Anda di halaman 1dari 8

TUGAS FARMASI SOSIAL

‘’KASUS : KONSTIPASI ‘’

DISUSUN OLEH : KELOMPOK II


MOH. ISMAIL UKAS G 701 14 099
SAIPUL MAULANA G 701 15 020
FEBRIANI BARRE G 701 15 122
FERANDA WULAMDARI G 701 15 062
RISKY DERMAWATI G 701 15 010
BESSE INDRA LESTRI G 701 15 229

KELAS B

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2018
A plain x-ray of the abdomen showed gas-dilated loops in the colon. An
abdominal CT scan was then performed and showed a large amount of stool in
the colon. The GI service was consulted, and the recommendation was made to
hold warfarin for colonoscopy. The laxative regimen used for colonoscopy
bowel preparation was successful in clearing her bowel for the procedure and
also in relieving the patient’s abdominal pain. Colonoscopy was unremarkable,
and she was discharged with directions to establish a regimen to maintain
regular bowel function.

Kasus
Passien mengeluhkan rasa kembung dengan adanya gas dibagian kolon, setelah
dilakukan CT scan pada bagian abdomen terdapat banyak kotoran pada usus
besarnya. Tenaga medis menyarankan untuk melakukan pemeriksaan pada
saluran pencernaan dan tidak menggunakan warfarin untuk pemeriksaan
colonoscopy. Pasien disarankan menggunakan regimen terapi laxative untuk
mempersiapkan pemeriksaan colonoscopy usus. Prosedur terapi tersebut
ternyata berhasil menurunkan keluhan sakit perut. Berdasarkan pemeriksaan
colonoscopy pada usus, hasilnya normal dan pasien boleh pulang dengan tetap
menggunakan regimen terapi obat laxativa.
QUESTIONS
Problem Identification
A. Develop a list of the potential therapy problems in this patient other than
those related to her constipation.
Jawaban
Masalah terapi yang berpotensi muncul pada pasien yang berkaitan dengan
konstipasi pasien yaitu ketergantungan terhadap penggunaan laxativa sebagai
pencahar jika tidak diberikan asupan serat misalnya sayuran dan buah-buahan,
serta penggunaan warfarin yang tidak diketahui indikasinya pada kasus ini.

B. What signs or symptoms are indicative of constipation in this patient?


Jawaban
Tanda dan Gejala konstipasi pada pasien ini yaitu nyeri perut, adanya gas
dibagian kolon dan terdapat kotoran (feses) dibagian kolon dengan jumlah
yang banyak.
Gejala klinis yang umum terjadi pada konstipasi adalah frekuensi defekasi
kurang dari tiga kali per minggu, nyeri saat defekasi, tinja keras, sering
mengejan pada saat defekasi, perasaan kurang puas setelah defekasi. Keluhan
lain yang biasa timbul adalah nyeri perut, kembung, perdarahan rektum (tinja
yang keluar keras dan kehitaman). Keluhan tersebut makin bertambah berat,
bahkan sampai timbulnya gejala obstruksi intestinal (Van der Plas dkk., 2010).

C. What are some of the possible nonpharmacologic contributors to her


constipation?
Jawaban
Terapi non farmakologi yang mungkin dapat berkontribusi pada konstipasi
pasien ini yaitu dengan cara meningkatkan asupan serat dan asupan cairan,
aktifitas fisik yang cukup dan makan 3 kali sehari tetapi makan dengan porsi
kecil dan sering dan menghindari ketegangan psikis seperti stres dan cemas
(Syam, 2008).

D. What are some of the possible pharmacologic contributors to constipation


in this patient?
Jawaban
Terapi farmakologi yang berkontribusi pada pasien ini adalah penggunaan
terapi konstipasi golongan laxativa. Sebab, setelah penggunaan laxativa
diperoleh hasil berupa tidak adanya kotoran dibagian kolon pasien melalui
pemeriksaan colonoscopy.

E. What information should be obtained from a patient who presents with a


chief complaint of constipation?
Jawaban
Informasi yang harus diperoleh dari pasien dengan keluhan utama konstipasi
yaitu durasi konstipasi, pola eliminasi saat ini dan masa lalu, serta harapan
pasien tentang eliminasi defekasi. Informasi gaya hidup harus dikaji, termasuk
latihan dan tingkat aktifitas, pekerjaan, asupan nutrisi dan cairan, serta stress.
Riwayat medis dan bedah masa lalu, terapi obat-obatan saat ini, dan
penggunaan laksatif serta enema adalah penting. Pasien harus ditanya tentang
adanya tekanan rektal atau rasa penuh, nyeri abdomen, mengejan berlebihan
saat defekasi, flatulens, atau diare encer (Carpenito, 2009).

F. What are the goals of pharmacotherapy in treating constipation?


Jawaban
Goals terapi dari konstipasi yaitu melunakkan feses sehingga memudahkan
defekasi, menurunkan gejala, serta menormalkan motilitas saluran cerna, dan
meningkatkan kenyamanan pasien (Johanson, 2007).

Therapeutic Alternatives
G. What are some nonpharmacologic steps useful in treating constipation?
Menurut Sianipar (2015), beberapa terapi non farmakologis konstipasi yaitu :

1. Aktivitas Fisik
Kurangnya aktivitas fisik berhubungan dengan peningkatan dua kali lipat risiko
konstipasi. Tirah baring dan imobilisasi berkepanjangan juga sering
dihubungkan dengan konstipasi.

2. Latihan
Sebagian kemampuan defekasi merupakan suatu refl eks yang dikondisikan.
Sebagian besar pasien dengan pola defekasi teratur melaporkan bahwa
pengosongan saluran cernanya pada saat yang hampir sama setiap hari. Saat
optimal untuk defekasi adalah segera setelah bangun tidur dan setelah makan,
saat transit kolon tersingkat. Pasien-pasien harus mengenali dan merespons
keinginan defekasi, jika gagal dapat mengakibatkan menumpuknya feses yang
berlanjut diabsorpsi cairan yang membuat nya makin sulit dikeluarkan.

3. Posisi Saat Defekasi


Suatu penelitian yang membandingkan posisi-posisi defekasi menyimpulkan
bahwa pasien harus dimotivasi untuk mengadopsi posisi setengah berjongkok
atau “semi-squatting” untuk defekasi. Kebanyakan orang tidak terbiasa dengan
posisi berjongkok, tetapi dapat dibantu dengan menggunakan pijakan kaki dan
membungkuk badan ke depan saat di toilet. Bantal juga dapat digunakan untuk
membantu untuk menguatkan otot-otot abdomen.

4. Konsumsi Air
Konsumsi air adalah kunci penatalaksanaan, pasien harus dianjurkan minum
setidaknya 8 gelas air per hari (sekitar 2 liter per hari). Konsumsi kopi, teh, dan
alkohol dikurangi semaksimal mungkin atau konsumsi segelas air putih ekstra
untuk setiap kopi, teh, atau alkohol yang diminum.

5. Serat
Meningkatkan konsumsi serat umum direkomendasikan sebagai terapi awal
konstipasi. Rekomendasi makanan tinggi serat (buah dan sayur) atau suplemen-
suplemen serat Psyllium (kulit ari ispaghula/ispaghula husk, metilselulosa,
polycarbophil, atau kulit padi/bran) perlu dilanjutkan selama 2-3 bulan sebelum
ada perbaikan gejala yang bermakna. Pendekatan ini hanya efektif pada
sebagian pasien dan masih sedikit bukti penelitian klinis yang mendukung cara
ini.

H. What are the pharmacologic options for the treatment of constipation?


Jawaban :

Beberapa pilihan terapi farmakologi konstipasi yaitu :

1. Pencahar pembentuk tinja (bulk-forming laxative)


Bahan aktif: serat alami seperti psyllium, serat buatan seperti metil selullosa
(methylcellulose) dan calcium polycarbophil.

Cara kerja: pencahar ini membentuk gel di tinja yang membantu menahan lebih
banyak air di tinja. Tinja menjadi lebih besar, yang merangsang gerakan di usus
untuk membantu mengeluarkan tinja lebih cepat.

Pertimbangan penggunaan: Ketiganya sama efektif dalam meningkatkan


volume tinja. Obat ini cukup aman digunakan dalam waktu yang lama tetapi
memerlukan asupan cairan yang cukup. Bulk-forming laxative adalah pilihan
yang baik untuk orang-orang dengan sembelit kronis. Namun, obat-obat ini
membutuhkan waktu lebih lama dari obat pencahar lainnya untuk bekerja.

Contoh merek pencahar di Indonesia yang berisi psyllium: Mulax

2. Pelembut tinja

Zat aktif: docusate sodium, docusate calcium, sodium docecyl sulfate (SDS)

Cara kerja: Obat ini mempunyai efek sebagai surfaktan yang menurunkan
tegangan permukaan feses, sehingga dapat meresap dan tinja jadi lembek.

Pertimbangan penggunaan: pelembut tinja cukup ringan untuk mencegah


sembelit dengan penggunaan biasa. Namun, ini adalah pilihan efektif untuk
mengobati sembelit. Pelembut tinja paling baik untuk orang dengan sembelit
sementara atau konstipasi ringan dan kronis.

Contoh mereknya adalah Triolax yang mengandung gliserin dan sodium


dodecyl sulfate.

3. Pencahar stimulan/perangsang

Zat aktif: ekstrak senna (mengandung senyawa sennosides, contoh mereknya


Laxasium) dan bisacodyl.

Cara kerja: obat ini menstimulasi dan meningkatkan peristaltik atau gerakan
usus.

Pertimbangan penggunaan: obat pencahar stimulan tidak boleh digunakan


secara teratur. Bila digunakan secara teratur, bisa menyebabkan dehidrasi dan
ketidakseimbangan elektrolit.

Contoh merek pencahar di Indonesia yang berisi bisacodyl: Bicolax, Custodiol,


Laxana, Prolaxan, Stolax.
4. Pencahar hiperosmolar (osmotic laxative)

Zat aktif: laktulosa, sorbitol (contohnya Sorbitol Corsa/Sanofi Synthelabo), dan


gliserin – sodium docecyl sulfate (contohnya Triolax).

Cara kerja: pencahar ini mempunyai efek menahan cairan dalan usus dan
mengatur distribusi cairan dalam tinja. Jenis ini mempunyai cara kerja seperti
spon sehingga tinja mudah melewati usus.

Pertimbangan penggunaan: Obat pencahar hiperosmolar juga dapat digunakan


untuk jangka waktu yang lebih lama dengan sedikit risiko efek samping.
Seperti obat pencahar pembentuk massal, ini adalah pilihan tepat bagi
penderita sembelit kronis dan mereka membutuhkan waktu lebih lama dari obat
pencahar lainnya untuk bekerja.

Contoh merek pencahar di Indonesia yang berisi laktulosa: Duphalac,


Graphalac, Lacons, Lactulax, Lactulose Ikapharmindo, Lantulos, Laxadilac,
Opilax, Pralax, Solac.

5. Pencahar lubrikan

Bahan aktif: minyak mineral

Cara kerja: minyak mineral melapisi tinja dan usus untuk mencegah kehilangan
air. Pencahar ini juga melumasi tinja untuk membantu bergerak lebih mudah.

Pertimbangan penggunaan: minyak mineral tidak untuk digunakan secara


teratur. Hal ini dapat mengganggu penyerapan vitamin larut lemak tubuh,
seperti vitamin A, D, E, dan K. Obat pencahar pelumas biasanya hanya
merupakan pilihan yang baik untuk menghilangkan sembelit jangka pendek.

Contoh merek pencahar di Indonesia yang berisi minyak mineral adalah


Laxadine, berisi fenolftalein, liquid paraffin, gliserin.

6. Pencahar saline

Zat aktif: magnesium sitrat dan magnesium hidroksida (contohnya Laxasium).

Cara kerja: Obat ini menarik lebih banyak air ke dalam usus. Hal ini
melembutkan tinja dan merangsang gerakan di usus untuk membantu
pengeluaran feses.

I. Is this patient’s current regimen for iron deficiency anemia appropriate? If


not, what recommendations can you make to optimize this regimen?
Jawaban :
Regimen terapi yang diberikan untuk defisiensi anemia pada pasien ini tidak
tepat. Sebab, penggunaan suplemen zat besi untuk mengatasi anemia defisiensi
besi dapat menyebabkan penurunan motilitas saluran cerna, sehingga dapat
menyebabkan konstipasi. Untuk mengatasi anemia defisiensi besi tanpa
menimbulkan konstipasi, dapat mengkonsumsi makanan yang kaya akan zat
besi misalnya bayam, dan perlu meningkatkan penyerapan zat besi dengan cara
memperbanyak konsumsi zat-zat nutrisi yang membantu proses penyerapan zat
besi, yakni, protein (daging, ayam, ikan) serta vitamin C (sayuran dan buah-
buahan).
DAFTAR PUSTAKA

Van der Plas dkk., 2010, Megarectum in constipation, Arch Dis Child, USA.
Syam AF, Alwi I, SetiatiS, Mansjoer A, Ranita R. Penyakit-penyakit pada
kehamilan :peran Seorang internis. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam, Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.
Carpenito,2009, Diagnosis Keperawatan Aplikasi pd praktik klinis Edisi 9. EGC,
Jakarta.
Johanson, 2007, Review of the Treatment Options for Chronic Constipation,
MedGenMed, USA.
Sianipar.N.B., (2015), Konstipasi pada Pasien Geriatri, Kalbemed, Jakarta.
https://www.galena.co.id/q/mengapa-suplemen-zat-besi-menyebabkan-sembelit,
diakses pada tanggal 24 April 2018.
Healthline, Stool Softeners vs. Laxatives, diakses pada tanggal 24 April 2018.
WebMD, Safely Using Laxatives for Constipation, diakses pada tanggal 24 April
2018.
Drugs.com, Laxatives, diakses pada tanggal 24 April 2018.
NHS UK, Laxatives, diakses pada tanggal 24 April 2018.

Anda mungkin juga menyukai