Anda di halaman 1dari 9

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Gambaran Umum Lokasi Penerapan

a. Sejarah Singkat RSUD Jend. Ahmad Yani Metro

Sejarah berdirinya RSUD Jend. Ahmad Yani Metro dimulai sejak

tahun 1951 dengan nama Pusat Pelayanan Kesehatan (Health Center),

RSUD Jend. Ahmad Yani awalnya milik Pemerintah Kabupaten

Lampung Tengah, pada bulan Januari 2002 berdasarkan SK Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lampung Tengah Nomor:

188.342/IV/07/2002, aset tanah dan bangunan diserahkan kepada

pemerintah Daerah Kota Metro. Pada tahun 2003 RSUD Jend. A. Yani

sebagai salah satu lembaga organisasi layanan publik dibawah

Kepemerintahan Kota Metro dengan fungsi peranan lembaga teknis

Daerah, disamping memiliki keterkaitan struktural juga mempunyai

kewenangan, otonomi seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang

No.32 tahun 2004, yang secara subtantial dimaksudkan untuk

meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu kepada masyarakat di

Kota Metro dan sekitarnya.

Pada tanggal 21 Desember 2016 RSUD Jend. A Yani Kota Metro

lulus Akreditasi RS dengan predikat Paripurna dengan nomor: KARS-

SERT/488/XII/2016. Tipe RSUD Jend. A Yanit Kota Metro termasuk

dalam Kelas B Non Pendidikan.

26
27

b. Visi dan Misi

RSUD Jend. Ahmad Yani Metro memiliki visi:

“Rumah Sakit unggulan dalam pelayanan dan pendidikan

kebanggaan Masyarakat Kota Metro tahun 2021”.

Sedangkan misi dari RSUD Jend. Ahmad Yani Metro yaitu:

1. Meningkatkan profiesionalisme SDM kesehatan yang berdaya saing.

2. Mengembangkan sarana dan prasarana rumah sakit yang aman dan

nyaman.

3. Meningkatkan program pengembangan mutu pelayanan medis dan

nonmedis secara berkesinambungan.

4. Mewujudkan kemandirian BLUD melalui peningkatan evisiensi,

efektifitas, dan fleksibilitas pengelolaan keuangan.

5. Menjadi pusat pendidikan kedokteran dan kesehatan lain, serta

penelitian dan pengembangan bidang kesehatan.

c. Ruang Rawat Inap

Rumah Sakit Umum Daerah Jend. Ahmad Yani Metro terdiri dari

berbagai ruang perawatan (Rawat Inap) yaitu sebagai berikut:

Tabel 4.1 Pelayanan Rawat Inap RSUD Jend. Ahmad Yani Metro
NO RUANGAN NO RUANGAN
1 Ruang Anak 7 Ruang Penyakit Dalam C
2 Ruang Bedah 8 Ruang Paru
3 Ruang Kebidanan 9 Ruang Paviliun Umum
4 Ruang Penyakit Dalam A 10 Ruang Syaraf
5 Ruang Penyakit Dalam B 11 Ruang Neonatus
6 Ruang Bedah Onkologi 12 Ruang VIP
28

Adapun penerapan pada karya tulis ilmiah ini dilakukan di Ruang Paru

RSUD Jend. Ahmad Yani Metro, dimana ruang tersebut merupakan ruang

perawatan bagi penderita dengan berbagai masalah keperawatan diantaranya

penderita TB paru.

2. Karakteristik dan Gambaran Subyek Penerapan

Penerapan ini dilakukan pada pasien TB paru yang mengalami bersihan

jalan nafas tidak efektif yaitu Nn. H. Subyek tersebut telah sesuai dengan

kriteria yang telah ditetapkan dan telah menyetujui untuk berpartisipasi dalam

penerapan inhalasi sederhana. Adapun gambaran karakteristik subyek serta

data-data yang didapatkan pada saat pengkajian sesuai dengan tahapan rencana

penerapan adalah sebagai berikut:

Tabel 4.2 Gambaran Subyek Penerapan


Data Keterangan
Nama Nn. H
Usia 17 tahun
Pendidikan SMA
Tanggal pengkajian 05 April 2019
Tempat tinggal Pondok pesantren
Riwayat kesehatan sebelumnya Klien mengatakan baru pertama kali masuk rumah
sakit.
Keluhan saat ini Klien mengatakan masuk rumah sakit dengan
keluhan sesak nafas, batuk berdahak namun tidak
dapat dikeluarkan, demam, dan nafsu makan
menurun.

3. Pengeluaran Sputum Sebelum dan Setelah Penerapan Inhalasi Sederhana

Penerapan inhalasi sederhana pada subyek (Nn. H) dilakukan pada

tanggal 5 s.d 7 april 2019 diruang Paru RSUD Jend. Ahmad Yani Metro tahun
29

2019. Adapun hasil pengkajian nilai respiratory rate (RR) sebelum dan setelah

penerapan inhalasi sederhana dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 4.3 Respiratory Rate (RR) Sebelum dan Setelah Penerapan Inahalasi
Sederhana
Lembar Observasi Respiratory Rate (RR)
Waktu Pengkajian
Subyek
Sebelum Setelah Intervensi Setelah Intervensi Setelah Intervensi
Intervensi Hari I Hari II Hari III

Nn. H 26 x/m 24 x/m 20 x/m 20 x/m

Berdasarkan tabel 4.2 diatas dapat diketahui bahwa pada hari pertama

sebelum dilakukan inhalasi sederhana, nilai RR 26x/menit. Inhalasi sederhana

menggunakan daun mint dilakukan 2 kali sehari pagi dan sore masing-masing

selama 15 menit dan dilakukan selama 3 hari. Setelah dilakukan penerapan

inhalasi sederhana respiratory rate (RR) pada subyek (Nn. H) mengalami

penurunan dimana nilai RR Nn. H setelah dilakukan inhalasi sederhana selama

3 hari yaitu 20 x/menit.

B. Pembahasan

1. Karakteristik Subyek

a. Usia

Subyek dalam penerapan ini yaitu Nn. H berusia 17 tahun.

Kemenkes RI (2013) menyatakan bahwa prevalensi TB paru cenderung

meningkat dengan bertambahnya umur. Wijaya & Putri (2013)

mengungkapkan bahwa anak-anak berusia dibawah 15 tahun dan dewasa

muda yang berusia 15 sampai 44 tahun beresiko terjangkit TB paru

apabila tidak adanya perawatan kesehatan yang adekuat.


30

Menurut Dotulong, Sapulete & Kandou (2014) dalam penelitiannya

menyatakan bahwa kelompok usia 15-55 tahun adalah kelompok usia yang

mempunyai mobilitas yang sangat tinggi sehingga kemungkinan terpapar

dengan kuman Mikobakterium Tuberkulosis paru lebih besar selain itu

reaktifan endogen (aktif kembali yang telah ada dalam tubuh) dapat terjadi

pada usia yang sudah tua.

Berdasarkan uraian diatas resiko terjadinya TB paru pada usia 15-44

tahun atau 15-55 tahun. Usia subyek dalam penerapan ini yaitu Nn. H

berusia 17 tahun masuk dalam kategori resiko terkena TB paru. Derajat

penularan penyakit ini tergantung pada banyaknya basil tuberkulosis dalam

sputum, dan peluang adanya pencemaran udara dari batuk, bersin dan

berbicara keras.

b. Pendidikan

Subyek dalam penerapan ini yaitu Nn. H masih menempuh pendidikan

di tingkat SMA. Kemenkes RI (2013) menyatakan bahwa prevalensi TB

paru cenderung meningkat karena tingkat pendidikan yang rendah. Menurut

Nurhanah, Amiruddin & Abdullah (2010) dalam penelitiannya menyatakan

bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin rendah

kejadian TB Paru. Tingkat pendidikan rendah berpeluang untuk menderita

TB Paru dibandingkan dengan pendidikan yang lebih tinggi. Pendidikan

secara tidak langsung berperan terhadap status kesehatan. Masyarakat yang

memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi dapat memperoleh pendapatan

yang lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang memiliki pendidikan


31

lebih rendah yang sangat berhubungan dalam perbaikan status gizi. Dengan

pendidikan tinggi masyarakat dapat mengetahui lebih banyak pengetahuan

khususnya tentang kesehatan terutama dalam hal preventif, sehingga

masyarakat dapat memperbaiki status kesehatan ke arah yang lebih baik.

Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang untuk menerima informasi.

Seseorang yang memiliki pendidikan tinggi dapat dengan mudah menyerap

dan menerima informasi sehingga aktif dalam pemeliharan kesehatan.

Pendidikan subyek dalam penerapan ini yaitu Nn. H yang

berpendidikan Sekolah Menengah Atas. Sesuai dengan konsep teori diatas

bahwa pendidikan tinggi mempengaruhi tingkat pengetahuan, dalam

penerapan ini subyek Nn. H mudah menerima penerapan yang penulis

lakukan yaitu Inhalasi Sederhana dengan bahan daun mint.

c. Kepadatan hunian

Menurut Black & Hawks (2014) menyatakan tinggal pada area pada

sangat beresiko tinggi terhadap terpaparnya infeksi TB. Hal ini dikuatkan

oleh Dotulong, Saputele & Kandou (2014) dalam penelitiannya menyatakan

bahwa kepadatan penghuni rumah juga dapat mempengaruhi kesehatan,

karena jika suatu rumah yang penghuinya pada dapat mempengaruhi

kesehatan, karena jika suatu rumah yang penghuninya padat dapat

memungkinkan terjadinya penularan penyakit dari satu manusia kemanusia

lainnya. Kepadatan penghuni didalam ruangan yang berlebih akan

berpengaruh, hal ini dapat berpengaruh terhadap perkembangan bibit

penyakit dalam ruangan. Kepadatan penghuni dalam rumah merupakan


32

salah satu faktor yang dapat meningkatkan insiden penyakit TB Paru dan

penyakit-penyakit lainnya yang dapat menular.

Subyek dalam penerapan ini yaitu Nn.H tinggal ditempat yang padat

yaitu Pondok Pesantren yang satu kamar berisi 10 orang. Hal ini beresiko

untuk terjadinya TB Paru pada subyek (Nn. H).

2. Hasil Penerapan

Nilai respiratory rate (RR) sebelum dilakukan tindakan inhalasi

sederhana pada subyek (Nn. H) yaitu 26 x/menit. Dalam upaya membantu

menurunkan sesak napas pada Nn. H dapat memberikan tindakan inhalasi

sederhana menggunakan daun mint.

Inhalasi sederhana adalah menghirup uap hangat dari air mendidih telah

dicampur dengan aroma terapi sebagai penghangat, misalnya daun mint.

Terapi inhalasi ditujukan untuk mengatasi bronkospasme, mengencerkan

sputum, menurunkan hipereaktivitas bronkus serta mengatasi infeksi

(Siswantoro, 2015).

Setelah dilakukan tindakan inhalasi sederhana selama 3 hari dari

tanggal 05 s.d 07 April 2019, sesak nafas pada subyek mengalami

penurunan yang ditandai dengan nilai respiratory rate (RR) dalam batas

normal yaitu 20 x/menit. Hasil penerapan ini sesuai dengan teori yang

dikemukakan oleh Lusianah, Indaryani & Suratun (2012) menyatakan

bahwa Memberikan inhalasi atau menghirup uap hangat bertujuan untuk

relaksasi saluran pernafasan, menekan proses peradangan dan


33

pembengkakan selaput lendir, mengencerkan dan memudahkan pengeluaran

dahak, dan melegakan pernafasan.

Hasil penerapan ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Siswantoro (2015) terkait pengaruh aroma terapi daun mint dengan inhalasi

sederhana terhadap penurunan sesak nafas pada pasien tuberculosis paru

menunjukkan hasil penelitian dari uji Wilcoxon di peroleh data p value

0,008 < 0,05 yang artinya ada pengaruh aroma terapi daun mint dengan

inhalasi sederhana terhadap penurunan sesak nafas dan pada hasil uji Mann

Whitney U menunjukkan p value 0,006 < 0,05 yang berarti ada beda antara

nilai skala sesak nafas kelompok kontrol tanpa diberikan aroma terapi daun

mint dengan inhalasi sederhana.

Penelitian lain dilakukan oleh Ferari, Wulandari & Rakhmawati (2017)

tentang pengaruh kombinasi teknik pernafasan buteyko dengan inhalasi

sederhana aromaterapi daun mint terhadap tingkat kontrol asma,

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kontrol asma pada pasien

asma secara signifikan setelah diberikan terapi kombinasi pernafasan

buteyko dengan inhalasi sederhana aromaterapi daun mint dengan nilai p

value = 0,000.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Anjani & Satria (2017) tentang

analisis praktik keperawatan pada pasien asma dengan intervensi inovasi

teknik pernapasan buteyko dan aroma terapi daun mint terhadap penurunan

frekuensi pernapasan dan peningkatan saturasi oksigen di Ruang Instalasi

Gawat Darurat RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda 2017

menunjukkan bahwa teknik pernapasan buteyko dan aroma terapi daun mint
34

efektif mengurangi gejala sesak napas dan menurunkan frekuensi

pernapasan serta meningkatkan saturasi oksigen pada pasien dengan

diagnosa asma.

Berdasarkan hasil penerapan diatas menurut asumsi penulis inhalasi

sederhana dapat membantu dalam menurunkan sesak nafas karena inhalasi

sederhana bermanfaat untuk melonggarkan jalan nafas dan mengencerkan

sputum yang ada di jalan napas. Pemberian inhalasi sederhana dilaksanakan

terutama pada klien dengan masalah keperawatan ketidakefektifan jalan

napas. Terjadi peningkatan pengeluaran sputum pada subyek Nn. H

sehingga terjadi penurunan sesak setelah dilakukan batuk efektif selama 3

hari.

C. Keterbatasan Study Kasus

Penerapan karya tulis ilmiah ini sudah sesuai dengan prosedur, namun

masih memiliki beberapa keterbatasan, diantaranya adalah:

1. Penerapan ini hanya menggunakan satu subyek sehingga fenomena yang

terjadi pada kedua subyek belum dapat mewakili seluruh populasi

(penderita TB paru) namun baru dapat memberikan sebuah deskripsi dari

proses keperawatan model penerapan.

2. Penurunan sesak napas pada subyek (Nn. H) bukan hanya dipengaruhi

oleh adanya perlakukan inhalasi sederhana, namun dapat juga

dipengaruhi oleh faktor lain seperti obat farmakologi yang didapatkan

subyek (Nn. H). Subyek (Nn. H) mendapat terapi nebulizer dari rumah

sakit.

Anda mungkin juga menyukai