Anda di halaman 1dari 19

METODE OPERASI WANITA (MOW)

A. Tinjauan Teori Medis


1. Keluarga Berencana dan Kontrasepsi
a. Pengertian
Keluarga Berencana adalah usaha untuk mengatur banyaknya jumlah
kelahiran sehingga ibu maupun bayinya dan ayah serta keluarga yang
bersangkutan tidak akan menimbulkan kerugian sebagai akibat langsung
dari kelahiran tersebut. Keluarga berencana merupakan program pemerintah
yang bertujuan menyeimbangkan antara kebutuhan dan jumlah penduduk.
Keluarga sebagai unit terkecil kehidupan bangsa diharapkan menerima
Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) yang berorientasi pada
pertumbuhan yang seimbang (Irianto, 2014), sedangkan kontrasepsi ialah
pencegahan terbuahinya sel telur oleh sel sperma (konsepsi) atau
pencegahan menempelnya sel telur yang telah dibuahi ke dinding rahim
(Nugroho dan Utama, 2014).
b. Tujuan Keluarga Berencana
Menurut Irianto (2014), tujuan Keluarga berencana dibagi menjadi
dua yaitu:
1) Tujuan Umum
Meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak dalam rangka
mewujudkan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) yang
menjadi dasar terwujudnya masyarakat yang sejahtera dengan
mengendalikan kelahiran sekaligus menjamin terkendalinya
pertambahan penduduk.
2) Tujuan Khusus
a) Meningkatkan jumlah akseptor alat kontrasepsi
b) Menurunkan jumlah angka kelahiran bayi
c) Meningkatkan kesehatan keluarga berencana dengan cara
penjarangan kelahiran.
d. Metode Keluarga Berencana
Ada beberapa macam metode kontrasepsi menurut Saifuddin (2010)
yaitu:
1) Mekanis
a) Kondom
b) Diafragma
c) Spermisida : aerosol, tablet vaginal atau supositoria, krim
d) Pil
e) Implan
f) Tubektomi atau MOW
g) Vasektomi
h) AKDR atau IUD
2) Non Mekanis
a) Keluarga Berencana Alamiah (KBA)
(1) Metode lendir servik billing atau metode ovulasi billing
(2)Metode suhu badan basal
(3)Metode sympto-termal atau metode suhu tubuh
(4)Metode kalender
b) Metode amenore laktasi (MAL)
c) Senggama terputus
d) Pantang berkala.
2. Metode Operasi Wanita ( MOW)
a. Pengertian
Menurut BKKBN (2012), Metode Operasi Wanita (MOW)
/Tubektomi atau dapat juga disebut dengan sterilisasi. MOW merupakan
tindakan penutupan terhadap kedua saluran telur kanan dan kiri yang
menyebabkan sel telur tidak dapat melewati saluran telur sehingga sel telur
tidak dapat bertemu dengan sperma sehingga tidak terjadi kehamilan.
Metode Operasi Wanita (MOW) adalah suatu tindakan prosedur bedah
secara sukarela (atas permintaan pasangan suami dan istri) untuk
menghentikan fertilitas (kesuburan) atau membatasi keturunan dalam
jangka waktu yang tidak terbatas dengan cara penutupan kedua saluran
telur. Metode operasi wanita ini biasanya dikenal dengan Tubektomi, yaitu
pemotongan/pengikatan saluran telur kanan dan kiri, sehingga sel telur
tidak dapat melewati saluran tersebut.
Metode Operasi Wanita dapat dilakukan pada ibu – ibu usia lebih dari 26
tahun dengan jumlah anak lebih dari 2 orang, yakin telah mempunyai
jumlah keluarga yang sudah sesuai dengan kehendaknya, kehamilannya
akan menimbulkan resiko yang serius, pasca persalinan dan
pascakeguguran, sudah memahai prosedur, sukarela serta setuju menjalaninya
(Pinem, 2009).
b. Jenis
Menurut Sofian (2013), terdapat empat jenis sterilisasi berdasarkan tujuannya,
yaitu:
1) Sterilisasi hukuman (compulsary sterilization);
2) Sterilisasi eugenik, untuk mencegah berkembangnya kelainan mental secara
turun menurun;
3) Sterilisasi medis, dilakukan berdasarkan indikasi medis demi keselamatan
wanita tersebut karena kehamilan berikutnya dapat membahayakan jiwanya.
Sterilisasi sukarela (coluntary sterilization), yang bertujuan ganda dari sudut
kesehatan, sosial ekonomi dan kependudukan.
c. Efektifitas
Tubektomi merupakan metode kontrasepsi yang sangat efektif dan tidak
menimbulkan efek samping jangka panjang. Efektivitasnya yaitu 0,5 kehamilan
per 100 perempuan (0,5%) selama tahun pertama penggunaan (Saifuddin,
2010).
d. Persayaratan MOW
Persyaratan secara umum yang harus dilakukan agar bisa menjadi
akseptor kontrasepsi MOW (Saifuddin, 2010), yaitu :
1) Sukarela
Syarat sukarela meliputi antara lain pengetahuan pasangan tentang cara
cara kontrasepsi lain, resiko dan keuntungan kontrasepsi mantap serta
pengetahuan tentang sifat permanen pada kontrasepsi ini
2) Bahagia
Bahagia dilihat dari ikatan perkawinan yang syah dan harmonis, umur istri
sekurang kurangnya 25 dengan sekurang kurangnya 2 orang anak hidup dan
anak terkecil lebih dari 2 tahun.
3) Kesehatan
Memenuhi syarat kesehatan, artinya tidak ditemukan hambatan atau
kontraindikasi untuk menjalani kontrasepsi mantap.
Pemeriksaan seorang dokter diperlukan untuk dapat memutuskan
apakah seseorang dapat menjalankan kontrasepsi mantap. Ibu yang tidak
boleh menggunakan metode kontrasepsi mantap antara lain ibu yang
mengalamai peradangan dalam rongga panggul, obesitas berlebihan dan ibu
yang sedang hamil atau dicurigai sedang hamil.
e. Waktu Pelaksanaan tidakan MOW
Menurut Saifuddin (2010), pelaksanaan tindakan sterilisasi dilakukan
pada saat:
1) Setiap waktu selama siklus menstruasi apabila diyakini tidak hamil
2) Hari ke-6 hingga ke-13 dari siklus menstruasi
3) Pasca persalinan (post partum)
Sebaiknya dilakukan dalam 24 jam atau selambat-lambatnya 48 jam pasca
persalinan. Setelah lebih dari 48 jam, operasi akan lebih sulit dengan adanya
edema tuba dan infeksi yang akan menyebabkan kegagalan sterilisasi. Jika
dilakukan setelah hari ke-7 sampai hari ke-10 pasca persalinan, uterus dan alat
genital lainnya telah mengecil dan menciut yang menyebabkan mudah
terjadinya perdarahan dan infeksi
4) Pasca keguguran (post abortus)
Sterilisasi dapat dilakukan sesaat setelah terjadinya abortus
5) Saat tindakan operasi pembedahan abdominal
Hendaknya saat operasi pembedahan abdominal telah dipertimbangkan untuk
tindakan sterilisasi karena pada tindakan ini dapan sekaligus dilakukannya
kontrasepsi mantap.
f. Keuntungan
Menurut Saifuddin (2010), terdapat beberapa keuntungan dan manfaat
sterilisasi wanita yaitu:
1) Sangat efektif (0,5 kehamilan per 100 perempuan selama tahun pertama
penggunaan)
2) Tidak mempengaruhi proses menyusui (breastfeeding)
3) Tidak bergantung pada faktor senggama
4) Baik bagi klien apabila kehamilan akan menjadi resiko kesehatan yang serius
5) Pembedahan sederhana, dapat dilakukan dengan anestesi lokal
6) Tidak ada efek samping dalam jangka panjang
7) Tidak ada perubahan dalam fungsi seksual (tidak ada efek pada produksi
hormon ovarium)
8) Berkurangnya resiko kanker ovarium.
9) Motivasi hanya dilakukan satu kali, sehingga tidak diperlukan motivasi yang
berulang
10) Tidak adanya kegagalan dari pihak pasien (patient’s failure)
11) Tidak mempengaruhi libido seksualis.
g. Keterbatasan
Menurut Saifuddin (2010), meskipun banyak keuntungan yang didapat
pada metode sterilisasi ini, tetap saja terdapat keterbatasan diantaranya:
1) Tidak dapat melindungi dari Infeksi Menular Seksual (IMS), termasuk HBV
dan HIV/AIDS
2) Harus dipertimbangkan kembali sifat permanen kontrasepsi ini karena tidak
dapat dipulihkan kecuali dengan operasi rekanalisasi
3) Klien dapat menyesal dikemudian hari
4) Rasa sakit/ketidaknyamanan dalam jangka pendek setelah tindakan
5) Hanya dilakukan oleh dokter yang terlatih.
h. Indikasi Pelaksanaan MOW
Menurut Sofian (2013), sterilisasi dilakukan atas indikasi:
1) Indikasi medis umum
Adanya gangguan fisik atau psikis yang akan menjadi lebih berat jika wanita
tersebut hamil lagi, seperti tuberkulosis paru, penyakit jantung, penyakit ginjal
maupun skizofrenia.
2) Indikasi medis obstetrik
Adanya riwayat toksemia gravidarum yang berulang, seksio sesarea berulang
dan histerektomi obstetrik.
3) Indikasi medis ginekologik
Pada waktu melakukan operasi ginekologik, dapat dipertimbangkan untuk
dilakukannya sterilisasi.
4) Indikasi sosial ekonomi
a) Rumus 120 : yaitu perkalian jumlah anak hidup dan umur ibu, kemudian
dapat dilakukan sterilisasi atas persetujuan suami istri
b) Rumus 100 : yaitu perkalian jumlah anak hidup dan umur ibu, kemudian
dapat dilakukan sterilisasi atas persetujuan suami istri.
i. Kontraindikasi MOW
Menurut Arum dan Sujiyati (2009) yang sebaiknya tidak menjalani
MOW yaitu:
1) Hamil sudah terdeteksi atau dicurigai.
2) Pedarahan pervaginal yang belum jelas penyebabnya.
3) Infeksi sistemik atau pelvik yang akut hingga masalah itu
disembuhkan atau dikontrol.
4) Kurang pasti mengenai keinginannya untuk fertilitas dimasa
depan.
5) Belum memberikan persetujuan tertulis.
j. Komplikasi dan Penanganannya
Komplikasi yang mungkin terjadi diperlukan penanganan yang efisien
dan tepat. Tentunya penanganan yang diberikan merupakan instruksi dari tenaga
medis ahli.
Tabel 2.1. Komplikasi MOW dan penanganannya
Komplikasi Penanganan
Apabila terlihat infeksi luka, obati dengan
Infeksi luka antibiotik. Bila terdapat abses, lakukan drainase
dan obati seperti yang terindikasi.

Demam pasca operasi Obati infeksi berdasarkan apa yang


(> 380C) ditemukan.

Mengacu ke tingkat asuhan yang tepat. Apabila


kandung kemih atau usus luka dan diketahui
Luka pada kandung
sewaktu operasi, lakukan reparasi primer.
kemih, intestinal (jarang
Apabila ditemukan pasca operasi, rujuk ke
terjadi)
rumah sakit yang tepat bila perlu.

Gunakan packs yang hangat dan lembab di tempat


tersebut. Amati. Hal ini biasanya akan berhenti
Hematoma
dengan berjalannya waktu tetapi dapat
(subkutan)
membutuhkan drainase bila ekstensif.

Ajukan ke tingkat asuhan yang tepat dan mulailah


Emboli gas yang
resusitasi intensit, termasuk: cairan intravena,
diakibatkan oleh
resusitasi kardio pulmonar, dan tindakan
laparoskopi (sangat
penunjang kehidupan lainnya.
jarang terjadi)
Rasa sakit pada lokasi Pastikan adanya infeksi atau abses dan obati
pembedahan berdasarkan apa yang ditemukan.

Perdarahan superfisial
Mengontrol perdarahan dan obati berdasarkan apa
(tepi kulit atau subkutan)
yang ditemukan

Sumber: Saifuddin (2010)


k. Mekanisme MOW
Menurut Proverawati dkk (2010) mekanise dari MOW atau
tubektomi dapat dibagi berdasarkan atas :
1) Saat operasi :
a) Paska keguguran
b) Paska persalinan atau masa interval, dimana dianjurkan 24 jam atau
selambat-lambatnya dalam 48 jam setelah bersalin.
2) Cara mencapai tuba: Laparatomi, Laparatomi mini, dan laparoskopi.
3) Cara penutupan tuba :
a ) Pomeroy
Tuba dijepit pada pertengahannya, kemudian diangkat sampai melipat.
Dasar lipatan diikat dengan sehelai catgut biasa no. 0 atau no. 1.
Lipatan tuba kemudian dipotong di atas ikatan catgut tadi.
b ) Kroener
Fimbria dijepit dengan sebuah klem. Bagian tuba proksimal dari jepitan
diikat dengan sehelai benang sutera, atau dengan catgut yanng tidak
mudah direabsorbsi. Bagian tuba distal dari dari jepitan dipotong
(fimbriektomi).
c ) Irving
Tuba dipotong pada pertengahan panjangnya setelah kedua ujung
potongan diikat dengan catgut kromik no. 0 atau 00. Ujung potongan
proksimal ditanamkan didalam miometrium dinding depan uterus. Ujung
potongan distal ditanamkan di dalam ligamentum latum.
d ) Pemasangan cincin falope
Pemasangan cincin falope dengan aplikator, bagian isthmus tuba ditarik
dan cincin dipasang pada bagian tuba tersebut. Sesudah terpasang lipatan
tuba tampak keputih- putihan oleh karena tidak mendapat suplai darah
lagi dan akan menjadi fibrotik.
l. Penatalaksanaan Asuhan Kebidanan Pada Wanita dengan Pre dan Post MOW
1) Pre – Operasi MOW
Beberapa hal yang harus dilakukan sebelum tindakan operasi tubektomi
antara lain :
a) Konseling perihal kontrasepsi dan menjelaskan kepada klien bahwa ia
mempunyai hak unutk berubah pikiran setiap waktu sebelum prosedur
dilakukan.
b) Menanyakan riwayat medis yang mempengaruhi keputusan pelaksanaan operasi
atau anestesi antara lain : penyakit- penyakit pelvis, pernah mengalami operasi
abdominal/pelvis, riwayat diabetes mellitus, riwayat penyakit paru-paru
contohnya asthma, pernah mengalami problem dengan anestesi, penyakit-
penyakit perdarahan, alergi, dan pengobatan yang dijalani saat ini.
c) Pemeriksaan fisik
Kondisi-kondisi yang memungkinkan dapat mempengaruhi keputusan pelaksanaan
operasi atau anestesi.
d) Pemeriksaan laboratorium sperti pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan urine
dan pap smear.
e) Informed consent harus diperoleh
Standard consent form harus ditandatangani oleh suami atau isteri dari calon
akseptor sebelum prosedur dilakukan. Umumnya penandatanganan dokemen
Informed consent dilakukan setelah calon akseptor dan pasangannya
mendapatkan konseling. Dokumen juga dapat ditandatanganin oleh saudara atau
pihak yang bertanggungjawab atas klien apabila klien kurang paham atau kurang
kompeten secara kejiwaan.
Apabila calon akseptor buta huruf, maka dapat memberikan cap jempolnya
disertai seorang saksi yang tetap harus ikut menandatanganin dokumen tersebut
yang menyatakan bahwa calon akseptor tersebut telah diberi penjelasan lisan
mengenai kontrasepi.
Secara khusus dapat dikatakan bahwa tujuan konseling pra tindakan MOW
bertujuan untuk :
a) Membantu suami istri untuk memilih salah satu cara kontrasepsi yang paling
baik digunakan mereka dalam kurun reproduksinya.
b) Mengenal dan menghilangkan keragu-raguan atau kesalahpahaman mengenai
kontrasepsi MOW itu sendiri.
c) Menjamin bahwa pilihan untuk memilih kontrasepsi MOW itu sendiri sebagai
kontrasepsi bagi dirinya adalah benar-benar sukarela tanpa paksaan.
d) Memberikan informasi mengenai tata cara pelaksanaan kontrasepsi MOW itu
sendiri termasuk pengisian permohonan dan persetujuan untuk dilaksanakan
MOW pada dirinya, prosedur operasinya, follow up nya.
Dalam pemberian konseling petugas kesehatan bisa menggunakan media
(leaflet, lembar balik, buku KIA) untuk mempermudah dalam menjelaskan dan
mempermudah pasien untuk memahami konseling yang diberikan.
Menurut penelitian Hardianti, Putri (2016) yang berjudul Efektifitas
Audiovisual Dengan Ceramah Dan Leaflet Terhadap Pengetahuan Kontrasepsi
Mow, menunjukan hasil rata-rata selisih pre test post test pengetahuan
kelompok audiovisual adalah 3,74 sedangkan ceramah dan leaflet adalah 2,40.
Hasil uji independent t test diperoleh p-value= 0.012 (p 0> 0,05) dan
dismpulkan ada beda pengaruh antara media audiovisual dengan media
ceramah dan leaflet terhadap pengetahuan responden tentang kontrasepsi
MOW. Media audiovisual lebih efektif meningkatkan pengetahuan responden
tentang kontrasepsi MOW dengan nilai selisih yang lebih besar dibanding
dengan menggunakan media ceramah dan leaflet.
e) Memberikan dukungan kepada ibu sebelum dilakukannya operasi. Menurut
penelitian Zakaria (2014) komunikasi yang terjalin baik akan menimbulkan
kepercayaan sehingga terjadi hubungan yang lebih hangat dan mendalam.
Kehangatan suatu hubungan akan mendorong pengungkapan beban perasaan
dan pikiran yang dirasakan selama hospitalisasasi yang dapat menjadi
jembatan dalam menurunkan tingkat kecemasan yang terjadi. Selain itu
Menurut Penelitian Himawati, dkk (2015) menyatakan Dampingan sosial
terutama suami yang memberikan dampingan informasi sangat berpengaruh
pada persepsi istri terhadap proses persalinan khususnya ibu yang akan
melahirkan serta dapat memberikan dorongan fisik dan moral bagi ibu yang
melahirkan, sehingga ibu akan merasa lebih tentram.
2) Post – Operasi MOW
a) Konseling
Konseling adalah suatu proses pemberian bantuan seseorang kepada
orang lain dan membuat suatu keputusan atau memecahkan suatu masalah
melalui pemahaman terhadap fakta- fakta, harapan, kebutuhan dan perasaan-
perasaan klien.
Konseling merupakan salah satu bagian penting dalam pelayanan
kontap. Tujuannya ialah untuk membantu calon akseptor kontap memperoleh
informasi lebih lanjut mengenai kontap, dan pengertian yang lebih baik
mengenai dirinya, keinginannya, sikapnya, kekhawatirannya dan sebagainya,
dalam usahanya untuk memahami, dan mengatasi permasalahan yang sedang
dihadapinya. Kegiatan konseling dengan demikian merupakan kegiatan
penyelenggaraan suatu bentuk percakapan yang dilaksanakan berdasarkan
persyaratan tertentu. Hal ini berarti setiap tenaga konselor perlu mengikuti
pendidikan konseling yang khusus diadakan untuk keperluan kontap ini.
Pelayanan konseling merupakan bagian dari pelayanan kontap secara
menyeluruh dan harus diprogramkan dengan baik. Hal ini berarti bahwa
pelayanan konseling kontap tidak berhenti pada pra tindakan kontap itu
saja, tetapi dapat berlanjut pada saat tindakan itu sendiri dan sesudah
tindakan kontap tersebut dilaksanakan.
b) Perawatan Pasca Operasi MOW
Setelah selesai operasi, dokter bedah dan anestesi telah membuat
rencana pemeriksaan (check-up) bagi penderita pasca bedah yang diteruskan
kepada dokter dan paramedis jaga baik di kamar rawat khusus maupun
setelah tiba di ruangan atau kamar tempat penderita di rawat.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan dan pengukuran diukur
adalah sebagai berikut :
(1) Tekanan darah
(2) Jumlah nadi permenit
(3) Frekuensi pernapasan permenit
(4) Jumlah cairan masuk dan keluar (urin)
(5) Suhu badan
Pemeriksaan dan pengukuran tersebut sekurang- kurangnya dilakukan setiap 4
jam sekali dan dicatat dalam status penderita.
Menurut Mulyani dkk dalam Haloho (2015) beberapa hal yang harus
diperhatikan setelah tindakan tubektomi antara lain, yaitu :
(1) Pada minggu pertama segeralah kembali jika ada demam tinggi, ada nanah
atau luka berdarah, nyeri, panas, bengkak, luka kemerahan, diare, pingsan
atau sangat pusing.
(2) Jagalah luka operasi agar tetap kering hingga pembalut dilepas.
(3) Memulai aktivitas normal secara bertahap.
(4) Hindari hubungan seks hingga merasa cukup.
(5) Hindari mengangkat benda-benda berat dan bekerja keras selama 1
minggu.
(6) Jika sakit, minum analgesik untnuk mengurangi nyerinya.
(7) Jadwal kunjungan ulang secara rutin antara 7 dan 14 hari setelah
pembedahan.
(8) Segera kembali jika merasa hamil, nyeri pada perut atau sering pingsan atau
merasa ada keluhan.
c) Mobilisasi dini
Mobilisasi pasien MOW yang bersamaan dengan sectio caesar miring
ke kanan dan ke kiri sudah dapat dimulai sejak 6-10 jam setelah penderita
sadar. Latihan pernapasan dapat dilakukan penderita sambil tidur terlentang
sedini mungkin setelah sadar. Pada hari kedua penderita dapat didudukan
selama 5 menit dan diminta untuk bernapas dalam-dalam untuk melonggarkan
pernapasan dan sekaligus menumbuhkan kepercayaan pada diri penderita
bahwa ia mulai pulih kemudian posisi tidur terlentang dirubah menjadi
setengah duduk (posisi semi powler). Secara berturut-turut hari demi hari
penderita dianjurkan belajar duduk selama sehari, belajar berjalan dan
kemudian berjalan sendiri pada hari ketiga sampai hari kelima pasca bedah.
Mobilisasi berguna untuk mencegah terjadinya trombosis dan emboli
sebaliknya, bila terlalu dini melakukan mobilisasi dapat mempengaruhi
penyembuhan luka operasi. Jadi mobilisasi secara teratur dan bertahap serta
diikuti dengan istirahat adalah yang paling dianjurkan mobilisasi pasien MOW
yang dilakukan setelah keguguran duduk dan mencoba berdiri apabila tidak
pusing lagi.
Menurut Kryati, Sri (2018) menyatakan bahwa Mobilisasi yang terlambat
memberikan banyak kerugian pada pasien. Posisi statis seperti posisi tidur dalam
waktu lama akan mengakibatkan terjadinya penurunan vaskularisasi.
Menurunnya suplai darah akan meningkatkan rasa nyeri pada daerah operasi dan
perasaan pegal pada seluruh tubuh. Kondisi ini juga akan memperlama masa
penyembuhan luka karena suplai darah sangat dibutuhkan tubuh untuk
penyembuhan luka. Penurunan suplai darah dapat menyebabkan sel kekurangan
oksigen dan merangsang sekresi mediator kimia nyeri. Inilah yang
mengakibatkan semakin terlambat dilakukan mobilisasi dini pada pasien pasca
pembedahan maka akan semakin tinggi skala nyeri yang dirasakan pasien.
Selain itu menurut Simangungso, Rimayanti (2018) Mobilisasi dini
merupakan faktor yang berhubungan dengan pemulihan luka post sectio caesarea
karena mobilisasi dini mampu melancarkan sirkulasi darah. Sirkulasi darah yang
lancar dapat membantu dalam penyembuhan luka karena darah mengandung zat-
zat yang dibutuhkan untuk penyembuhan luka seperti: oksigen, obat-obatan, zat
gizi. Apabila peredaran darah lancar maka zatzat yang dibutuhkan dapat
terpenuhi dengan baik dan apabila peredaran darah tidak lancar maka zat-zat
yang dibutuhkan tersebut sulit untuk dipenuhi. Sesuai juga dengan teori yang
menyatakan bahwa mobilisasi segera secara bertahap sangat berguna untuk
proses penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi serta trombosis vena.
Bila terlalu dini melakukan mobilisasi dapat mempengaruhi penyembuhan luka
operasi. Jadi mobilisasi secara teratur dan bertahap yang diikuti dengan latihan
adalah hal yang paling dianjurkan.
d) Teknik Relaksasi Napas Dalam
Relaksasi adalah teknik untuk mengurangi ketegangan nyeri dengan
merelaksasikan otot. Teknik relaksasi napas dalam adalah teknik relaksasi untuk
menghilangkan rasa nyeri, meningkatkan oksigenasi darah, dan ventilasi paru.
Teknik relaksasi dengan napas dalam dapat dilakukan oleh pasien setelah
operasi. teknik relaksasi tersebut dapat dilakukan dengan cara menarik napas
dalam-dalam dan menghembuskan secara perlahan-lahan lewat mulut dan dapat
dilakukan sebanyak 2-4 kali (Tamsuri, 2012).
Teknik relaksasi tersebut bertujuan untuk memelihara pertukaran gas,
mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional, mengontrol diri ketika
terjadi rasa tidak nyaman, dan meningkatkan ventilasi alveoli. Teknik relaksasi
napas dalam mempunyai keuntungan yaitu, dapat dilakukan setiap saat, dimana
saja, dan kapan saja, mudah dilakukan, dapat dilakukan secara mandiri tampa
suatu media, dan merelaksasikan otot-otot yang tegang (Tamsuri, 2012).
Menurut Megawahyuni, Ar (2018), relaksasi nafas dalam dengan teknik
meniup balon memiliki pengaruh terhadap perubahan skala nyeri pasca operasi
seksio sesarea di RSIA Bahagia Makassar. Berdasarkan uji wilcoxon diperoleh
nilai p value adalah 0,000 (p<0,05) yang digunakan untuk mengurangi skala
nyeri yang dirasakan, karena terapi ini tidak memerlukan biaya dan waktu yang
banyak. Untuk penelitian selanjutnya yang ingin meneliti lebih jauh tentang
pengaruh relaksasi nafas dalam dengan teknik meniup balon terhadap perubahan
skala nyeri dapat menjadikan penelitian ini sebagai dasar dengan menggunakan
sampel yang lebih besar lagi serta mengkombinakasikan skala ukur yang
digunakan yaitu skala ukur NRS (Numeric rating Scale) dangan skala ukur yang
lain.
e) Pemenuhan Nutrisi
Menurut Tresnawati (2012) nutrisi adalah makanan yang mengandung
cukup nilai gizi dan tenaga untuk perkembangan, dan pemeliharaan kesehatan
secara optimal. Tujuan dalam pemberian nutrisi adalah untuk mengupayakan
agar status gizi pasien segera kembali normal, mempercepat proses
penyembuhan, dan meningkatkan daya tahan tubuh dengan cara sebagai berikut:
(1) Memberikan kebutuhan dasar (cairan, energi, dan protein)
(2) Mengganti kehilangan protein, glikogen, dan zat besi.
(3) Memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit dan cairan.
(4) Mencegah dan menghentikan perdarahan.
Jenis makanan yang dapat diperhatikan dalam penyembuhan luka operasi
yaitu, karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan air yang cukup. Diantara
makanan yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan air
yang cukup, maka yang paling penting untuk penyembuhan luka adalah protein
dan vitamin C. Alasannya: Protein dan vitamin C sangat penting peranannya
dalam proses penyembuhan luka. Selain itu vitamin C punya peranan penting
untuk mencegah terjadinya infeksi dan perdarahan luka. Beberapa contoh
makanan yang perlu diperhatikan untuk penyembuhan luka, antara lain :
(1) Protein; terbagi menjadi: nabati dan hewani. Contoh nabati yaitu tempe,
tahu, kacang-kacangan dll. Contoh protein hewani, hati, telur, ayam, udang,
dan lain-lain.
Menurut penelitian Mardiyanti,dkk (2016) dari hasil penelitian dapat ditarik
kesimpulan bahwa penting bagi ibu Post Op SC untuk memperhatikan
asupan nutrisi terutama makanan kaya protein, karbohidrat, lemak, vitamin
Adan C serta mineral yang sangat berperan dalam pembentukan jaringan
baru pada penyembuhan luka, meningkatkan mobilisasi dini serta bagi
tenaga medis untuk memperhatikan tehnik aseptik dan mencuci tangan
sebelum melakukan perawatan luka.sehinggatidak terjadi kegagalan dalam
penyembuhan luka atau luka terinfeksi yang ditandai luka menjadi
nyeri,merah atau kebiruan dan bengkak akhirnya luka terbuka serta
mengeluarkan getah bernanah.Karena normalnya penyembuhan luka dan
pengangkatan jahitan dilakukan pada hari ke-7 untuk sebagian dan
diselesaikan padahari ke-10.
(2) Vitamin C adalah kacang-kacangan, jeruk, jambu, daun papaya, bayam,
tomat, daun singkong, dan lain-lain.
f) Kebersihan Bekas Luka Operasi
Kebersihan bekas luka operasi merupakan tindakan dalam menjaga proses
penyembuhan bekas luka operasi. Dimana, bekas luka operasi yang tidak dijaga
dengan baik akan mengakibatkan bekas luka/jahitan tersebut mengalami infeksi,
mengeluarkan nanah dan darah. Apabila seorang pasien pasca operasi menjaga
kebersihan bekas luka operasi dengan baik, maka bekas luka operasi akan
kering, bersih, dan tidak mengeluarkan nanah dan darah. Menjaga kebersihan
bekas luka operasi dapat dilakukan dengan cara menghindari bekas luka
operasi dari air, mengganti balutan secara rutin 3 hari sekali, tidak menyentuh
bekas luka operasi dengan tangan yang tidak bersih/steril, dapat menggunakan
betadine atau cairan yang lainnya atas anjuran dokter, dan lain-lain
(Tresnawati, 2012).
Proses pembersihan luka terdiri dari memilih cairan yang tepat untuk
membersihkan luka dan menggunakan cara-cara mekanik yang tepat untuk
memasukkan cairan tersebut tanpa menimbulkan cedera pada jaringan luka.
Pada luka operasi, umumnya balutan dapat diganti 3 hari sekali yang
bertujuan untuk melindungi luka dari kontaminasi mikroorganisme,
membantu hemostasis, menyanggah tepi luka, dan lain-lain (Tresnawati,
2012).
g) Kontrol Jahitan
Pasien dengan pasca operasi membutuhkan waktu untuk istirahat agar
kesehatannya dapat pulih kembali. Kemudian, setelah pasien membutuhkan
istirahat semaksimal mungkin di rumah sakit dan secara keadaan umum
kondisi pasien membaik, pasien diperbolehkan pulang dan melanjutkan
kontrol ulang/ rawat jalan dengan rentan waktu yang diberikan oleh dokter
yaitu 3 hari pertama setelah pasca operasi dan dilanjutkan 1 minggu kemudian
untuk kontrol kembali (Tresnawati, 2012).
B. Teori Manajemen Kebidanan
1. Pengertian Asuhan Kebidanan
Asuhan kebidanan adalah proses pemecahan masalah yang di
gunakan sebagai metode untuk mengorganisasikan pikirandan tindakan
berdasarkan teori ilmiah, penemuan-penemuan keterampilan dalam
rangkaian/tahapan yang logis untuk pengambilan suatu keputusan yang
berfokus pada klien Asuhan kebidanan terdiri dari tujuh langkah yang
berurutan, yang di mulai dengan pengumpulan data dasar dan berakhir
dengan evaluasi. Tujuh langkah tersebut membentuk kerangka yang lengkap
dan bisa di aplikasikan dalam suatu situasi (Verney,2012).
2. Tahapan Asuhan Kebidanan
Dalam praktiknya bidan menggunakan manajemen kebidanan dalam
memberikan asuhan kebidanan.
Menurut Varney (2012), manajemen kebidanan adalah proses pemecahan
masalah yang digunakan sebagai metode untuk mengorganisasikan pikiran dan
tindakan berdasarkan teori ilmiah, penemuan-penemuan, keterampilan-keterampilan
dalam rangkaian/ tahapan yang logis untuk pengambilan suatu keputusan berfokus
pada klien.
Menurut Varney (2012), langkah-langkah manajemen kebidanan tersebut
adalah:
Langkah I: Tahap pengumpulan data dasar
Pada langkah ini diperlukan 2 data yaitu data subjektif dan data objektif. a.
Data subjektif terdiri atas:
1) Biodata; yaitu data diri pasien yang dikaji, meliputi nama, umur, agama, suku dan
bangsa, pendidikan, pekerjaan dan alamat. Umur akseptor kontrasepsi mantap
dianjurkan berumur sekurang-kurangnya 25 tahun jika telah memiliki 4 anak hidup
atau dianjurkan berumur di atas 35 tahun jika telah memiliki 2 anak hidup
(Wiknjosastro, 2009).
2) Keluhan utama; alasan klien mendatangi fasilitas kesehatan yang diungkapkan
dengan kata-katanya sendiri. Calon akseptor MOW hendaknya yakin telah
memiliki keluarga yang sesuai dengan keinginannya dan telah mempertimbangkan
dengan suaminya (Saifuddin, 2010).
3) Riwayat kebidanan, terdiri atas:
a) Riwayat menstruasi; yang dikaji yaitu usia saat menarche, frekuensi, lama,
siklus, jumlah darah yang keluar, karakteristik darah yang keluar (misalnya
terdapat bekuan darah), periode menstruasi terakhir dan keluhan berkaitan
dengan pola menstruasi (Varney, 2007). Melalui riwayat menstruasi ini, dapat
digunakan sebagai identifikasi apakah ibu mengalami gangguan organ
reproduksi atau tidak. Perdarahan pervagina yang belum terjelaskan sebabnya
merupakan keadaan yang memerlukan penundaan dilakukannya MOW
(Saifuddin, 2010).
b) Riwayat obstetri; yang perlu diperhatikan sehubungan dengan MOW adalah ibu
mempunyai sekurang-kurangnya 2 orang anak hidup dan anak terkecil berumur
lebih dari 2 tahun (Saifuddin, 2009).
c) Riwayat perkawinan; mencakup berapa kali menikah, lama menikah dan usia
pertama kali menikah. Calon akseptor kontrasepsi mantap hendaknya
memenuhi syarat bahagia yaitu ibu masih teikat perkawinan yang sah dan
harmonis (Saifuddin, 2009).
4) Riwayat kontrasepsi; meliputi pengetahuan dan pengalaman mengenai cara-cara
kontrasepsi, risiko dan keuntungan, serta sifat kepermanenan masing-masing
kontrasepsi, sehingga ibu menetapkan pilihan pada kontrasepsi mantap sebagai
metode kontrasepsinya. Hal ini menunjukkan bahwa ibu telah memenuhi syarat
sukarela sebagai calon akseptor MOW (Wiknjosastro, 2005).
5) Riwayat kesehatan; meliputi:
a) Riwayat kesehatan sekarang Deteksi dini terhadap penyakit yang dapat
mempengaruhi proses asuhan yang akan diberikan sangat diperlukan. Sebelum
dilakukan MOW, perlu dilakukan anamnesis kesehatan yang meliputi: anemia
defisiensi zat besi (Hb < 8 g%), hipertensi, diabetes, hipertiroid, penyakit
vaskuler, trombosis vena dalam (TVD), penyakit jantung iskemik, penyakit
jantung ventrikular dengan komplikasi, perdarahan yang belum jelas sebabnya,
endometriosis, penyakit trofoblas ganas (PTG), kanker serviks kanker
endometrium, kanker ovarium, penyakit radang panggul (PRP), penyakit
menular seksual (AIDS), TBC pelvis, serta hamil ektopik (Saifuddin, 2010).
b) Riwayat medis terdahulu atau riwayat kesehatan yang lalu, yang perlu
diperhatikan yaitu bedah mayor dengan imobilisasi lama, penyakit radang
panggul, penyakit jantung iskemik, perlekatan uterus oleh pembedahan/infeksi
yang lalu (Saifuddin, 2010), serta stroke (Irianto, 2014).
c) Riwayat kesehatan keluarga; yaitu riwayat penyakit yang berhubungan dengan
ibu, ayah, saudara kandung, kakek, nenek, paman dan bibi (Varney, 2007).
6) Data psikologi dan sosial
a) Data psikologi dibutuhkan untuk mengetahui sikap dan kesiapan ibu terhadap
dirinya dan asuhan yang akan diberikan. Kontrasepsi mantap merupakan
tindakan pembedahan yang bersifat permanen, tidak dapat dipulihkan kembali.
Ibu yakin telah memiliki besar keluarga yang sesuai dengan keinginannya
(Saifuddin, 2010).
b) Data sosial untuk mengetahui hubungan ibu dan suami, keluarga dan
masyarakat. Calon akseptor hendaknya memilihi hubungan yang harmonis,
terutama dengan suami.
Data objektif diperoleh dari:
1) Pemeriksaan umum Pemeriksaan umum dilakukan dengan memeriksa tanda-tanda
vital yang meliputi suhu, denyut nadi, pernafasan, tekanan darah, tinggi badan dan
berat badan (Varney, 2007). Ibu dengan tekanan darah tinggi (sistolik > 160 mmHg
dan diastolik > 100 mmHg) merupakan kontraindikasi dilakukannya MOW
(Saifuddin, 2010).
2) Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik secara head to toe, meliputi pemeriksaan
rambut, kepala, mata, telinga, hidung, mulut, leher, dada, payudara, abdomen serta
ekstremitas atas dan bawah (Varney, 2007). Ibu dengan perdarahan pervagina yang
belum diketahui sebabnya sebaiknya ditunda untuk pelaksanaan MOW hingga
tertangani. Infeksi sistemik atau pelvik yang akut harus disembuhkan atau
dikontrol terlebih dahulu (Saifuddin, 2010).
3) Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan laboratorik dan pemeriksaan terkait
merupakan komponen penting dalam pengkajian fisik. Semua uji dan pemeriksaan
dilakukan sebagai bagian skrining rutin yang bervariasi berdasarkan usia klien,
status risikonya dan apakah ia sedang hamil (Varney, 2007). Pemeriksaan yang
perlu dilakukan sebelum dilakukan MOW yaitu pemeriksaan darah (kadar Hb) dan
pemeriksaan kehamilan (PP test). Ibu yang diduga atau diketahui hamil tidak
diizinkan untuk dilakukan MOW. Begitu pula ibu yang mengalami anemia
defisiensi besi dengan kadar Hb < 7 gr% (Saifuddin, 2010).
Langkah II : Interpretasi data dasar
Pada langkah ini dilakukan identifikasi terhadap diagnosis atau masalah dan
kebutuhan klien berdasarkan interpretasi yang benar atas dasar data-data yang telah
dikumpulkan. Data dasar yang telah dikumpulkan diinterpretasikan sehingga dapat
merumuskan diagnosa dan masalah yang spesifik. Diagnosa wanita hamil normal
meliputi nama, umur, gestasi (G) paritas (P) abortus (A), umur kehamilan, tunggal,
hidup, intra-uteri, letak kepala, keadaan umum baik (Varney, 2012).
Langkah III : Mengidentifikasi diagnosa atau masalah potensial dan
mengantisipasi penanganannya
Langkah ini membutuhkan antisipasi, bila memungkinkan dilakukan
pencegahan. Bidan diharapkan waspada dan bersiap diri bila diagnosis potensial ini
terjadi. Langkah ini sangat penting dalam melakukan asuhan yang aman (Soepardan,
2008). Pada asuhan kebidanan akseptor MOW, seharusnya tidak ditemukan diagnosis
potensial. Jika terdapat tanda-tanda yang mengarah pada komplikasi, lebih baik
dilakukan penundaan proses bedah hingga temuan tersebut dapat dievaluasi dan
keadaan klien membaik (Saifuddin, 2010). Meskipun demikian, komplikasi mungkin
dapat terjadi setelah dilakukan tindakan MOW. Komplikasi tersebut antara lain
infeksi luka, demam pasca operasi, luka pada kandung kemih, luka intestinal,
hematoma, emboli gas yang diakibatkan oleh laparoskopi, rasa sakit pada lokasi
pembedahan serta perdarahan superfisial. Antisipasi dan penanganan diberikan
sesuai dengan komplikasi yang timbul (Saifuddin, 2010).
Langkah IV : Menetapkan kebutuhan terhadap tindakan segera
Mengidentifikasi perlunya tindakan segera yang dilakukan oleh bidan
atau dokter untuk dikonsultasikan atau ditangani bersama anggota tim kesehatan
lain sesuai dengan kondisi klien (Soepardan, 2008)
Telah disebutkan bahwa pada asuhan kebidanan akseptor MOW
seharusnya tidak ditemukan diagnosis potensial. Namun, jika terjadi komplikasi
pasca operasi, maka dilakukan penanganan yang sesuai (Saifuddin, 2010)..
Langkah V : Menyusun rencana asuhan yang menyeluruh
Pada langkah ini dilakukan perencanaan yang menyeluruh, ditentukan
langkah-langkah sebelumnya. Langkah ini merupakan kelanjutan manajemen
terhadap diagnosis atau masalah yang telah diidentifikasi atau diantisipasi, pada
langkah ini informasi/data dasar yang tidak lengkap dapat dilengkapi.
Langkah VI : Pelaksanaan langsung asuhan efisien dan aman
Asuhan menyeluruh seperti yang telah direncanakan dilaksanakan secara
efisien dan aman. Pelaksanaan ini dapat dilakukan seluruhnya oleh bidan atau
sebagian oleh anggota tim kesehatan lainnya. Jika bidan berkolaborasi dengan
dokter dalam penanganan klien yang mengalami komplikasi, bidan tetap
bertanggung jawab terhadap terlaksananya rencana asuhan bersama yang
menyeluruh tersebut. Penatalaksanaan yang efisien dan berkualitas dapat
menyingkat waktu dan menghemat biaya (Soepardan, 2008).
Langkah VII: Mengevaluasi hasil tindakan
Pada langkah ini dilakukan evaluasi keefektifan dari asuhan yang sudah
diberikan. Rencana dapat dianggap efektif jika memang benar efektif dalam
pelaksanaannya.
3. Pendokumentasian Manajemen Asuhan Kebidanan
a. Subjektif (S)
Menurut Kemenkes RI (2013) data subjektif berisi hasil anamnesa yang
meliputi identitas, riwayat kehamilan sekarang termasuk keluhan yang
dialami, riwayat obstetri lalu, riwayat kontrasepsi, riwayat medis lain dan
riwayat sosial ekonomi termasuk pola pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
b. Obyektif (O)
Data objektif adalah data yang diperoleh melalui observasi dan hasil
pemeriksaan, pendokumentasian manajemen kebidanan menurut Varney
langkah pertama pengkajian data (Asrinah, 2010).
c. Analisa (A)
Analisa merupakan pendokumentasian manajemen kebidanan menurut Varney
langkah kedua, ketiga dan keempat, meliputi diagnosis/masalah kebidanan,
diagnosis/masalah potensial dan kebutuhan segera yang harus diidentifikasi
menurut kewenangan bidan melalui tindakan mandiri, tindakan kolaborasi dan
tindakan merujuk klien (Asrinah, 2010).
1). Diagnosa
2). Masalah/ Diagnosa Potensial
3). Kebutuhan Segera
d. Penatalaksanaan (P)
Penatalaksanaan yaitu pendokumentasian manajemen kebidanan menurut Varney
langkah kelima, keenam dan ketujuh, meliputi tindakan.
PATHWAY

Anda mungkin juga menyukai