Anda di halaman 1dari 15

TUGAS PROFESI KEGURUAN

Tentang

SIKAP PROFESIONAL GURU

DISUSUN OLEH
ELLA GIA DEWI ( EIM016019)

PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MATARAM

2017
A. Pengertian Kompetensi Profesional Guru

1. Kompetensi
Kompetensi secara umum merupakan bagian dari kepribadian individu yang
relatif dan stabil, dan dapat dilihat serta diukur dari perilaku individu yang
bersangkutan, di tempat kerja atau dalam berbagai situasi.
Syah (2000:229) mengemukakan pengertian dasar kompetensi adalah
kemampuan atau kecakapan.
Usman (1994:1) mengemukakan kompentensi berarti suatu hal yang
menggambarkan kualifikasi atau kemampuan seseorang, baik yang kualitatif
maupun yang kuantitatif.
2. Profesional
Profesional adalah orang yang mempunyai profesi atau pekerjaan purna waktu
dan hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan suatu keahlian yang tinggi.
Atau seorang profesional adalah seseorang yang hidup dengan mempraktekkan
suatu keahlian tertentu atau dengan terlibat dalam suatu kegiatan tertentu yang
menurut keahlian, sementara orang lain melakukan hal yang sama sebagai sekedar
hobi, untuk senang-senang, atau untuk mengisi waktu luang.
Profesional adalah :

 Orang yang tahu akan keahlian dan keterampilannya.


 Meluangkan seluruh waktunya untuk pekerjaan atau kegiatannya itu.
 Hidup dari situ.
 Bangga akan pekerjaannya.

Profesional itu adalah seseorang yang memiliki 3 hal pokok dalam dirinya,
Skill, Knowledge, dan Attitude! Skill disini berarti adalah seseorang itu benar-
benar ahli di bidangnya. Knowledge, tak hanya ahli di bidangnya..tapi ia juga
menguasai, minimal tahu dan berwawasan tentang ilmu2 lain yang berhubungan
dengan bidangnya.Dan yang terakhir Attitude, bukan hanya pintar dan cerdas…tapi
dia juga punya etika yang diterapkan dalam bidangnya.
3. Kompetensi Professional
Kompetensi profesional adalah kemampuan menguasai materi pelajaran secara
luas dan mendalam. Dalam upaya mengarahkan siswa untuk mencapai kompetensi
yang telah ditetapkan dalam kurikulum guru perlu menentukan materi pelajaran
yang tepat. Materi pelajaran yang hendak disajikan harus dikuasi dengan sungguh-
sungguh keluasan dan kedalamannya oleh guru sehingga guru dapat
mengorganisasikannya dengan tepat baik dari segi kompleksitasnya (dari yang
mudah kepada yang sulit, dari yang konkret kepada yang kompleks) maupun dari
segi keterkaitannya (dari yang harus lebih awal muncul sebagai dasar bagi bagian
berikutnya). Bahan pelajaran yang diorganisasikan dengan tepat selain
memudahkan guru dalam menyajikannya, juga dapat memudahkan siswa untuk
memilikinya. Guru yang kurang menguasai bahan pelajaran yang diajarkan dapat
berakibat patal, baik terhadap rasa percaya dirinya, kewibawaannya, kepercayaan
siswa dan tentunya terhadap hasil pembelajaran.
Kompetensi guru berkaitan dengan profesionalisme, yaitu guru yang
profesional adalah guru yang kompeten (berkemampuan). Karena itu, kompetensi
profesionalisme guru dapat diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan guru
dalam menjalankan profesi keguruannya dengan kemampuan tinggi.
Profesionalisme seorang guru merupakan suatu keharusan dalam mewujudkan
sekolah berbasis pengetahuan, yaitu pemahaman tentang pembelajaran, kurikulum,
dan perkembangan manusia termasuk gaya belajar. Pada umumnya di sekolah-
sekolah yang memiliki guru dengan kompetensi profesional akan menerapkan
“pembelajaran dengan melakukan” untuk menggantikan cara mengajar dimana
guru hanya berbicara dan peserta didik hanya mendengarkan.

B. Pengembangan Sikap Profesional Guru

Dalam rangka meningkatkan mutu, baik mutu professional, maupun mutu layanan,
guru harus pula meningkatkan sikap profesionalnya.
1. Pengembangan Sikap Selama Pendidikan Prajabatan
Dalam pendidikan prajabatan, calon guru dididik dalam berbagai pengetahuan,
sikap, dan keterampilan yang diperlukan dalam pekerjaan nanti. Pembetukan
sikap yang baik tidak mungkin muncul begitu saja, tetapi harus dibina sejak calon
guru memulai pendidikannya di lembaga pendidikan guru.
2. Pengembangan Sikap Selama dalam Jabatan
Peningkatan ini dapat dilakukan dengan cara formal melalui kegiatan mengikuti
penataran, lokakarya, seminar, atau kegiatan ilmiah lainnya, ataupun secara informal
media massa televisi, radio, koran, dan majalah maupun publikasi lainnya.

A. Sikap Profesional Guru


Guru sebagai pendidik professional mempunyai citra yang baik di masyarakat apabila
dapat menunjukan kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau teladan
masyarakat sekelilingnya. Masyarakat terutama akan melihat bagaimana sikap dan
perbuatan guru itu sehari-hari, apakah memang ada yang patut diteladani atau tidak.
Bagaimana guru meningkatkan pelayanannya, meningkatkan pengetahuannya, memberi
arahan dan dorongan pada anak didiknya, dan bagaimana cara guru berpakaian dan
berbicara serta cara begaul baik dengan siswa, teman-temannya serta anggota
masyarakat, sering menjadi perhatian masyarakat luas.
Walaupun segala perilaku guru selalu di perhatikan masyarakat, tetapi yang akan
dibicarakan dalam bagian ini adalah khusus prilaku guru yang berhubungan dengan
profesinya. Hal ini berhubungan dengan bagaimana pola tingkah laku guru dalam
memahami, menghayati, serta mengamalkan sikap kemampuan dan sikap
profesionalnya. Pola tingkah laku guru yang berhubungan dengan itu akan dibicarakan
sesuai dengan sasarannya, yakni sikap profesional keguruan terhadap:
1. Peraturan perundang-undangan
2. Organisasi profesi
3. Teman sejawat
4. Anak didik
5. Tempat kerja
6. Pemimpin
7. Pekerjaan

B. Sasaran Sikap Profesional Seorang Guru

1. Sikap terhadap peraturan perundang-undangan


Guru merupakan unsur aparatur Negara dan abdi Negara. Karena itu, guru
mutlak perlu mengetahui kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah dalam bidang
pendidikan, sehingga dapat melaksanakan ketentuan-ketentuan yang merupakan
kebijaksanaan tersebut. Kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan ialah
segala peraturan-peraturan pelaksanaan baik yang dikeluarkan oleh Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, di pusat maupun di daerah, maupun departemen lain
dalam rangka pembinaan pendidikan di Negara kita.

2. Sikap Terhadap Organisasi Profesi


Guru secara bersama-sama memeliharan dan meningkatkan mutu organisasi
PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian. Dasar ini menunjukan kepada kita
betapa pentingnya peranan organisasi profesi sebagai wadah dan sarana pengabdian.
PGRI sebagai organisasi profesi, memerlukan pembinaan, agar lebih berdaya guna
dan berhasil guna sebagai wadah usaha untuk membawakan misi dan memantapkan
profesi guru. Keberhasilan usaha tersebut sangat bergantung kepada kesadaran para
anggotanya, rasa tanggung jawab, dan kewajiban para anggotanya.
Dalam dasar keenam dari Kode Etik ini dengan gamblang juga dituliskan, bahwa
Guru secara pribadi dan bersama-sama, mengembangkan, dan meningkatkan mutu
dan martabat profesinya. Dasar ini sangat tegas mewajibkan kepada seluruh anggota
profesi guru untuk selalu meningkatkan mutu dan martabat profesi guru itu sendiri.
Untuk meningkatkan mutu suatu profesi, khususnya profesi keguruan, dapat
dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan melakukan penataran, lokakarya,
pendidikan lanjutan, pendidikan dalam jabatan, studi perbandingan, dan berbagai
kegiatan akademik lainnya. Jadi, kegiatan pembinaan profesi tidak hanya terbatas
pada pendidikan prajabatan atau pendidikan lanjutan di perguruan tinggi saja,
melainkan dapat juga dilakukan setelah yang bersangkutan lulus dari pendidikan
prajabatan ataupun sedang dalam melaksanakan jabatan.
3. Sikap Terhadap Teman Sejawat
Dalam ayat 7 Kode Etik Guru disebutkan bahwa “Guru memelihara hubungan
seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial.” Ini berarti bahwa: (1)
Guru hendaknya menciptakan dan memelihara hubungan sesama guru dalam
lingkungan kerjanya, dan (2) Guru hendaknya menciptakan dan memelihara
semangat kekeluargaan dn kesetiakawanan sosial di dalam dan di luar lingkungan
kerjanya.
Dalam hal ini Kode Etik Guru Indonesia menunjukkan kepada kita betapa
pentingnya hubungan yang harmonis perlu diciptakan dengan mewujudkan perasaan
bersaudara yang mendalam antara sesama anggota profesi. Hubungan sesama
anggota profesi dapat dilihat dari dua segi, yakni hubungan forman dan hubungan
kekeluargaan.
Hubungan formal ialah hubungan yang perlu dilakukan dalam rangka melakukan
tugas kedinasan. Sedangkan hubungan kekeluargaan ialah hubungan persaudaraan
yang perlu dilakukan, baik dalam lingkungan kerja maupun dalam hubungan
keseluruhan dalam rangka menunjang tercapainya keberhasilan anggota profesi
dalam membawakan misalnya sebagai pendidik bangsa.
a. Hubungan Guru Berdasarkan Lingkungan Kerja
Berhasil tidaknya sekolah membawakan misinya akan banyak bergantung
kepada semua manusia yang terlibat di dalamnya. Agar setiap personel sekolah
dapat berfungsi sebagaimana mestinya, mutlak adanya hubungan yang
harmonis di antara sesama personil yaitu hubungan yang baik antar kepala
sekolah dengan guru, guru dengan guru, kepala sekolah dengan semua
personel sekolah lainnya. Semua personel sekolah ini harus dapat menciptakan
hubungan yang baik dengan anak didiknya di sekolah tersebut.
Dalam suatu pergaulan hidup, bagaimanapun kecilnya jumlah manusia, akan
terdapat perbedaan-perbedaan pemikiran, perasaan, kemauan, sikap, watak,
dan lain sebagainya. Sekalipun demikian hubungan tersebut dapat berjalan
lancar, tenteram, dan harmonis, jika di antara mereka tumbuh sikap saling
pengertian dan tenggang rasa antara satu dengan yang lainnya.
Oleh sebab itu, agar jangan terjadi kaadaan yang berlarut-larut, kita perlu
saling maaf-memaafkan dan memupuk suasana kekeluargaan yang akrab
antara sesama guru dan aparatur di sekolah.
b. Hubungan Guru Berdasarkan Lingkungan Sekitar
Kalau kita ambil sebagai contoh profesi keguruan, maka dalam sumpah
guru yang diucapkan pada awal atau persiapan pengawasan ujian nasional,
antara lain terdapat kalimat yang menyatakan bahwa tiap pengawas (guru)
tidak akan melakukan kecurangan selama proses ujian berlangsung.
Profesi keguruan masih memerlukan pembinaan yang sungguh-sungguh. Rasa
persaudaraan masih perlu ditumbuhkan sehingga kelak akan dapat kita lihat
bahwa hubungan guru dan teman sejawatnya berlangsung dengan baik.
4. Sikap Terhadap Anak Didik
Guru dalam mendidik seharusnya tidak hanya mengutamakan pengetahuan atau
perkembangan intelektual saja, tetapi juga harus memperhatikan perkembangan
seluruh pribadi peserta didik, baik jasmani, rohani, sosial, maupun yang lainnya
yang sesuai dengan hakikat pendidikan. Ini dimaksudkan agar peserta didik pada
akhirnya akan dapat menjadi manusia yang mampu menghadapi tantangan-
tantangan dalam kehidupannya sebagai insan dewasa.
5. Sikap Terhadap Tempat Kerja
Suasana yang baik di tempat kerja akan meningkatkan produktivitas. Untuk
menciptakan suasana kerja yang baik ini ada dua hal yang harus diperhatikan,
yaitu: (a) guru sendiri, (b) hubungan guru dengan orang tua dan masyarakat
sekeliling.
Guru harus aktif mengusahakan suasana yang baik itu dengan berbagai cara,
baik dengan penggunaan metode mengajar yang sesuai, maupun dengan
penyediaan alat belajar yang cukup, serta pengaturan organisasi kelas yang mantap,
ataupun pendekatan lainnya yang diperlukan. Dalam menjalin kerjasama dengan
orang tua dan masyarakat, sekolah dapat mengambil prakarsa, misalnya dengan
cara mengundang orang tua sewaktu pengambilan rapor, mengadakan kegiatan-
kegiatan yang melibatkan masyarakat sekitar, mengikutsertakan persatuan orang
tua siswa atau BP3 dalam membantu meringankan permasalahan sekolah, terutama
menanggulangi kekurangan fasilitas ataupun dana penunjang kegiatan sekolah.
6. Sikap Terhadap Pemimpin
Kerjasama yang dituntut pemimpin tersebut diberikan berupa tuntutan akan
kepatuhan dalam melaksakan arahan dan petunjuk yang diberikan mereka, juga
dapat diberikan dalam bentuk usulan dan malahan kritik yang membangun demi
pencapaian tujuan yang telah digariskan bersama dan kemajuan organisasi. Dapat
kita simpulkan sikap seorang guru terhadap pemimpin harus positif, dalam
pengertian harus bekerja sama dalam menyukseskan program yang sudah
disepakati, baik disekolah maupun diluar sekolah.
7. Sikap Terhadap Pekerjaan
Agar dapat memberikan layanan yang memuaskan masyarakat, guru harus
selalu dapat menyesuaikan kemampuan dan pengetahuannya dengan keinginan dan
permintaan masyarakat, dalam hal ini peserta didik dan para orang tuanya.
Keinginan dan permintaan ini selalu berkembang sesuai dengan perkembangan
masyarakat. Guru selalu dituntut untuk secara terus-menerus meningkatkan dan
mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan mutu layanannya.
Untuk meningkatkan mutu profesi secara sendiri-sendiri, guru dapat
melakukannya secara formal maupun informal. Secara formal, artinya guru
mengikuti berbagai pendidikan lanjutan atau kursus yang sesuai dengan bidang
tugas , keinginan, waktu, dan kemampuannya. Secara informal guru dapat
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan melalui massa media seperti televisi,
radio, majalah ilmiah, Koran, dan sebagainya, ataupun membaca buku teks dan
pengetahuan lainnya yang cocok dengan bidangnya.

C. Pengembangan Sikap Profesional Guru

Dalam rangka meningkatkan mutu, baik mutu professional, maupun mutu layanan,
guru harus pula meningkatkan sikap profesionalnya.
1. Pengembangan Sikap Selama Pendidikan Prajabatan
Dalam pendidikan prajabatan, calon guru dididik dalam berbagai pengetahuan,
sikap, dan keterampilan yang diperlukan dalam pekerjaan nanti. Pembetukan
sikap yang baik tidak mungkin muncul begitu saja, tetapi harus dibina sejak calon
guru memulai pendidikannya di lembaga pendidikan guru.
2. Pengembangan Sikap Selama dalam Jabatan
Peningkatan ini dapat dilakukan dengan cara formal melalui kegiatan mengikuti
penataran, lokakarya, seminar, atau kegiatan ilmiah lainnya, ataupun secara
informal media massa televisi, radio, koran, dan majalah maupun publikasi
lainnya.

D. SIKAP GURU MENGHADAPI RADKALISME PENDIDIKAN

Pendidikan merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk dapat mandiri,


bertahan hidup, dan bertanggung jawab atas kehodupannya. Pendidikan merupakan
upaya membebaskan manusia dari belenggu kebodohan. Pendidikan idealnya
merubah tingkah laku manusia dari hal-hal yang buruk menjadi baik, bukan
sebaliknya. Tapi mungkin, dari dahulu sampai sekarang selalu ada saja hal-hal
negative dalam dunia pendidikan kita. Salah satu hal yang akan menjadi focus
kelompok kami terkait dengan masalah radikalisme dalam dunia pendidikan.
Tidak jarang masalah kekerasan, seperti tawuran antar sekolah mewarnai surat kabar
nasional. Hal ini tentunya sangat disayangkan, mengapa harus terjadi. Masalah
radikalisme dalam dunia pendidikan yang sempat dan sering mewarnai media masa
adalah kasus kekerasan yang dilakukan oleh senior kepada junior seperti di STPDN
yang sampai memakan korban jiwa tewas. Kasus yang baru-baru ini terjadi terkait
masalah radikalisme dalam pendidikan adalah kasus tawuran antar pelajar SMA 6
Jakarta dengan para wartawan. Kadang kali kasus penganiayaan oleh guru kepada
siswa, praktek bullying sering terjadi. Padahal seharusnya dunia pendidikan, suci dari
hal kekerasan. Memang seperti ini siapa yang pantasnya dipersalahkan? Guru? Siswa?
Kurikulum? Atau materi pendidikan? Semuanya tentu harus kita pikirkan secara
dingin tidak usah saling menyalahkan satu sama lain, karena semuanya mungkin
salah. Latar belakang masalah inilah yang menjadi acuan pembahasan makalah
kelompok

1. Pengertian Radikalisme

Menurut Ermaya (2004:1) radikalisme adalah paham atau aliran radikal


dalam kehidupan politik. Radikal merupakan perubahan secara mendasar dan
prinsip. Secara umum dan dalam ilmu politik, radikalisme berarti suatu konsep
atau semangat yang berupaya mengadakan perubahan kehidupan politik secara
menyeluruh, dan mendasar tanpa memperhitungkan adanya peraturan-peraturan
/ketentuan-ketentuan konstitusional, politis, dan sosial yang sedang berlaku. Ada
juga menyatakan bahwa radikalisme adalah suatu paham liberalisme yang sangat
maju (Far Advanced Liberalism) dan ada pula yang menginterpretasikan
radikalisme sama dengan ekstremisme/fundamentalisme. Pendeta Djaka Sutapa
(2004:1) menyatakan bahwa radikalisme agama merupakan suatu gerakan dalam
agama yang berupaya untuk merombak secara total suatu tatanan sosial /tatanan
politis yang ada dengan menggemakan kekerasan. Terminologi “radikalisme”
memang dapat saja beragam, tetapi secara essensial adanya pertentangan yang
tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok agama tertentu di
satu pihak dengan tatanan nilai yang berlaku saat itu. Adanya pertentangan yang
tajam itu menyebabkan konsep radikalisme selalu dikaitkan dengan sikap dan
tindakan yang radikal, yang kemudian dikonotasikan dengan kekerasan secara
fisik. Istilah radikalisme berasal dari radix yang berarti akar, dan pengertian ini
dekat dengan fundamental yang berarti dasar. Dengan demikian, radikalisme
berhubungan dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan melihat persoalan sampai
ke akar-akarnya. Demikian juga halnya dengan fundamentalisme, berhubungan
dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan kembali ke azas atau dasar dari suatu
ajaran.

2. Bentuk Radikalisme Dalam Pendidikan

Institusi pendidikan di Indonesia harus mampu menjadi motor penggerak


perubahan karakter dan budaya peserta didiknya dari karakter kekerasan dan
budaya menghukum menjadi karakter yang merangsang kemajuan dan budaya
santun. Intitusi pendidikan mulai dari SD, SMP, SMA dan pendidikan tinggi
harus mampu menstransfer dan menstranformasikan nilai-nilai dan budaya yang
luhur kepada peserta didiknya. Karena setiap peserta didik merupakan generasi
penerus bangsa yang nantinya akan menduduki posisi-posisi penting baik di
pemerintahan dan swasta. Banyak contoh kasus yang terjadi dimana kekerasan
di Sekolah Tinggi Pelayaran (STP) di Jakarta, kasus kekerasan yang berujung
kematian terjadi di institute {emerintahan Dalam Negeri (IPDN), kasus-kasus
kekerasan yang diakibatkan oleh pelaksanaan Masa Orientasi Sekolah (MOS),
Ospek, dan lainya. Dunia pendidikan Indonesia mungkin salah satu dunia yang
penuh dengan kekerasan dan budaya menghukum, tidak jarang kita mendengar,
membaca dimedia cetak dan bahkan menonton di media televisi dimana siswa
sekolah ada yang dipukul, ditampar, dan bentuk kekerasan lainnya. Hal ini
merupakan suatu citra buruk yang ditunjukan oleh para pendidik kepada peserta
didiknya. Kepatuhan dan ketaan pada suatu aturan tidak semata-mata
disandarkan pada perbuatan-perbuatan menghukum dan memberikan kejutan-
kejutan kekerasan, tetapi juga dapat dilakukan dengan upaya-upaya yang santun
dan berbudaya. Walaupun tidak semua pendidik melakukan tindakan kekerasan
dan menerapkan budaya menghukum kepadab peserta didiknya tetapi apa yang
muncul kepermukaan menjadi suatu preseden buruk bagi kemajuan dan
perkembangan dunia pendidikan di Indonesia.
Intitusi pendidikan pada dasarnya merupakan tempat untuk memanusiakan
manusia. Artinya bahwa ada upaya-upaya nyata, sadar dan sistematis yang
dilakukan secara terus menerus untuk merubah pola pikir dan pola sikap
seseorang yang sebelumnya tidak baik bahkan jahat menjadi baik, lebih baik dan
sangat baik. konsep dasar pendidikan inilah yang seharusnya menjadi acuan dan
pedoman nyata bagi para pendidik dalam rangka memanusiakan manusia.
Kekerasan demi kekerasan apabila terus berlanjut maka akan mematikan
kreatifitas dan semangat belajar peserta didik. Intitusi pendidikan yang
diharapkan dapat menjadi media bagi pengembangan ajang transfer dan
transformasi budaya kekerasan dan budaya menghukum yang sangat
bertentangan dengan nilai-nilai dan konsep dasar pendidikan.

3. Dampak dan Penanganan Masalah Radikalisme dalam Pendidikan


Sungguh suatu ironi bahwa radikalisme justru tumbuh dilembaga
pendidikan negeri. Sebagai contohnya dampak dari adanya radikalisme
pendidikan yaitu pendidikan agama disekolah ternyata mengandung unsur
intoleransi. Misalnya terdapat sebanyak 13 % siswa yang mendukung terhadap
gerakan radikalisme. Selain itu juga terdapat 14 % yang setuju dengan cara
Imam Samodra didalam melakukan gerakan terorisme. Secara lebih lengkap,
sebagaimana dilaporkan oleh Tempo, bahwa terdapat mayoritas siswa yang
bersedia member dukungan dan kesediaan terlibat untuk merusak tempat
hiburan, merusak anggota aliran yang menyimpangn merusak temapt ibadah
agama lain, dan membantu umat Islam didaerah konflik.
Selain itu, dampak yang lain adalah adanya oknum-oknum guru tertentu yang
menyemai bibit radikalisme dalam proses pembelajaran atau kegiatan
ekstrakulikuler disekolah yang menyebabkan adanya orang-orang yang mau
mengembangkan radikalisme menggunakan system sekolah. Bentuk-bentuk
radikalisme juga berujung pada anarkisme, kekerasan dan bahkan terorisme.
Guna mengantisipasi masuknya radikalisme dalam pendidikan, Kementrian
Pendidikan Naional menekankan kurikulum yang berbentuk nilai-nilai
nasionalisme dan kebangsaan pada siswa. Perubahan itu dilakukan tidak hanya
dijenjang pendidikan tinggi, namun juga dijenjang sekolah mulai dari
pendidikan dasar hingga menengah.gencarnya gerakan radikalisme yang
menyusup di lembaga-lembaga pedidikan membuat dunia pendidikan nasional
menjadi perhatian di masyarakat. Kritikan datang dari berbagai kalangan,
tentang adalanya kelemahan pada system kurikulum pendidikan yang ada.
Menteri pendidikan nasional (Mendiknas, Mohammad Nuh mengatakan,
guna meredam radikalisme yang terjadi dikalangan pelajar maka seluruh pihak
yang terkait dihimbau untuk lebih gencar mengedepankan pendidikan karakter
kepada para peserta didik. Menurut Nuh, untuk mencegah segala tindakan
radikalisme adalah dengan menanamkan rasa cinta tanah air dan rasa empati
terhadap sesame kepada para siswa sehingga tidak ada lagi pemikiran untuk
melakukan tindakan radikal. Nuh menjelaskan, dalam pendidikan karakter ada
tiga hal utama yang harus ditanamkan yaitu kesadaran sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Kuasa, keilmuan dan kecintaan, serta kebanggaan terhadap tanah
air. Terkait dengan banyaknya gejala radikalisme yang lahir dan tumbuh
dilingkungan sekolah. Nuh mengatakan, hal itu disebabkan oleh tingginya
jumlah pelajar di Indonesia. Maka dari itu, dirinya mengakuk tidak heran jika
gerakan radikalisme banyak beredar disekolah. Bukan hanya disekolah saja
ditempat lain juga banyak. Namun, justru disini peran Kemendiknas dan
Kementrian Agama untuk mengatasi masalah-masalah seperti ini, “ujarnya. Ia
menambahkan, selain bekerjasama dengan Kemenag, pihaknya juga melakukan
koordinasi dengan kementrian politik, hukum dan keamanan yang mendukung
deradikalisasi ditanamkan sejak bangku sekolah.
Kemendiknas sendiri telah menangani permasalahan ini secara khusus
melaui berbagai cara. Salah satunya adalah dengan ruang khusus tentang
pendidikan karakter dalam setiap pelatihan yang melibatkan kepala sekolah
diseluruh Indonesia. Yang paling efektif menekan pertumbuhan radikalisme
disekolah adalah melalui kepala sekolah untuk kemudian mengawasi lingkungan
sekolahnya secara langsung. Fenomena meningkatnya tindakan radikalisme
dikarenakan dangkalnya pemahaman terhadap agama. Karena itu, upaya
preventif yang tepat saat ini adalah dengan merevitalisasi pendidikan agama dan
akhlak disekolah, keluarga, maupun masyarakat. Pendidikan dan pelajran agama
yang dijalankan saat ini hanya bersifat formalitas, materi dan tidak mendorong
pembentukan moral dan karakter siswa. Selain itu alokasi jam pelajaran agama
dan akhlak ditingkatkan dari sisi kuantitas dan kualitasnya. Selain itu, materi
pelajaran non-agama atau umum seharusnya juga diarahkan pada penguatan
akhlak dan karakter siswa sehingga tidak terlepas dari esensi pendidikan
sebagaimana diamanahkan oleh UUD 1945 dan UU No 20 Tahun 2003 tentang
Sisdiknas.

C. CONTOH KASUS

Ketika paham radikal masuk ke ruang kelas sekolah


Sri Lestari Wartawan BBC Indonesia

Anak-anak di sekolah tingkat dasar dan menengah bahkan taman kanak-kanak berisiko
terpapar ajaran intoleransi dan radikalisme, seperti ditunjukan sejumlah penelitian.

Kekhawatiran juga itu disampaikan oleh sejumlah orang tua kepada BBC Indonesia.

“Suatu hari saya lagi mengobrol sama dia, terus dia lihat film di TV, dia bilang sama aku itu
orang Islam lagi memerangi orang kafir lho. Kafir itu apa saya pengen ngetes. (Dia jawab)
Kafir itu orang yang bukan Islam. Saya terus terang deg, bapaknya juga kaget."
Tyas (39) seorang ibu dari anak yang belajar di sekolah dasar di kawasan Jabodetabek
mengungkapkan kekhawatiran tentang pelajaran agama di sekolah.

“Kamu tahu dari siapa? Dia bilang dari pak guru di sekolah katanya. Jadi kekhawatiran kami
itu keluarga kami tidak mayoritas Muslim, menurut saya berdampak tidak baik sama anak
saya, takutnya reluctant dengan perbedaan karena di keluarganya juga ada yang begitu.”

 GP Ansor: Buku TK ‘Anak Islam Suka Membaca’ ajarkan radikalisme


 Siswa 'mengenal Nabi Muhammad' sebagai panglima perang
 Survei: hampir 50% pelajar setuju tindakan radikal

Orang tua lain, Mira Siregar, langsung memindahkan anaknya dari sebuah sekolah swasta di
Jakarta, setelah mengetahui sekolah memutarkan film tentang perang Palestina untuk murid-
muridnya.

"Ketika itu kelas dua, dan saya langsung memindahkan anak saya ke sekolah lain begitu naik
kelas tiga, saya sangat khawatir itu 'kan masalah kekerasan, ada kaitan dengan ideologi juga,
dan tidak layak dilihat oleh anak-anak," jelas Mira.

Ajaran kekerasan pernah ditemukan oleh organisasi sayap pemuda Nahdlatul Ulama, GP
Ansor, yang menyebut beberapa jilid buku pelajaran siswa Taman Kanak-kanak (TK)
berjudul Anak Islam Suka Membaca, mengajarkan radikalisme dan memuat kata-kata 'jihad',
'bantai', dan 'bom'.

Akhirnya buku itu pun ditarik setelah menimbulkan kritikan gencar dari masyarakat.

Hak atas foto GETTY IMAGES

Guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Azyumardi Azra mengungkapkan paham
radikal -yang menganggap pemahamannya paling benar- juga telah menyusup ke sekolah
menengah melalui guru.

“Saya mengalami sendiri. Putri saya sekolah di sebuah sekolah yang bagus, elite, cukup
mahal di Jakarta selatan. Ada satu atau dua gurunya yang kalau mengajar suka menyisipkan
pesan-pesan ajaran salafi, yang berpikir hitam putih, atau mengajarkan paham-paham yang
kelihatan proradikalisme untuk mengubah keadaan," kata Azyumardi.

"Cuma, saya tidak tahu berapa banyak murid yang bisa terpengaruh,” katanya.

Kebijakan sekolah

Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), yang dipimpin oleh Prof Dr
Bambang Pranowo, yang juga guru besar sosiologi Islam di UIN Jakarta, pada Oktober 2010
hingga Januari 2011, mengungkapkan hampir 50% pelajar setuju tindakan radikal.

Data itu menyebutkan 25% siswa dan 21% guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi.
Sementara 84,8% siswa dan 76,2% guru setuju dengan penerapan Syariat Islam di Indonesia.
Jumlah yang menyatakan setuju dengan kekerasan untuk solidaritas agama mencapai 52,3%
siswa dan 14,2% membenarkan serangan bom.

 Pegiat mahasiswa Muslim: Sistem kekhalifahan? No! Pancasila? Yes!


 Jejak Wahabi, dari sayap kanan hingga perang Paderi
 Penyebaran gerakan khilafah di kampus menguat pascareformasi

Peneliti Maarif Institute, Abdullah Darraz, mengatakan melemahnya nilai Pancasila dan
kebangsaan di sekolah berbanding lurus dengan maraknya radikalisme itu.

"Institusi sekolah ini dalam pandangan kami itu dari aspek sisi kebijakan, proses
pembelajaran di kelas dan proses eskrakulikuler yang membuat radikalisme itu menguat di
sekolah negeri. Ada sekolah yang terlalu permisif yang membolehkan kelompok radikal
masuk situ, itu mengatasnamakan bimbingan belajar dan konseling," jelas Darraz.

Selain itu, menurut Darraz yang melakukan penelitian di Garut Jawa Barat, lingkungan
keluarga juga berpengaruh karena sering kali orang tua membiarkan anak-anaknya mengikuti
kelompok radikal, daripada anaknya terlibat tawuran atau narkoba.

Lagu nasional
Image caption Anies Baswedan mengatakan sekolah wajib untuk menyanyikan lagu
nasional dan upacara bendera.

Di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, beberapa tahun lalu sebuah yayasan pendidikan
pernah memecat 13 guru karena mengajarkan paham radikal, seperti dijelaskan Ketua
Yayasan Assalamah Ungaran, Husein Abdullah.

"Memberikan pelajaran agama yang tidak sesuai syariat yang kami anut, mereka ini tidak
sesuai dengan Syafi’i, mengajarkan tak boleh tahlil, ziarah kubur, ini bapak-bapak kamu
kalau tahlil itu salah dalam tanda kutip sekarang orang berbicara dengan istilah wahabi itu,
mereka tak mau upacara bendera hari Senin, tak mau menyanyikan Indonesia Raya, setelah
mereka masuk itu tidak ada," jelas Husein.

Sekolah, guru, yang menolak menyanyikan lagu Indonesia Raya, atau sekolah atau guru
yang tidak mau menyanyikan lagu bernuasa kebangsaan itu, maka mereka dapat
sanksi, sejauh ini belum ada."Anies Baswedan

Menurut dia, setelah peristiwa itu pengawasan terhadap sekolah asuhan Yayasannya ini
dilakukan dengan lebih ketat.

Sementara itu, Menteri Pendidikan dan kebudayan, Anies Baswedan, mengatakan upaya
pencegahan radikalisme di sekolah dilakukan antara lain dengan mewajibkan sekolah-sekolah
untuk menyanyikan lagu nasional atau daerah di awal dan akhir proses belajar mengajar.

“Sekolah guru yang menolak menyanyikan lagu Indonesia Raya, atau sekolah atau guru yang
tidak mau menyanyikan lagu bernuasa kebangsaan itu, maka mereka dapat sanksi, sejauh ini
belum ada," jelas Anies.
Selain itu, Kemendikbud juga mewajibkan murid untuk membaca buku sebelum pelajaran
dimulai, untuk menumbuhkan cara berpikir kritis, karena dengan itu dapat menangkal paham
ekstremisme.

Sementara, Kementerian Agama ingin menambahkan materi tentang figur Nabi yang toleran
dan penganjur perdamaian dalam materi pelajaran sejarah Nabi Muhammad di sekolah-
sekolah.

Pemahanan keislaman dan keindonesiaan

Sementara itu, Azumardi mengatakan penyebaran paham radikal di kalangan murid sekolah
menengah ini ini harus segera disikapi pemerintah.

“Karena itu saya berulang kali mengusulkan kepada Menteri Agama atau Mendikbud supaya
para guru ditatar dan diberikan sarasehan mengenai keislaman, keindonesiaan, kepanduan
atau integrasi antara keislaman dan keindonesiaan, " jelas Azyumardi.

Karena, menurut dia, para guru tidak memiliki perspektif yang jelas mengenai keindonesiaan
dan keislaman, yang sesungguhnya terintegrasi.

"Jadi tidak perlu dipertentangkan sebagai dua entitas yang bertentangan,” jelas Azyumardi.

Sementara Tyas, mengharapkan adanya standardisasi para guru, terutama guru agama, agar
memahami keberagaman.

Anda mungkin juga menyukai