Anda di halaman 1dari 22

TINJAUAN PUSTAKA

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN PALATOSKISIS


Oleh:
I Kadek Mondes Aryana
PPDS I Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar

I. PENDAHULUAN
Kepala dan leher dibentuk oleh beberapa tonjolan dan lengkungan antara
lain prosesus frontonasalis, prosesus nasalis medial, prosesus maksilaris dan
prosesus mandibula. Kegagalan penyatuan prosesus nasalis medial yang berada
diantara prosesus maksilaris akan menimbulkan celah pada atap mulut atau langit
mulut yang disebut palatoskisis.1
Palatoskisis disebut juga cleft palate atau celah palatum, merupakan
kelainan kongenital pada wajah. Kelainan tersebut berupa palatum yang tidak
berkembang secara normal selama masa kehamilan, mengakibatkan palatum
terbuka sampai ke kavum nasi sehingga menyebabkan adanya hubungan antara
mulut dengan hidung. Adanya celah palatum dapat menyebabkan suara sengau
dan anak tersedak pada waktu minum. Kelainan dapat terjadi pada semua bagian
palatum termasuk bagian keras maupun palatum bagian lunak yang terletak di
bagian belakang dari palatum keras.2,3
Celah palatum memberikan banyak pengaruh terhadap fungsional dan
estetika bagi pasien dalam berinteraksi sosial mereka terutama kemampuan untuk
berkomunikasi secara efektif dan penampilan wajah mereka. Terapi sebaiknya
dilakukan sebelum anak mulai berbicara dengan tujuan untuk mencegah
terganggunya perkembangan bicara anak. Penyuluhan terhadap ibu pasien sangat
penting terutama tentang tatacara memberikan minum sehingga tidak terjadi
komplikasi lain.2
Pengobatan palatoskisis melibatkan berbagai disiplin ilmu seperti Bedah,
Bedah Plastik, Gizi dan THT-KL. Dokter THT-KL mempunyai peranan dalam

1
menyelamatkan fungsi pendengaran, penyakit otitis media sering ditemukan pada
pasien dengan palatoskisis. Pemasangan grommet dapat dilakukan untuk
menghindari terjadinya komplikasi lebih lanjut pada telinga. 1,4
Penulisan ilmiah ini bertujuan memberikan gambaran kepada kita tentang
diagnosis dan penatalakasanaan terhadap palatoskisis serta peran seorang dokter
THT-KL terhadap kelainan yang ditimbulkan oleh celah palatum.

II.TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi
Palatum terdiri atas palatum durum dan palatum molle yang bersama-sama
membentuk atap rongga mulut dan lantai dasar rongga hidung. Prosesus palatina
tulang maksila dan lamina horizontal dari tulang palatina membentuk palatum
durum sedangkan palatum molle merupakan suatu jaringan fibromuskuler yang
dibentuk oleh beberapa otot yang melekat pada bagian dari palatum durum.
Terdapat enam otot yang melekat pada palatum durum yaitu muskulus levator
palatina, muskulus konstriktur pharingeus superior, muskulus uvula, muskulus
palatopharyngeus, muskulus palatoglosus dan muskulus tensor veli palatina.1

Gambar 2.1. Anatomi mulut5

Terdapat tiga otot yang mempunyai konstribusi terbesar terhadap fungsi


velopharyngeal adalah muskulus uvula, muskulus levator veli palatina dan
muskulus konstriktor pharyngeal superior. Muskulus uvula berperan dalam
mengangkat bagian terbesar velum, muskulus levator veli palatina mendorong
velum kearah superior dan posterior untuk melekatkan velum kedinding faring
pasterior. Pergerakan faring kearah dinding posterior dari faring berguna untuk

2
membentuk sfingter yang kuat. Muskulus palatopharyngeus berfungsi untuk
menggerakkan palatum kearah bawah dan kearah medial. Muskulus palatoglossus
berfungsi sebagai depresor palatum yang berperan dalam pembentukan venom
nasal dengan membiarkan aliran udara yang terkontrol melalui rongga hidung.
Otot yang terakhir adalah muskulus tensor veli palatina, otot ini tidak berperan
dalam pergerakan palatum. Fungsi utama otot ini menyerupai fungsi muskulus
tensor timpani yaitu menjamin ventilasi dan drainase dari tuba eustasius.1
Peredaran darah terutama berasal dari arteri palatina mayor yang masuk
melalui forumen palatina mayor. Sedangkan arteri palatina minor dan muskulus
palatina minor lewat melalui forumen palatina minor. Persarapan palatum berasal
dari nervus trigeminus cabang maksila yang membentuk pleksus yang
menginervasi otot palatum. Selain itu palatum juga mendapat inervasi dari nervus
cranial VII dan IX yang berjalan disebelah posterior.1

2.2. Embriogenesis
Janin pada berumur akhir minggu ke-4 akan memperlihatkan arkus faring,
prominensia frontonasalis, plakoda nasalis, prominensia maksilaris dan arkus
mandibula yang nantinya akan membentuk wajah dari janin.1,6

Gambar 2.2. Janin pada akhir minggu keempat1

Pada minggu kelima arkus faring pertama akan berkembang membentuk


prominensia fasialis, plakoda nasalis atau lempeng hidung mengalami invaginasi

3
membentuk fovea nasalis atau lekukan hidung. Selama dua minggu berikutnya
prominensia maksilaris tumbuh bertambah besar, tonjolan ini tumbuh kearah
medial menuju garis tengah dan menekan prominensia nasalis medial. Kemudian
prominensia nasalis media dan prominensia maksilaris menyatu dan membentuk
bibir atas dan komponen palatum berbentuk bilah yang akan membentuk palatum
primer. Pada minggu keenam bilah palatum berkembang kearah oblik ke bawah
diantara kedua sisi lidah, namun pada minggu ketujuh bilah palatum menyatu di
atas lidah sehingga membentuk palatum sekunder. Prominensia maksilaris
membentuk segmen intermaksilaris menyatu dengan prominensia frontalis
membentuk septum nasi. Sedangkan bibir bawah dibentuk oleh prominensia
mandibularis yang menyatu di garis tengah. 1,6 Struktur yang ikut membentuk
wajah dapat dilihat dalam tabel 1.

Tabel 1. Struktur pembentuk wajah1,6

Prominensia Struktur yang dibentuk


1. Frontonasalis Dahi, hidung serta prominensia nasalis
2. Maksilaris media dan prominensia nasalis lateral
3. Nasalis media Pipi dan bagian lateral bibir atas
4. Nasalis lateral Bibir atas, lengkung dan ujung hidung
5. Mandibularis Bibir

2.3. Definisi dan Kekerapan


Palatoskisis disebut juga cleft palate atau celah palatum merupakan
kelainan kongenital pada wajah, kelainan tersebut berupa atap mulut atau palatum
yang tidak berkembang secara normal pada masa pertumbuhan di dalam
kandungan yang mengakibatkan palatum terbuka sampai ke kavum nasi sehingga
menyebabkan adanya hubungan antara mulut dengan hidung.1-4

4
Gambar 2.3. Celah palatum

Kejadian celah palatum secara keseluruhan dilaporkan sekitar 1 per 1000


kelahiran, berdasarkan distrbusi menurut jenis kelamin, kelainan ini lebih sering
ditemukan pada laki-laki dibandingkan wanita. Peningkatan resiko palatoskisis
bertambah seiring dengan meningkatnya usia ibu hamil dan adanya riwayat
keluarga yang menderita penyakit bawaan yang sama. Faktor etnik juga
mempengaruhi angka kejadian palatoskisis, ras Asia ditemukan lebih sering
dibandingkan ras Afrika.1,2,4

2.4. Etiologi
Penyebab terjadinya palatoskisis adalah multifaktorial dan penyebab
pastinya belum dapat diketahui secara pasti. Pembentukan mulut terjadi pada
masa embrio pada minggu keenam sampai minggu kesepuluh kehamilan.
Penyebab kelainan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, disamping faktor genetik
yang dianggap sebagai penyebab terjadinya celah palatum, faktor non genetik
yang lebih sering muncul dalam populasi.1,6,7

2.4.1. Faktor genetik


Faktor genetik telah diketahui berperan pada terjadinya palatoskisis tetapi
belum dapat dipastikan secara sepenuhnya. Dasar ginetik terjadinya palatoskisis
diyakini sebagai gagalnya mesodermis tumbuh mencapai garis pertemuan yang
seharusnya pada bagian ini mesodermis bersatu, hal ini dikarenakan terjadinya
atropi pada epitelium sebagai tanda terjadinya hipoplasia pada mesodermis. Teori
lain yang berhubungan dengan faktor genetik adalah bertambahnya usia ibu hamil

5
dapat meningkatkan resiko kelainan terhadap janin dan adanya kelainan dari
kromosom dapat menyebabkan malformasi kongenital.1-4,6-10
Sejumlah gen yang terlibat terjadinya palatoskisis adalah transmembran
protein1 dan GAD1, tetapi banyak gen yang sudah diketahui berperan dalam
perkembangan daerah kraniofasial antara lain AXIN2, BMP4, FGFR1, FGFR2,
FOXE1, IRF6, MAFB, MMKP3, MSX1, MSX2, MSX3, PAX7, PDGFC,
PTCH1, SATB2, Sox9, SUMO1, TBX22, TCOF, TFAP2A, VAX1, TP63, Nog,
NTN1 dan 8q24.1,6-10

2.4.2. Faktor Non Genetik


Faktor non genetik memegang peranan penting dalam proses penyatuan
palatum pada masa kehamilan. Beberapa hal yang berperan dalam terjadinya
palatoskisis; 1) Defisiensi nutrisi, nutrisis yang kurang dalam masa kehamilan
merupakan salah satu penyebab kelainan ini. Melalui percobaan yang dilakukan
pada binatang dengan mengurangi pemberian vitamin A, hasil yang didapat
ditemukan celah pada palatum anak tikus yang baru dilahirkan. Begitu juga
dengan defisiensi vitamin riboflavin pada tikus yang sedang hamil, tikus yang
dilahirkan menderita palatoskisis. 2) Zat kimia, pemberian obat-obatan seperti
aspirasi, kortison dan insulin pada masa kehamilan terutama pada trismester
pertama dapat menyebabkan terjadinya palatoskisis. 3) Virus rubella, virus ini
diyakini dapat menyebabkan teradinya cacat berat pada janin, tetapi beberapa
peneliti melaporkan virus rubella dapat menyebabkan palatoskisis tetapi
kemungkinannya sangat sedikit. 4) Trauma, beberapa ahli melaporkan bahwa
trauma mental dan trauma fisik dapat menimbukan stres. Stres ini akan
merangsang kortek adrenal untuk mensekresi hidrokortison sehingga kadar
hidrokortison di dalam darah meningkat yang dapat menyebabkan gangguan
pertumbuhan.9,11

2.5. Patofisiologi
Organ-organ pembentuk wajah termasuk didalamnya palatum berasal dari
migrasi dan penyatuan masenkim dari sel-sel kranioneural kepala. Berdasarkan
embriologi, palatum dapat dibagi menjadi dua fase yaitu fase pembentukan

6
palatum primer yang akan diikuti dengan pembentukan palatum sekunder.
Pembentukan palatum dimulai kira-kira pada hari ke-35 atau minggu ke-4
kehamilan yang ditandai dengan pembentukan prosesus fasialis, penyatuan
prosesus nasalis medial dengan prosesus maksilaris, dilanjutkan dengan penyatuan
prosesus nasalis lateral dengan prosesus nasalis medial. Sedangkan pembentukan
palatum sekunder dimulai setelah palatum primer terbentuk dengan sempurna,
kira-kira pada minggu ke-9 kehamilan. Palatum sekunder terbentuk dari
perkembangan kearah medial dari prosesus maksilaris bilateral, kemudian kedua
sisi ini akan bertemu di garis tengah. Ketika sisi tersebut berkembang kearah
superior maka proses penyatuan dimulai. Kegagalan atau kerusakan yang terjadi
pada proses penyatuan ini menyebabkan timbulnya celah pada palatum.1,6,7
Pasien dengan palatoskisis juga mengalami gangguan pada bagian lain
seperti kelainan perkembangan organ-organ pembentuk wajah, kelainan pada
velopharyngeal, perkembangan bicara yang abnormal dan gangguan fungsi tuba
eustachius. Insersi yang abnormal dari muskulus tensor veli palatina
menyebabkan tidak sempurnanya drainase pada telinga tengah, infeksi yang
berulang pada telinga dapat menyebabkan ketulian yang memperburuk cara bicara
pada pasien dengan palatoskisis. Mekanisme velopharyngeal yang utuh penting
dalam menghasilkan suara yang bukan dari hidung.1,7,11

2.6. Klasifikasi
Palatoskisis dapat berbentuk sebagai palatoskisis tanpa labioskisis atau
disertai dengan labioskisis. Palatoskisis sendiri dapat diklasifikasi lebih jauh
sebagai celah yang hanya pada palatum molle atau hanya berupa celah pada
submukosa. Celah pada palatum dibagi menjadi dua yaitu total dan subtotal, celah
total mencakup celah yang terjadi pada palatum durum dan palatum molle, mulai
dari foramen insisivum sampai ke posterior.1,3,

7
Gambar 2.4. Celah palatum5

Palatoskisis dapat di kelompokkan, menurut American Cleft Association


palatoschisis dikelompokkan menjadi: 1) Celah palatum primer, 2) celah palatum
sekunder, 3) celah mandibula. Veau membuat klasifikasi terhadap palatoskisis
dengan membagi menjadi empat kelompok yaitu: 1) Celah pada palatum molle
saja, 2) Celah pada palatum molle dan durum meluas ke foramen insisivum, 3)
Celah palatum unilateral komplit, biasanya bersamaan dengan celah bibir
unilateral, 4) Celah palatum bilateral komplit yang biasanya bersamaan dengan
celah bibir bilateral.1,4

Gambar 2.5. Klasifikasi celah palatum menurut Veau1

8
2.7. Komplikasi Palatoskisis
Beberapa masalah yang dapat ditimbulkan oleh palatoskisis yang harus
kita ketahui seperti: 1) Makanan, asupan makanan pada anak-anak yang menderita
palatosksis mengalami kesulitan karena ketidakmampuan untuk menghisap dot
atau payudara ibu. Bayi dengan celah palatum akan lebih banyak mengisap udara
pada saat menyusui. 2) Masalah dental, anak yang lahir dengan palatoskisis
mempunyai masalah terhadap pertumbuhan gigi, terutama palatoskisis yang
disertai labioskisis. 3) Otitis media, anak dengan palatoskisis lebih mudah terjadi
karena perkembangan dari otot-otot yang mengontrol pembukaan dan penutupan
tuba eustachius tidak sempurna. Kelainan dapat berupa otitis media efusi sampai
otitis media supuratif. 4) Gangguan bicara, pada bayi dengan palatoskisis biasanya
juga mengalami gangguan perkembangan pada otot-otot yang membentuk
palatum molle. Pada saat palatum molle tidak dapat menutup rongga hidung pada
saat berbicara, maka didapatkan suara dengan kualitas nada yang lebih tinggi. Hal
ini disebabkan palatum lunak cenderung pendek dan kurang dapat bergerak
sehingga selama berbicara udara keluar dari hidung. Pasien akan mengalami
kesulitan untuk memproduksi kata p, b, d, t, h, k, g, s, sh dan ch.1,2,4,12

2.8. Diagnosis
Beberapa celah pada daerah orofasial dapat terdiagnosis pada saat prenatal
dengan menggunakan pemeriksaan Ultrasonografi. Pemeriksaan penunjang
lainnya untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan laboratorium sedangkan
pemeriksaan fisik untuk pasien dengan palatoskisis dilakukan pada saat lahir.
Sedangkan skrining umum untuk mengetahui kelainan celah orofasial belum
ada.2,7

2.8.1. Ultrasonografi
Ultrasonografi atau USG merupakan alat pencitraan utama pada masa
prenatal, pemeriksaan ini dapat menunjukkan kondisi saat itu, mudah dilakukan
dan tidak mahal. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya celah pada bibir
pada umur janin lebih dari 16 minggu, tetapi tidak dapat menunjukkan adanya
kelainan celah pada palatum karena terdapat banyak tulang disekitarnya. USG

9
konvensional 2-dimensi hanya dapat memvisualisasi struktur midfasial seperti
hidung, bibir dan alveolus.2,7

2.8.2. USG 3-Dimensi atau 4-Dimensi


Ultrasonografi dengan resolusi tinggi ini memungkinkan untuk mendeteksi
berbagai anomali wajah janin yang tidak dapat dilakukan dengan menggunakan
USG 2-dimensi. Dengan USG 3-dimensi atau 4-dimensi dapat memvisualisisikan
secara lengkap struktur kepala janin, perkembangan tulang wajah sehingga
memungkinkan melakukan deteksi dini adanya kemungkinan untuk terjadinya
celah palatum.2,7

Gambar 2.6. USG prenatal.2

2.8.3. Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit
toksoplasmosis, cytomegalovirus dan rubella pada ibu hamil yang beresiko
terkena penyakit tersebut. Pengambilan contoh darah dilakukan untuk
pemeriksaan kadar immunoglobulin IgM dan IgG dalam serum ibu hamil. 2,7

2.8.4. Pemeriksaan Fisik


Bayi dengan celah palatum saat menangis akan mengeluarkan suara
mendesis karena terjadi kebocoran udara ke rongga hidung dan mengalami
kesulitan saat menyusui. Pemeriksaan rongga mulut dapat rutin dilakukan setelah
bayi lahir, pemeriksaan dapat dimulai dari bentuk wajah, lengkung alveola yang
sempit bahkan sampai tidak terbentuk. Bila ditemukan adanya fistula pada
palatum lunak dan keras dapat dicurigai adanya celah palatum 2,7

10
Gambar 2.7. Gambaran klinis.2

2.9. Penatalaksanaan
Terapi yang diberikan pada pasien dengan palatoskisis adalah terapi
pembedahan, tetapi komplikasi yang ditimbulkan oleh palatoskisis seperti
gangguan asupan makanan dan otitis media juga harus mendapatkan terapi yang
baik.1,4,7
2.9.1. Terapi Komplikasi Palatoskisis
Perawatan umum pada pasien palatoskisis terutama pada pasien neonatus,
perawatan yang dapat diberikan berupa; 1) Asupan makanan, hal ini sangat
penting karena kemampuan mengisap pada pasien palatoskisis tidak ada sehingga
untuk memenuhi asupan makanan sebaiknya susu yang diberikan melalui dot atau
alat khusus yang tidak membutuhkan daya hisap oleh pasien. Susu yang keluar
dari dot dapat keluar sendiri dengan jumlah optimal artinya tidak terlalu besar
sehingga membuat pasien menjadi tersedak atau terlalu kecil yang membuat
asupan makanan menjadi tidak cukup.1,7

11
Gambar 2.8. Cara menyusui13

2) Penanganan otitis media, kelainan ini merupakan komplikasi yang sering


terjadi pada pasien dengan palatoskisis, otitis media efusi merupakan kelainan
telinga yang sering muncul dikarenakan fungsi tuba eustachius yang tidak
sempurna. Pemasangan grommet dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi
yang lebih jauh sehingga fungsi pendengaran tetap baik.1,7

Gambar 2.9. Pemasangan grommet13

2.9.2. Terapi Bedah


Tujuan dari terapi pembedahan palatoplasti adalah memisahkan antara
rongga hidung dengan rongga mulut. Pemisahan ini bertujuan untuk
mempertahankan fungsi berbicara, bentuk wajah dan pertumbuhan gigi. Jika
terdapat kelainan celah bibir maka labioplasti dapat dilakukan mendahului
palatoplasti dengan tujuan menghindari terjadinya kelainan bentuk wajah.1,3,4

12
Terdapat kesepakatan umum bahwa terapi pembedahan pada pasien
dengan celah palatum harus dilakukan ketika pasien berumur dibawah 1 tahun
sebelum perkembangan bicara sempurna. Penutupan celah palatum durum dan
palatum molle umumnya dilakukan 1 tahap pada pasien berusia 11-12 bulan. Tapi
beberapa ahli menganjurkan penutupan palatum dilakukan 2 tahap yaitu
penutupan palatum molle ketika pasien berumur 3-4 bulan dan tahap ke-2 saat
penutupan palatum durum ketika pasien berumur 18 bulan.4
Beberapa teknik palatoplasti telah dilakukan untuk mengobati suatu celah
palatum, teknik tersebut meliputi Von Langenbeck, Swhweckendiek, 2-flap, 3-
flap atau V-to-Y dan double Z-plasty reverse palatoplasty atau teknik Furlow.3,4
Teknik Von Langenbeck, teknik ini pertama kali dijelaskan pada tahun
1861 dengan tujuan memisahkan rongga hidung dengan rongga mulut. Teknik ini
menggunakan pedikel mukoperiosteum baik dari palatum durum maupun palatum
molle untuk menutup celah palatum dengan cara melakukan elevasi bagian medial
dari celah palatum kemudian disatukan sehingga celah palatum menjadi tertutup.
Kelebihan teknik ini sangat sederhana dan pembedahan dilakukan sangat minimal.
Sedangkan kelemahan teknik ini adalah tidak dapat memperpanjang palatum
sehingga tidak dapat menutup celah primer dan sekunder. Teknik ini sering
menimbulkan keluhan berupa fistula anterior dan inferior, perubahan suara karena
palatum molle yang pendek serta obstruksi jalan nafas saat pasien tidur. 4

Gambar 2.10. Teknik Von Langenbeck.7

13
Teknik Schweckendiek, teknik ini diperkenalkan pertama kali pada tahun
1950. Pada teknik Schweckendiek yang pertama kali diperbaiki adalah palatum
molle ketika pasien berumur 3-4 bulan dan diikuti penutupan palatum durum
ketika pasien berumur 18 bulan, tetapi beberapa ahli menyarankan penutupan
palatum durum dapat ditunda ketika pasien berumur 4-5 tahun sampai
pertumbuhan gigi primer pasien selesai. Tetapi penundaan ini dapat menyebabkan
pasien kesulitan berbicara dan kesulitan untuk memenuhi asupan makanan.
Teknik ini diawali dengan membuat sayatan pada langit-langit lunak disepanjang
tepi celah palatum. Muskulus levator yang terdapat sepanjang posterior langit-
langit lunak dibebaskan, dilanjutkan menyatukan mukosa hidung, muskulus
levator dan mukosa oral dengan penjahitan lapis demi lapis. Sedangkan langit-
langit keras diperbaiki setelah pasien berumur 18 bulan dengan menggunakan flap
mukoperiosteum dari tulang vomer.3,4
Teknik 2-flap, diperkenalkan oleh Bardach dan Salyer. Teknik ini
membuat dua flap pedikel dengan dasarnya diposterior yang meluas sampai
keseluruh bagian alveolar. Insisi dilakukan sepanjang tepi celah palatum lunak
sampai palatum keras, muskulus levator veli palatina dibebaskan, kemudian
dibuat flap mukoperiosteal. Luka operasi ditutup lapis demi lapis.1,3,4

Gambar 2.11. Teknik 2-flap1

14
Teknik 3-flap atau teknik v-y, pertama kali diperkenalakan oleh Kilner dan
Wardill pada tahun 1937. Teknik ini biasanya digunakan pada kasus celah
palatum durum dan palatum molle yang tidak melebihi foramen insisivum. Teknik
ini menggunakan 3 buah flap, 2 flap dibuat pada kedua sisi celah sedangkan 1 flap
dibuat disekitar foramen insisivum. Insisi dilakukan 1-2mm di pinggir celah mulai
dari puncak celah kearah uvula. Pada pembuatan flap mukoperiosteal dilakukan
dengan menggunakan respatorium pada daerah tulang dengan hati-hati karena
banyak terdapat pembuluh darah. Jika diperlukan dapat dilakukan pemotongan
tulang humulus agar muskulus tensor velli palatina dapat bebas.3,4
Teknik double z-plasty, teknik ini diperkenalkan oleh Furlow pada tahun
1986. Furlow menjelaskan teknik ini bertujuan untuk memperpanjang bagian
belakang palatum dan untuk membuat otot levator berfungsi. Teknik ini menjadi
pilihan untuk celah palatum yang kecil, namun sulit digunakan untuk celah
palatum yang lebar. Z plasti pertama dibuat disisi mukosa oral, sedangkan Z plasti
kedua dibuat terbalik disisi mukosa hidung.1,3,4

Gambar 2.12. Teknik double z-plasty1

Insisi di sebelah kanan pada mukosa oral tidak melibatkan otot yang
berada di bawahnya sehingga otot yang disisihkan menempel pada mukosa hidung
sedangkan insisi sebelah kiri mengikutkan otot yang berada dibawahnya. Teknik
ini mempunyai kekurangan yaitu sering timbulnya fistula pada persimpangan
palatum lunak dan keras.1,3,4
Perawatan setelah dilakukan operasi, pasien disarankan minum dan makan
makanan cair selama tiga minggu, tidak boleh makan dan minum yang panas atau

15
terlalu dingin dan tidak boleh menghisap atau ngedot selama satu bulan pasca
operasi.3,7
Terapi bicara dilakukan setelah operasi palatoplasti pada usia 2-4 tahun
untuk melatih suara yang benar, karena setelah operasi masih sering ditemukan
pasien dengan suara sengau. Suara parau pada pasien pasca palatoplasti
disebabkan karena pasien sudah terbiasa menglafalkan suara yang salah, hal ini
disebabkan pasien sudah mengalami kompensasi saat berbicara dengan
memposisiskan lidah pada posisi yang salah. Bila setelah palatoplasti dan terapi
bicara masih terdapat suara sengau maka dilakukan operasi faringoplasti untuk
memperkecil suara hidung yang dilakukan pada usia 4-6 tahun. Pada usia anak 8-9
tahun ahli ortologi akan memperbaiki lengkung alveolus. Pada usia 9-10 tahun
bedah plastik akan melakukan operasi bone graft pada celah tulang alveolus
seiring pertumbuhan gigi kaninus.2,4,13

2.10. Komplikasi Pembedahan


Komplikasi yang sering terjadi pasca operasi adalah: 1) Obstruksi jalan
nafas, merupakan komplikasi yang perlu ditakuti pada periode paska operasi
langsung. Obstruksi ini disebabkan karena lidah jatuh ke orofaring sementara
pasien masih dalam pengaruh anastesi. Obstruksi jalan nafas juga dapat menjadi
masalah yang berkepanjangan karena terjadinya perubahan saluran nafas setelah
operasi terutama pada pasien yang mempunyai rahang yang kecil. Keadaan ini
dapat diatasi dengan tindakan trakeostomi sampai perbaikan palatum selesai. 2)
Perdarahan, kejadian ini sering terjadi disebabkan daerah palatum kaya akan
pembuluh darah. Bila terjadi perdarahan harus segera ditangani dapat dilakukan
transfusi darah, perdarahan pada pasien anak sangat berbahaya disebabkan karena
volume total darah pada anak rendah. Sebelum operasi diperlukan penilaian
tingkat hemoglobin dan platelet dan pemakaian injeksi epinefrin sebelum insisi
sangat dianjurkan. 3) Fistula palatum, komplikasi ini dapat timbul langsung pasca
operasi dan juga dapat timbul dalam waktu yang lama. Fistula ini dapat ditemukan
dimana saja sepanjang garis operasi. Kejadian fistula palatum diperkirakan
sebesar 34% dan berbanding lurus dengan besarnya celah palatum yang terjadi,

16
hal ini disebabkan karena adanya peregangan yang terjadi setelah penutupan dari
palatum.1,4,14

2.11. Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadi palatoskisis
berupa mengubah gaya hidup dan pola makan pada saat ibu hamil. Perubahan
tersebut berupa: 1) Menghindari merokok, ibu yang merokok mempunyai faktor
resiko tinggi terjadinya palatoskisis. Dengan meningkatnya wanita yang merokok
akan meningkatnya resiko kejadian palatoskisis. 2) menghindari alkohol, wanita
peminum alkohol berat selama kehamilan dapat mempengaruhi tumbuh kembang
embrio yang disebut fetal alcohol syndrome. 3) Nutrisi, pemberian nutrisi yang
adekuat pada saat hamil terutama usia kehamilan trimester pertama sangat penting
bagi pertumbuhan organ kraniofasial dari fetus. Kekurangan maupun kelebihan
vitamin A dan vitamin B6 sering dikaitkan dengan terjadinya palatoskisis.
Pemberian asam folat pada ibu hamil sangat penting mulai konsepsi sampai
persalinan. Asam folat mempunyai dua peran dalam menentukan hasil kehamilan,
asam folat berperan dalam proses maturisasi janin dengan mencegah terjadi
anemia selama kehamilan. Asam folat juga mencegah terjadinya kelainan selama
tumbuh kembang embrio.2,7

III. PEMBAHASAN
Faktor penyebab terjadinya celah palatum diperkirakan adalah kombinasi
antara faktor genetik dan faktor lingkungan seperti makanan dan minuman, asap
rokok, penyakit atau infeksi saat kehamilan, obat-obatan serta radiasi. Obat-
obatan diyakini mempunyai peranan dalam terjadinya celah palatum seperti
penggunaan ACE inhibitor dapat mengganggu perkembangan pada janin dan
meningkatkan resiko terjadinya kelainan kongenital. ACE inhibitor mempunyai
efek langsung terhadap janin yaitu menyebabkan anuria dan oligohidramnion hal
ini disebabkan terjadinya penurunan fungsi ginjal janin sehingga menyebabkan
terjadinya kelainan kongenital pada janin. Beberapa obat antiepilepsi seperti
carbamazepine, fenobarbital, fenitoin dan primidone dapat mengakibatkan
terjadinya penurunan kadar asam folat di dalam darah yang menyebabkan

17
kelainan pada janin karena asam folat mempunyai dua peran dalam menentukan
hasil kehamilan yaitu berperan dalam proses maturisasi janin dengan mencegah
terjadi anemia selama kehamilan dan asam folat juga mencegah terjadinya
kelainan selama tumbuh kembang embrio. Mengkonsumsi obat-obatan yang
menimbulkan reaksi vasoaktif seperti obat pseudoephedrine, aspirin, ibuprofen,
amphetamine, kokain dan ekstasi sering dihubungkan dengan angka kejadian
celah palatum. Nutrisi berperan dalam pembentukan celah palatum terutama
karena kurangnya asupan makanan yang mengandung vitamin B dan vitamin C,
tetapi hal tersebut dapat dicegah dengan mengkonsumsi asam folat selama
kehamilan. Penelitian yang telah dilakukan dengan mengkonsumsi suplemen asam
folat lebih dari 400µg perhari dapat mengurangi terjadinya kelainan celah
palatum. Trice dan Filson15, juga menyatakan kekurangan asam folat dapat
memicu terjadinya celah palatum.
Ibu hamil yang merokok dapat memberikan resiko terjadinya celah
palatum pada janin yang dikandungnya. Beberapa peneliti menyatakan asap rokok
memiliki resiko ringan terhadap terjadinya celah pelatum tetapi merokok
sebanyak 15 batang atau lebih pada seorang wanita akan mengurangi kadar enzim
Glutathine S Transferase Theta-1 atau GSTT1 yang dapat meningkatkan resiko
untuk melahirkan bayi dengan kelainan celah palatum. Infeksi intrauterin dapat
menyebabkan kelainan kongenital dan menyebabkan persalinan preterm. Adanya
infeksi penyakit toksoplasmosis, cytomegalovirus dan rubella saat kehamilan
dapat menyebabkan kelainan pada daerah orofasial. Pemeriksaan laboratorium
dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan yang disebabkan oleh virus maupun
bakteri. Pengambilan contoh darah dilakukan untuk mengetahui kadar
immunoglobulin IgM dan IgG dalam serum ibu hamil. Mc Cabe,16dkk.
menyatakan penyebab dari celah palatum adalah faktor keturunan, perkawinan
keluarga, trauma, obat-obatan dan hiponutrisi saat ibu mengandung.
Tujuan dari terapi pembedahan palatoplasti adalah memisahkan antara
rongga hidung dengan rongga mulut. Jika terdapat kelainan bibir sumbing maka
labioplasti dapat dilakukan mendahului. Terdapat kesepakatan umum bahwa
terapi pembedahan pada pasien dengan celah palatum harus dilakukan ketika

18
pasien berumur dibawah 1 tahun sebelum perkembangan bicara sempurna.
Penutupan celah palatum durum dan palatum molle umumnya dilakukan 1 tahap
pada pasien berusia 11-12 bulan. Tapi beberapa ahli menganjurkan penutupan
palatum dilakukan 2 tahap yaitu penutupan palatum molle ketika pasien berumur
3-4 bulan dan tahap ke-2 saat penutupan palatum durum ketika pasien berumur 18
bulan. Terapi ini bertujuan untuk mempertahankan fungsi berbicara, bentuk wajah
dan pertumbuhan gigi. Sullivan,17dkk. membandingkan antara hasil operasi
menggunakan teknik 2-flap palatoplasti dengan teknik double Z palatoplasti,
didapatkan keberhasilan sebesar 67% menggunakan teknik 2-flap palatoplasti dan
92% dengan teknik double Z palatoplasti.
Paranan dokter spesialis THT pada pasien palatochisis adalah mengatasi
kelainan yang terjadi pada telinga. anak dengan palatoschisis lebih mudah untuk
terkena infeksi telinga karena perkembangan dari otot-otot yang mengontrol
pembukaan dan penutupan tuba eustachius tidak sempurna. Otot-otot tersebut
adalah muskulus levator veli palatine dan muskulus tensor velipalatina. otitis
media efusi merupakan kelainan telinga yang sering muncul. Alexander,1dkk.
melaporkan 21 pasien dengan palatochisis mengalami gangguan pada fungsi tuba
eustachius. Pemasangan grommet dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi
yang lebih jauh sehingga fungsi pendengaran tetap baik. Fria,18 dkk. melaporkan
beberapa anak yang mengalami palatoskisis didapatkan dengan tuli konduksi dan
membaik setelah dipasangkan grommet. Smith,19dkk. menyarankan pemasangan
grommet dilakukan setelah dilakukan palatoplasti, kerana fungsi tuba dapat
membaik dengan sendirinya setelah dilakukan operasi palatoplasti.

IV. KESIMPULAN
Palatoskisis adalah kelainan pada palatum yang menyebabkan terdapat
celah pada palatum. Penyebab terjadinya palatoskisis ialah multifaktorial seperti
genetik dan non genetik.
Penutupan celah palatum durum dan palatum molle umumnya dilakukan 1
tahap pada pasien berusia 11-12 bulan dan dapat juga dilakukan 2 tahap yaitu
penutupan palatum molle ketika pasien berumur 3-4 bulan dan tahap ke-2 saat

19
penutupan palatum durum ketika pasien berumur 18 bulan. Teknik yang dipilih
tergantung pada tipe celah palatumnya.
Pengobatan palatoskisis melibatkan berbagai disiplin ilmu seperti Bedah,
Bedah Plastik, gizi dan THT-KL. Dokter THT-KL mempunyai peranan dalam
menyelamatkan fungsi pendengaran, kerana akan membantu pasien dalam proses
berbicara setelah selesai dikakukan operasi palatoplasti.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Alexander JD, Otteson T, Joseph E. Comprehensive Cleft Care. Dalam:


Bailey JB, Johnson JT, penyunting. Head and Neck Surgery-
Otolaryngology. Edisi ke-5. Philadelpia: Williams and Wilkins;
2014.h.1557-73.
2. Gomes JL, Berkowitz S. Prenatal Diagnosis of Oral Clefts. Dalam:
Berkowitz S, penyunting. Cleft Lip and Palate. Edisi ke-2. Philadelpia:
Lippincott – Raven Publishers; 1998.h.13-53.
3. Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan
Leher. Modul Rongga Mulut: Palatoskisis. 2008
4. Eric J, Craig W. Cleft Lip and Palate. Dalam : K.J.Lee, penyunting.
Essential Otolaryngoly Head and Neck Surgery. Edisi ke-8.Unitted Stage
of America: McGraw-Hill; 2003.h.248-257.
5. Christopoulos A. Mouth Anatomi. [diakses 17 Juli 2015] Diunduh dari:
www.emedicine.medscape.com/article/1899122.
6. Lee, Mark E. Embriology of Clefts and Pouches. Dalam : K.J.Lee,
penyunting. Essential Otolaryngoly Head and Neck Surgery. Edisi ke-8.
Unitted Stage of America: McGraw-Hill; 2003.h.232-247.
7. American Cleft palate-Craniofacial Association. Parameters For
Evaluation and Treatment of Patients With Cleft Lip/Palate or Other
Craniofacial Anomalies. diperbaharui September 2009 [diakses 16 Juli
2015].Diunduh dari: www.acpa-cpf.org/uploads/site/Parameters
8. Cobourne MT. The Complex Genetics of Cleft Lip and Palate. European
Journal of Orthodontics. 2004; 26: 7-16.
9. Freitas JA, Neves LT, Almeida Al. Rehabilitative treatment of cleft lip and
palate. [diakses 17 Juli 2015]. Diunduh dari:
www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3928765 /
10. Marcano A, Doudney K, Braybrook C. TBX22 Mutation Are A Frequent
Couse Of Cleft Palate. [diakses 16 Juli 2015] Diunduh dari:
www.jmg.bmj.com.

21
11. Rashid A, Cheema JA, Farooq MS, Azeem M. Congnital Malformations
Associated With Cleft Lip and Palate. Pakistan Oral and Dental Journal.
2014; 34:605-8.
12. Eddy S, Wahyuni LK, Kartika L. Speech Outcome in Cleft Palate Patients
After Soft Palatoplasty (stage 1) in Two-Stage Palatoplasty Technique: A
Review of Two Cases. Jurnal Plastik Rekonstruksi. 2012; 1: 409-16.
13. Royal Childrens Hospital. Cleft lip and palate infant feeding. [diakses 17
Juli 2015]. Diunduh dari: www.rch.org.au/kidsinfo/fact_sheets
14. Defry U, Frank B, Gentur S. The Incidence of Palatal Fistula Post
Palatoplasty in Children with Dental Caries: A Multi Center Study. Jurnal
Plastik Rekontruksi. 2013; 2:78-83.
15. Trice, filson. Labiopalatoskisis dalam patofisiologi konsep klinis proses-
proses penyakit alih bahasa Peter Anugerah edisi 4. Jakarta : egc, 1995 :
402-5
16. McCabe E, Iyer A. Molecular mechanisms of DAX1 action. [diakses 17
Juli 2015]. Diunduh dari: www.karger.com/Article/PDF/195679.
17. Sullivan SR, Sivabalan V, Marrinan EM, Mulliken JB. Submucous Cleft
Palate and Velopharyngeal Insufficiency: Comparison of Speech
Outcomes Using Three Operative Techniques by One Surgeon. Cleft-
Craniofacial Journal. 2011; 48: 561-70.
18. Fria T, Paradise J. Conductive Hearing Loss In Infants and Young
Children With cleft Palate. J.Pediatr. 1987;111: 84-7.
19. Smith T, Diruggerio D. Recovery Of Eustachian Tube Function and
Hearing Outcome In Patients With Cleft Palate. Otolaryngol Head and
Neck Surg.1994;111:423-9.

22

Anda mungkin juga menyukai