Anda di halaman 1dari 59

Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT.

TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

BAB - 3
METODOLOGI PELAKSANAAN PEKERJAAN
BAB 3. METODOLOGI PELAKSANAAN PEKERJAAN

3.1. PENGUMPULAN DATA SEKUNDER


Pengumpulan data-data sekunder meliputi pengumpulan data pendahuluan seperti hasil
survey, investigasi studi maupun desain terdahulu untuk menunjang desain dan
mempertajam analisa pendahuluan, data-data sekunder ini juga sangat berperan dalam
keandalan analisa yang akan dilakukan baik dalam analisa hidrologi, analisa hidrolika,
analisa sedimen, analisa struktur dan lain-lain. Untuk itu data-data sekunder yang perlu
dikumpulkan meliputi :
1. Data hidroklimatologi
2. Data meteorologi
3. Data-data Sosial ekonomi dan kependudukan/demografi daerah studi
4. Peta-peta dengan skala terbesar yang ada
5. Titik-titik referensi
6. Kajian-kajian geologi terdahulu
7. Hasil pengukuran topografi terdahulu
8. dan lain-lain
Dari data-data sekunder tersebut sebelum dipakai sebagai alat analisa perlu dilakukan
kompilasi data dan studi pendahuluan, agar alat analisa yang dipakai dapat memberikan nilai
validasi yang tinggi dan memberikan parameter desain yang dapat dipertanggung jawabkan.
Kompilasi dan kegiatan pendahuluan yang dilakukan adalah sebagai berkut :
1. Kompilasi data dilakukan pada data-data hidroklimatologi dengan tujuan melihat data
yang hilang (missing data), dan kepuguhan/konsistensi data sehingga dapat diketahui
data yang masih perlu dilengkapi dalam bentuk report maupun survey tambahan yang
diperlukan.
2. Studi pendahuluan yang dilakukan terhadap studi-studi yang terdahulu terutama yang
menyangkut:
 Kondisi Daerah Pengaliran Sungai (DPS)
 Kondisi Topografi
 Kondisi Geologi
 Kondisi Hidrologi
 Dasar-dasar perencanaan bangunan
 Dan lain-lain
3. Tinjauan lapangan yang dilakukan untuk memastikan atas kondisi berdasarkan studi
terdahulu, melakukan identifikasi dan inventarisasi awal kondisi daerah irigasi, saluran-
saluran eksisting dan kondisi tataguna lahan yang berlaku pada daerah studi.

LAPORAN PENDAHULUAN 1
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

3.2. PENGUKURAN TOPOGRAFI


3.2.1. Pengukuran Poligon
Dalam pekerjaan pengukuran poligon, data yang mutlak dibutuhkan adalah koordinat dan
elevasi referensi, yang digunakan untuk mengikat titik awal poligon. Titik ini dapat diperoleh
dari benchmark (BM) yang ada ataupun check poin (CP) pada daerah yang akan dipetakan.
A. Pengukuran Poligon/Kontrol Horisontal
Kontrol horizontal dilakukan dengan cara pengukuran poligon, poligon harus tertutup dan
melingkupi daerah yang dipetakan, jika daerahnya cukup luas poligon utama dibagi dalam
beberapa kring tertutup. Jadi secara umum kontrol horizontal dapat dilakukan sebagai
berikut :
 Metode yang digunakan adalah poligon, dimana semua patok dan BM yang sudah
dipasang merupakan titik poligon.
 Sudut diukur satu seri ganda (biasa dan luar biasa) menggunakan theodolith.
 Jarak diukur dua (2) kali menggunakan Alat Ukur Elektronik (EDM) pada poligon utama
dan memakai pita ukur 50 m pada poligon cabang.
Sisi poligon sama panjangnya, poligon cabang harus terikat kepada poligon utama.
Diusahakan jalur poligon baik cabang atau utama melalui batas jalan yang ada. titik
bench mark adalah patok kayu berukuran 5 cm x 5 cm x 70 cm. Patok ini harus dicat untuk
koordinat referensi yang digunakan harus mendapat persetujuan dari Direksi pekerjaan, jalur
poligon baik cabang atau utama dibuat melalui rencana atau bantaran sungai/saluran/jalan
yang sudah ada demikian juga jalur inspeksi atau drainase/drainage.
Titik poligon selain memudahkan identifikasi.
Jika poligon utama diukur dengan EDM sedang poligon cabang diukur dengan pita ukur baja
ketelitian linier poligon utama harus lebih kecil atau sama dengan 1 : 10.000 sedangkan
poligon cabang harus lebih kecil atau sama dengan 1 : 5.000.
B. Pengukuran Kerangka Water Pass/Kontrol Vertikal
Semua titik poligon harus diukur ketinggiannya, titik referensi untuk kontrol vertikal harus
persetujuan dari Direksi Pekerjaan. Pengukuran kontrol vertikal dilakukan pulang pergi, alat
yang digunakan alat ukur otomatis (N12, NAK atau yang sejenis), sebelum dan sesudah
pengukuran alat ukur harus diperiksa ketelitian garis bidiknya, jumlah jarak belakang
diusahakan sama dengan jumlah jarak muka dan jarak dari alat ke rambu titik tidak lebih
besar dari 60 m sedangkan alat terdekat dari alat ke rambu tidak lebih dari 5 m. Secara
umum kontrol vertikal dapat dilakukan sebagai berikut :
 Metode yang digunakan adalah metode waterpass memanjang, melalui semua titik
poligon
 Jalur waterpass utama merupakan Jalur Tertutup (Loop), sedangkan waterpass cabang
merupakan jalur Terikat Sempurna.
 Menggunakan alat ukur “Automatic Level”
 Pengukuran dilakukan double stand, dimana stand I dibaca lengkap (benang atas,
benang tengah dan benang bawah), sedangkan stand II dibaca benang tengah.
Ketelitian pengukuran waterpass utama tidak lebih dari 10 D dan waterpass utama tidak
lebih 5D, dimana D adalah jumlah jarak dalam satuan kilometer.

3.2.2. Pemasangan Jaringan Benchmark (BM)

LAPORAN PENDAHULUAN 2
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

A. Umum
Benchmark (BM) dipasang di tempat yang aman dari gangguan manusia atau binatang, BM
dipasang setiap 0.50 km dan perpotongan jalur poligon diikat pada atau dekat bangunan
yang permanen. Setiap BM dibuat diskripsinya dan diberi nomor urut yang teratur. Ukuran
BM sesuai TOR dan di cat warna merah.
Titik poligon lainnya selain benchmark adalah patok kayu berukuran 5 cm x 5cm x 60 cm
dipasang disepanjang jalur saluran dengan setiap 50 m. Patok kayu, dicat dan diberi nomor
untuk memudahkan identifikasi.
B. Deskripsi Bench Mark
Seluruh benchmark (BM) dibuat diskripsi Kordinatnya (X, Y) dan elevasinya (Z). Seluruh
Benchmark (BM) yang sudah di pasang, dibuat deskripsinya, kemudian ditabelkan dan foto
BM dihimpun pada formulir deskripsi, form terlampir.
Semua benchmark dan patok poligon ditunjukkan pada peta situasi hasil pengukuran
topografi yang berskala 1 : 2.000. Dan juga ditunjukkan pada gambar situasi yang berada
pada long section. Nama Benchmark (BM) dan elevasi akan dicantumkan dengan jelas,
elevasi tanah ditunjukkan sebagai pusat ketinggian dan untuk patok poligon akan ditulis
nama/nomor dan elevasi tanah saja.
3.2.3. Pengukuran Situasi
Situasi diukur berdasarkan jaringan kerangka horizontal dan vertikal yang telah dipasang,
dengan melakukan pengukuran keliling serta pengukuran di dalam daerah areal yang akan
dipetakan.
Jalur poligon dapat ditarik lagi dari kerangka utama dan cabang untuk mengisi detail
planimetris berikut spot height yang cukup, sehingga diperoleh penggambaran kontur yang
memadai.
Titik-titik spot height terlihat tidak lebih dari interval 5 cm pada peta skala 1 : 5.000. atau
dengan kerapatan spot height 2 - 5 titik untuk tiap 1 hektar diatas tanah. Dan untuk peta
skala 1 : 2.000 titik-titik spot height terlihat tidak lebih dari interval 10 cm pada peta, atau
dengan kerapatan spot height 8 – 10 titik untuk setiap hektarnya di atas tanah.
Beberapa titik spot height bervariasi tergantung kepada kecuraman dan ketidakteraturan
terrain. Kerapatan titik-titik spot height yang dibutuhkan dalam daerah pengukuran tidak
hanya daerah sungai, tetapi juga kampung, kebun, jalan setapak, tanaman sepanjang jalan
pada lokasi rencana.
Pengukuran situasi dilakukan dengan metode Tacheometry menggunakan theodolith T.0
atau yang sejenis. Jarak dari alat ke rambu tidak boleh lebih dari 100 meter.
Kontur digambar apa adanya tetapi teliti, dan bagian luar daerah sungai kontur diplot hanya
berdasarkan titik-titik spot height, efek artistik tidak diperlukan. Interval garis kontur sebagai
berikut :
Kemiringan Tanah Interval Kontur
kurang dari 2% 0,25 m
2% sampai 5% 0,50 m
Pemberian angka kontur jelas terlihat, dimana setiap interval kontur 1.00 m dan setiap kontur
5.00 m digambarkan lebih tebal.
1. Seluruh saluran, drainasi, sungai (dasar terendah dan lebar harus jelas terlihat).
2. Jalan-jalan desa dan jalan setapak.
3. Bangunan irigasi dan drainase, batas kampung, rumah-rumah, jembatan dan saluran.

LAPORAN PENDAHULUAN 3
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

Diameter atau dimensi berikut ketinggian lantai semua gorong-gorong dan jembatan,
sekolah, mesjid dan kantor pemerintah (camat, dll) harus terlihat.
4. Pohon-pohon besar (berdiameter lebih besar dari 20 cm dengan ketinggian sekitar 12 m
diatas tanah) bila pepohonan ini berada disite dan tiang telepon,tiang listrik dll.
5. Daerah rawa.
6. Batas tata guna tanah (misalnya belukar berupa rerumputan dan alang-alang, sawah,
rawa, ladang, kampung, kebun, dan lain-lain).
7. Tiap detail topografi setempat (seperti misalnya tanggul curam, bukit kecil dan lain-lain).
8. Batas pemerintahan (kecamatan, desa dan lain-lain). Nama kampung, kecamatan, nama
jalan dan lain-lain diperlukan.
9. Jaringan kerangka dasar.
3.2.4. Pengukuran Trase Saluran (Strip Survey)
Pengukuran untuk trase sungai meliputi penampang memanjang dan melintang.
Penampang memanjang dilengkapi dengan elevasi pada tiap jarak 50 m pada daerah lurus
dan 25 m pada belokan atau ditambah apabila ada perubahan kemiringan yang cukup
signifikan pada kemiringan tanah. Penampang memanjang dilengkapi dengan:
 Elevasi tanah asli
 Elevasi dasar saluran
 Elevasi tanggul saluran yang ada (kondisi eksisting) dan kemungkinan berhimpit dengan
elevasi rencana tanggul
 Lokasi dari semua bangunan-banguanan prasarana dan sarana yang ada sepanjang
saluran dan bangunan-bangunan lainnya
 Elevasi tanah yang paling tinggi (kemungkinan lokasi dimana bangunan sadap akan
diletakkan )
3.2.5. Pengolahan Data
A. Hitungan Koordinat (X,Y)
Yang perlu diperhatikan dalam perhitungan koordinat adalah data-data hitungan sudut,
hitungan azimuth, hitungan jarak dan akhirnya hitungan X,Y.
Untuk menghasilkan hitungan koordinat yang baik, maka dilakukan perhitungan dengan
prosedur sebagai berikut :
Perhitungan Sudut Mendatar
Perhitungan sudut mendatar hasil pengukuran poligon dibagi menjadi dua bagian:
 Perhitungan poligon kerangka utama
 Perhitungan poligon cabang
Perhitungan poligon meliputi tiga perhitungan, yaitu perhitungan kontrol pengukuran sudut,
perhitungan kontrol pengukuran jarak dan perhitungan koordinat.
Poligon Kerangka
a. Kontrol Pengukuran Sudut
Metoda yang digunakan untuk menghitung sudut mendatar adalah perhitungan azimuth
awal dan azimuth akhir, kedua azimuth itu didapat dari data BM yang telah ada , yang
menggunakan rumus sebagai berikut :

LAPORAN PENDAHULUAN 4
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

A(akhir) – A(awal) = S(sudut) – n.180 + fa


dimana :
A(akhir) = azimuth akhir
A(awal) = azimuth awal
S(sudut) = jumlah sudut ukuran
n = banyaknya titik poligon
fa = besarnya salah penutup sudut
atau dengan menggunakan rumus :
fa = (Aakhir – Aawal) - Ssudut + n.180

B. Kontrol Pengukuran Jarak


1. Jarak Optis
Jarak datar dan jarak optis dihitung dengan menggunakan rumus :
D = L . Cos2 Z
Dimana :
D = jarak datar
L = jarak optis
Z = sudut miring
2. Jarak Pita Ukur dan EDM
Jarak pita ukur dilakukan dengan cara mencari harga rata-rata dari beberapa ukuran,
dimana selisih bacaan jarak dengan pita ukur tidak boleh lebih dari 2 cm. Jadi
sebelum kita hitung harga rata-ratanya, maka data-data jarak tersebut harus diseleksi
terlebih dahulu. Setelah ketiga jenis hitungan selesai (azimuth matahari, sudut dan
jarak), maka kemudian dilakukan hitungan koordinat dengan rumus sebagai berikut :
X2 = X1 + D Sin a I-2
Y2 = Y1 + D Cos a I-2
Sedangkan untuk perhitungan koreksinya dipakai rumus :
X (akhir) – X (awal) = D Sin a + fx
Y (akhir) – Y (awal) = D Cos a + fy
Koreksi per sisi dilakukan dengan membagi koreksi X (Y) dengan jumlah sisi yang
ada, sedangkan untuk mengetahui kesalahan relatif dapat kita hitung dari rumus :
S : D adalah 1 : …….
Dimana :

S  fx 2  fy 2
D = jumlah jarak poligon
C. Perhitungan Elevasi
Perhitungan elevasi terdapat beberapa bagian penting, yaitu sebagai berikut :

LAPORAN PENDAHULUAN 5
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

Kontrol bacaan benang


Rumus yang digunakan dalam mengontrol bacaan benang adalah :
Ba  Bb
Bt 
2
Dimana :
Bt = bacaan benang tengah
Ba= bacaan benang atas
Bb= bacaan benang bawah
Jika selisih antara Bt dan (Ba + Bb)/2 lebih dari 2 mm maka bacaan benang akan langsung
diulang lagi sampai memperoleh selisih maksimum 2 mm.
Kontrol beda tinggi
Rumus yang digunakan untuk kontrol beda tinggi antara 2 titik adalah sebagai berikut :
H1= Btbelakang - Btmuka (stand I)
Dengan sedikit mengubah posisi alat, kemudian dilakukan pengukuran untuk stand II dan
diperoleh :
H2= Btbelakang - Btmuka (stand II)
Jarak waterpass
Jarak waterpass dihitung dengan rumus :
dm = (Bamuka - Bbmuka) x 100
db = (Babelakang - Bbbelakang) x 100
Dimana :
Sm = dm1 + dm2 + dm3 + ….. + ….. + dmn
Sb = dm1 + dm2 + dm3 + ….. + ….. + dmn
dmuka = jarak alat ke rambu muka
dbelakang = jarak alat ke rambu belakang
Sdmuka = jumlah jarak ke muka
Sdbelakang = jumlah jarak ke belakang
Untuk menghindari kesalahan karena pengaruh garis visir diusahakan agar dmuka =
dbelakang. Jadi hitungan jarak dan jumlahnya dihitung langsung pada saat pengukuran
setelah mengukur beda tingginya agar juru ukur bisa mengatur kedudukan alat dan rambu
sehingga Sdmuka  Sdbelakang (mendekati).
Untuk hitungan ketelitian (toleransi 10D), data jarak yang akan dipakai adalah jarak rata-
rata.
Beda tinggi (pulang-pergi)
Beda tinggi pergi didapat dari jumlah beda tinggi rata-rata stand II pada route pergi, beda
tinggi pulang didapat dari jumlah beda tinggi rata-rata stand I dan stand II pada route pulang.
Selisih hpg (beda tinggi pergi) dan hpl (beda tinggi pulang) harus masuk toleransi 10D mm
dan bila lebih dari toleransi, maka dilakukan pengukuran ulang.
Perataan beda tinggi
Perhitungan beda tinggi per seksi dilakukan dalam bentuk kring/tertutup, dengan demikian

LAPORAN PENDAHULUAN 6
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

akan memudahkan dalam proses perhitungan sistem hitungan perataan untuk koreksi
ukuran dalam satu seksi akan digunakan sistem perataan biasa. Tiap seksi akan selalu dicek
hitungannya apakah memenuhi toleransi 10D atau tidak.
Jika tidak memenuhi toleransi maka harus dilakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Cek semua data perhitungan
2. Deteksi kesalahan, yaitu mencari perkiraan dimana kira-kira kesalahan itu terjadi dan
setelah didapat (dengan bahan pertimbangan/alasan yang kuat) maka langsung dicek
ulang ke lapangan dengan alat ukur.
Setelah perhitungan tiap seksi selesai dan semua masuk dalam toleransi, dilakukan
perhitungan dengan rumus :
H = ½ I . Sin2Z
Dimana :
H = beda tinggi
L = jarak miring/optis
Z = sudut miring/vertikal
Untuk tinggi bidikan yang tidak sama dengan tinggi alat, maka rumus yang dipakai adalah:
H = ½ L Sin2 Z + TA – Bt
Dimana :
H = beda tinggi
L = jarak miring/optis  (Ba – Bb) x 100
Z = sudut miring/vertikal
TA = tinggi alat (dari atas patok)
Bt = bacaan benang tengah

3.3. ANALISIS HIDROLOGI


3.3.1. Umum
Analisis Hidrologi diperlukan untuk penentuan debit andalan, kebutuhan air irigasi dan debit
banjir (design flood) berdasarkan kondisi topografi dan tata guna lahan di Daerah Pengaliran
Sungainya (DPS). Analisis hidrologi tersebut akan dilaksanakan pada Daerah Pengaliran
Sungai (DPS) sehingga diperoleh debit banjir yang sesuai dengan kondisi DPSnya dan
kebutuhan air irigasi dan modul drainasinya sesuai kondisi lahan yang ada. Analisis hidrologi
pada pekerjaan ini meliputi :
 Analisa mutu data yang akan dipakai dalam studi meliputi data Curah hujan baik dari
ARR (Automatic Rainfall Recorder) maupun MAR (Manual Rainfall Recorder) berupa
analisa data yang hilang (missing data), analisa kepuguhan data (consistency test),
analisa ketidakadaan trend, analisa kestasioneran data (Stationary test), dan Analisa
ketidakadaan persistensi data
 Pengumpulan data curah hujan dan data AWLR (Automatic Water Level Recorder) untuk
analisa debit sungai yang terjadi.
 Analisa Kebutuhan Air Irigasi untuk mengetahui kebutuhan air irigasi di intake dengan
beberapa macam sistem irigasi (sistem golongan, rotasi teknis dll)
 Menganalisis curah hujan rancangan dengan beberapa model distribusi untuk

LAPORAN PENDAHULUAN 7
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

menghasilkan perhitungan curah hujan rancangan yang lebih andal.


 Menganalisis debit banjir pada masing-masing pangsa sungai untuk mengetahui debit
banjir yang terjadi pada masing-masing sungai dan kapasitas sungai untuk mengalirkan
debit banjir tersebut dan untuk desain tanggul penutup.
 Analisa Debit andalan baik secara pendekatan metode simulasi seperti metode FJ. Mock
maupun pendekatan statistik dengan menggunakan metode distribusi frekuensi
3.3.2. Analisa Data Hilang Dan Konsistensi Data
Stasiun hujan kadang-kadang tidak dapat bekerja dengan baik sehingga data curah hujan
kurang lengkap. Pengisian kekosongan data hujan/analisa Data hilang (Missing Data)
tersebut dilakukan dengan pendekatan sebagai berikut :
a. Menentukan hujan rata-rata pada stasiun terdekat, dengan stasiun hujan yang tidak
mempunyai data.
b. Faktor bobot didasarkan pada suatu nilai ratio hujan tahunan, ditentukan dengan
rumus sebagai berikut :
1  Anx Anx Anx Anx 
PX   Pa  Pb  Pc   Pn
m  Ana Anb Anc Anm 
Dimana :
Px = tinggi hujan pada stasiun yang datanya tidak lengkap (mm)
Pa, b,c = tinggi hujan pada stasiun a, b, dan c (mm)
Anx = tinggi hujan tahunan pada stasiun yang datangnya tidak lengkap
(mm)
m = banyaknya stasiun
Ana, b, c = tinggi hujan tahunan pada stasiun a, b, dan c (mm)
Selanjutnya dilakukan perhitungan Curah Hujan Areal untuk analisa lebih lanjut.
Data hujan dapat menjadi tidak konsisten yang disebabkan karena perubahan lingkungan
atau gangguan lingkungan di sekitar tempat penakar hujan dipasang misalnya, penakar
hujan terlindung pohon, terletak berdekatan dengan gedung tinggi, perubahan cara
penakaran dan pencatatan, perubahan letak, dll. Hal ini dapat menyebabkan perubahan
trend semula. Hal tersebut dapat diselidiki dengan menggunakan lengkung massa ganda.
3.3.3. Penyaringan Data (Data Screening)
Data hidrologi runtut waktu (data history), dapat diolah dan disajikan dalam suatu distribusi
(distribution) atau deret berkala (time series). Disajikan dalam bentuk distribusi apabila data
hidrologi disusun berdasarkan urutan besarnya nilai sedangkan deret berkala (time series)
disajikan secara kronologi sebagai fungsi dari waktu dengan interval waktu yang sama.
Umumnya data lapangan setelah diolah dan disajikan dalam buku publikasi data hidrologi,
merupakan data dasar sebagai bahan untuk analisa hidrologi, data tersebut sebelum
digunakan untuk analisis hidrologi harus dilakukan pengujian yang sering disebut dengan
penyaringan data (data screening). Apabila suatu deret berkala setelah diuji ternyata
menunjukkan :
 Tidak menunjukkan adanya trend
 Stasioner, berarti varian dan rata-ratanya homogen/stabil/sama jenis
 Bersifat acak (randomnes), independent atau tidak adanya persistensi
Maka data deret berkala tersebut selanjutnnya baru disarankan dapat digunakan untuk

LAPORAN PENDAHULUAN 8
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

analisis hidrologi lanjutan, misalkan analisa peluang, dan simulasi. Pengujian ini
dimaksudkan untuk memeriksa dan memilahkan atau mengelompokkan data yang bertujuan
untuk memperoleh data hidrologi yang cukup handal untuk analisis sehingga kesimpulan
yang diperoleh cukup baik.
Dalam melaksanakan pengujian diperlukan informasi tambahan seperti perubahan DPS atau
alur sungai seperti bencana alam, atau pengaruh manusia. Kembali pada pengertian
bahwa :
1. Data tidak homogen adalah penyimpangan data dari sifat statistiknya yang disebabkan
oleh faktor alam dan pengaruh manusia
2. data tidak konsisten adalah penyimpangan data karena kesalahan acak dan kesalahan
sistematisnya.
Maka tahap penyaringan ini perlu pengetahuan lapangan dan informasi yang terkait dengan
data dalam deret berkala. Tahap penyaringan ini baru merupakan penyaringan untuk data
dari suatu pos hidrologi dan belum membandingkan dengan data sejenis dari pos lain.
3.3.3.1 Uji Stasioner/Kestabilan Data
Setelah dilakukan pengujian ketidakadaan trend apabila deret berkala tersebut tidak
menunjukkan adanya trend sebelum data deret berkala digunakan untuk analisis hidrologi
lanjutan harus dilakukan uji stasioner. Apabila menujukkan adanya trend maka data deret
berkala tersebut dilakukan analisis meurut trend yang dihasilkan. Analisis garis trend dapat
menggunakan analisis regresi. Apabila menunjukkan tidak ada garis trend maka uji stasioner
dimaksudkan untuk menguji kestabilan nilai varian dan rata-rata berkala dari deret berkala.
Pengujian deret berkala nilai varian dapat dilakukan dengan uji- F, bila nilai variannya tidak
homogen berarti deret berkala tersebut tidak stasiuner dan tidak perlu melakukan pengujian
lanjutan. Apabila varian tersebut menujukkan stasiuner, maka pengujian selanjutnya adalah
menguji kesetabilan nilai rata-rata yaitu dengan menggunakan uji student-t (student-t - test).
 Uji kestabilan Varian
Persamaan umum yang dipakai untuk menghitung kestabilan varian dengan uji F adalah
sebagai berikut :

n1  S1  n 2  1
2

F
n 2  S 2  n1  1
2

keterangan :
n1 = jumlah kelompok data 1
n2 = jumlah kelompok data 2
S1 = standart deviasi 1
S2 = standart deviasi 2

 Uji Kestabilan Rata-Rata


Kestabilan rata-rata dapat dihitung dengan persamaan umum uji t, dengan persamaan
sebagai berikut :
X1  X 2 1
t 1  n  S 2  n2  S 2 2 2
 1 1  2 dimana    1 1 

     n1  n 2  2 
 n1 n 2 

LAPORAN PENDAHULUAN 9
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

keterangan :
X1 = rata-rata kelompok data 1
X2 = rata-rata kelompok data 2
n1 = jumlah kelompok data 1
n2 = jumlah kelompok data 2
S1 = standart deviasi 1
S2 = standart deviasi 2
3.3.3.2 Uji Persistensi
Anggapan bahwa data berasal dari sampel acak harus diuji, yang umumnya merupakan
persyaratan dalam analisis distribusi peluang. Persistensi (persistence) adalah
ketidaktergantungan dari setiap nilai dalam deret berkala. Untuk melaksanakan pengujian
persistensi harus dihitung besarnya koefisien kerelasi serial. Salah satu metode untuk
menentukan koefisien korelasi serial adalah dengan metode spearman, yang dapat dihitung
dengan persamaan sebagai berikut :
m
6 ( di ) 2
1

dan  n  2 2
t  KS 
1  KS 
i 1
KS  1  2

m m3

keterangan :
KS = koefisien korelasi spearman
m = N–1
N = jumlah data
di = perbedaan nilai antara peringkat kesatu dengan peringkat berikutnya
t = nilai distribusi t, pada derajat kebebasan (m – 2) untuk derajat
kepercayaan tertentu
3.3.4. Debit Andalan
Perhitungan debit andalan (Dependable Discharge) di maksudkan untuk mencari nilai
kuantitatif debit yang tersedia sepanjang tahun, baik pada musim kemarau maupun pada
musim hujan. Jika pada titik yang akan dianalisis tersedia seri data debit maka analisisnya
dapat secara langsung dilakukan dengan menggunakan Analisis Distribusi Frekwensi, tetapi
bila tidak tersedia maka analisisnya dapat dilakukan dengan cara transformasi dari data
hujan menjadi data debit. Analisis debit andalan dengan tranformasi data hujan dihitung
menggunakan Metode NRECA dan Metode F.J. Mock. Cara ini perlu diterapkan jika pada
lokasi studi bila tidak tersedia data pengamatan debit.
3.3.4.1 Metode F.J. Mock
Langkah-langkah perhitungan debit andalan adalah sebagai berikut :
1. Perhitungan Curah Hujan Areal
2. Perhitungan curah hujan rencana (P=80%)
3. Perhitungan Debit Andalan
Metode ini didasarkan pada data curah hujan, data klimatologi dan kondisi dari DAS yang
bersangkutan. Adapun data-data yang diperlukan dalam perhitungan metode neraca air F.J.
Mock, antara lain :
 Hujan bulanan rata-rata, mm

LAPORAN PENDAHULUAN 10
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

 Hari hujan bulanan rata-rata, hari


 Evapotranspirasi potensial bulanan, mm/bulan
Debit andalan metode neraca air F.J. Mock, dirumuskan sebagai berikut:
Q : (Dro + Bf) F
Dro : Ws – 1
Ws : R – Et
Dimana :
Q : debit andalan, m3/dt
Dro : direct run off, m3/dt/km2
Bf : base flow, m3/dt/km2
F : catchment area, km2
Ws : water surplus, mm
I : infiltrasi, mm
Vn : storage volume, mm
R : curah hujan, mm
Et : evapotranspirasi Penman modifikasi, mm
Run off : (I – Vn) + 0,60 (P – EL), mm/bln
Q : run off, A, m2/dt
dimana :
I : infiltrasi = 40 % water surplus
P-EL : water surplus
: angka hujan bulanan rata-rata dikurangi limit evapotranspirasi, mm
EL : Eto – E = limit evapotranspirasi, mm
Eto : evapotranspirasi pada bendung terbuka
Va : Vn – (Vn – 1) = Storage bulanan, mm
Vn : 0,5 (1 + K) 1 + K (n – 1)
K : koefesien inflitrasi = 0,6 A
A : luas daerah tangkapan hujan dan catchment area, km2
Hasil dari perhitungan ini didapat debit bulanan selanjutnya untuk mendapatkan debit
andalan didapat dengan cara mengurutkan data dan diambil probalitas sebesar 80 %.
3.3.5. Kebutuhan Air Irigasi
Kebutuhan air pada petak sawah, khususnya untuk tanaman padi ditentukan oleh beberapa
faktor, antara lain:
 Penyiapan lahan
 Penggunaan air konsumtif
 Perkolasi dan rembesan
 Penggantian lapisan air

LAPORAN PENDAHULUAN 11
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

 Curah hujan efektif


Total kebutuhan air untuk penyiapan lahan, penggunaan air konsumtif, perkolasi dan
rembesan, dan penggantian lapisan air pada petak sawah dikurangi curah hujan efektif
disebut kebutuhan bersih air pada petak sawah (Net Field Water Requirements – NFR).
3.3.5.1 Evapotranspirasi (ETo)
Evapotranspirasi Potensial (ETo), dihitung dengan metode Penmann. Dalam menghitung
Evapotranspirasi potensial (ETo) menggunakan prinsip :
ETo = c.ETo*
Besar ETo sangat dipengaruhi keadaan iklim dan iklim erat berhubungan dengan letak
lintang daerah. Rumus ETo Penman membutuhkan data terukur yaitu :
1. t, suhu bulanan rata-rata (C)
2. RH, kelembaban Relatif bulanan rata-rata (%)
3. n/N, kecerahan matahari bulanan (%)
4. U, kecepatan angin bulanan rata-rata (m/dt)
5. letak lintang daerah yang ditinjau, dan
6. angka koreksi (c)
ETo =W(0,75 Rs - Rn1) + (1-W).f(U).(ea - ed)
Rumus Penmann ini mempunyai ciri khusus sebagai berikut :
W = Faktor yang berhubungan dengan suhu (t) dan elevasi daerah. Untuk
daerah Indonesia, dengan elevasi antara 0 - 500 m, hubungan harga t dan
W.
Rs = Radiasi gelombang pendek, dalam satuan evaporasi ekivalen (mm/hari).
RS = (0,25 + 0,54n/N).Ra
Ra = radiasi gelombang pendek yang memenuhi batas luar atmosfer (angka
angot) besar angka angot ini berhubungan dengan letak lintang daerah.
Rn1 = Radiasi bersih gelombang panjang (mm/hari)
Rn1 = f(t).f(ed).f(n/N)
f(t) = fungsi suhu
f(ed) = fungsi tekanan uap = 0,34 - 0,044 ed
f(n/N) = merupakan fungsi kecepatan angin pada ketinggian 2,00 dalam satuan
m/det.
f(u) = 0,27 (1+0,864.u)
(ea - ed) = perbedaan tekanan uap jenuh dengan tekanan uap yang sebenarnya.
ed = ea . RH
ea = tekanan uap sebenarnya yang besarnya berhubungan dengan t, dan RH
adalah kelembaban udara relatif (%).
3.3.5.2 Curah Hujan Efektif
Curah hujan efektif adalah curah hujan andalan yang jatuh di suatu daerah dan digunakan
tanaman untuk pertumbuhannya. Curah hujan efektif digunakan untuk memperkirakan
kehilangan air akibat aliran permukaan dan perkolasi. Sistem Irigasi “continous flowing” dan
“Intermitten flowing” sangat berpengaruh terhadap kapasitas penyimpanan suatu petakan

LAPORAN PENDAHULUAN 12
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

lahan dan secara langsung berpengaruh pada besarnya curah hujan efektif. Curah Hujan
Efektif dihitung dengan Metode USDA Soil Conservation Service dengan rumus sebagai
berikut:

Peff  P
125  0.2 P   P  250 mm
125
Peff  125  0.1  P  P  250 mm

3.3.5.3 Penyiapan Lahan


Dalam tahap penyiapan lahan, air sangat diperlukan untuk mempermudah pembajakan dan
penyiapan kelembaban tanah guna pertumbuhan tanaman. Untuk tanaman padi,
perhitungan kebutuhan air selama penyiapan lahan digunakan metode Van de Goor/Zijlstra
(1968). Metode tersebut didasarkan pada kebutuhan air akibat evaporasi dan perkolasi di
sawah, yang sudah dijenuhkan selama periode penyiapan lahan 45 hari, dengan tinggi
genangan air 250 mm atau 8.33 mm/hari.
Perhitungan kebutuhan air untuk penyiapan lahan diperoleh berdasarkan persamaan
berikut :
M  ek
IR 
 ek  1
dimana :
IR = kebutuhan air irigasi di tingkat persawahan, mm/hari
M = kebutuhan air untuk mengganti kehilangan air akibat evaporasi dan perkolasi
= Eo + P, dimana Eo = 1.1 ETo (mm/hari)
P = perkolasi
k = M.T/S
T = jangka waktu penyiapan lahan, hari
S = kebutuhan air untuk penjenuhan air di tambah untuk penggantian, yakni 200 +
50 = 250 mm
3.3.5.4 Pemakaian Konsumtif
Penggunaan konsumtif oleh tanaman diperkirakan berdasarkan metode empiris, dimana
persamaannya adalah sebagai berikut :
Etc = Kc . ETo
Dimana :
Etc = pemakaian konsumtif (mm/hari)
Kc = koefisien tanaman sesuai dengan pertumbuhannya
ETo = evapotranspirasi potensial tanaman (mm/hari)
Koefisien tanaman mengikuti tabel berikut :

LAPORAN PENDAHULUAN 13
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

Periode Padi Palawija


Tengah
Biasa Unggul Kedelai Kacang Hijau
Bulanan
1 1.10 1.10 0.50 0.40
2 1.10 1.10 0.75 0.60
3 1.10 1.05 1.00 0.97
4 1.10 1.05 1.00 1.05
5 1.10 0.95 0.82 0.80
6 1.05 0.95 0.45
7 0.95
8 0.00

3.3.5.5 Perkolasi dan Infiltrasi


Kehilangan air untuk perkolasi adalah jumlah air yang mengalir melalui tanah yang terisi oleh
sistem perakaran yang tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman tersebut. Kehilangan air
akibat perkolasi dapat diperiksa dengan menggunakan pendekatan permeabilitas dan
infiltrasi
Besarnya perkolasi bervariasi tergantung dari tingkat permeabilitas, dan pada beberapa
kasus tergantung dari laju infiltrasi tanah, tetapi dalam perhitungan pekerjaan ini diambil
besarnya angka perkolasi sebesar 1.50 mm/hari untuk musim penghujan dan 2.00 mm/hari
untuk musim kemarau.
3.3.5.6 Penggantian lapisan Air
Pada proses budi daya tanaman padi , untuk menerapkan pemakaian pupuk yang efektif dan
menghasilkan pembuahan yang baik, digunakan sistem penurunan muka air sawah.
Penggantian air diambil 50 mm (3.33 mm/hari) selama satu setengah bulan setelah
trasnplantasi
3.3.5.7 Efisiensi Irigasi
Pada dasarnya, semua kehilangan air yang mempengaruhi efisiensi irigasi berlangsung
selama proses pemindahan air dari sumbernya kelahan pertanian dan selama pengelolaan
lahan pertanian.
Efisiensi irigasi dibagi dalam 2 komponen, yaitu :
 Efisiensi pengangkutan, dimana kehilangan airnya dihitung dari sistem saluran induk ke
sekunder
 Efisiensi di lahan pertanian (sawah), dimana kehilangan airnya di hitung dari saluran
tersier dan kegiatan pemakaian air irigasi di lahan pertanian
Efisiensi irigasi total termasuk efisiensi pengangkutan dan lahan pertanian, untuk tanaman
padi dapat diambil 0.72. Nilai ini berasal dari estimasi mencakup saluran utama dan saluran
sekunder 90% sedangkan saluran tertier sampai ke sawah 80 %. Untuk menentukan
efisiensi irigasi tanaman palawija, FAO merekomendasikan efisiensi sebesar 75%.
3.3.5.8 Pola Tata Tanam
Untuk menyusun Pola Tata Tanam pada suatu daerah irigasi harus memperhatikan hal-hal
sebagai berikut :
 Iklim yang biasa terjadi
 Ketersediaan air irigasi
 Kesesuaian lahan dan sifat tanaman
 Keinginan dan kebiasaan petani setempat

LAPORAN PENDAHULUAN 14
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

 Kebijaksanaan permerintah
 Jumlah dan kualitas tenaga kerja
Maksud diadakan tata tanam adalah untuk mengatur waktu, tempat, jenis dan luas tanaman
pada daerah irigasi seefektif dan seefisien mungkin, sehingga tanaman dapat tumbuh
dengan baik.
3.3.6. Neraca Air (Water Balance)
Perhitungan neraca air dilakukan untuk mengecek apakah air yang tersedia cukup memadai
untuk memenuhi kebutuhan air irigasi di proyek yang bersangkutan. Dalam perhitungan
neraca air (water balance) ada beberapa unsur pokok sebagai dasar perhitungan, beberapa
unsur pokok tersebut dibedakan dalam 3 unsur pokok yaitu :
 Tersediannya air
 Kebutuhan air dan
 Neraca air (water balance)
Perhitungan pendahuluan neraca air dibuat pada tahap penetapan pola operasi dari daerah
irigasi yang bersangkutan. Pada taraf ini akan dilakukan peninjauan dasar-dasar perhitungan
yang diperoleh dari pengumpulan data-data sekunder (tambahan), inspeksi lapangan
maupun uji dilapangan, yang mana data-data tersebut harus benar-benar bisa dipakai
sebagai pedoman operasional.
Perhitungan neraca air (water balance) ini akan sampai pada kesimpulan mengenai hal-hal
sebagai berikut :
 Pola tata tanam akhir yang akan dipakai untuk jaringan irigasi yang akan dipakai sebagai
pedoman pelaksanaan operasional dari daerah irigasi yang ada
 Penggambaran akhir berdasarkan akan ketersediaan air dan pola operasi dari daerah
irigasi yang ada baik perlu adanya pola operasi dengan rotasi maupun pemberian terus-
menerus (continues flow)
Tabel METODOLOGI PELAKSANAAN PEKERJAAN.1 Perhitungan Neraca Air (Water
Balance)

Bidang Parameter Neraca Air Kesimpulan


Hidrologi Debit Andalan Debit Minimum
persetengah bulan
5 tahun keringan
pada bangunan
utama
Meteorologi Evapotranspirasi
Curah hujan efektif
- Jatah Debit/ kebutuhan
Tanah Agronomi Pola tanam
- Luas daerah irigasi
Koefisien tanaman Kebutuhan bersih
- Pola tanam
Perkolasi irigasi dalam l/dt/ha
Kebutuhan Penyiapan di sawah - Pengaturan rotasi
lahan
Jaringan Irigasi Effisiensi Irigasi
Rotasi
Topografi Daerah Layanan Daerah yang
berpotensi untuk
diairi

LAPORAN PENDAHULUAN 15
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

3.3.7. Analisa Curah Hujan Rancangan (Design Rainfall)


Analisis data curah hujan umumnya mencakup analisis kepuguhan/konsistensi data, analisis
probabilitas curah hujan maksimum (curah hujan rancangan) untuk estimasi debit banjir
rencana, analisis curah hujan areal dan uji kesesuaian distribusi.
Untuk Curah Hujan Rancangan kami hitung dengan tujuh jenis agihan, yaitu :
 Agihan Extreme E.J. Gumbel Tipe I
 Agihan Log Pearson Tipe III
Persamaan umum untuk estimasi curah hujan rancangan (design rainfall) untuk semua
agihan, adalah sebagai berikut :
XT  X  K  Sx

Dimana :
XT = curah hujan rancangan untuk periode ulang pada T tahun (mm)
X = rerata dari curah hujan (mm)
Sx = standar deviasi
K = Faktor frekuensi yang merupakan fungsi dari periode ulang (return
periode) dan tipe distribusi frekuensi.
3.3.7.1 Agihan Extreme E.J. Gumbel Tipe I
Standart deviasi dihitung dengan rumus
n n

 X i2  X  X i
SX  1 i

n1
faktor frekuensi dihitung dengan rumus
YT Yn
K
Sn
dengan :
YT = Reduced variete sebagai fungsi periode ulang T
= - Ln [ - Ln (T - 1)/T ]
Yn = Reduced mean sebagai fungsi dari banyaknya data n
Sn = Reduced standart deviasi sebagai fungsi dari banyaknya data n
3.3.7.2 Agihan Log Pearson Tipe III
Bentuk distribusi Log Pearson Tipe III merupakan hasil trasformasi dari distribusi Pearson
Tipe III dengan menggantikan variat menjadi nilai logaritmik. Persamaan fungsi kerapatan
peluang sama dengan distribusi Pearson Tipe III.
standart deviasi dihitung dengan rumus:
1/ 2
  ( Log X  Log X ) 2 
  Log X    
 n1 
koefisien kepencengan (skewness coefisien)

LAPORAN PENDAHULUAN 16
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

CS 

n log X  log X  3

 n  1 n  2  S  log X 
3.3.7.3 Uji Kesesuaian Distribusi
Untuk mengetahui suatu kebenaran hipotesa distribusi frekuensi, maka dilakukan
pemeriksaan uji kesesuaian distribusi, dalam hal ini kami memakai dua metode uji yaitu uji
Smirnov Kolmogorov dan uji Chi-Square.
Dengan pemeriksaan uji ini akan diketahui beberapa hal, seperti :
A. Kebenaran antara hasil pengamatan dengan model distribusi yang diharapkan atau yang
diperoleh secara teoritis,
B. Kebenaran hipotesa (diterima/ditolak).

1. Uji Smirnov Kolmogorof


Data curah hujan maksimum harian rerata tiap tahun disusun dari kecil ke besar,
Probabilitas dihitung dengan persamaan Weibull sebagai berikut :
100.m
P (%)
n1

Dimana :
P = Probabilitas (%)
m = nomor urut data dari seri yang telah disusun
n = besarnya data
Nilai delta kritis untuk uji Smirnov-Kolmogorov diperoleh dari tabel.
2. Uji Kai Kuadrat (Chi Square)
Dari distribusi (sebaran) Kai-kuadrat, dirumuskan :
( E F O F ) 2
  2

EF
Dimana :
2 = Harga kai-kuadrat
Ef = Frekuansi (banyaknya pengamatan) yang diharapkan, sesuai dengan
pembagian kelas nya
Of = Frekuensi yang terbaca pada kelas yang sama.

Nilai  hitungan harus lebih kecil dari harga  cr (Kai-kuadrat kritis) dari tabel, untuk
2 2

suatu derajat nyata tertentu (level of significance), yang sering diambil sebesar 5%.
Derajat kebebasan ini secara umum dapat dihitung dengan :
DK = K - (P + 1)
Dimana :
DK = Derajat kebebasan
K = Banyaknya kelas
P = Banyaknya keterikatan atau sama dengan banyak-nya parameter, yang

LAPORAN PENDAHULUAN 17
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

untuk sebaran kai-kuadrat adalah sama dengan dua (2).


Dalam hal ini, disarankan pula agar banyaknya kelas tidak kurang dari lima dan
frekuensi absolut tiap kelas tidak kurang dari lima pula. Apabila ada kelas yang
frekuensinya kurang dari lima, maka dapat dilakukan penggabungan dengan kelas yang
lainnya.
3.3.7.4 Koefisien pengaliran
Koefisien pengaliran adalah suatu variabel yang di dasarkan pada kondisi daerah pengaliran
dan karakteristik hujan yang jatuh di daerah tersebut. Adapun kondisi dan karakteristik yang
dimaksud adalah :
1. keadaan hujan,
2. luas dan bentuk daerah aliran,
3. kemiringan daerah aliran dan kemiringan dasar sungai,
4. daya infiltrasi dan perkolasi tanah,
5. kebasahan tanah,
6. suhu udara dan angin serta evaporasi dan
7. tata guna tanah.
Koefisien pengaliran seperti yang disajikan pada tabel berikut, didasarkan dengan suatu
pertimbangan bahwa koefisien tersebut sangat tergantung pada faktor-faktor fisik.
Tabel METODOLOGI PELAKSANAAN PEKERJAAN.2 Angka Koefisien Pengaliran
Kondisi DAS Angka Pengaliran (C)
Pegunungan 0,75 - 0,90
Pegunungan tersier 0,70 - 0,80
Tanah berelief berat dan Berhutan kayu 0,50 - 0,75
Dataran pertanian 0,45 - 0,60
Daratan sawah irigasi 0,70 - 0,80
Sungai di pegunungan 0,75 - 0,85
Sungai di dataran rendah 0,45 - 0,75
Sungai besar yang sebagian alirannya berada 0,50 - 0,75
di dataran rendah
Sumber : Suyono Sosrodarsono, (1980)

Tabel METODOLOGI PELAKSANAAN PEKERJAAN.3 Angka Koefisien Pengaliran


Yang Dipakai Secara Umum
Type Daerah Aliran Kondisi Daerah Harga C
Tanah pasir, datar 2% 0.05 – 0.10
Tanah pasir, rata-rata 2 – 7 % 0.10 – 0.15
Tanah pasir, curam 7 % 0.15 – 0.20
Rerumputan
Tanah gemuk, datar 2 % 0.13 – 0.17
Tanah gemuk, rata-rata 2 – 7 % 0.18 – 0.22
Tanah gemuk, curam 7 % 0.25 – 0.35
Daerah kota lama 0.75 – 0.95
Business
Daerah pinggiran 0.50 – 0.70
Daerah “single family” 0.30 – 0.50
Perumahan “Multi unit”, terpisah-pisah 0.40 – 0.60
“Multi unit”, tertutup 0.60 – 0.75
“sub urban” 0.25 – 0.40

LAPORAN PENDAHULUAN 18
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

daerah rumah-rumah apatemen 0.50 – 0.70


Daerah ringan 0.50 – 0.80
Industri
Daerah berat 0.60 – 0.90

3.3.7.5 Hujan netto


Dengan menganggap bahwa prose tranformasi hujan menjadi limpasan langsung mengikuti
proses linier dan tidak berubah oleh waktu, maka hujan netto (Rn) dapat dinyatakan sebagai
berikut :
Rn = C x R
Dengan :
C = koefisien limpasan
R = Intensitas curah hujan,

3.3.8. Debit Banjir Rencana (Design Flood)


Untuk merencanakan suatu bangunan air, diperlukan analisis nilai debit banjir yang mungkin
terjadi di lokasi tersebut. Untuk mengetahui keadaan pola banjir diperlukan periode
pengamatan, agar estimasi mendekati keadaan yang sebenarnya.
Untuk mendapatkan besaran debit banjir rencana yang lebih baik, dalam perhitungan
diperlukan beberapa metode perhitungan, kemudian dibandingkan hasil dari masing-masing
untuk diambil sebagai debit banjir rencana (design flood). Dalam analisa debit banjir rencana
disini dihitung dengan metode-metode sebagai berikut :
 Melchior
 Hasper
3.3.8.1 Metode Melchior
Dasar dari metode ini adalah metode Rasional, bentuk persamaan diambil berdasarkan
persamaan Pascher, sebagai berikut :
Qmax      q  f

dimana :
 = Runoff coefficient
 = Reduction Coefficient
hujan rata  rata
= hujan maksimum
pada daerah dan waktu yang sama

q = Intensitas Hujan (m3/km2/det)


f = Luas daerah pengaliran (km2)

Perhitungan dilakukan dengan Trial and Error dengan menggunakan grafik hubungan luas
daerah tangkapan dengan intensitas hujan.
3.3.8.2 Metode Haspers
Dasar metode ini sama dengan metode Melchior dan Weduwen yaitu metode rasional
dengan persamaan sebagai berikut :

LAPORAN PENDAHULUAN 19
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

Qmax      q  f

dimana :
 = Runoff coefficient
1  0.012 f 0 .7
=
1  0.075 f 0 .7

 = Reduction Coefficient
hujan rata  rata
= hujan maksimum
pada daerah dan waktu yang sama

1
= t  3.7  10 0.4t f 0.75
1 
t 2  15 12
q = Intensitas Hujan (m3/km2/det)
t  R24
= t  1  0.0008   260  R  2  t  2 untuk t < 2 jam
3.6  t
f = Luas daerah pengaliran (km2)
t = 0.1  L0.8  I 0.3

3.4. ANALISIS HIDROLIKA


Fenomena hidrolika dalam perencanaan bangunan utama dan bangunan pengambilan dapat
diketahui dari Analisis Hidrolika. Fenomena Hidrolika diperlukan untuk penentuan dimensi
bangunan yang direncanakan berdasarkan debit banjir rencana dengan mengacu pada
aspek hidrolika yang ada. Analisis hidrolika meliputi :
 Data potongan memanjang dan melintang sungai untuk mengetahui slope rata-rata,
kapasitas/debit yang bisa dialirkan dan lengkung liku debit (rating curve).
 Kondisi Aliran, untuk menentukan kondisi aliran disepanjang saluran yang didesain, agar
dalam saluran tidak terjadi aliran superkritis.
 Analisa debit keluaran pintu aliran bawah, untuk mengetahui besarnya debit yang yang
masuk dalam bangunan pengambilan (intake) berdasarkan tinggi bukaan pintu dan
tinggi air dihulu dan perencaan bangunan peredam energi (stilling basin) pada hilir
bangunan utama.
Analisa Profil muka air, untuk mengetahui tinggi muka air pada saluran berdasarkan
perbedaan energi dan momentum pada penampang masing-masing section dan bangunan
yang ada, analisa ini sangat berguna untuk melihat kapasitas bangunan utama untuk
melimpaskan debit banjir dan tinggi freeboard juga untuk dasar perencanaan bangunan
pengambilan dan tinggi tanggul penutup.
3.4.1. Karakteristik Sungai
Karakteristik sungai sangat dipengaruhi morfologi sungai, kekasaran dasar, material dasar,
bangunan-bangunan yang ada sepanjang sungai dan pengaruh pasang surut pada
pelepasan sungai. Dalam analisa hidrolika karakteristik sungai sangat diperlukan untuk
analisa kapasitas pengaliran, kecepatan aliran, profil muka air, kondisi aliran dan fenomena-
fenomena hidrolika lainnya.

LAPORAN PENDAHULUAN 20
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

3.4.2. Liku Debit (Rating Curve)


Liku debit adalah hubungan antara debit (Q) dengan tinggi muka air (h) pada suatu tampang
sungai. Liku debit sangat diperlukan untuk mengetahui kapasitas pengaliran dari suatu
tampang sungai, yang dihitung dengan menggunakan pendekatan rumus hidrolika aliran
seragam (uniform flow) dari Manning sebagai berikut:
A 2 / 3 1/ 2
Q AV  R S
n
untuk penampang yang berbeda pada suatu section sungai akan mempunyai liku debit yang
berbeda sehingga kemampuan mengalirkan debit juga berbeda. Untuk mempermudah
dalam pemakaian suatu liku debit dapat digunakan dengan pemakaian grafik/kurva atau
dengan menggunakan persamaan regresi yang dapat mewakili, karena pada ketinggian air
(h) sama dengan 0 debit (Q) yang dialirkan juga 0 maka dapat dipakai regresi dengan
pendekatan liku debit adalah Regresi Logaritmik :
Q = a . hb
Untuk analisa liku debit dalam pekerjaan ini dipakai bantuan software program HEC-RAS
(Hidrological Engineering Centre River Analysis Sistem) dari US Army yang dihitung pada
tiap-tiap penampang pada section sungai.
3.4.3. Hidrolika Pintu Air Bawah
Untuk perencanaan bangunan bagi dengan alat ukur ambang lebar maka diperlukan pintu
pengatur debit, pintu tersebut dinamakan pintu air aliran bawah, karena pada kenyataannya
air mengalir melalui bagian bawah struktur. Pada rancangan pintu air demikian dua hal yang
perlu diperhatikan yaitu hubungan tinggi energi pelepasan dengan distribusi tekanan pada
permukaan pintu untuk berbagai posisi pintu dan pinggiran pintu. Bentuk pinggiran pintu,
tidak saja mempengaruhi distribusi kecepatan, tekanan dan kehilangan energi, tetapi juga
menyebabkan timbulnya getaran-getaran penggangu, yang harus dihilangkan pada saat
pintu air digunakan. Karena rancangan pinggiran pintu bervariasi maka biasanya diperlukan
penelitian yang terpisah untuk berbagai kondisi rancangan tersebut.

2
v
1

2g E

2
v
y1 2

2g
h
y2

Besarnya debit yang dapat dikeluarkan melalui pintu air bawah dapat dihitung dengan
persamaan energi, dengan persamaan sebagai berikut :

 v 
2
Q  CLh 2 g  y1   1 
 2g 

dimana :
C = koefisien pelepasan

LAPORAN PENDAHULUAN 21
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

L = panjang pintu air (m)


h = tinggi bukaan pintu (m)
y1 = kedalaman hulu aliran (m)
2
v1
 = tinggi kecepatan aliran terdekat (m)
2g
Koefisien  disajikan dalan grafik sebagai berikut :

0.80 

= 150
= 300 
0.70 
= 450 y1
 0 
= 60 
= 75 0  h
0.60
= 900

0.50
1 3 5 7 9 11 13
y1/h

Koefisien K untuk Debit tenggelam disajikan dalam grafik sebagai berikut :

1.00

0.80

0.60

K 6 8 10 15 y1/h = 20
0.40

0.20
2 3 4 5

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
y2/h

Debit keluaran dari pintu mungkin terendam atau bebas tergantung pada kedalaman air
bawah, untuk aliran terendam y1 pada persamaan diatas harus diganti dengan tinggi energi
efektif, atau perbedaan antara kedalaman aliran hulu dan aliran hilir.
Tekanan yang bekerja pada permukaan pintu dapat ditentukan secara teliti dengan
menggunaan analisa aliran netto atau pengukuran langsung pada model atau prototipe.
Contoh tekanan pada pintu radial dapat digambarkan sebagai berikut :

LAPORAN PENDAHULUAN 22
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

Tekanan vertikal pada


dasar saluran

F1 FH

Analisa debit keluaran


F2 pintu aliran bawah digunakan
F3 untuk menghitung pengaturan dan pola
operasi dari pintu pengatur dibangunan bagi dan bagi sadap.
Peredam energi/Kolam olak (stilling basin) pada outlet pintu direncanakan berdasarkan
harga kedalaman sebelum loncatan (y1) dan froude number sebelum loncatan (F1). Dari
kedua harga tersebut dapat dihitung tinggi air setelah loncatan, dengan persamaan :
y2 1

y1 2
 1  8F1  1
panjang kolam olak sangat dipengaruhi oleh bilangan Froude (F1), tinggi endsill, tinggi gigi
peredam dan chute block sangat dipengaruhi kedalam aliran sebelum loncatan (y1).
Sedangkan tipe kolam olak sangat dipengaruhi oleh bilangan froudnya. Bilangan Froude
dapat dihitung dengan persamaan :
v
F
g d

3.4.4. Hidrolika Ambang


Untuk mengatur muka air dan besarnya debit yang lewat pada saluran maka perlu bangunan
pengukur debit. Bangunan tersebut bisa berupa bangunan pelimpah ataupun pintu pengatur,
untuk mempermudah dalam pengoperasiannya maka pada pekerjaan ini bangunan pengatur
debit (flow regulator) direncanakan menggunakan tipe pelimpah.
Secara umum debit yang lewat di atas mercu pelimpah dapat dihitung dengan persamaan
sebagai berikut :
3
Q  CBH 2

dimana :
Q = debit yang lewat mercu pelimpah (m3/dt)
C = koefisien debit pelimpahan tergantung dari tipe pelimpah
B = lebar pelimpah (m)
H = tinggi air diatas pelimpah (m)

LAPORAN PENDAHULUAN 23
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

3.5. DETAIL DESAIN BANGUNAN UTAMA


3.5.1. Umum
Untuk kepentingan analisis dalam perencanaan Bendung dalam hal ini konsultan mengacu
pada pedoman yang sudah ada yaitu Standart Perencanaan Irigasi (Kriteria Perencanaan)
yang dikeluarkan oleh Direktorat
Jenderal Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia. Guna lebih
melengkapi analisis digunakan juga referensi-referensi lain yang biasa dipakai di Indonesia
untuk perencanaan irigasi maupun perencanaan bendung pada khususnya.
3.5.2. Pemilihan Lokasi Bendung
Penentuan serta pemilihan lokasi bendung didasarkan pada hal-hal sebagai berikut:
 Diusahakan sedapat mungkin lebih ke hulu, agar bendung tidak terlalu tinggi, namun
harus mengingat juga panjang saluran primer yang akan diperlukan supaya tidak terlalu
panjang.
 Dipilih lokasi bendung pada ruas sungai relatip lurus, sempit dan dengan penampang
yang relatip konstan serta kedua tanggulnya stabil. Hal ini mencerminkan bahwa sungai
itu sudah stabil dengan kondisi dasarnya yang sekarang.
 Kondisi geologi teknik, sangat berpengaruh terhadap kemantapan atau kestabilan dari
bangunan utama, terutama daya dukung tanah pondasi serta nilai kelulusan air tanah
bawah (koefisien permeability tanah bawah).
 Kondisi topografi, sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan konstruksi dan biaya
pelaksanaannya. Selain harus cukup tempat yang tersedia di tepi sungai untuk membuat
kompleks bangunan utama termasuk kantong lumpur dan bangunan-bangunan penguras
serta bangunan pengambilan saluran primer. Juga harus diupayakan sedemikian hingga
beda antara volume galian dan timbunan tidak terlalu besar, sehingga pelaksanaannya
relatif mudah dan biayanya relatif murah.
 Metode pelaksanaan, harus dipertimbangkan juga dalam pemilihan lokasi bendung
karena akan sangat berpengaruh terhadap kelancaran pelaksanaan konstruksi dan biaya
pelaksanaannya. Namun demikian, yang utama dalam penentuan lokasi bendung adalah
kondisi-kondisi yang mendukung tercapainya kestabilan bendung secara keseluruhan,
kemudian baru diikuti dengan pertimbangan metode pelaksanaannya, dan bukan seba-
liknya.
3.5.3. Penentuan Elevasi Mercu Bendung
Elevasi mercu bendung yang diperlukan tergantung pada :
 Elevasi muka air yang diperlukan untuk irigasi.
 Beda tinggi energi pada kantong lumpur yang diperlukan untuk membilas sedimen dari
kantong lumpur.
 Beda tinggi energi pada bangunan pembilas yang diperlukan untuk membilas sedimen
dekat pintu pengambilan.
 Beda tinggi energi yang diperlukan untuk meredam energi pada kolam olak.
Guna menentukan elevasi muka air yang diperlukan untuk irigasi, maka tinggi, kedalaman air
dan kehilangan tinggi energi berikut harus dipertimbangkan :
 Elevasi sawah tertinggi yang akan diairi.
 Kedalaman air di sawah.
 Kehilangan tinggi energi di saluran dan boks kwarter.

LAPORAN PENDAHULUAN 24
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

 Kehilangan tinggi energi di saluran dan boks tersier.


 Variasi muka air untuk exploitasi di jaringan primer/sekunder. - Panjang dan kemiringan
saluran primer/sekunder.
 Kehilangan tinggi energi pada bangunan-bangunan di jaringan primer/sekunder.
 Kehilangan tinggi energi pada pintu pengambilan saluran primer.
 Panjang dan kemiringan kantong lumpur.
 Kehilangan tinggi energi pada pintu pengambilan utama.
 Kehilangan tinggi energi akibat eksploitasi.
Apabila perencanaan detail sudah dilakukan maka data elevasi muka yang sudah
ditentukan/dihitung oleh perencana bisa langsung digunakan, dengan menambahkan
faktor-faktor asumsi kehilangan tinggi energi mulai dari pintu pengambilan saluran primer
hingga ke bangunan utama. Tetapi apabila perencanaan detail belum dilakukan, maka
terlebih dahulu harus dibuat perhitungan-perhitungan serta asumsi-asumsi seperti tersebut
diatas berdasarkan kriteria-kriteria yang sudah umum digunakan di Indonesia.
3.5.4. Perencanaan Detail Bangunan Utama
3.5.4.1 Lebar Tubuh Bendung
Lebar tubuh bendung adalah jarak antara pangkal-pangkalnya (abutment), sebaiknya sama
dengan lebar rata-rata sungai pada bagian yang stabil atau lebar maksimumnya hendaknya
tidak lebih dari 1,2 kali lebar rata-rata. Untuk menghindari kesulitan menentukan lebar
rata-rata antara ruas bawah dan ruas atas, banjir rata-rata (mean) tahunan dapat diambil
untuk menentukan lebar efektif mercu bendung yang diperlukan. Lebar efektif mercu
bendung (Be) dapat dihubungkan dengan lebar tubuh bendung (B) seperti diperlihatkan
pada Gambar 2.2. Sedang persamaan untuk memperoleh lebar efektif adalah sebagai
berikut :
Be = B - 2 (n.Kp + Ka) H1
dengan :
Be= lebar efektif
B = lebar total bendung
n = jumlah pilar
Kp = koefisien kontraksi pilar
Ka = koefisien kontraksi pangkal bendung
H1 = tinggi energi (m)

Tabel METODOLOGI PELAKSANAAN PEKERJAAN.4 Harga-harga Ka dan Kp

No Uraian Kp

1. Untuk pilar berujung segi empat dengan sudut-sudut yang 0.02


dibulatkan pada jari-jari yang hampir sama dengan 0.1 dari
tebal pilar
2. Untuk pilarberujung bulat 0.01
3. Untuk pilar berujung runcing 0.00

LAPORAN PENDAHULUAN 25
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

Ka

1. Untuk pangkal tembok segi empat dengan tembok hulu pada 0.20
90° kearah aliran
2. Untuk pangkal tembok bulat dengan tembok hulu pada 0.10
90° kearah aliran dengan 0.5 H1 >r> 0.15 H1
3. Untuk pangkal tembok bulat dimana r > 0.5 H1 dan tembok 0.00
hulu tidak lebih dari 450 kearah aliran

Gambar METODOLOGI PELAKSANAAN PEKERJAAN.1 Lebar Efektif Mercu Bendung

Gambar METODOLOGI PELAKSANAAN PEKERJAAN.2 Tekanan pada mercu bendung


sebagai fungsi perbandingan H1/r

LAPORAN PENDAHULUAN 26
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

3.5.4.2 Mercu Bendung


Di Indonesia pada umumnya digunakan dua tipe mercu untuk bendung/pelimpah yaitu tipe
ogee dan tipe bulat. Kedua bentuk mercu tersebut dapat dipakai baik untuk kontruksi
bendung maupun pasangan batu atau bentuk kombinasi dari keduanya. Bendung dengan
mercu bulat memiliki harga koefisien debit yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
koefisien debit bendung ambang lebar. Pada sungai, ini akan memberikan keuntungan
karena bangunan ini akan mengurangi tinggi muka air hulu selama banjir. Harga koefisien
debit menjadi lebih tinggi karena lengkung stream-line dan tekanan negatif pada mercu.
Tekanan pada mercu adalah fungsi perbandi- ngan antara H1 dan r (H1/r). Untuk
menghindari bahaya kavitasi lokal, tekanan minimum pada mercu bendung yang terbuat dari
harus dibatasi sampai -4 m. Jika mercu terbuat dari pasangan batu tekanan dibatasi sampai
dengan -1. Gambar 2.3, tampak bahwa jari-jari mercu bendung pasangan batu akan berkisar
antara 0,3 sampai 0,7 kali H1 max. Dan untuk bendung beton dari 0,1 sampai dengan 0,7 kali
H1 max.
3.5.4.3 Peredam Energi
Aliran di atas bendung akan dapat menunjukan berbagai perilaku aliran di sebelah hilirnya.
Apabila yang terjadi adalah aliran tenggelam yaitu jika muka air hilir lebih tinggi dari 2/3 H 1 di
atas mercu, maka hal ini tidak akan menimbulkan masalah karena hanya dapat
menimbulkan sedikit riak gelombang di permukaan. Bila terjadi aliran tidak tenggelam dan
keadaan air di hilir kurang dari kedalam konyugasinya, maka akan timbul loncatan air ke
arah hilir yang akan menghempas bagian sungai yang tak terlindungi hal ini akan
menyebabkan terjadi penggerusan. Kondisi seperti ini diperlukan adanya bangunan peredam
energi.
Jika kedalaman konjugasi hilir dari loncatan air terlalu tinggi dibandingkan kedalaman air
normal hilir, atau kalau diperkirakan akan terjadi kerusakan lantai kolam yang panjang akibat
batu-batu besar yang terangkut lewat atas bendung, maka dianjurkan untuk dipakai peradam
energi yang relatif pendek tetapi dalam, seperti misalnya peredam energi tipe bak tenggelam
(sub merged Bucket/roller bucket).

Gambar METODOLOGI PELAKSANAAN PEKERJAAN.3 Peredam energi tipe


tenggelam

LAPORAN PENDAHULUAN 27
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

3.5.4.4 Pelindung Dasar Sungai di Hilir Bendung


Banyak kejadian menunjukkan bahwa bendung mengalami kerusakan akibat gerusan lokal
yang terjadi tepat di sebelah hilirnya dan kadang-kadang kerusakan ini diperparah lagi oleh
degradasi dasar sungai. Oleh karena itu untuk menggantisipasi dipandang perlu untuk
membuat konstruksi pelindung dasar sungai di hilir. Bangunan peredam energi terbuat dari
kontruksi yang kuat dan tahan lama dengan panjang tertentu sesuai rumus-rumus empiris
yang ada.
Berdasarkan hal tersebut, untuk pelindung dasar sungai di hilir Bendung Kr. Lhoong
direncanakan kontruksi blok-blok beton bertulang yang dicetak secara berangkai dan
menjadi satu kesatuan dengan lebar, panjang dan ukuran tertentu. Di dalamnya diisi dengan
lapisan ijuk, pasir, kerikil dan boulder dengan ukuran tertentu. Tujuannya agar tekanan air
dari bawah masih bisa menembusnya tanpa menyebabkan terbawanya material-material
halus dasar sungai yang bisa menyebabkan terjadinya penggerusan.
3.5.4.5 Lantai Hulu
Untuk memperkecil kemungkinan terjadinya erosi bawah tanah dan memperkecil gaya
angkat ke atas, maka jalur rayapan aliran yang melalui tubuh bendung perlu diperpanjang.
Salah satu cara yang relatif mudah pelaksanaannya dan murah biayanya adalah dengan
membuat lantai hulu dengan panjang tertentu. Gaya tekan ke atas dari bawah lantai akan
diimbangi berat konstruksi. Persyaratan terpenting adalah bahwa lantai ini kedap air,
demikian pula sambungnya dengan tubuh bendung. Sifat kedap air ini dapat dicapai dengan
foil plastik atau lempung kedap air (puddle clay) di bawah lantai dan sekat karet (Rubber
Water Stop) yang menghubungkan lantai dan tubuh bendung.
3.5.4.6 Bangunan Pengambilan Utama & Pembilas Utama
Bangunan pengambilan utama dilengkapi dengan pintu, begitu pula dengan bangunan
pembilas utama yang juga diberi pintu, guna mencegah terjadinya sedimentasi di depan
pintu pengambilan utama. Debit yang digunakan untuk desain pintu harus
sekurang-kurangnya 120 % dari kebutuhan pengambilan (Diversion Requirement) guna
menambah fleksibilitas dan agar dapat memenuhi kebutuhan yang tinggi selama umur
proyek
3.5.4.7 Bangunan Penguras
Pengalaman yang diperoleh dari banyak bendung dan pembilas yang sudah dibangun, telah
menghasilkan beberapa pedoman menentukan lebar pembilas:
 Lebar pembilas ditambah tebal pilar pembagi sebaiknya sama dengan 1/6 - 1/10 dari
lebar bersih bendung (jarak antara pangkal-pangkalnya), untuk sungai-sungai yang
lebarnya kurang dari 100 m.
 Lebar pembilas sebaiknya diambil 60% dari lebar total pengambilan termasuk
pilar-pilarnya.
 Pintu pada pembilas dapat direncana dengan bagian depan terbuka atau tertutup. Pintu
dengan bagian depan terbuka memiliki keuntungan-keuntungan berikut :
 Ikut mengatur kapasitas debit bendung, karena air dapat mengalir melalui pintu-pintu
yang tertutup selama banjir.
 Pembuang benda-benda terapung lebih mudah, khususnya bila pintu dibuat dalam dua
bagian dan bagian atas dapat diturunkan.

3.5.5. Perencanaan Kantong Lumpur


Meskipun telah ada usaha untuk mencegah masuknya sedimen ke dalam jaringan irigasi

LAPORAN PENDAHULUAN 28
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

dengan merencanakan pembilas utama di depan pintu pengambilan utama, namum masih
ada partikel- partikel sedimen layang (Suspended Load) yang akan masuk ke dalam jaringan
saluran irigasi tersebut. Untuk mencegah agar sedimen layang ini tidak mengendap di
seluruh saluran irigasi, setelah bangunan pengambilan utama direncanakan dibuat kantong
lumpur.

Gambar METODOLOGI PELAKSANAAN PEKERJAAN.4 Tipe Bangunan Pengambilan


dan Pembilas

LAPORAN PENDAHULUAN 29
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

Gambar METODOLOGI PELAKSANAAN PEKERJAAN.5 Tipe Bangunan Pembilas


Pembilas Samping

Gambar METODOLOGI PELAKSANAAN PEKERJAAN.6 Tipe pembilas Bawah (Under


Sluice)

LAPORAN PENDAHULUAN 30
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

Gambar METODOLOGI PELAKSANAAN PEKERJAAN.7 Tipe Tata Letak Kantong


Lumpur

Gambar METODOLOGI PELAKSANAAN PEKERJAAN.8 Tata letak kantong lumpur


dengan saluran primer berada pada trase yang sama dengan kantong lumpur
Untuk menampung menampung endapan sedimen ini, dasar dari pada ruas saluran tersebut
akan diperdalaman dan diperlebar. Tampungan endapan ini akan dibersihkan tiap jangka
waktu tertentu dengan cara menguras sedimen kembali ke sungai dengan aliran
terkonsentrasi yang berkecepatan tinggi > 1,5 m/det. sedangkan pada saat eksploitasi
normal, kecepatan di kantong lumpur harus cukup rendah < 0,40 m/det agar sedimen layang
dapat diendapkan.
3.5.6. Bangunan Penguras Dan Saluran Penguras
Pada saat menguras endapan sedimen di kantong lumpur, maka aliran beserta endapan ini
akan melalui bangunan penguras dan saluran penguras. Pada saat itu pintu pengambilan
saluran primer ditutup dan pintu pada bangunan penguras dibuka. Selama operasi
pengurasan berlangsung, dianjurkan agar aliran pada bangunan penguras direncanakan
sebagai aliran bebas, sehingga pengurasan tidak akan terpengaruh oleh tinggi muka air di
hilir penguras itu sendiri. Sebagai pedoman untuk merencanakan agar elevasi muka air
pengurasan di bangunan penguras tidak terganggu oleh tinggi muka air di hilir saluran
penguras, dapat diambil acuan bahwa elevasi muka air pengurasan di bangunan penguras
harus lebih tinggi dari elevasi muka air sungai pada Q 1/5. Dimana Q 1/5 adalah debit yang
memiliki probabilitas untuk disamai atau dilampaui 5 kali dalam setahun dan Hs adalah
tinggi energi di saluran penguras pada saat dilakukannya operasi pengurasan.
Kecepatan aliran dalam saluran penguras sebaiknya direncanakan berkisar antara 1,50
sampai 2,00 m/det, agar tidak ada sedimen yang tersisa di saluran penguras tersebut.
Pengalaman telah menunjukkan bahwa perencanaan yang didasarkan pada kemungkinan
pengurasan dengan menggunakan muka air sungai dengan periode ulang lima kali pertahun

LAPORAN PENDAHULUAN 31
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

akan memberikan hasil yang cukup memadai.


3.5.7. Bangunan Pengambilan Saluran Primer
Pengambilan dari kantong lumpur ke saluran primer digabung menjadi satu bangunan
dengan bangunan penguras agar seluruh panjang kantong lumpur dimanfaatkan. Puncak
ambang dari bangunan pengambilan ini harus lebih tinggi dari batas maksimum endapan
kantong lumpur agar supaya lumpur tidak ikut mengalir masuk ke saluran irigasi.
3.5.8. Bangunan Ukur
Bangunan ukur diperlukan untuk mengetahui/mengukur besarnya debit yang masuk ke
saluran primer. Pada dasarnya fungsi mengatur dan sekaligus mengukur debit yang lewat
bisa dilakukan oleh pintu sorong yang ada di pengambilan utama, pengambilan saluran
primer maupun di bangunan penguras. Untuk ketelitian dan kalibrasi pintu sorong di
pengambilan saluran primer, sehingga bisa mengalirkan debit yang besarnya benar-benar
mendekati debit rencana ke saluran primer, maka dipandang perlu untuk merencanakan satu
bangunan ukur lagi di hilir bangunan pengambilan saluran primer. Alat ukur debit yang
mempunyai ketelitian cukup tinggi untuk debit-debit yang cukup besar serta mudah di dalam
pengoperasiannya adalah alat ukur ambang lebar (Meet Drempel).
3.5.9. Tinjauan Stabilitas Bendung
Bangunan pengambilan utama/intake yang berupa ambang , perkuatan lereng hulu hilir
dengan pasangan, konstruksi pintu operasi maupun tempat perletakkan harus stabil
terhadap guling, geser daya dukung tanah pondasi, dan terhadap bahaya rayapan. Oleh
karena itu perlu dilakukan analisa stabilitas bangunan terhadap potensi-potensi bangunan
terhadap bahaya guling, geser, daya dukung tanah dan terhadap bahaya reyapan dalam
berbagai keadaan pembebanan. Perhitungan stabilitas tersebut dapat dihitung dengan
menggunakan metode sebagai berikut:
A. Terhadap geser
Dihitung dengan menggunakan rumus :
Sf = (V.f)/ H
dengan:
Sf = faktor keamanan
V = jumlah gaya vertikal (ton)
H = jumlah gaya horisontal (ton)
f = koefisien geser antara dasar konstruksi dan tanah pondasi
B. Terhadap guling
Dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
e = B/2 – (MV-MH)/ V  < B/6 (pembebanan tetap)
< B/3 (pembebanan sementara)
Sf = MV/ MH > 1,5 pembebanan tetap
> 1,2 pembebanan sementara
dengan:
e = eksentrisitas (m)
B = lebar dasar konstruksi (m)
MV = Jumlah momen vertikal (ton m)

LAPORAN PENDAHULUAN 32
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

MH = Jumlah momen horisontal (ton m)


V = Jumlah gaya vertikal
Sf = faktor keamanan
C. Terhadap daya dukung tanah
Dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Jika nilai eksentrisitasnya e < B/6 maka :
 = V/B. (1  6e/B)
Jika nilai eksentrisitasnya e>B/6
 V 
4  
q1, 2  .   2qult
 B  2e 
3  
dengan:
 = Tegangan tanah yang terjadi (ton/m2)
V = Gaya vertikal (ton)
B = lebar pondasi (m)
e = eksentrisitas (m)
D. Kontrol terhadap panjang rayapan
Perhitungan kontrol terhadap bahaya rayapan dapat dihitung atau digunakan metode
Lane sebagai berikut :
Ld
 Cd
H
dimana :
Ld = panjang jalur rayapan (m)
H = beda tinggi muka air
Cd = koefisien rayapan
Untuk bagian depan bangunan (apron), maka panjang apron dirumuskan :
4 H  ha 
ta  . fu
3   1
Dimana :
ta = panjang apron dari titik a (m)
H = beda tinggi muka air (m)
ha = beda tinggi muka air di titik a (m)
 = berat jenis air
fu = koefisien tekanan uplift
E. Gaya-gaya yang bekerja pada konstruksi
 Tekanan air statis
Pw = ½ . w. H2 . L
dengan:

LAPORAN PENDAHULUAN 33
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

Pw = tekanan air statis (ton)


w = berat jenis air (ton/m)
H = kedalaman air (m)
L = panjang konstruksi yang ditinjau (m)
 Gaya vertikal akibat berat konstruksi
Wc = c . V

dengan :
Wc = gaya vertikal (ton)
c = berat jenis bahan konstruksi (ton/m3)
V = volume konstruksi (m3)
 Gaya horisontal akibat gempa
He = kh . V
dengan:
He= gaya horisontal
V = gaya vertikal
kh = koefisien gempa
 Tekanan tanah aktif
Pa = ½ . ka. s .H2 .L
dengan:
Pa= tekanan tanah aktif (ton)
s = berat jenis tanah (ton/m3)
H = kedalaman tanah (m)
L = lebar konstruksi yang ditinjau (m)
ka = (1 - sin)/(1 + sin ) atau ka = tan2(45 -/2)
 = sudut geser dalam sedimen/tanah
 Tekanan tanah pasif
Ps = ½ . kp . e . H2 .L
dengan:
Pe= tekanan tanah (ton)
H = kedalaman tanah (m)
e = berat jenis tanah (ton/m3)
L = panjang konstruksi yang ditinjau
Kp= koefisien tekanan tanah pasif = 1/ka
 Tekanan Lumpur
Tekanan lumpur yang bekerja terhadap muka hulu bendung dihitung sebagai
berikut :

LAPORAN PENDAHULUAN 34
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

( 1 - sin ø )
Ps = 1/2 x s x h2 x
( 1 + sin ø )
dengan :
Ps = Gaya yang terletak pada 2/3 kedalaman dari atas lumpur yang bekerja
secara horizontal (ton).
s = Berat isi lumpur (t/m3)
h = Kedalaman lumpur (m)
ø = sudut geser dalam (derajat)
 Gaya Gempa
Faktor-faktor beban akibat gempa yang akan digunakan dalam perhitungan
stabilitas diambil dari peta yang diterbitkan oleh Litbang Pengairan Bandung pada
tahun 2000. Bila koefisien gempa sudah diperoleh dari perhitungan, maka faktor itu
harus dikalikan dengan berat sendiri bangunan dan dipakai sebagai gaya horizontal.
3.5.10. Tanggul
Perhitungan stabilitas tanggul biasanya dilakukan dengan metode irisan bidang luncur
bundar (slice methode on circular slip surface), metode Bishop atau metode Fellenius.
1. Metode irisan bidang luncur bundar
Andaikan bidang luncur bundar dibagi dalam beberapa irisan vertikal, maka faktor
keamanan dari kemungkinan terjadinya longsoran dapat diperoleh dengan
menggunakan keseimbangan sbb:
 C.l   N  U  Ne  tan  
Fs 
 T  Te 
 C.l   . A cos   e. sin    V  tan 

  . A sin   e. cos  
dengan :
Fs = faktor keamanan
N = Beban komponen vertikal yang timbul dari berat setiap irisan bidang luncur (=
.A.cos )
T = Beban komponen tangensial yang timbul dari berat setiap irisan bidang
luncur (.A.sin )
U = Tekanan air pori yang bekerja pada setiap irisan bidang luncur
Ne = Komponen vertikal beban seismis yang bekerja pada setiap irisan bidang
luncur (= e..A.sin )
Te = Komponen tangensial yang timbul dari berat setiap irisan bidang luncur (=
e..A.sin )
= Sudut gesekan dalam bahan yang membentuk dasar setiap irisan bidang
luncur
C = Angka kohesi bahan yang membentuk dasar setiap irisan bidang luncur
Z = lebar setiap irisan bidang luncur
e = Intensitas seismis horizontal

LAPORAN PENDAHULUAN 35
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

= Berat isi dari setiap bahan pembentuk irisan bidang luncur


A = Luas dari setiap bahan pembentuk irisan bidang luncur
= Sudut kemiringan rata-rata dasar setiap irisan bidang luncur
V = Tekanan air pori
2. Metode Fellenius
Dalam penyelesaian ini diasumsikan bahwa setiap irisan resultan gaya-gaya antar irisan
adalah nol. Penyelesaian tersebut meliputi penyelesaian ulang untuk gaya-gaya pada
setiap irisan yang tegak lurus terhadap dasar, yaitu :
N’ = W cos - ul
Kemudian faktor keamanan yang dinyatakan dalam tegangan efektif
c' La  tan  ' (W cos   ul )
Fs 
 W sin 
Komponen-komponen W cos  dan W sin  dapat ditentukan secara grafis untuk setiap
irisan. Alternatif lain,  dapat diukur dan dihitung. Jumlah permukaan keruntuhan coba-
coba harus dipilih untuk mendapatkan faktor keamanan yang minimum. Penyelesaian ini
menghasilkan perkiraan faktor keamanan yang lebih kecil.
Untuk suatu analisa menggunakan tegangan total, digunakan parameter-parameter cu
dan u dan nilai u = 0. Bila u = 0 faktor keamanannya adalah
cu La
Fs 
 W sin 
3. Metode Simplied Bishop

R
O
sin 

r
C
Gambaran secara grafis dari teori Simplied Bishop dapat dijabarkan dalam gambar
disamping, dengan asumsi bahwa resultante gaya pada sisi irisan adalah horisontal.
Sehingga persamaan
A
Keseimbangan Bgaya teori Simplied Bishop adalah sebagai
berikut :
Sec
Fs 
1
  
 C ' b  W 1  ru tan  
 W sin   tan   tan  
1  
 Fs 
Dalam analisa stabilitas lereng tanggul banjir, perhitungan stabiltas ditinjau tiga kondisi
yang tidak menguntungkan, yaitu:
 Kondisi kosong
 Kondisi muka air normal

LAPORAN PENDAHULUAN 36
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

 Kondisi Muka air maksimum (banjir)


 Kondisi penurunan muka air secara tiba-tiba (rapid draw down)
Keempat kondisi tersebut akan di analisa dalam kondisi tanpa gempa dan kondisi
gempa.
Batas angka keamanan (safety factor) minimum dalam analisis stabilitas lereng
berdasarkan faktor keamanan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI), yaitu:
Kondisi I : Kondisi kosong dengan gempa Fs = 1,2
Kondisi kosong tanpa gempa Fs = 1,5
Kondisi II : Kondisi normal dengan gempa Fs = 1,2
Kondisi normal tanpa gempa Fs = 1,5
Kondisi III : Kondisi banjir tanpa gempaFs = 1,5
Kondisi IV : Kondisi penurunan tiba-tiba dengan gempa Fs = 1,1
Kondisi penurunan tiba-tiba tanpa gempaFs = 1,2
Untuk memperoleh angka kemanan (safety factor) yang paling minimum perlu beberapa
kali iterasi dalam beberapa koordinat dan radius untuk itu perlu bantuan perangkat lunak
(software) untuk mempermudah dan mempercepat itersi yaitu dengan menggunakan
program komputer untuk menghitung stabilitas lereng yaitu dengan program Pslope.
3.5.11. Analisa Struktur
Analisa struktur sangat berguna untuk mengetahui dan menghitung kekuatan struktur
berdasarkan berbagai kondisi pembebanan yang mungkin terjadi pada struktur tersebut,
terutama pembebanan-pembebanan yang dianggap paling kritis misalnya pembebanan pada
kondisi ektrim dengan gempa. Dalam perhitungan struktur beton bertulang dalam
perencanaan ini digunakan metode SK. SNI T-15-1991-03 Departemen Pekerjaan Umum RI
yang didasarkan atas ACI Building Code dengan menggunakan ACI 318M-83.
Analisa berdasarkan acuan diatas dapat digolongkan dalam beberapa komponen struktur
dalam perencanaan, yaitu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Perencanaan Penulangan Balok
Dalam Perencanaan Penulangan Balok Perlu diketahui/ditentukan :
1. Propertis dari material meliputi :
 Mutu beton fc’
 Mutu baja fy
 Dimensi balok : lebar (b) dan tinggi (h)
2. Pembebanan
 Momen pada tumpuan bisa terjadi momen positif dan negatif dan momen lapangan
pada pembebanan paling kritis (Mu)
 Gaya geser terbesar akibat akibat pembebanan paling kritis (Vu).
 Gaya aksial.
Analisa Tulangan Balok
Mu
Mn = KNm.

LAPORAN PENDAHULUAN 37
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

Mn
Rn = Mpa.
b.d 2
fy
In =
0,85. fc '

1  2.Rn .m 

  1 1
m fy 

Kontrol
1,4
 min 
fy
0,85. fc'. 600
 max  0,75. b. ; b = .
fy 600  fy

bila perlu > max  Penampang diperbesar. Bila sebaliknya penampang memenuhi
Asperlu = . b.d.

Analisa Penulangan Geser


Kuat geser balok:
1
Vc = Fc'.b.d KN.
6
Vn > Vc  Perlu tulangan geser dan bila sebaliknya maka tidak diperlukan tulangan
geser
Kebutuhan Tulangan Geser:
Vs = Vn - Vc
Jarak antar Sengkang (S):
Av . fy.d
S= mm
Vs
Perencanaan Penulangan Kolom
Dalam Perencanaan Penulangan Balok Perlu diketahui/ditentukan :
1. Propertis dari material meliputi :
 Mutu beton fc’
 Mutu baja fy
 Dimensi balok : lebar (b) dan tinggi (h)
2. Pembebanan
 Momen yang terjadi pada kolom pada pembebanan paling kritis (M1 dan M2)
 Gaya geser terbesar akibat akibat pembebanan paling kritis (Vu).
 Gaya aksial (Pu).

Analisis Tulangan Longitudinal

LAPORAN PENDAHULUAN 38
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

Angka kelangsingan kolom


K.Lu
; dimana. k = 1  untuk jepit-jepit dengan gerak lateral.
r
K .Lu
 22  Panjang kolom diperhitungkan.
r

Perhitungan pembesaran momen.


M 1d
d =
M1
1
Iq = .b.h 3
12
Ec.Iq
EI =
2,5(1   d )

 2 .E.I
Pc =
 k .Lu  2
M1
Cm = 0,6 + 0,4.
M2
Cm
b 
Pu
1
.Pc
1
s 
 Pu
1
  Pc
Mu = b x M2
Mu
e = m.
Pu
Pu
. Agr.o,85. fc'
didapat: r
Pu e
x 
. Agr.0,85. fc '  h 

berdasarkan fc’  
=rx
As = . b. d

Analisa Tulangan Geser


1
Vc = . fc '.b.d
6

LAPORAN PENDAHULUAN 39
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

Vu
Vn = KN

Vn < Vc  dipakai tulangan geser minimum.
Jarak antar tulangan geser (D10); s = 1/2 x d
Perencanaan Penulangan Plat
MU
k= Mpa.
.b.d 2
Dari nilai k  
1,4
Kontrol terhadap  min 
fy

Jika  > min maka


As = .b.d.
As perlu
n=
As
d
Jarak antar tulang. s = mm.
n 1
Dalam perencanaan struktur dalam pekerjaan ini digunakan bantuan aplikasi program
STAAD Pro/STAAD III for Windows versi 3.1 didasarkan atas ACI Building Code dengan
menggunakan ACI 318M-83.
3.5.12. Alinemen Saluran Pembawa Dan Pembuang
Alinemen trase saluran diperlukan untuk memudahkan penerapan trase saluran rencana di
lapangan (setting out) pada saat pelaksanaan konstruksi. Penarikan alinemen saluran
didasarkan pada situasi trase saluran hasil strip survey dengan skala 1 : 2.000.
Rumus yang dipakai :
T 
 = arc tan (sx/sy)
PP
PL=  / 360 x 2  R P
T
PL= tan (/2) x R S
P
D = (sx2 + sy2) T T
L
dengan : M 1 A
R
Q = sudut jurusan (azimuth) /2

sx = x2 - x1 = selisih absis, m
sy = y2 - y1 = selisih ordinat, m
PL= panjang lengkung
PT= panjang tangen
D = jarak antar titik potong
a = selisih azimuth
R = jari-jari lengkung
Lengkung yang diizinkan untuk saluran tanah bergantung pada:

LAPORAN PENDAHULUAN 40
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

 Ukuran dan kapasitas saluran


 Jenis tanah
 Kecepatan aliran.
Jari-jari minimum yang diizinkan untuk saluaran tanah adalah 8 kali lebar atas pada lebar
permukaan air rencana. Sedangkan jari-jari minimum untuk lengkung saluran yang diberi
pasangan adalah sebagai berikut :
 Q < 0,6 m3/det, R = 3 x lebar muka air
 Q > 10 m3/det, R = 7 x lebar muka air
Khusus untuk saluran pembuang (saluran tanah), jari-jari minimum adalah 3 x lebar
dasar saluran. Kurang dari itu, talud tikungan luas harus diberi pasangan.
3.5.13. Dimensi Saluran
Dimensi saluran dihitung dengan persamaan Strickler di bawah ini :
Q = AxV
V = K x R2/3 x I0.5
Dengan :
Q = debit rencana saluran, m3/dt
V = kecepatan aliran, m/dt
K = angka kekasaran dari Strickler, m1/3/dt
I = kemiringan saluran
R = jari-jari hidraulis, m
= A/ P
A = luas penampang basah hidraulis, m2
= (b + m h) h
b = lebar dasar saluran, m
m = kemiringan dinding saluran, 1 : m
h = kedalaman air, m
P = keliling basah hidraulis, m
= b + 2h (1 + m2) ½
Koefisien Kekasaran Strickler
Besarnya Koefisien Kekasaran Strickler tergantung pada faktor-faktor berikut :
 Kekasaran permukaan saluran
 Ketidakteraturan permukaan saluran
 Trace
 Vegetasi (tetumbuhan)
 Sedimen
Besarnya Koefisien Kekasaran Strickler berdasarkan besar debit disajikan secara lengkap
pada tabel berikut

LAPORAN PENDAHULUAN 41
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

Tabel METODOLOGI PELAKSANAAN PEKERJAAN.5 Harga-harga Kekasaran Koefisien


Strickler (Saluran Tanah)
Debit rencana K
(m3/dt) (m1/3/dt)
Q>1 45
5 < Q < 10 42.5
1<Q<5 40
Q < 1 dan saluran tersier 35
Sumber : Standart Perencanaan Irigasi, KP-03, halaman 26

Untuk saluran pasangan (lining), besarnya koefisien Strickler adalah :


 pasangan batu = 60 m1/3/dt
 pasangan beton = 70 m1/3/dt
 tanah = 35 - 45 m1/3/dt
 besi = 85 m1/3/dt
Untuk saluran dengan kombinasi berbagai macam bahan pasangan, kekasaran
masing-masing permukaan akan berbeda-beda (bervariasi). Koefisien kekasaran campuran
dihitung dengan rumus berikut :
2
 P 
3
2
K  P 3   1i .5 
 Ki 
dengan :
K = Koefisien kekasaran Strickler untuk potongan melintang
P = Keliling basah, m
Pi = Keliling basah bagian i dari potongan melintang, m
Ki = Koefisien kekasaran bagian i dari potongan melintang

Tinggi Jagaan
Tinggi jagaan berguna untuk :
 Menaikkan muka air di atas tinggi muka air maksimum
 Mencegah kerusakan tanggul saluran
Besarnya tinggi jagaan untuk saluran tanah dan pasangan disajikan secara lengkap pada
tabel berikut.

LAPORAN PENDAHULUAN 42
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

Tabel METODOLOGI PELAKSANAAN PEKERJAAN.6 Tinggi Jagaan


Tinggi Jagaan
Debit Rencana (m)
m3/dt saluran
saluran tanah tanggul
pasangan
< 0.5 0.20 0.40 0.40
0.5 - 1.5 0.50 0.20 0.50
1.5 - 5.0 0.60 0.25 0.60
5.0 - 10.0 0.75 0.30 0.75
10.0 - 15.0 1.00 0.50 1.00
Sumber : Standart Perencanaan Irigasi, KP-03, hal. 27 & 43

3.5.14. Bangunan Bagi Dan Sadap


Bangunan bagi atau sadap berfungsi untuk membagi air dari saluran induk/sekunder ke
saluran sekunder atau saluran tersier. Bangunan bagi terdiri dari pintu-pintu yang dengan
teliti mengukur dan mengatur air yang mengalir ke berbagai saluran. Salah satu dari pintu
tersebut berfungsi sebagai pintu pengatur muka air, sedangkan pintu lainnya berfungsi untuk
mengukur debit sesuai dengan besarnya kebutuhan. Pada umumnya pintu pengatur muka
air dipasang pada saluran terbesar sedangkan alat pengukur debit dipasang pada
saluran-saluran yang lebih kecil.
Bangunan Sadap Sekunder dan Tersier
Bangunan sadap sekunder akan memberi air ke saluran sekunder dan oleh sebab itu
melayani lebih dari satu petak tersier. Kapasitas bangunan sadap ini lebih dari 0,250 m 3/dt.
Ada tiga tipe bangunan yang dapat dipakai untuk bangunan sadap sekunder yaitu:
 Alat ukur Romijn
 Alat ukur Crump de Cruyter
 Pintu aliran bawah dengan alat ukur ambang lebar
Bangunan sadap tersier akan memberi air ke petak-petak tersier. Kapasitas bangunan sadap
ini berkisar antara 50 lt/dt sampai 250 lt/dt. Sama halnya dengan bangunan sadap sekunder,
bangunan sadap tersier dapat menggunakan tipe bangunan seperti alat Ukur Romijn atau
alat Ukur Crump de Cruyter.
Di dalam pelaksanaan detail desain jaringan utama pada Daerah Irigasi Balum dipilih alat
ukur tipe C yaitu pintu aliran bawah dengan alat ukur ambang lebar. Hal yang menjadi
pertimbangan dipilihnya tipe ini karena selain lebih ekonomis, tipe ini lebih mudah
pengoperasiannya.
Pipa Sadap Sederhana
Untuk bangunan sadap tersier yang mengambil air dari saluran primer/sekunder yang besar,
dimana pembuatan bangunan pengatur akan sangat mahal dan muka air yang diperlukan di
petak tersier relatif lebih rendah dibanding elevasi muka air di saluran pada kondisi debit
rendah, akan menguntungkan untuk memakai bangunan sadap pipa sederhana dengan
pintu sorong sebagai bangunan penutup.

LAPORAN PENDAHULUAN 43
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

Pipa sederhana berupa sebuah pipa yang terbuat dari buis beton dengan diameter standar
0.15, 0.20, 0.30, 0.40, 0,50 atau 0,60 yang bisa ditutup dengan pintu sorong. Aliran melalui
bangunan ini tidak dapat diukur tapi dibatasi sampai debit maksimum, yang bergantung
kepada diameter pipa dan beda tinggi energi. Untuk bangunan-bangunan yang mengalirkan
air ke saluran tanpa pasangan, kecepatan maksimum di dalam pipa dibatasi 1,0 m/dt. Jika
bangunan itu mengalirkan air ke saluran pasangan, kecepatan maksimumnya mungkin
sampai 1,50 m/dt.
Karakteristik hidrolis aliran air yang melewati pipa sederhana dapat dilihat secara lengkap
pada Tabel A-2.5 Lampiran 2, Buku Standar Perencanaan Irigasi Bagian Bangunan (KP-04)
Halaman 212.
Plat Gorong-gorong atau Pelayanan
Sebagai penutup bangunan atau jembatan pengoperasian pintu, diperlukan plat
gorong-gorong atau plat pelayanan.
Plat ini terbuat dari konstruksi beton bertulang dengan mutu beton K-175 dan mutu baja
U-22. Dimensi plat beton dan pembesiannya, didasarkan pada standar plat atau jembatan
yang terdapat di Buku Standar Gambar Bangunan Irigasi BI-01 halaman 719.

3.5.15. Talang
Talang adalah saluran buatan yang dibuat dari pasangan beton, pasangan batu kali atau
kayu. Di dalamnya air mengalir dengan permukaan bebas, dibuat melintasi lembah, saluran
pembuang, saluran irigasi, sungai, jalan raya atau rel kereta api.
Potongan melintang bangunan tersebut ditentukan oleh nilai banding b/h di mana b adalah
lebar bangunan dan h adalah kedalaman air. Nilai banding dari b dan h adalah berkisar
antara 1 sampai 3 yang menghasilkan potongan melintang hidraulis paling ekonomis.
Kecepatan air di talang harus lebih tinggi dari kecepatan di potongan saluran biasa. Hal ini
dimaksudkan agar tidak terjadi proses pengendapan sedimen pada bangunan tersebut.
Tetapi kemiringan dan kecepatan dipilih sedemikian rupa sehingga tidak akan terjadi
kecepatan superkritis atau mendekati kritis, kerena aliran ini cenderung sangat tidak stabil
(Fr > 0.7) . Untuk nilai banding potongan melintang yang ekonomis memberikan kemiringan
maksimum = 0.002.
3.5.16. Gorong-Gorong Pembuang
Gorong-gorong pembuang diperlukan apabila jalur trase saluran yang direncanakan
melintasi saluran pembuang (alur). Aturan dasar dalam menentukan lokasi gorong-gorong
adalah memanfaatkan saluran alamiah yang pola limpasan air (run off) aslinya sedikit
terganggu.
Gorong-gorong sebaiknya melewati bawah saluran dengan ruang bebas (clearance) 0.60 m
untuk saluran tanah atau 0.30 m untuk saluran pasangan. Ada beberapa tipe gorong-gorong
pembuang yaitu :
 Pipa beton bertulang
 Pipa beton tumbuk diberi alas beton
 Pasangan batu dengan dek beton bertulang
 Bentuk boks segi empat dari beton bertulang yang dicor di tempat.
Bila dipakai tipe pipa beton, maka harus dipasang sambungan paking (gasket) karet untuk
mencegah kebocoran, kalau tidak pipa itu sebaiknya diberi koperan pada setiap bagian
sambungan. Dalam perencanaan untuk gorong-gorong pembuang di Daerah Irigasi Balum
akan direncanakan menggunakan tipe pasangan batu dengan dek beton bertulang. Hal ini

LAPORAN PENDAHULUAN 44
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

disebabkan karena tipe ini banyak digunakan dan lebih mudah pengerjaannya.
Debit rencana yang melalui gorong-gorong didasarkan pada luas tangkapan (cathment area)
dari saluran pembuang/alur yang ada dan besarnya curah hujan harian dengan prosentase
terpenuhi sebesar 20 % (R1(5)).
Qd = 0.116 x ß x R1(5) x A0.92
dengan :
Qd = debit rencana, m3/dt
ß = koefisien limpasan air (=0.75)
R1(5) = curah hujan harian dgn kemungkinan terpenuhi 20%
A = luas tangkapan air, ha
3.5.17. Gorong-Gorong Pembawa
Gorong-gorong pembawa adalah bangunan yang dipakai untuk membawa aliran air (saluran
irigasi) melewati bawah saluran, jalan, dan lain-lain. Gorong-gorong mempunyai potongan
melintang yang lebih kecil dari pada luas basah saluran hulu maupun hilir. Sebagian dari
potongan melintang mungkin berada di atas muka air. Dalam hal ini gorong-gorong
berfungsi sebagai saluran terbuka dengan aliran bebas. Pada gorong-gorong aliran bebas,
benda-benda yang hanyut dapat lewat dengan mudah, tetapi biayanya umumnya lebih
mahal dibandingkan gorong-gorong tenggelam.
Untuk Daerah Irigasi Balum dipilih tipe gorong-gorong segi empat yang terbuat dari
pasangan batu kali dengan plat beton bertulang sebagai penutup di atasnya. Hal yang
menjadi pertimbangan dipilihnya tipe ini adalah karena gorong-gorong tipe ini sangat kuat
dan pembuatannya lebih mudah..

3.6. ALAT UKUR DEBIT


Bangunan alat ukur ambang lebar sangat sering digunakan karena bangunan ini kokoh dan
mudah dibuat. Karena biasa mempunyai berbagai bentuk mercu, bangunan ini mudah
disesuaikan dengan tipe saluran apa saja. Hubungan tunggal antara muka air hulu dan debit
mempermudah bacaan debit secara langsung dari papan duga, tanpa memerlukan tabel
debit.
Alat ukur ambang lebar adalah bangunan aliran atas (overflow), untuk ini energi hulu lebih
kecil dari panjang mercu. Karena pola aliran diatas alat ukur ambang lebar dapat ditangani
dengan teori hidraulika yang sudah ada sekarang, maka bangunan ini mempunyi bentuk
yang berbeda-beda, sementara debitnya tetap serupa. Mulut pemasukan yang dibulatkan
pada alat ukur dipakai apabila konstruksi permukaan melengkung , ini tidak menimbulkan
masalah pelaksanaan, atau jika berakibat diperpendeknya panjang bangunan. Hal ini sering
terjadi bila bangunan dibuat dari pasangan batu.
Bangunan ambang lebar peralihan pelebaran digunakan jika energi kinetik diatas mercu
dialihkan kedalam energi potensial disebelah hilir saluran. Oleh karena itu kehilangan energi
harus dibuat sekecil mungkin. Kalibrasi tinggi debit pada alat ukur ambang lebar tidak
dipengaruhi oleh bentuk peralihan pelebaran hilir. Juga penggunaan peralihan masuk
bermuka bulat atau datar dan peralihan penyempitan tidak mempunyai pengaruh apa-apa
terhadap kalibrasi. Permukaan-permukaan ini harus mengarahkan aliran keatas mercu alat
ukur tanpa kontraksi dan pemisahan aliran. Aliran diukur diatas mercu datar alat ukur
horisontal.
Bentuk bentuk alat ukur ambang lebar yang biasanya sering dipakai adalah sebagai berikut :

LAPORAN PENDAHULUAN 45
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

Persamaan debit untuk alat ukur ambang lebar dengan bagian pengontrol segi empat adalah
sebagai berikut :
2 2 1.50
Q  C d Cv g bc  h1
3 3
dimana :
Q = debit (m3/dt)
Cd = koefisien debit
Cv = koefisien kecepatan datang
g = percepatan gravitasi (9.81 m/dt2)
bc = lebar mercu (m)
h1 = kedalaman air dihulu ambang bangunan ukur
Persamaan debit untuk alat ukur ambang lebar bentuk trapesium adalah sebagai berikut :

 
Q  Cd bc yc  mc   2 g  H1  yc  
2 0.50

dimana :
bc = lebar mercu (m)
yc = kedalaman air pada bagian pengontrol (m)
mc = kemiringan samping pada bagian pengontrol ( 1 : m)
Pemasangan papan duga untuk mengukur tinggi muka air di hulu ambang lebar (h 1) harus
diletakkan seperti pada gambar sebagai berikut :

LAPORAN PENDAHULUAN 46
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

3.7. SISTEM JARINGAN TERSIER


3.7.1. Umum
Perencanaan jaringan tersier dilaksanakan melalui beberapa tahapan sebagai berikut :
 Identifikasi dan inventarisasi jaringan irigasi yang ada, situasi dan pola tanam yang ada.
 Pembuatan lay out jaringan tersier berdasarkan hasil pengukuran Peta Situasi skala 1 :
2.000.
 Perencanaan pendahuluan.
 Pembuatan final perencanaan.
3.7.2. Kriteria Desain
Yang dimaksudkan jaringan tersier adalah seluruh saluran pembawa (tersier, sub tersier,
kwarter) dan seluruh saluran pembuang (tersier, kwarter) serta seluruh
bangunan-bangunannya. Bangunan air terbagi menjadi :
 Bangunan yang perlu untuk eksploitasi yaitu boks tersier, boks kwarter, alat-alat ukur
(bila perlu) dan bangunan pengatur.
 Bangunan pelengkap seperti gorong-gorong, talang, sifon, dan jembatan bangunan
terjun.
Lay Out Petak Tersier
Perencanaan teknis petak tersier harus menghasilkan perbaikan kondisi pertanian.
Masalah-masalah yang diperkirakan akan menghalangi tujuan ini harus dipelajari dan
dipertimbangkan dalam pembuatan lay-out dan perencanaan jaringan tersier.
Untuk menentukan lay-out tersier, aspek-aspek berikut akan dipertimbangkan :
 Luas petak tersier
 Kondisi medan
 Batas-batas petak tersier
 Jaringan irigasi yang ada
 Bentuk yang optimal
 Eksploitasi jaringan
Untuk membatasi seminimum mungkin pengurangan luas areal sawah akibat penggalian
saluran, maka ditentukan :
 Trase saluran sedapat mungkin menggunakan saluran-saluran yang ada, tetapi
dimensinya disesuaikan dengan perhitungan.
 Trase saluran yang direncanakan agar mengikuti/berimpit dengan pematang- pematang
sawah.
 Agar dihindarkan trase-trase saluran yang sejajar.
Berhubung para petani harus mengelolah dan memelihara sendiri jaringan tersier, maka

LAPORAN PENDAHULUAN 47
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

kebutuhan untuk eksploitasi dan pemeliharaan akan dibuat minimum. Pembagian air harus
adil, seimbang dan efisien.
Pembagian Petak Yang Ideal
Di dalam pembagian petak tersier, akan diusahakan agar setiap pemilikan sawah
mempunyai pengambilan sendiri dan pembuangan kelebihan air langsung ke jaringan
pembuang. Tetapi tidak semua petak tersier yang direncanakan mempunyai kondisi
demikian. Terkadang sering dijumpai kondisi dimana pengaturan air sangat sulit yang
menyebabkan efisiensi penggunaan air tinggi. Untuk menghadapi hal tersebut perlu adanya
perencanaan untuk mencapai karakteristik petak yang ideal, yaitu :
 Pembagian air yang proposional dengan boks bagi yang dilengkapi pintu guna
memungkinkan pembagian air secara berselang seling ke petak-petak kwarter.
 Pemberian air ke petak melalui saluran tersier dan dibuang melalui saluran pembuang
kwarter.
 Jalan petani dibuat sepanjang jalan saluran kwarter.
 6 - 8 dari pemilikan sawah yang ada diorganisasi menjadi jalur-jalur/strip
Ukuran dan Bentuk Petak Tersier dan Kwarter
Ukuran petak tersier tergantung kepada ukuran luas, biaya pelaksanaan pembuatan jaringan
irigasi, jaringan pembuang dan bangunan-bangunannya juga, termasuk biaya eksploitasi dan
pemeliharaan. Luas yang ideal menurut pengalaman ialah petak dengan luas 50 ha sampai
75 ha tetapi apabila keadaan topografi yang tidak memungkinkan bisa mencapai 100 ha.
Bentuk yang optimal dari petak tersier adalah berbentuk bujur sangkar, hal ini disebabkan
apabila petak tersier berbentuk memanjang pembagian air akan menjadi sulit.
Untuk memudahkan pelaksanaan pembagian air, suatu petak tersier harus dibagi menjadi
unit yang lebih kecil yaitu petak kwarter, dimana ukuran luas optimal dari petak kwarter
adalah 8 - 15 ha. Selain memudahkan, juga efisiensi irigasi akan lebih tinggi mengingat
saluran-saluran yang direncanakan akan lebih pendek, sehingga kehilangan air di saluran
akan lebih sedikit dan pengaturan air akan lebih baik sesuai dengan kondisi tanaman. Suatu
petak sub tersier harus terdiri dari sekurang-kurangnya dua petak kwarter.
Tabel METODOLOGI PELAKSANAAN PEKERJAAN.7 Kriteria Pengembangan Petak
Tersier
No. Uraian Ukuran/Panjang
1. Ukuran Petak Tersier 50 – 75 ha
2. Ukuran Petak Kwarter 8 – 15 ha
3. Panjang Saluran Tersier < 1.500 m
4. Panjang Saluran Kwarter < 500 m
5. Jarak Petak antara sal. kwarter/pembuang < 300 m
Sumber : Standar Perencanaan Irigasi, KP - 05, 1986

Dimensi Saluran
Kapasitas rencana saluran tergantung pada luas petak yang diairi pada kebutuhan air
maksimum (air yang diperlukan masa pengolahan tanah). Pada saluran pembawa,
kebutuhan air maksimum ini terdiri dari kebutuhan air normal ditambah kehilangan air di
dalam jaringan tersier. Pada saluran pembuang kapasitas rencana ditentukan oleh hujan 5
tahun yang harus dibuang dalam dua hari (batas daya tahan padi).
Rumus :
Qmax = luas petak x kebutuhan air maksimum Qmin = ditentukan (l/det)

LAPORAN PENDAHULUAN 48
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

Dimensi Saluran Pembawa dan Pembuang


Dimensi saluran pembawa dihitung dengan menggunakan rumus Strickler, yaitu :
V = k x R2/3 x I0.5
Q = VxA

dengan :
Q = Debit rencana (m3/det)
V = Kecepatan aliran (m/det)
A = Luas penampang basah (m2)
k = Koefisien kekasaran (m1/3/det)
R = Jari-jari hidraulis (m)
I = Kemiringan dasar saluran
m = Kemiringan lereng (1:m)
= b/h
A = b.h + mh2
P = b + 2h(1 +m2)
R = A/P

Saluran Pembawa
Dibawah ini adalah beberapa kriteria untuk merencanakan saluran pembawa
(tersier/kuarter) :
 Lebar dasar minimum (bmin) = 0,30 m
 Tinggi jagaan minimum (wmin) = 0,20 m
 Kedalaman air disaluran diusahakan sama dengan lebar dasar saluran (h = b)
 Kemiringan lereng (m) = 1
 Koefisien kekasaran (k) = 70 untuk saluran tersier (k) = 30 untuk saluran kwarter
 Kecepatan aliran minimum (Vmin) = 0,10 (m/dt)
 Kecepatan maksimum (Vmaks) = 0,60 (m/dt), (tanpa pasangan)
 Kemiringan dasar saluran diusahakan sama dengan kemiringan medan (Isaluran = Imedan)
 Muka air dalam saluran tersier / sub tersier diusahakan supaya lebih rendah dari muka
tanah sawah di kanan kirinya
 Muka air dalam saluran kwarter minimum 0,15 m di atas muka tanah sawah yang diairi
 Lebar tanggul tersier = 0.50 m, kwarter = 0.40 m.

Saluran Pembuang
Beberapa kriteria untuk merencanakan saluran pembuang disajikan dalam tabel dibawah ini.

LAPORAN PENDAHULUAN 49
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

Tabel METODOLOGI PELAKSANAAN PEKERJAAN.8 Kriteria Perencanaan Saluran


Pembuang
Karakteristik Perencanaan Satuan Tersier Kwarter
Kecepatan maksimum m/dt 0.70 0.70
Kecepatan Minimum m/dt 0.45 0.45
Harga K m1/3/dt 30 25
Lebar dasar minimum m 0.5 0.3
Kemiringan Talud - 1:1 1:1
Sumber : Standart Perencanaan Irigasi, KP-03, 1986

3.7.3. Bangunan Tersier


Boks Bagi
Boks bagi dibangun di antara saluran-saluran tersier dan kwarter guna membagi-bagi air
irigasi ke seluruh petak tersier dan kwarter. Perencanaan boks bagi harus sesuai dengan
kebiasaan petani setempat dan memenuhi kebutuhan kegiatan eksploitasi di daerah yang
bersangkutan saat ini maupun kemungkinan pengembangan di masa mendatang. Boks bagi
harus mampu membagi air secara terus menerus (proposional) atau secara rotasi.
Pembagian air secara proposional dapat dicapai bila lebar bukaan proposional dengan luas
daerah yang akan diairi oleh saluran. Elevasi ambang dan muka air di atas ambang harus
sama untuk semua bukan pada boks.
Ada 2 macam jenis aliran yang mungkin terjadi di lubang boks, yaitu :
 Aliran Moduler yaitu aliran yang mana debitnya tidak dipengaruhi oleh muka air hilir pada
saluran . Untuk kondisi aliran ini, air irigasi dapat dengan mudah dibagi dengan
pemberian air secara terus menerus.
 Aliran Non Moduler yaitu yang mana debitnya sangat dipengaruhi oleh muka air hilir
pada saluran. Untuk kondisi aliran ini, air irigasi harus dibagi secara rotasi.
Untuk memperkecil kehilangan tinggi energi di boks bagi, dianjurkan untuk merencanakan
boks Aliran Non Moduluer dengan kehilangan tinggi energi sebesar 0,05 - 0,10 m. Untuk
aliran non moduler lebar bukaan hendaknya porposional dan ambang bukaan sama
elevasinya .
Ambang
Boks bagi dari pasangan batu direncanakan dengan rumus untuk ambang lebar.
Q = Cd Cv (2/3g) b h1,5
Q = Cd. 1,7 b h1,5
dengan :
Q = debit m3/dt
Cd= koefisien debit 0,85 (untuk 0,08  H1/L  0,35)
Cv= koefisien kecepatan 1,0
b = lebar ambang m
h = kedalaman air di hulu ambang m
g = percepatan grafitasi 1,8 m/dt2
L = panjang ambang m
H1 = tinggi energi di hulu ambang m
Bangunan Terjun
Bangunan terjun diperlukan bilamana kemiringan medan lapangan lebih curam dari pada

LAPORAN PENDAHULUAN 50
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

kemiringan saluran. Pada tempat-tempat tertentu perlu direncanakan bangunan terjun agar
letak saluran tidak menjadi terlalu tinggi. Dimensi bangunan terjun ditentukan oleh :
Z = Hhulu - Hhilir - I x L
Sedangkan untuk menghitung panjang kolam olak yang dibutuhkan digunakan formula :
L = C1(2.hc) + 0,25
C1 = 2,5 + 1,1 hc/z + 0.7(hc/z)3
hc = (q2/g)1/3
q = Q/(0,8.b1)
dengan :
L = Panjang kolam olakan yang dibutuhkan (m)
hc = Tinggi kritis diatas ambang terjun (m)
Q = Debit design (m3/dt)
B = Lebar ambang terjun (0,8 lebar dasar saluran)
z = Tinggi terjun (m)
q = Debit persatuan luas (m2/dt)
b1 = Lebar dasar saluran (m)
dalam perencanaan dimensi bangunan terjun rencana, diambil dari standar bangunan terjun
yang terdapat di Buku Standart Gambar Bangunan Irigasi BI - 01, hal 327, 1986.
3.7.4. Elevasi Muka Air
Elevasi muka air di saluran dan bangunan ditentukan dari elevasi sawah tertinggi dan terjauh
dengan ditambah kehilangan-kehilangan di saluran dan bangunan akibat kecepatan aliran
(gesekan).
Beberapa hal yang mempengaruhi besarnya elevasi muka air di bangunan bagi/sadap,
antara lain :
 Elevasi sawah tertinggi dan terjauh
 Kehilangan energi di boks tersier dan kuarter (10 cm)
 Kehilangan energi akibat gesekan di saluran kuarter dan tersier (tergantung pada
panjang dan kemiringan saluran)
 Kehilangan energi di bangunan pelengkap seperti gorong-gorong, bangunan terjun dan
bangunan lainnya
 Kehilangan energi di pintu sadap
Akibat kemiringan medan yang relatif terjal, elevasi muka air dipintu sadap tidak terlalu
menjadi kendala. Hal ini akibat perbedaan tinggi yang relatif besar antara bangunan sadap
dan elevasi sawah yang tertinggi/terjauh.

3.8. SISTEM JARINGAN PEMBUANG


3.8.1. Umum
Peningkatan produktifitas lahan bisa dicapai dengan pemberian air dalam waktu dan jumlah
tertentu. Apabila pada lahan tersebut terdapat air yang melebihi dari yang dibutuhkan, air
tersebut harus segera dibuang agar tidak sampai mengganggu pertumbuhan. Untuk

LAPORAN PENDAHULUAN 51
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

menanggulangi hal tersebut, diperlukan suatu sistem jaringan pembuang yang berfungsi
untuk membuang air kelebihan pada lahan tersebut.
Dalam perencanaan sistem pembuang, sedapat mungkin menggunakan saluran alam yang
ada. Tetapi bila perlu dapat ditambah dengan saluran pembuang yang baru. Pada saluran
alam perlu ditinjau kemampuan kapasitas pengalirannya. Apabila kapasitasnya tidak
mencukupi, maka kapasitas dari saluran alam tersebut harus ditingkatkan dengan cara
mendimensi lagi sesuai dengan kapasitas yang dibutuhkan.
3.8.2. Debit Rencana Saluran Pembuang
Pada jaringan irigasi teknis, saluran pembuang direncanakan untuk dapat mengalirkan debit-
debit berikut:
1. Debit Intern yang merupakan debit kelebihan dan atau sisa air irigasi dari petak-petak
sawah yang ada.
2. Debit Ekstern yang merupakan debit yang berasal dari luar daerah irigasi tersebut yang
harus dibuang.
Debit Intern
Kelebihan air dari petak-petak sawah disebabkan oleh :
 Hujan lebat
 Melimpahnya air irigasi atau buangan yang berlebihan dari jaringan primer atau sekunder
ke daerah tersebut
 Rembesan atau limpasan kelebihan air irigasi di dalam petak tersierJumlah kelebihan air
yang harus dikeringkan per petak disebut Modulus Pembuang atau koefisien pembuang.
Besarnya koefisien bergantung pada :
o Curah hujan selama periode tertentu
o Pemberian air irigasi pada waktu itu
o Kebutuhan air tanaman
o Perkolasi tanah
o Tampungan di sawah-sawah selama atau pada akhir periode yang bersangkutan
o Luasnya daerah
o Sumber-sumber kelebihan air yang lain
Limpasan pembuang permukaan selama n hari dinyatakan sebagai:
D(n) = R(n)T + n ( I - ET - P ) - S
dengan :
n = jumlah hari berturut-turut
D(n) = limpasan pembuang permukaan selama n hari, mm
R(n)T = curah hujan dalam n hari berturut-turut dengan periode ulang T tahun,
mm
I = pemberian air irigasi, mm/hari
ET = evapotranspirasi, mm/hari
P = perkolasi, mm/hari
S = tampungan tambahan, mm

LAPORAN PENDAHULUAN 52
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

Untuk perhitungan modulus pembuang, komponennya dapat diambil sebagai berikut:


 Dataran Rendah.
o Pemberian air irigasi I sama dengan nol (I = 0) jika irigasi dihentikan, atau
o Pemberian air irigasi sama dengan evapotranspirasi ET (I=ET) jika irigasi
diteruskan. Kadang-kadang pemberian air irigasi dihentikan di dalam petak
tersier, tetapi dari jaringan utama dialirkan ke dalam jaringan pembuang.
o Tampungan tambahan di sawah pada 150 mm lapisan air maksimum, tampungan
tambahan S pada akhir hari-hari berturutan n diambil maksimum 50 mm.
o Perkolasi P sama dengan nol (P = 0)
 Daerah Terjal
Seperti pada kondisi daerah rendah, tetapi dengan perkolasi (P) sama dengan 2
mm/hari.
Untuk modulus pembuang rencana, dipilih curah hujan 3 hari dengan periode ulang 5
tahun. Kemudian modulus pembuang tersebut dihitung dengan rumus:
D3
Dm 
3 x 8,64
dengan :
Dm = modulus pembuang, ltr/dt.ha
D(3) = limpasan pembuang permukaan selama 3 hari,mm
1 mm/hr = 1/8,64 ltr/dt.ha
Debit pembuang rencana dari sawah dihitung sebagai berikut:
Qi 1,62 Dm A0 ,92
dengan :
Qi = Debit rencana pembuang, liter/dt
Dm = Modulus pembuang, ltr/dt/ha
A = Luas daerah yang dibuang airnya, ha
 Debit Ekstern
Untuk pembuang sawah yang ditanami selain padi, ada beberapa daerah yang perlu
diperhatikan, yaitu:
o Daerah aliran sungai yang berhutan
o Daerah dengan tanaman-tanaman ladang
o Daerah pemukiman
Dalam merencanakan saluran-saluran pembuang untuk daerah- daerah dimana padi
tidak ditanam, ada dua macam debit yang perlu dipertimbangkan, yaitu:
o Debit puncak maksimum dalam jangka waktu pendek
o Debit rencana yang dipakai untuk perencanaan saluran
 Debit Puncak
Debit puncak untuk daerah-daerah yang dibuang airnya sampai seluas 100 km² dihitung
dengan rumus Der Weduwen.

LAPORAN PENDAHULUAN 53
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

Rumus tersebut adalah:


Q = qA

67.65 4.1
q   1
t  1.45 q7
t 1
120  A 0.476 A0.375
 t 9 t
120  A (q) 0.125 I 0.25

dengan,
Q = debit banjir rencana kala ulang t tahun (m3/det)
 = koefisien limpasan
 = koefisien reduksi
q = intensitas hujan yang diperhitungkan (m3/km2/det)
A = luas daerah aliran sungai (km2)
t = waktu konsentrasi (jam)
I = rerata kemiringan
L = panjang sungai (km)
 Debit Rencana
Debit rencana didefinisikan sebagai volume limpasan air hujan dalam waktu sehari dari
suatu daerah yang akan dibuang airnya yang disebabkan oleh curah hujan sehari di
daerah tersebut. Air hujan yang tidak tertahan atau merembes dalam waktu sehari,
diandaikan mengalir dalam waktu satu hari itu juga, ini menghasilkan debit rencana yang
konstant.
Debit rencana dihitung dengan rumus (USBR, 1973):
Qe  0,116  R(1) 5 A0, 92

dengan:
Qe = debit rencana, liter/dt
 = koefisien limpasan air hujan
R(1)5 = curah hujan sehari, dengan kemungkinan terpenuhi 20%
A = luas daerah yang dibuang airnya, ha
Koefisien limpasan air hujan () sangat tergantung pada jenis vegetasi penutup tanah
dari daerah yang bersangkutan. Besarnya koefisien ini disajikan pada Tabel sebagai
berikut :
Tabel METODOLOGI PELAKSANAAN PEKERJAAN.9 Koefisien Limpasan Air Hujan
Kelompok Hidrologi Tanah
Penutup Tanah
C D
Hutan lebat 0,60 0,70
Hutan tidak lebat 0,65 0,75
Tanaman ladang (terjal) 0,75 0,80
Sumber : Standar Perencanaan Irigasi KP-03, 70, 1986

LAPORAN PENDAHULUAN 54
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

Perencanaan dimensi saluran pembuang didasarkan pada debit rencana yang dihitung
dengan persamaan berikut ini:
Qd = Qi + Qe
dengan :
Qd = debit rencana, m3/dt

Qi = debit pembuang intern, m3/dt

Qe = debit pembuang ekstern, m3/dt

3.8.3. Kriteria Perencanaan Saluran Pembuang


Dimensi Saluran Pembuang
Dalam perhitungan dimensi saluran pembuang digunakan Rumus Manning sebagai berikut:
Q=AxV
A=(b+mh)h
V = 1/n x R2/3 x I0.5
R = A/P
P = b + 2h(1 + m²)0.5
dengan :
Q = debit rencana, m3/dt
A = luasan basah, m²
b = lebar dasar saluran, m
h = kedalaman air, m
m = kemiringan talud, 1 : m
V = kecepatan aliran air, m/dt
n = koefisien kekasaran Manning
R = jari-jari hidraulis, m
I = kemiringan dasar saluran
P = keliling basah, m
Kecepatan Aliran
Kecepatan dalam saluran pembuang direncanakan sedemikian rupa sehingga tidak akan
terjadi penggerusan pada saluran. Kecepatan ijin ini tergantung pada jenis saluran dan jenis
tanah. Untuk saluran dari bahan tanah, maka kecepatan dasar saluran seperti ditunjukkan
dalam Standar Perencanaan Irigasi Bagian Saluran KP-03.
Dimensi saluran pembuang direncanakan berdasarkan kecepatan dasar yang diijinkan.
Namum demikian pada akhir proses dimensi ini perlu dicek kembali besar kecepatan yang
terjadi. Kecepatan ini harus lebih kecil dari kecepatan maksimum yang diijinkan. Besarnya
kecepatan tersebut masing-masing sebagai berikut:
Vba = Vb x A
Vmax = Vb x A x B x C x D
dengan :

LAPORAN PENDAHULUAN 55
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

Vba = kecepatan dasar ijin, m/dt


Vmax = kecepatan maksimum yang diijinkan, m/dt
Vb = kecepatan dasar, m/dt
A = faktor koreksi angka pori permukaan saluran
B = faktor koreksi untuk kedalaman air
C = faktor koreksi untuk lengkungan
D = faktor koreksi periode ulang debit saluran

Koefisien Kekasaran Manning


Koefisien kekasaran Manning ditentukan oleh bentuk dan morfologi saluran pembuang.
Penampang saluran/alur dan sungai yang terdapat di Daerah Irigasi Beutong berpenampang
tidak beraturan. Besarnya angka koefisien Kekasaran Manning dalam hal ini diambil
sebesar 0.025 sampai dengan 0.03 (saluran tidak beraturan).
Kemiringan Talud Saluran Pembuang
Kemiringan talud saluran pembuang sangat dipengaruhi oleh bentung potongan melintang
saluran dan jenis tanah pembentuk saluran. Kemiringan talud untuk berbagai kedalaman air
disajikan secara lengkap pada pada Tabel sebagai berikut.
Tabel METODOLOGI PELAKSANAAN PEKERJAAN.10 Kemiringan Talud Saluran
Pembuang
Kedalaman Galian D Kemiringan talud minimum
(m) (h/v)
D  1,0 1,00
1,0 < D  2,0 1,50
D > 2,0 2,00
Sumber : Standar Perencanaan Irigasi KP-03, 82, 1986

Kemiringan Rencana Dasar Saluran


Kemiringan rencana pada setiap dasar saluran pembuang direncanakan sedemikian rupa
sehingga akan menimbulkan kecepatan aliran yang masih dalam taraf tolerasi yang diijinkan.
Kemiringan dasar rencana pada umumnya direncanakan hampir sama atau lebih besar dari
kemiringan medan yang ada.
Tinggi Jagaan
Besarnya tinggi jagaan pada suatu saluran sangat dipengaruhi oleh besarnya debit yang
mengalir pada saluran tersebut. Besarnya tinggi jagaan untuk berbagai besaran debit
disajikan secara lengkap pada Tabel sebagi berikut :
Tabel METODOLOGI PELAKSANAAN PEKERJAAN.11 Tinggi Jagaan Saluran
Pembuang
Debit Q (m3/det) Tinggi Jagaan W (m)
0,5 – 1,5 0,5
1,5 – 5,0 0,6
5,0 – 10,0 0,75
10,0 – 15,0 0,85
15,0 < 1,00
Sumber : Standar Perencanaan Irigasi KP-03, 43, 1986

LAPORAN PENDAHULUAN 56
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

DAFTAR ISI

BAB 3. METODOLOGI PELAKSANAAN PEKERJAAN.................................3-1

3.1. PENGUMPULAN DATA SEKUNDER............................................3-1


3.2. PENGUKURAN TOPOGRAFI.......................................................3-2
3.2.1. PENGUKURAN POLIGON......................................................3-2
3.2.2. PEMASANGAN JARINGAN BENCHMARK (BM).......................3-3
3.2.3. PENGUKURAN SITUASI........................................................3-3
3.2.4. PENGUKURAN TRASE SALURAN (STRIP SURVEY).................3-4
3.2.5. PENGOLAHAN DATA............................................................3-4
3.3. ANALISIS HIDROLOGI.................................................................3-7
3.3.1. UMUM................................................................................3-7
3.3.2. ANALISA DATA HILANG DAN KONSISTENSI DATA..................3-8
3.3.3. PENYARINGAN DATA (DATA SCREENING).............................3-8
3.3.4. DEBIT ANDALAN................................................................3-10
3.3.5. KEBUTUHAN AIR IRIGASI....................................................3-11
3.3.6. NERACA AIR (WATER BALANCE).......................................3-15
3.3.7. ANALISA CURAH HUJAN RANCANGAN (DESIGN RAINFALL) 3-15
3.3.8. DEBIT BANJIR RENCANA (DESIGN FLOOD)........................3-19
3.4. ANALISIS HIDROLIKA................................................................3-20
3.4.1. KARAKTERISTIK SUNGAI....................................................3-20
3.4.2. LIKU DEBIT (RATING CURVE)............................................3-20
3.4.3. HIDROLIKA PINTU AIR BAWAH...........................................3-21
3.4.4. HIDROLIKA AMBANG..........................................................3-23
3.5. DETAIL DESAIN BANGUNAN UTAMA.......................................3-23

LAPORAN PENDAHULUAN 57
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

3.5.1. UMUM..............................................................................3-23
3.5.2. PEMILIHAN LOKASI BENDUNG............................................3-24
3.5.3. PENENTUAN ELEVASI MERCU BENDUNG............................3-24
3.5.4. PERENCANAAN DETAIL BANGUNAN UTAMA.......................3-25
3.5.5. PERENCANAAN KANTONG LUMPUR....................................3-28
3.5.6. BANGUNAN PENGURAS DAN SALURAN PENGURAS............3-31
3.5.7. BANGUNAN PENGAMBILAN SALURAN PRIMER....................3-31
3.5.8. BANGUNAN UKUR.............................................................3-31
3.5.9. TINJAUAN STABILITAS BENDUNG.......................................3-32
3.5.10. TANGGUL.........................................................................3-35
3.5.11. ANALISA STRUKTUR..........................................................3-37
3.5.12. ALINEMEN SALURAN PEMBAWA DAN PEMBUANG...............3-40
3.5.13. DIMENSI SALURAN............................................................3-41
3.5.14. BANGUNAN BAGI DAN SADAP...........................................3-43
3.5.15. TALANG............................................................................3-44
3.5.16. GORONG-GORONG PEMBUANG.........................................3-44
3.5.17. GORONG-GORONG PEMBAWA...........................................3-45
3.6. ALAT UKUR DEBIT.....................................................................3-45
3.7. SISTEM JARINGAN TERSIER...................................................3-47
3.7.1. UMUM..............................................................................3-47
3.7.2. KRITERIA DESAIN.............................................................3-47
3.7.3. BANGUNAN TERSIER.........................................................3-50
3.7.4. ELEVASI MUKA AIR...........................................................3-51
3.8. SISTEM JARINGAN PEMBUANG..............................................3-51
3.8.1. UMUM..............................................................................3-51
3.8.2. DEBIT RENCANA SALURAN PEMBUANG..............................3-51
3.8.3. Kriteria Perencanaan Saluran Pembuang.....................3-55

DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Perhitungan Neraca Air (Water Balance).................................................3-15
Tabel 3.1 Angka Koefisien Pengaliran.....................................................................3-18
Tabel 3.3 Angka Koefisien Pengaliran Yang Dipakai Secara Umum................3-18
Tabel 3.4 Harga-harga Ka dan Kp...........................................................................3-25

LAPORAN PENDAHULUAN 58
Detail Desain Rehabilitasi D.I Air Seluma PT. TRANSKA DHARMA
Kabupaten Seluma KONSULTAN

Tabel 3.5 Harga-harga Kekasaran Koefisien Strickler (Saluran Tanah)..................3-42


Tabel 3.6 Tinggi Jagaan...........................................................................................3-43
Tabel 3.7 Kriteria Pengembangan Petak Tersier.....................................................3-48
Tabel 3.8 Kriteria Perencanaan Saluran Pembuang...............................................3-49
Tabel 3.9 Koefisien Limpasan Air Hujan..................................................................3-54
Tabel 3.10 Kemiringan Talud Saluran Pembuang....................................................3-56
Tabel 3.11 Tinggi Jagaan Saluran Pembuang.........................................................3-56

DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Lebar Efektif Mercu Bendung..............................................................3-26
Gambar 3.2 Tekanan pada mercu bendung sebagai fungsi perbandingan H1/r.....3-26
Gambar 3.3 Peredam energi tipe tenggelam...........................................................3-27
Gambar 3.4 Tipe Bangunan Pengambilan dan Pembilas........................................3-29
Gambar 3.5 Tipe Bangunan Pembilas Pembilas Samping......................................3-29
Gambar 3.6 Tipe pembilas Bawah (Under Sluice)...................................................3-30
Gambar 3.7 Tipe Tata Letak Kantong Lumpur.........................................................3-30
Gambar 3.8 Tata letak kantong lumpur dengan saluran primer berada pada trase
yang sama dengan kantong lumpur.................................................................3-31

LAPORAN PENDAHULUAN 59

Anda mungkin juga menyukai