Anda di halaman 1dari 26

MODUL 19 : PENGEMBANGAN PROFESIONALISME

Pengertian Profesionalisme
Istilah profesi berasal dari bahasa Latin profession yang berarti pernyataan atau janji.
Bahasa Inggris to profess yang berarti mengaku atau menyatakan. Profesionalisme berarti
orang yang dengan kebebasannya telah mengucapkan suatu janji kepada publik untuk
melayani masyarakat yang menginginkan suatu kebaikan tertentu. Pengucapan janji tersebut
dimaksudkan untuk memperoleh suatu kepercayaan (trust) dari masyarakat.
Banyak penjelasan yang mendefinisikan arti dari kata profesionalisme. Kusnandar (2007
: 46) mengemukakan bahwa profesionalisme adalah kondisi, arah, nilai, tujuan, dan kualitas
suatu keahlian dan kewenangan yang berkaitan dengan mata pencaharian sesseorang. Danim
(2002 : 23) mendefinisikan profesionalisme sebagai komitmen para anggota suatu profesi
untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus-menerus mengembangkan
strategi-strategi yang digunakannya dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya itu.
Kemudian Freidson (1970) dalam Syaiful Sagala (2002 : 199) mengemukakan bahwa yang
dimaksud dengan profesionalisme adalah sebagai komitmen untuk ide-ide professional dan
karir. Sedangkan Poerwopoespito & Utomo (2000 :266), menjelaskan bahwa profesionalisme
berarti faham yang menempatkan profesi sebagai titik perhatian utama dalam hidup
seseorang. Orang yang menganut faham profesionalisme selalu menunjukkan sikap
profesional dalam bekerja dan dalam keseharian hidupnya. Profesionalisme menurut David
H. Maister adalah terutama masalah sikap, bukan seperangkat kompetensi. Seorang
professional sejati adalah seorang teknisi yang peduli (Maister, 1998 : 23). Menurut UUPK
2004,profesi kedokteran adalah suatu pekerjaan kedokteran yang dilaksanakan berdasarkan
suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang dan
mempunyai kode etik yang bersifat melayani masyarakat.
Profesionalisme adalah sikap dari seorang profesional, dan profesional berarti melakukan
sesuatu sebagai pekerjaan pokok yang disebut profesi, artinya pekerjaan tersebut bukan
pengisi waktu luang atau sebagai hobi belaka. Jika profesi diartikan sebagai pekerjaan dan
isme sebagai pandangan hidup, maka profesional dapat diartikan sebagai pandangan untuk
selalu berfikir, berpendirian, bersikap dan bekerja sungguh-sungguh, kerja keras, bekerja
sepenuh waktu, disiplin, jujur, loyalitas tinggi dan penuh dedikasi demi keberhasilan
pekerjaannya. Jadi pada dasarnya profesionalisme berkenaan dengan sikap peduli baik
terhadap klien atau pun terhadap profesinya,
1  
 
Dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa profesionalisme adalah sikap
yang harus dimiliki oleh seseorang yang menekuni profesi tertentu. Dan profesionalisme
semestinya bukan hanya dimiliki oleh seorang menejer, tetapi harus dimiliki oleh setiap orang
di profesi tertentu, di posisi mana pun ia bekerja. Profesionalisme dapat diartikan sebagai
kemampuan dan keterampilan yang dimiliki seseorang sesuai dengan profesi dan
posisinya.Oleh karena itu, profesionalisme yang harus dimiliki oleh seorang dokter berbeda
dengan yang harus dimiliki oleh seorang guru. Pengertian profesionalisme tidak hanya
berkaitan dengan keahlian dan keterampilan seseorang dalam menjalankan profesi dan
tanggung jawabnya, tetapi juga berkaitan dengan kepedulian orang tersebut dengan klien atau
pasiennya. Oleh karena itu, orang yang memiliki keterampilan dan keahlian dalam bidangnya
belum bisa dikatakan profesional sebelum ia menunjukkan kepedulian terhadap klien atau
pasiennya.
Dimensi Profesionalisme
Hall. R (Muhammad, Rifqi. 2008 : 3). Mengembangkan konsep profesionalisme dari
level individu meliputi lima dimensi, yaitu :
a. Pengabdian pada profesi (dedication), yang tercermin dalam dedikasi profesional melalui
penggunaan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Sikap ini adalah ekspresi dari
penyerahan diri secara total terhadap pekerjaan. Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan hidup
dan bukan sekedar sebagai alat untuk mencapai tujuan. Penyerahan diri secara total
merupakan komitmen pribadi dan sebagai kompensasi utama yang diharapkan adalah
kepuasan rohani dan kemudian kepuasan material.
b. Kewajiban Sosial (Social obligation), yaitu pandangan tentang pentingnya paran profesi
serta manfaat yang diperoleh baik oleh masyarakat atau pun oleh profesional karena adanya
pekerjaan tersebut.
c. Kemandirian (Autonomy demands), yaitu suatu pandangan bahwa seorang professional
harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa ada tekanan dari pihak yang lain.
d. Keyakinan terhadap peraturan profesi (belief in self-regulation), yaitu suatu keyakinan
bahwa yang berwenang untuk menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, dan
bukan pihak luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan
mereka.
e. Hubungan dengan sesama profesi (Professional community affiliation), berarti
menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk organisasi formal dan kelompok-
kelompok kolega informal sebagai sumber ide utama pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini
para profesional membangun kesadaran profesinya.
2  
 
Sementara itu Maister (1998 : 25) mengisyaratkan profesionalisme pada level individu
meliputi 4 (empat) dimensi yaitu :
a. Kebanggaan pada pekerjaan
b. Komitmen pada kualitas
c. Dedikasi pada kepentingan klien
d. Keinginan tulus untuk membantu
Ciri-ciri Profesionalisme
Maister (1998 : 21-22), mengatakan bahwa ciri-ciri profesionalisme sejati yaitu :
a. Bangga pada pekerjaan mereka, dan menunjukkan komitmen pribadi pada kualitas.
b. Berusaha meraih tanggung jawab.
c. Mengantisipasi, dan tidak menunggu perintah, mereka menunjukkan inisiatif.
d. Mengerjakan apa yang perlu dikerjakan untuk merampungkan tugas.
e. Melibatkan diri secara aktif dan tidak sekedar bertahan pada peran yang telah
ditetapkan untuk mereka.
f. Selalu mencari cara untuk membuat berbagai hal menjadi lebih mudah bagi orang
yang mereka layani.
g. Ingin belajar sebanyak mungkin mengenai bisnis orang-orang yang mereka layani.
h. Benar-benar mendengarkan kebutuhan orang-orang yang layani.
i. Belajar memahami dan berfikir seperti orang-orang yang mereka layani sehingga bisa
mewakili mereka ketika orang-orang itu tidak ada ditempat.
j. Adalah pemain tim.
k. Bisa dipercaya memegang rahasia.
l. Jujur, bisa dipercaya dan setia.
m.Terbuka pada kritik-kritik yang membangun mengenai cara meningkatkan diri.

Sedangkan Mahfud MD (Wangmuba, 2009) antara lain menunjukan beberapa karakteristik


budaya akademis yang berpengaruh terhadap profesionalisme sebagai berikut :
a. Bangga atas pekerjaannya dengan komitmen pribadi yang kuat dan berkualitas.
b. Memiliki tanggungjawab yang besar, antisipatif dan penuh inisiatif.
c. Ingin selalu menegrjakan pekerjaan dengan tuntas dan ikut terlibat dalam berbagai
peran diluar pekerjaannya.
d. Ingin terus belajar untuk meningkatkan kemampuan kerja dan kemampuan melayani.
e. Mendengar kebutuhan pelanggan dan dapat bekerja dengan baik dalam suatu tim.
3  
 
f. Dapat dipercaya, jujur, terus terang dan loyal.
g. Terbuka terhadap kritik yang bersifat konstruktif serta selalu siap untuk meningkatkan
dan menyempurnakan dirinya.
Dasar-Dasar Profesionalisme
Sikap profesional sangat penting bagi seseorang yang menggeluti profesi tertentu.Begitu
pula dengan seseorang yang berprofesi sebagai dokter. Profesionalisme adalah sesuatu yang
sangat mempengaruhi kesuksesan karir dan profesinya. Namun, profesionalisme tersebut
tidak akan terwujud tanpa adanya komponen-komponen penting yang menjadi dasar dari
profesionalisme seseorang yang berprofesi sebagai. Adapun beberapa dasar profesionalisme
kedokteran adalah sebagai berikut.
a. Memenuhi kompetensi kedokteran
Seorang dokter harus memiliki dan memenuhi kompetensi yang telah ditetapkan. Bagi
seorang dokter, kompetensi inilah yang akan menjadi modal utama dalam meraih
profesionalisme dalam profesinya
b. Mempunyai keterampilan berkomunikasi
Kompetensi, keterampilan, dan keahlian yang dimiliki seseorang tidak akan bisa
menjadikan dirinya sebagai dokter yang profesional. Hal ini terjadi karena ada faktor
pendukung lain yang harus dipenuhi, yaitu keterampilan yang baik dalam berkomunikasi.
Banyak kasus menyimpang (malpraktik) tejadi bukan karena kelalian atau kesengajaan
dokter, tetapi karena kurangnya komunikasi yang baik dan efektif antara dokter dan
pasiennya.Oleh karena itu, keterampilan berkomunikasi yang baik dan efektif sangat
berpengaruh terhadap profesionalisme seseorang.
c. Memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang etika
Hal lain yang tak kalah pentang dalam menentukan profesionalisme seseorang adalah etika
dalam profesinya. Niai profesionalisme seseorang dapat dilihat dari seberapa patuh
terhadap kode etik yang dimiliki oleh profesinya.Oleh karena itu, profesinalisme seorang
dokter juga dipengaruhi oleh etika atau kode etik yang terlah ditetapkan.

Profesionalisme dokter dalam klinik


Profesionalisme seorang dokter dalam klinik dapat ditunjukkan dalam beberapa hal yang
akan menjadi tolak ukur profesionalisme seorang dokter dalam manjalankan tanggung
jawabya. Profesionalisme kedokteran dalam klinik meliputi beberapa hal diantaranya:
a. Mencapai kesuksesan dan keberhasilan klinik secara prima

4  
 
Sikap profesionalisme seorang dokter ditandai dengan keahlian yang prima. Yang
dimaksud dengan prima adalah melebihi standar kompetensi yan g telah ditentukan dan
ditetapkan. Sikap ini dapat dimiliki oleh seorang dokter apabila ia menguasai kompetensi
klinik dan terus mempelajari dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran secara
berkesinambungan.
b. Berprikemanusiaan
Yang dimaksud dengan berprikemanusiaan dalam profesionalisme dokter ini adalah
sikap bersungguh-sungguh dan perhatian kepada pasien, dan memperlakukan pasien sebagai
manusia seutuhnya.Hal ini ditunjukkan dengana adanya rasa terharu, empati, dan kasihan
kepada pasien.Sikap ini juga dapat dilihat darinpemberian nilai-nilai spiritual kepada pasien,
karena nilai-nilai spritual ini juga sangat berpengaruh terahadap kesembuhan pasien.
c. Bertanggung jawab
Dokter yang profesional adalah dokter yang mampu bertanggung jawab atas segala
tindakan yang telah ia ambil dan ia lalukan. Sikap tanggung jawab tidak hanya dilakukan
ketika terdapat kekeliruan dalam tindakan, tetapi menggunakan prosedur yang tepat dalam
pengobatan juga termasuk sikap tanggung jawab yang harus dimiliki oleh dokter yang
profesional.
d. Mementingkan kepentingan orang lain
Dokter adalah profesi yang paling humanis.Oleh karena itu, seorang dokter harus mampu
mendahulukan kepentingan pasien daripada kepentingan dirinya sendiri. Dan juga tujuan
utama yang harus dimiliki oleh seorang dokter adalah mengobati orang sakit bukan
memperoleh imbalan dari hal tersebut, sehingga imbalan bukan menjadi patokan bagi
pelayanan yang ia lakukan.
.
Profesionalisme Dokter Dalam Rangka Perlindungan Hukum Bagi Pasien; dilatarbelakangi
oleh kondisi dunia kesehatan sekarang ini, meskipun dunia kedokteran telah mengalami
kemajuan yang amat pesat, namun kasus malpraktik juga meningkat tajam. Di samping itu,
biaya untuk mendapatkan jasa layanan kesehatan juga meningkat, tetapi pelayanan tidak
seperti yang diharapkan. Ironisnya dalam kasus-kasus malpraktik yang terjadi, perlindungan
hukum untuk pasien sangat lemah. Dari kondisi ini timbul pertanyaan bagaimanakah dokter
dalam menjalankan profesinya, apakah pasien mendapatkan perlindungan hukum dan apakah
terjadi perubahan paradigma di kalangan dokter terhadap profesi yang diembannya?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut digunakan metode penelitian kualitatif naturalistik
menggali data dengan cara wawancara mendalam, pengamatan partisipatif dan menelaah
5  
 
berbagai peraturan seputar profesi dokter. Data yang diperoleh adalah bahwa dalam
menjalankan profesinya, dokter diatur oleh berbagai peraturan, kode etik dan dilakukan
sumpah dokter diawal karirnya. Perlindungan hukum bagi pasien juga telah tercantum secara
tegas dalam ketentuan-ketentuan tersebut, tetapi tidak semua dokter melaksanakan 100%
ketentuan-ketentuan dimaksud. Berbagai alasan baik yang tersurat maupun yang dapat
diamati dari perilaku dalam berprofesi menunjukkan ada perubahan paradigma dikalangan
dokter dalam menjalankan profesinya. Profesi agung yang melekat padanya beralik menjadi
sarana bisnis kesehatan, meski tidak semua dokter melakukan demikian.
Sikap etis profesional berarti bekerja sesuai standar, melaksanakan advokasi, menjamin
keselamatan pasien, menghormati terhadap hak-hak pasien. Kriteria perilaku profesional
antara lain mencakup bertindak sesuai keahlian dan didukung oleh keterampilan, bermoral
tinggi, memegang teguh etika profesi, serta menyadari ketentuan hukum yang membatasi
gerak.
Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas,
yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent, wajib
simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dll. Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek
etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma
etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang
mengandung nilai-nilai etika.
Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi
mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan
dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur
dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif.
Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar
prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini
profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap
profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran
etik dan juga sekaligus pelanggaran hukum.
Kemungkinan terjadinya peningkatan ketidakpuasan pasien terhadap layanan dokter atau
rumah sakit atau tenaga kesehatan lainnya dapat terjadi sebagai akibat dari (a) semakin tinggi
pendidikan rata-rata masyarakat sehingga membuat mereka lebih tahu tentang haknya dan
lebih asertif, (b) semakin tingginya harapan masyarakat kepada layanan kedokteran sebagai
hasil dari luasnya arus informasi, (c) komersialisasi dan tingginya biaya layanan kedokteran

6  
 
dan kesehatan sehingga masyarakat semakin tidak toleran terhadap layanan yang tidak
sempurna, dan (d) provokasi oleh ahli hukum dan oleh tenaga kesehatan sendiri.

Dewasa kini seiring berkembang waktu dan tekhnologi, ternyata disertai akan kerusakan
nilai-nilai profesionalisme, banyak orang-orang yang acuh bahkan menghilangkan nilai-nilai
profesionalisme dan etika. Bahkan dibidang kedokteran nilai-nilai Profesionalisme dan Etika
sangat diutamakan dan dijunjung tinggi.
Sementara arti dari profesionalisme kedokteran adalah unik. Tidak hanya menyakut masalah
seorang dokter yang pintar, tetapi merupakan refleksi nilai dan perilaku dokter dalam
menjalankan praktik sehari-hari, termasuk interaksi dengan pasien, keluarga, teman sejawat
dan masyarakat luas. yang pintar, tetapi merupakan refleksi nilai dan perilaku dokter dalam
menjalankan praktik sehari-hari, termasuk interaksi dengan pasien, keluarga, teman sejawat
dan masyarakat luas.
Profesionalisme bagi dokter meliputi kompetensi, etika, altruism, collegiality, dan
accountability. Mengembangkan profesionalisme merupakan kewajiban profesi (professional
imperative) bagi setiap dokter dan itu dimulai saat seorang calon dokter menjalani pendidikan
di fakultas kedokteran. Oleh karena itu umumnya dokter muda/baru yang baru memperoleh
kompetensinya, yang baru mempelajari etika kedokteran, dan yang baru mulai melangkah
menapaki cita-citanya tampak “idealis”. Namun, kita tidak dapat menjamin idealisme itu
masih tetap ada setelah beberapa tahun ia berpraktik. Terlalu banyak faktor yang membuat
seseorang
“terpaksa” meninggalkan cita-cita awalnya untuk mengabdikan diri bagi kemanusiaan. Semua
unsur profesionalisme yang seharusnya dipertahankan dan/atau dikembangkan dalam
kehidupan seorang profesional, terasa sulit sekali diwujudkan. Di sinilah letak kepentingan
organisasi profesi yang pada akhirnya, secara lembaga, bertanggungjawab atas pelayanan
profesinya kepada masyarakat.

Dokter dalam menjalankan profesinya harus accountable baik dari sisi agama, moral, etik dan
hukum.
SIKAP & PRILAKU DOKTER :
1. Dari aspek agama : harus sesuai dengan nilai & norma agama.
2. Dari aspek moral : harus mempertimbangkan prinsip moral sehingga tindakan dokter
dinilai benar.

7  
 
3. Dari sisi etika : harus mengaplikasikan teori pengambilan keputusan dg
mempertimbangkan prinsip moral agar tindakan dokter dinilai baik.
4. Dari aspek hokum : tidak melanggar hukum (tertulis & tak tertulis).
AGAMA
Bagi profesional (termasuk dokter) harus memegang teguh nilai-nilai dan norma-norma
agama sebab nilai-nilai dan norma-norma tersebut akan membimbing para professional untuk
memperoleh kebahagian di dunia dan akhirat.
MORAL
Ajaran moral memuat nilai-nilai & norma-norma moral yang terdapat diantara sekelompok
manusia. Moralitas bisa berasal dari satu sumber atau lebih; yaitu agama, ideologi, adat atau
tradisi. (Franz Magnis Suseno SJ, dkk)
Menurut Catalano, J.T. moral merupakan :
• Standar tentang benar dan salah, yang dipelajari lewat proses hidup bermasyarakat.
• Biasanya didasarkan pada keyakinan agama-agama besar.
• Umumnya dikaitkan dengan individu-individu atau kelompok-kelompok kecil.
• Diwujudkan sebagai prilaku yang diselaraskan dengan kebiasaan ataupun tradisi
kelompok.

Prinsip-prinsip moral adalah beneficence, non-malefecence, autonomy dan justice.


Sikap dan prilaku dokter yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip diatas merupakan sikap dan
prilaku yang immoral.
Immoral:
- inconsistent with purity or good morals.
- morally wrong.

Beneficence
Prinsip ini merujuk pada adanya kewajiban dokter untuk melakukan hal-hal yang baik (to
do good).
Non-malefecence
Prinsip ini merujuk pada adanya kewajiban dokter untuk tidak melakukan hal-hal yang
merugikan pasien (to do no harm).
Autonomy

8  
 
Merujuk pada adanya hak pasien untuk membuat keputusan atas kepentingannya sendiri.
Tetapi otonomi pasien punya batas & tidak boleh mengganggu otonomi dokter sebab otonomi
profesional juga harus dihormati.
Justice
Justice merujuk pada adanya kewajiban yang adil dan seimbang, namun hak pasien tersebut
menjadi terbatas manakala melanggar hak-hak orang lain.
ETIKA
Etika profesi dokter mengatur prilaku dokter terhadap :
1. People who require medical care.
2. Patients (clients).
3. Health care team (co-workers).
4. Society (social context).
5. Profession.
Etika terhadap pesakit
Jika ada pesakit yang datang butuh pertolongan maka sudah dibebani kewajiban, yaitu:
1. Memperlakukan mereka dengan rasa hormat sebagai manusia bermartabat.
2. Tidak boleh membeda-bedakan mereka berdasarkan suku bangsa, ras dan warna kulit,
agama atau kepercayaannya, pandangan politiknya dll.
Etika terhadap pasien
Jika pesakit sudah menjadi pasiennya maka dokter wajib:
1. Memberikan layanan medis yang benar.
2. Menghormati hak asasi pasien sebagai manusia.
3. Menghormati haknya untuk menyetujui atau tidak menyetujui tindakan medis.
4. Menghormati kerahasiaan medisnya.
5. Memberikan informasi yang benar.
6. Menyerahkan ke ahli lain bila tidak mampu lagi.
7. Menghormati hak pasien untuk mendapatkan second opinion, dll.
Human rights
Hak asasi manusia yang terkait bidang kedokteran meliputi :
1. The right to life.
2. Freedom from discrimination.
3. Freedom from torture and cruel.
4. Freedom from inhuman or degrading treatment.
5. Freedom of opinion and expression.
9  
 
6. The right to equal access to public services.
7. The right to medical care.
Etika terhadap tim
Dokter tidak mungkin dapat bekerja sendirian. Dokter perlu bantuan dokter lain, perawat,
bidan, tenaga lab, tenaga farmasi, dll. Oleh sebab itu, kewajiban dokter terhadap health care
team adalah:
1. Tidak boleh menjatuhkan anggota tim lain dengan maksud agar pasien lebih menghargai
dia.
2. Mengingatkan dan membetulkan manakala ada anggota tim melakukan kesalahan.
3. Tidak boleh menafikan jasa anggota tim lain.
Etika terhadap masyarakat
Terhadap masyarakat dokter wajib:
1. Berkata jujur & terbuka kepada masyarakat.
2. Mengingatkan masyarakat manakala ada hal-hal yang dapat mengancam kesehatan
masyarakat.
4. Melakukan upaya yg pantas utk menyelesaikan problem yang dihadapi masyarakat.
3. Meletakkan garis keseimbangan yang adil antara social right dengan individual right dan
antara social interest dengan individual interest.
Etika terhadap profesinya
Dokter memiliki kewajiban untuk:
1. Konsisten (istiqomah) terhadap profesi medis.
2. Tidak menggunakan metode pengobatan lain diluar ilmu kedokteran.
3. Selalu meningkatkan ilmu & ketrampilan klinis agar dapat memberikan layanan medis
sebaik-baiknya kepada pasien.
4. Mengembangkan ilmu dengan melakukan riset.
5. Dan lain-lain.
HUKUM
Hukum dibuat karena adanya conflicts of interest dalam masyarakat yang berpotensi
menimbulkan masalah. Hukum dibutuhkan masyarakat karena ia merupakan social
mechanism untuk menyelesaikan masalah dalam masyarakat. Secara umum hukum tidak
dibedakan dari
etika, tetapi secara khusus ia dibedakan dari etika karena cakupan, tujuan khusus, parameter
dan otoritasnya.

10  
 
Hukum dan Etik sesungguhnya berangkat dari basis yang sama, yaitu moral. Umumnya apa
yang dipandang baik atau buruk menurut etik juga dipandang sama oleh hukum. Kendati
demikian, hukum tidak mencakup hal-hal yang ringan dan sepele sehingga oleh karenanya
hal-hal itu tidak perlu diintervensi oleh hukum. Pelanggaran etik yang ringan belum
mengganggu masyarakat sehingga tidak perlu diatur dan diberi sanksi oleh hukum, sebab
masyarakat masih bisa mengendalikannya tanpa menimbulkan chaos.

Kata profesionalisme merupakan kata kunci dalam Undang-Undang RI no. 29 tahun


2004 tentang Praktik Kedokteran. Visi IDI berdasarkan muktamar tahun 2006yaitu
terwujudnya dokter Indonesia dengan kompetensi global yang menjunjung tinggi nilai
kemanusiaan. Untuk mencapai visi itu dirancanglah 5 strategi utama (grand strategy) yaitu:
1. Memperkuat infrastruktur organisasi di tingkat pusat,
wilayah, dan cabang.
2. Membina kompetensi dan etika dokter di Indonesia sesuai dengan standar kompetensi
dan kode etik kedokteran Indonesia.
3. Membangun sistem pembiayaan organisasi yang mandiri.
4. Membangun sistem pelayanan kedokteran terpadu
5. Membangun citra IDI sebagai organisasi profesi dokter yang aktif dalam
pembangunan kesehatan.
Dalam strategi kedua terdapat misi pembinaan secara bersistem dalam suatu program
pengembangan keprofesian bersinambung atau continuing professinal development (CPD).
Secara salah kaprah program itu resmi disebut sebagai Program Pengembangan dan
Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan, atau program P2KB. Organ IDI yang
bertanggungjawab mengelola program pembinaan ini, yaitu Badan Pengembangan dan
Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan, yang memiliki kepanjangan tangan di tingkat
wilayah, BP2KB Wilayah. Dalam badan otonom tersebut duduk dokter dan spesialis yang
mewakili perhimpunan sekaligus kolegiumnya.
Langkah pertama dalam upaya mewujudkan program P2KB, maka akhir Juni 2007 Ketua
Umum IDI, Dr. dr. Fahmi Idris, M.Kes. mengundang para ketua perhimpunan dokter
spesialisdi lingkungan IDI serta para ketua IDI Wilayah. Setelah arahan dari Ketua Umum
dan Ketua Badan P2KB, tiga pembicara lain tampil membahas soal P2KB dan resertifikasi
secara lebih rinci.
Berikut empat sasaran dalam membina kompetensi dan etika dokter :

11  
 
1. Setiap anggota memperoleh Continuing Professional Development dengan akses cepat
dan biaya terjangkau.
2. Setiap anggota mendapat Jurnal IDI secara teratur
3. Setiap anggota mendapat perlindungan hukum dan perlindungan kerja secara
proporsional sesuai dengan wewenang IDI
4. Terbitnya Guideline Audit Medik untuk memastikan penerapan standar kompetensi
dan kode etik kedokteran.

Pengertian Program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan Program


Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) merupakan upaya pembinaan
bersistem untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan , ketrampilan , serta sikap
dokter agar senantiasa dapat menjalankan profesinya dengan baik. (PB IDI, 2007)
Program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan meliputi semua kegiatan
dokter, formal maupun nonformal, yang dilakukannya untuk mempertahankan,
membaharukan, mengembangkan, dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap
profesinalnya sebagai upaya yang memenuhi kebutuhan pasiennya.
Pelaksanaan Program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan berperan
penting dalam meningkatkan mutu pelayanan praktik kedokteran, sekaligus menjadikan
dokter semakin profesional sesuai dengan harkat dan martabat serta kehormatan profesinya
dalam rangka memenuhi harapan kemanusiaan, harapan masyarakat, dan harapan bangsa. (PB
IDI, 2007)

Landasan hukum P2KB


a. Undang-undang Nomor 23 Tahun1992 tentang Kesehatan
b. Undang-undang No.29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
c. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 131/Menkes/SK/II/2004 tentang Sistem
Kesehatan Nasional
d. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No.1 Tahun 2005 tentang Registrasi Dokter dan
Dokter Gigi
e. Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia No.21A/KKI/KEP/IX/2006 tentang Pengesahan
Standar Kompetensi Dokter
f. AD/ART IDI, Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Etika
Kedokteran Indonesia Tahun 2002. (BP2KB Pusat IDI, 2007)

12  
 
Berdasarkan Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Bab V Pasal 28
ayat 1 disebutkan bahwa setiap dokter atau dokter gigi yang berpraktik wajib mengikuti
pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan yang
diselenggarakan oleh organisasi profesi (IDI) dan lembaga lain yang diakreditasi oleh
organisasi pofesi (IDI) dalam rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran atau kedokteran gigi. Pada ayat 2 disebutkan pendidikan dan pelatihan
kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh organisasi profesi kedokteran atau
kedokteran gigi. (PB IDI, 2007)

Tujuan P2KB
Tujuan Umum Program P2KB yaitu mendorong profesionalisme setiap dokter dengan cara uji
diri (self-assessment) melalui pemenuhan angka kredit minimal untuk memperoleh sertifikat
kompetensi sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan , yang meliputi ranah kognitif,
psikomotor, maupun afektif. Sedangkan tujuan khusus yaitu:
a. Meningkatkan kinerja profesional dokter
b. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dokter
c. Menjamin sikap etis dokter dalam memberikan layanan kedokteran sesuai dengan
kewenangannya. (BP2KB Pusat IDI, 2007)
Tujuan khusus di atas dicapai oleh para dokter dengan cara mengikuti/menjalani berbagai
kegiatan bernilai pendidikan, kemudian melaporkan kegiatan itu kepada Badan P2KB di
wilayah kerjanya masing-masing untuk diproses lebih lanjut.

Dokter perlu mengikuti pendidikan kedokteran berkesinambungan (Continuous Medical


Education/ CME), dengan mengikuti kursus-kusus, seminar, simposium, penataran,
lokakarya, atau mengikuti pendidikan formal spesialisasi/subspesialisasi. Dalam organisasi
pelayanan kesehatan, sangat penting untuk memiliki instrumen penilaian kinerja yang efektif
bagi tenaga profesional. Proses evaluasi kinerja bagi profesi menjadi bagian terpenting dalam
upaya manajemen untuk meningkatkan organisasi. Menurut Meister yang dikutip Winardi
(2007), kinerja dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: kemampuan dan motivasi. Kemampuan
terdiri atas: pengetahuan dan keterampilan, sedangkan motivasi terdiri atas: kondisi sosial dan
kebutuhan individu.

13  
 
Kebijakan Program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan mutlak
dilaksanakan April 2007 oleh semua Perhimpunan Dokter Spesialis (PDSp) dan Perhimpunan
Dokter Pelayanan Pertama (PDPP). Program Pengembangan Pendidikan Keprofesian
Berkelanjutan merupakan kegiatan belajar mandiri yang self directed dan practice based,
sehingga unsur utamanya adalah pencatatan untuk tujuan monitoring oleh perhimpunan.
Dalam hal ini pemanfaatan teknologi informasi akan sangat membantu. Oleh karena itu
sangat dianjurkan agar semua perhimpunan membangun sistem pencatatan yang web based
walaupun tetap dimungkinkan pencatatan manual.

Motivasi
Pengertian motivasi
Motivasi adalah suatu kekuatan potensial yang ada di dalam diri seorang manusia, yang dapat
dikembangkan sendiri atau dikembangkan oleh sejumlah kekuatan luar yang pada intinya
erkisar sekitar imbalan moneter dan imbalan nonmoneter yang dapat mempengaruhi hasil
kinerja secara positif atau secara negatif, hal mana tergantung pada situasi dan kondisi yang
dihadapi orang ang bersangkutan.
Menurut Gomes (2003), dalam hubungan dengan masalah motivasi ada
beberapa istilah yang mempunyai pengertian sama atau hampir bersamaan yaitu:
a. Drives, terutama digunakan untuk dorongan yang berhubungan dengan dorongan dasar atau
kebutuhan dasar seperti: makan, minum, perlindungan, sex dan lainlain
b. Needs, dipergunakan dalam pengertian bila pada individu ada sesuatu kekurangan
c. Motive, digunakan untuk dorongan selain drives dan needs.

Klasifikasi motivasi
Herzberg dalam Gibson (1997) mengklasifikasikan motivasi terdiri atas: motivasi intrinsik
dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang berfungsi tanpa rangsangan
dari luar, karena timbul dalam diri individu tersebut, sudah ada dorongan untuk melakukan
tindakan, yang meliputi: prestasi yang diraih, pengakuan orang lain, tanggung jawab, peluang
untuk maju, kepuasan kerja itu sendiri. Motivasi ekstrinsik yaitu motivasi yang berfungsinya
karena disebabkan oleh adanya faktor pendorong dari luar dari individu yang meliputi:
kompensasi,
keamanan dan keselamatan kerja, kondisi kerja, prosedur kerja, mutu supervisi teknis serta
hubungan interpersonal.

14  
 
Dilihat dari dasar pembentukannya motivasi dibagi atas motif bawaan dan motif yang
dipelajari. Motif bawaan, yang ada sejak lahir, tanpa dipelajari. Motivasi bawaan atau disebut
juga dengan motivasi primer terjadi dengan sendirinya tanpa melalui proses belajar. Motif
yang dipelajari, yaitu motivasi yang terjadi karena adanya komunikasi dan isyarat sosial serta
secara sengaja dipelajari oleh manusia, motivasi ini disebut motivasi sekunder yang muncul
melalui proses pembelajaran sesuai dengan tingkat pengetahuan dan pengalaman seseorang.
(Sardiman, 2007)
Gibson (1997) berpendapat bahwa keseluruhan kesatuan tenaga (Complex State) yang
mendorong individu melakukan kegiatan pada umumnya dapat dikelompokkan ke dalam:
a. Motif dasar (basic motive) atau dorongan biologis (biologies drives) merupakan motif
yangberasal dari kebutuhan biologis, dan tidak dipelajari, artinya telah dimiliki sejak
lahir atau insitif (naluriah). Beberapa motif dasar yang dimiliki manusia diantaranya:
i. Motif dasar untuk makan, minum, bernafas
ii. Motif dasar untuk perlindungan diri atau rasa aman
iii. Motif dasar untuk beristirahat dan bergerak
iv. Motif dasar untuk mengembangkan keturunan

b. Motif sosial (social motives)


Manusia adalah makhluk sosial, dalam kehidupannya ia selalu berada bersama orang lain.
Selain dari itu juga manusia adalah makhluk berakal. Karena kedua aspek ini maka manusia
mempunyai kemungkinan untuk dapat belajar dari orang lain. Dengan jalan belajar,
kehidupan manusia mempunyai kemungkinan lebih jauh sesuai dengan faktor-faktor yang
dimungkinan oleh lingkungan. Demikian halnya dengan masalah motif manusia tidak hanya
menetap pada tingkat motif dasar tetapi berkembang menjadi motif sosial.

Usaha-usaha membangkitkan motif


Gibson (1997) menyatakan bahwa agar sesuatu usaha memberikan hasil yang efektif maka
diperlukan adanya motif yang kuat. Beberapa usaha untuk membangkitkan dan memperkuat
motivasi:
1. Kompetisi atau persaingan, kompetisi sebenarnya memperbandingkan prestasi dan
berusaha mengatasi sesuatu. Self Competition adalah kompetisi dengan prestasi sendiri,
berusaha memperbaiki prestasi yang telah dicapai sebelumnya dengan prestasi orang lain.
2. Pace maker, goal atau tujuan dari sesuatu perbuatan bermotif sering kali sangat jauh.
Untuk mencapai tujuan yang jauh itu sering kali individu merasa malas atau kurang motivasi.
15  
 
Maka untuk membangkitkan motivasi, tujuan yang jauh tersebut perlu didekatkan dengan
memperincinya menjadi tujuan sementara yang dekat. Tujuan-tujuan sementara ini
merupakan “Pace Maker”.
3. Tujuan yang jelas, motif mendorong individu untuk mencapai tujuan. Makin jelas suatu
tujuan makin besar motifnya.
4. Minat yang besar, motif akan timbul bila individu mencapai minat yang besar. Makin
besar minat makin kuat motif untuk mencapai tujuan.
5. Kesempatan untuk sukses, sukses dapat menimbulkan rasa puas, rasa senang dan
kepercayaan kepada diri sendiri. Kegagalan dapat memberikan efek sebaliknya. Agar motif
seseorang besar maka ia harus diberi kesempatan untuk sukses atau mengetahui sukses yang
diperolehnya.

Motivasi merupakan pola perilaku


Herzberg dalam Gibson (1997) berpendapat bahwa bahwa dalam lingkungan kerja
(organisasi) terdapat dua faktor yang memegang peranan penting dalam hal motivasi yakni:
motivasi kebutuhan yang menimbulkan kepuasan, dan factor pemeliharaan kebutuhan yang
menimbulkan ketidakpuasan. Seseorang itu dalam pekerjaannya pada dasarnya menyangkut
suatu pembaharuan yang dirasakan harus dipenuhinya, yang mencakup faktor motivasi
kebutuhan ialah : jenis pekerjaan, prestasi yang akan dicapai, pengakuan prestasi, tanggung
jawab dan kesempatan untuk berkembang. Bila seseorang itu tidak mencapai atau
memperoleh berbagai faktor ini (tidak puas) ia cenderung mengeluh tentang faktor
pemeliharaan kebutuhan yang meliputi kondisi kerja, kebijaksanaan pemimpin, tidak cukup
pengawasan, pengajaran dan lain-lain. Jika faktor pemeliharaan dapat diubah pengelola,
selama faktor motivasi kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, seseorang itu tidak akan puas.
Oleh sebab itu seseorang yang memperoleh prestasi, erkembangan pribadi yang cukup baik,
pengakuan dan perasaan kepuasan dalam prestasi, tidak akan mengeluh tentang lingkungan
kerja, bahkan mempunyai toleransi terhadap kondisi kerja yang kurang.

Prinsip-prinsip dalam motivasi kerja pegawai


Mangkunegara (2002) berpendapat bahwa terdapat beberapa prinsip dalam memotivasi kerja
pegawai yaitu:
a. Prinsip Partisipatif, dalam upaya memotivasi kerja, pegawai perlu diberikan kesempatan
ikut berpartisipasi dalam menentukan tujuan yang akan dicapai oleh pimpinan.

16  
 
b. Prinsip Komunikasi, pimpinan mengkomunikasikan segala sesuatu yang berhubungan
dengan usaha pencapaian tugas, dengan informasi yang jelas, pegawai akan lebih mudah
dimotivasi kerjanya.
c. Prinsip mengakui andil bawahan, pimpinan mengakui bahwa bawahan (pegawai)
mempunyai andil didalam usaha pencapaian tujuan. Dengan pengakuan tersebut, pegawai
akan lebih mudah dimotivasi kerjanya.
d. Prinsip pendelegasian wewenang, pemimpin akan memberikan otoritas atau wewenang
kepada pegawai bawahan untuk sewaktu-waktu dapat mengambil keputusan terhadap
pekerjaan yang dilakukannya, akan membuat pegawai yang bersangkutan menjadi termotivasi
untuk mencapai tujuan yang diharapkan oleh pimpinan.
e. Prinsip memberi perhatian, pimpinan memberikan perhatian terhadap apa yang diinginkan
pegawai bawahannya, dan bawahannya akan termotivasi bekerja sesuai dengan harapan
pimpinan.

Menjalani Program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan merupakan


kewajiban profesi (professional imperative) bagi setiap dokter dan merupakan prasyarat
untuk eningkatkan mutu pelayanan kedokteran. Berbeda dengan prinsip dalam pendidikan
kedokteran dasar dan pendidikan pasca dokter yang berstruktur, Program Pengembangan
Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan merupakan kegiatan belajar mandiri dengan ciri self
directed dan practice based.
Oleh karena itu keberlangsungan program Program Pengembangan Pendidikan Keprofesian
Berkelanjutan sangat bergantung pada motivasi dokter itu sendiri. Selain untuk mendorong
pengembangan profesionalisme, juga bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan
kompetensi seorang dokter, yang sangat penting untuk memenuhi tuntutan pasien dan
tuntutan sistem pelayanan kesehatan, serta menjawab tantangan kemajuan ilmu kedokteran.

Dari sudut pandang dokter, motivasi untuk menjalani Program Pengembangan Pendidikan
Keprofesian Berkelanjutan soyogyanya muncul dari tiga dorongan utama:
a. Dorongan profesional untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada pasien
b. Dorongan untuk memenuhi kewajiban kepada pemberi kerja
c. Dorongan untuk memperoleh kepuasan kerja dan mencegah kejenuhan

Determinan yang dapat mempengaruhi rendahnya implementasi dokter dalam program


Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan adalah motivasi.
17  
 
Landasan Teori
Kinerja dipengaruhi oleh banyak faktor, namun faktor yang paling mempengaruhi kinerja
adalah variable motivasi dan kemampuan. Berdasarkan teori Gray maka salah satu variabel
yang dapat mempengaruhi kinerja dokter dalam implementasi Pengembangan Pendidikan
Keprofesian Berkelanjutan adalah variabel motivasi.
Herzberg dalam Gibson (1997) mengklasifikasikan motivasi terdiri atas: motivasi intrinsik
dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang berfungsi tanpa rangsangan
dari luar, karena timbul dalam diri individu tersebut, sudah ada dorongan untuk melakukan
tindakan, yang meliputi: prestasi yang diraih, pengakuan orang lain , tanggung jawab,
peluang untuk maju, kepuasan kerja itu sendiri. Motivasi ekstrinsik yaitu motivasi yang
berfungsinya karena disebabkan oleh adanya faktor pendorong dari luar dari individu yang
meliputi: kompensasi,
keamanan dan keselamatan kerja, kondisi kerja, prosedur kerja, mutu supervisi teknis serta
hubungan interpersonal. Dengan demikian, apabila dalam diri setiap dokter terdapat motivasi
yang baik tentunya akan memberi kekuatan bagi dokter dalam mengimplementasikan
Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan.

Pembinaan Profesi
Pembinaan adalah kata yang banyak sekali muncul dalam tatanan lembaga (organisasi),
tetapi arti sebenarnya mungkin tak jelas benar bagi kebanyakan orang. Beberapa direktoral
general atau direktorat di lingkungan Departemen Kesehatan yang menggunakan kata
pembinaan atau “Bina” pada namanya juga rasanya tak sepenuhnya menjelaskan arti
pembinaan itu. Apakah pembinaan benar-benar sudah terjadi di sekitar kita? Nah kini,
dikaitkan pula dengan profesi.
Kalau kita lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka pengertian pembinaan diuraikan
sebagai berikut: upaya, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan
berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik.
Lalu apakah pembinaan profesi? Tampaknya ada euphemism dalam mengangkat istilah
“pembinaan” karena pada kenyataannya, pembinaan profesi yang dimaksud dalam program
P2KB ini lebih tepat kalau disebut sebagai bagian dari upaya pengawasan profesi
(professional oversight). IDI kepengurusan 2006-2009 melansir program ini setelah Komisi
III Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian IDI periode kepengurusan sebelumnya
menggodog gagasan itu selama 2 tahun. Program P2KB pada dasarnya memang merupakan
18  
 
upaya pembinaan bersistem yang dimaksudkan agar dokter senantiasa dapat menjalankan
profesinya dengan baik dan itu baru bisa terjadi kalau pengetahuan (knowledge) dan
keterampilan (skill) senantiasa ditingkatkan, serta sikap (attitude) profesionalnya terjaga.
Oleh karena itu, upaya ini tidak dapat dilepaskan dari mekanisme licensure atau pemberian
izin praktik. Perlu diketahui bahwa Continuing Professional Development bukan monopoli
profesi dokter, karena semua profesi yang memberikan jasanya untuk kepentingan
masyarakat luas punya program ini.8 Dengan
demikian, jelas agak aneh kalau CPD dikacaukan pengertiannya dengan Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan (PKB) atau Continuing Medical Education (CME) atau lebih parah
lagi, CPD disebutkan sebagai “menggantikan CME”.
Tidak bisa tidak program P2KB harus dilihat sebagai bagian dari professional oversight.3
Dalam masa kehidupan profesinya seorang dokter (juga profesi lain) senantiasa harus
memperbarui ilmu dan keterampilannya karena ilmu kedokteran selalu berkembang, masalah
kedokteran dan
kesehatan senantiasa berubah. Terakhir, tak berlebihan kiranya kalau dikatakan bahwa kerja
dokter berhubungan dengan kesejahteraan, bahkan, hidup mati seseorang. Oleh karena itu,
IDI bertanggungjawab menjamin bahwa dokter yang bekerja di Indonesia adalah dokter yang
kompeten untuk memikul tugasnya. Di masa lalu, tanggung jawab itu hanya dijalankan secara
“administratif”, yaitu dengan memberikan rekomendasi bagi dokter yang akan mengurus izin
praktiknya. Di masa depan tanggung jawab tersebut akan dijalankan dengan sebenar-
benarnya yaitu melalui proses sertifikasi dan resertifikasi. Bukan saja Undang-undang Praktik
Kedokteran yang menuntut demikian, tetapi jaman pun menuntut. Tujuan dilaksanakannya
program P2KB adalah membuat pelayanan kedokteran lebih bermutu agar masyarakat
pengguna layanan terlindungi. Dengan demikian kegiatan P2KB pun mestinya dirunut ke
pekerjaan dokter itu sendiri. Itulah yang dimaksud dengan practice-based. Prinsip pertama
dalam P2KB adalah pembelajarannya bersifat self-directed dan practice-based, maka unsur
utama untuk dapat berlangsungnya P2KB adalah pencatatan untuk tujuan pemantauan oleh
perhimpunannya. Dalam hal ini pemanfaatan teknologi informasi akan sangat membantu.
Prinsip kedua, P2KB mengacu kepada kompetensi yang ditetapkan oleh kolegium. Untuk
dokter umum kolegium ini adalah Kolegium Dokter dan Dokter Keluarga Indonesia dan
kompetensinya adalah kompetensi yang ditetapkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).
Dengan demikian, suatu program P2KB seyogyanya mencakup semua kegiatan practicing
doctors dan kebijakan umum dalam pelaksanaan programnya disepakati oleh perhimpunan
dan kolegiumnya melalui Badan P2KB IDI, sedangkan implementasinya diserahkan kepada
19  
 
perhimpunan. Saat ini perhimpunan spesialis maupun perhimpunan dokter pelayanan primer
di lingkungan IDI sedang giat menyusun kebijakan operasional (petunjuk pelaksanaan teknis)
P2KB sesuai dengan ciri layanan bidang profesinya masing-masing. Masing-masing spesialis
tentu sudah ada standar pelayanannya, demikian juga dokter praktik umum. Dengan
melakukan tugasnya sebagai dokter puskesmas atau dokter praktik umum, seseorang dapat
mempertahankan kemampuannya sebagai dokter praktik umum, dan bila dilakukan audit pada
pekerjaannya mutu layanannya pun dapat dijaga. Itulah pembinaan yang dimaksud dalam
strategi kedua mencapai visi IDI.1 Bagi sejawat yang pernah bekerja di puskesmas, P2KB
mungkin mengingatkannya pada proses pengumpulan nilai kum kenaikan pangkat.11
Bedanya, dalam P2KB, lebih banyak kegiatan yang dapat menghasilkan nilai
pendidikan/pembelajaran yang disebut sebagai SKP IDI. Masing-masing perhimpunan akan
membuat petunjuk teknis untuk ini. Hampir semua kegiatan dalam tabel ini, termasuk
penelitian,
sebenarnya merupakan kegiatan yang seharusnya dilakukan oleh semua dokter, umum
maupun spesialis, tetapi kita tidak melakukannya, entah dengan alasan apa. Program P2KB
IDI ingin mendorong anggotanya untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan, karena
hanya dengan itu pengetahuan, keterampilan, dan sikap profesional kita dapat diasah.

Bukti kesertaan seseorang dokter dalam suatu program Pengembangan Pendidikan


Keprofesian Berkelanjutan dinyatakan dalam Satuan Kredit Partisipasi (SKP) yang diperoleh
dari kegiatan yang bernilai pendidikan profesi. Satu kredit menggambarkan partisipasi
seseorang dalam 1 jam kegiatan yang diakui sebagai kegiatan Program Pengembangan
Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (merupakan nilai normatif), selanjutnya disebut 1 SKP
IDI. Kredit ini diberikan baik untuk kegiatan yang bersifat klinis (berhubungan dengan
layanan kedokteran langsung dan
tak langsung) maupun nonklinis (mengajar, meneliti, manajemen). (PB IDI, 2007)

Kegiatan yang dapat diberikan angka kredit dibedakan atas 3 jenis:


1. Kegiatan pendidikan pribadi yaitu kegiatan perorangan yang dilakukan sendiri
yang memberikan tambahan ilmu dan keterampilan bagi yang bersangkutan.
2. Kegiatan pendidikan internal yaitu kegiatan yang dilakukan bersama teman sekerja
dan merupakan kegiatan terstruktur di tempat kerja yang bersangkutan.

20  
 
3. Kegiatan pendidikan eksternal yaitu kegiatan yang diselenggarakan oleh kelompok
lain di tempat kerja yang bersangkutan yang dapat berskala lokal/wilayah, nasional,
maupun internasional. (PB IDI, 2007)

Ditinjau dari sudut keprofesian, kegiatan dalam progam Pengembangan Pendidikan


Keprofesian Berkelanjutan ini dibedakan atas:
1. Kinerja profesional, yaitu kegiatan yang dilakukan sehubungan dengan kedudukannya
sebagai dokter dan memberinya kesempatan untuk belajar, misalnya menangani
pasien, penyaji makalah instruktur dalam suatu pelatihan/workshop, moderator dalam
suatu seminar.
2. Kinerja pembelajaran, yaitu kegiatan yang membuat seseorang mempelajari suatu
tema misalnya membaca artikel di jurnal, menelusuri informasi melalui internet,
mengikuti suatu pelatihan.
3. Kinerja pengabdian masyarakat/ profesi, yaitu kegiatan yang dimaksudkan sebagai
pengabdian kepada mesyarakat umum atau masyarakat profesinya, memberikan
penyuluhan kesehatan, terlibat dalam penanggulangan bencana, duduk sebagai
pengurus suatu perhimpunan organisasi profesi kedokteran, duduk sebagai panitia
pelaksana, suatu kegiatan Program Pengembangan Pendidikan Keprofesian
Berkelanjutan organisasi profesi kedokteran.
4. Kinerja publikasi ilmiah, yaitu kegiatan yang menghasilkan karya tulis yang
dipublikasikan seperti menulis buku (dengan ISBN), menerjemahkan buku di bidang
ilmunya (dengan ISBN), menulis tinjauan pustaka yang dipublikasikan di jurnal (yang
terakreditasi).
5. Kinerja pengembangan ilmu dan pendidikan, yaitu kegiatan yang berkaitan
pengembangan bidang ilmu yang bersangkutan misalnya melakukan penelitian di
bidangnya, mendidik/mengajar termasuk membuat ujiannya, menjadi supervisor, atau
membimbing di bidang ilmunya. (PB IDI, 2007)

21  
 
Tabel 1. Berbagai Kegiatan yang Memberikan Nilai SKP IDI
Kegiatan Jenis kegiatan

Kegiatan Jenis kegiatan


Membaca jurnal dan menjawab uji-dirinya Pembelajaran
Memberikan penyuluhan Pengabdian masyarakat
Membuat tulisan populer Pengabdian masyarakat
Menulis tinjauan kasus/ tinjauan pustaka/ buku/monograf Karya ilmiah
Terlibat dalam suatu panitia/pokja Pengabdian masyarakat/profesi
Menangani pasien (dengan/tanpa intervensi) Kegiatan profesional
Melakukan edukasi pasien (perorangan/kelompok) Kegiatan profesional
Melakukan kajian mitra bestari (peer review) Kegiatan professional
Melaporkan kejadian efek samping obat Kegiatan professional
Melakukan skrining kesehatan Kegiatan professional
Menyajikan makalah dalam acara ilmiah Pengembangan ilmu
Membuat penelitian Pengembangan ilmu
Melakukan penelusuran informasi/sesi EBM Pembelajaran
Mengajar/membuat soal ujian Pengembangan ilmu
Menjadi penyelia (supervisor) Pengembangan ilmu

Selama ini kita mengira bahwa kegiatan no. 11, 12, 13, 14 dan 15 hanya patut untuk
mereka yang terlibat atau bekerja di pendidikan dokter, perguruan tinggi atau lembaga
penelitian. Anggapan tersebut sama sekali tidak benar karena pasien yang dihadapi dokter
sehari-hari merupakan sumber data yang dapat diolah untuk menghasilkan sesuatu
(informasi) berharga. Sementara itu, pelaporan efek samping obat yang sebenarnya sangat
dianjurkan (kalau tak mau disebut diwajibkan) oleh Departemen Kesehatan hanya tinggal
wacana walaupun lembaga yang bertanggungjawab untuk itu sebenarnya sudah ada.

Budaya Tulis
Suatu body of knowledge yang kita kuasai sekarang ini pada dasarnya terbentuk dari
sebuah budaya tulis. Apa yang dikenal sebagai kebenaran ilmu direkam dalam berbagai
tulisan, mulai dari pengamatan pribadi, temuan suatu eksperimen, makalah ilmiah, monograf,
sampai ke buku ajar (textbook). Apa yang ditemui dalam penerapan suatu ilmu, kedokteran

22  
 
misalnya, seharusnya juga direkam karena kebenaran ilmu berubah dari waktu ke waktu. Apa
yang ditemui oleh dokter A pada pasiennya belum tentu sama dengan apa yang tertulis dalam
buku ajar tentang penyakit
sang pasien dan mungkin berbeda pula dengan apa yang ditemui sejawatnya. Hal itu yang
belum menjadi kesadaran kita sehingga segala harta berharga yang tersimpan dalam berbagai
kasus yang ditangani sehari-hari sirna begitu saja.

Pengembangan profesional (CPD) memiliki beberapa tujuan utama:


• untuk memastikan standar profesional praktek
• untuk menunjukkan kepada masyarakat dan pengusaha bahwa setiap dokter yang up-to-
date dengan pengetahuan dan praktek yang modern, sehingga memastikan keselamatan
pasien
• selalu bertanggung jawab kepada pihak berwenang dan profesi

Pengembangan profesional (CPD) juga memiliki efek meningkatkan kepuasaan pekerjaan


dan merupakan aspek penting dari profesionalisme kesehatan. Oleh karena itu, konteks CPD
merupakan salah satu integrasi dengan pengembangan praktek profesional, secara nyata dan
bertanggung jawab. Model yang paling umum di seluruh dunia adalah CPD. Namun, adalah
salah satu yang hanya menetapkan jenis kegiatan yang akan diterima oleh regulator (atau
penjaga catatan) sebagai CPD, seiring dengan sistem menghitung jam yang dihabiskan per
tahun usaha kegiatan tersebut. Ada banyak definisi lain dan saling melengkapi terhadap
pengertian CPD, tergantung pada perspektif utama. Misalnya, CPD dapat berarti sebuah
proses yang berkelanjutan, di luar sarjana formal dan pelatihan pascasarjana, yang
memungkinkan dokter individu untuk mempertahankan dan meningkatkan standar praktek
medis melalui pengembangan pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku. CPD juga harus
mendukung perubahan spesifik dalam praktek. Atau bisa juga berarti proses belajar terus
yang melengkapi resmi pendidikan dan pelatihan sarjana dan pascasarjana. CPD
membutuhkan dokter untuk mempertahankan dan meningkatkan mereka standar di semua
bidang praktek mereka.

Pendidikan kedokteran pada dasarnya bertujuan untuk menghasilkan dokter yang profesional
melalui proses yang terstandardisasi sesuai kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat.
23  
 
Standar Kompetensi Dokter Indonesia merupakan bagian dari Standar Pendidikan Profesi
Dokter Indonesia yang disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia. Setiap perguruan tinggi
yang menyelenggarakan pendidikan profesi dokter, dalam mengembangkan kurikulum harus
menerapkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia
(SKDI) merupakan standar minimal kompetensi lulusan dan bukan merupakan standar
kewenangan dokter layanan primer. SKDI pertama kali disahkan oleh Konsil Kedokteran
Indonesia (KKI) pada tahun 2006 dan telah digunakan sebagai acuan untuk pengembangan
kurikulum berbasis kompetensi (KBK). SKDI juga menjadi acuan dalam pengembangan uji
kompetensi dokter yang bersifat nasional.
Tantangan profesi kedokteran masih memerlukan penguatan dalam aspek perilaku
profesional, mawas diri, dan pengembangan diri serta komunikasi efektif sebagai dasar dari
rumah bangun kompetensi dokter Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan hasil pertemuan
Konsil Kedokteran se-ASEAN yang memformulasikan bahwa karakteristik dokter yang ideal,
yaitu profesional, kompeten, beretika, serta memiliki kemampuan manajerial dan
kepemimpinan. Standar Kompetensi Dokter Indonesia terdiri atas 7 (tujuh) area kompetensi
yang diturunkan dari gambaran tugas, peran, dan fungsi dokter layanan primer. Setiap area
kompetensi ditetapkan definisinya, yang disebut kompetensi inti. Setiap area kompetensi
dijabarkan menjadi beberapa komponen kompetensi, yang dirinci lebih lanjut menjadi
kemampuan yang diharapkan di akhir pendidikan.
Kompetensi dibangun dengan pondasi yang terdiri atas profesionalitas yang luhur, mawas diri
dan pengembangan diri, serta komunikasi efektif, dan ditunjang oleh pilar berupa pengelolaan
informasi, landasan ilmiah ilmu kedokteran, keterampilan klinis, dan pengelolaan masalah
kesehatan.

24  
 
Area Profesionalitas yang Luhur
1. Berke-Tuhanan Yang Maha Esa/Yang Maha Kuasa
2. Bermoral, beretika dan disiplin
3. Sadar dan taat hukum
4. Berwawasan sosial budaya
5. Berperilaku profesional
Area Mawas Diri dan Pengembangan Diri
6. Menerapkan mawas diri
7. Mempraktikkan belajar sepanjang hayat
8. Mengembangkan pengetahuan
Area Komunikasi Efektif
9. Berkomunikasi dengan pasien dan keluarga
10. Berkomunikasi dengan mitra kerja
11. Berkomunikasi dengan masyarakat
Area Pengelolaan Informasi
12. Mengakses dan menilai informasi dan pengetahuan
13. Mendiseminasikan informasi dan pengetahuan secara efektif kepada profesional
kesehatan, pasien, masyarakat dan pihak terkait untuk peningkatan mutu pelayanan kesehatan
Area Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran
14. Menerapkan ilmu Biomedik, ilmu Humaniora, ilmu Kedokteran Klinik, dan ilmu
Kesehatan Masyarakat/ Kedokteran Pencegahan/Kedokteran Komunitas yang terkini untuk
mengelola masalah kesehatan secara holistik dan komprehensif.

25  
 
Area Keterampilan Klinis
15. Melakukan prosedur diagnosis
16. Melakukan prosedur penatalaksanaan yang holistik dan komprehensif
Area Pengelolaan Masalah Kesehatan
17. Melaksanakan promosi kesehatan pada individu, keluarga dan masyarakat
18. Melaksanakan pencegahan dan deteksi dini terjadinya masalah kesehatan pada individu,
keluarga dan masyarakat
19. Melakukan penatalaksanaan masalah kesehatan individu, keluarga dan masyarakat
20. Memberdayakan dan berkolaborasi dengan masyarakat dalam upaya meningkatkan
derajat kesehatan
21. Mengelola sumber daya secara efektif, efisien dan berkesinambungan dalam penyelesaian
masalah kesehatan
22. Mengakses dan menganalisis serta menerapkan kebijakan kesehatan spesifik yang
merupakan prioritas daerah masing-masing di Indonesia

Daftar Pustaka

1. Hijriati SA. dan Wibowo DE. Profesionalisme Dokter Dalam Rangka Perlindungan
Hukum Bagi Pasien. Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008.
2. Members of the Swedish Society of Medicine and the Swedish Medical Association Joint
Working Group.Continuing Professional Development,
http://www.sls.se/Global/cpd/cpd2012 eng.pdf
3. Rasmin M. Sewindu Konsil Kedokteran Indonesia: Pengabdian Bagi Kemanusiaan.
Sekretariat Konsil Kedokteran Indonesia, inamc.or.id, kki@inamc.or.id.
4. Zunilda DS. Profesionalisme Bagi Seorang Dokter. Badan Pengembangan dan Pendidikan
Keprofesian Berkelanjutan Ikatan Dokter Indonesia, Maj Kedokt Indon, Volum: 58,
Nomor: 4, April 2008.

26  
 

Anda mungkin juga menyukai