Anda di halaman 1dari 13

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif

Dalam dunia pendidikan, model pembelajaran adalah sesuatu yang sangat


biasa dicerna. Akan tetapi, masih banyak orang yang tidak dapat memahami
apa yang dimaksud dengan model pembelajaran.

Menurut Joyce dan Weil (dalam Rusman, 2010:133) menyatakan bahwa :


Model pembelajran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan
untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang),
merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajran di
kelas atau yang lain. Sementara itu, menurut Kemp ( dalam Rusman,
2010:132) “ strategi pembelajaran adalah suatu pembelajaran yang harus
dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara
efektif dan efisien.”. Kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran adalah rencana tentang pola kegiatan yang akan dilaksanakan
dalam proses pembelajaran dan merancang bahan-bahan pembelajaran.

Kooperatif dalam bahasa inggris ‘cooperative’ mengandung pengertian


bekerja sama dalam mencapai tujuan bersama (Hamid Hasan dalam Solihatin
dan Raharjo. 2005:4). Sedangkan menurut Solihatin dan Raharjo (2005:4)
bahwa : ‘cooperative learning’ mengandung pengertian sebagai suatu sikap
atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu diantara sesama dalam
struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang
atau lebih dimana keberhasilan kerja sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dari
setiap anggota kelompok. Sementara itu, menurut Marno dan Idris (2008:84)
bahwa :
Pola interaksi yang monoton Guru-Siswa(G-S), misalnya guru
menerangkan–siswa mendengarkan atau guru bertanya dan murid menjawab,
biasanya tidak berhasil memikat perhatian siswa untuk waktu yang lama.
Teori yang melandasi pembelajaran kooperatif adalah teori kontruktivisme.
Pada dasarnya pendekatan teori kontruktivisme dalam belajara adalah suatu
pendekatan dimana siswa harus secara individual menemukan dan
mentranformasikan informasi yang kompleks, memeriksa informasi dengan
aturan yang ada dan merevisinya bila perlu (Soejadi dalam Rusman,
2010:201). Menurut Slavin (dalam Rusman, 2010:201) pembelajaran
kooperatif menggalakkan siswa berinteraksi secara aktif dan positif dalam
kelompok. Hal ini memperbolehkan pertukaran ide dan pendapat masing-
masing siswa dalam suasana yang tidak mengancam sesuai dengan falsafah
kontruktivisme. Dengan demikian, seorang pendidik harus mampu
mengondisikan, memberikan dorongan, memaksimalkan dan membangkitkan
potensi siswa serta menumbuhkan aktivitas dan kreativitas peserta didik agar
tumbuh dinamika di dalam proses pembelajaran.
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan dari teori belajar
kontruktivisme yang lahir dari gagasan Piaget dan Vigotsky. Berdasarkan
penelitian Piaget, dikemukakan bahwa pengetahuan itu dibangun dalam
pikiran anak (Ratna dalam Rusman, 2010:201). Selain itu, pembelajaran
kooperatif menempatkan peserta didik sebagai bagian dari suatu sistem kerja
sama dalam mencapai suatu hasil yang optimal dalam belajar. Keberhasilan
belajar menurut model pembelajaran kooperatif bukan semata-mata
ditentukan oleh kemampuan individu secara utuh, melainkan perolehan hasil
belajar akan semakin baik jika dilakukan secara bersama-sama dalam
kelompok-kelompok kecil yang terstruktur dengan baik.
Beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran
kooperatif adalah model pembelajaran yang menitikberatkan pada
keikutsertaan peserta didik dalam proses pembelajaran. Model pembelajaran
kooperatif juga mendorong peningkatan kemampuan peserta didik dalam
memecahkan berbagai permasalahan yang ditemui selama pembelajaran, oleh
karena peserta didik dapat bekerja sama dengan peserta didik lain untuk
menemukan dan merumuskan alternatif pemecahan terhadap masalah yang
dihadapi dalam pembelajaran. Hal itu tentu saja dapat mengurangi beban
seorang guru dalam melakukan proses pembelajaran.
Dalam pembelajaran kooperatif, Guru harus bisa merangsang minat siswa
agar secara aktif mampu berinteraksi dengan guru maupun teman-temannya.
Dalam hal ini seorang guru harus mampu menjadi seorang pengajar sekaligus
sebagai seorang motivator dalam kegiatan pembelajaran sehingga peserta
didik dapat belajar dengan nyaman dan proses pembelajaran berjalan lebih
menarik. Dengan demikian tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dapat
tercapai dengan baik.

2.2 Tujuan Cooperative Learning

Cooperative learning mempunyai tujuan pembelajaran yang penting yang


man dapat di resume oleh ibrahim (2000) yaitu:

1. Mencapai hasil belajar berupa prestasi akademik yakni meningkatkan


nilai siswa pada belajar akademik dan perubahan normal yang
berhubungan dengan hasil belajar

2. Dapat menerima secara luas dari orang yang berbeda berdasarkan ras
budaya, kelas social, kemampuan dan ketidak mampuannya.

3. Mengajarkan kepada siswa ketrampilan bekerja sama dan kolaborasi.

2.3 Karakteristik Pembelajaran Kooperatif


Karakteristik pembelajaran kooperatif diantaranya:

1. Siswa bekerja dalam kelompok kooperatif untuk menguasai materi.

2. Anggota-anggota dalam kelompok diatur terdiri dari siswa yang


berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi.

3. Jika memungkinkan, masing-masing anggota kelompok kooperatif


berbeda budaya dan jenis kelamin.

4. Sistem penghargaan yang berorientasi kepada kelompok daripada


individu.

Selain itu, terdapat empat tahapan keterampilan kooperatif yang harus ada
dalam model pembelajaran kooperatif yaitu:

a) Forming (pembentukan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk


membentuk kelompok dan membentuk sikap yang sesuai dengan norma.

b) Functioniong (pengaturan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk


mengatur aktivitas kelompok dalam menyelesaikan tugas dan membina
hubungan kerja sama diantara anggota kelompok.

c) Formating (perumusan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk


pembentukan pemahaman yang lebih dalam terhadap bahan-bahan yang
dipelajari, merangsang penggunaan tingkat berpikir yang lebih tinggi, dan
menekankan penguasaan serta pemahaman dari materi yang diberikan.

d) Fermenting (penyerapan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk


merangsang pemahaman konsep sebelum pembelajaran, konflik kognitif,
mencari lebih banyak informasi, dan mengkomunikasikan pemikiran untuk
memperoleh kesimpulan.
2.4 Model Cooperative Learning

Berikut ini model pembelajaran yang dapat mewakili model-model


cooperative learning :

1. Student teams achievement division (STAD)

Dalam STAD slavin mengatakan bahwa siswa ditempatkan dalam tim


belajar beranggotakan 4 orang yang merupakan campuran menurut tingkat
kinerja. Guru menyampaikan pelajaran dan kemudian siswa bekerja di
dalam tim mereka untuk memastikan bahwa seluruh anggota tim telah
menguasai pelajaran dan akhirnya semua siswa mendapatkan kuis tentang
materi itu dan pada waktu kuis mereka tidak dapat saling membantu. [3]

2. Team-Assisted Individualization (TAI)

TAI sama dengan STAD dalam penggunaan tim belajar empat-


anggota-berkemampuan-campur dan memiliki kinerja tinggi. Bedanya bila
STAD menggunakan salah satu langkah pengajaran di kelas, TAI
menggabungkan pembelajaran kooperatif dengan pengajaran individual.
TAI dirancang untuk mengajarkan matematika di kelas 3 samapai kelas 6
“atau kelas yang lebih tinggi yang belum siap untuk pelajaran aljabar
penuh.”

3. Cooperative Integreted Reading and Composition (CIRC)

CIRC adalah sebuah program komprehensif untuk pengajaran


membaca dan menulis untuk kelas-kelas tinggi sekolah dasar. Siswa
bekerja dalam tim belajar kooperatif beranggota empat orang. Mereka
terlibat dalam sebuah rangkaian kegiatan bersama, termasuk saling
membacakan satu dengan yang lain, membuat prediksi tentang bagaimana
cerita naratif akan muncul. Saling membuatkan ikhtisar satu dengan yang
lain, menulis tanggapan terhadap cerita, dan berlatih pengerjaan serta
perbendaharaan kata. Mereka juga bekerjasama untuk memahami ide
pokok dan keterampilan pemahaman yang lain. Dalam pelajaran ilmu-ilmu
sastra, siswa terlibat menulis draf, saling merivisi dan mengedit pekerjaan
satu dengan yang lain, dan mempersiapkan publikasi buku tim. Tiga
penelitian tentang program CIRS telah menemukan pengaruh positif
terhadap keterampilan membaca siswa, termasuk skor dalam tes bahasa
dan membaca dalam buku.[4]

4. Jigsaw

Pada Jigsaw Snapp mengatakan bahwa siswa dikelompokkan ke


dalam tim yang beranggotakan enam orang yang mempelajarai materi
akademik yang telah dibagi-bagi menjadi beberapa sub-bab. Misalnya,
riwayat hidup seorang tokoh dapat dibagi menjadi kehidupan awal,
prestasi-prestasi permulaan, kemunduran-kemunduran yang dialami,
kehidupan belakangan, dan dampak terhadap sejarah. Setiap tim membaca
sub-bab yang mereka dapatkan. Kemudian para siswa itu kembali ke tim
asal mereka dan bergantian mengajar teman satu tim mereka tentang sub-
sub mereka. Karena satu-satunya cara siswa dapat belajar dari sub-bab lain
selain dari sub-bab yang mereka pelajari adalah dengan mendengarkan
dengan sungguh-sungguh teman satu tim mereka, mereka termotivasi
untuk mendukung dan menunjukkan minat terhadap apa yang dipelajari
teman satu timnya. Modifikasi dari pendekatan ini disebut Jigsaw Slavin
mengatakan siswa bekerja dalam tim yang beranggotakan empat orang
atau lima orang seperti pada STAD. Sebagai gantinya setiap siswa ditugasi
mempelajari satu sub-bab tertentu, seluruh siswa membaca teks yang
sama, misalnya satu bab dari sebuah buku, cerita singkat, atau sebuah
riwayat hidup. Sementara itu, setiap siswa ditugasi mempelajari suatu
topik agar menjadi pakar dalam topik itu. Siswa dengan topik yang sama
bertemu dalam kelompok-kelompok ahli untuk mendiskusikan topik itu.
Setelah itu mereka kembali ke tim mereka masing-masing secara
bergantian mengajarkan apa yang mereka pelajari kepada satu tim mereka.
Siswa itu diberi kuis secara individual, yang menghasilkan skor tim,
seperti pada STAD.

5. Belajar bersama (Learning Together)

Model pembelajaran kooperatif ini dikembangkan oleh David


Johnshon dan Roger Johnshon dimana dalam model ini melibatkan siswa
yang bekerja dalam kelompok-kelompok yang beranggotakan empat atau
lima orang heterogen yang menangani tugas tertentu. Kelompok-kelompok
itu menyerahkan satu hasil kelompok dan menerima pujian dan ganjaran
berdasarkan hasil kelompok tersebut. Pendekatan mereka menekankan
pada kegiatan-kegiatan pembinaan kerjasama tim sebelum siswa mulai
bekerja sama dan melakukan diskusi terjadwal di dalam kelompok tentang
seberapa jauh mereka berhasil bekerja sama.[5]

6. Penelitian kelompok (Group Investigation)

Sharan menyatakan Group Investigation merupakan suatu rencana


organisasi secara umum. Dalam pendekatan ini, siswa membentuk
kelompoknya sendiri yang terdiri dari dua sampai enam anggota. Setelah
memilih beberapa subtopik dari sebuah bab yang sedang dipelajari seluruh
kelas, kelompok-kelompok itu memecahkan subtopik mereka menjadi
tugas-tugas individual dan melaksanakan kegiatan yang diperlukan untuk
mempersiapkan laporan kelompok. Setiap kelompok kemudian membuat
presentasi atau peragaan untuk mengkomunikasikan temuannya kepada
seluruh kelas.

Roger dan David Johnson mengatakan bahwa tidak semua belajar


kelompok bisa dianggap pembelajaran kooperatif. Untuk mencapai hasil
yang maksimal, lima unsur dalam model pembelajaran kooperatif harus
diterapkan yaitu:

1. Positive interdependence (saling ketergantungan positif).

Unsur ini menunjukan bahwa dalam pembelajaran kooperatif ada dua


pertanggungjawaban kelompok. Pertama, mempelajari bahan yang
ditugaskan kepada kelompok. Kedua, menjamin semua anggota kellompok
secara individu mempelajari bahan yang ditugaskan tersebut.

2. Personal responsibility (tanggungjawab perseorangan)

Pertanggungjawaban ini muncul jika dilakukan pengukuran terhadap


keberhasilan kelompok. Tujuan pembelajaran kooperatif adalah
membentuk semua anggota kelompok menjadi pribadi yang kuat.
Tanggungjawab perseorangan adalah kunci untuk menjamin semua
anggota yang diperkuat oleh kegiatan belajar bersama.

3. Face to face promotive interaction (interaksi promotif)

Unsur ini penting karena dapat menghasilkan saling ketergantungan


positif. Ciri-ciri interaksi promotif adalah:

a. Saling membantu secara efektif dan efisien

b. Saling memberi informasi dan sarana yang diperlukan


c. Memproses informasi bersama secara lebih efektif dan efisien

d. Saling mengingatkan

e. Saling percaya

4. Interpersonal skill (komunikasi antar anggota)

Untuk mengordinasikan peserta didik dalam pencapaian tujuan peserta


didik harus:

a. Saling mengenal dan memercayai

b. Mampu berkomonikasi secara akurat dan tidak ambisius

c. Saling menerima dan saling mendukung

d. Mampu menyelesaikan konflik secara konstruktif

5. Group processing (pemrosesan kelompok)

Pemrosesan mengandung arti menilai. Melalui pemrosesan kelompok


dapat diidentifikasi dari urutan atau tahapan kegiatan kelompok dan
kegiatan dari anggota kelompok. Siapa di antara anggota yang sangat
membantu dan siapa yang tidak membantu. Tujuan pemrosesan kelompok
adalah meningkatkan efektivitas anggota dalam memberikan kontribusi
terhadap kegiatan kolaboratif untuk mencapai tujuan kelompok.

2.5 Pengelolaan Kelas Menurut Model Cooperative Learning

1. Pengelompokan

A. Kelompok homogen (Ability grouping) adalah praktik memasukkan


beberapa siswa dengankemampuan yang setara dalam kelompok yang
sama.

B. Pengelompokan heterogenitas (kemacam-ragaman),dibentuk dengan


memperhatikan keanekaragaman gender, latar belakang sosioekonomi
dan etnik, serta kemampuan akademis.

2. Semangat gotong-royong

Dalam proses pembelajaran ini, agar berjalan secara efektif maka


semua anggota kelompok hendaknya mempunyai semangat bergotong
royong yaitu dengan cara membina niat dan semangat dalam bekerja sama
yaitu dengan beberapa cara:

1. Kesamaan Kelompok.

2. Identitas Kelompok

3. Sapaan dan Sorak Kelompok.

4. Penataan ruang kelas

Dalam hal ini keputusan guru dalam penataan ruang disesuaikan


dengan kondisi dan situasi ruang kelas dan sekolah. Beberapa faktor yang
perlu dipertimbangkan adalah: a) Ukuran ruang kelas, b) Jumlah siswa, c)
Tingkat kedewasaan siswa, d) Pengalaman guru dan siswa dalam
melaksanakan metode pembelajaran gotong royong.

2.6 Langkah-langkah dalam cooperative learning


2.7 kelebihan dan kekurangan cooperative learning

Dalam penerapan metode ini terdapat beberapa kelebihan dan kekurangan,


yaitu :

1. Kelebihan

a. Dapat meningkatkan kualitas kepribadian anak-anak dalam hal


kerjasama, saling menghargai pendapat orang lain, toleransi,
berfikir kritis, disiplin dan sebagainya.
b. Menumbuhkan semangat persaingan yang positif dan konstruktif,
karena dalam kelompoknya, masing-masing anak akan lebih giat
dan sungguh-sungguh bekerja.

c. Menanamkan rasa persatuan dan solidaritas yang tinggi, sebab


anak yang pandai dalam kelompoknya akan membantu temannya
yang memiliki kemampuan kurang dari dia demi nama baik
kelompoknya.

2. Kekurangan

a) Metode ini memerlukan persiapan-persiapan yang agak rumit


bila dibandingkan dengan metode-metode yang lain.

b) Bilamana terjadi persaingan yang negatif baik antar individu


dalam kelompok maupun antar kelompok dalam kelas atau
kelompok besar, maka hasilnya akan lebih buruk.

c) Bila terdapat anak yang pemalas atau anak yang ingin berkuasa
dalam kelompok besar, kemungkinan akan mempengaruhi
kelompoknya, sehingga usaha kelompok tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya

DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2014.langkah langkah model cooperative.


https://www.duniapembelajaran.com/2014/07/langkah-langkah-model-
cooperative.html?m=1 .Diakses tanggal 9 April 2019

Anonim.2010.cooperative learning.

https://pandidikan.blogspot.com/2010/05/cooperative-learning.html?
m=1.Diakses tanggal 9 April 2019

Anonim. 2017.kelebihan dan kekurangan metode cooperative learning.

https://wawasanpengajaran.blogspot.com/2017/08/kelebihan-dan-
kekurangan-metode.html?m=1# .Di akses tanggal 9 April 2019

Buanatiwi.2013.Model pembelajaran cooperative learning.

https://buanatiwi.wordpress.com/2013/04/09/model-pembelajaran-
cooperative-learning/ .Di akses tanggal 9 April 2019

Habibi,MYusuf.2015.cooperativelearning.

yusufhabibigen.blogspot.com/2015/06/cooperative-learning.html?
m=1.Di akses tanggal 9 April 2019

Anda mungkin juga menyukai