Anda di halaman 1dari 11

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Gambaran Umum Lokasi Penerapan

a. Sejarah Singkat RSUD Jend. Ahmad Yani Metro

Rumah Sakit Umum Daerah Jenderal Ahmad Yani awalnya milik

Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah, yang kemudian aset tanah

dan bangunan pada bulan Januari 2002 berdasarkan SK Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lampung Tengah Nomor :

188.342/IV/07/2002, diserahkan kepada pemerintah Daerah Kota

Metro. Pada tahun 2003 RSUD Jend. A. Yani sebagai salah satu

lembaga organisasi layanan publik dibawah Kepemerintahan Kota

Metro dengan fungsi peranan lembaga teknis Daerah disamping

memiliki keterkaitan struktural juga mempunyai kewenangan, otonomi

seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang No.32 tahun 2004, yang

secara subtantial dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan

kesehatan yang bermutu kepada masyarakat di Kota Metro dan

sekitarnya.

Pada tanggal 28 Mei tahun 2008 berdasarkan Kepmenkes RI No :

494/MENKES/SK/V/2008, Rumah Sakit Umum Daerah Jend. A. Yani 

meningkat kelasnya yaitu dari kelas C menjadi kelas B yang memiliki

jumlah tempat tidur rawat inap 212. Berdasarkan   Perda Kota Metro

No. 7 Tahun 2008 bahwa RSUD Jend. A. Yani merupakan Lembaga


Teknis Daerah namun pada tanggal 30 Desember 2010 dengan

Peraturan Walikota Metro NO : 343/KPTS/RSU/2010, RSUD Jend. A.

Yani ditetapkan sebagai Instansi Pemerintah Kota Metro yang

menerapkan PPK-BLUD.

b. Visi dan Misi

Visi RSUD Jend. Ahmad Yani Metro didasarkan pada hasil

aspirasi dan partisipasi pejabat serta pegawai yaitu: ”Rumah Sakit

Unggulan Kebanggaan Masyarakat Kota Metro”.

Sedangkan misi dari RSUD Jend. Ahmad Yani Metro yaitu:

1) Memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan paripurna

2) Menyelenggarakan produk pelayanan unggulan

3) Meningkatkan kualitas SDM

4) Meningkatkan sistem manajemen kuangan, informasi dan promosi

serta sistem pemasaran menuju BLUD yang mandiri.

c. Sarana dan Prasarana

Lokasi Rumah Sakit Umum Ahmad Yani Metro berada di jalan

Jenderal Ahmad Yani Metro dengan sarana dan prasarana sebagai

berikut:

1) Unit penyakit dalam 11) Unit Rawat Jalan

2) Unit bedah 12) Unit Rehabilitasi Medik

3) Unit penyakit anak 13) Unit Rediologi

4) Unit Kebidanan 14) Unit Gawat Darurat


5) Unit Penyakit THT 15) Instalasi Farmasi

6) Unit Penyakit Mata 16) Instalasi Gizi

7) Unit Penyakit Syaraf 17) Instalasi Pemeliharaan Sarana Rumah

8) Unit Anastesi Sakit

9) Unit Penyakit Kulit dan 18) Instalasi Laboratorium

Kelamin 19) Unit Administrasi

10) Unit Kesehatan Gigi dan 20) Paviliun

Mulut 21) Musholla

Adapun penerapan pada karya tulis ilmiah ini dilakukan di Ruang

RPD B RSUD Jend. Ahmad Yani Metro, dimana ruang tersebut

merupakan ruang perawatan bagi penderita dengan berbagai masalah

keperawatan diantaranya penderita hipertensi.

2. Gambaran Subyek Penerapan

a. Pasien A

Nama : Ny. M

Usia : 57 tahun

Berat badan : 80 kg

Pendidikan : SD

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Tanggal masuk RS : 04 Juni 2018

Tanggal pengkajian : 05 Juni 2018

Alasan masuk RS : Klien mengatakan masuk rumah

sakit karena nyeri perut, nyeri

perut bertambah ketika klien


beraktivitas atau makan dan

nyeri berkurang saat istirahat

dengan skala 5.

Kondisi pasien saat ini : Klien mengatakan masih nyeri

perut, klien lemas, klien

mengatakan tidak nafsu makan

karena nyeri perut, klien

megnatakan mempunyai riwayat

hipertensi, TD 140/90 mmHg.

Riwayat kesehatan sebelumnya : Klien mengatakan sebelumnya

pernah dirawat dengan keluhan

yang sama.

Dianosa medis : Hipertensi.

Nomer RM : 147553

b. Pasien B

Nama : Ny. M

Usia : 70 tahun

Berat badan : 82 kg

Pendidikan : SD

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Tanggal masuk RS : 07 Juni 2018

Tanggal pengkajian : 07 Juni 2018

Alasan masuk RS : Klien mengatakan masuk rumah


sakit karena nyeri perut, nyeri

timbul ketika klien makan, skala

nyeri 6.

Kondisi pasien saat ini : Klien mengatakan masih nyeri

perut, klien mengatakan tidak

nafsu makan karena setiap

makan perutnya nyeri, klien

mengatakan mempunyai riwayat

hipertensi, TD 150/90 mmHg.

Riwayat kesehatan sebelumnya : Klien mengatakan mempunyai

riwayat hipertensi dan pernah

dirawat dengan keluhan tensi

darah yang tinggi.

Diagnosa Medis : Hipertensi.

Nomer RM : 211646

3. Hasil Penerapan

Penerapan study kasus ini dilakukan pada dua pasien dengan diagnosa

medis hipertensi, dan dilakukan pengukuran tekanan darah sebelum dan

setelah intervensi.

Tabel 4.1 Hasil pengkajian sebelum dan setelah intervensi


Pengukuran Tekanan Darah
Pasien Pre Hari I Hari II Hari III
TD TD TD TD
Ny. M 140/90 mmHg 130/90 mmHg 130/90 mmHg 130/80 mmHg
Ny. M 150/100 mmHg 140/90 mmHg 130/90 mmHg 130/90 mmHg
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan tekanan darah sebelum

intervensi pada Pasien I (Ny. M0) yaitu 140/90 mmHg, hasil pengkajian
setelah intervensi teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan tekanan

darah menunjukkan bahwa tekanan darah Pasien I (Ny. M 0) hari pertama

130/90 mmHg, tekanan darah hari kedua 130/90 mmHg, dan tekanan

darah hari ketiga yaitu 130/80 mmHg.

Hasil pengukuran tekanan darah sebelum intervensi pada Pasien II

(Ny. M1) yaitu 150/100 mmHg, hasil pengkajian setelah intervensi

menunjukkan tekanan darah Pasien II (Ny. M 1) hari pertama 140/90

mmHg, tekanan darah hari kedua 130/90 mmHg, dan tekanan darah hari

ketiga yaitu 130/90 mmHg.

B. Pembahasan

1. Karakteristik Subjek

a. Usia

Tekanan darah bervariasi sesuai usia. Tekanan darah pada orang

dewasa akan meningkat sesuai usia (Potter & Perry, 2010). Menurut

Black (2014) hipertensi biasanya muncul antara usia usia 30-50 tahun.

Peristiwa hipertensi meningkat pada usia 50-60 tahun, klien yang

berusia lebih dari 60 tahun memiliki tekanan darah lebih dari 140/90

mmHg. Menurut Kumar, Abbas & Fausto (2005) dalam penelitian

Tawaang, Mulyadi & Palandeng (2013), setelah umur 45 tahun

dinding arteri akan mengalami penebalan karena penumpukan kolagen

pada lapisan otot sehingga pembuluh darah akan berangsurangsur

menyempit dan menjadi kaku. Subjek yang terlibat dalam penulisan


karya tulis ilmiah yaitu Pasien I (Ny. M0) berusia 57 tahun dan Pasien

II (Ny. M1) berusia 70 tahun.

b. Jenis Kelamin

Pada keseluruhan insiden, hipertensi lebih banyak terjadi pada

pria dibandingkan wanita sampai kira-kira usia 55 tahun. Resiko pada

pria dan wanita hampir sama antara usia 55 sampai 74 tahun,

kemudian setelah usia 74 tahun wanita berisiko lebih besar (Black,

2014).

Penelitian yang dilakukan oleh Putra., Widodo & Kartinah

(2013) yang mengatakan jika wanita rentan terkena penyakit

hipertensi karena rata-rata berat badan wanita lebih besar dari pada

pria, selain itu wanita juga memiliki aktifitas fisik yang lebih sedikit

dibandingkan dengan pria. Jenis kelamin pada kedua pasien study

kasus ini yaitu perempuan, keduanya menderita hipertensi.

c. Berat Badan

Obesitas terutama pada bagian atas dengan meningkatnya

jumlah lemak sekitar diafragma, pinggang dan perut dihubungkan

dengan pengembangan hipertensi (Black & Hawks, 2014). Berat

badan pada subjek yang terlibat dalam penerapan ini yaitu Pasien A

(Ny. M) dengan berat badan 80 kg dan Pasien B (Ny. M) yaitu 82 kg.

d. Stress
Kegelisahan, ketakutan, nyeri, dan stres emosional dapat

mengakibatkan stimulasi simpatis yang meningkatkan frekuensi

denyut jantung, curah jantung, dan resistensi vaskular. Efek simpatis

ini meningkatkan tekanan darah. Kegelisahan meningkatkan tekanan

darah sebesar 30 mmHg (Potter & Perry, 2010). Pada Pasien B (Ny.

M) saat pengkajian hari ketiga ditemukan bahwa klien mengatakan

takut dikarenakan belum diperbolehkan pulang akibat hasil rekam

jantung Pasien B (Ny. M) tidak normal. Menurut Black & Hawks

(2014) stres meningkatkan resistensi vaskular perifer dan curah

jantung serta menstimulasi aktivitas sistem saraf simpatis. Jika respon

stres menjadi berkepanjangan atau berlebihan, disfungsi organ sasaran

atau penyakit akan dihasilkan. Oleh karena itu stres adalah permasalah

persepsi, interprestasi orang terhadap kejadian yang menciptakan

banyakt stresor dan respon stres.

2. Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Penurunan Tekanan Darah

Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik lebih dari 140

mmHg dan tekanan darah lebih dari 90 mmHg, berdasarkan pada dua kali

pengukuran atau lebih (Brunner & Suddarth, 2013). Penyakit hipertensi

ini biasanya tidak disertai gejala (asimtomatik). Diagnosis pre hipertensi

pada dewasa ditegakkan jika rata-rata hasil pemeriksaan darah pada dua

kunjungan berturutan berada pada nilai antara 80 dan 89 mmHg atau rata-

rata tekanan sistolik pada dua kunjungan berada pada nilai antara 120 dan

139 mmHg (Potter & Perry, 2010).


Hipertensi dapat dikontrol bila faktor resiko hipertensi mampu

dikendalikan. Pengendalian ini meliputi upaya pemeliharaan kesehatan

antara lain yaitu modifikasi gaya hidup, pengurangan berat badan,

pembatasan natrium, olahraga, menghentikan kebiasan merokok, dan

teknik relaksasi (Black & Hawks, 2014).Perawat berperan besar dalam

penanggulangan hipertensi melalui pendekatan non farmakologi.

Menurut Sentana & Mardiatun (2012) intervensi yang termasuk dalam

pendekatan non farmakologis salah satunya adalah dengan teknik relaksasi

napas dalam. Teknik relaksasi napas dalam menyebabkan penurunan

aktivitas saraf simpatis sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh

darah sehingga keadaan menjadi rileks. Keadaan rileks ini dapat

mempengaruhi HPA axis, hipotalamus (CRF menurun), pituitari (ACTH

menurun) dan medula katekolamin yang mengakibatkan penurunan

tekanan darah.

Pelatihan relaksasi bertujuan untuk melatih pasien agar dapat

mengondisikan dirinya untuk mencapai suatu keadaan rileks. Pada saat

seseorang sedang mengalami ketegangan dan kecemasan, saraf yang

bekerja adalah sistem saraf simpatis (berperan dalam meningkatkan denyut

jantung). Pada saat relaksasi, menekan rasa tegang dan rasa cemas dengan

cara resiprok (saling berbalasan) sehingga timbul counter conditioning dan

penghilangan nyeri serta kecemasan yang dialami seseorang (Solehati &

Kosasih, 2015).
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sentana &

Mardiatun (2012) terkait pengaruh relaksasi napas dalam terhadap

penurunan tekanan darah pada pasien hipertensi di Puskesmas Dasa Agung

Mataram selama 15 menit perhari dan dilakukan selama 2 bulan, hasil

penelitian menunjukkan bahwa relaksasi napas dalam dapat menurukan

tekanan darah baik sistole dan diastole karena pada keadaan relaksasi

mengakibatkan penurunan rangsangan emosional dan penurunan pada

rangsangan pada area pengatur fungsi kardiovaskular seperti pada

hipothalamus posterior dan nukleus perifornikel sehingga terjadi

penurunan tekanan darah.

Penelitian yang sama dilakukan oleh Putra., Widodo & Kartinah

(2013) terkait pengaruh latihan nafas dalam terhadap perubahan tekanan

darah pada penderita hipertensi di Wilayah Kecamatan Karas Kabupaten

Magetan dilakukan selama 15 menit dalam 24 jam, hasil penelitian

menunjukan bahwa tekanan darah siastolik dan diastolik pada kelompok

eksperimen menunjukan penurunan yang signifikan saat sebelum dan

sesudah mendapat latihan nafas dalam.

Hasil penelitian selanjutnya dilakukan oleh Hartanti., Wardana &

Fajar (2016) terkait terapi relaksasi napas dalam menurunkan tekanan

darah pasien hipertensi menunjukkan hasil penelitian terdapat penurunan

tekanan darah respondensetelah diberikan terapi relaksasi nafas dalamyaitu

tekanan darah sistolik sebesar 18,46 mmHg dan tekanan darah diastolik

sebesar 6,54 mmHg. Analisis statistik dengan menggunakan paired sample


T-test dengan tingkat kepercayaan yang diambil sebesar 95% dengan α 5%

(0,05), didapatkan nilai ρvalue tekanan darah sistolik 0,001 dan ρvalue

tekanan darah diastolik 0,001. Hal ini menunjukkan terapi relaksasi napas

dalam efektif menurunkan tekanan darah pasien hipertensi.

Berdasarkan urain-uraian diatas penulis menyimpulkan bahwa teknik

relaksasi nafas dalam dapat menurunkan tekanan darah pada pasien

hipertensi.

C. Keterbatasan Study Kasus

Penerapan karya tulis ilmiah ini sudah sesuai dengan prosedur, namun

masih memiliki beberapa keterbatasan, diantaranya adalah:

1. Pada penerapan ini, perubahan tekanan darah pada kedua subyek bukan

hanya dipengaruhi oleh adanya perlakukan teknik relaksasi nafas dalam,

namun dapat juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti obat farmakologi

yang didapatkan kedua subyek. Namun demikian, pada penerapan ini tidak

melakukan analisis lebih lanjut sehingga belum mampu menjelaskan

seberapa besar pengaruh dari perlakuan teknik relaksasi nafas dalam

terhadap perubahan yang terjadi.

2. Penerapan ini hanya menggunakan dua subyek sehingga fenomena yang

terjadi pada kedua subyek belum dapat mewakili seluruh populasi

(penderita hipertensi) namun baru dapat memberikan sebuah deskripsi dari

proses keperawatan model penerapan.

Anda mungkin juga menyukai