
dengan geometri tulang yang diberi gips tersebut. Dengan membalut plester yang
lunak diatas tonjolan tulang biasanya dapat mencegah timbulnya ulserasi tekanan dan
dapat memaksimalkan kemampuan gips tersebut untuk mempertahankan posisi
fragmen frakur.
Reduksi dan pemasangan gips seringkalidapat diselesaikan dalam beberapa
jam setelah terjadi cedera yaitu saat pembengkakan jaringan lunak belum maksimal.
Selain itu proses reduksi juga dapat memperberat edema jaringan yang sudah ada.
Namun karena gips dipasang berbentuk melingkar, mengelilingi seluruh ekstremitas
maka suplay darah dan syaraf ke ekstremitas harus benar-benar diperhatikan.
Ekstremitas harus diletakkan lebih tinggi, bagian distal eksremitas yang mengalami
cedera harus diperiksa berulang-ulang guna mengawasi perkembangan nyeri,
kepucatan, paresi dn hilangnya denyut nadi. Semua itu adalah tanda-tanda dari
disfungsi neurovaskuler.
Semua keluhan penderita yang tetap dirasakan setelah reduksi harus benar-
benar mendapat perhatian. Pada beberapa jam pertama setelah cedera, pemberian obat
– obat narkoti secara berulang-ulang adalah suatu kontraindikasi. Hal ini dapat
menghilangkan nyeri yang timbul dari nekrosis jaringan.

Tujuan Penggunaan Gips adalah:

a) Mengimmobilisasi, mensuport, melindungi selama proses penyembuhan


tulang fraktur.
b) Mencegah, memperbaiki deformitas.
Macam-macam GIPS: Short leg, long leg, silinder, shortarm, hip spica.

Yang perlu diperhatikan pada pemasangan Gips:

a) Gips yang tidak tepat dapat menimbulkan perlukaan


b) Bila gips sudah patah, gips tidak dapat berfungsi lagi
c) Gips tidak boleh terlalu longgar atau terlalu sempit
d) Perhatikan integritas kulit selama pamasangan gips.

13
[Type text]

2. TRAKSI

Traksi dilakukan dengan memasang beban dengan tali pada ekstremitas. Biasanya
lebih disukai traksi rangka dengan pin baja steril yang dimasukkan melalui fragmen
distal atau tulang yang lebih distal melalui pembedahan, bukan dengan taksi kulit.

Bentuk-bentuk traksi biasanya akan membuat ekstremitas yang patah terangkat


lebih tinggi sehingga dapat mengurangi pembengkakan dan meningkatkan penyembuhan
jaringan lunak.

Sewaktu memasang atau mempertahankan traksi ada beberapa factor penting yang
harus diperimbangkan yaitu:

a) Tali utama dipasang pada pin rangka, sebaiknya menimbulkan gaya tarik yang
segaris dengan sumbupanjang normal tulang panjang yang patah.
b) Berat ekstremitas maupun alat penyokong sebaiknya seimbang dengan pemberat
untuk menjamin agar reduksi dapat dipertahankan secara stabil dan mendukung
ekstremitas yang patah.
c) Traksi dapat bergerak bebas melalui katrol
d) Pemberat harus cukup tinggi diatas permukaan lantai dengan pasien dalam posisi
normal diatas tempat tidur sehingga perubahan posisi rutin tidak menyebabkan
pemberaterletak dilantai sehingga kehilangan regangan tali.
e) Traksi yang dipasang harus baik dan terasa nyaman.
Tujuan pemasangan traksi:

a) Mempertahankan, memperbaiki alignment tulang paska fraktur


b) Mengistirahatkan sendi yangimflamasi
c) Koreksi deformitas
d) Menghilangkan nyeri karena spasme otot
e) Mengurangi dislokasi sendi
Jenis-jenis traksi:

1. Traksi Kulit Buck


Merupakan traksi yang paling sederhana dan dipasang untuk jangka waktu
yang pendek.

14
[Type text]

Indikasi: untuk mengistirahatkan sendi lutut paska trauma sebelum lutut


diperiksa dan diperbaiki lebih lanjut.

Komplikasi traksi kulit buck:

a) Beban perban elastis yang melingkar dapat mengganggu sirkulasi yang


menuju ke kaki penderita yang sebelumnya sudah menderita penyakit
vaskuler.
b) Timbul alergi pada kulit
c) Dapat timbul ulserasi akibat tekanan pada maleolus
d) Pada orang lanjut usi, traksi yang berlebihan dapat merusak kulit yang rapuh
2. Traksi Kulit Bryant
Sering digunakan untuk merawat anak kecil yang mengalami fraktur paha,
tidak lebih dari anak usia 3 tahun. Jenis fraktur ini diletakkan dengan sendi
panggul pleksi, lutut ekstensi, ekstremitas pada posisi vertical agakmembuka.

Penggunaan traksi ini pada anak lebih tua, aliran darah yang menuju ke
kaki mungkin akanmengalami gangguan akibat pengaruh hidrostatik yang cukup
besar dengan menempatkan kaki secara vertical dan akibat dari pembungkus
elastis.

3. Traksi Rangka Seimbang


Indikasi:

Digunakan untuk merawat fraktur korpus femoralis orang dewasa.

Cara kerja/metoda:

a) Hanya satu pin rangka yang ditempatkan tranfersal melalui femur distal
atau tibia paroksimal.
b) Dipasang traksi dengan dan tali traksi utama pada pancang tersebut
c) Ekstremitas pasien ditempatkan dengan posisi panggul dan lutut
membentuk fleksi  35 o
Keuntungan:

a) Hanya satu pin rangka yang ditempatkan tranfersal melalui femur distal
atau tibia paroksimal.
b) Longitudinal pada patah tulang yang panjang.

15
[Type text]

c) Ekstremitas yang cedera mudah dijangkau untuk pemeriksaan ulang


neurovaskuler.
d) Untuk merawat luka local.
e) Memudahkan perawatan.
Kerugian:

a) Mudah terjadi infeksi oleh pin.


b) Pin tercabut dari tulang, traksi menjadi tidak tepat.
c) Pin dapat kendor.
4. Traksi Rassel
Indikasi:

Digunakan untuk menangani fraktur femur dan reduksi untuk fraktur panggul
mungkin lebih sering diperolehdengan memakai traksi russel.

Metoda/cara:

Traksi longitudinal diberikan dengan memasukkan pin dengan posisi tranversal


melalui tibia dan fibula diatas lutut. Efeknya untuk memberikan kekuatan traksi.

Keuntungan:

Lebih nyaman pada pasien dengan fraktur panggul selama evaluasi pre operasi.

Kerugian:

a) Perlu turah baring sehingga timbul komplikasi yang sering: dekubitus,


pneumonia, tromboflebitis.
b) Bergesernya penderita kearah kaki tempat tidur sehingga beban turun sehinga
menempel ke lantai, traksi menjadi tidak adekuat
c) Infeksi
5. Head Halter Traction
a) Indikasi: memberikan traksi pada dislokasi dan fraktur cervical, fraktur
maxilaris, fraktur clavikula dengan beban traksi.
b) Metoda: memberikan beban/tahanan pada cervical, maksilaris dn
mandibularis dengan menggunakan beban traksi.
c) Keuntungan: penderita dapat lebih santai dan jarang taerjadi infeksi

16
[Type text]

d) Kerugian: pada pemakaian yang lama dapat melelahkan pasien dan


ketidaknyamanan, dapat trjadi gangguan integritas kulit daerah leher, eritema,
lembab dan gatal.
6. Pelvis Traction
a) Indikasi: sering dilakukan pada pasien dengan dislokasi dan fraktur pelvis,
fraktur tulang belakang, LBP.
b) Keuntungan: jarang menimbulkan infeksi karena tidak ada lokasi penusukan
dn pasien dapat istirahat/bedrest.
c) Kerugian: mudah terjadi komplikasi dari bedrest: dekubitus , pneumonia;
pergerakan terbatas, immobilisasi danpasien tidak merasa nyaman untuk
waktu yang lama.

Keuntungan Memakai Traksi:

a) Menurunkan nyeri spasme


b) Mengkoreksi dan mencegah deformitas
c) Mengimobilisasi sendi yang sakit
d) Terapi untuk arthritis, cedera otot danligamen, dislokasi, kompresi serabut
saraf tulang belakang.
Kerugian Pengunaan Traksi:

a) Perawatan RS lebih lama


b) Mobilisasi terbatas
c) Perlu penggunaan alat-alat yang banyak.
Prinsip - Prinsip Traksi:

a) Adekuat counter traksi


b) Adanya kekuatan melawan beban traksi
c) Sesuai dengan poros tulang
d) Semua system harus sebas dari friksi/tersangkut
e) Pasien terinformasi
f) Penilaian terus menerus terhadap kepatenan traksi
g) Observasi neurovaskuler
h) Observasi adanya nyeri
i) Perineal care yang bersih

17
[Type text]

j) Hindari komplikasi tirah baring


Rumus Untuk Pemberian Beban Traksi:

a) Dewasa: 1/3 BB
b) Anak 1/13 BB
2. Pembedahan
Tindakan operasi yang dilakukan untuk menobati fraktur.

a) Open Reduksi Intra Fiksasi ( ORIF)


Pemebdahan raeduksi terbuka pada patah tulang, keuntungannya tulang yang
patah dapat terlihat demikian juga jaringan sekitar.

Fiksasi internal dilakukan dalam tehnik aseptic yang sangat ketat dan pasien
untuk beberapa saat dapat antibiotika untuk pencegahan setelah pembedahan.

Alat fiksasi inernal adalah:

a) Pelat dan skrup seperti neufeld dan kuntscher


b) Transfixion screw/ srew tembus
c) Intermedullary rod/ batang menembus sum-sum
d) Prostetic implans/pencangkokan alat prostetic seperti Austin moore prostesis.
b) Debridemen
Pembersihan luka fraktur terbuka dari jaringan nekrotik. Adanya nekrotik
disekitar luka akan memperlambat proses penyembuhan.

c) Transplantasi Tulang
Jarang dilakukan, tapi adakalanya dilakukan pada fraktur dimana tulang tidak
dapat lagi distukan (hancur) untuk mempertahankan keutuhan organ tubuh
digunakan transplantasi tulang. Ini akan juga mempengaruhi kerja otot terhadap
tulang.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Rontgen, untuk menentukan lokasi atau luasnya fraktur atau luasnya trauma, scan
tulang, temogram, untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
2. Darah lengkap, kemungkinan Hb meningkat atau menurun.
3. Masa pembekuan dan perdarahan
4. Pemeriksaan urin

18
[Type text]

5. EKG
I. FASE PENYEMBUHAN FRAKTUR
Menurut (Einhorn, 2015) Penyembuhan fraktur dan perbaikan jaringan skelet
melibatkan fase anabolik awal yang ditandai dengan peningkatan volume jaringan
terkait dengan rekrutmen de novo dan diferensiasi sel punca yang membentuk
jaringan skeletal dan vaskular. Berbatasan langsung dengan garis fraktur, kalus
kartilaginosa akan terbentuk. Perifer ke daerah pusat ini, di tepi jaringan tulang rawan
7 , 8
baru, periosteum membengkak dan pembentukan tulang primer dimulai.
Bersamaan dengan perkembangan jaringan tulang rawan, sel-sel yang akan
membentuk pembuluh darah yang baru lahir yang memasok tulang baru direkrut dan
9 , 10
berdiferensiasi dalam selubung otot di sekitarnya. Peningkatan tempat tidur
vaskuler yang mengelilingi dan kemudian tumbuh ke dalam kalus lebih lanjut
tercermin oleh peningkatan aliran darah ke area perbaikan jaringan. Ketika
diferensiasi kondrosit berkembang, matriks ekstraselular tulang rawan mengalami
mineralisasi dan fase anabolik perbaikan fraktur berakhir dengan apoptosis kondrosit.
11 , 12
Perkembangan histologis dan seluler dari peristiwa ini ditunjukkan pada Gambar
1 . Fase anabolik diikuti oleh fase berkepanjangan di mana aktivitas katabolik
mendominasi, dan ditandai dengan pengurangan volume jaringan kalus. Selama fase
aktivitas katabolik yang dominan ini, seperti resorpsi tulang rawan, proses anabolik
spesifik terus berlangsung; pembentukan tulang sekunder dimulai ketika tulang rawan
diserap dan angiogenesis primer berlanjut ketika jaringan tulang yang baru lahir
menggantikan tulang rawan. Selanjutnya, ketika remodeling tulang dimulai, matriks
mineralisasi pertama yang dihasilkan selama pembentukan tulang primer diserap oleh
osteoklas, dan kemudian tulang sekunder diletakkan selama periode resorpsi tulang
rawan juga diserap. Ketika jaringan kalus tulang terus diserap, periode yang
berkepanjangan ini ditandai dengan siklus osteoblas dan aktivitas osteoklas di mana
jaringan kalus diubah bentuknya menjadi struktur kortikal asli tulang (disebut
`remodeling berpasangan 'di sini). Selama periode ini, ruang sumsum dibentuk
kembali dan struktur sumsum asli dari jaringan hematopoietik dan tulang
diregenerasi. Pada periode akhir fase katabolik, remodeling vaskular yang luas terjadi
di mana peningkatan vaskular meningkat dan laju aliran vaskular yang tinggi kembali ke
13 , 14
tingkat pra-cedera. Meskipun proses ini terjadi secara berurutan, mereka tumpang
tindih secara substansial dan merupakan rangkaian perubahan populasi sel dan proses

19
[Type text]

pensinyalan dalam jaringan regenerasi. Gambaran temporal dari peristiwa biologis


penyembuhan fraktur, dan tipe sel yang terlibat pada setiap tahap penyembuhan fraktur,
disajikan pada Gambar 2 .

Gambar 1

Histologi tahap awal perbaikan fraktur femur tikus. a | Tahap inflamasi


perbaikan fraktur 24 jam setelah cedera. Bagian yang immunoreacted dengan antibodi
anti-TNF untuk menunjukkan respon imun bawaan terhadap cedera baik populasi sel
periosteum dan sumsum (coklat) dengan haematoxylin counterstaining (biru). b |
Tahap inflamasi lanjut 3 hari setelah cedera, aliran seluler sel fibrosa yang tidak
terdefinisi dan sel angiogenik awal yang membentuk pembuluh kecil tampak jelas di
lokasi fraktur. Diwarnai dengan hematoksilin dan eosin. c | Tahap akhir endochondral,
14 hari setelah cedera. Bagian itu diwarnai untuk fosfatase asam resisten tartrat untuk
menunjukkan rekrutmen osteoklas resorptif (merah terang).

20
[Type text]

Gambar 2

Perbaikan patah tulang paha. Fase metabolik utama (batang biru)


penyembuhan patah tulang tumpang tindih dengan tahap biologis (batang coklat).
Fase metabolik primer (anabolik dan katabolik) penyembuhan fraktur disajikan dalam
konteks tiga tahap biologis utama (inflamasi, pembentukan tulang endokhondral, dan
remodeling berpasangan) yang mencakup fase-fase ini. Jenis sel primer yang
ditemukan pada setiap tahap, dan rentang waktu prevalensinya di setiap tahap,
dilambangkan. Skala waktu penyembuhan setara dengan fraktur femur tikus tertutup
yang difiksasi dengan batang intramedulla. Singkatan: BMP, protein morfogenetik
tulang; BMPR, reseptor protein morfogenetik tulang; DKK1, protein terkait Dickkopf
1; LRP, protein terkait reseptor LDL; MSC, sel batang mesenchymal; PMN, leukosit
polimorfonuklear; PTH, hormon paratiroid; PTHrP, protein yang berhubungan dengan
hormon paratiroid; RANKL, aktivator reseptor ligan faktor κB nuklir.

II. KONTROL PENYEMBUHAN PATAH TULANG

Fungsi imun bawaan dan adaptif

Baik proses imun bawaan dan adaptif sangat penting selama fase
penyembuhan fraktur anabolik dan katabolik. Pada tahap inflamasi awal setelah
cedera, fungsi-fungsi kekebalan spesifik yang dimediasi sel menghilangkan jaringan
15 - 17
nekrotik, mempromosikan angiogenesis dan memulai perbaikan. Menariknya,
18
fraktur mengarah pada penekanan sistem kekebalan, dengan peningkatan lokal
dalam jumlah sel T regulator (IT REG ) yang diinduksi yang menekan respons imun
adaptif aktif dalam kalus fraktur. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa sel
punca mesenkimal secara aktif mempertahankan keadaan hipoimunogenik melalui
produksi faktor parakrin imunosupresif, 22-24 atau melalui aksi langsung sel-sel ini
25 , 26
pada populasi sel kekebalan, termasuk sel T. Efek tersebut menunjukkan bahwa
sel-sel ini memberikan toleransi kekebalan sepanjang tahap awal pembentukan tulang
endokhondral dan memberikan perlindungan pada jaringan yang sedang berkembang
dengan menekan allo-proliferasi sel T selama perekrutan sel induk dan pembentukan
19
tulang rawan. Pada berbagai tahap penyembuhan fraktur, sitokin dengan fungsi
19 27 , 28 19 , 29 19
inflamasi dan kekebalan tubuh, termasuk IL-1β, IL-6, IL-17F, IL-23
12 , 30
dan TNF, secara bervariasi diekspresikan dan memiliki efek yang berbeda.

21
[Type text]

Selama periode peradangan akut segera setelah cedera, sel-sel rekrutmen TNF dan IL-
6 yang diperlukan untuk regenerasi jaringan dan ketiadaan total mereka telah terbukti
12 , 27 - 30
menunda diferensiasi sel batang mesenkim skeletogenik. Di sisi lain, jika
peradangan tetap tidak terselesaikan, seperti dengan infeksi bakteri di lokasi cedera,
penyembuhan dapat gagal. 31 Dalam konteks peradangan kronis, seperti pada diabetes
mellitus yang diinduksi streptozotocin pada tikus, kalus tulang rawan dibuang
32 , 33
sebelum waktunya selama penyembuhan fraktur, dan pada model tikus lupus
erythematosus sistemik (SLE), aktivitas osteoklas dan pergantian tulang adalah pada
19
tikus. tinggi. Pada kedua model penyakit ini, akumulasi tulang yang lebih sedikit
primer dan sekunder terjadi selama penyembuhan fraktur daripada pada tikus kontrol.
Agen biologis antiinflamasi dan agen antiresorptif mungkin memiliki nilai terapeutik
dalam penyembuhan fraktur untuk pasien dengan SLE atau diabetes mellitus. 34

Bukti untuk keterlibatan sel T langsung dalam kontrol penyembuhan fraktur


berasal dari penelitian yang menunjukkan efek negatif setelah penipisan limfosit. 35 - 38
Studi penyembuhan fraktur pada tikus Rag1 - / - , yang tidak memiliki sel T dan sel B,
menunjukkan bahwa meskipun pematangan dan penggantian tulang rawan tertunda
29
dan keseluruhan jaringan yang kurang mineral terakumulasi, tikus ini memulihkan
39
fungsi mekanik lebih awal daripada tikus tipe liar. . cells Sel T, yang dapat
mendeteksi produk sel yang tertekan atau rusak bahkan tanpa adanya presentasi
40
antigen, juga terlibat dalam perbaikan fraktur. Dalam penelitian lain, tikus yang
kekurangan sel γδ T memiliki waktu lebih pendek untuk persatuan fraktur dan
perkembangan sebelumnya fraktur kalus dewasa daripada tikus yang cukup sel γδ-T-
sel. Akhirnya, dalam model SLE, di mana tikus memiliki reseptor Fas yang rusak
(anggota superfamili reseptor TNF 6), persentase sel iT REG meningkat pada kalus dan
jaringan tulang selama periode pembentukan tulang rawan aktif, sementara pada saat
yang sama waktu jumlah sel T yang diaktifkan dalam jaringan ini menurun, meskipun
peningkatan jumlah sel T yang diaktifkan dalam limpa, menunjukkan kondisi
19
autoimun. Hasil-hasil ini menunjukkan bahwa sel-sel iT REG yang diaktifkan
bersifat kondroprotektif dan konsisten dengan penelitian-penelitian yang
menunjukkan bahwa sel-sel punca mesenkim menginduksi baik fungsi diferensiasi
42 , 43
maupun fungsi imunosupresif dari sel-sel iT REG . Faktor farmakologis yang
mengubah fungsi kekebalan dan peradangan mungkin memiliki efek negatif dan

22
[Type text]

positif pada penyembuhan fraktur dan penting untuk dipertimbangkan dalam konteks
komorbiditas spesifik yang mempengaruhi regenerasi. 34

Asal usul sel induk

44 , 45
Tingkat trauma jaringan lunak dan jaringan keras eksternal, dan tekanan
mekanis yang dihasilkan oleh intervensi terapeutik, masing-masing akan
mempengaruhi asal sel-sel induk yang berkontribusi pada penyembuhan, tingkat
diferensiasi sel-sel tulang rawan versus sel-sel tulang. dan perkembangan
46 - 48
penyembuhan fraktur. Hasil dari pelacakan garis keturunan transgenik telah
menunjukkan bahwa kalus fraktur sebagian besar terbentuk dari sel-sel dari
49
periosteum. Studi lain menunjukkan bahwa sel-sel periosteal secara spesifik
merespons protein morphogenetic tulang 2 (BMP-2) untuk mempromosikan baik
kondrogenesis maupun osteogenesis, sedangkan sel-sel di ruang sumsum hanya akan
membentuk tulang sebagai respons terhadap BMP-2. Oleh karena itu, mekanisme
yang mengendalikan perbaikan tulang kortikal mungkin berbeda dengan yang
memperbaiki dan merombak tulang trabekuler, dan yang terjadi di ruang medula.

Luas dan jenis trauma yang menyertai fraktur juga akan mempengaruhi
sumber jaringan dari mana sel-sel induk yang berkontribusi terhadap kalus berasal.
Studi tikus transgenik menggunakan gen reporter yang diaktifkan secara kondisional
dalam sel batang otot menunjukkan bahwa sel-sel ini tidak berkontribusi secara
substansial untuk pembentukan kalus dalam model fraktur tibialis tertutup.
Sebaliknya, penelitian fraktur tibialis terbuka, di mana periosteum secara operasi
dilucuti dari tulang dengan fenestrasi otot tambahan, menunjukkan bahwa hampir
51
setengah sel dalam kalus berasal dari otot di sekitarnya. Dengan demikian, luasnya
cedera yang dapat diperbaiki terbatas; terlalu banyak kerusakan pada otot dan
periosteum dapat mengatasi pasokan sel batang regeneratif jaringan. Juga penting
adalah untuk mempertimbangkan sejauh mana jaringan pembuluh darah di selubung
otot sekitarnya terganggu; Kegagalan angiogenesis setelah fraktur atau osteotomi
dapat menyebabkan nonunion. 44

23
[Type text]

Stabilitas

Stabilitas keseluruhan dari fiksasi dan imobilisasi fraktur juga akan


mempengaruhi pola diferensiasi sel batang skeletogenik menjadi kondrosit atau
osteoblas, dengan pembentukan jaringan tulang rawan yang lebih luas terkait dengan
stabilitas yang kurang, dan peningkatan stabilitas dengan lebih banyak jaringan
tulang. Menariknya, ketika fraktur tidak tetap stabil, angiogenesis awalnya meningkat.
52 - 54
Ketidakstabilan antar tulang yang berlebihan, bagaimanapun, akan menghambat
penggantian tulang rawan, mengurangi angiogenesis dan mencegah tulang
54
menjembatani celah fraktur. Oleh karena itu, `jendela 'optimal gerakan
interfragmentasi tampaknya diperlukan untuk memungkinkan kapalan normal
berkembang dan secara stabil menjembatani fraktur. Bersama-sama, studi tikus ini
memiliki pengaruh besar pada aplikasi potensial perawatan, seperti terapi BMP, untuk
patah tulang manusia. Data menunjukkan bahwa jumlah sel punca, sumber jaringan
sel-sel ini dan kemampuan mereka untuk direkrut tergantung pada tingkat cedera dan
stabilitas persatuan fraktur.

III. MEKANISME PENYEMBUHAN ONTOGENI DAN POSTNATAL

Baik penyembuhan fraktur dan pembentukan tulang endochondral secara


55 , 56 57 , 58
langsung diatur oleh BMPs, fibroblast growth factor 2 (FGF-2), protein
landak, 59 , 60 hormon paratiroid (PTH), protein terkait-PTH, protein terkait PTH, 61 , 62
transformasi faktor pertumbuhan β (TGF-β), 63
faktor morfogenetik tanpa sayap
64 , 65
protein, protein Wnt dan antagonis pensinyalan Wnt. Beberapa dari proses
morfogenetik ini membentuk loop umpan balik interaktif, termasuk koregulasi BMP
dan protein pensinyalan Wnt; 66 , 67 dari PTH atau protein terkait PTH 67 dan FGF-2; 69
67 - 70
dan protein terkait PTH dan protein Wnt. Selanjutnya, beberapa faktor ini
mengatur interaksi antara berbagai jenis sel dan jaringan selama penyembuhan
kerangka. Oleh karena itu, bagaimana obat-obatan terapi mengoordinasikan interaksi
temporal dan spasial dari berbagai jaringan organ kerangka (vaskular, kerangka dan
hematopoietik) harus dipahami sebelum penerapannya dalam pengobatan
penyembuhan yang tertunda atau nonunion fraktur.

24
[Type text]

Terapi

Beberapa strategi telah dikembangkan untuk meningkatkan penyembuhan


fraktur secara klinis. Secara umum, penyembuhan fraktur dapat ditingkatkan dengan
cara biofisik atau biologis. Berkenaan dengan peningkatan biofisik, penelitian besar
telah dilakukan pada penggunaan medan elektromagnetik dan ultrasonografi
berdenyut intensitas rendah. Dalam hal peningkatan biologis, strategi dapat dibagi lagi
menjadi lokal dan sistemik. Meskipun banyak metode, bahan dan faktor telah
dipelajari, Tinjauan ini berfokus pada strategi yang telah menjalani pengujian ilmiah
yang ketat dalam studi hewan praklinis serta uji klinis atau seri kasus. Ringkasan
pendekatan yang diuji secara eksperimental untuk mendorong penyembuhan patah
tulang disajikan dalam Kotak 1.

IV. PENINGKATAN BIOFISIK

Medan elektromagnetik telah diselidiki sebagai sarana perbaikan kerangka


71
selama lebih dari 60 tahun. Terutama diterapkan pada pengobatan fraktur tidak
bersatu, 72 mereka memiliki tingkat keberhasilan hingga 80% dalam studi klinis. 73 , 74

Dalam satu studi yang menunjukkan keberhasilan dalam pengobatan persatuan


75
tertunda, bagaimanapun, efek medan elektromagnetik pada fraktur baru tidak jelas.
76
Dalam meta-analisis uji coba terkontrol secara acak oleh Mollon et al. , 2.546
kutipan ditinjau, 11 artikel memenuhi kriteria inklusi: kriteria adalah penggunaan
alokasi perawatan acak; inklusi pasien dengan lesi tulang panjang; kelompok
pengobatan yang menerima elektromagnetisme bentuk gelombang apa pun untuk
memengaruhi penyembuhan tulang; kelompok pengobatan yang tidak menerima
intervensi aktif; dan laporan efek stimulasi elektromagnetik pada penyembuhan tulang
langsung. Bukti dari empat uji coba yang melaporkan fraktur yang tertunda atau tidak
bersatu menunjukkan risiko relatif keseluruhan yang tidak signifikan sebesar 1,76
(95% CI, 0,8-3,8; P = 0,15; I = 60%) yang mendukung stimulasi elektromagnetik.
Para penulis menyimpulkan bahwa meskipun analisis yang dikumpulkan tidak
menunjukkan efek yang signifikan dari stimulasi elektromagnetik pada serikat
tertunda atau patah tulang panjang yang tidak disatukan, keterbatasan metodologi dan
heterogenitas penelitian menciptakan ketidakpastian pada kesimpulan ini.

25
[Type text]

Ultrasonografi berdenyut intensitas rendah juga telah dipelajari dalam


pengaturan klinis, termasuk pada pasien dengan fraktur tulang panjang pada
77 , 78
ekstremitas atas dan bawah, pada pasien dengan osteotomi, dan pada perokok
dengan fraktur (merokok adalah faktor risiko negatif untuk fraktur). penyembuhan).
Sebuah meta-analisis uji coba terkontrol secara acak mengidentifikasi 13 laporan, di
79
mana lima hasil diselidiki relevan dengan penyembuhan patah tulang. Lima studi
ini menggunakan pendekatan nonoperatif konservatif. Dua dari penelitian tersebut
memiliki kualitas sedang, salah satunya melaporkan peningkatan pemulihan
fungsional setelah pengobatan fraktur klavikula, dan yang lainnya melaporkan tidak
ada perbaikan dalam pemulihan fungsional setelah pengobatan fraktur stres; tiga uji
coba lainnya berkualitas rendah dan melaporkan perbaikan fungsional yang membaik
setelah pengobatan fraktur tulang panjang yang nonoperatif. Penilaian kualitas
80
didasarkan pada nilai rekomendasi menurut Wright et al. Para peneliti
menyimpulkan, dan kami setuju dengan penilaian mereka, bahwa efek ultrasonografi
berdenyut intensitas rendah pada penyembuhan patah tulang adalah kualitas sedang
sampai sangat rendah dan datanya saling bertentangan. 79

Peningkatan biologis lokal

Strategi lokal untuk perbaikan dan regenerasi tulang termasuk penggunaan


bahan osteogenik, termasuk sumsum tulang autologus, molekul pensinyalan peptida
(FGF-2 dan faktor pertumbuhan turunan trombosit [PDGF]) dan faktor morfogenetik
(BMP dan protein Wnt). Meskipun banyak metabolit dan protein lain telah diselidiki,
yang dibahas dalam artikel ini adalah, kami percaya, yang paling banyak dipelajari
dan memiliki potensi terbesar untuk menjadi target terapi untuk meningkatkan
perbaikan kerangka.

V. PENCANGKOKAN SUMSUM TULANG

Bidang bioteknologi terus menyelidiki dan mengembangkan molekul baru


untuk perbaikan kerangka, seperti metode grafting sumsum tulang autologous yang
aman dan efektif untuk perawatan nonunisi diafisis tibialis atrofi tibialis. Dalam
81
serangkaian kasus prospektif, Hernigou et al. menggunakan metode ini untuk
mengobati 60 pasien dengan nonunion aseptik yang tidak terinfeksi. Pasien menjalani
aspirasi sumsum tulang dari kedua puncak iliaka. Sampel terkonsentrasi pada pemisah

26
[Type text]

sel dan kemudian disuntikkan ke dalam nonunion, menghasilkan persatuan fraktur di


53 dari 60 pasien. Analisis seluler alikuot in vitro yang diambil sebelum injeksi
menunjukkan korelasi positif antara jumlah unit pembentuk koloni yang terdeteksi
dan volume kalus mineral pada 4 bulan. Tujuh pasien dengan fraktur tidak bersatu
juga memiliki unit pembentuk koloni lebih sedikit dalam cangkok mereka daripada
pasien yang fraktur bersatu. Hasil ini menunjukkan bahwa sumsum tulang autologus
mungkin menjadi bahan yang efektif untuk peningkatan perbaikan kerangka, dan
bahwa kualitas teknik panen dan persiapan sel dapat mempengaruhi kemanjuran graft.

VI. FGF-2

82
Kawaguchi et al. menyelidiki penggunaan rekombinan manusia FGF-2
untuk meningkatkan penyembuhan fraktur poros tibialis. 70 pasien dengan fraktur
transversal atau oblique pendek dari tibialis diacak ke salah satu dari tiga kelompok
dan dinilai selama 24 minggu. Pasien di masing-masing kelompok disuntikkan, ke
fraktur mereka, dengan plasebo (gelatin hidro-gel), atau dengan dosis rendah (0,8 mg)
atau dosis tinggi (2,4 mg) hidrogel FGF-2. Persentase kumulatif pasien dengan
persatuan fraktur yang terbukti secara radiografi lebih tinggi pada kelompok yang
diobati dengan FGF-2 dibandingkan pada kelompok yang diobati dengan plasebo, dan
tidak ada perbedaan antara kelompok FGF-2 dosis tinggi dan dosis rendah yang
dilaporkan. Tidak ada pasien yang menjalani intervensi sekunder, dan tidak ada
perbedaan dalam jumlah atau jenis efek samping yang terdeteksi antara ketiga
kelompok.

VII. PDGF

Molekul pensinyalan peptida lain yang telah dipelajari secara luas untuk
peningkatan perbaikan kerangka adalah rekombinan manusia Homodimeric PDGF
83
subunit B (PDGF-BB). DiGiovanni et al . mendaftarkan 434 (dengan 397
menyelesaikan penelitian) pasien dalam uji coba noninferioritas prospektif terkontrol
(2: 1) dari pasien yang membutuhkan arthrodesis kaki belakang atau pergelangan
kaki. Para peneliti menguji hipotesis bahwa PDGF-BB, dikombinasikan dengan
matriks β-tricalcium fosfat ( n = 260; 394 sendi), akan aman dan efektif sebagai
alternatif dari standar perawatan saat ini, cangkok tulang autologous dari krista iliaka
( n = 137; 203 sendi). CT menunjukkan bahwa tulang dari 159 pasien (262 sendi)

27
[Type text]

pada kelompok PDGF dan 85 (127 sendi) pada kelompok autograft menyatu pada 6
bulan. Kelompok PDGF memiliki lebih sedikit rasa sakit dan peningkatan profil
keamanan. Para peneliti menyimpulkan bahwa, pada pasien yang membutuhkan
arthrodesis hindfoot atau pergelangan kaki, pengobatan dengan PDGF memiliki
tingkat fusi yang serupa, lebih sedikit rasa sakit dan lebih sedikit efek samping
dibandingkan dengan autografting.

VIII. BMP

BMP mungkin merupakan kandidat yang paling banyak diselidiki untuk


peningkatan perbaikan kerangka, khususnya BMP-2 manusia dan BMP-7
rekombinan. Meskipun terapi ini dikembangkan untuk tujuan yang serupa, pengujian
dan regulasi mereka oleh FDA berbeda. Friedlaender et al . 84 dipilih BMP-7 manusia
rekombinan untuk mengobati nonunions tibialis dalam percobaan prospektif acak
terkontrol dari 124 pasien. Semua nonunion berusia setidaknya 9 bulan tanpa
perbaikan dalam 3 bulan sebelum setiap pasien yang mendaftar dalam penelitian ini.
63 pasien dirawat dengan kuku intramedulla yang dikunci secara statis ditambah
BMP-7 dengan kolagen tipe I sebagai pembawa. 61 orang dalam kelompok kontrol
dirawat dengan cangkok tulang autologous. Pada 9 bulan, 81% dan 75% dari pasien
yang diobati dengan BMP-7 dan 85% dan 85% dari pasien yang diobati dengan
cangkok tulang autologus 'sembuh' ( P = 0,524), sebagaimana dinilai oleh kurangnya
rasa sakit di situs fraktur dan penilaian radiografi, masing-masing. Meskipun para
peneliti menyimpulkan bahwa pengobatan BMP-7 untuk nonunion tibial aman dan
efektif, data menunjukkan tidak ada perbaikan dibandingkan dengan pencangkokan
tulang autologous; oleh karena itu, FDA tidak memberikan persetujuan pemasaran
awal untuk `perangkat 'ini. BMP manusia rekombinan komposit dengan kendaraan
pengirimannya, seperti pembawa kolagen tipe I, diatur sebagai perangkat. Alih-alih,
85
sebuah `pengecualian perangkat kemanusiaan 'dikeluarkan, memungkinkan
distribusi terbatas untuk 4.000 pasien per tahun. Sebagai bagian dari perjanjian ini,
lembaga di mana operasi dilakukan harus memiliki dewan peninjau kelembagaan
untuk memantau penggunaan perangkat.

Pengaturan klinis yang berbeda dipilih untuk studi BMP-2 manusia


rekombinan; percobaan prospektif terkontrol acak dari fraktur poros tibialis terbuka
dilakukan di mana pasien ( n = 450) menerima irigasi dan debridemen awal oleh ahli
28
[Type text]

bedah serta kuku intramedulla yang dikunci secara statis (standar perawatan) atau
standar perawatan plus, pada saat penutupan luka, baik 0,75mg / kg atau 1,50 mg / kg
86
BMP-2 tertanam dalam spons kolagen tipe I. Setelah 12 bulan, risiko intervensi
sekunder berkurang sebesar 44% pada kelompok yang diobati dengan dosis tinggi
BMP-2 dibandingkan dengan standar perawatan saja ( P = 0,005). 58% dari kelompok
BMP-2 `sembuh ', sebagaimana ditentukan oleh bukti radiografi dan kurangnya rasa
sakit di lokasi fraktur, dibandingkan dengan 38% dari kelompok yang dirawat dengan
perawatan biasa ( P = 0,001). Dibandingkan dengan perawatan biasa, pasien-pasien
yang dirawat dengan dosis tinggi BMP-2 memiliki lebih sedikit kegagalan pada kuku,
lebih sedikit infeksi dan penyembuhan luka yang lebih cepat. FDA memberikan
85
persetujuan pra-pemasaran untuk manusia rekombinan BMP-2, dan perawatan ini
sekarang tersedia di beberapa negara untuk perawatan fraktur tibialis yang terbuka
dan baru.

Sejak FDA menyetujui terapi BMP, beberapa penyelidikan telah memeriksa


kembali penggunaan klinis mereka dan melaporkan hasil yang serius. Dalam uji coba
double-blind, acak, terkontrol fase II-III, kemanjuran dan keamanan BMP-2 manusia
rekombinan untuk pengobatan fraktur diafisi tibial tertutup dipelajari dibandingkan
dengan standar perawatan saja. 87 titik akhir co-primer dari penelitian ini adalah waktu
untuk fraktur penyatuan dan waktu untuk kembali ke fungsi normal. Namun,
penelitian ini dihentikan setelah 6 bulan ketika analisis sementara hasil dari 180
pasien mengungkapkan tidak ada pemendekan dalam waktu untuk fraktur penyatuan
dalam kelompok aktif penelitian dibandingkan dengan standar perawatan. Waktu rata-
rata untuk bebas rasa sakit, bantalan berat penuh juga tidak jauh berbeda antara
kelompok. Para peneliti menyimpulkan bahwa waktu untuk penyatuan fraktur dan
bantalan penuh pada pasien dengan fraktur tertutup yang diobati dengan fiksasi kuku
intra-meduler tidak berkurang secara bermakna dengan pengobatan BMP-2. Dalam
sebuah studi terkait, penyembuhan fraktur tibialis terbuka yang diobati dengan fiksasi
kuku intramedullary tidak secara substansial dipercepat dengan penambahan spons
kolagen tipe I yang dapat diserap yang mengandung BMP-2. 88

Meskipun fokus artikel ini adalah penyembuhan fraktur, berbeda dengan


89
artrodesis tulang belakang, temuan proyek Yale Open Data Access (YODA) harus
disebutkan karena mereka mempengaruhi penggunaan BMP-2 di bidang perawatan

29
[Type text]

muskuloskeletal. Dengan melakukan studi keamanan dan efektivitas BMP-2 manusia


rekombinan untuk fusi tulang belakang, meta-analisis data peserta individu tidak
menunjukkan bukti perbedaan klinis yang bermakna antara pengobatan dengan BMP-
2 dan cangkok iliaka crest. BMP-2 memiliki tingkat komplikasi yang sama dengan
pencangkokan tulang iliaka, tetapi memiliki tingkat komplikasi yang lebih tinggi
selama prosedur off-label. Risiko kanker, misalnya, sedikit lebih tinggi dengan
penggunaan BMP-2 (risiko relatif 1,98; 95% CI 0,86-4,54). BMP-2 manusia
rekombinan dan BMP-7 tersedia dalam berbagai kondisi regulasi, tetapi
pengembangan bahan yang lebih aman dan lebih efektif adalah tujuan penting.

Peningkatan biologis sistemik

Di masa depan, mudah-mudahan, pasien dengan patah tulang akan dirawat


dengan suntikan atau pil yang akan meningkatkan, mempercepat atau menambah
penyembuhan tulang sebagai tambahan untuk perawatan bedah. Beberapa strategi
mungkin mencapai tujuan ini. Terapi kandidat termasuk penggunaan PTH atau anti-
sklerostin monoklonal yang dimanusiakan atau antibodi protein 1 terkait anti-
Dickkopf. Percakapan lintas terapi ini dengan jalur BMP, fungsinya dalam
pembentukan tulang endokhondral dan pembentukan tulang intramembran, dan
produksi mereka selama remodeling bersama disajikan pada Gambar 3 . Selain itu,
pengamatan umum bahwa pasien dengan cedera kepala atau tulang belakang yang
berkelanjutan dapat meningkatkan penyembuhan kerangka menunjukkan bahwa
faktor sirkulasi, atau mungkin mekanisme neurologis yang unik, dapat diinduksi
untuk meningkatkan perbaikan tulang.

30
[Type text]

Gambar 3

Persilangan antara pensinyalan Wnt, PTH dan BMP dalam garis keturunan
tulang rawan dan sel tulang. Ligan Wnt memediasi pensinyalan kanonik melalui
pensinyalan β-catenin dan BMP dapat dimediasi oleh SMAD1, SMAD3 dan SMAD5.
Antagonis LRP5 dan LRP6 sclerostin dan DKK1 adalah fokus utama dari terapi
berbasis antibodi yang ditargetkan. Tahap-tahap utama dalam perkembangan garis
keturunan kartilago dan sel-sel tulang yang mereka bedakan dari sel-sel induk
skeletogenik digambarkan. Efek stimulasi dan penghambatan utama pada diferensiasi
dan proliferasi dari dua garis keturunan dilambangkan. Efek utama dari jalur BMP,
PTH dan Wnt pada diferensiasi osteoklas secara tidak langsung dimediasi oleh
berbagai aktivitas jalur yang mengatur ekspresi faktor parakrin dalam osteosit, yang
pada gilirannya mengatur diferensiasi dan fungsi osteoklas. Singkatan: BMP, protein
morfogenetik tulang; BMPR, reseptor protein morfogenetik tulang; DKK1, protein
terkait Dickkopf 1; LRP, protein terkait reseptor LDL; MSC, sel batang
mesenchymal; PTH, hormon paratiroid; PTH1R, reseptor hormon 1 paratiroid;
PTHrP, protein yang berhubungan dengan hormon paratiroid; RANKL, aktivator
reseptor ligan faktor κB nuklir; SMAD, ibu-ibu yang menentang homolog
decapentaplegic.

31
[Type text]

IX. HORMON PARATIROID

PTH adalah hormon alami yang memodulasi mineral homeostasis dan telah
dikembangkan sebagai obat untuk pengobatan osteoporosis. Peningkatan
penyembuhan fraktur menggunakan kedua bagian situs aktif dari molekul (asam
amino 1-34, juga dikenal sebagai teriparatide) dan molekul panjang penuh (asam
70
amino 1-84) telah dipelajari. Alkhiary et al . diselidiki fraktur femoralis diafisial
tertutup standar pada 270 tikus Sprague Dawley jantan yang diberikan injeksi
subkutan harian kendaraan (hingga 35 hari) atau 5 μg / kg atau 30 μg / kg PTH (1–
34). Pada 21 hari, kapalan dari kelompok yang diobati dengan 30 μg PTH (1–34)
mengalami peningkatan kekuatan ( p <0,05) signifikan, kekakuan, kadar mineral
tulang, kepadatan mineral tulang dan volume tulang rawan, dibandingkan dengan
kontrol. Tidak ada perubahan dalam kepadatan osteoklas yang terdeteksi,
menunjukkan bahwa pengobatan dengan PTH (1-34) meningkatkan pembentukan
tulang, tetapi tidak menyebabkan resorpsi tulang. Para peneliti menyimpulkan bahwa
administrasi sistemik harian PTH (1–34) menghasilkan efek anabolik berkelanjutan
sepanjang fase pemodelan tulang penyembuhan patah tulang. Data ini mendukung uji
klinis di mana wanita pascamenopause dengan fraktur radius distal yang
membutuhkan reduksi dan imobilisasi tertutup, tetapi bukan operasi, secara acak
ditugaskan untuk 8 minggu suntikan plasebo sekali sehari, atau 20 μg atau 40 μg PTH
(1– 34) dalam waktu 10 hari dari fraktur ( n = 34 di setiap kelompok). Perkiraan
waktu rata-rata dari fraktur menjadi bukti radiografi pertama jembatan kortikal
lengkap pada tiga dari empat korteks masing-masing adalah 9,1, 7,4, dan 8,8 minggu
pada ketiga kelompok (keseluruhan P = 0,015). Perbedaan yang signifikan secara
statistik antara dua dosis PTH (1-34) tidak ditemukan, tetapi waktu untuk
penyembuhan lebih pendek pada kelompok 20 μg PTH (1–34) dibandingkan pada
kelompok plasebo ( P = 0,006). Para peneliti menyimpulkan bahwa perbaikan fraktur
dapat dipercepat dengan 20 μg PTH (1-34), tetapi hasil ini memerlukan penelitian
lebih lanjut. Dalam studi prospektif terkontrol acak untuk mengevaluasi efek PTH (1-
84) pada penyembuhan fraktur panggul dan hasil fungsional pada wanita
pascamenopause, 65 pasien menjalani pemeriksaan radiografi dan CT fraktur
91
panggul. 21 pasien dirawat dengan suntikan 100 g PTH (1-84) sekali sehari,
dimulai 2 hari setelah masuk ke rumah sakit, dan 44 pasien lainnya diinjeksi dengan
saline. Semua pasien diobati dengan 1.000 mg kalsium dan 800 IU vitamin D. CT

32
[Type text]

diulangi setiap 4 minggu sampai bukti radiografi jembatan kortikal di lokasi fraktur
terlihat. Hasil menunjukkan waktu rata-rata untuk penyembuhan fraktur 7,8 minggu
untuk kelompok PTH (1-84) dibandingkan dengan 12,6 minggu untuk kelompok
kontrol ( P <0,001). Para peneliti menyimpulkan bahwa, pada pasien pascamenopause
dengan osteoporosis, fragmen PTH (1-84) mempercepat penyembuhan fraktur
panggul, dan meningkatkan hasil fungsional yang dinilai dengan skala analog visual
untuk rasa sakit dan tes `time-up and go '. 91

X. Keluarga Wnt

Keluarga molekul pensinyalan Wnt baru sekarang mulai menjadi fokus


penelitian untuk meningkatkan penyembuhan kerangka. Protein Wnt adalah keluarga
protein yang disekresikan yang mengatur beragam proses perkembangan. Aktivasi
pensinyalan Wnt menghambat diferensiasi preadipocyte dan merangsang
osteoblastogenesis. Data menunjukkan bahwa beberapa Wnts, seperti protein Wnt10b,
menggeser sel ke arah garis turunan osteoblastik dengan menginduksi faktor
transkripsi runt terkait faktor transkripsi 2 (RUNX2), protein homeobox DLX5 dan
faktor transkripsi Sp7 (juga dikenal sebagai osterix), dan juga oleh penindasan faktor
transkripsi adipogenik. 92

Protein terkait reseptor LDL adalah keluarga reseptor permukaan sel yang
terlibat dalam beragam proses biologis, termasuk metabolisme lipid, pengambilan
retinoid dan migrasi saraf. Protein terkait 5 LDL terkait (LRP5) diperlukan untuk
pensinyalan gen dalam keluarga Wnt dengan bertindak sebagai ko-reseptor. Aktivasi
pensinyalan Wnt dalam osteoblas biasanya menstimulasi pembentukan tulang, dan
antagonisme pensinyalan Wnt oleh protein-protein yang dikeluarkan dari keluarga
Dickkopf mencegah pembentukan kompleks aktif LRP5 dan dengan demikian
memodulasi massa tulang. Mutasi kehilangan fungsi pada LRP5 juga mengganggu
aktivasi pensinyalan Wnt dan mengurangi massa tulang; LRP5 Gly171Val merusak
kemampuan protein yang berhubungan dengan Dickkopf untuk mengantisipasi jalur
Wnt, dan pensinyalan Wnt tanpa lawan menyebabkan peningkatan massa tulang (
93
Gambar 3 ). Sclerostin, produk gen SOST yang diekspresikan secara eksklusif oleh
osteosit, menghambat LRP5 dan dengan demikian menghambat jalur pensinyalan
94 - 96
Wnt. Memang, displasia tulang sclerosing penyakit van Buchem (juga dikenal
sebagai hyperostosis corticalis generalisata familiaris) dan sclerosteosis ditandai oleh
33
[Type text]

tengkorak tebal, rahang persegi dan kelainan jari, dan berhubungan dengan hilangnya
94 , 95
fungsi mutasi pada SOST . Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
pengobatan antibodi anti-sclerostin meningkatkan penyembuhan tulang metafisial
97
pada tikus dan meningkatkan penyembuhan defek tibialis proksimal pada tikus
yang diovariektomi. Peningkatan kadar sclerostin serum selama penyembuhan patah
tulang pada manusia juga telah terdeteksi. Lebih lanjut, sebuah penelitian terhadap
wanita pascamenopause dengan osteoporosis, meskipun bukan uji klinis definitif dari
perawatan fraktur, telah menunjukkan bahwa terapi antibodi anti-sklerostin
(romosozumab) dapat meningkatkan kepadatan mineral tulang dan pembentukan
99
tulang. Studi-studi ini menunjukkan bahwa anggota jalur pensinyalan Wnt, dan
sclerostin khususnya, mungkin menjadi target terapi untuk peningkatan perbaikan
kerangka.

Pemulihan fungsi biologis dan fisik

Penyembuhan kerangka didefinisikan secara fungsional oleh pemulihan


penahan berat oleh tulang yang retak, dan tergantung pada fitur struktural dan
material jaringan. Karena aspek-aspek struktur jaringan dan sifat-sifat material
jaringan dipengaruhi secara bervariasi oleh berbagai proses biologis, dan masing-
masing proses ini akan dipengaruhi secara unik oleh terapi yang diberikan, setiap
terapi akan memfasilitasi pemulihan fungsi ini melalui proses yang berbeda. Oleh
karena itu terapi untuk penyembuhan patah tulang harus dikembangkan dan diberikan
sesuai dengan proses biologis yang mereka modifikasi, bagaimana tindakan ini
mempengaruhi komposisi dan struktur bahan jaringan, dan hubungan antara
komposisi dan struktur dengan pemulihan fungsi mekanik. Penggunaan terapi khusus
dalam situasi di mana penyembuhan telah dikompromikan juga harus
dipertimbangkan dalam konteks bagaimana komorbiditas dapat mempengaruhi proses
biologis yang berbeda dan menghambat penyembuhan. Yang penting, beberapa terapi
dapat mempengaruhi penyembuhan patah tulang dengan tindakan mereka pada
berbagai proses biologis. Oleh karena itu, ketika mempertimbangkan penggunaan
terapeutik, harus dipertimbangkan proses biologis mana yang akan dikompromikan
oleh komorbiditas yang diberikan dan terapeutik mana yang paling baik mengubah
keadaan yang dikompromikan. Selain itu, menentukan waktu penggunaan terapeutik
untuk memiliki efek maksimal pada proses biologis tertentu adalah penting untuk

34
[Type text]

meningkatkan perkembangan penyembuhan. Dua contoh disajikan untuk


menunjukkan hubungan ini dan Tabel 1 merangkum bagaimana berbagai terapi
memfasilitasi pemulihan fungsi dibandingkan dengan efek biologis mereka.

Tabel 1

Pengaturan waktu dan efek terapi untuk penyembuhan patah tulang

Singkatan: BMP-2, protein morfogenetik tulang 2; DKK1, protein terkait Dickkopf 1; PTH,
hormon paratiroid.

Dalam contoh pertama, PTH meningkatkan penyembuhan dalam model


allograft femoral tikus dengan mempromosikan pembentukan kalus eksternal dan
pengembangan tulang rawan, sehingga memfasilitasi menjembatani graft dengan
100
tulang di sekitarnya. Selanjutnya, PTH dapat mempromosikan remodeling

35
[Type text]

sekunder intramedullary dari graft, memungkinkan pembentukan tulang baru untuk


62
menggantikan graft. Konsisten dengan penelitian ini adalah temuan sebelumnya
bahwa pemberian sistemik harian PTH (1-34) meningkatkan penyembuhan patah
tulang baik dengan mempromosikan pembentukan kalus awal melalui pembentukan
tulang endokhondral maupun dengan menghasilkan efek anabolik yang berkelanjutan
selama periode remodeling fraktur. penyembuhan. 70 Oleh karena itu, dengan aktivitas
biologis yang berbeda, peningkatan pembentukan tulang rawan dan peningkatan
remodeling, yang secara terpisah meningkatkan luas penampang dan jumlah jaringan
mineral, PTH meningkatkan dua fase penyembuhan fraktur yang terpisah.

Dalam penelitian yang berbeda, penyembuhan fraktur metafisial tibialis pada


kelinci, pengobatan dengan PTH dan manusia rekombinan BMP-7 meningkatkan
volume tulang di lokasi cedera, tetapi tidak satu pun dari perawatan itu sendiri yang
101
meningkatkan fungsi mekanik. Perawatan kombinasi meningkatkan fungsi
mekanis, jumlah jaringan tulang dalam defek dan integrasi antara jaringan tulang baru
dan lama dalam situs cedera dan jaringan sekitarnya. Menariknya, pemeriksaan
histologis menunjukkan bahwa BMP-7 manusia rekombinan tampaknya benar-benar
anabolik dan hanya memfasilitasi perbaikan tulang kortikal, sedangkan PTH berfungsi
101
dalam konteks perombakan remodeling dalam ruang sumsum yang mendasarinya.
Konsisten dengan hasil ini adalah data yang menunjukkan bahwa BMPs secara
42
selektif menargetkan diferensiasi sel induk periosteal. Yang juga menarik adalah
bahwa penghambatan pensinyalan BMP, yang terjadi secara konstitutif dengan
pemeliharaan tulang homeostatik, menyebabkan peningkatan massa tulang; efek ini
dimediasi oleh hilangnya regulasi BMP dari ekspresi SOST dan protein yang
66
berhubungan dengan Dickkopf oleh sel-sel osteogenik dalam ruang medula. Efek
biologis yang berbeda seperti PTH dan BMP menunjukkan, oleh karena itu, bahwa
pertimbangan yang cermat harus diberikan baik untuk waktu dan durasi penggunaan
klinis mereka dan untuk aplikasi terapeutik yang paling manjur.

Kesimpulan

Mengoptimalkan kondisi untuk panen, pemilihan, perluasan dan formulasi persiapan sel
induk osteogenik diperlukan untuk memajukan bidang penyembuhan kerangka dan untuk
menetapkan tahap untuk mengembangkan terapi lokal dan sistemik baru. Kita juga perlu
mengembangkan sistem pengiriman yang lebih baik untuk sel punca, faktor pertumbuhan dan
36
[Type text]

zat osteoinduktif, dan untuk mengeksplorasi aplikasi sistemik agen osteogenik. Identifikasi
pengaturan eksperimental yang tepat dan titik akhir klinis yang terukur dan bermakna untuk
desain uji klinis manusia juga diperlukan. Tujuan-tujuan ini, jika didasarkan pada fondasi
yang kuat dari pengetahuan sains dasar penyembuhan kerangka, akan mengarah pada metode
baru untuk meningkatkan perawatan pasien dengan cedera kerangka.

Poin-poin penting

 ■ Fraktur adalah organ besar, cedera traumatis paling umum pada manusia dan sekitar
10% tidak sembuh dengan baik
 ■ Penyembuhan fraktur melibatkan fase anabolik dari peningkatan volume jaringan,
yang membentuk jaringan kerangka baru, diikuti oleh fase katabolik yang
berkepanjangan di mana jaringan diubah menjadi struktur asli
 ■ Penyembuhan fraktur diatur oleh sifat dan tingkat trauma, stabilitas fiksasi fraktur
dan proses biologis, termasuk proses imunologis dan perkembangan yang terkait
dengan ontologi kerangka.
 ■ Berbagai strategi, yang melibatkan terapi sistemik berbasis sel biofisik, lokal, dan
sistemik yang memanipulasi proses morfogenetik yang mengontrol perkembangan
kerangka digunakan untuk mendorong penyembuhan
 ■ Dua terapi yang paling banyak diteliti untuk penyembuhan patah tulang secara
biologis adalah protein morfogenetik tulang, yang bekerja secara lokal, dan hormon
paratiroid, yang bekerja secara sistemik.
 ■ Untuk memajukan bidang penyembuhan kerangka dan untuk menetapkan tahap
untuk mengembangkan terapi lokal dan sistemik baru, kondisi untuk perekrutan dan
diferensiasi sel induk skeletogenik perlu dioptimalkan

Kotak 1 | Metode yang diuji untuk meningkatkan penyembuhan patah tulang

Peningkatan biofisik

Stimulasi medan elektromagnetik 72 - 76

Stimulasi ultrasonik berdenyut intensitas rendah 77-79

37
[Type text]

Peningkatan biologis yang diterapkan secara lokal 71

Bahan osteogenik

 ■ Tulang autologous 81
 ■ Sumsum tulang autologous 71

Bahan osteokonduktif

 ■ Kalsium fosfat
 ■ Kalsium hidroksiapetit
 ■ Kalsium sulfat
 ■ Komposit kalsium fosfat / kolagen
 ■ Tulang alogenik
 ■ Matriks tulang yang didemineralisasi
 ■ Faktor perbaikan jaringan

Faktor pertumbuhan fibroblast 57 , 58 , 60 , 82

Faktor pertumbuhan turunan trombosit 83

Faktor osteoinduktif dan morfogenetik

 ■ Protein morfogenetik tulang 84 , 86 - 88 , 91 , 92


 ■ Bukan protein 92

Peningkatan biologis sistemik

Hormon paratiroid 61 , 62 , 67 , 70

Antibodi anti-sclerostin 64 , 96 - 98

Antibodi protein 1 terkait anti-Dickkopf 95

J. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
- Kebiasaan beraktivitas tanpa pengamanan memadai.

38
[Type text]

- Adanya kegiatan yang berisiko cidera.


- Adanya riwayat penyakit yang bisa menyebabkan jatuh.
b. Pola nutrisi
- Adanya gangguan nafsu makan karena nyeri.
c. Pola eliminasi
- Obstipasi karena imobilitas.
d. Pola aktivitas dan latihan
- Ada riwayat jatuh/terbentur ketika sedang beraktivitas atau kecelakaan lain.
- Tidak kuat berdiri/menahan beban.
- Ada perubahan bentuk atau pemendekan pada bagian betis/tungkai bawah.
e. Pola tidur dan istirahat
- Pola tidur berubah/terganggu karena adanya nyeri pada daerah cidera.
f. Pola persepsi kognitif
- Biasanya mengeluh nyeri hebat pada lokasi tungkai yang terkena.
- Mengeluh kesemutan atau baal pada lokasi tungkai yang terkena.
- Kurang pemahaman tentang keadaan luka dan prosedur tindakan.
g. Pola konsep diri dan persepsi diri
- Adanya ungkapan ketidakberdayaan karena keadaan cidera.
- Rasa khawatir dirinya tidak mampu beraktivitas seperti sebelumnya.
h. Pola hubungan-peran
- Kecemasan akan tidak mampu menjalankan kewajiban memenuhi kebutuhan
keluarga dan melindungi.
- Merasa tidak berdaya.
i. Pola seksual dan reproduksi
- Merasa khawatir tidak dapat memenuhi kewajiban terhadap pasangan.
j. Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stres
- Ekspresi wajah sedih.
- Tidak bergairah.
- Merasa terasing di rumah sakit.

Pre Operasi
1. Nyeri berhubungan dengan patah tulang, spasme otot, edema dan kerusakan
jaringan lunak.

39
[Type text]

2. Risiko tinggi terjadinya perubahan neurovaskuler perifer berhubungan dengan


menurunnya aliran darah akibat cidera vaskuler langsung, edema berlebihan,
pembentukan trombus, hipovolemia.
3. Risiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
primer: kerusakan kulit, trauma jaringan, kerusakan pada jaringan lunak.
4. Kecemasan berhubungan dengan nyeri, ketidakmampuan dan gangguan
mobilisasi.
5. Regimen terapeutik tidak efektif berhubungan dengan kurangnya informasi
mengenai penyakit, tanda dan gejala, pengobatan dan pencegahannya.

Post Operasi
1. Nyeri berhubungan dengan pemasangan pen, sekrup, drain dan adanya luka
operasi.
2. Risiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan adanya luka operasi.
3. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan nyeri dan terapi fraktur,
pemasangan traksi, gips dan fiksasi.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
bertambahnya metabolisme untuk penyembuhan tulang dan jaringan.
5. Regimen terapeutik in efektif berhubungan dengan kurang informasi mengenai
penyakit, tanda dan gejala, pengobatan dan pencegahannya.
6. Risiko tinggi terjadinya komplikasi post operasi b.d. imobilisasi.

Pre Operasi
1. Nyeri berhubungan dengan patah tulang, spasme otot, edema dan kerusakan
jaringan lunak.
HYD: Nyeri berkurang sampai dengan hilang dalam waktu 2-3 hari ditandai
dengan: klien mengatakan nyeri berkurang/hilang, ekspresi wajah santai,
dapat menikmati waktu istirahat dengan tepat, dan mampu melakukan
teknik relaksasi dan aktivitas sesuai dengan kondisinya.
Intervensi:

1. Kaji tingkat nyeri klien/


R/ Mengetahui rentang respon klien tentang nyeri.

2. Tinggikan dan sokong ekstremitas yang sakit.


40
[Type text]

R/ Meningkatkan aliran balik vena, menurunkan edema dan mengurangi rasa


nyeri.

3. Pertahankan bidai pada posisi yang sudah ditetapkan.


R/ Mengurangi kerusakan yang lebih parah pada daerah fraktur.

4. Mempertahankan tirah baring sampai tindakan operasi.


R/ Mempertahankan kerusakan yang lebih parah pada daerah fraktur.

5. Dengarkan keluhan klien.


R/ Mengetahui tingkat nyeri klien.

6. Ajarkan teknik relaksasi untuk mengurangi nyeri (latihan nafas dalam).


R/ Meningkatkan kemampuan koping dalam menangani nyeri.

7. Kolaborasikan dengan dokter mengenai masalah nyeri.


R/ Intervensi tepat mengatasi nyeri.

2. Risiko tinggi terjadinya perubahan neurovaskuler perifer berhubungan dengan


menurunnya aliran darah akibat cidera vaskuler langsung, edema berlebihan,
pembentukan trombus, hipovolemia.
HYD: Perfusi jaringan perifer memadai ditandai dengan terabanya nadi, kulit
hangat/kering, sensasi dan sensori normal, TTV dalam batas normal dalam
waktu 2-3 hari.

Intervensi:

1. Observasi TTV tiap 3-4 jam.


R/ Ketidakefektifan volume sirkulasi mempengaruhi tanda-tanda vital.

2. Kaji aliran kapiler, warna kulit, dan kehangatan bagian distal fraktur.
R/ Warna kulit pucat merupakan tanda gangguan sirkulasi.

3. Lakukan pengkajian neuromuskuler, perhatikan perubahan fungsi


motorik/sensorik.
R/ Rasa baal, kesemutan, peningkatan nyeri dapat terjadi bila sirkulasi pada
saraf tidak adekuat atau syaraf rusak.

41
[Type text]

4. Identifikasi tanda iskemia ekstremitas tiba-tiba.


R/ Dislokasi fraktur dapat menyebabkan kerusakan arteri yang berdekatan.

5. Monitor hasil laboratorium melalui kolaborasi dengan dokter (mppp, Hb, Ht).
R/ Mengidentifikasi tanda-tanda kelainan darah.

6. Lepaskan perhiasan dari ekstremitas yang sakit.


R/ Dapat membendung sirkulasi bila terjadi edema.

7. Kolaborasi dengan dokter untuk menyiapkan klien intervensi pembedahan.


R/ Intervensi tepat dan cepat dapat mencegah kerusakan yang lebih parah.

3. Risiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan


primer: kerusakan kulit, trauma jaringan, kerusakan pada jaringan lunak.
HYD: Tidak terjadi infeksi dalam waktu 2-3 hari ditandai dengan tanda-tanda
vital dalam batas normal dan pemeriksaan laboratorium normal.
Intervensi:

1. Kaji tanda-tanda vital tiap 3-4 jam.


R/ Infeksi yang terjadi dapat meningkatkan suhu tubuh.

2. Monitor hasil laboratorium (leukosit).


R/ Mengidentifikasi tanda-tanda infeksi.

3. Rawat luka secara steril.


R/ Mengurangi risiko terjadinya infeksi.

4. Beri diet tinggi kalori dan tinggi protein.


R/ Makanan yang bergizi akan membantu meningkatkan pertahanan tubuh.

5. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi.


R/ Mengidentifikasi supaya infeksi tidak terjadi.

4. Kecemasan berhubungan dengan nyeri, ketidakmampuan dan gangguan


mobilisasi.

42
[Type text]

HYD: Kecemasan tidak terjadi dalam waktu 2-3 hari ditandai dengan klien tidak
mengeluh nyeri, mampu melakukan aktivitas sebagaimana mestinya, dan
mengungkapkan perasaan lebih santai, ekspresi wajah rileks.
Intervensi:

1. Kaji tingkat kecemasan klien.


R/ Menentukan intervensi yang tepat.

2. Beri dan luangkan waktu bagi klien untuk mengungkapkan perasaannya.


R/ Mengetahui tingkat kecemasan klien dan memenuhi kebutuhan untuk
didengarkan.

3. Ajarkan dan bantu klien untuk melakukan teknik-teknik mengatasi kecemasan.


R/ Mengurangi kecemasan klien.

4. Kaji perilaku koping yang ada dan anjurkan penggunaan perilaku yang telah
berhasil digunakan untuk mengatasi kecemasan yang lain.
R/ Klien tampak lebih rileks dan tidak terlalu memikirkan hal-hal yang
menimbulkan kecemasan.

5. Berikan dukungan kepada klien untuk berinteraksi dengan keluarga, orang tua
terdekat.
R/ Orang terdekat merupakan pemberi support sistem yang paling tepat.

6. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi untuk mengurangi


kecemasan klien.
R/ dapat memulihkan klien ke tingkat awal.

5. Regimen terapeutik tidak efektif berhubungan dengan kurangnya informasi


mengenai penyakit, tanda dan gejala, pengobatan dan pencegahannya.
HYD: Klien dapat mengetahui tentang penyakit, penyebab, tanda gejala,
pengobatan, pencegahan serta tindakan operasi dalam waktu 2-3 hari.
Intervensi:

1. Kaji tingkat pengetahuan klien mengenai penyakitnya, penyebab, tanda gejala,


pengobatan, pencegahan dan prosedur operasi.
R/ Meningkatkan pengetahuan klien mengenai penyakit yang sedang
dialaminya.

43
[Type text]

2. Jalin hubungan saling percaya.


R/ Mempercepat proses penerimaan diri.

3. Jelaskan tentang rencana operasi dan post operasi.


R/ Meningkatkan pengetahuan klien.

4. Beri kesempatan pada klien untuk bertanya.


R/ Meningkatkan pengetahuan dan kerjasama klien.

5. Dorong pasien untuk melanjutkan latihan aktif untuk sendi di atas dan di
bawah fraktur.
R/ Mencegah kekakuan sendi, kontraktur, dan kelemahan otot, meningkatkan
kembalinya aktivitas sehari-hari.

6. Anjurkan penggunaan back pack.


R/ Untuk memanipulasi kruk atau dapat mencegah kelelahan otot yang tidak
perlu bila satu tangan digips.

7. Kaji ulang perawatan pen/luka yang tepat.


R/ Menurunkan risiko trauma tulang/jaringan dan infeksi yang dapat berlanjut
melalui osteomielitis.

Post Operasi
1. Nyeri berhubungan dengan pemasangan pen, sekrup, drain dan adanya luka
operasi.
HYD: Nyeri berkurang sampai dengan hilang dalam waktu 2-3 hari ditandai
dengan: ekspresi wajah tenang, klien mengungkapkan nyeri berkurang.
Intervensi:

1. Observasi TTV tiap 4 jam.


R/ Peningkatan tanda-tanda vital menunjukkan adanya nyeri.

2. Kaji keluhan, lokasi, intensitas dan karakteristik nyeri.


R/ Menentukan tindakan yang tepat sesuai dengan kebutuhan pasien.

3. Anjurkan teknik relaksasi napas dalam.

44
[Type text]

R/ Napas dalam dapat mengendorkan ketegangan, sehingga dapat mengurangi


rasa nyeri.

4. Berikan posisi yang nyaman pada tulang yang fraktur sesuai anatominya.
R/ Posisi anatomi memberikan rasa nyaman dan melancarkan sirkulasi darah.

5. Berikan terapi analgetik sesuai dengan program medik.


R/ Analgesik akan menghambat dan menekan rangsang nyeri ke otak.

2. Risiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan adanya luka operasi.


HYD: Tidak terjadi infeksi dalam waktu 2-3 hari ditandai dengan kulit bersih,
pasien tidak mengalami infeksi tulang.
Intervensi:

1. Observasi tanda-tanda vital (TD, S, N, P) tiap 4 jam.


R/ Peningkatan TTV dapat menunjukkan adanya infeksi.

2. Rawat luka operasi dengan baik dengan tehnik antiseptik.


R/ Mencegah dan menghambat berkembangnya bakteri.

3. Tutup luka operasi dengan kasa steril.


R/ Kasa steril dapat menghambat masuknya kuman ke dalam luka.

4. Jaga daerah luka tetap bersih dan kering.


R/ Luka yang kotor dan basah menjadi media yang baik bagi
perkembangbiakan bakteri.

5. Berikan terapi antibiotik sesuai dengan program medik.


R/ Antibiotik akan menghambat hidup dan berkembangnya bakteri.

3. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan nyeri dan terapi fraktur,


pemasangan traksi, gips dan fiksasi.
HYD: Klien dapat mobilisasi seperti biasanya dalam waktu 2-3 hari ditandai
dengan klien dapat mobilisasi sendiri, dapat melakukan aktivitas sendiri
tanpa bantuan orang lain.

45
[Type text]

Intervensi:

1. Observasi TTV (S, TD, N, P) tiap 4 jam.


R/ Sebagai data dasar untuk menentukan tindakan keperawatan.

2. Kaji tingkat kemampuan pasien dalam beraktivitas, mobilisasi secara mandiri.


R/ Menentukan tingkat keperawatan sesuai kondisi pasien.

3. Bantu pasien dalam pemenuhan higiene, nutrisi, eliminasi yang tidak dapat
dilakukan sendiri.
R/ Kerjasama antara perawat dengan pasien yang baik mengefektifkan
pencapaian hasil dari tindakan keperawatan yang dilakukan.

4. Dekatkan alat-alat dan bel yang dibutuhkan klien.


R/ Klien dapat segera memenuhi kebutuhan yang dapat dilakukan.

5. Libatkan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pasien.


R/ Kerjasama antara perawat dan keluarga akan membantu dalam mencapai
tujuan yang diinginkan.

6. Anjurkan dan bantu klien untuk mobilisasi fisik secara bertahap sesuai
kemampuan pasien dan sesuai program medik.
R/ Mobilisasi dini secara bertahap membantu dalam proses penyembuhan.

4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


bertambahnya metabolisme untuk penyembuhan tulang dan jaringan.
HYD: Perubahan nutrisi tidak terjadi dalam waktu 2-3 hari ditandai dengan
penyembuhan tulang dan jaringan dapat kembali secara bertahap
sempurna seperti normalnya.
Intervensi:

1. Kaji abdomen, catat adanya bising usus, distensi abdomen dan keluhan mual.
R/ Distensi abdomen dan atoni usus sering terjadi, mengakibatkan penurunan
tak adanya bising usus untuk mencerna makanan.

2. Berikan perawatan oral.

46
[Type text]

R/ Menurunkan rangsangan muntah dan inflamasi/iritasi, mukosa membran


kering.

3. Bantu pasien dalam pemilihan makanan/cairan yang memenuhi kebutuhan


nutrisi tinggi kalsium.
R/ Kebiasaan diet sebelumnya mungkin tidak memuaskan pada pemenuhan
kebutuhan saat ini untuk regenerasi jaringan dan penyembuhan.

4. Kaji adanya peningkatan haus dan berkemih atau perubahan mental dan
ketajaman visual.
R/ Mewaspadai terjadinya hiperglikemia karena peningkatan pengeluaran
glukagon dan penurunan pengeluaran insulin.

5. Menganjurkan klien untuk banyak mengkonsumsi buah dan sayur-sayuran.


R/ Konsumsi buah dan sayur-sayuran dapat meningkatkan proses
penyembuhan tulang.

6. Kolaborasi dengan ahli diet.


R/ Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi klien.

5. Risiko tinggi terjadinya komplikasi post operasi b.d. imobilisasi.


HYD: Tidak terjadi komplikasi post operasi dalam waktu 2-3 hari ditandai
dengan tidak ada perasaan nyeri, sesak, mati rasa dll.
Intervensi:

1. Kaji keluhan pasien.


R/ Mengetahui masalah pasien.

2. Observasi TTV (S, T, N, P) tiap 4 jam.


R/ Untuk mendeteksi adanya tanda-tanda awal dari komplikasi.

3. Anjurkan dan ajarkan latihan aktif dan pasif.


R/ Meningkatkan pergerakan sehingga dapat melancarkan aliran darah.

4. Kolaborasi dengan dokter.


R/ Mengetahui dan mendapatkan penanganan yang tepat.

47
[Type text]

6. Regimen terapeutik in efektif berhubungan dengan kurang informasi mengenai


penyakit, tanda dan gejala, pengobatan dan pencegahannya dan prosedur
pembedahan.
HYD: Regimen terapeutik menjadi efektif dalam waktu 2-3 hari ditandai dengan
klien dapat mengetahui penyakit, tanda dan gejala, pengobatan,
pencegahan dan prosedur operasi.
Intervensi:

1. Kaji tingkat pengetahuan pasien mengenai penyakit, tanda gejala, pengobatan,


pencegahan dan prosedur operasi.
R/ Untuk mengukur sejauh mana pengetahuan pasien tentang penyakit.

2. Ajarkan dan anjurkan pasien untuk melakukan latihan pasif dan aktif secara
teratur.
R/ Dengan latihan aktif dan pasif diharapkan dapat mencegah terjadinya
kontraktur pada tulang.

3. Berikan kesempatan pada pasien untuk bertanya.


R/ Hal kurang jelas dapat diklarifikasi kembali.

4. Anjurkan pasien untuk menaati terapi dan kontrol tepat waktu.


R/ Mencegah keadaan yang dapat memperburuk keadaan fraktur.

5. Anjurkan pasien untuk tidak mengangkat beban berat pada tangan yang
fraktur.
R/ Mencegah stres pada tulang.

48
[Type text]

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah dipaparkan dapat ditarik kesimpulan:
Fraktur merupakan cedera yang terjadi pada tulang akibat beban berlebih, namun
jika ditangani dengan benar (dengan penggunaan traksi atau gips) tidak akan
menimbulkan kecacatan.

B. SARAN
Berdasarkan pemaparan, kelompok memberi saran agar:
1. Tidak membebani tulang secara berlebih (mengangkat benda berat) yang
berpotensi mengakibatkan fraktur
2. Menjaga mekanika tubuh yang baik dan benar dalam beraktivitas (mengangkat
benda berat dengan tulang besar, jika terlalu berat menggunakan alat bantu)
3. Memperbaiki gaya hidup yang berisiko terjadinya fraktur (menaati peraturan lalu
lintas)
4. Meningkatkan asupan kalsium untuk nutrisi tulang (melalui susu, paparan cahaya
matahari)
5. Jika terjadi fraktur, segera minta penanganan medis secepatnya. Hindari tindakan
non medis yang dapat membahayakan.

49
[Type text]

DAFTAR PUSTAKA

Black, M.J & Hawkl, J.H. (2005). Medical Surgical Nursing: Clinical Management for
Positive Outcome. Seventh edition. USA: Elsevier Inc
Carpenito, L. J. (2001). Diagnosa Keperawatan Aplikasi untuk Praktik Klinik. Edisi 8.
Lippincott William & Willins.
Christensen, B. L & Kockrow, E. O. (2006). Foundation and Adult Health Nursing. Fifth
edition. USA: Elsevier Inc.
Hoppenfeld, S. & Murthy, V. L. (2000). Terapi & Rehabilitasi Fraktur. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. & Bare, B. (2004). Brunner & Suddarth’s textbook of medical surgical nursing.
10th edition. Lippincott & Wilkins.
Ottawa. (2012). Optimizing Health System Use of Medical Isotopes and Other Imaging Modalities. In
M. Mujoomdar, E. Russell, & C. Murray, Canandian Agency for Drugs and Technologies in
Health.

Jessica, & Aaron. (2018). Open Fracture. Stat Pearls Publishing, NCBI.

Einhorn, T. (2015). Fracture healing: mechanisms and interventions. Nat Rev Rheumatol HSS
Public Access, (1): 45–54. PMID: 25266456.

50

Anda mungkin juga menyukai