Anda di halaman 1dari 37

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu


Penelitian terdahulu adalah skripsi maupun jurnal yang telah
dibuat oleh peneliti lain terdahulu yang digunakan sebagai referensi serta
acuan data pendukung dalam melakukan penelitian ini. Selain itu, juga
dicantumkan sebagai acuan, pembanding, dan pembeda antara penelitian
sebelumnya dengan penelitian yang peneliti lakukan. Hal tersebut
dimaksudkan agar penelitian yang dilakukan ini memiliki dasar yang logis
serta bukan asumsi pribadi peneliti, karena pada penelitian kuantitatif data
yang ada harus bersifat empiris atau berdasarkan pengalaman (terutama
yang diperoleh dari penemuan, percobaan, pengamatan yang telah
dilakukan). Oleh karena itu, peneliti merasa perlu menyajikan penelitian
terdahulu sebagai referensi dan pembeda dalam penelitian ini.

Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
Literatur Literature Review 1 (Jurnal)
Peneliti Lia Atikah
Judul KEKERASAN DALAM TAYANGAN TELEVISI
(Analisis Isi Muatan Kekerasan dalam Tayangan
Televisi di Indonesia)
Tahun 2014
Sumber jurnal.usu.ac.id
Hasil penelitian disimpulkan bahwa bentuk-bentuk
Hasil kekerasan dalam tayangan televisi berdominan dengan
pencelaan dan penghinaan serta masih sangat banyak
kekerasan yang lain terjadi dalam tayangan televisi.
Frekuensi pemunculan kekerasan, pencelaan dan

18
penghinaan yang menduduki frekuensi paling tinggi dari
kekerasan lainnya seperti penendangan, penamparan,
pengancaman, perkelahian verbal, penganiayaan,
pelemparan benda dan lain sebagainya. Unsur kekerasan
pada tayangan televisi tersebut ditemukan dalam bentuk
penayangan adegan kekerasan yang mudah ditiru anak-
anak. Kekerasan disini juga berbentuk verbal, seperti
memaki dengan kata-kata kasar. Kategori pelanggaran
dalam tayangan televisi mencakup aspek visual, narasi
dan nilai-nilai pelanggaran moral, serta perilaku.
Perbedaan Dalam penelitian ini memfokuskan pada kekerasan
verbal dan nonverbal pada 5 tayangan rating tertinggi
pada televisi Nasional.
Literatur Literature Review 2 (Jurnal)
Peneliti Syarif Ady Putra
Judul Analisis Isi Kekerasan Verbal pada Tayangan Pesbuker
di ANTV
Tahun 2015
Sumber ejournal.ilkom.fisip-unmul.ac.id
Hasil Dari hasil penelitian terdapat 1.396 pola komunikasi
yang termasuk kekerasan verbal, yang mencapai 1.394
jumlah frekuensi kesepakatan, yang terdiri dari lima
kategorisasi. Kekerasan verbal didominasi oleh kategori
dengan cara umpatan sebanyak 679 kali kemunculan
atau 48,63%, sedangkan kekerasan dengan cara
disfemisme 193 kali kemunculan atau 13,82%
menempati urutan kedua. Kekerasan dengan cara
eufimisme sebanyak 191 kali kemunculan atau 13,68%,
untuk urutan keempat kekerasan verbal dengan kategori
asosiasi binatang sebanyak 184 kali kemunculan atau
13,18%, untuk urutan kelima ditempati oleh kekerasan
verbal secara hiperbol sebanyak 149 kali kemunculan
atau 10,67%.

19
Perbedaan Penelitian ini memfokuskan pada kuantitas kekerasan
verbal yang terjadi pada acara televisi Pesbuker ANTV.
Literatur Literature Review 3 (Jurnal)
Peneliti Alvionita Choirun Nisa
Judul Analisis Isi Kekerasan Verbal dalam Sinetron “Tukang
Bubur Naik Haji The Series ” di RCTI (Analisis Isi
Episode 396 – 407)
Tahun 2014
Sumber journal.uii.ac.id
Hasil Berdasarkan hasil pengolahan data, dapat disimpulkan
bahwa pelecehan verbal dari kecenderungan muncul di
sinetron "Tukang Bubur Naik Haji The Series" episode
396-407, yaitu kategori mengucapkan kata-kata kasar,
mengancam dan menghina.
Perbedaan Dalam penelitian ini lebih memfokuskan untuk
mengetahui adanya pelecehan verbal dalam sinetron
"Tukang Bubur Naik Haji The Series" di RCTI (Episode
396-407). Teori dan konsep penelitian yang digunakan
adalah komunikasi massa, media massa, televisi dan
pelecehan verbal. Konsep kekerasan verbal yang
digunakan dalam penelitian ini dalam hal aturan Komisi
Penyiaran Indonesia Nomor 02 / P / KPI / 03/2012
tentang Standar Program Siaran 2012 dan bentuk
pelecehan verbal.
Literatur Literature Review 4 (Jurnal)
Peneliti Hilmy Mudzakkir
Judul Kekerasan dalam Film “Ganteng-Ganteng Serigala”
Tahun 2015
Sumber karyailmiah.unisba.ac.id
Hasil Hasil penelitian ini menunjukan bahwa muatan
kekerasan fisik yang memiliki indikator paling tinggi
yakni indikator kekerasan lain-lain dengan presentase
42,86%. Sedangkan pada muatan kekerasan verbal

20
indikator menghina meraih presentase paling tinggi
sebesar 47,82%, selanjutnya pada muatan kekerasan
non-verbal yang meraih presentase paling tinggi adalah
kekerasan dengan indikator mengeluarkan taring dengan
presentase sebesar 50%.
Perbedaan Dalam penelitian ini lebih memfokuskan pada kekerasan
yang terjadi pada sinetron Ganteng-Ganteng Serigala
baik secara verbal maupun non verbal.
Literatur Literature Review 5 (Jurnal)
Peneliti Richard B. Koswara
Judul Penerimaan Penonton Usia Dewasa Terhadap Kekerasan
Verbal Dalam Lawakan Stand Up Comedy Metro TV
Tahun 2014
Sumber studentjournal.petra.ac.id
Hasil Hasil penelitian ini adalah, dua informan
yang sebelumnya pernah menonton tayangan Stand
Up Comedy Metro TV memiliki penerimaan
dominan dan negosiasi dan dua informan
yang sebelumnya belum pernah menonton tayangan
Stand Up Comedy Metro TV memiliki penerimaan
negosiasi dan oposisional. Disamping itu, latar
belakang para informan juga mempengaruhi penerimaan
informan itu sendiri.
Perbedaan Penelitian ini memfokuskan untuk mencari tahu
penerimaan penonton usia dewasa terhadap kekerasan
verbal pada lawakan Stand Up Comedy Metro TV.
Literatur Literature Review 6 (Jurnal)
Peneliti Anggerina Wisela
Judul REPRESENTASI KEKERASAN PADA TAYANGAN
SINETRON INDONESIA (Studi Analisis Isi Kuantitatif
Tayangan Kekerasan Verbal Pada Top 5 Sinetron
Indonesia Januari-Februari 2014)
Tahun 2015

21
Sumber rachmatkriyantono.lecture.ub.ac.id
Hasil Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh data bahwa
tayangan lima sinetron merepresentasikan kekerasan
verbal yang berupa asosiasi pada binatang, umpatan,
eufimisme, stigmatisasi atau labelisasi dan disfemisme.
Kekerasan verbal direpresentasikan sebagai salah satu
dialog yang selalu muncul dalam setiap episodenya. Hal
itu terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan
bahwa total 246 episode dari lima sinetron yang diteliti,
hanya terdapat 13 episode yang tidak ditemukan unsur
kekerasan verbal di dalamnya. Pada penelitian ini
ditemukan bahwa sinetron yang semakin mendekati
kecenderungan genre kehidupan bermasyarakat maka
semakin menampilkan bentuk kekerasan verbal,
sedangkan sinetron yang tidak mendekati
kecenderungan genre kehidupan bermasyarakat maka
lebih kecil kecenderungannya dalam menampilkan
bentuk kekerasan verbal.
Perbedaan Dalam penelitian ini memfokuskan untuk mencari
seberapa besar kekerasan verbal yang terjadi pada
sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series, Anak-anak
Manusia, Diam-diam Suka, Tiba- tiba Cinta, dan Emak
Ijah Pengen Ke Mekah.
Literatur Literature Review 7 (Jurnal)
Peneliti Elita Sartika
Judul Analisis Isi Kualitatif Pesan Moral dalam Film Berjudul
“Kita Versus Korupsi”
Tahun 2014
Sumber ejournal.ilkom.fisip-unmul.ac.i
Hasil Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk “pesan
moral yang tampak” dalam film berjudul “Kita Versus
Korupsi” adalah moral dalam hubungan manusia dengan
Tuhan yang berupa percaya kepada Tuhan. Moral dalam

22
hubungan manusia dengan manusia lain yang berupa
kekeluargaan, kepedulian, tolong-menolong. Moral
dalam hubungan manusia dengan diri sendiri yang
berupa takut, jujur, sabar, keegoisan, keberanian,
kecerdikan, harga diri, bangga, keraguan dan kecewa.
Sedangkan hasil analisis yang diperoleh untuk “pesan
moral yang tersembunyi” dalam film berjudul “Kita
Versus Korupsi” adalah moral dalam hubungan manusia
dengan Tuhan yang berupa bersyukur dan percaya
kepada Tuhan. Moral dalam hubungan manusia dengan
manusia lain yang berupa kasih sayang, rela berkorban,
kekeluargaan, kepedulian, gotong-royong dan tolong-
menolong. Moral dalam hubungan manusia dengan alam
yang berupa kodrat alam. Moral dalam hubungan
manusia dengan diri sendiri yang berupa takut, jujur,
sabar, maut, rindu, keegoisan, bekerja keras, menuntut
ilmu, keberanian, kecerdikan, harga diri, sakit, bangga,
keraguan dan kecewa.
Perbedaan Penelitian ini memfokuskan pada analisis isi terhadap
pesan moral yang terkandung dalam film yang berjudul
“Kita Versus Korupsi”
Literatur Literature Review 8 (Jurnal)
Peneliti Innes Felicia Chandra
Judul Persepsi Remaja di Kota Malang terhadap Kekerasan
Verbal dalam Program Komedi Pesbukers
Tahun 2013
Sumber www.academia.edu
Hasil Hasil penelitian ini menunjukkan perbedaan persepsi
yaitu positif dan negatif. Sebagian informan
mempersepsi kekerasan verbal dalam Pesbukers sebagai
gurauan semata. Sedangkan sebagian yang lain
mempersepsi kekerasan verbal dalam Pesbuker sebagai
hal yang tidak wajar bila ditayangkan di televisi.

23
Perbedaan persepsi tersebut terjadi karena adanya
perbedaan cara informan dalam mempersepsi sebuah
pesan. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor-faktor
yang terjadi dalam diri individu. Dari beberapa faktor
tersebut faktor nilai yang berhubungan dengan
pengalaman terdahulu banyak mempengaruhi persepsi
informan terhadap kekerasan verbal. Perbedaan nilai dan
pengalaman terdahulu dalam diri setiap individu, akan
membentuk persepsi terhadap kekerasan verbal yang
berbeda pula.
Perbedaan Penelitian ini lebih memfokuskan kepada presepsi
informan terhadap kekerasan verbal yang terjadi pada
tayangan acara televisi Pesbuker ANTV.
Literatur Literature Review 9 (Jurnal)
Peneliti Elita Primasari Hananta
Judul Konten Kekerasan dalam Film Indonesia Anak Terlaris
Tahun 2009- 2011
Tahun 2013
Sumber studentjournal.petra.ac.id
Hasil Dari hasil koding dan pengolahan data, peneliti
menemukan bahwa film layar lebar Indonesia anak
mengandung kekerasan dan jenis kekerasan yang
dominan adalah kekerasan psikologis. Sedangkan
kekerasan yang paling jarang ditampilkan adalah
kekerasan finansial. Peneliti menemukan kekerasan
finansial dalam bentuk korupsi.
Perbedaan Penelitian ini memfokuskan pada kekerasan yang terjadi
pada film anak terlaris tahun 2009-1011.
Literatur Literature Review 10 (Skripsi)
Peneliti Dwi Ratna Setyorini
Judul Kekerasan Dalam Sinetron “Si Biang Kerok Cilik”
(Analisis Isi Kekerasan Dalam Tayangan Sinetron
Anak-anak “Si Biang Kerok Cilik” Di SCTV)

24
Tahun 2014
Sumber dwonload.portalgaruda.org
Hasil Hasil uji reliabilitas antar koder diperoleh 100%.
Temuan penelitian menunjukkan sinetron Si Biang
Kerok Cilik, dari 170 tokoh terdapat 107 tokoh (63%)
melakukan kekerasan. Kekerasan banyak dilakukan oleh
tokoh usia Dewasa dan Anak. Bentuk kekerasan yang
banyak muncul adalah Kekerasan Fisik (79%) dan
Kekerasan Psikologis (42%). Hampir seluruh kekerasan
dilakukan dengan Motif Sengaja (93%), dan sebagian
besar dilakukan di Lokasi Publik (67%) yaitu di Jalan
dan di Sekolah. Pada sinetron Si Biang Kerok Cilik
terlihat bahwa tayangan ini banyak menampilkan /
terkesan memberikan bentuk kekerasan secara jelas,
serta kekerasan boleh atau wajar dilakukan oleh usia
dewasa bahkan anak-anak baik dirumah maupun di
tempat terbuka. Saran penelitian ini adalah televisi harus
memperhatikan isi tayangan program sehingga layak
ditonton pemirsa. Begitu juga masyarakat perlu
mendampingi anak saat menonton televisi serta melek
media agar dapat memahami dan memilih tontonan yang
sesuai.
Perbedaan Penelitian ini memfokuskan pada analisis isi kuantitatif
terhadap kekerasan yang terjadi dalam sinetron Si Biang
Kerok Cilik, baik itu kekerasan verbal ataupun non
verbal.
Literatur Literature Review 11 (Skripsi)
Peneliti Whisnu Fergiantra
Judul Analisis Isi Deskriptif Kekerasan Verbal, Adegan
Seksualitas, dan Kekerasan Fisik pada Tayangan
Pesbuker
Tahun 2014
Sumber Perpustakaan Universitas Telkom

25
Hasil Dari hasil penelitian ditemukan bahwa dari kekerasan
fisik, kekerasan verbal, dan adegan seksualitas,
kekerasan verbal lah yang memiliki persentase
terbanyak dibanding dengan kategori yang lain yaitu
kekerasan verbal memiliki persentase yang cukup besar
yaitu sebanyak 83,7% dari 31 segmen dibandingkan
dengan dua kategori lainnya. Disusul oleh adegan
seksualitas sebanyak 67,75%, dan kemudian kekerasan
fisik sebanyak 61,30%. Dari penjelasan tersebut dapat
disimpulkan bahwa adegan yang melanggar pedoman
perilaku penyiaran masih tinggi pada program
Pesbukers.
Perbedaan Penelitian ini memfokuskan pada analisis isi kekerasan
yang terjadi pada acara televisi Pesbukers, baik
kekerasan verbal, non verbal, dan adegan seksualitas.
Literatur Literature Review 12 (Skripsi)
Peneliti Nopri Kusuma Wijaya
Judul Kekerasan dalam Program Anak
(Analisis Isi Kuantitatif Adegan Kekerasan Dalam Film
Kartun Spongebob Squarepants)
Tahun 2013
Sumber eprints.ums.ac.id
Hasil Dengan menggunakan metode analisis isi. Hasil
penelitian ini, menunjukan terdapat dua jenis kekerasan
yang terdapat dalam tayangan program animasi kartun
anak Spongebob Squarepants periode Tanggal 01 - 08
Mei 2013.
Perbedaan Penelitian ini memfokuskan pada analisis isi terhadap
kekerasan yang terjadi pada tayangan kartun Spogebob
Squarpants periode tanggal 01-08 Mei 2013.
Literatur Literature Review 13 (Skripsi)
Peneliti Ilham Futaki
Judul Visualisasi Bentuk Kekerasan pada Tayangan Komedi

26
Pesbukers (Studi Analisis Isi Tayangan Komedi
Pesbukers)
Tahun 2014
Sumber portalgaruda.org
Hasil Dari penelitian yang dilakukan, dapat dilihat bahwa
terdapat banyak tindak kekerasan yang terjadi pada lima
episode tayangan komedi Pesbukers. Hasil penelitian
juga menunjukkan bahwa terdapat bentuk kekerasan
yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: kekerasan
verbal, kekerasan non verbal, dan kekerasan psikis.
Dengan banyaknya adegan yang muncul, dapat
diketahui juga peran dan jenis kelamin yang melakukan
tindak kekerasan. Tidak hanya itu, selain
kategorikategori yang telah disebutkan di atas, juga
ditemukan penemuan menarik yang masih berkaitan
dengan kekerasan, yaitu naturalisasi kekerasan pada
media massa.
Perbedaan Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
kekerasan yang terjadi pada tayangan komedi
Pesbukers. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kuantitatif dengan metode analisis isi. Analisis isi
digunakan untuk mendeskripsi dan menganalisis adanya
kekerasan di 5 (lima) episode yang dijadikan sampel
penelitian.
Literatur Literature Review 14 (Skripsi)
Peneliti Lutfi Wijaya Putri
Judul Analisis Isi Adegan Kekerasan dalam Film “THE
SIMPSONS : MOVIE”
Tahun 2008
Sumber thesis.umy.ac.id
Hasil Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kekerasan
dalam bentuk non verbal dalam film The Simpsons :
Movie tervisualisasi sebanyak 63,2 % dan adegan

27
kekerasan dalam bentuk verbal sebanyak 36,8 %. Jenis-
jenis adegan kekerasan dalam bentuk non verbal
tersebut antara lain adalah berupa adegan pemukulan,
penusukkan, penembakan, pembunuhan, pencekikkan,
peledakan, penganiayaan, pelemparan benda-benda
kearah organ tubuh dan penganiayaan. Sedangkan jenis
adegan dalam bentuk verbal adalah berupa adegan
penertawaan dengan tujuan melecehkan, pengancaman,
pengusiran, penodongan, penggunaan kata bermakna
merendahkan, dan pelecehan kata-kata terhadap orang
tua. Dari hasil analisis secara keseluruhan, adegan
kekerasan yang dominan yang tersaji dalam film The
Simpsons : Movie adalah adegan kekerasan dengan
bentuk non verbal berjenis adegan pemukulan yang
tersaji sebanyak 18,8 %.
Perbedaan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
jenis-jenis kekerasan apa saja yang terdapat dalam film
The Simpsons : Movie dan apakah jenis kekerasan yang
dominan tervisualisasi dalam film animasi The Simpsons
: Movie.
Literatur Literature Review 15 (Skripsi)
Peneliti R. Dafit Radityo Putra
Judul Bentuk – Bentuk Kekerasan dalam Serial Anak
(Analisis Isi Dalam Serial “ Naruto Season 1, Episode 4-
5 “ Karya Masashi Kishimoto )
Tahun 2011
Sumber eprints.umm.ac.id
Hasil Hasil penelitian Episode 4 menunjukkan bahwa
berdasarkan kategori kekerasan verbal sebesar 59 detik,
indikator membentak 19 detik, mencela 18 detik,
Berbicara dengan nada tinggi 11 detik, mencaci 7 detik,
mengejek 4 detik.dan kategori kekerasan non verbal
sebesar 109 detik, indikator memukul 76 detik,

28
menggunakan senjata 33 detik, sedangkan pada
indikator menendang, membanting dan menggunakan
jurus itu 0. Kategori yang terakhir adalah kekerasan
psikologi sebesar 68 detik, indikatornya tatapan sinis 32
detik, ekspresi wajah marah/tidak suka 27 detik,
perkataan yang mengancam 9 detik. Total keseluruhan
episode 4 dari kategori kekerasan verbal, non verbal dan
psikologi adalah 236 detik. Sehingga dapat diketahui
bahwa 236 detik < 1213 detik dari total durasi film
Naruto episode 4, disimpulkan bahwa porsi unsur
kekerasan tidak mendominasi dalam film Naruto
episode 4, karena hasilnya kurang dari setengah jumlah
total durasi film. Dan hasil penelitian Episode 5 juga
menunjukkan bahwa berdasarkan kategori kekerasan
verbal sebesar 72 detik, indikator membentak 40 detik,
mencela 11 detik, Berbicara dengan nada tinggi 18
detik, mencaci 3 detik, mengejek 0 detik. Dan kategori
kekerasan non verbal sebesar 83 detik, indikator
menggunakan senjata 15 detik, menendang 15 detik,
membanting 9 detik, memukul 0 detik. Total
keseluruhan episode 5 dari kategori kekerasan verbal,
non verbal dan psikologi adalah 213 detik. Sehingga
dapat diketahui bahwa 213 detik < 1213 detik dari total
durasi film Naruto episode 5, disimpulkan bahwa porsi
unsur kekerasan tidak mendominasi dalam film Naruto
episode 5, karena hasilnya kurang dari setengah jumlah
total durasi film. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
film Naruto episode 4-5 mengandung unsur-unsur
kekerasan: mencaci, mengejek, mencela, membentak,
berbicara nada tinggi, memukul, menendang,
menggunakan jurus, menggunakan senjata, tatapan sinis,
ekspresi marah/tidak suka, dan perkataan ancaman. Hal
ini dapat diketahui peneliti dari hasil analisis dengan

29
perhitungan yang akurat sehingga film kartun ini
memang benar ada unsur kekerasan. Disarankan untuk
para peminat dan bagi orang tua untuk bisa menyeleksi
film kartun yang aman untuk dikonsumsi oleh anak yang
masih dibawah umur dan selalu menemani dan memberi
pencerahan terhadap psikologi anak.
Perbedaan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa
besar bentuk kekerasan dan dari fenomena itulah
peneliti ingin mencoba menganalisis kekerasan apa saja
yang akan muncul pada serial“ Naruto season 1,
Episode 4-5 “. Dari situ akan ditemukan bagaimana
perbandingan dari bentuk-bentuk kekerasan yang sudah
dikategorikan dalam tiap-tiap episodenya.
Literatur Literature Review 16 (Skripsi)
Peneliti Nancy Natalia
Judul Kecenderungan Bentuk Kekerasan pada Film Kartun
Spongebob Squarpants di Global TV Periode Agustus
2008
Tahun 2009
Sumber digilib.mercubuana.ac.id/
Hasil Hasil penelitian menunjukan bahwa dari keenam
kategori yang didalamnya dibagi menjadi beberapa
bagian, film kartun ini memiliki kecenderungan bentuk
kekerasan. Dengan menghasilkam kehandalan 100
persen dari setiap kategori. Dari keenam kategori
tersebut, untuk kategori tokoh pemeran yang memiliki
kecenderungan bentuk kekerasan terhadap diri sendiri
adalah melukai diri sendiri, kategori kekerasan terhadap
orang lain adalah memaksa, merusak, kategori
kekerasan dengan perusakan barang atau tempat adalah
menghancurkan atau merusak, dan kategori kekerasan
secara verbal adalah memarahi, marah-marah, atau
membentak.

30
Perbedaan Penelitian ini memfokuskan pada tindak kekerasan yang
terjadi pada serial kartun Spongebob, baik itu kekerasan
verbal ataupun non verbal.
Literatur Literature Review 17 (Skripsi)
Peneliti Muhammad Iqbal Fahmi
Judul Dimensi-Dimensi Kekerasan dalam Film Fast and
Furious 6 (Analisis Isi pada Film Fast and Furious 6)
Tahun 2014
Sumber digilib.uin-suka.ac.id
Hasil Hasil penelitian menunjukan terdapat beberapa konten
kekerasan dalam film ini, kekerasan fisik memiliki
jumlah presentase terbesar dibandingkan bentuk lainnya,
yaitu lebih dari 70%. Dominasi jumlah pemain laki-laki
dalam film ini tampaknya sangat mendominasi
jumlahnya, lebih dari 60% pria berperan aktif dalam
film ini.
Perbedaan Penelitian ini memfokuskan pada kekerasan dan
dimensi-dimensi kekerasan yang terdapat dalam film
Fast and Furious 6.
Literatur Literature Review 18 (Skripsi)
Peneliti Kartika Octaviana
Judul Sensanionalisme dalam Berita Televisi Indonesia
Tahun 2008
sumber Lib.ui.ac.id
Hasil Hasil penelitian menujukan bahwa tingkat
sensanionalisme pada program berita Kabar Siang lebih
tinggi dibanding program berita Metro Siang. Selain itu,
ditemukan bahwa dimensi format memang terbukti
penting untuk mengukur sensanionalisme berita televisi.
Hal ini disimpulkan dari penemuan yang menyatakan
bahwa pengemasan audio visual untuk berita dengan
topik sensasional belum tentu lebih sensasional
dibandingkan berita dengan topik non sensasional.

31
Perbedaan Penelitian ini memfokuskan pada analisis isi terhadap
tingkat sensasionalime pada tayangan berita di televisi
Indonesia.
Sumber: (Olahan Peneliti, 2017).

2.2 Tinjauan Teori


2.2.1 Komunikasi
2.2.1.1 Definisi
Hakikat komunikasi adalah proses pernyataan antarmanusia.
Yang dinyatakan itu adalah pikiran atau perasaan seseorang kepada orang
lain dengan menggunakan bahasa sebagai alat penyalurnya (Effendy,
2003:28).
Menurut Berelson dan Steiner (dalam Suryanto, 2015:50)
mendefinisikan komunikasi yaitu proses penyampaian pesan informasi,
gagasan, emosi, keahlian dan lain-lain melalui penggunaan simbol-simbol,
seperti kata-kata, gambar, angka, dan lain-lain.
Onong Uchjana Effendy (2004) dalam bukunya, Ilmu
Komunikasi: Teori dan Praktek, juga mengatakan bahwa komunikasi
adalah proses penyimpanan pikiran atau perasaan oleh komunikator
kepada komunikan.
2.2.1.2 Proses Komunikasi
Menurut Onong Uchjana Effendy dalam bukunya, Ilmu, Teori
dan Filsafat Komunikasi (2003:31-39) membagi proses komunikasi
menjadi empat, yaitu sebagai berikut:
a. Proses Komunikasi Primer
Proses komunikasi secara primer (primary process) adalah
proses penyampaian pikiran oleh komunikator kepada
komunikan dengan menggunakan suatu lambang (symbol)
sebagai media atau saluran. Lambang ini umumnya bahasa,
tetapi dalam situasi komunikasi tertentu lambang-lambang
yang dipergunakan dapat berupa kial (gesture), yakni gerak
anggota tubuh, gambar, warna, dan lain sebagainya. Lalu,
lambang ini dibagi menjadi dua, yaitu lambang verbal dan
lambang non-verbal.
32
(1) Lambang Verbal
Dalam proses komunikasi bahasa sebagai lambang
verbal paling banyak dan paling sering digunakan, oleh
karena itu hanya bahasa yang mampu mengungkapkan
pikiran komunikator mengenai hal atau peristiwa, baik
yang konkret maupun yang abstrak, yang terjadi masa
kini, masa lalu dan masa yang akan datang.
(2) Lambang Non-Verbal
Lambang non-verbal adalah yang dipergunakan dalam
komunikasi, yang bukan bahasa, misalnya kial, isyarat
dengan anggota tubuh, antara lain kepala, mata, bibir,
tangan, dan jari.
b. Proses Komunikasi Sekunder
Proses komunikasi sekunder adalah proses penyampaian
pesan oleh komunikator kepada komunikan dengan
menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah
memakai lambang sebagai media pertama.
c. Proses Komunikasi Linear
Istilah linear mengandung makna lurus. Jadi proses linear
berarti perjalanan dari satu titik ke titik lain secara lurus.
Dalam konteks komunikasi proses secara linear adalah proses
penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan
sebagai titik terminal. Komunikasi linear ini berlangsung baik
dalam situasi komunikasi tatap muka (face-to-face
communication) maupun dalam situasi komunikasi bermedia
(mediated communication).
d. Proses Komunikasi Sirkular
Sirkular sebagai terjemahan dari perkataan “circular” secara
harfiah berarti bulat, bundar atau keliling sebagai lawan dari
perkataan linear tadi yang bermakna lurus. Dalam konteks
komunikasi yang dimaksudkan dengan proses secara sirkular
itu adalah terjadinya feedback atau umpan balik, yaitu
terjadinya arus dari komunikan ke komunikator. Oleh karena

33
itu ada kalanya feedback tersebut mengalir dari komunikan ke
komunikator terhadap pesan yang ia terima dari komunikator.
2.2.1.3 Tatanan Komunikasi
Masih dalam bukunya yang berjudul Ilmu, Teori dan Filsafat
Komunikasi (2003), Effendy membagi tahapan komunikasi menjadi tiga,
yaitu sebagai berikut:
a. Komunikasi Pribadi
Komunikasi pribadi (personal communication) adalah
komunikasi seputar diri seseorang, baik dalam fungsinya
sebagai komunikator maupun sebagai komunikan. Tatanan
komunikasi (setting of communication) ini terdiri dari dua
jenis, yakni komunikasi intrapribadi dan komunikasi
antarpribadi.
b. Komunikasi Kelompok
Sebagaimana halnya seputar bidang komunikasi, tatanan
komunikasi, metode komunikasi, teknik komunikasi, dan lain
sebagainya, para pakar komunikasi, tidak memiliki pendapat
yang sama, demikian pula mengenai komunikasi kelompok
yang kita bahas sekarang ini. Oleh karena itu, maka jika kita
menelaah komunikasi kita perlu memahami pengertian
kelompok menurut disiplin ilmu lain. Dengan demikian kita
akan dapat menganalisanya secara intens.
c. Komunikasi Massa
Yang dimaksudkan dengan komunikasi massa (mass
communication) disini adalah komunikasi melalui media
massa modern, yang meliputi surat kabar yang mempunyai
sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang
dipertunjukkan kepada umum, dan film yang dipertunjukkan
di gedung-gedung bioskop.
Sedangkan media massa yang dipergunakan dalam penelitian
ini lebih modern dibandingkan media massa tradisional yang
telah dipaparkan sebelumnya. Media massa tersebut bernama
‘media baru’ atau ‘new media’ yang di dalamnya terdapat
media sosial sebagai media komunikasi yang lebih modern.

34
2.2.2 Komunikasi Verbal
2.2.2.1 Pesan Vebal
Suryanto (2015) dalam bukunya, Pengantar Ilmu Komunikasi,
menjelaskan pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan
satu kata atau lebih. Kata-kata adalah abstraksi realitas individual yang
tidak mampu menimbulkan reaksi.
2.2.2.2 Bahasa Verbal
Dedi Mulyana (2013) dalam bukunya, Ilmu Komunikasi Suatu
Pengatar, mengatakan bahasa verbal adalah sarana utama untuk
menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud kita. Bahasa verbal
menggunakan kata-kata yang mempresentasikan berbagai realitas
individual kita.
2.2.2.3 Fungsi Bahasa
Menurut Larry L. Barker (dalam Mulyana, 2013:266) bahasa
memiliki tiga fungsi, yaitu sebagai berikut:
a. Penamaan (naming)
Penamaan atau julukan merujuk pada usaha mengidentifikasi
objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya
sehingga dapat dirujuk.
b. Interaksi
Fungsi interaksi, menurut Barker, menekankan berbagai
gagasan dan emosi, yang dapat mengundang simpati dan
pengertian atau kemarahan dan kebingungan.
c. Transmisi dan Infomasi
Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang
lain. Anda juga menerima informasi setiap hari, sejak bangun
tidur hingga tidur kembali, dari orang lain, baik secara
langsung atau tidak. Fungsi bahasa inilah yang disebut fungsi
transmisi.
Barker berpandangan, keistimewaan bahasa sebagai sarana
transmisi informasi yang lintas-waktu, dengan
menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan,
memungkinkan kesinambungan budaya dan tradisi kita.
Tanpa bahasa kita tidak mungkin bertukar informasi; kita

35
tidak mungkin menghadirkan semua objek dan tempat untuk
kita rujuk dalam komunikasi.

2.2.3 Kekerasan
Menurut World Health Organization, kekerasan adalah
penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan
terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat
yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan
memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan.
Tindak kekerasan menunjuk pada tindakan yang dapat merugikan orang
lain. Misalnya, pembunuhan, penjarahan, pemukulan, dan lain-lain.
Walaupun tindakan tersebut menurut masyarakat umum dinilai benar.
Pada dasarnya kekerasan diartikan sebagai perilaku dengan sengaja
maupun tidak sengaja (verbal maupun non-verbal) yang ditujukan untuk
mencederai atau merusak orang lain, baik berupa serangan fisik, mental,
sosial, maupun ekonomi yang melanggar hak asasi manusia, bertentangan
dengan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat sehingga berdampak
trauma bagi korbannya (https://ejournal.ilkom.fisip-unmul.ac.id diakses
pada 22 April 2017 pukul 22.30 WIB).
Jehel (2003:123 dalam Haryatmoko (2007:119-120)
menggambarkan kekerasan sebagai berikut.
“Dalam kekerasan terkandung dominasi terhadap pihak lain
dalam berbagai bentuknya: fisik, verbal, moral, atau melalui
gambar. Penggunaan kekuatan, manipulasi, fitnah, pemberitaan
yang tidak benar, pengkondisian yang merugikan, kata-kata yang
memojokkan, dan penghinaan merupakan ungkapan nyata
kekerasan. Logika kekerasan merupakan logika kematian karena
bisa melukai tubuh, melukai secara psikologis, merugikan, dan
bisa menjadi ancaman terhadap pribadi”.
Dalam Baryadi (2012:35-36) jenis kekerasan yang populer
dikenal adalah kekerasan fisik (physical violence). Contoh kekerasan fisik
adalah pemukulan, penganiayaan, pemerkosaan, penusukan, pembunuhan,
pembakaran, penyerbuan, penembakan, pengeroyokan, pembantaian,
pengeboman, perampasan, dan sebagainya. Di samping kekerasan fisik,

36
ada pula satu jenis kekerasan yang disebut kekerasan simbolik (symbolic
violence), yaitu kekerasan yang bersifat simbolis. Kekerasan simbolik
dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu kekerasan yang dilakukan
melalui simbol non-verbal atau disebut pula sebagai kekerasan simbolik
non-verbal dan kekerasan yang dilakukan melalui simbol verbal atau
disebut pula sebagai kekerasan simbol verbal atau kekerasan verbal
(Baryadi, 2002:20).

2.2.4 Kekerasan Verbal


Kekerasan verbal dalam Baryadi (2012:35) adalah kekerasan
yang menggunakan bahasa, yaitu kekerasan yang menggunakan kata-kata,
kalimat, dan unsur-unsur bahasa lainnya. Djawanai (2001:68-69)
menyatakan, “tindakan berbahasa adalah bagian dari tingkah laku
manusiawi dan dalam tingkah laku itu sangat mungkin orang melakukan
sesuatu yang dapat dikategorikan sebagai serangan secara verbal, artinya
serangan menggunakan kata-kata (verbal attack) kepada orang lain yang
tak lain merupakan suatu tindakan kekerasan”.
Kekerasan verbal terwujud dalam tindak tutur yang dapat disebut
sebagai tindak tutur kekerasan. Tindak tutur kekerasan, selain dengan titi
nada yang tinggi, juga ditandai dengan kelugasan pengungkapan serta
kata-kata yang menyakitkan hati (kata-kata jorok atau kata-kata makian
yang merendahkan pihak lain) lazim dikenal sebagai “ucapan yang keras”,
bicaranya keras”, “kata-katanya pedas” dan sebgainya (Sudaryanto,
1990:52).
Menurut Galtung dan Salmi (2002, 183-190, 2003: 29-42 dalam
Baryadi (2012, 37-38) tindak tutur kekerasan dapat dibedakan menjadi
empat jenis, yaitu (i) tindak tutur kekerasan tidak langsung, (ii) tindak
tutur kekerasan langsung, (iii) tindak tutur kekerasan represif, dan (iv)
tindak tutur kekerasan alienatif.
(i) Tindak tutur kekerasan tidak langsung adalah kekerasan
verbal verbal yang tidak seketika itu juga mengenai
korban, tetapi melalui media atau proses berantai. Tindak
tutur kekerasan tidak langsung misalnya terwujud dalam
fitnah, stigmatisasi, dan penstereotipan (stereotyping).

37
(ii) Tindak tutur kekerasan langsung adalah tindak tutur
kekerasan yang langsung menimpa pada korban pada saat
komunikasi verbal berlangsung. Yang termasuk jenis
tindak tutur kekerasan langsung adalah membentak,
memaki, mencerca, mengancam, mengejek, menuduh,
menghina, meremehkan, mengusir, menolak, menuntut,
menghardik, memaksa, menentang, meneror, mengungkit-
ungkit, mengusik, mempermalukan, mendamprat,
memarahi, menentang, mendiamkan, menjelek-jelekkan,
mengolok-olok, mengata-ngatai, dan menyalahkan.
(iii) Tindak tutur kekerasan represif merupakan tindak tutur
yang menekan atau mengintimidasi korban. Perwujudan
tindak tutur represif antara lain adalah memaksa,
mengintruksikan memerintah, mengancam, menakut-
nakuti, membentak, memarahi, mengata-ngatai, meneror,
memprovokasi, dan sebagainya.
(iv) Tindak tutur kekerasan alienatif adalah tindak tutur yang
bermaksud menjauhkan mengasingkan, atau bahkan
melenyapkan korban dari komunitas atau masyaraktnya.
Yang termasuk tindak tutur alienatif adalah mendiamkan
atau “njothak”, mengusir, mengucilkan, mendiskreditkan,
menjelek-jelekkan, mempermalukan, dan sebagainya.

2.2.5 Definisi Konsepsional Kekerasan Verbal


Konsep dalam Eriyanto (2011:175) didefinisikan sebagai
abstraksi atau representasi dari suatu objek atau gejala sosial. Konsep
semacam gambaran singkat dari realitas sosial, yang dipakai untuk
mewakili suatu realitas yang kompleks.
Pada penelitian ini, peneliti merumuskan definisi konsepsional
yang bertujuan sebagai pembatasan terhadap penelitian yang akan
dilakukan, yaitu untuk mengetahui frekuensi terjadinya kekerasan verbal
dalam vlog game Grand Theft Auto V pada kanal YouTube Rezaoktovian,
yaitu seri video dengan tema 3 (Three) Idiots. Seri yang dimaksud yaitu
periode pengunggahan video pada bulan April 2015 sampai Juli 2016.

38
Peneliti membagi kategorisasi verbal dengan mengutip pada
penelitian terdahulu yang berjudul ‘Kekerasan Verbal Dan Non Verbal
Pada Tayangan Komedi Di Televisi (Analisis Isi Pada Tayangan Komedi
Pesbukers Episode 23 Mei 2013 dan 23 Juli 2013)’ oleh Rizki Wide
Kesworo (2014), adapun kekerasan verbal tersebut terbagi dalam empat
kategori, yaitu, eufemisme, hiperbol, umpatan, dan umpatan dalam bahasa
asing. Dengan definisi dari masing-masing kategori sebagai berikut.
a. Eufemisme
Eufemisme berasal dari kosakata Yunani euphemizein, yaitu
mempergunakan kata-kata dengan arti yang baik atau dengan
tujuan yang baik (Keraf, 1981:132). Sebagai gaya bahasa,
eufemisme adalah sebuah acuan berupa ungkapan-ungkapan
yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-
ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang
mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau
menyugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan (Keraf,
1981:132).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesai (KBBI) eufemisme
adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti
ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan
atau tidak menyenangkan (KBBI Pusat Bahasa Edisi
Keempat, 2011:383).
Menurut Wijana (2008:96-104) berdasarkan referensi,
eufemisme dapat digolongkan menjadi: (i) benda dan (ii)
binatang, (iii) bagian tubuh, (iv) profesi, (v) penyakit, (vi)
aktivitas, (vii) peristiwa, (viii) sifat atau keadaan.
(i) Benda dan Binatang
Benda-benda yang dikeluarkan oleh aktivitas organ
tubuh manusia ada beberapa diantaranya yang
memiliki referen yang menjijikan. Kata-kata yang
mengacu pada nilai rasa jijik biasanya dituturkan
dengan cara memperhalus kata. Tempat kencing dan
berak disebut kakus ‘WC’. Kata kakus ‘WC’
menimbulkan nilai rasa jijik. Oleh karena itu, kata

39
kakus diperhalus menjadi pekiwan. Kemudian ‘air
kencing’ dan ‘tai’, agar lebih sopan maka diganti
dengan ‘air seni’, ‘urine’, ‘air kecil’, ‘tinja’ dan
‘feaces’. Biasanya sebagai sarana pendidikan, nama-
nama hewan seperti ‘anjing’, ‘kambing’, ‘kucing’
diganti dengan tiruan bunyi (onomatope)-nya, yaitu
‘guguk’, ‘embek’ dan ‘pus’ (Wijana, 2008: 80-81)
(ii) Bagian Tubuh
Bagian-bagian tubuh tertentu yang karena fungsinya
digunakan untuk aktivitas seksual, oleh karenanya
tidak bebas dibicarakan secara terbuka. Harus
dihindari penyebutan langsungnya. Misalnya bagian
tubuh yang dieufemismekan adalah ‘buah dada’ dan
‘tetek’. Eufemisnya dari kata tersebut adalah
‘payudara’. Kemudian bagian tubuh lain yang
dianggap kotor adalah ‘anus’ dan ‘dubur’. Kata
tersebut diganti dengan ‘pelepasan’, untuk
menggindari penyebutan langsungnya. (Wijana,
2008: 81-82).
(iii) Profesi
‘Pelacur’, ‘pemantu’, ‘pemulung’, dan ‘pengemis’
adalah profesi yang dipandang rendah dalam
masyarakat. Untuk menghindari pandangan tersebut,
maka diciptakan bentuk-bentuk eufemisme. Kata
‘pelacur’ harus diganti dengan ‘wanita tuna susila’
(WTS), ‘wanita penghibur’, atau ‘pramunikmat’.
Adapun metafora eufemismenya adalah’ kupu-kupu
malam’. Penggunaan istilah itu untuk menghormati
orang-orang yang memiliki profesi tersebut.
(Wijana, 2008: 82-83)
(iv) Penyakit
Bentuk-bentuk eufemisme nama-nama penyakit ini
berupa istilah-istilah yang lazim digunakan dibidang
kedokteran. Pemakaian istilah tersebut untuk

40
menimbulkan kesan sopan, untuk merahasiakan
penyakit-penyakit itu kepada para pasien atau orang-
orang yang tidak berhak mendengarnya. Misal,
‘ayan’ diganti dengan ‘epilepsi’, ‘kudis’ diganti
dengan ‘scabies’, dsb (Wijana, 2008:83).
(v) Aktivitas
Tidak hanya benda-benda buangan tubuh manusia
yang harus diberi bentuk eufemistis, tetapi aktivitas-
aktivitas yang berkaitan dengan benda-benda tubuh
manusia harus mendapat perlakuan yang sama di
dalam pemakaian bahasa. Misalnya, ‘buang air’
(kecil atau besar), ‘ke belakang’ atau ‘ke kamar
mandi’ adalah bentuk eufemistis untuk
menggantikan kata berkonotasi negatif sepeti
‘kencing’ dan ‘berak’. Aktivitas yang berhubungan
dengan aktifitas seksual juga perlu digunakan
pemakaian eufemisme. Misalnya kata
‘bersenggama’ dan ‘bersetubuh’ harus diganti
dengan ‘berhubungan intim’. Kemudian aktivitas
seksual yang ilegal, yaitu ‘menyeleweng’ dapat
diganti dengan kata ‘berselingkuh’. Dalam bidang
kriminalitas, kata ‘korupsi’ dan ‘manipulasi’
diperhalus dengan kata ‘penyalahgunaan’ atau
‘penyimpangan’. Kemudian kata ‘ditangkap’,
‘ditahan’, atau ‘dipecat’ dapat diperhalus dengan
‘diamankan’, ‘dimintai keterangan’, atau
‘diberhentikan’ (Wijana, 2008:84).
(vi) Peristiwa
Peristiwa dalam hal ini mengenai suatu yang buruk
yang dialami oleh seseorang. Sesuatu yang buruk itu
dapat pula peristiwa yang disengaja dan tidak
disengaja. Misalnya, kata ‘mati’ tidak sopan apabila
dituturkan untuk orang, kata mati diganti dengan
bentuk eufemisme ‘seda’ (dalam bahasa Jawa),

41
karena kata seda (dalam bahasa Jawa) dianggap
lebih sopan dan menghormati untuk orang yang
meninggal dan ditinggalkannya. Kata mati (dalam
bahasa Indonesia) digantikan dengan bentuk
eufemisme ‘meninggal dunia’ (Wijana, 2008:84).
(vii) Sifat atau Keadaan
Keadaan buruk kekurangan pada seseorang atau
suatu pihak sering kali diminimalkan untuk
menghormati orang-orang atau pihak-pihak yang
memiliki keadaan buruk atau kekurangan itu.
Misalnya, kata ‘goblog’, ‘bego’ (dalam bahasa
Jawa) merupakan kata yang dianggap kasar dan
harus diganti dengan bentuk eufemisme ‘ora pinter’
(dalam bahasa Jawa). Kata ‘cacat’ diganti dengan
bentuk eufemisme ‘keterbatasan fisik’, karena kata
tersebut dianggap lebih sopan dan menghormati
orang yang dituju (Wijana, 2008:85-86).
b. Hiperbol
Hiperbol adalah semacam gaya bahasa yang mengandung
suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan
sesuatu hal (Keraf, 1981:135). Hiperbola adalah sejenis gaya
bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan
jumlahnya, ukurannya, atau sifatnya dengan maksud memberi
penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk
memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya. Gaya
bahasa ini melibatkan kata-kata, frase, atau kalimat (Tarigan,
2013: 55).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) hiperbol
adalah ucapan (ungkapan, pernyataan) kiasan yang dibesar-
besarkan (berlebih-lebihan), dimaksudkan untuk memperoleh
efek tertentu (KBBI Pusat Bahasa Edisi Keempat, 2008:500).
Contoh bentuk-bentuk hiperbol yang terdapat pada penelitian
terdahulu yang berjudul ‘Gaya Bahasa Tung Desem Waringin
Dalam Seminar “Financial Revolution” Serta Implikasinya

42
Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia Di SMA’ ole Fitri
Nursilawatih (2016:54), adalah sebagai berikut.
(i) Kekayaan pengusaha itu selangit, dalam waktu
singkat ia ‘menguras seluruh isi di mal itu’.
(ii) Dia ‘setengah mati memperjuangkan’ karirnya di
dunia tarik suara.
(iii) Kali ini aku ‘pacaran untuk yang ke seribu kalinya’.
(iv) Konser Band Ungu di desa Ciamis ‘dibanjiri banyak
penonton’.
c. Umpatan
Kata umpatan atau makian merupakan kata-kata kasar yang
digunakan sebagai ekspresi rasa marah atau kesal dari penutur
kepada diri sendiri, mitra tutur atau objek-objek tertentu pada
situasi dan kondisi tertentu. Menurut Subiyantoro (2007:42),
umpatan adalah satuan lingual yang berupa kata, frasa,
ataupun kalimat yang berfungsi untuk melampiaskan emosi
atau perasaan mengkal, marah ataupun kecewa kepada orang
lain atau pada benda dan bisa juga kepada diri sendiri.
Kata umpatan dilatar belakangi oleh status kedudukan penutur
(interlocuteur). Menurut Subiyantoro (2007:40) kata umpatan
terkait dengan kekuasaan, kedudukan ataupun posisi (calon)
pemakai umpatan. Dengan kata lain terdapat kaitan antara
(calon) pengumpat dengan power (pengaruh/kedudukan) yang
dimilikinya. Status kedudukan yang dimiliki antara penutur
dan mitra tutur meliputi perbedaan kedudukan, yaitu
superioritas (superiorité) dan inferioritas (infériorité).
Umpatan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
adalah mengeluarkan umpat(an), seperti memburuk-burukan
orang atau mengeluarkan kata-kata keji (kotor) karena marah
(jengkel, kecewa, dan sebagainya). Umpatan berasal dari kata
mengumpat, yang berarti mengeluarkan umpat(an),
memburuk-burukan orang atau mengeluarkan kata-kata keji
(kotor) karena marah. Sedangkan, arti kata umpat sendiri
adalah perkataan keji (kotor dan sebagainya) yang diucapkan

43
karena marah (jengkel, kecewa, dan sebagainya) (KBBI Pusat
Bahasa Edisi Keempat, 2008:1526).
Menurut Wijana dalam bukunya, Sosiolinguistik: Kajian
Teori dan Analisis (2006:119-125), menggolongkan sistem
umpatan dalam bahasa Indonesia menjadi bermacam-macam,
yakni keadaan, binatang, benda-benda, bagian tubuh,
kekerabatan, makhluk halus, aktivitas, profesi, dan seruan.
Adapun bagaimana seluk-beluk pemakaian referen-referen itu
dapat dilihat dalam seksi-seksi berikut.
(i) Keadaan
Kata-kata yang menunjuk keadaan yang tidak
menyenangkan agaknya merupakan satuan lingual
yang paling umum dimanfaatkan untuk
mengungkapkan umpatan. Secara garis besar ada
tiga hal yang dapat atau mungkin dihubungkan
dengan keadaan yang tidak menyenangkan ini, yakni
keadaan mental, seperti ‘gila’, ‘sinting’, ‘bodoh’,
‘tolol’, dan sebagainya, keadaan yang tidak direstui
Tuhan atau agama, seperti ‘keperat’, ‘jahanam’,
‘terkutuk’, ‘kafir’, dsb, dan keadaan yang
berhubungan dengan peristiwa yang tidak
menyenangkan, yang menimpa seseorang seperti
‘celaka’, ‘sialan’, ‘mati’, ‘modar’, ‘mampus’ dan
sebagainya. Dalam hal ini sering kali pula beberapa
diantara kata-kata ini digunakan untuk
mengekspresikan keterkejutan, keheranan, atau
kekaguman, dan sebagainya. Adapun kata-kata
keadaan itu misalnya ‘gila’, ‘brengsek’, ‘celaka’,
‘astaga’, dan sebagainya.
(ii) Binatang
Dari pengamatan sekilas binatang-binatang yang
dipilih atau digunakan sebagai kata-kata umpatan
dalam bahasa Indonesia adalah binatang-binatang
yang memiliki sifat-sifat tertentu. Sifat-sifat itu

44
adalah menjijikan (‘anjing’), menjijikan dan
diharamkan (‘babi’), mengganggu (‘bangsat’),
menyakiti (lintah darat), senang mencari pasangan
(‘buaya’ dan ‘bandot’).
(iii) Makhluk Halus
Dari data yang terkumpul ada tiga buah kata yang
lazim digunakan untuk melontarkan umpatan. Kata-
kata itu adalah ‘setan’, ‘setan alas’, dan ‘iblis’.
Kesemuanya adalah makhluk halus yang sering
mengganggu kehidupan manusia.
(iv) Benda-benda
Tidak jauh berbeda dengan nama-nama binatang dan
makhluk halus, nama-nama benda yang lazim
digunakan untuk memaki juga berkaitan dengan
keburukan, seperti bau yang tidak sedap (‘tai’ dan
‘tai kucing’), kotor dan usang (‘gombal’), dan suara
yang mengganggu (memekakkan) (‘sompret’).
(v) Bagian Tubuh
Anggota tubuh lazim diucapkan untuk
mengekspresikan makian adalah anggota tubuh yang
erat kaitannya dengan aktivitas seksual karena
aktivitas ini sangat bersifat personal, dan dilarang
dibicarakan secara terbuka kecuali dalam forum-
forum tertentu. Dua bentuk yang sering
dimanfaatkan oleh penutur bahasa Indonesia adalah
‘puki mak’ dan ‘cuki mai’ (kemaluan perempuan,
ex: vagina).
(vi) Kekerabatan
Sejumlah kata-kata kekerabatan mengacu pada
individu-individu yang dihormati, atau individu-
individu yang biasanya mengajarkan hal-hal yang
baik kepada generasi berikutnya (anak dan cucunya),
seperti ‘ibu’, ‘bapak’, ‘kakek’, ‘nenek’, dsb. Sebagai

45
individu yang dihormati, layaknya kata-kata itu tabu
untuk disebut-sebut tidak pada tempatnya.
(vii) Aktivitas
Sejauh yang berhubungan dengan aktivitas, dua
buah kata makian yang ditemukan seluruhnya
mengacu pada aktivitas seksual. Kata-kata itu
misalnya ‘diamput’ dan ‘diancuk’ (bersetubuh).
Kata diancuk lazim sekali digunakan oleh penutur
baha Indonesia dari Jawa Timur. Sementara itu,
diamput, dilihat dari kesamaan maknanya, diduga
merupakan perubahan fonologis dari diancuk.
(viii) Profesi
Profesi seseorang, terutama profesi rendah dan yang
diharamkan oleh agama, sering kali digunakan oleh
para pemakai bahasa untuk mengumpat atau
mengekspresikan rasa jengkelnya. Profesi-profesi itu
di antaranya ‘maling’, ‘sundal’, ‘bajingan’, ‘copet’,
‘lonte’, ‘cecunguk’, dan sebagainya.
d. Umpatan dalam Bahasa Asing
Menurut Federal Communication Comission (FCC) Amerika
Serikat, membagi kata kasar dan jorok menjadi tujuh atau
yang lebih dikenal sebagai the seven dirty words. Tujuh kata
tersebut diantaranya shit, fuck, cocksucker, motherfucker, piss,
cunt, & tit (Riyanto, 2013:95).

2.2.6 Media Baru

Menurut Terry Flew (dalam Suryanto, 2015:606) mendefinisikan


media baru sebagai kombinasi dari format 3Cs, yaitu computing and
information technology, communication networks, dan digitize media and
information content.
Sementara, Lievrouw dan Livingstone (2002) mengobservasi
beberapa cara berpikir tentang media baru yang perlu untuk dimasukkan
dalam tiga elemen, yaitu alat yang memperluas kemampuan untuk

46
berkomunikasi, kegiatan komunikasi dan praktiknya dikaitkan dalam
perkembangan dan penggunaan alat tersebut, arahan sosial dan organisasi
yang membentuk alat dan praktik media baru.

2.2.7 Media Sosial


Media sosial memilki bentuk-bentuk dalam kehidupan bersosial
seorang individu, yaitu pengenalan (cognition), komunikasi
(communicate), dan kerja sama (co-operation). Selain itu, media sosial
dalam kehidupan sehari-hari memungkinkan penggunanya untuk
mempresentasikan diri maupun berinteraksi dengan individu lain, bekerja
sama, berbagi, berkomunikasi dengan individu lain, serta membentuk
ikatan sosial dalam dunia virtual. Menurut Boyd (dalam Nasrullah,
2015:15) media sosial adalah:
Menjelaskan media sosial sebagai kumpulan perangkat lunak yang
memungkinkan individu maupun komunitas untuk berkumpul, berbagi,
berkomunikasi, dan dalam kasus tertentu saling berkolaborasi atau
bermain. Media sosial memiliki kekuatan pada user-generated content
(UGC) di mana konten dihasilkan oleh pengguna, bukan oleh editor
sebagaimana di institusi media massa.
Hampir setiap hari kita menggunakan media sosial sebagai sarana
berkomunikasi. Dalam penggunaannya, media sosial memiliki
karakteristik yang membedakan dengan media siber lainnya.
Menurut Castells (2004; Talalay et al., 1997; Thrulow, Lengel, &
Tomic, 2004 dalam Nasrullah (2015:15) meski karakteristik media siber
dilihat melalui media sosial, media sosial memiliki karakteristik khusus
yang tidak dimiliki oleh beberapa jenis media siber lainnya. Adapun
karakteristik media sosial, yaitu:
a. Jaringan (network)
Media sosial memiliki karakter jaringan sosial. Menurut Castells
(dalam Nasrullah, 2015:16) jaringan yang berbentuk antarpengguna
(users) merupakan jaringan uang secara teknologi dimediasi oleh
perangkat teknologi, seperti komputer, telepon genggam, atau tablet.

47
b. Informasi (information)
Informasi dalam media sosial yaitu informasi menjadi komoditas
yang dikonsumsi oleh pengguna. Komoditas tersebut pada dasarnya
merupakan komoditas yang diproduksi dan didistribusikan antar pengguna
sendiri.
c. Arsip (archive)
Inilah kekuatan media sosial, sebagai bagaian dari media baru
yang tidak hanya bekerja berdasarkan jaringan dan informasi semata,
tetapi juga memiliki arsip. Dalam kerangka teknologi komunikasi, arsip
mengubah cara menghasilkan, mengakses, hingga menaruh informasi.
d. Interaksi (interactivity)
Karakter dasar dari media sosial adalah terbentuknya jaringan
antar pengguna. Jaringan ini tidak sekedar memperluas hubungan
pertemanan atau pengikut di internet semata, tetapi juga harus dibangun
dengan interaksi antarpengguna tersebut.
e. Simulasi sosial (simulation of society)
Billiard (dalam Nasrullah, 2015:28) mengungkapkan gagasan
simulasi bahwa kesadaran akan real di benak khalayak semakin berkurang
dan tergantikan dengan realitas semu. Khalayak seolah-olah berada di
antara realitas dan ilusi sebab tanda yang ada di media sepertinya telah
putus dari realitas.
f. Konten oleh pengguna (user-generated content)
Menurut Lister (dalam Nasrullah, 2015:31) UGC merupakan
relasi simbiosis dalam budaya media baru yang memberikan kesempatan
dan keleluasaan pengguna untuk berpartisipasi.

Media sosial yang kita pakai memiliki jenis-jenis yang berbeda,


berdasarkan dengan model jaringan, karakteristik penggunaanya, sampai
file atau berkas apa saja yang disebarkan. Dalam Nasrullah (2015:39)
setidaknya ada enam kategori besar untuk melihat pembagian media sosial,
yakni:

a. Media jejaring sosial (social networking)

48
“Situs jejaring sosial adalah media sosial yang paling populer.
Media sosial tersebut memungkinkan anggota untuk berinteraksi satu sama
lain. Interaksi terjadi tidak hanya pada pesan teks, tetapi juga termasuk
foto dan video yang mungkin menarik perhatian pengguna lain. Semua
posting (publikasi) merupakan real time, memungkinkan anggota untuk
berbagi informasi seperti apa yang sedang terjadi” (Saxena,2014).
b. Jurnal online (blog)
“Banyak blog lahir sebelum konsep media sosial muncul. Tetapi
jika melihat fungsi yang ditawarkan oleh blog saat ini, Anda menyadari
mereka seperti aplikasi media sosial lain. Mereka menawarkan alamat web
pribadi, ruang web gratis, dan sistem manajemen konten yang
memungkinkan anggota untuk membuat, menerbitkan, dan berbagi konten
yang secara harfiah bebas dari biaya” (Saxena, 2014).
c. Jurnal online sederhana atau microblog (microblogging)
Tidak berbeda dengan jurnal online (blog), microblogging
merupakan jenis media sosial yang memfasilitasi pengguna untuk menulis
dan memublikasikan aktivitas serta atau pendapatnya.

d. Media berbagi (media sharing)


“Media sharing adalah situs media sosial yang memungkinkan
anggota untuk menyimpan dan berbagai gambar, podcast, dan video secara
online. Kebanyakan dari media sosial ini adalah gratis meskipun beberapa
juga mengenakan biaya keanggotaan, berdasarkan fitur dan layanan yang
mereka berikan” (Saxena, 2014).
e. Penanda sosial (social bookmarking)
Penanda sosial atau social bookmarking merupakan media sosial
yang bekerja untuk mengorganisasi, menyimpan, mengelola, dan mencari
informasi atau berita secara online.
f. Media konten bersama atau Wiki
“Wiki merupakan media atau situs web yang secara program
memungkinkan para penggunanya berkolaborasi untuk membangun
konten secara bersama. Dengan wiki, setiap pengguna melalui perambahan

49
web biasa dapat menyunting sebuah konten yang telah terpublikasi, bahkan
turut membantu sebuah konten yang sudah dikreasikan atau disunting oleh
pengguna lain yang telah berkontribusi” (Gilmor, 2004:32).
Dari pemaparan jenis-jenis media sosial yang ada dalam media
siber, peneliti memfokuskan pada salah satu jenis media sosial berbagi
atau media sharing. Dalam penelitian ini berdasarkan jenisnya, YouTube
termasuk ke dalam media berbagi atau media sharing, yang memfasilitasi
penggunanya untuk berbagi media yaitu berupa dokumen, video, audio,
gambar, dan sebaginya.

2.2.8 YouTube

YouTube adalah sebuah situs web berbagi video yang dibuat oleh
tiga mantan karyawan PayPal pada Februari 2005. Dalam halaman web-
nya, YouTube mendefinisikan dirinya sebagai forum bagi orang-orang
untuk saling berhubungan, memberikan informasi, dan menginspirasi
orang lain di seluruh dunia, serta bertindak sebagai platform distribusi bagi
pembuat konten asli dan pengiklan, baik yang besar maupun kecil
(https://www.youtube.com di akses 08 April pukul 02.15 WIB).

Berdasarkan pemaparan tersebut, YouTube termasuk kedalam


jenis media sosial yang bernama ‘media sharing’. Media sharing atau
biasa disebut dengan situs berbagi media. Dalam Nasrullah (2015:44),
merupakan salah satu jenis media sosial yang memfasilitasi penggunanya
untuk berbagi media, mulai dari dokumen (file), video, audio, gambar dan
sebagainya. Kemudian pengguna YouTube dapat mengirimkan media
tersebut ke sesama individu bahkan sesama forum untuk tujuan pertukaran
informasi. Hal tersebut sesuai dengan hakekat manusia sebagai makhluk
sosial yang saling berkomunikasi dan bertukar informasi dengan individu
lainnya.

Dalam Nasrullah (2015:2) menyebutkan kehadiran YouTube


memberikan alternatif pilihan untuk menyaksikan tayangan audio-visual
yang bersaing dengan program di televisi. Tidak hanya itu, waktu yang
disediakan, sumber yang tanpa batas, serta bisa diakses kapan dan dimana

50
saja, menyebabkan kehadiran internet dan media-media di dalamnya,
seperti media sosial YouTube menjadi lebih mendominasi.

2.2.9 Video Blog


Dalam sebuah kanal pada umumnya berbentuk sebuah blog. Blog
merupakan media sosial yang memungkinkan penggunanya untuk
mengunggah aktivitas keseharian, saling mengomentari, dan berbagi, baik
tautan web lain, informasi, dan sebagainya. Istilah blog berasal dari kata
“weblog”, yang pertama kali diperkenalkan oleh John Berger pada tahun
1997 merujuk pada jurnal pribadi online (Nasrullah, 2014: 29). Pada media
sosial YouTube, pada umumnya jenis blog yang digunakan berbentuk
sebuah video blog.

Sejarah vlog itu sendiri diciptakan oleh seseorang yang bernama


Adam Kontras, pria yang berasal dari California, Amerika Serikat ini
pertama kali mengunggah sebuah video di blog miliknya pada tahun 2000.
Pada akun YouTube miliknya ia mengatakan bahwa, “I'm the world's first
and longest running Video Blogger. I started in 1999 video blogging a
stage show I did, and on January 2nd, 2000 I started "The Journey" which
is the longest running video blog of all-time”. Dapat diartikan “Saya
adalah Video Blogger pertama dan terlama di dunia. Saya memulai Video
Blogging pada tahun 1999, dan pada 2 Januari 2000 Saya memulai “The
Journey” yang merupakan Video Blog terpanjang dari semua waktu”
(https://www.youtube.com diakses 9 April 2017 pukul 19.53 WIB).

Seiring berkembangnya media sosial YouTube dari segi


penggunanya yang semakin bertambah sesuai data yang telah dipaparkan
sebelumnya, mengakibatkan banyak bermunculan kanal atau channel yang
berisikan vlog di YouTube, yang pada akhirnya menjadi fenomena yang
sedang melanda Indonesia. Awal kemunculan vlog di Indonesia sendiri
telah dimulai pada tahun 2014. Google Indonesia mencatat sejak tahun
2014 saat vlog mulai terkenal, terdapat peningkatan hingga 600 persen
video yang diunggah ke YouTube (https://www.cnnindonesia.com diakses
pada 22 April 2017 pukul 21.20 WIB).

51
2.2.10 Etika Di Media Sosial
Di media sosial juga terdapat aturan dan etika yang harus dipatuhi
oleh penggunanya. Menurut Thurlow (dalam Nasrullah, 2015:182) etika di
internet atau netiquette berasal dari kata “net”, untuk menjelaskan jaringan
(network) atau bisa juga internet, dan etiquette yang berarti etika atau tata
nilai yang diterapkan dalam komunikasi di dunia siber. Netiquette
merupakan sebuah konvensi atas norma-norma yang secara filosofis
digunakan sebagai panduan bagi aturan standar dalam proses komunikasi
di internet atau merupakan etika berinternet sekaligus perilaku sosial yang
berlaku di media online.
Setidaknya terdapat beberapa alasan untuk menjaga etika di
internet. Dalam Nasrullah (2015:183) terdapat empat alasan mengapa di
internet, khususnya di media sosial memerlukan etika, yaitu sebagai
berikut:
1. Latar belakang maupun lingkungan penggunaan media sosial
yang heterogen dan berbeda-beda. Perbedaan ini tentu
membawa, sadar atau tidak didasari oleh pengguna, kebiasaan
maupun aturan yang berbeda pula. Belum lagi jika dikaitkan
dengan norma yang berlaku di masyarakat, seperti norma
sosial dan agama, perbedaan tersebut memberikan dampak,
baik positif maupun negatif.
2. Komunikasi yang terjadi di media sosial cenderung lebih
didominasi oleh teks semata.
3. Media sosial tidak serta-merta dianggap sebagai media yang
berbeda dengan dunia nyata. Etika berinternet diperlukan agar
setiap pengguna ketika berada di dunia virtual memahami hak
dan kewajibannya sebagai “waga negara” dunia virtual
(digital citizenship).
4. Pada beberapa kasus, media sosial merupakan media yang
berjalan tidak hanya memfasilitasi pengguna, tetapi juga
merupakan institusi bisnis. Etika yang ada di media sosial
diperlukan bagi institusi pengembang media sosial untuk

52
menarik minat orang lain agar menggunakan media sosial
mereka.

2.2.11 Undang-Undang Tentang ITE (Informasi dan Transaksi


Elektronik) Nomor 11 Tahun 2008
Jika berbicara mengenai etika, maka erat kaitannya dengan
hukum. Dalam menjalankan aktivitasnya, masyarakat Indonesia telah
diatur dalam perundang-undangan yang menjelaskan tentang apa saja
perbuatan yang dilarang khususnya di dunia maya atau internet, agar tidak
terjadi tindak kejahatan yang dapat merugikan antar sesama individu. Hal
tersebut tercantum dalam Undang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi
Elektronik) Nomor 11 Tahun 2008 Pasal 27 Bab VII tentang Perbuatan
Yang Dilarang, yang berbunyi sebagai berikut.
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan perjudian.
(3) Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik.
(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau
pengancaman.

2.3 Kerangka Berpikir

53
Gambar 2.7
Kerangka Berpikir

Unggahan Vlog
Rezaoktovian di YouTube

Kekerasan Verbal

Analisis Isi Vlog Rezaoktovian

Jenis Kekerasan Jumlah Kekerasan


Verbal Verbal

Sumber: (Olahan Peneliti, 2017).

54

Anda mungkin juga menyukai