Anda di halaman 1dari 100

BAB 1

PENGANTAR

1.1 Apakah Bioetanol ?


Bioetanol adalah fermentasi alkohol. Yaitu, mengacu pada etil alkohol yang
dihasilkan dari proses fermentasi oleh mikroba, sebagai saingan sintetis etanol
yang diproduksi dari sumber petrokimia. Bioetanol dihasilkan melalui
penyulingan pemurnian etanol dari fermentasi gula yang berasal dari biomassa.
Bioetanol dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar cair dalam mesin pembakaran
internal, baik dalam keadaan murni atau dalam campuran dengan minyak bumi
(Tabel 1.1).

Gambar 1.1 Sifat kimia-fisika dari etanol


Rumus molekul : C2H5OH
Massa molekul : 46,07 g/mol
Wujud : cairan tidak berwarna (antara -117 °C dan 78 °C)
Kelarutan dalam air (larut)
Massa jenis : 0,789 kg/l
Suhu didih : 78,5 °C(173°F)
Titik beku : -117 °C
Titik nyala : 12,8 °C (temperatur terendah penyalaan)
Temperatur pengapian : 425 °C
Batas ledakan : lebih rendah dari 3,5%v/v ; lebih tinggi dari 19%v/v
Tekanan uap : @38°C 50mmHg
Nilai kalor lebih tinggi (pada 20°C) : 29,800 kJ/kg
Nilai kalor lebih rendah (pada 20°C) : 21,090 kJ/kL
Panas spesifik Kcal/kg 60 °C
Keasaman (pKa) : 15,9
Viskositas :1.200 mPa.s (pada 20°C)
Indeks bias (nD) : 1,36 (pada 20°C)
Angka oktan : 99
Titik nyala etanol pada suhu terendah (yaitu 12,8 °C) di mana cukup
cairan dapat menguap ke bentuk konsentrasi penyalaan dari uap dan katakter suhu
di mana etanol menjadi mudah terbakar di udara. Titik pengapian etanol adalah
suhu minimum di mana ia mampu membakar secara bebas (yaitu 425°C). Etanol
memiliki rating oktan tinggi (99), yang merupakan ukuran dari ketahanan bahan
bakar sebelum pembakaran, berarti bahwa mesin pembakaran internal yang
menggunakan etanol dapat memiliki rasio tekanan yang tinggi memberikan output
daya yang lebih tinggi per siklus. Bensin biasa (bensin) memiliki nilai oktan rata-
rata 88. Rating oktan etanol yang lebih tinggi meningkatkan ketahanan etanol
untuk ketukan mesin, namun kendaraan yang menggunakan etanol murni
memiliki konsumsi bahan bakar (mil per galon atau kilometer per liter) 10-20%
lebih sedikit dari bensin (tapi dengan tidak adanya penurunan performa
mesin/percepatan).
Pada tahun 1920, Henry Ford merancang Model terkenal T-Ford,
pertama di dunia mobil yang diproduksi secara massal, untuk menggunakan
etanol.

Negara Campuran (E = etanol dan komentar


nomor yang menunjukkan
% dalam bensin)
USA E10 10% etanol dalam bensin biasa
(gasohol)
Brazil E70-E85 Variasi campuran dengan keadaan
E25-E75 Campuran lebih tinggi
kemungkinan melalui bahan bakar
fleksibel kendaraan
E100
Eropa E5 Umum dalam bensin bebas timbal
E85 Relatif jarang digunakan pada saat
ini

Tabel 1.1 Beberapa tipe campuran bioetanol-bensin yang digunakan di berbagai


negara
Tabel 1.2 membandingkan kandungan energi bioetanol dengan bahan
bakar fosil konvensional yang digunakan untuk jalan dan transportasi
penerbangan. Di Brasil >20% dari mobil (dan beberapa pesawat ringan) dapat
menggunakan E100 (100% etanol) sebagai bahan bakar, yang mencakup mesin
etanol satu-satunya dan bahan bakar fleksibel kendaraan yang dapat digunakan
baik dengan etanol murni, bensin murni, atau campuran keduanya.

Bahan bakar Kandungan energi, MJ/L


E100 23,5
E85 25,2
E10 33,7
Bensin (reguler) 34,8
Bensin (penerbangan) 33,5
Diesel 38,6
Autogas (LPG) 26,8

Tabel 1.2 Kandungan energi bioetanol dibandingkan dengan bahan bakar fosil

Bioetanol juga dapat digunakan dalam gel etanol (masakan domestik),


bahan bakar untuk listrik, dalam sel bahan bakar (aksi termo-kimia), mengurangi
kebakaran (misalnya. Http://www.kost-alcohol.com/flueless.html) dan dalam daya
sistem co-generasi. Bioetanol anhidrat memiliki aplikasi tambahan sebagai
sumber bagi komoditas kimia lain seperti ETBE (etil tersier butil eter, aditif
bensin) dan polietilena, terephthalate, PET (kemasan, botol).
Bioetanol menunjukkan produksi volumetrik terbesar dari setiap biofuel
yang diproduksi oleh mikroba, dengan produksi tahunan di seluruh dunia saat ini
sekitar 100 milyar liter (Asosiasi Bahan Bakar Terbarukan). Para pemimpin
global dalam bioetanol adalah Amerika Serikat dengan produksi saat ini
mendekati ~50 milyar liter (dari jagung) dan Brasil dengan ~ 35 milyar liter (dari
tebu).
Bioetanol adalah contoh dari bahan bakar transportasi terbarukan, yang
mayoritas lainnya menjadi biodiesel dari minyak tumbuhan atau lemak hewan
(tidak tercakup lebih lanjut dalam buku ini). Tabel 1.3 menguraikan pro dan
kontra dari etanol sebagai biofuel.
Pro Kontra
CO2 netral Makanan ke bahan bakar tidak etis
Mengurangi ketergantungan pada Ekonomi didorong oleh harga minyak,
minyak yang bersifat dinamis
Memungkinkan diversifikasi pertanian Ketidakberlanjutan beberapa sumber
Pembakaran yang bersih, toksisitas biomassa
rendah Keseimbangan energi tidak
Titik nyala lebih tinggi (keselamatan menguntungkan
kebakaran yang lebih baik) Ketidakefisienan dari fermentasi
Biodegradasi yang lebih baik mikroba
Co-generasi listrik Sifat hidroskopi cairan
emisi gas rumah kaca yang rendah (~ konsumsi bahan bakar yang lebih
65% kurang dari bensin) tinggi (bensin c.f.)
Beberapa residu, emisi mungkin
membahayakan

Tabel 1.3 Beberapa pro dan kontra dari etanol sebagai biofuel

Keuntungan utama dari bioetanol adalah bahwa bahan bakar terbarukan


dan bukan penyumbang emisi gas rumah kaca (tidak seperti bahan bakar fosil).
Hal ini berhubungan dengan fakta bahwa biomassa dikembangkan untuk
bioetanol mampu memperbaiki kembali (oleh fotosintesis) karbon dioksida yang
dihasilkan selama produksi bioetanol dan pembakaran.
Kerugian memuat fakta bahwa lahan pertanian dapat digunakan untuk
produksi biomassa untuk biofuel dan ini dapat berdampak negatif pada keamanan
pangan. Selain itu, penggunaan organisme rekayasa genetik memiliki persepsi
dampak lingkungan yang merugikan dari sudut pandang publik umum. Namun,
seperti yang akan diuraikan dalam buku ini, kelemahan ini dapat diperbaiki
dengan menggunakan bahan baku "generasi kedua" (misalnya. dari bahan limbah
lignoselulosa) bersama dengan teknologi kimia modern dan bioteknologi. Baru-
baru ini telah dilaporkan bahwa produksi biofuel yang akan datang di Uni Eropa
dapat diamankan tanpa meningkatkan luas lahan keseluruhan yang digunakan
untuk tanaman pangan (lihat www.biofuelsnow.co.uk).
Mikroorganisme yang dominan bertanggung jawab untuk fermentasi
etanol adalah spesies ragi, Saccharomyces cerevisiae, tetapi ragi dan bakteri
tertentu memiliki potensi di masa depan (lihat Bab 4).
Ragi seperti S. cerevisiae digambarkan sebagai ethanologenic, yang
mana mereka memilki kecenderungan untuk mengubah gula melalui jalur
metabolisme yang dikenal sebagai glikolisis etanol, karbondioksida, dan banyak
produk fermentasi sekunder lainnya.

Biohidrogen Biogas

Bakteri Bakteri
Cynanobakteria Anaerobik

Biomassa

Clostridium Ragi (S. cerevisiae)


Acetobutylicum Bakteria

Biobutanol Bioetano

Gambar 1.2 Konversi mkroba dari biomassa menjadi biofuel

Biofuel mikroba lainnya adalah biogas (metana dari bakteri anaerobik


pencernaan), biobutanol (teknologi baru yang muncul kembali menggunakan
bakteri Clostridium spp.) dan biohidrogen (potensial masa depan) yang dirangkum
pada gambar 1.2. Penelitian terbaru (misalnya .Steen et al, 2008) juga
menunjukkan bahwa S. cerevisiae dapat mengalami rekayasa genetika
(menggunakan gen Clostridium spp.) untuk menghasilkan n-butanol, dan
beberapa perusahaan mengembangkan proses produksi butanol (dan isobutanol)
yang dapat membentuk ragi (misalnya Gevo Inc-http://www.gevo.com/; Butalco-
www.butalco.com). hal yang penting untuk dicatat bahwa butanol memiliki
beberapa keuntungan dibanding etanol sebagai bahan bakar dan setidaknya
kemampuan pembakarannya lebih baik,
amenability untuk transportasi dan penyimpanan dan miscilibility dengan diesel.

1.2 Aspek Ekonomi


Biaya produksi dari bioethanol adalah tergantung dari sumber biomassa
(Tabel 1.4). Jika kita menganggap bahwa biaya produksi untuk bensin adalah 0,25
Euro/L, maka in menekankan kebutuhan untuk memiliki rabat pajak pemerintah
penutup harga kesenjangan antara biofuel dan bahan bakar fosil. Penggerak
ekonomi untuk produksi dan konsumsi semua biofuel erat hubungannya dengan
harga minyak global. Ini adalah jelas situasi yang dinamis (dengan meningkatnya
harga minyak maka juga akan meningkatkan kasus untuk biofuel) tetapi pada
table 1.4 terdapat contoh bioethanol yang dihasilkan dari berbagai bahan baku dan
membandingkan biaya produksi mereka. Jelas untuk bahan baku bioethanol
generasi pertama, tebu dari Brasil merupakan salah satu yang termurah.
Untuk bioethanol agar menjadi kompetitif yang ekonomis dengan bahan bakar
fosil, biaya produksi seharusnya tidak lebih besar daripada ~0.2€/liter
dibandingkan dengan bensin
Sumber Biomassa Harga Produksi (€/L)
Bensin 0.25
Jagung US 0.42
Jagung kering 0.45-0.58
Gandum EU 0.27-0.43
Lobak gula EU 0.32-0.54
Tebu Brazil 0.16-0.28
Tetes Tebu (Chin) 0.24
Sorgum manis (China) 0.22
Serat Jagung (US) 0.41
Jerami gandum (US) 0.44
Spruce (Kayu lunak) 0.44-0.63
Salix ( kayu keras) 0.48-0.71
Lignoselulosa ( limbah ) 0.11-0.32
Tabel 1.4 Harga estimasi produksi bioethanol (Euro) dibandingkan dengan bensin
[Informasi dari (www.eubia.org; Sassner et al, 2008; Abbas, personal
communication; Gnnsounou, 2008]

Angka-angka yang berada dalam tabel 1.4 adalah pendekatan karena


fluktuasi biaya bahan baku. Sebagai contoh, biaya produksi etanol jagung US
didasarkan pada $4 bushel jagung (32 lbs pati dan 2.8 gals dari etanol). Biaya tebu
pada tahun 2010 adalah biaya produksi etanol yang tinggi dari bahan baku ini dan
diperkirakan mencapai sekitar $0,35 per liter. Biaya biomassa lignocellulosa
sangat tergantung pada bahan baku (misalnya. Limbah kayu dan biaya kertas akan
bervariasi tergantung pada wilayah dan biaya transportasi). Biaya produksi
lignocellulosa menjadi etanol diharapkan menjadi lebih murah dimasa depan
sehingga perkembangan teknologi baru dapat memproses konversi secara
keseluruhan. (Lihat Bab 3 dan 4).

Biaya bahan baku biomassa mewakili pengeluaran yang dominan dalam


produksi bioethanol, dengan bahan baku generasi pertama umumnya 50-80 % dari
total biaya, sementara untuk proses bioethanol lignocellulose biaya bahan
bakunya hanya 40% dari total biaya (Petrou dan Pappis, 2009).Total nilai
bioethanol generasi kedua di AS ini diperkirakan meningkat dari 380 juta Euro
pada tahun 2010 sampai 13.000 juta Euro pada tahun 2020.

Harga bahan bakar etanol dinegosiasikan antara pembeli dan penjual dan
harga tersebut dilaporkan tidak dipublikasikan. Informasi harga historis data
diperoleh dari: www.usda.gov ;www.opisnet.com; www.Platts.com; www.
dtnethanolcenter.com; www.Jordan-Associates.com; www.kingsman.com; www.
argusmediagroup.com.

1.3 Energi Keseimbangan


Penggunaan dan produksi biofuel memerlukan rasio energi bersih yang po
sitif (NER) untuk mempertahankan keberlanjutan lingkungan. Itu bisa dinyatakan
sebagai energi dari produksi etanol dibagi dengan setiap energi yang digunakan
untuk produksinya, atau (dari majalah, 1986):
𝐸𝑛𝑒𝑟𝑔𝑖 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑒𝑡𝑎𝑛𝑜𝑙 𝑑𝑖𝑛𝑦𝑎𝑡𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑏𝑔 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑘𝑎𝑙𝑜𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑙𝑒𝑏𝑖ℎ 𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖
𝑁𝐸𝑅 =
𝑘𝑎𝑛𝑑𝑢𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑒𝑛𝑒𝑟𝑔𝑖 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑖𝑛𝑝𝑢𝑡 𝑛𝑜𝑛 − 𝑏𝑖𝑜𝑙𝑜𝑔𝑖𝑠

Bioethanol yang dihasilkan dari biomassa lignocellulosic dan material


limbah lainnya umumnya sangat menguntungkan (yaitu positif) nilai-nilai NER.
Parameter serupa yang berguna dalam hal ini adalah energi bersih
keseimbangan (NEB), yang merupakan rasio dari produksi energi etanol untuk
total energi yang digunakan (dalam produksi pertumbuhan biomassa, pengolahan
dan biofuel). Pada tabel 1.3 disimpulkan bahwa energi keseimbangan dari
produksi bioethanol dari tebu, jagung dan lignocellulose, itu jelas merupakan
sumber biomassa generasi pertama, tebu mewakili bahan baku yang paling
menguntungkan sehubungan dengan keseimbangan energi.

Bahan baku Keseimbangan Energi


Tebu 6,5-9,5
Bit gula 1,1-2,3
Sorgum manis 0,9-1,1
Jagung 1-2
Lignoselulosa Sangat tergantung pada bahan baku,
tapi umumnya sangat positif
[Bensin (telur minyak Mexico) 6 untuk perbandingan]
Tabel 1.3 Energi Keseimbangan untuk produksi bioetanol dari bahan baku yng
berbeda

Nilai-nilai keseimbangan energi < 1 menyatakan bahwa produksi


bioethanol tidak layak dari segi energi dan indikasi dari kelebihan energi fosil
yang digunakan untuk menghasilkan bioethanol. Untuk jagung (jagung) proses
pembuatan etanol berada di Amerika Utara (USA), nilai yang umum adalah 1 –
2:1, sementara untuk proses pembuatan etanol tebu di Amerika Selatan
(Brasil) nilai yang umum adalah 5 – 10:1. Perbedaan angka-angka variabel ini
dikarenakan berbeda geografis, iklim dan alasan pertanian, tetapi untuk operasi
etanol dari tebu Brazil, keseimbangan energi yang khas dari 8 (yaitu 8 kali energi
produksi dibandingkan dengan input) dan pengurangan GRK 90%
(dibandingkan dengan hanya 30% untuk etanol
dari jagung) yang dicapai (Amorim Basso & Lopes, 2009; Basso danRosa, 2010).
Tanaman Bioethanol Brasil yang membakar ampas tebu menjadi uap yang
digunakan untuk pembangkit listrik yang memiliki energi keseimbangan sangat
baik. Karena itulah Brasil kemudian dianggap sebagai penghasil biofuel
berkelanjutan (Lihat: http://bioenergytrade.org/Downloads/sustainabilityof
brazilianbio ethanol.pdfand http://english.unica.com.br/).
Perhitungan keseimbangan energi dalam produksi bioethanol tergantung
pada beberapa faktor, misalnya, Apakah penggunaan bahan bakar fosil dalam
praktek-praktek agronomi dan pembangkit energi dari produk tersebut disertakan.
Namun demikian, ada ruang lingkup untuk mengurangi energi masukan dari
proses biologi (daripada budidaya biomassa) perspektif, terutama melalui
penerapan bioteknologi modern. Mousdale (2008) telah membahas energi
keseimbangan dalam produksi bioethanol - Lihat 9. Bacaan lebih lanjut.

1.4 Pendorong utama untuk Bioethanol


Saatini driver untuk produksi semua biofuel dapat diringkas dalam gamar
1.4 dan ini tergantung pada ekonomi, lingkungan dan perspektif politik dari
masing-masing Negara.

Keamanan
Lingkungan
Bahan
Hidup
Bakar

Pertanian

Gambar 1.4. Pendorong utama dari biofuel


Ada potensi yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk produksi bioethanol
terutama karena faktor seperti:
 Variasi yang signifikan dalam harga minyak mentah dunia (tapi umumnya
tren)
 Keamanan Internasional di kawasan-kawasan yang mengandung sumber
daya minyak mentah (Timur Tengah,Rusia, Amerika Tengah dan Nigeria)
 Keinginan untuk meningkatkan pendapatan dibidang pertanian (di negara-
negara maju dan berkembang) dan umumnya untuk meningkatkan
ekonomi pedesaan
 Masalah lingkungan (Kyoto dan perjanjian Bali) dan potensi untuk
mengurangi perubahan iklim melalui pengurangan emisi gas rumah kaca
 Potensi untuk akses energi di daerah terlayani-urban miskin, komunitas
pedesaan non-listrik
 Potensi untuk meningkatkan neraca perdagangan

Laporan US (lihat http:/www.bio.org/EconomicImpactAdvancedBiofuels.


pdf) telah menganalisis bagaimana dampak pertumbuhan kemajuan industri
biofuel terhadap penciptaan lapangan kerja, ekonomi, keamanan energi dan
peluang investasi.

Sebagai contoh, industri biofuel dapat membuat 29.000 pekerjaan


baru dan 5,5 milyar dalam pertumbuhan ekonomi selama tiga tahun ke depan dan
pada akhirnya bisa menciptakan 800.000 pekerjaan baru pada tahun 2022 dengan
efek positif pada hasilnya yaitu sebesar $148.7 miliar. Diperkirakan bahwa di
AS, total kumulatif Impor minyak selama periode 2010 -2022 dihindari karena
akan melebihi $350 miliar. Untuk meningkatkan perkembangan lebih
lanjut Bioetanol US, regulator seharusnya menyetujui penggunaan E15
(15% etanol, bensin 85%) dan untuk memperluas kredit pajak untuk semua bahan
baku etanol. Investasi Umum dan swasta akan diperlukan untuk
mengkomersialkan kemajuan biofuel secara global dan di Eropa, pengembangan
biofuel generasi kedua akan didukung oleh industri bioenergi Inititative Eropa
(lihat http://www.biofuelstp.eu/eibi.html).
Bagi Inggris, isu-isu perubahan iklim, diversifikasi pertanian dan
keamanan pasokan bahan bakar adalah kekuatan pendorong utama untuk
bioethanol. Selain itu, pemerintah Inggris Obligasi Bahan Bakar Transportasi
Terbarukan (RTFO) telah menetapkan target yang menantang untuk produksi
biofuel (Lihat Bab 2).
Salah satu tantangan utama untuk abad ke 21 adalah untuk mengurangi
ketergantungan pada pasokan minyak yang terbatas, batubara dan gas, dan
berpindah ke sumber bioenergi terbarukan. Pendorong utama untuk peningkatan
produksi terbarukan transportasi bahan bakar seperti bioethanol: pemeliharaan
keamanan bahan bakar masa depan; peningkatan ekonomi pedesaan; dan menjaga
lingkungan/mengurangi emisi gas rumah kaca (Lihat Bab 8).

Tanaman yang ditanam secara khusus untuk biofuel, dapat memberikan


salah satu dari solusi. Namun demikian ada kekhawatiran yang muncul tentang
kelestarian lingkungan, keanekaragaman hayati dan kompetisi dengan produksi
pangan (Lihat Bab 7).

Industri semakin beralih ke sisa biomassa sebagai sumber biofuel, dan ada
yang berminat untuk memanfaatkan limbah-limbah yang saat ini tidak
dieksploitasi. Generasi kedua Bioethanol mengacu pada produksi alkohol yang
dihasilkan dari fermentasi sumber biomassa non-makanan, seperti lignocellulosic
hydrolysates, dan topik ini dibahas lebih lanjut dalam bab 3 dan 4
BAB 2
PRODUKSI GLOBAL BIOETANOL

2.1 Statistik
Produksi etanol secara global pada tahun 2008 adalah sebesar 65,7 miliar
liter dan akan segera melebihi 100 miliar liter (gambar 2.1) dengan peningkatan
terbesar pada Amerika dan Brazil. Data statistik produksi tersedia dari FO Licth
(2007), Pilgrim (2009), USDA-ERS (2008) dan Asosiasi Bahan Bakar Terbarukan
(http://www.ethanolrfa.org/industry/statistics/)

Gambar 2.2 merangkum volume total produksi bioethanol secara global dan
memperlihatkan secara jelas jika Brazil dan Amerika adalah Negara yang
berperan aling dominan pada perindustiran, terhitung 87% dari produksi bahan
bakar hayati secara global (2008), didorong oleh dukungan pemerintah (lihat:
‘Analisis Pasar Bahan Bakar Hayati Global’ http://www.marketresearch.com).
Barzil adalah negara pertama yang memproduksi bioethanol dalam skala besar,
melalui program pemerintah mereka yaitu Proalcool yang dimulai pada tahun
1975 untuk memanfaatkan bahan bakar alkohol dari tebu sebagai pengganti
bensin dalam menyikapi kenaikan harga minyak. Brazil sekarang adalah produsen
terbesar kedua di dunia dengan jumlah produksi sekitar 30 miliar liter/tahun
(2008) berbahan baku tebu dan Brazil juga menjadi pengekspor bahan bakar
ethanol terbesar didunia. Jumlah tanaman tebu untuk produksi bioethanol akan
meningkat lebih dari 400 lipat dalam beberapa tahun kedepan dan produksi
diperkirakan akan mencapai 37 miliar liter/tahun (dari sekitar 728 juta ton
tanaman tebu) dari 2012-2013 (Amorim, Basso dan Lopes, 2009; Basso dan Rosa,
2010).
Bioethanol Brazil
Di Brazil, percampuran ethanol adalah suatu kewajiban (E20 sampai E25) dan
etanol anhidrat (E100) juga tersedia di ribuan terminal pengisian bahan bakar.
Sebagai tambahan, terdapat 6 juta mesin yang menggunakan mesin berbahan
bakar fleksibel dan 3 juta yang dapat dioperasikan dengan E100. Sekarang
bioethanol tercatat ~50% dari pasar bahan bakar transportasi di Brazil,
sedangkan bensin sekarang dianggap sebagai “bahan bakar alternatif”.

Amerika merupakan produsen bioethanol terbesar di dunia (Gambar 2.1). Pada


akhir 2008, kapasitas produksi bahan bakar alkohol dari 180 kilang bahan bakar
hayati adalah 13,6 miliar gallon (51,5 miliar liter), dengan 31 miliar liter pada
pembangunan atau perluasan dan diatur untuk memulai produksi pada tahun 2009
(ingeldew, Austin, Kelsall & Kluhspies, 2009). Gambar 2.3 menyediakan
beberapa data statistik produksi di Amerika sampai tahun 2007 dan ini
menunjukkan peningkatan yang sangan pesat dalam beberapa tahun terakhir.
Contohnya, The Energy Information Administration (EIA) menunjukkan bahwa
produksi bioethanol di Amerika meningkat 29% dalam selang waktu 2009 dan
2010 pada periode Januari/Mei (Berita Industri dan Bahan Bakar Hayati 39-19
Agustus 2010 www.hgca.com).
Bahan baku bioetanol yang dominan di AS adalah jagung (jagung). Jika hasil
panen tanaman jagung pertahun (saat ini ~ 12 miliar gantang) semuanya (yaitu
pati dan selulosa) diproses menjadi etanol, total biofuel yang akan diperoleh
menjadi ~ 120 miliar liter ( 7 galon / bushel). Departemen Energi AS Roadmap
membutuhkan 40 miliar galon (~ 150 miliar liter) bioetanol pada 2030. Namun,
penggantian total bahan bakar fosil cair akan membutuhkan 200 miliar galon
biofuel (Abbas, 2010).
Meskipun tanaman jagung adalah bahan pembuatan bioetanol paling dominan di
Amerika Utara, Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) Amerika Serikat telah
merancang bahwa etanol dari tebu adalah "Bahan Bakar Terbarukan Lanjutan"
dan diantisipasi bahwa pada tahun 2022 sekitar 15 miliar galon (~ 57 miliar liter)
bioetanol di Amerika akan berasal dari gula tebu.

Tabel 2.1 Merangkum beberapa perkembangan produksi bioetanol internasional.


Produksi bioetanol di seluruh dunia telah diprediksi akan meningkat sebesar 5%
tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) dari 2009-2018, dengan potensi
pertumbuhan yang signifikan untuk bahan bakar hayati di India dan China.
Prediksi ini diperkuat oleh OECD (Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan
Pembangunan, lihat: http://www.oecd.org) dan UN FAO badan pangan, yang
meramalkan bahwa produksi bioetanol global akan menjadi dua kali lipat antara
2007-2017 mencapai 125 miliar liter.

Informasi lebih lanjut tentang perkembangan industri bioetanol global dapat


diperoleh dari berbagai website dan e-newsletter (Biofuel & Industrial News from
www.hcga.com; www.ethanolproducer.com; http://domesticfuel.com;
News@All-Energy; bio@smartbrief.com; www.biofuelreview.com;
www.distill.com; http://www.best-europe.org). Pilgrim (2009) telah mengkaji
produksi bioethanol statistik di berbagai negara.

Negara Industri bioethanol


China China merupakan produsen etanol terbesar ketiga di dunia (90%
dari jagung)
dan memiliki ambisi target pertumbuhan di masa depan untuk
bioetanol dari generasi kedua limbah biomassa. Target Cina saat ini
untuk bioetanol (10 juta ton pada tahun 2020) dianggap konservatif
(Yan et al, 2010). Tanaman untuk bioetanol saat ini di Cina
memakai jagung, gandum dan singkong, tapi sorgum manis dan
tebu memiliki potensi ke depannya. Mengenai bahan baku generasi
kedua, COFCO (Cina National Cereal, Oil dan Foodstuffs
Corporation) investasi 50 juta Yuan (AS $ 6.500.000) untuk
membangun pabrik percontohan etanol selulosa di Zhaodong, di
provinsi timur laut Heilongjiang, dengan kapasitas produksi
tahunan sebesar 5.000 ton. Pabrik percontohan etanol selulosa lain
India dengan kapasitas produksi 10.000 ton sedang direncanakan di
daerah Yucheng Shandong (lihat: http://www.biofuels.apec.org).
India menyumbang sekitar 4% dari produksi bioetanol global (2m
kilo liter di 2006) dari tebu dan memiliki rencana untuk
memperluas produksi, terutama menggunakan substrat selulosa
(misalnya, melihat http://www.praj.net dan
http://www.rellife.com/biofuels.html). Pada bulan Februari 2009,
India dan Amerika Serikat bertukar nota kerjasama pengembangan
Rusia biofuel, yang meliputi produksi, pemanfaatan, distribusi dan
pemasaran biofuel di India (lihat:
http://www.indiaembassy.org/newsite/press_release/2009/Feb/1.asp
Nigeria )

Di Rusia, informasi produksi bioetanol disediakan oleh Rusia


National Association Biofuels (lihat: http://www.biofuels.ru).

Australia Di Nigeria, analisis terbaru dari tebu dan sorgum manis untuk
bahan baku bioetanol telah disimpulkan bahwa tanaman ini lebih
cocok karena
Colombia mampu beradaptasi untuk iklim yang keras dan budidaya kondisi
(Nasidi et al, 2010)

Informasi tentang produksi bioetanol di Australia tersedia dari


Biofuels Asosiasi Australia (lihat:
http://www.biofuelsassociation.com.au)
Jepang/Asi
a Pasifik Di Kolombia, tebu, bukan jagung, telah diidentifikasi sebagai bahan
baku yang paling menjanjikan untuk meningkatkan produksi
bioetanol dalam negeri mereka berdasarkan pertimbangan
lingkungan dan ekonomis (Quintero et al, 2008).

Mengenai Jepang dan Asia Pasifik, dibandingkan dengan Brasil,


AS dan Eropa industri produksi bioetanol di negara-negara ini
dalam masa pertumbuhan (lihat: http://www.biofuels.apec.org;
http://www.biofuels.apec.org/me_japan.html; ISSAAS, 2007).
Faktanya, Jepang merupakan importir terbesar kedua etanol (untuk
memenuhi mandat E10-nya) karena tidak memiliki persyaratan
untuk bioetanol skala besar produksi. [Walter et al, 2008]
Di Eropa, produksi bioetanol berada di peningkatan yang tajam (lihat
Gambar 2.4) dan produsen utama bioetanol adalah Perancis, Jerman dan Spanyol
(Gambar 2.5) menggunakan bahan baku dominan sereal (terutama gandum) dan
sugarbeet. Data dari eBIO, Uni Eropa badan industri etanol, menunjukkan
produksi bahan bakar etanol Uni Eropa meningkat dari 2.8bn liter pada tahun
2008 menjadi 3,7 miliar liter pada tahun 2009, naik 31%. Prancis (1.25bn liter)
dan Jerman (750M liter) adalah produsen terbesar dengan Spanyol ketiga (465M
liter), melihat peningkatan produksi tahunan 25%, 32% dan 46% masing-masing.
Bioetanol Uni Eropa 2010 dengan kapasitas pabrik adalah 7.7bn liter pada tahun
2010, dan proyeksi (F.O.Licht, 2007) untuk 2011 menunjukkan peningkatan ke
8.3bn liter sesuai dengan tanaman baru yang akan datang pada bidang ini,
terutama di Spanyol dan Jerman.
Pada bulan Juli 2008, Komite Parlemen Eropa terhadap lingkungan
Kesehatan Lingkungan dan Keamanan Pangan direkomendasikan (Juli 2008)
bahwa target bioful untuk tahun 2020 menjadi 8% dari hasil bahan bakar fosil.
Target sebelumnya, diuraikan dalam Komisi Eropa untuk Januari 2007
“Renewable Energy Roadmap” adalah 10%. Kebijakan Uni Eropa saat ini pada
biofuel harus dilihat dalam perspektif global, dengan meningkatnya persaingan
untuk ahan produktif bersama kebutuhan yang meningkat untuk furls transportasi
terbarukan.

Di Inggris, RTFO berlaku untuk transportasi jalan diseluruh Inggris dan


“membutuhkan pemasok bahan bakar fosil untuk memastikan bahwa persentase
tertentu dari bahan bakar transportasi yang mereka suplai di Inggris terdiri dari
bahan bakar terbarukan. Target untuk 2009/10 adalah 3,25% volume”. (Badan
Bahan Bakar Renewables). Berikut ulasan Gallacher (2008), pada bulan April
2009, Perubahan Order RTFO (2009) target diubah sebagai berikut: “tingkat
kewajiban bahan bakar transportasi terbarukan dengan memperlambat laju
peningkatan (dari 2,5% sampai 5% dari total bahan bakar yang disediakan) dalam
jumlah bahan bakar transportasi terbarukan yang bukti pasokan di Inggris”.

Ulasan Gallagher telah menyatakan target biofuel Uni Eropa untuk tahun 2010
dari 10% oleh energy “adalah tidak mungkin dipenuhi secara berkelanjutan dan
pengenalan biofuel karena harus memperlambat sementara, pemahaman kita
meningkat tentang perubahan penggunaan lahan tidak langsung dan risiko system
yang efektif diimplementasikan untuk mengelolanya”. Oleh karena itu Badan
Renewable Fuels telah mengusulkan bahwa (UK) menargetkan lebih tinggi dari
5% hanya harus dilaksanakan di luar2013/14 jika biofuel akan ditampilkan
“menjadi terbukti berkelanjutan (termasuk menghindari secara tidak langsung
perubahan penggunaan lahan)”.

Tarif kenaikan yang diusulkan UK campuran bahan bakar biofuel-fosil


akan naik maksimal 5% pada 2013/14. (Lihat tabel 2.2). akan ada review lebih
lanjut dari target biofuel UK di 2011/12 yang bertepatan dengan ulasan kemajuan
Negara-negara anggota Uni Eropa pada target biofuel. Mereka diwajibkan oleh
RTFO termasuk penyuling, importer dan lain-lain yang memasok > 450.000
liter/tahun minyak hidrokarbon yang relevan untuk transportasi jalan UK.
Biofuels berkaitan dengan RTFO termasuk bioetanol, biodiesel, minyak nabati
murni, biogas (metana), biobutanol, bio ETBE dan HVO (minyak terhidrogenasi
sayur, juga disebut sebagai diesel terbarukan).

2008 2009 2010 2011 2012 2013


Target asli 2,5 3,75 5,0
RTFO (%
volume)
Target ulasan 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5 5,0
Gallacher (%
volume)

Tabel 2.2 Taget Transportasi Bahan Bakar Terbarukan Obligation (RTFO)


Inggris.

2.3 Lancar dan Muncul Status

Tak lama setelah 11 September, 2011 Presiden George Bush


mengumumkan bahwa AS akan mematahkannya “kecanduan minyak”, yang
berarti bahwa keamanan nasional Amerika sekarang terkait dengan keamanan
energi. Pada tahun 2009, meningkatkan kekhawatiran tentang perubahan iklim
yang tersedia momentum tambahan untuk mengembangkan alternative yang
berkelanjutan dan aman untuk minyak (lihat,
http://domesticfuel.com/2009/12/31/the-ethanol-decade/).

Menurut Renewable Fuels Association (lihat, http://ethanolrfa.org), biofuel dating


di tahun 2000-an. Hal ini dicontohkan oleh produksi bioethanol increment dari
tahun ke tahun, misalnya: AS memproduksi 5,3 miliar liter (1,4 miliar galon)
bioetanol pada tahun 1999 pada 54 tanaman, naik lebih dari 40 miliar liter (10,6
miliar galon) pada tahun 2009 lebih dari 200 tanaman dan diperkirakan mencapai
136 miliar liter pada tahun 2022. Saat ini, bioetanol dicampur lebih dari 80% dari
bahan bakar motor AS. Yang penting, industry bioetanol AS mendukung hamper
500.000 pekerjaan dan pada tahun 2008 menghasilkan sekitar $12 miliar
pendapatan pajak federal dan $9 miliar dalam pendapatan negara bagian dan local.
Selain itu, impor minyak Amerika dari OPEC telah berkurang lebih dari 300 juta
barel per tahun.
Namun demikian, di Amerika Serikat ada kebutuhan untuk menerobos campuran
10% dan akhirnya pindah kecampuran dari 12%, 13%, 15% dan di luar, sementara
memperluas armada kendaraan dan infrastruktur untuk E85. Di Uni Eropa, Eropa
Biofuels Teknologi Platform (lihat, http://biofuelstp.eu) telah didirikan untuk
berkontribusi, seperti:
 Pengembangan rantai pengembangan nilai biaya kompotitif biofuel
kelas dunia.
 Penciptaan industry biofuel yang sehat, dan
 Percepatan penyebaran berkelanjutan biofuel di Uni Eropa melalui
proses bimbingan, prioritas dan promosi penelitian, pengembangan
teknologi dan demontrasi.
Perdagangan internasional dalam etanol diharapkan tumbuh pesat selama decade
berikutnya, terutama dengan ekspor dara Brazil ke Amerika Serikat dan Uni
Eropa.

Ada peluang untuk mengeksploitasi generasi kedua (non-food) substrat bioetanol


berdasarkan biowastes lignoselulosa yang dihasilkan dari kegiatan pertanian,
industry dan kehutanan, tetapi pendekatan ini penuh dengan kendala ilmiah dan
teknologi (lihat bagian 3.2 dan 4.5). saat ini muncul tren dalam produksi bioetanol
dari bahan lignoselulosa di berbagai negara (Korea, Cina, Kanada, Brazil, India,
Malaysia dan Eropa) telah dibahas dalam edisi khusus terbaru dari Teknologi
Bioreource pada bioetanol lignoselulosa, diedit oleh Pandey (2010).

Bahan bakar transportasi berbasis bio banyak menawarkan ke negara berkembang


untuk peluang ekonomi baru, dan akan mengurangi ketergantungan mereka pada
impor energy. Bagaimanapun yang penting produksi bioetanol harus
berkelanjutan dan tidak harus mengancam keanekaragaman hayati atau secara
langsung bersaing dengan produksi pangan. Kebijakan biofuel untuk masa depan
harus menetapkan kriteria berkelanjutan yang jelas dan mempromosikan
pengembangan kedua generasi bioetanol.
Masalah lebih lanjut mengenai tren masa depan dalam produksi bioetanol global
dan tantangan ilmiah serta teknologi harus diatasi, yang akan dibahaas dalam bab
8.
BAB 3
BAHAN BAKU BIOETANOL

3.1 Bahan Baku Generasi Pertama (Berbahan dasar Pati dan Gula)

Secara umum, bioetanol dapat diekstraksi dari setiap jenis bahan karbohidrat yang
memiliki rumus khas dari (CH2O)N yang dapat dibagi menjadi tiga kelompok
utama: gula, tepung dan biomassa lignoselulosa.

Bahan baku generasi pertama untuk produksi bioetanol terutama mengacu pada
sumber biomassa tanaman (atau phytomass) yang juga merupakan sumber nutrisi
manusia dan hewan, yaitu: pati dan tanaman gula.

Tabel 3.11 merangkum kedua sumber pertama dan kedua generasi untuk bioetanol
dan Gambar 3.11 merangkum tanaman generasi pertama untuk bioetanol.
Informasi lebih lanjut tersedia dari Pasha dan Rao (2009) dan Monceaux (2009).

Bahan yang Mengandung Bahan Berpati Bahan Selulosa


Gula
Tebu Biji-bijian (jagung, Kayu
Lobak gandum, triticale) Residu pertanian (jerami,
sorgum tanaman akar (kentang, brangkasan)
keju whey singkong) Sampah kota
Buah-buahan Inulin (polyfructan) Limbah kertas, pulp
Limbah industri gula tanaman akar
(Sawi putih, artichoke)

Tanaman
(Biomassa untuk Produksi
Bioetanol

Gula Pati

Akar Rumput Sereal Gandum Umbi


Lobak Sorghum Jagung Singkong
Tebu Gandum Barley dan Kentang
Rye,
Sorghum triticale
Gambar 3.11 Generasi pertama untuk produksi bioetanol.

Bahan sukrosa didominasi oleh tebu ( Saccharum sp.) dan lobak (Beta
vulgaris L.), sementara sumber bahan berbasis pati didominasi dari tanaman
sereal seperti jagung, gandum dan sereal lainnya. Bahan baku berbasis gula untuk
produksi bioetanol termasuk tebu, lobak dan sorgum manis dan tanaman ini
merupakan sumber gula yang mudah difermentasi (terutama terdiri sukrosa,
fruktosa dan glukosa) sementara pati sereal memerlukan pra-hidrolisis untuk
memperoleh gula yang dapat difermentasi oleh ragi. Dengan demikian, fermentasi
dapat dilakukan tanpa hidrolisis satau pretreatment lain karena gula tersedia
dalam disakarida (mengandung satu molekul glukosa dan satu molekul fruktosa)
yang dapat dimetabolisme langsung oleh enzim dalam ragi. Untuk alasan ini,
konversi bahan baku sukrosa adalah yang paling mudah dan paling efisien
dibandingkan dengan bahan baku lain dan biaya proses yang relatif rendah
dibandingkan dengan harga komoditas.

Gula sederhana lain yang mengandung bahan adalah air dadih, produk
samping dari proses pembuatan keju. Air dadih mengandung sekitar 5% b/v
laktosa yang merupakan disakarida dari glukosa dan galaktosa. S. cerevisiae tidak
bisa langsung memfermentasi laktosa (karena kurangnya β-galaktosidase dan
enzim laktosa-enzim lainnya) kecuali laktosa dihidrolisis menjadi komponen
monosakarida atau ragi yang dimodifikasi secara genetik. Beberapa lactose- alami
untuk fermentasi ragi memang ada, terutama Kluyveromyces marxianus , namun
sampai saat ini mereka hanya telah digunakan pada skala besar untuk fermentasi
etanol (misalnya. Di Irlandia, Selandia Baru dan Amerika Serikat (California dan
Minnesota).

Tabel 3.12 menunjukkan konstituen untama makromolekul sebagian besar


tanaman tepung. Tanaman utama untuk produksi bioetanol di Amerika Utara
adalah Zea mays (jagung, atau jagung), sementara di Eropa itu adalah gandum. Di
US (> 80%) jagung dibudidayakan di pertengahan barat negara (terutama Iowa,
Illinois, Minnesota, Nebraska dan Indiana - lihat NCGA, 2010). Tanaman seperti
tinggi di pati yang digambarkan sebagai alpha-polysaccahride yang terdiri dari
monomer D-glukosa yang ada dalam dua bentuk: amilase dan amilopektin (lihat
Gambar 3.43).

Unsur Jagun Gandu Jela Sorghu Gandu Singkon kentan


(% b / g m i m m hitam g g
b)
Pati 65-72 57-70 52- 72-75 55-65 65-82 14-24
Gula 2.2 - 64 - - 0.25 1.5
9-12 12-14 - 11-12 10-15 2-3 0,6-3,5
Protein 4.5 3 10- 3.6 2-3 0.8 0,1
Lemak 9.6 11.4 11 - - - 2
Dindin 2,5-
g sel - - 3 - - 4.6 -
Bahan 14
Serat 1.5 2 1.7 2 2-5 0,6-1,1
Abu -

2.3
Tabel 3.12 Komponen utama dari bahan baku berbasis pati untuk bioethanol
[Dari Monceaux 2009]

Produksi bioetanol dari biji-bijian sereal terdiri dari tahap utama berikut:
penggilingan, hidrolisis pati, fermentasi ragi, distilasi (untuk ~ 95% etanol) dan
menghilangkan air dari etanol (99,9% atau absolut etanol). Hal ini dimungkinkan
untuk menghasilkan etanol anhidrat 1L dari ~ 3kg gandum. Tabel 3.13
membandingkan hasil etanol potensial dari pati khas dan tanaman gula, gandum
dan lobak. Dapat dilihat dengan jelas dalam hal ini bahwa gandum menghasilkan
tingkat yang lebih besar dari etanol bila dibandingkan dengan lobak berdasarkan
beratnya, tapi itu secara areal, lobak lebih produktif.

Parameter Gandum Lobak


Kadar air (%) 20 76
Pati / rendemen (%) 76 69
Pati / rendemen / t (kg) 608 166
yield etanol (L / t) 374 100
menghasilkan energi (GJ / t) 7.85 2.19
Tanaman hasil (t / ha) 8.4 55
yield etanol (L / ha) 3.141 5.500
Energi per hektar (GJ / ha) 66 116.6
Biaya bahan baku € / t 100 50
Biaya bahan baku € / L etanol 0,267 0.50
Tabel 3.13 parameter kunci untuk produksi bioetanol dari pati dan
gula
Tanaman tepung utama lainnya termasuk Hordeum vulgare (barley), Sorghum
bicolor , Triticale (hibrida gandum ( Triticum ) dan gandum hitam ( Secale ) yang
awalnya dibesarkan di laboratorium Skotlandia dan Swedia pada akhir abad ke-
19) dan singkong. " Sugarcorn ", sebuah hibrida silang antara tebu dan jagung
sedang dikembangkan oleh Perusahaan US, Targeted Growth Inc (
www.ethanolproducer.com, Januari 2009).

Akar tanaman yang kaya inulin seperti Yerusalem artichoke juga telah dianggap
memiliki potensi sebagai bahan baku bioetanol karena mereka dapat ditanam di
tanah miskin hara. Inulin adalah polyfructan (polimer dari β-2,1 terkait monomer
fruktosa) yang dapat dihidrolisis oleh inulinases untuk memfermetnasi fruktosa,
atau langsung difermentasi oleh ragi tertentu (misalnya. Kluyveromyces
marxianus ).

3.2 Bahan Baku Generasi Kedua (Berbahan dasarkan Selulosa)

Penggunaan bahan baku generasi pertama yang memenuhi tuntutan produksi


biofuel masa depan akhirnya tidak berkelanjutan dan ada keterbatasan produksi
etanol berbasis gula dan pati. Sebagai contoh, jika AS menggantikan semua
bensin dengan etanol 10%, sekitar 46% dari tanaman jagung akan diperlukan dan
ini jelas tidak bisa dipertahankan. Non-pangan, atau generasi kedua adalah bahan
baku untuk bioethanol ketersediaannya di masa depan, pertimbangan etis dan
ekonomi yang menguntungkan.

Bahan baku generasi kedua untuk produksi bioetanol biasanya merujuk pada
sumber-sumber biomassa non-pangan, biomassa terutama lignoselulosa. Ini
merupakan bentuk karbon yang paling berlimpah di Bumi (diperkirakan produksi
tahunan pada 1010 MT, Sanchez dan Cardona, 2008), dan mencakup 2 kategori
utama bahan baku:
1. Bahan limbah (jerami, residu jagung (brangkasan, serat dan tongkol),
limbah kayu / keping, dari residu hutan, kertas lama/ karton, ampas tebu,
biji-bijian, sampah kota, residu pertanian (minyak pulp, lobak).
2. Tanaman seperti (semak belukar, misalnya Salix viminalis ) dan Miskantus
gigantum , ilalang ( Panicum vigratum ), buluh rumput kenari ( Phalaris
arundinaceae ), raksasa buluh ( Arundo donax ), rumput ryegrass, dll)
yang tumbuh di lahan pertanian rendah dan lahan industri yang
terkontaminasi.

Tabel 3.21 Merangkum Beberapa Parameter Bahan Baku Utama Lignoselulosa


untuk Produksi Bioethanol.

Bahan Baku Lokasi Utama Ketersediaan Bioetanol


Global (Est) Potensial Yield
(Est)
Brangkasan Asia, Eropa, 409,5 (Juta T / 274,4 Liter / Ton
Jagung Amerika Utara Tahun)
Asia, Australia, 257,4 Liter / Ton
Jerami Gandum Amerika Utara, 702,9 (Juta T /
Eropa Tahun)
Asia, S. Amerika 314,2 Liter / Ton
Ampas Tebu Di Seluruh Dunia 170-486 Liter /
Sampah Kota (173 Negara) 564,4 (Juta T / Ton
[Dilaporkan Oleh Tahun)
Shi et al. (2009) 500-1500 (Juta T /
Bahwa Tahun)
82900000000 Liter
Ethanol Mungkin]

Residu dari pengolahan jagung (corn) termasuk brangkasan jagung yang terdiri
dari tangkai jagung dan daun. Untuk setiap kg jagung dipotong, hampir jumlahnya
sama dengan jerami yang tersisa. Ini dapat dimanfaatkan dalam praktek pertanian
untuk mencegah erosi tanah, tapi proses sakarifikasi simultan dan fermentasi
(SSF) (lihat Bab 4) dapat digunakan untuk menghasilkan bioetanol dari jerami.
Namun, jumlah lignin di brangkasan sangat tinggi dan bervariasi antara 17-26%
berat kering. Masalah lain dalam mengkonversi biomassa selulosa menjadi etanol
meliputi: pengumpulan, pretreatment dan konversi.
Energi dari Tanaman

Tanaman ini tumbuh cepat yang dapat dimanfaatkan untuk produksi bioetanol dan
yang tidak
dimanfaatkan sebagai sumber makanan. Contoh:
 Ilalang ( Pancium virgatum ) adalah tanaman C4 abadi tumbuh di Amerika
Serikat saat ini sebagai tanaman pakan ternak atau untuk proses
penghilangan lignin untuk produksi bioetanol.
 Reed canary grass ( Phalaris arundinacea L ) adalah rumput yang tumbuh
secara luas. Batangnya mengandung komponen (berat kering) terdiri:
heksosa (38-45%); pentosa (22-25%); lignin (18-21%)
 Alfalfa ( Medicago sativa L ) terdiri terutama selulosa, hemiselulosa,
lignin, pektin dan protein.
 Miskantus giganteus x (hybrid dari M. sinensis dan M. sacchariflorus )
adalah rumput dengan kebutuhan fertilzers dan pestisida rendah dengan
berbagai pertumbuhan temperatur. Sebelumnya digunakan sebagai
lansekap hias, tapi sekarang sumber biomassa yang menarik untuk biofuel.
Misalnya, potensi etanol dari miscanthus sekitar dua kali lipat dari jagung
secara areal
(Dari Arshadi & Sellstedt, 2008; Panjang, 2006; Grooms, 2008; Pilgrim, 2009;
Pyter et al, 2009)

Lignoselulosa: selulosa, hemiselulosa dan lignin

Biomassa kayu terdiri komponen utama dari selulosa, hemiselulosa (yang


keduanya akan dihidrolisis dan kemudian difermentasi) dan lignin (yang tidak
dapat dikonversi ke gula). Gambar 3.21 memberikan struktur dasar dari
komponen ini dan Tabel 3.22 merangkum komposisi lignoselulosa dari sumber
utama biomassa. Dalam konteks produksi bioetanol, "biomassa" mengacu
phytomass (pohon, tanaman) yang memiliki formula rasio mol unsur-unsur utama:
CH1,4O0,6 , sementara impiris formula kimia konstituen utama biomassa adalah:
Selulosa C6H10O5 ; Hemiselulosa C5H8O4 ; Lignin C6H11O2 .

Selulosa digambarkan sebagai beta-polisakarida glukosa (ikatan di β-(1,4))


dengan rata-rata molekul massa ~ 100,000Da dan polimer hemiselulosa kompleks
(bercabang) dengan rata-rata molekul massa 30,000Da terdiri dari xylose dan
arabinose (gula pentosa) dan glukosa, manosa dan galaktosa (gula heksosa). Kayu
lunak(softwoods), rantai punggung gula hemiselulosa adalah mannose dengan
glukosa dan galaktosa pada sisi-rantai; sementara kayu keras (harwoods) dan
rumput, rantai punggung adalah xilan dengan rantai sisi arabinose dan asam
glukuronat. Jenis hardwood (misalnya. Salix) beberapa unit xilosa adalah asetat
(kelompok -OH digantikan oleh kelompok O-asetil) dan selama pretreatment
(lihat 3.4) ini dapat menghasilkan asetat asam tinggi yang dapat menghambat
fermentasi oleh ragi.

Biomassa atau limbah Selulosa Hemiselulosa Lignin


Pohon
 Kapuk 45-50 17-19 18-26
 Eucalyptus 50 13 28
 Pinus (Cemara) 44 23 28
 Salix (kayu) 43 22 26
Rumput
 Ilalang 31-45 20-30 12-18
 Rumput Bermuda 25 36 6
 Rumput Gandum 25-40 35-50 10-30
Kertas
 Kertas Kantor 69-99 0-12 0-15
 Koran 40-55 25-40 18-30
 Pulp 60-70 10-20 5-10
Makanan / limbah pertanian
 Bonggol jagung 45 35 15
 Brangkasan jagung 38-40 22-28 18-23
 Serat jagung 14 17 8
 Jerami gandum 30-38 21-50 15-23
 Sekam padi 24 27 13
 Ampas tebu 38 27 20
 Kulit kacang 25-30 25-30 30-40
 Daun-daun 15-30 80-85 0
 Kotoran ternak 1,6-4,7 1,4-3,3 2,7-5,7
Limbah lainnya
 Sampah 60 20
20
 Utama 8-15 NA
24-29
Air Limbah
 Padatan 33 9
17
 Padatan Perkotaan
 Limbah (MSW) 62 5 11
 Pulp kertas MSW
Tabel 3.22 Komposisi beberapa sumber lignoselulosa (% berat kering)
[Informasi dari Sun dan Cheng, 2002 dan Mosier et al, 2005; Zhang et al, 2009;
Goyal et al, 2008; Sassner et al, 2008; bio-process.com/wp-
content/uploads/2009/12/MSW.pdf ]

Xilosa dan arabinosa yang dipolimerisasi dalam bentuk xylan dan arabinan,
masing-masing membentuk arabinoxylan (heteropolisakarida kompleks - lihat
Gambar 3.22) dan Tabel 3.23 memberikan komposisi proporsional polimer ini
dalam bahan baku yang berbeda.

bahan baku % Xylan %


arabinan
Ryegrass 16 5
Brangkasan jagung 19 3
Dedak gandum 19 15
Jerami gandum 21 3.4
Sekam Barley 20 9
Kayu Keras 15 1
Kayu Lunak 5 2
Ampas Tebu 26 1.5
Koran 4.3 0.8
Tabel 3.23 Xylan dan komposisi arabinan sumber lignoselulosa
yang dipilih (Beberapa informasi dari Esterbauer, 1986)

Lignin (lihat Gambar 3.21) adalah sel sekunder tanaman yang sangat keras,
material yang terdiri dari jaringan 3-D dari di- dan mono-methoxylasi, dan unit
non-methoxylasi fenilpropanoid (berasal dari yang p-hidroksiamil akohol).
Hidrolisis asam dari lignoselulosa biomassa, dalam tersisa lignin, tetapi sebagian
dari itu (yaitu lignin juga larut) dapat dilepaskan ke larutan hidrolisis. Untuk
proses produksi bioetanol, beberapa dampak merugikan dari komponen lignin
yang larut meliputi menghambat selulase dan menghambat proses fermentasi
(karena pembentukan pretreatment berasal dari produk degradasi fenol - lihat Bab
4).

Selain komponen utama lignoselulosa (yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin)


dari berbagai sumber biomassa pada Tabel 3.22, komponen kecil lainnya seperti
abu (anorganik mineral), pektin (polisakarida yang sangat-bercabang asam
galacturonic dan metil ester-nya), asam dan ekstraktif (ekstraseluler, non-sel
bahan dinding).
Gambar 3.21 struktur dasar dari komponen lignoselulosa: lignin, hemiselulosa
dan selulosa

Gambar 3.22 Struktur dasar dari arabinoxylan (panah menunjukkan situs


serangan enzim xilanase)
Bahan baku selulosa lainnya/bahan baku termasuk limbah makanan dan sisa
pengolahan makanan minuman (Kim dan Dale, 2004). Misalnya, butir padi-
padian, residu yang tersisa setelah ekstraksi wort adalah produk samping dari
pembuatan dan penyulingan bir menyediakan biomassa lignocelluose sebagai
potensi sumber gula untuk fermentasi bahan bakar ethanol. White et al (2008)
telah menunjukkan bahwa asam encer dan perlakuan enzim dapat mengkonversi
fraksi hemiselulosa dan selulosa menjadi glukosa, xilosa dan arabinosa.
Fermentasi hidrolisat ini dengan non-Saccharomyces ragi seperti Pichia stipitis
dan Kluyveromyces marxianus menghasilkan hasil konversi etanol yang
menguntungkan (g etanol / g substrat).

Penelitian bioteknologi dan teknologi kimia memegang kunci peningkatan masa


depan untuk perkembangan produksi bioetanol yang berkelanjutan dari biomassa
lignoselulosa.

3.3 Bahan Baku Bioetanol dengan Potensinya di Masa Depan

Makroalga laut (rumput laut) menuntut penggunaan minimal pada bidang


pertanian dan air bersih untuk budidaya, dan mewakili sumber daya yang menarik
biomassa untuk bioetanol (Horn dkk, 2000a; 2000b). Daya tarik mereka sebagai
sumber biomassa untuk biofuel berasal dari kenyataan bahwa rumput laut
memiliki tingkat pertumbuhan dan produksi primer dengan tarif jauh melebihi
daripada tanaman terestrial. Sebagai input rendah, biomassa yang tinggi
menghasilkan rumput laut yang dapat mewakili contoh generasi ketiga bahan
baku untuk produksi bioetanol. Rumput laut coklat (Phaeophyta) khususnya
mengandung polisakarida yang menyimpan substrat untuk degradasi mikroba.
Mereka mengandung jumlah karbohidrat yang tinngi seperti asam alginat
(struktural) dan laminaran dan manitol (penyimpanan) yang berpotensi dapat
difermentasi menjadi etanol. Alginat biasanya dibuat 30-40% dari berat kering
rumput laut coklat raksasa (kelp). Laminarin adalah polisakarida linear dari 1,3-β-
D-glucopyanose dan dapat relatif mudah dihidrolisis untuk fermentasi glukosa.
Tidak seperti biomassa lignoselulosa, mereka memiliki tingkat lignin rendah dan
mereka lebih setuju membuat selulosa untuk biokonversi sebagai bahan bakar
energi dibandingkan tanaman darat. Fermentasi dari hydroysates berasal dari
tumbuh cepat Macrocystis spp dan Laminaria spp memegang potensi terbesar
untuk bioetanol makroalga laut (misalnya. Lihat www.ba-lab.com).
Zat lain yang ada dalam jumlah besar di laut adalah kitin yang merupakan
polisakarida yang terdiri dari monomer N-asetil glukosamin. Kitin adalah zat
semi-transparan, sangat sulit ditemukan secara alami di eksoskeleton kepiting,
lobster dan udang. Strukturnya menyerupai selulosa kecuali satu gugus hidroksil
digantikan oleh sebuah gugus asetil amina. Ini telah digambarkan sebagai
"selulosa laut" dan juga memiliki potensi untuk biokonversi menjadi komoditas
kimia, termasuk etanol.

Produksi terbatas bioetanol juga dimungkinkan dengan mengolah


"sampah" minuman beralkohol seperti, Bir (misalnya Merrick & Co, Colorado,
USA - www.ethanolproducer.com 6 Juni 2008). Limbah panggang makanan
(misalnya Roti) juga memiliki potensi untuk biokonversi untuk bahan bakar
alkohol (misalnya Perusahaan Finlandia St1 Biofuels, www.st1.eu)

Produk sampingan utama dari produksi biodiesel adalah gliserol, yang


memiliki potensi untuk dikonversi menjadi etanol oleh bakteri tertentu (lihat
Dharmadi dkk, 2006) dan ragi seperti Candida magnoliae,
Zygosaccharomycesrouxii dan Pachysolen tannophilus (lihat www.glyfinery.net).

Sampah Padat
Bentuk lain dari bahan limbah yang berpotensi difermentasi termasuk
sampah kota (MSW) yang dikumpulkan untuk pembuangan oleh komunitas
perkotaan di negara-negara maju. MSW mewakili salah satu sumber biaya bahan
baku termurah untuk produksi bioetanol selulosa. Ini terdiri dari: kertas / karton,
dapur dan sampah organik vegetasi dan memiliki nilai kalor yang lebih tinggi dari
12,7 MJ / kg kering. Oleh karena itu ada peluang untuk gabungan pembuangan
dan pemulihan energi dari MSW. Telah dilaporkan (Shi dkk, 2009) bahwa >80
miliar liter MSW selulosa kertas yang diturunkan etanol dapat diproduksi di
seluruh dunia. Hal ini akan mengakibatkan menggantikan lebih dari 5% dari
bensin global yang konsumsi.

Beberapa fasilitas percontohan sedang mengembangkan rute baru untuk


bioetanol dari kedua limbah komersial dan biodegradeable limbah padat (BMSW)
(lihat: www.biofuelstp.eu/bioethanol ; www.biofuelstp.eu/spm2 / PDF /
poster_PERSEO.pdf; Li dan Khraisheh, 2009) dan sebuah perusahaan Kanada
(Greenfield Etanol Inc, Edmonton, Alberta) sedang mengembangkan salah satu
fasilitas MSW-to-ethanol pertama. [Produser Etanol Majalah, 1/7/08].

3.4 Pengolahan Bahan Baku

Pertimbangan penting untuk pengolahan bahan baku bioetanol termasuk


pra-pengolahan, pra-perawatan; hidrolisis, dan kontrol kontaminasi mikroba.
Bagian berikut mencakup fitur pengolahan yang menonjol untuk tebu, jagung dan
bahan baku lignoselulosa.

3.4.1 Pengolahan Tanaman Gula

Tebu mengandung ~ 15% sukrosa dan sekali ini menekankan dari


penyokong berikut memotong dan memotong-motong untuk mudah difermentasi
oleh Saccharomyces ragi. Jus dapat diproses baik menjadi kristalgula atau
langsung difermentasi menjadi etanol, sebagai per banyak tanaman industri di
Brazil (lihat Gambar 3.41).

Tebu Tekanan Jus (16-18% total padatan)


Air
Fermentasi
Ampas Tebu substrat (18-
20% total
padatan)

Kristal Molase
Sukrosa
(50-60% total padatan) Bioetanol
Gambar 3.41 Pengolahan Gula Tebu Untuk Fermentasi Bioetanol Brasil

Untuk produksi gula, jus diklarifikasi dengan kapur dan menguap untuk
membentuk kristal yang disentrifugasi, meninggalkan cokelat cair manis oleh-
produk yang dikenal sebagai molase. Molase merupakan medium fermentasi yang
hampir lengkap karena terdiri gula (sukrosa, glukosa, fruktosa), mineral, vitamin,
lemak asam, asam organik dll (lihat Tabel 3.41). nitrogen tambahan dalam bentuk
di-amonium fosfat dan umumnya ditambahkan. Semakin sukrosa dari batang tebu
yang dihapus karena gula kristal produksi, kualitas molase berkurang dan
beberapa tetes mengandung kelebihan kadar garam dan inhibitor yang dihasilkan
selama perawatan panas (furfural, asam format dan produk reaksi pencoklatan).
Untuk fermentasi bioetanol, molase diencerkan dengan total gula 20-25% (diukur
dalam oBrix) dilakukan dengan asam sulfat dan dipanaskan sampai 90°C untuk
penghilangan pengotor sebelum pendinginan, sentrifugasi, penyesuaian pH dan
penambahan ragi.
Jus tebu leih baik dapat langsung difermentasi, penjelasan sebagai berikut
(105°C) perlakuan panas, atau dicampur dengan molase dalam proporsi yang
berbeda. Konstituen di molase yang penting untuk produksi bioetanol meliputi:
kadar gula: gula% (b / b) dan derajat Brix (o Brix), warna, total padatan, berat
jenis, minyak mentah, protein, amino bebas nitrogen, total lemak, serat, mineral,
vitamin dan zat-zat beracun untuk ragi.
Produksi gula, jus diklarifikasi dengan kapur dan penguapan untuk membentuk
kristal yang disentrifugasi. meninggalkan cairan cokelat manis dari produk yang
dikenal sebagai molase. Molase merupakan medium fermentasi hampir lengkap
karena terdiri dari gula (sukrosa, glukosa, fruktosa), mineral, vitamin, asam
lemak, asam organik dll (lihat Gambar 3.14). Penambahan nitrogen dalam bentuk
di-amonium fosfat dan pada umumnya ditambahkan. Sukrosa berlebih dari batang
tebu yang dihilangkan karena produksi gula kristal yang memiliki kualitas molase
rendah dan beberapa tetes tebu mengandung kelebihan kadar garam dan inhibitor
diproduksi selama perawatan jantung (furfural, asam format dan produksi reaksi
pencoklatan). Untuk fermentasi bioetanol, molase diencerkan pada total gula 20-
25% (diukur dalam oBrix) diolah dengan asam sulfat dan dipanaskan sampai 90oC
untuk menghilangkan pengotor sebelum pendinginan, sentrifugasi, penyesuaian
pH dan penambahan ragi.

Sari tebu baik langsung difermentasi, diklarifikasi berikut panas (105oC)


pengolahan atau dicampur dengan molase dalam proporsi yang berbeda.
konstituen molase yang penting untuk produksi bioetanol meliputi: kadar gula:
gula% (b / b) dan derajat Brix (oBrix), warna, padat total, berat jenis, protein
kasar, nitrogen amino bebas, total lemak, serat, mineral, vitamin dan zat-zat
beracun untuk ragi.

Ragi S. cerevisiae adalah mikroorganisme dominan yang digunakan dalam molase


industri fermentasi, adapun ragi yang lain seperti Kluyveromyces marxius dan
bakteri Zymomonas mobilis, memiliki potensi dalam hal ini (Senthil Kumar dan
Gunasekaran, 2008).

Komposisi Sari tebu g/L Gula tebu g/kg Tetes gula bit
g/kg
Padatan total 140-190 735-875 759-854
Gula total 105-175 447-587 477-530
Sukrosa 98-167 157-469 443-530
Mengurangi gula 60-11 97-399 1,2-10
Rafinosa - - 4,7-21
Nitrogen 0,08-0,3 0,25-1,5 1,3-2,3
Fosfor 0,02-0,1 0,3-0,7 0,15-0,52
Kalium 0,7-1,5 19-54 15-52
Kalsium 0,1-0,5 6-12 0,75-3,8
Magnesium 0,1-0,5 4-11 0,1-2,7
Tabel. 3.14 komposisi sederhana berbasis bahan baku gula untuk produksi
bioethanol
3.4.2 Pengolahan tanaman sereal

Pengolahan bahan berbasis pati, pengolahan sereal, pencairan pati dan amylolysis
adalah tahapan utama sebelum fermentasi. Di Amerika Utara, proses jagung
dibedakan emnjadi 2: penggilingan kering dan basah (lihat gambar 3.42).
Penggilingan basah, kernel jagung direndam dalam air (atau asam encer) untuk
memisahkan sereal ke dalam tepung, gluten, protein, minyak dan serat sebelum
konversi pati menjadi etanol. Penggilingan kering, dari US bioetanol dibuat dari
karnels jagung yang ditumbuk halus dan diproses tanpa fraksinasi menjadi
beberapa bagian. Perkembangan terakhir dari kedua proses yaitu penggilingan
kering dan basah telah dibahas oleh O'Brien dan Woolverton (2009).

Jagung Digiling Jagung Direndam

degerm/defiber miny
kass

pemisahan gluten
Enzim dicairkan
Enzim dicairkan

Enzim saccharify dan Enzim saccharify


fermentasi
Pati (SSF) Pati fermentasi

penyaringan
penyaringan
pengeringan dikeringk
pengeringan dikeringkan Etanol pakan jag
gluten
Etanol Distiller’s
dried Grains

Gambar 3.42 proses penggilingan kering dan basah jagung untuk bioethanol
(Abbas, 2010)

Tahap utama pabrik dalam proses bioetanol kering meliputi:


1. Penggilingan (kernel jagung digiling menjadi bubuk halus atau makanan
2. Pencairan (air ditambahkan ke jagung dan suhu meningkat di mash untuk
melarutkan pati)
3. Sakarifikasi (hydrolysis enyzymatic pati dibedakan menjadi gula
sederhana, terutama glukosa)
4. Fermentasi (pati hidrolisat difermentasi oleh ragi untuk etanol, CO2 dan
metabolit sekunder)
5. Distilasi (difermentasi, atau bir, sekitar 10% v/v etanol disuling -96% v/v
etanol dengan residu padat diolah menjadi pakan ternak)
6. Dehidrasi (air yang tersisa di distilat etanol dihilangkan dengan saringan
molekul untuk menghasilkan etanol anhidrat)

Hidrolisis Pati
Pati yang akan dikonversi menjadi etanol oleh ragi (S. cerevisiae) itu harus de-
dipolimerisasi untuk sakarida konstituen seperti glukosa dan maltosa. Di
indrustries minuman tradisional fermentasi seperti pembuatan bir, sebagian
dicapai dengan menggunakan enzim endogen, terutama alfa dan beta-amilase,
hadir dalam barley malt. Namun, untuk produksi bioetanol, lebih lengkap
hidrolisis pati diperlukan (lihat Gambar 3.44) dan dilakukan dengan menggunakan
eksogen (mikroba berasal) enzim amilolitik termasuk enzim bercabang seperti
amiloglukosidase (atau glukoamilase).

Pati alpha-polysaccahride terdiri monomer D-glukosa yang diatur dalam dua


format dasar: amilosa dan amilopektin (lihat Gambar 3.43) dan pati tanaman
umumnya mengandung 10 sampai 25% amilosa dan 75 sampai 90% amilopektin
(tergantung pada sumber biomassa).

Enzim industial digunakan sebagai alat bantu pengolahan pati untuk etanol
biokonversi (lihat Gambar 3.42) diproduksi oleh mikroorganisme (seperti bakteri
Bacillus spp., dan seperti jamur Aspergillus spp.) tumbuh di tangki fermentasi
tertutup oleh perusahaan spesialis (misalnya. Novozymes, Genecor). Produksi
industri dan pemurnian enzim amylatic untuk produksi bioetanol telah dibahas
oleh Nair et al, 2008).
Aplikasi Tipe Enzim
Pencairan α-and β- amylases
sakarifikasi Amyloglucosidases (Glucoamylases)
Glucanases
pengurangan viskositas Cellulases
Xylanases
Tabel 3.42 Enzim yang digunakan untuk
konversi pati-ke-etanol.

Amilosa
(Glukosa terkait dalam rantai lurus alpha 1,4 ikatan
glikosidik dan hidrolisis enzimatik oleh α- dan β-
amilase terutama untuk maltosa dan glukosa yang
difermentasi oleh ragi)

Amilopektin
(Glukosa terkait dalam rantai lurus alpha 1,4 dan rantai
bercabang 1,6 ikatan glikosidik hidrolisis enzimatik
oleh α- dan β-amilase dan amiloglukosidase terutama
untuk glukosa yang difermentasi oleh ragi)

Gambar 3.43 Struktur dari Amilosa dan Amilopektin

Jagung Kernel

Mikroba
Pati minyak mentah
amilase

Konversi sirup

Ragi
Fermentasi

Distilasi

Bioetanol
Gambar 3.43 Penggunaan enzim amilolitik dalam proses bioetanol
jagung

Proses gandum-ke-etanol berbagi kesamaan dengan proses jagung yang dijelaskan


di atas dan Gambar 3.44 merangkum tahap utama yang terjadi di biorefinery
gandum utama.

GANDUM Palu penggilingan Memasak Menumbuk


dengan α-amilase
(120-140 ° C) (80-
90°C)

SSF*
(pH 4-6; 30-35°C;
urea/nutrient lain;
glukoamilase; ~50 jam)

Distilasi
(Bir di ~10%
ethanol)

saringan molekuler
(Zeolit)
ETANOL ANHIDRAT Perbaikan kolom
distilasi
(Etanol di ~ 96% v /
v)
[*SSF = Sakarifikasi and Fermentasi Serempak]
Gbr 3.44 Diagram alir proses bioetanol gandum khas

3.4.2 Pembuatan Lignosellulosa


3.4.2.1 Perlakuan Awal Lignosellulosa
Untuk pengolahan bahan berbasis lignoselulosa untuk produksi bioetanol, lebih
kompleks dan diperlukan tuntutan teknologi karena sulit, sifat bandel bahan
dibandingkan dengan gula dan
biomassa berbasis pati. Kristalinitas selulosa, dan selubung sebesar hemiselulosa,
bersama-sama dengan lignin "Sealant" semua berkontribusi terhadap
kekeraskepalaan bahan lignoselulosik. Setelah semua Nature ini dirancang untuk
bahan tujuan!
Berikut ini merupakan tahapan utama dalam proses lignoselulosa menjadi etanol:
1. Pra-proses dengan penghilangan mekanik kotoran, puing-puing dan merobek-
robek (misalnya. Brangkasan, jerami, rumput) menjadi partikel yang lebih kecil
(Sokhansanj dan Hess, 2009)
2. Pre-treatment (lihat Tabel 3.43, dan perhatikan bahwa metode pra-pengobatan
tunggal tidak ada untuk semua bentuk biomassa)
3. Pemisahan padat-cair (gula hemiselulosa dipisahkan dari bahan berserat padat
yang mengandung selulosa dan lignin)
4. Hidrolisis selulosa (serangan selulase terhadap kristal selulosa untuk
membebaskan glukosa)
5. Fermentasi (idealnya semua C5 pentosa dan heksosa C6 untuk etanol).
6. Distilasi (pencucian fermentasi, atau bir, didistilasi untuk ~ 96% v / v etanol
dengan padat residu yang terdiri lignin dan ragi mati dibakar untuk energi atau
diubah ke coproducts untuk pakan ternak atau penggunaan agronomi).
7. Dehidrasi (air tersisa di distilat dihilangkan dengan saringan molekuler untuk
memproduksi etanol anhidrat).

Gambar 3.45 menguraikan fitur dasar proses pra-perawatan lignoselulosa.


Pertimbangan rinci teknologi pra-perawatan telah disajikan oleh Pandey (2010),
Laxman dan Lachke (2009), Alvira et al (2009) dan Mosier et al (2005).

Aditif Pra-perawatan Aliran gas

Biomasa Lignoselulosa Pra-perawatan Padatan


selulosa,
hemiselulosa,
lignin, residu

Energi (mekanik, suhu) Cairan


(Oligosakarida, pra-
perawatan
aditif)
Gambar 3.45 fitur dasar pra-perawatan lignoselulosa.

Kriteria berikut merupakan karakteristik dari metode perlakuan awal yang efektif:
• pelestarian gula pentosa dari fraksi hemicellulosic,
• pembatasan produk degradasi lignin,
• minimisasi input energi dan
• bahan biaya rendah dan metode kerja lebih mudah.
Perlakuan awal yang digunakan dapat dibagi menjadi fisik, kimia dan metode
biologi (lihat Tabel 3.43), tapi ada antar-ketergantungan yang kuat dari proses ini.
Tidak ada metode perlakuan awal yang sempurna yang dapat dikerjakan untuk
memperlambat reaksi termasuk bahan kimia inhibitor (asam, furan, fenol), beban
tinggi partikel, energi input tinggi dan pemisahan yang efisien dari gula larut dari
residu padat. kondisi perlakuan awal khusus yang diperlukan untuk bahan baku
individu dan model mekanistik daoat membantu dalam desain rasional proses
tersebut (Zhang et al, 2009). Hal ini penting untuk mengoptimalkan metode
perlakuan awal lignoselulosa karena mereka adalah salah satu langkah paling
mahal di keseluruhan konversi untuk bioetanol. Misalnya, Mosier et al (2005)
melaporkan bahwa biaya perlakuan awal ~ 30 UScents / galon etanol selulosa
yang dihasilkan.

Pada dasarnya, metode perlakuan awal harus membuat selulosa lebih cocok untuk
enzymolysis oleh pengganggu struktur kristal dan untuk melakukan hal ini,
"segel" lignin perlu dipecah.
Metode perlakuan awal Contoh
Fisik Penggilingan (kominusi mekanik),
iradiasi microwave, USG,proses termal
(pirolisis, ledakan uap), proses
termokimia (asam lemah, suhu tinggi),
ekstrusi bahan
Kimia Alkali pretreatment, ekspansi serat
ammonia (AFEX) teknologi, organosolv
(ACOS), pengapuran, sulfur dioksida,
oksidasi basah, CO 2 ledakan, SO 2
ledakan, ozonolysis, H 2 O 2
delignifikasi, fluida superkritis dan cair
perlakuan awal ionik.
Biologis Mikroba (misalnya. Pelapuk putih jamur
seperti Phanerochaete chrysosporium,
Trametes versicolor ) dan enzimatik
(misalnya. peroksidase dan lakase)
pretreatments
(De-lignifikasi).
Tabel 3.43 lignoselulosa perlakuan awal dan fraksinasi teknologi
(Informasi lebih lanjut dari Moesier et al, 2005 dan Alvira et al, 2009)

Dengan cominuting bahan oleh perlakuan awal fisik permukaan diperbesar secara
proporsional untuk volume dan membuatnya lebih mudah diakses untuk enzim
atau bahan kimia yang menghidrolisis substrat. Namun, proses ini menggunakan
banyak energi, biaya yang mahal dan tidak selalu berhasil (Alvira et al, 2009).
Pirolisis dapat memperbaiki bahan lignoselulosa > 300 ° C untuk menghasilkan
produk gas dan sisa arang.
USG (misalnya. 36 KHz frekuensi) dapat digunakan untuk perlakuan awal untuk
meningkatkan kemampuan selulolitik enzim (Ingram dan Wood, 2001).
Ledakan uap (atau hidro-thermolysis, atau autohydrolysis) yang umum digunakan
dan ini melibatkan biomassa dengan uap tekanan tinggi (160-260 ° C, 0,69-4,83
tekanan MPa) diikuti oleh dekompresi cepat untuk menurunkan hemiselulosa dan
lignin untuk mengubah, meningkatkan potensi hidrolisis selulosa.
Air panas (LHW) pereaksi cair dan oksidasi basah (air panas ditambah oksigen)
juga melibatkan suhu tinggi (misalnya. 200 ° C), namun teknologi masukan energi
yang lebih rendah seperti AFEX (amonia fiber / freeze Ledakan yang melibatkan
peresapan dengan amonia tekanan tinggi diikuti oleh dekompresi - lihat Balan et
al, 2009), ARP (perkolasi daur ulang amonia - melihat Kim et al, 2009) dan
ACOS (asam dikatalisis
organosolv sakarifikasi (memasak di alkohol, dengan katalis asam -lihat http: //
acos-biomass-
refining.com /) adalah proses yang menarik.\

Lime perlakuan awal dengan menggunakan kalsium hidroksida dengan suhu


tinggi dan tekanan (lihat Mosier et al, 2005) secara selektif mengurangi isi lignin
dari biomassa tanpa mempengaruhi kandungan karbohidrat.

Gabungan pendekatan fisika-kimia termasuk penggunaan asam klorida pekat


(CHAP) atau
asam sulfat encer pada suhu 200 ° C.

Cairan ionik (misalnya. n-butil-methy-lilidazolium klorida) yang merupakan


garam cair stabil sampai 300 ° C dapat melarutkan selulosa dalam beberapa jam.

Metode perlakuan awal lain termasuk ozonisasi yang telah digunakan secara
efektif untuk meningkatkan serapan enzymolysis (ozon, oksidan kuat, degradasi
lignin dan sedikit solubilises hemiselulosa - lihat Garcia- Cubero et al (2009).

3.4.2.2 Sakarifikasi dan hidrolisis lignoselulosa


Untuk membuat lignoselulosa dapat berfermentasi, perlakuan awal lignoselulosa
memerlukan hidrolisis dan sakarifikasi untuk membebaskan gula yang
difermentasi.

Untuk memaksimalkan rilis gula, perlakuan awal bahan lignoselulosa fraksi


hemiselulosa adalah dengan dikenakan hidrolisis asam ringan diikuti oleh
cellulolysis dengan enzim. Berikut ini adalah contoh dari hidrolisis asam sufat
encer (untuk kayu lunak):
1. 0,7% H 2 SO 4 pada 190 ° C selama 3 menit (untuk memulihkan gula pentosa)
2. 0,4% H 2 SO 4 pada 215 ° C selama 3 menit (untuk lebih selulosa tahan asam)

Penggunaan asam yang lebih terkonsentrasi (misalnya. 30-70% H 2 SO 4 ) dapat


digunakan pada suhu yang lebih rendah (40 ° C), tetapi mereka lebih memakan
waktu (2-6 jam). Berbeda pendekatan untuk hydrolysing lignoselulosa asam sperti
yang telah dibahas oleh Mousdale (2008) dan Anish dan Rao (2008). hidrolisis
asam lignoselulosa memiliki kelemahan utama dalam penghambatan untuk ragi,
tahap fermentasi selanjutnya yaitu diproduksinya degradasi gula (lihat 4.6).
Misalnya, hydroxymethylfurfural (HMF) dari glukosa dan furfural dan asam
asetat dari xylose.

Cellulolysis menggunakan enzim biasanya terjadi pada pH 4.8 dan suhu 45-50 °
C) dan enzim yang dihasilkan (Oleh perusahaan enzim khusus seperti
Novozymes, Genecor, DSM, Danisco) berasal dari bakteri (misalnya.
Cellulomonas Fimi, Clostridium thermocellum, Bacteriodes cellulosolvens ) atau
jamur (misalnya. Trichoderma reesei ).
Berikut tahapan dalam degradasi enzimatik selulosa:
• Adsorpsi enzim ke permukaan selulosa
• hidrolisis enzimatik selulosa untuk membebaskan gula
• Desoprtion selulosa

Selulase menurunkan obligasi β-1,4-D-glukan dalam selulosa untuk dihasilkan


dan didominasi glukosa, dan juga beberapa selobiosa (glukosa disakarida) dan
cello-oligosakarida (lihat Sukumaran, 2008). "Selulase" adalah istilah kolektif
untuk 3 jenis utama dari aktivitas enzim celluloytic:
1. Endo-β-1,4-glukanase (mengekspos mengurangi dan non-mengurangi berakhir
dalam selulosa)
2. Exoglucanases (bertindak untuk mengurangi dan non-mengurangi ujung
selulosa)
- Cellodextrinases (membebaskan glukosa)
- Cellobiohydrolases (membebaskan selobiosa dan cello-oligosakarida)
3. β-Glucosidases (membebaskan glukosa dari selobiosa)

Aktivitas selulase menurun selama hidrolisis dan ini dapat diatasi dengan
menggunakan surfaktan (misalnya. Tween 80, polioksietilena glikol) untuk
memodifikasi sifat permukaan selulosa dan meminimalkan ireversibel pengikatan
enzim. Daur ulang dari enzim dapat meningkatkan cellulolysis dan penurunan
biaya. kegiatan selulase diakhir produk dihambat oleh selobiosa dan glukosa dan
ini dapat dikurangi dengan: menggunakan enzim konsetrasi tinggi seperti β-
glucosidases; ultrafiltrasi untuk menghilangkan gula diproduksi dan SSF (lihat di
bawah).

Tergantung pada sumber lignoselulosa, pendekatan enzymolysis berikut dapat


digunakan:
• SHF hidrolisis dan fermentasi terpisah (biomassa perlakuan awal dengan
selulase)
• SSF (sakarifikasi simultan dan fermentasi)
• DMC (direct konversi mikroba) di mana mikroba fermentasi juga menghasilkan
selulosa

SSF menggunakan, misalnya, jamur Trichoderma reesei bersama dengan ragi S.


cerevisiae , melibatkan fermentasi ragi simultan gula yang dihasilkan oleh jamur
hidrolisis selulosa. Suhu normalnya ~ 38 ° C (antara, 45-50 ° C, dan
fermentasi,30 ° C). Dibandingkan dengan proses SHF 2 tahap, SSF memiliki
keuntungan sebagai berikut: peningkatan hidrolitik tarif oleh pemanfaatan gula
ragi untuk meminimalkan penghambatan selulosa; persyaratan yang lebih rendah
untuk enzim; menurunkan

persyaratan sterilitas; kali lebih pendek untuk bioprocessing dan volume reaktor
yang lebih rendah karena reaktor tunggal
digunakan. Namun, kelemahan meliputi: suhu yang sesuai untuk hidrolisis dan
fermentasi dan penghambatan etanol enzim. Sun & Cheng, 2002; Rudolf et al
(2009)

Pendekatan DMC dapat mencakup produksi selulase, hidrolisis selulosa dan


fermentasi dalam satu
langkah terpadu yang telah disebut konsolidasi bioprocessing (CBP - lihat Lynd et
al, 2005). Bab 4 yang meliputi aspek bioetanol lignoselulosa fermentasi secara
lebih rinci.

3.5 Rute alternatif untuk etanol

Produksi biofuel dari biomassa lignoselulosa dapat dicapai melalui dua jalur
utama:
1. Biologi (seperti dibahas dalam Bab 3 dan 4)
2. Termokimia
Biomassa-to-liquid (BTL) adalah proses yang melibatkan konversi termokimia
memanfaatkan pirolisis / gasifikasi teknologi untuk menghasilkan "syngas" (CO +
H 2 ) yang bertindak sebagai nenek moyang untuk berbagai biofuel, termasuk
bioetanol (misalnya. www.lanzarech.co.nz ; Syntec Biofuel; Enerkem, Rentang
Bahan Bakar; Gulf Coast Energi). Misalnya, pusat Kanada (Enerkem Inc) telah
dilaporkan untuk menghasilkan 360L etanol dari limbah kayu menggunakan
gasifikasi termokimia dan konversi katalitik (lihat Produser Etanol Magazine,
Januari 2009) dan Rentang Bahan Bakar ( http://www.rangefuels.com /) Telah
dilakukan (Agustus 2010) produksi selulosa metanol menggunakan biomassa non-
makanan di Georgia, Amerika Serikat pada tahap pertama dari operasi untuk
akhirnya menghasilkan ~ 230 juta liter etanol. Beberapa bakteri anaerob
(misalnya. Clostridium spp. ) Dapat menghasilkan etanol dari syngas (misalnya.
BRI Energi, Arkansas, USA).

Teknologi tersebut membutuhkan energi bahan bakar fosil yang lebih


dibandingkan dengan rute biokimia untuk etanol. Ini telah dibahas secara lebih
rinci oleh Klass (1998) dan Goyal, et al, 2008) dan tidak fokus di buku ini.

Mengenai produksi etanol dari sumber-sumber non-biomassa, "sintetik" etanol


dari petrokimia sumber yang mapan (misalnya. Pasha & Rao, 2009). Misalnya,
tidak langsung etilena hidrasi menjadi etanol melibatkan tiga-langkah proses
menggunakan asam sulfat:

1. Bahan baku hidrokarbon yang mengandung 35-95% etilena terkena 95-98%


sulfat
asam dalam reaktor kolom untuk membentuk mono dan dietil sulfat.
CH 2 = CH 2 + H 2 SO 4 → CH 3 CH 2 OSO 3 H
2 (CH 2 = CH 2 ) 2SO 2 + H 2 SO 4 → (CH 3 CH 2 O) 2SO 2

2. Kemudian dihidrolisis dengan air yang cukup untuk memberikan 50-60% asam
sulfat encer :
CH 3 CH 2 OSO 3 H + H 2 O → CH 3 CH 2 OH + H 2 SO 4

3. Etanol tersebut kemudian dipisahkan dari asam sulfat encer dalam kolom
stripper. Yang terakhir
langkah dari proses ini adalah untuk berkonsentrasi asam sulfat dan proses
mendaur ulang untuk hidrasi langsung etilena dikomersialkan pada tahun 1947.
Dalam proses ini, etilena-kaya gas dikombinasikan dengan air dan melewati
reaktor katalis, di mana etanol dibentuk sesuai dengan reaksi berikut.
CH 2 = CH 2 + H 2 O → CH 3 CH 2 OH

Etanol tersebut kemudian pulih dalam sistem penyulingan.


Kedua hidrasi langsung dan tidak langsung etilena menimbulkan sesuatu yang
tidak diinginkan sebagai produk seperti eter dietil, yang mengurangi kualitas
etanol.
BAB 4
ASPEK FERMENTASI
4.1. Mikroba untuk Fermentasi

Ragi Saccharomyces cerevisiae merupakan mikroorganisme yang paling dominan dalam


industri bioetanol dan bertanggung jawab atas proses fermentasi alkohol. Organisme ini
juga dikenal sebagai ragi baker atau brewer, merupakan mikrojamur uniseluler yang
memainkan peran penting dalam industri, lingkungan dan kesehatan. Ragi Saccharomyces
cerevisiae telah digunakan sejak ribuan tahun yang lalu pada fermentasi makanan dan
minuman dan merupakan “Pabrik sel” utama pada proses modern produksi bioetanol.

Selain ragi Saccharomyces cerevisiae, ragi non-Saccharomyces juga berpotensi


untuk membantu proses fermentasi bioetanol. Berikut merupakan rangkuman dari
ragi yang dapat digunakan pada fermentasi bioetanol.
Ragi Karakteristik Kerugian
Saccharomyces Mikroba yang paling Tidak mampu
cerevisiae dominan dan mampu memfermentasi gula
memfermentasi turunan pentosa seperti (xylosa,
gula utama dari bahan arabinosa) turunan dari
baku generasi pertama bahan baku lignoselulosa
(glukosa, fruktosa, generasi kedua. Produksi
sukrosa, maltosa) kondisi etanol yang diperoleh dari
dibawah skala besar fermentasi xylosa cukup
proses industi sedikit, sekitar 0,23-0,34
g/g gula
Pichia stipitis, Candida ragi non- Saccharomyces Tidak begitu efektif
shehatae, Kluyveromyces yang mampu dalam menghasilkan
marxianus, Pachysolen memfermentasi gula bioetanol dan lama dalam
tannophilus pentosa (Xylosa dan skala besar proses industri
arabinosa) turunan dari fermentasi
bahan baku lignoselulosa
generasi kedua
Hansenula polymorpha Memfermentasi xylosa Tidak teruji dalam skala
pada tempertatur tinggi industri
Dekkera bruxellensis Ragi “liar” yang Belum banyak
ditemukan pada distilasi dikomersialkan dan
setelah proses fermentasi menunggu pengembangan
yang mampu penelitian untuk
memproduksi etanol pada memanfaatkannya dalam
keadaan tertentu industri
Candida krusei Ragi yang memproduksi Sama seperti Dekkera
etanol level rendah dari bruxellensis
metabolisme fermentasi
kedua seperti asam
sukasinat
Tabel 4.1 Ragi untuk Fermentasi bioetanol

Strains Karakteristik Tipe produktivitas etanol


Non-GM Strains Begitu banyak bakteria Z. mobilis 0,46
etanolgenik yang telah k. oxytoca 0,34-0,42
diketahui diantaranya
(Zymomonas mobilis)
memproduki etanol lebih
efektif dibanding ragi.
Klebsiella oxyfoca juga
diketahui berpotensi
untuk memproduksi
etanol. Tidak dapat
bertahan hidup dalam
lingkungan yang ekstrim
pada perencanaan skala
besar dan etanol yang
diproduksi relatif kecil
GM Strains (Untuk Geobacillus G. stearothermophilus
hidrolisis lignoselulosa) stearothemophilus adalah 0,40
sebuah termofil yang Escherichia coli 0,41
dapat memfermentasi Erwinia chrysanthemi
gula C5 dan C6 termasuk 0,45
polimer pendek dengan
temperatur lebih dari
600C dengan hasil
maksimum -80% secara
teoritis. Geobacillus
stearothemophilus telah
mengalami modifikasi
secara genetik untuk
memproduksi etanol dari
pada laktat dan format.

Escherichia coli (dengan


Z. Mobilis gen yang
mengkode dekarboksilasi
piruvat dan dehidrogenasi
alkohol) dan Erwinia
chrysanthemi (dengan
gen dekarboksilasi
piruvat) juga memiliki
potensi
Tabel 4.2 Bakteri untuk fermentasi bioetanol
Mikroorganisme etanolgenik memiliki peran pada enzim fermentatif,
dekarboksilasi dari banyak ragi, tetapi sedikit pada bakteri. Zymomonas spp
merupakan bakteri yang hanya ditemukan dialam (tanpa teknik genetik)
memproduksi etanol sebagai produk fermentasi utama dibawah kondisi
anaerobik.

Mikroba untuk hidrolisis dan fermentasi lignoselulosa merupakan subjek yang


sedang diteliti secara intensif. Sebagai contoh Mousdale (2008) melaporkan lebih
dari 30 US hak paten didapatkan pada beberapa tahun terakhir untuk teknik
genetik ragi dan bakteri yang dapat memproduksi etanol dari bahan baku.

Strategi manipulasi genetik dengan ragi bioetanol dibuat untuk:


 Memperluas jalur lain metabolik dan memperluas blok metabolik (memperluas
penggunaan substrat oleh kloning gen, fakta menunjukan ketidakseimbangan
redoks, eliminasi/reduksi atau rendahnya regulasi arus balik reaksi penghambat,
mengarahkan aliran C memulai jalur lain untuk meningkatkan efisiensi
 Memanfaatkan transport gula yang terbatas (Penekanan gula dan transport gula)
 Mengatasi keracunan pada proses hidrolisis lignoselulosa
 Mengurangi daur ulang proses air pada fermentasi yang telah disusun (Fermentasi
Gravitasi tinggi)

Catatan, beberapa non-GM mulai meningkatkan kinerja fermentasi dari ragi


bioetanol yang tersedia, termasuk:
 Menggunakan co-cultur fermenting heksosa dan pentosa (S. Cerevisiae+
Pichia stipitis)
 Memilih ragi asli dengan tegangan kuat (Hasil penyulingan yang
tertinggal)
 Mengkondisikan kembali mineral dari ragi (Mempersubur Zn dan Mg)
 Menyuburkan kembali sterol (Pre-oksigenasi, Aerasi ringan)
 Meningkatkan daya tahan etanol (oleh nutrisi etanol beradaptasi pada
keadaan kimia)
Industri fermentasi bioetanol yang ada dan yang muncul, gambar 4.1
menggambarkan karakteristik utama dari mikroba fermenting, dan yang paling
sering ditemukan adalah Saccharomyces cerevisiae.
Gambar 4.1 Hasil yang diinginkan pada ragi bioetanol
4.2 Fermentasi- aspek secara teori
Ragi S. Cerevisiae, adalah organisme utama untuk produksi bioetanol dan
bagaian ini fokus pada aspek ragi secara fisiologi (nutrisi, pertumbuhan dan
metabolisme) yang berperan dalam fermentasi alkohol (untuk informasi lebih
tentang yeast lihat Walker, 1998; 2009; 2010).

Untuk pertumbuhan dan fermentasi, sel ragi membutuhkan nutrisi esensial, yang
dapat dikategorikan menjadi:

 Makronutrisi (Sumber dari karbon, nitrogen, oksigen, sulfur, fosfor,


kalium dan magnesium) dibutuhkan dalam level milimolar pada media
pertumbuhan
 Mikronutrisi (Bersumber dari beberpa elemen seperti Ca, Cu, Fe, Mn, Zn)
dibutuhkan dalam level mikromolar.

Kebanyakan ragi tumbuh dengan baik pada media nutrisi sederhana, yang mana
menyuplai senyawa karbon dan nitrogen yang kuat bersama dengan ion anorganik
dan beberapa faktor pertumbuhan. Akhir-akhir ini senyawa organik dibutuhkan
pada konsentrasi yang sangat rendah untuk katalitik secara spesifik atau fungsi sel
pada ragi, tetapi tidak digunakan sebagai sumber energi. Faktor pertumbuhan
untuk ragi termasuk vitamin, yang mana berperan secara penting sebagai
komponen pada coenzim; purin dan pirmimidin; nukleosida dan nukleotida; asam
amino; asam lemak; sterol; dan senyawa lainnya (poliamin dan kolin).

Kebanyakan ragi tumbuh dengan subur pada suasana panas, lembab, mengandung gula,
asam dan lingkungan aerobik. Secara industri Saccharomyces cerevisiae tumbuh dengan
baik pada suhu 20-300C dan pada pH antara 4,5 dan 5,5. Mengenai kebutuhan oksigen, S.
Cerevisiae tidak menjelaskannya secara tegas, Sebuah Anaerob Fakultatif, dan secara
umum tidak dapat tumbuh dengan baik pada kondisi anaerob. Ini karena oksigen
diperlukan sebagai pendukung dalam biosintesis membran, khususnya untuk biosintesis
asam lemak (asam oleic) dan sterol (ergosterol).

Saccharomyces cerevisiae bereproduksi secara aseksual dengan tunas dan dengan


konjugasi sel, kebalikan dari tipe sebelumnya. Berbentuk elips besar dengan
diameter 5-10 mikrometer dan yang kecil dengan diameter 1-7 mikrometer.
Saccharomyces cerevisiae merupakan mikroorganisme eukariotik yang berbentuk
ultrastruktural dengan bentuk yang mirip dengan sel eukariotik yang lebih tinggi
dan memiliki inti, mitokondria, retikulum endoplasma, badan golgi, vakuola,
mikrobody, dan vesikel sekretorik. Pertumbuhan tunas pada ragi seperti S.
Cerevisiae berkaitan dengan bagaimana transportasi sel, menyerap nutrisi dan
kemudian mengintegrasikan berbagai fungsi komponen dalam sel untuk
meningkatkan masa sel hingga membaginya. Pertunasan dengan sintesis DNA,
diikuti dengan melemahnya dinding sel yang memungkinkan ekstrusi dari
sitoplasma di daerah yang dibatasi oleh material baru dinding sel. Pada S.
Cerevisiae, pertunasan multitelar berasal dari lokasi yang berbeda pada
permukaan sel induk. Pada S. cerevisiae, ukuran sel pada pembelahan adalah
asimetris, dengan tunas menjadi lebih kecil dari sel-sel induk ketika mereka
terpisah. Dibawah kondisi yang ideal (laboratorium-optimal), S. cerevisiae dapat
mereproduksi kira-kira setiap 90 menit, tapi di industri fermenter pertunasan sel
mengambil jauh lebih lama karena perbedaan fisiko-kimia lingkungan yang
ekstrim.

Untuk fermentasi alkohol yang dilakukan oleh S. cerevisiae , prinsipnya gula


difermentasi yang berasal dari bahan baku generasi pertama yaitu: sukrosa,
glukosa dan fruktosa (dalam jus tebu dan molase), glukosa dan maltosa (dalam
hidrolisat pati sereal) dan yang berasal dari bahan baku generasi kedua yaitu
glukosa, xilosa dan arabinosa (Hasil hidrolisis lignoselulosa). Catatan,
bagaimanapun, bahwa S. cerevisiae tidak mudah memfermentasi pentosa (5-
karbon) gula xilosa dan arabinosa dan berbagai mikrobiologi serta pendekatan
genetik molekuler telah diterapkan untuk memungkinkan fermentasi yang efisien
dari senyawa ini (lihat 4.5).

Jalur metabolisme glukosa menjadi piruvat disebut glikolisis (atau, mekanisme


Embden Meyerhof Parnas) dan dapat diringkas sebagai berikut:

Glukosa + 2ADP + 2Pi + + 2NAD + → 2Pyruvate + 2ATP + 2NADH + + 2H +

Di mana ATP = adenosin tri fosfat (energi biologis)


NAD = Nicotinamide adenine dinukleotida (co-enzim yang terlibat dalam
oksidasi biologi dan pengurangan; NAD + adalah bentuk teroksidasi
dan NADH adalah bentuk tereduksi)
Pi = Fosfat anorganik

Dalam stoikiometri kimia, secara teoritis menjadi etanol dari glukosa menjadi
bioetanol adalah sebagai berikut:

C6H12O6 → 2C2H5OH + 2CO2


Glukosa Etanol Karbon dioksida
180kg 92kg 88kg

Untuk setiap kilogram gula yang difermentasi, sekitar 470g etanol dapat
diproduksi (yaitu <50%) mewakili hasil dari 92% dari nilai maksimum secara
teoritis. Namun, dalam praktiknya industri fermentasi, hasil terbaik diperoleh
hanya sekitar 90% dari konversi teoritis ini (misalnya. menggunakan tetes tebu
sebagai bahan baku).
Hal ini dikarenakan fermentasi karbon dialihkan ke biomassa ragi baru dan
metabolit fermentasi minor (Asam organik, ester, aldehid, minyak fusel dll).

Keseluruhan mekanisme glukosa menjadi etanol, yang melibatkan fermentasi


enzim, diringkas dalam Gambar 4.2. Reaksi individu enzim-katalis glikolitik telah
dihilangkan untuk kejelasannya. Lebih detail biokimia, dapat dinyatakan bahwa
fermentasi ragi dapat menggunakan gula tanpa adanya oksigen sebagai donor
elektron , akseptor elektron, dan sumber karbon. Dalam melakukannya, S.
cerevisiae mengoksidasi kembali co-enzim tereduksi NADH ke NAD+ dalam
tahap reaksi yang berasal dari piruvat.
Gambar 4.2. mekanisme glukosa menjadi etanol, yang melibatkan fermentasi
enzim
Pada bagian pertama dari reaksi fermentasi, piruvat didekarboksilasi menjadi
asetaldehida (dikatalisasi oleh piruvat dekarboksilase), yang akhirnya direduksi
dengan dehydrogenase alkohol menjadi etanol sebagai berikut:

CH3 COCOOH → CH3CHO + CO2 → CH3CH2 OH


piruvat Asetaldehida + CO2 etanol

Enzim 1 Piruvat dekarboksilase


Enzim 2 Alkohol dehidrogenase

Regenerasi NAD menjaga keseimbangan redoks dan membuat glikolisis


melakukan proses. Pada dasarnya, jalur glikolitik dapat diringkas sebagai:
• Oksidasi enzimatik / fosforilasi glukosa untuk menghasilkan dua molekul
piruvat (yaitu 6 gula karbon dibagi menjadi 2 buah senyawa 3 karbon)
• Energi yang dihasilkan (2ATP)
• Proses oksidatif mengurangi co-enzim (NADH)
• NAD + kembali dihasilkan oleh terminal enzim fermentasi, alkohol
dehidrogenase

Ragi Saccharomyces dan bakteri Zymomonas keduanya mengkonversi gula


menjadi etanol melalui homoethano jalur l, tetapi dengan rute yang berbeda. S.
cerevisiae menggunakan jalur Embden-Meyerhof-Parnas, sementara Z. mobilis
emplys mengguankan jalur Etner-Doudoroff (Jarboe, Shanmugam dan Ingram,
2009).
Gula yang difermentasi oleh ragi dan dikonversi menjadi etanol dan karbon
dioksida sebagai prinsip produk metabolik, tapi selama fermentasi alkohol
(misalnya, bir, anggur, air suling dan bahan bakar alkohol), metabolit fermentasi
lainnya, selain etanol dan karbon dioksida, yang diproduksi oleh ragi. Untuk
produksi minuman, ini penting dalam pengembangan rasa, tapi untuk produksi
bioetanol, produksi mereka dengan ragi tidak diinginkan (karena hilangnya hasil
etanol). Metabolit ini meliputi: fusel alkohol (misalnya, isoamil alkohol); poliol
(misalnya, gliserol); ester (misalnya, etil asetat); asam organik(misalnya,
suksinat); diketones vicinyl (misalnya, diacetyl); dan aldehida (misalnya,
asetaldehida).

Produk yang tidak diinginkan dari produksi fermentasi metabolit sekunder


(terutama gliserol) pada pabrik bioetanol menyebabkan hilangnya potensi etanol
dan upaya dilakukan untuk menghilangkan ini. Sebagai contoh, sakarifikasi
silmultan dan proses fermentasi (SSF) - lihat 4.2) mencegah osmostress dan ini
membatasi produksi gliserol sebagai yang tidak diinginkan oleh-produk.
Pembuatan strain ragi dengan mengurangi produksi gliserol yang juga
memungkinkan (misalnya. Guo et al, 2009). Ebert (2009) telah menghitung
bahwa mengurangi konsentrasi gliserol pada akhir fermentasi dengan sedikitnya
0,1% (1,4-1,3%) akan menghasilkan tambahan 163.600 galon etanol dalam
penyulingan 40MMGY.
4.3. Fermentasi – Penerapan Aspek

4.3.1 Sistem fermentasi

Mengenai proses industri fermentasi bioetanol, beberapa sistem dapat


diterapkan, including batch, berulang , semi-berulang dan bergerak (seperti yang
dirangkum dalam Gambar 4.31).
Gambar 4.31 Keragaman sistem fermentasi untuk produksi bioetanol (ideal)
Tabel 4.31 Penjelasan beberapa keuntungan dan kekurangan dari berbagai sistem
fermentasi yang tersedia untuk pembuatan bioetanol .

Sistem fermentasi Keuntungan Kekurangan


(Deskripsi singkat)
Batch kapasitas besar. μmax (pendek). tidak
(Inokulum bakteri sederhana, kuat, seimbang,
menyesuaikan diri dengan tradisional (Misalnya. asynchronous.
lingkungan fermentasi dari Pembuatan bir). produktivitas yang
tengah dan kiri sampai Kemudahan sterilisasi rendah
lengkap) dan pembersihan. kepadatan sel yang
Konversi substrat rendah. Labour intensif.
lengkap.

μ rendah. Tidak seimbang


Fed-batch Tradisional (ragi roti) dan (tingkat pertumbuhan).
(Memasukkan Nutrisi modern (Protein Labour intensif.
tertentu, atau batch-wise , terapeutik).
untuk media tumbuh ragi) Memperpanjang fase
eksponensial (densitas sel
yang tinggi). konversi
substrat lengkap
Kontinu
(Nutrisi ditambahkan pada sistem stabil. Tingkat Mahal karena
saat pertumbuhan ragi pada pertumbuhan kontaminasi dan mutasi
saat yang bersamaan dikendalikan oleh tingkat pembuatan strain ragi .
lepasnya material tertentu) produktivitas [D = μ].
pengenceran yang tinggi.
gizi seimbang
(Chemostat). Biaya
tenaga kerja rendah dan
pemanfaatan yang baik
dari reaktor. Alat
penelitian penting
(misalnya. evolusi
adaptif).

Dalam keadaan konsentrasi ragi tinggi 10


terimobilisasi 8 -109 sel /ml. bahan
(Sel terperangkap dalam yang diperlukan murah Belum diuji pada skala
polimer yang matriks atau (misalnya serpihan kayu). besar untuk
bergerak pada permukaan Produksi berkelanjutan produksi bioetanol.
bahan pendukung inert)
Tabel 4.31 Keuntungan dan kerugian dari sistem fermentasi yang berbeda untuk
bioetanol

Variasi dari sistem yang diuraikan dalam Tabel 4.31 mungkin dan salah satu
contoh dari proses semi-kontinyu dimodifikasi sistem Melle-Boinot diterapkan
pada banyak tanaman yang menghasilkan bahan bakar etanol diBrasil (Amorim,
Basso dan Lopes, 2009 dan bagian 4.5). sistem lain meliputi:
• sakarifikasi simultan dan fermentasi (SSF)
• teknologi konversi mikroba langsung (DMC)
• fermentasi gravitasi tingkat tinggi (VHG)

4.3.2. Pemantauan Fermentasi


Terlepas dari sistem fermentasi yang digunakan, produsen bioetanol
berusaha untuk memproduksi dengan cepat dan efisien konversi gula yang
tersedia menjadi etanol. parameter khusus dipantau selama fermentasi meliputi:
Perubahan dalam kepadatan ragi sel, konsumsi gula, pH, suhu, buih dan persen
alkohol. Untuk memastikan konsistensi kinerja fermentasi, tidak hanya
dipantau dari penyulingan , tetapi juga dipantau dari beberapa parameter,
terutama suhu dan pH. Yang paling penting adalah hasil perhitungan, efisiensi
konversi (gula menjadi etanol) dan hubungan antara konsentrasi gula awal dan
hasil akhir etanol.
Tabel 4.32 Beberapa data mengenai hasil etanol yang didapatkan dari
bahan baku yang berbeda.
Gula Hasil etanol Hasil etanol produktivitas Konsentrasi
dari media dari tongkol etanol etanol dari
berbeda jagung tertentu Hidrolisat
Glukosa (dan > 90% <80% ~ 2 g/g/hr
heksosa
lainnya)
4% atau kurang
xylose 80% ~ 25% 0,2-0,5 g/g / hr

arabinosa 60% tidak diketahui ~ 0,07g/g/hr


Tabel 4.32 Hasil Ethanol dari gula yang berasal dari bahan baku yang berbeda
(Informasi dari Abbas, 2007).
Diperkirakan berapa liter alkohol yang dibutuhkan untuk membuat 1 ton
sereal. Hal ini dihitung dari ekstrak dan fermentabilitas dari sereal. cara tradisional
sudah lama dipakai dalam industri alkohol dengan proses skala laboratorium dari
penggilingan, menumbuk, fermentasi dan destilasi, tetapi baru-baru ini analisa
infra-merah dapat memberikan prediksi yang cepat. Kandungan khas gandum
sebesar 385-400 liter / ton. Dari sudut pandang yang lebih agronomi, bahan baku
bioetanol dapat juga diurutkan sesuai dengan potensi hasil etanol per hektar tanah
yang bisa diolah dan berikut memberikan beberapa contoh (Annon, 1986; gatel &
Cormack, 1986):
Sorgum manis 4,0-6,5 ton etanol / ha
Gandum 4,8 ton etanol / ha
Yerusalem artichoke 4,0-4,7 ton etanol / ha
Bit gula 3,3-3,8 ton etanol / ha
Chicory 2,0-3,0 ton etanol / ha
Kentang 2,0-2,9 ton etanol / ha
4.3.3 Fermentasi: masalah mikrobiologi
Dalam rangka untuk memaksimalkan efisiensi fermentasi etanol untuk
produksi bioetanol, sangat penting untuk memastikan ragi dalam keadaan baik
dan untuk meminimalisasikan terkontaminasinya ragi oleh bakteri. Ragi kualitas
rendah dan kehadiran ragi liar dan bakteri asam laktat (terutama Lactobacillus
spp.) pada saat fermentasi dapat mengurangi secara signifikan dari hasil etanol.
Setiap molekul asam laktat dibuat dalam fermentor dari Lactobacilli yang
bersaing ragi untuk gula yang menyebabkan hilangnya sebuah molekul etanol.
Pentingnya sterilisasi fermentor, pencampuran ragi dan terkait asosiasi pekerjaan
tidak boleh dianggap remeh dalam upaya untuk mengontrol bakteri.
Bakteri asam laktat yang sensitif terhadap asam dan banyak penyulingan
penyucian asam (misalnya. H 2 SO 4 ) lumpur ragi untuk mengurangi
kontaminasi bakteri. keprihatinan utama bagi operator pabrik bioetanol
berhubungan dengan mikroba yang tidak diinginkan dan langkah-langkah
pengendalian kontaminasi tanaman yang baik dan bersihan yang melibatkan:
• Untuk pencegahan gunakan antibiotik (meskipun banyak negara sekarang
memiliki langkah-langkah yang ketat pada seperti aplikasi)
• Pembersih kimia, sanitrasi, sterilisasi (misalnya. Klorin dioksida, amonium
biflorida, kalium bisulfit, hidrogen peroksida, asam hop), beberapa alternatif
untuk antibiotik di fermentor
• Sterilisasi panas (bahan baku, udara, air, vessels).
Mengenai sifat ragi untuk fermentasi bioetanol, sangat penting untuk
menggunakan strain untuk aplikasi spesifik dan untuk menjaga strain tetap murni
bebas dari ragi liar dan terkontaminasi oleh bakteri. perbedaan penyulingan strain
yang berbeda dari S. cerevisiae yang tersedia dari produsen ragi
(misalnya.Fermentis, Teknologi Lallemand Etanol, AB Mauri) sebagai krim, pada
(kue).
Strain tersedia secara komersial yang berasal dari S. cerevisiae kini telah
dikembangkan yang dapat menghasilkan etanol dengan konsentrasi yang relatif
tinggi (> 10% v / v), dapat memfermentasi efektif dalam (> 20%) dan umumnya
stabil dan kuat untuk fermentasi industri (Gambar 4.32). untuk fisiologi gizi ragi,
sekarang mungkin untuk menghasilkan lebih dari 20% v / v etanol dalam gandum
gravitasi tinggi fermentasi (Thomas dan Ingledew, 1992).
Beberapa distilleries mengoperasikan daur ulang ragi dan ini digalakan untuk
peggunaan batch ragi dari pemasok komersial. Tanaman lain melakukan sendiri
(cukup sederhana) ragi mereka propagasi dalam rangka untuk meningkatkan
biomassa diperlukan sebagai kultur starter untuk fermentasi. Dalam hal ini
mempekerjakan aerasi vigourous untuk merangsang pertumbuhan ragi.
4.4 Sumber Fermentasi

bahan baku sederhana-gula dalam bentuk tebu, gula bit dan sorgum manis menyediakan
gula dalam bentuk sukrosa, glukosa dan fruktosa yang dapat langsung difermentasi oleh
ragi dan tanaman ini untuk diseluruh setengah dari bioethanol diproduksi secara global.
Tidak ada enzim asing diperlukan untuk membebaskan gula untuk fermentasi ragi,
seperti S. Cerevisiae menghasilkan enzim invertase menghidrolisisnya sukrosa menjadi
glukosa siap fermentasi dan fruktosa

untuk air gula, hasil ethanol ditingkatkan mengikuti perlakuan panas dan
klarifikasi untuk mengurangi kotoran dan bakteri dan ragi contaminan. mising jus
diklarifikasi dengan molase meningkatkan ragi gizi dan kinerja fermentasi. Di
tebu dan kilang gula bit, coklat gelap, cairan manis yang dikenal sebagai molase
dihasilkan dari sukrosa kristalisasi / sentrifugasi. Semakin banyak sukrosa yang di
remove, semakin rendah molase berkualitas untuk fermentasi alkohol, tapi secara
umum, molase merupakan media gizi untuk ragi (lihat sectin 3.1). Namun
demikian, molase memang mengandung beberapa senyawa yang terbentuk selama
proses gula yang dapat menghambat aktivitas ragi selama fermentasi (garam
kalium, senyawa reaksi pencoklatan, furfural, asam format dll)

Beberapa bahan tanaman ethanol menggunakan molase diencerkan (20-25% gula


total) yang beri perlakuan dengan asam sulfat (pH 4,5) dan Dipanaskan 900C
sebelum penuangan untuk menghilangkan pengotor.
Dua sistem fermentasi dasar dipekerjakan untuk produksi etanol berbasis gula

1. Penambahan Fed-batch substrat dengan propagasi ragi


2. Penambahan Fed-batch substrat dengan ragi daur ulang

Sistem ini telah dijelaskan oleh Amorim et al (2009) dan Monceaux (2009).
Dalam sistem pertama, masing-masing fermentor dilenggang dengan ragi baru
tumbuh (untuk minimase kontaminasi bakteri) diikuti dengan penambahan
dikendalikan dari subtrate gula. Dalam sistem kedua, daur ulang ragi asam-dicuci
diawali ke substrat yang kaya gula setiap 12 jam atau lebih mencapai fermentasi
yang sangat cepat dan pertumbuhan ragi minimum. Daur ulang ragi terdiri dari
perlakuan dengan asam sulfat (pH 2,2) untuk meminimalkan kontaminasi bakteri.
konsentrasi etanol dicapai dalam system terakhir adalah 8-10% v / v. Basso dkk
(2008) telah membahas perilaku ragi pada tanaman alkohol bahan bakar
menggunakan daur ulang ragi. strain penyulingan ragi dalam sistem seperti itu
menunjukkan toleransi lebih tinggi terhadap stres dibandingkan dengan kultur
strain dan memiliki potensi kultur starter untuk proses bioetanol di Brasil.
4.5 Fermentasi Pati Hidrolisat

Jika kita mengambil bioetanol-dari-jagung (Zea mays) sebagai contoh dari proses
berbasis pati untuk fermentasi beberapa tahapan kunci dapat diuraikan. Gambar
4.5 menguraikan proses produksi sederhana dari bioetanol yang berasal dari
jagung menggunakan proses penggilingan kering yang dijelaskan dalam 3.1.
Proses tersebut (di AS) mampu memproduksi >400 liter etanol per ton jagung
(pati 63%).

Berikut tahapan dalam proses ini dapat diringkas:

1. Penggilingan bulir jagung (pengurangan ukuran partikel)


2. Menumbuk dan memasak (jagung digiling lalu dicampur dengan air dan
dipanaskan sampai terbentuk pati gelatinise)
3. Pencairan (enzim α-amilase komersial ditambahkan untuk mengurangi
viskositas dan untuk menghasilkan maltosa dan dekstrin)
4. Sakarifikasi (glukoamilase komersial ditambahkan untuk membebaskan gula
difermentasi dari dekstrin)
5. Fermentasi (konversi ragi gula menjadi etanol dan CO2)
6. Distilasi (konsentrasi etanol ~ 95% v / v)
7. Dehidrasi (etanol anhidrat diproduksi menggunakan saringan molekul)
8. Sentrifugasi (menghasilkan cairan tipis dan adonan basah)
9. Penguapan (cairan tipis terkonsentrasi menjadi sirup)
10. Pengeringan (penguapan cairan dan adonan basah lalu dikeringkan dan
dicampur dengan 90% DDGS)

Jagung

Penggilingan

Tepung
Penumbukkan, pemasakkan, pencairan, sakarifikasi

Adonan lembek

Fermentasi

Bir (hasil fermentasi)

Distilasi, dehidrasi etanol

Cairan

Sentrifugasi, evaporasi, pengeringan

Penyuling biji-bijian kering dengan yang dapat larut, DDGS

Gambar 4.5 Produksi etanol dari jagung (proses kering-menggiling)

Proses penggilingan basah jagung fraksinasi butir sereal ke dalam tepung, kuman,
gluten, dan serat untuk menghasilkan berbagai produk. Bubur pati jagung diubah
(amylolysis menggunakan enzim komersial) oleh ragi untuk etanol dan karbon
dioksida. DDGS juga dihasilkan.
4.6 Fermentasi hidrolisat lignoselulosa
Gambar 4.51 menguraikan skema umum untuk memproduksi bioetanol dari
lignoselulosa dan Gambar 4.52 merangkum proses SSF dan SHF.

Berikut ini garis besar konversi teoritis selulosa menjadi glukosa:

(C6H5O5) n + nH2O → nC6H12O6 → 2NCH3CH2OH + 2nCO2

selulosa Air Glukosa Etanol Karbon dioksida

hasil etanol (liter / kering metrik ton) dari sumber-sumber lignoselulosa berikut ini
mungkin (Sassner

et al, 2008):

Kayu: 345 dan 121 dari heksosa dan fermentasi pentosa, masing-masing

Kayu lunak: 426 dan 59 dari heksosa dan fermentasi pentosa, masing-masing

Brangkasan jagung: 302 dan 191 dari heksosa dan fermentasi pentosa, masing-
masing

Dari jerami gandum, hasil dari ~ 300 liter bioetanol per ton yang diharapkan.

Dalam prakteknya, konversi tersebut tidak efisien dan meningkatkan proses


selulosa-ke-ethanol secara keseluruhan tetap menjadi tantangan teknologi, karena
beberapa alasan termasuk yang diuraikan di bawah ini.

biomassa Lignoselulosa dari limbah kayu, tongkol jagung, biji-bijian switchgrass,


menghabiskan, limbah kertas, padat perkotaan limbah dll dapat pra-diperlakukan
dan dihidrolisis (bagian 3.2; Dien dan Bothast, 2009) untuk menghasilkan gula
difermentasi, dan koktail inhibitor kimia (lihat Gambar 4,55). bahan kimia
tersebut termasuk produk pemecahan dari gula (furfural dan hidroksimetil
furfural) serta asam organik (yaitu, asam asetat dari hemiselulosa, format dan
asam levulinic dari degradasi gula) dan produk degradasi lignin (senyawa fenolik
terutama seperti ferulic dan asam coumaric). Senyawa ini bisa bertindak untuk
menekan kegiatan ragi (dan bakteri) dalam mengkonversi gula hidrolisat untuk
etanol. Masalah timbul karena adanya C5 heterogen dan gula C6 berasal dari
lignoselulosa bahan baku seperti ini tidak mudah difermentasi oleh ragi (lihat di
bawah).

Gambar 4.51 Skema lihat dari proses lignoselulosa-to-bioetanol umum (diadaptasi


dari Sassner et al 2008)
Beberapa sistem yang digunakan dalam pengolahan dan fermentasi hudrolysates
lignoselulosa: batch, fed-batch, sakarifikasi simultan dan fermentasi (SSF),
sakarifikasi simultan dan co-fermentasi (SSCF), hidrolisis dan fermentasi terpisah
(SHF), Bioprocessing konsolidasi (CBP), drop-tambahkan, atau cascades terus
menerus. Proses ini sering melibatkan enzimatik (atau mikroba) hidrolisis terdiri
dari: produksi selulase dan hemicellulases; hidrolisis pra-diperlakukan biomassa;
fermentasi heksosa (glukosa, manosa, galaktosa) dan pentosa (xilosa, arabinosa)
gula. CBP proses, yang dikembangkan oleh Lynd dan rekan (Lynd et al, 2002;
2005) mengizinkan bioconversions ini untuk terjadi dalam satu langkah tanpa
perlu untuk tahap produksi enzim selulolitik.
Gambar 4.52 Garis sacchrification simultan dan fermentasi (SSF) dan hidrolisis
dan fermentasi terpisah (SHF) proses untuk konversi dari lignoselulosa untuk
bioetanol

Ketika selulosa dan hemiselulosa polimer yang dihidrolisis, gula monomer yang
dihasilkan merupakan campuran C5 (pentosa) dan C6 (heksosa) gula. Ragi
konvensional seperti Saccharomyces cerevisiae adalahdapat secara efektif
memfermentasi heksosa (terutama glukosa), tetapi tidak dapat memetabolisme
gula pentosa seperti sebagai xilosa dan arabinosa. Gambar 4.53 menguraikan
xylose fermentasi jalur di mikroorganisme.

Jalur XR-DHX (beberapa ragi- lihat 4.51)

Xylose R D-xilitolX D-Xylulose D-xilulose-5-P Etanol


K

Jalur XI (bakteria dan beberapa fungi)

XyloseXI D-Xylose
X D-xilulose-5-P Etanol
K

RX= Reduksi Xylose ; XDH = dehidrogenasi xilitol ; KX= Kinase xilulose ; IX


= isomerase xylose
Gambar 4.53 Jalur untuk utilisasi xylose

Berbagai pendekatan telah diambil untuk mengatasi persoalan ini. Termasuk :

 Pengunan, baik tunggal atau dalam co-fermentasi dengan spesies ragi lainnya
C6-fermentating, ragi dengan kemampuan fermentasi oleh pentosa. Contoh ragi
adalah ; Pichia stiptis, Candida shehate, Kluyveromyces marxianus (lihat tabel
4.51). namun, ragi tersebut tidak dapat memfermentasi pentosa secara
anaerobik.
 Rekayasa genetika dari S. Cerevisiae dengan mesin metabolic untuk
mengmungkinkan fermentasi xylose. Suksesnya Kloning gen xylose isomerase
dari jamur (misalnya. Piromyces), ragi lainnya (misalnya. Pichia stipitis) dan
bakteri (misalnya. Lihat Butalco GmbH, http://butalco.com/) ke S. Cerevisiae
telah dicapai memungkinkan ragi ini untuk efektivitas fermentasi xylose.
 Menggunakan bakteri rekayasa genetika, seperti E. Coli, zymonomas, klebsiella
oxytoca, thermoanaebacetrium, Geobacillus (dengan gen xyose-utilsing)

Strain rekombinan S. Cerevisiae


Brettanomyces neardenensis
Candida intermedia var intermedia
Candida lyxosophila
Candida shehatae var. Lignosa
tenuis Candida
Cryptococcus albidus
Kluyveromyces marxianus
Pachysolen tannophilus
Pichia stipitis

Gambar 4.54 menyediakan skema pendekatan untuk perencanaan S cerevisiae


dengan gen asing isomerase xylose asing (IX). Ekspresi gen XI, bukan xylose
reductase (XR) dan xylitol dehidrogenase (XDH) menghindari akumulasi dari
xylitol dan ketidakseimbangan co-faktor NADPH Dan NAD.
Bettiga dkk (2008); Brat dkk (2009) dan Kuyper di al, 2003) telah membahas
berbagai strategi biologi molekulekular untuk fermentasi xylose dari hydrolystates
lignoselulosa. Beberapa dari pendekatan ini telah berhasil dan sekarang ada
beberapa skala industri tanaman bioetanol lignoselulosa dalam operasi. Misalnya,
di Amerika Serikat; Mascoma, Pet, Rentang Bahan Bakar, Verenium *, Celunol,
DuPont; ir Kanada; logen dan di Eropa DONG (Denmark), TMO (Uk, The
Netherland).

Xylose

XR
Xylose gen isomerase dari
bakteri C. Phytofermentans
fungi : Piromyces) xilitol

XDH

Xilulose

Etanol

Figure 4.54 xylose fermentation with GM S. Cerevisiae expressions xylose


isomerises
Beberapa proses bakteri beroperasi pada suhu tinggi dan rekombinan sebuah
Geobacilus spp. Dapat memfermentasi jerami hidrolisat pada 70 0C dalam
fermentasi kontinyu (misalnya www.tmo-group.com). Untuk etanol
lignocellulosic. Bakteri termofilik seperti memiliki beberapa kunci keuntungan
kunci dari proses berbasis ragi, termasuk pemanfaatan berkelanjutan dari semua
gula C5 dan C6 pada suhu tinggi pada tingkat yang cepat. Namun, beberapa
bakteri ini tidak terlalu toleran etanol (pada tingkat> 8% v / v). Tabel 4.52
menunjukkan beberapa bakteri termofilik dengan selulolitik, sifat ethanololytic.
Geobacillus thermoglucosidasius
Thermoanaerobacterium saccharolycum
Thermanaerobacter matharanii
Clostrdium thermocellium
Clostridium thermohydrosulfuricum

Tabel 4.52 beberapa bakteri termofilik dengan kaarakteristik selulolitik dan


ethanologenic
Untuk proses ragi, chalanges signifikan disajikan dalam hidrolisat tersebut karena
adanya bahan kimia yang beracun untuk mikroorganisme fermentasi (ragi dan
bakteri). Sumber bahan kimia ini diuraikan pada gambar 4.55
Selulosa
Hidrorksimetilfurfural
20-50% Asam levunilik

(glukosa)

Asam format

Hemiselulosa

20-40%

(xilosa, arabinose, Furfural Asam asetat


mannose, glukosa,
galaktosa)

Asam (aproic, coumaric, ferulic, gellic,


gentisie, hydroxybenzoic, protocatechuic,
cynapic, vanilic)
Lignin
10-20%
Alkohol (catechol, coniferyl, dihydrsynapril,
(aromatik) guaiacol, synapil, syringol, vanillyl)

Aldehydes (cinnamaldehyde,
hydroxybenzaldehyde, syringaldehyde,
vanillin)
Gambar 4.55 sumber inhibitrs chemichal yang berasal dari asam-hidrolisis
lignoselulosa
Rudolf dkk (2009) telah diuraikan berbagai metode untuk mengurangi efek
merusak dari inhibitor kimia di hidrolisat lignoselulosa. Misalnya "stripping
steam" (lihat Zhu dkk, 2009) atau membran nanofiltrasi (misalnya Weng dkk,
2010) atau bahan adsorben polimer (misalnya XAD-4 Amberlite resin - lihat Wei
dkk, 2002) dapat digunakan untuk selektivitas menghilangkan inhibitor dari fraksi
gula larut berasal dari hidrolisat biomassa. Meskipun perkembangan sanis modern
diragukan lagi assiting ligncellulose-to-etanol biokonversi, dapat dikatakan bahwa
fermentasi hidrosilat kayu bukan merupakan teknologi baru, dan ada beberapa
contoh skala-tanaman industri di Eropa dan Siberia yang telah beroperasi selama
bertahun-tahun. misalnya Borregaard di Norwegia- http://www.borregaard.com,
sebuah perusahaan yang didirikan pada tahun 1918, dan Tavda Hidrolisis
Tanaman di Rusia sejak 1943- lihat
http://www.distil.co./wodhydrolysis/woodprocess.html)

5.1 Teknologi Distilasi - aspek teoritis


Pemulihan etanol dari media fermentasi secara dominan dilakukan dengan
distilasi. "Distilasi" mengacu pada pemisahan campuran dari dua atau lebih bahan
kimia atas dasar perbedaan volatilitas mereka, yang adalah rasio tekanan parsial
untuk fraksi mol dalam cairan. Untuk alkohol:
Volatilitas relatif α = Volatilitas alkohol
Volatilitas air
Teori rinci penyulingan adalah outwith lingkup buku ini dan pembaca
disebut klasik teks pada subjek (Robinson dan Gilliland, 1950). Pada dasarnya,
distilasi alkohol karena mengacu pada pemisahan etanol dari campuran alkohol-
air biner berdasarkan titik didih yang berbeda (lihat Gambar 5.11), dan ada
beberapa prinsip dasar umum yang berhubungan dengan semua sistem distilasi
alkohol:
1. encer solusi etanol dimasukkan ke dalam sistem (kolom)
2. Panaskan (biasanya uap) langsung memasuki dasar kolom
3. dimurnikan ("Atas") Produk dengan titik didih lebih rendah (yaitu etanol)
adalah uap air.
4. Semakin tinggi produk titik didih (yaitu encer stillage berair) diterima di
bagian bawah kolom
5. Sebuah penukar panas berpendingin air mengembun uap alkohol
6. kondensat ini dibagi menjadi 2 aliran - satu adalah produk yang diinginkan dan
yang lain adalah refluks yang dikembalikan ke atas kolom
Kolom (seperti pada Gambar 5.11) terdiri dari bagian rektifikasi (di atas
titik masuk untuk fermentasi campuran) dan bagian stripping (di bawah titik
masuk) dan dengan cara ini overhead ethanol relatif murni produk dan "bottom"
produk stillage dapat diproduksi. Gambar 5.1 adalah sistem yang sangat sederhana
dan di berlatih kolom terdiri beberapa struktur internal yang disebut "nampan"
untuk mengizinkan kontak intim antara naik uap etanol dan turun cair untuk
memudahkan bagian dan perpisahan mereka.
Gambar 5.11 Sebuah kolom distilasi alkohol diidealkan.
Gambar 5.12 menunjukkan ekuilibrium etanol-air pada tekanan atmosfer, di mana
x adalah etanol konsentrasi dalam cairan, dan y dalam fase uap. plot juga bisa
dibuat untuk persen etanol mol (Masdon, 2009) dan memungkinkan unit menara
distilasi untuk dianalisis dengan teknik grafis. Sebagai contoh, garis 45 °
(menunjukkan titik di mana konsentrasi uap sama dengan konsentrasi cairan) yang
ditarik dari Gambar 5.12 dapat digunakan untuk menentukan rentang komposisi
yang dapat dipisahkan dan distilasi kondisi di mana tidak mungkin untuk
melakukan pemisahan. Di mana kurva kesetimbangan melintasi 45 ° line,
campuran membentuk azeotrop. bahan bakar etanol perlu hampir sepenuhnya
kering dan singlestage sederhana sistem distilasi tidak dapat menghasilkan 100%
(atau anhyrdrous) etanol karena pembentukan konstan didih azeotrop etanol-air.
distilasi standar hanya menghasilkan sekitar 96% v / v etanol dan pendekatan
tambahan diperlukan untuk benar-benar de-hydrate etanol (lihat 5.3) untuk
dicampur dengan bensin (bensin).
Gambar 5.12 Plot kesetimbangan etanol-air pada tekanan atmosfer

Tentu saja cairan yang diikuti fermentasi tidak semata –mata terdiri ari etanol dan
banyak fermentasi metabolit ragi sekunder dan senyawa lainnya juga disuling.
Bahan kimia yang mudah mengguap hadir dalam distilat secara kolektif disebut
sebagai “congeners” oleh industri minuman keras dan terdiri :
 Congeners volatilitas rendah. Ini adalh alkohol yang lebih tinggi yng
sering disebut minyak usel(seperti optically aktif amil alkohol , iso amil
alkohol, isobutanol, propanol, 2-feniletanol) dan asam lemak ( misal
propionat, isobutirat, isovalerik, heksanoik, oktanoat).
 Congener volatilitas medium. Ini termasuk ester (misalnya etil asetat, etil
propionat,etil oktanoat, feniletil asetat, etil palmitat)
 Congener volatilitas tinggi. Ini termasuk asetaldehid, diasetil, aseton,
metanol dan beberapa senyawa sulfur.
Kisaran dan konsentrasi volatil ini akan bervariasi tergantung pada bahan baku
yang digunakan untuk fermentasi, kondisi proses dan jenis kolom distilasi yang
digunakan, tapi pada tabel 5.1 terdapat daftar konsentrasi pada tipikal distilat dari
fermentasi sereal bubuk.
Congener Konsentrasi (G/L) Kisaran Volatilitas
Asetaldehid 3.2 Tinggi
Atil asetat 23.7
Dietil asetat 1.7
metanol 5.1
Propanol 40.8 Rendah
Iso-butanol 79.8
Optically active amil 47.7
alkohol
Iso-amil alkohol 142.5
Total alkohol atas 331.1
Etil laktat 4.7 Medium
Etil oktanoat 1.6
Furfural 3.3
Etil dekanoat 5.7
ß-feniletil asetat 5.7
Etil laurat 2.1
ß-feniletanol 3.8
Etil miristat 0.6
Etil almitat 2.7
Etil palmitoleat 1.5
Tabel 5.1 Propil analitik dari senyawa volatil pada distilasi tipe sereal
Untuk kedua proses distilasi bahan bakar alkohol dan minuman , minyak fusel
(alkohol lebih tinggi) harus diproses untuk memulihkan etanol dan dekanter dapat
digunakan untuk memisahkan mereka (dan kembali untuk perbaikan lebih lanjut)
dari air-aliran alkohol. Minyak fusel mungkin terkonsentrasi oleh kolom distilasi
sebelum menyusul dekanter. Hal utama dari kontituen minyak fusel (persen berat)
adalah isoamil alkohol 87,3%, isobutilalkohol 0,7%. Dan n-propanol 0,3%.

5.2 Teknologi Distilasi-Penggunaan Aspek


Berbagai opsi yang ada untuk desain dan optimasi penyulingan untuk
memproduksi bioetanol dan ini telah dibahas Madsom (2009). Sistem yang dicoba
dan diuji adalah tepat untuk penyulingan etanol dari sereal, jus tebu dan sirup dan
bahan baku fermentasi lainnya. Sistem beragam menggabungkan variasi mode
dari sekumpulan dan melingkup standar distilasi secara terus-menerus dan
penyulingan multi-kolom.
Operasi dasar dari system destilasi kolom alkohol secara terus-menerus
meliputi :
a. Uap air disemprotkan gas melalui pipa dari dasar kolom.
b. Mengalirkan larutan alcohol cair melewati sebuah lapisan makanan kedalam
kolom
c. Down comer pipa membiarkan cairan untuk mengalir kebawah melewati
sebuah rangkaian dari pIringan penyaring (baki)
d. Lubang pada saringan membiarkan uap naik melewati rangkaian kolom.
e. Bagian yang lepas di bawah lapisan makanan memisahkan komponen yang
lebih volatile dari yang kurang volatil.
f. Bagian ralat di atas konsentrasi penyaring merupakan komponen yang lebih
volatil.
Sistem yang lebih baru focus pada pengolahan ulang air, konservasi energy
dan system control computer untuk proses optimasi. Perkembangan teknologi
modern untuk produksi bioethanol termasuk destilasi pervaporasi ruang hampa
menggunakan membran. Karena itu destilasi merupakan tingkat pengkonsumsian
energi yang besar pada produksi bioethanol, seperti teknologi baru untuk
memperbaiki keseimbangan energy keseluruhan pada penyulingan minyak
modern. Cara lain untuk menambah konsentrasi etanol dalam birakhi rmenjadi
disaring, sebagai contoh konsumsi oleh energy seperti pada table 5.2
Etanol (%/v) pada bir Konsumsi energi (MJ/kg)
Ke azeotrof Ke etanol
5 8.5
6 8.6 8.0
8 6.7 7.2
10 5.8 6.4
Tabel 5.2 konsumsi energi untuk distilasi etanol

5.3 Metode Etanol Tak Berair


Meskipun etanol dapat dicampur seluruhnya pada bensin (gasolin),
sekalipun dalam jumlah kecil air dapat dengan cepat dan lebih mudah ketahap
pemisahan (ketika etanol akan menyerap air yang ada di system) dan perubahan
ini dapat dengan mudah ke menunjukkan sarana yang rendah dan berpotensi
merusak mesin. Hidratetanol pada ~96% v/v dihasilkan dari destilasi bir
(fermentasi bahan mentah yang diproses) oleh karena itu pengeringan (menjadi
produksi etanol tak berair) untuk campuran bensin menggunakan berbagai macam
pendekatan.
Meskipun berbagai macam pilihan tersedia untuk penentuan etanol tak
berair. Penggunaan saringan molekul terbukti sukses pada skala industry dan
pendekatan ini adalah cara umum di pabrik bioethanol yang baru. Penyaring
melibatkan kekayaan dari resin zeolit buatan dengan ukuran pori yang cukup
kecil. (0,3 nm) dimana dapat melewatkan molekul air (diameter 0,28 nm) untuk
menembusnya, tetapi tidak dengan molekul etanol (diameter 0,44 nm). Swain
(2003) telah membahas operasi dari penyaring molekul untuk pengeringan etanol.
Metode Deskripsi & komentar
Distilasi azeotropik Selain dari pelarut (misalnya. Benzena,
sikloheksana atau monoethylene
glycol) kemematahkan azeotrop etanol-
air (lihat 5.1). Ketika aditif lebih stabil
daripada air, pemisahan disebut
distilasi azeotropik, dan ketika itu
kurang stabil daripada air, itu disebut
distilasi ekstraktif. Sekarang jarang
digunakan karena pelarut berptensi
sebagi karsinogen / toksisitas.
Saringan molekuler Contohnya termasuk resin zeolit
("molsieves"), dan zeolit sintetis
(berdasarkan di silikat aluminium)
yang bertindak sebagai desiccants
untuk selektif menyerap air dari etanol
berair sungai Bibb Swain (2009).
Distilasi vakum etanol anhidrat diperoleh berdasarkan
tekanan dari 10kPa.
Membran vaporasi Penggunaan membran untuk
memulihkan etanol oleh "pervaporasi"
(penghapusan etanololeh vakum
diterapkan pada sisi permeat membran)
menghemat energi dengan
menghapuskan distilasi mahal energi.
Hal ini dimungkinkan untuk
berkonsentrasi etanol 80-99,5% dengan
pervaporasi ((Parisi, 1986). Hal ini juga
dapat mengurangi ragi etanol (dan
inhibitor) toksisitas masalah jika
diterapkan selama fermentasi.
Lainnya misalnya. ekstraksi cair, ekstraksi
fluida superkritis, Menengah Pompa
panasdan teknik Optimal Sidestream
Kembali (IHOSR) menggunakan
garam anorganik (Kalium asetat)
sebagai entrainer (lihat Serra et al,
1987)
Bioetanol anhidrat juga dapat digunakan untuk produksi aditif bahan bakar
lainnya, seperti highoctane yang komponen bensin bio-ETBE (1kg yang terdiri
dari etanol 0.4975kg dan 0,5025 kg isobutilen).
5.4 Konsep Biorefinery
Sebuah biorefinery (istilah yang awalnya diciptakan oleh Charles Abbas dari
perusahaan ADM di AS, dan analog dengan a petro-kilang) adalah fasilitas
tunggal yang menghasilkan beberapa produk dari biomassa dan dapat
didefinisikan sebagai berikut: "Sebuah biorefinery memproses bahan baku
pertanian terbarukan untuk nilai tambah produk yang lebih tinggi untuk
digunakansebagai makanan, pakan, bahan bakar, atau serat "(Realff dan Abbas,
2004). Biorefining telah didefinisikan oleh International Otoritas Energi (IEA)
sebagai: "Pengolahan berkelanjutan biomassa menjadi spektrum produk berbasis
bio (Makanan, pakan, bahan kimia, bahan) dan bioenergi (biofuel, tenaga dan /
atau panas ".

Dalam konteks saat ini, biorefinery terdiri teknologi konversi biomassa terpad
untuk menghasilkan, tidak hanya bioetanol, tetapi komoditas yang berguna dan
berharga lainnya termasuk energi (lihat Gambar 5.4). Ini telah dibahas oleh
Pilgrim dan Wright (2009) dan berbagai komoditas kimia nilai tambah berpotensi
diperoleh dari biorefinery bioetanol meliputi: kosmetik, neutraceuticals,
bioplastik, pelarut, herbisida dll ini mewakili bernilai tinggi, tapi produk volume
rendah (sebagai lawan highvolume, rendah nilai bioetanol dan DDGS). Misalnya,
residu jagung brangkasan dari bioetanol jagung tanaman dapat dimanfaatkan
dalam langkah fermentasi tambahan untuk menghasilkan asam polylactic (PLA),
berharga komoditas dalam pembuatan film biodegradable dan serat (Gruber,
2003).
Gambar 5.4 diagram alir biorefinery umum

Pada dasarnya, konsep biorefinery adalah untuk mengeksploitasi seluruh


biomassa, bukan hanya komponen itu,menggunakan kimia dan bioteknologi
secara berkelanjutan yang mengurangi limbah dan menghemat energi. Konsep
"emisi nol" di biorefining telah dibahas oleh Gravitis (2007).

5.5 Daftra Pustaka

Bibb Swain, RL (2009) Molecular sieve dehydrators: why they became the
industry standard and how they work. In: The Alcohol Textbook. 5th Edn. Eds
WM Ingledew, DR Kelsall, GD Austin and C Kluhspies. Nottingham University
Press. pp379-384.
Gravitis, J (2007) Zero techniques and systems – ZETS strengths and weakness.
Journal of Cleaner Production 15: 1190-1197.
Gruber, PR (2003) Cargill Dow LLC. Journal of Industrial Ecology 7: 209-213.
Madson, PW (2009) Ethanol distillation: the fundamentals. In: The Alcohol
Textbook. 5th Edn. Eds WM Ingledew, DR Kelsall, GD Austin and C Kluhspies.
Nottingham University Press. pp289-302.
Morris, D (1985) Case Study Ethanol. Open University Press, Milton Keynes, UK
Parisi, F (1986) Bioconversion and separation. In: European Workshop on
Bioethanol, Brussels 19th.
February, 1986. Commission of the European Communities, Brussels. pp 59-69.
Pilgrim, C and Wright, S (2009) Perspectives on the future of alcohol production.
In: The Alcohol Textbook. 5th Edn. Eds WM Ingledew, DR Kelsall, GD Austin
and C Kluhspies. Nottingham University Press. pp507-530.
Realff, MJ and Abbas, CA (2004) Industrial Symbiosis: Refining the Biorefinery
Journal of Industrial Ecology (7)3-4:5-9.
Robinson, CS and Gilliland, ER (1950) Elements of Fractional Distillation. 4th
Edition. McGraw-Hill, New York.
Serra, A, Poch, M and Sola, C (1987) A survey of separation systems for
fermentation ethanol recovery. Process Biochemistry, October 1987, 154-158.
Swain, RLB (2003) Development and operation of the molecular sieve: an
industry standard. In: The Alcohol Textbook. 4th Edn, Eds KA Jacques, TP
Lyons, and DR Kelsall. Nottingham University Press. (Chapter 23).
7.1 Ketahanan dan Perubahan Iklim
Permintaan dan pemanfaatan energi secara global telah meningkat secara
dramatis dalam kurun waktu terakhir, terutama karena pesatnya laju industrialisasi
di negara-negara berkembang (misalnya India dan Cina). Saat ini, energi ini
terpenuhi terutama oleh pembakaran bahan bakar fosil dimana lebih dari 80% dari
energi 13TW digunakan secara global. Pada akhirnya, ini menyebabkan
peningkatan emisi gas rumah kaca (terutama karbon dioksida) di atmosfer yang
menyebabkan pemanasan global dan perubahan yang terjadi pada iklim kita.
Produksi dan penggunaan biofuel seperti bioetanol, dengan mengorbankan
bahan bakar fosil, berkontribusi dengan cara yang baik untuk mengurangi emisi
gas rumah kaca. Hal ini karena bahan baku biomassa yang digunakan
memperbaiki fotosintesis karbon dioksida selama pertumbuhan mereka dan ini
menyebabkan pengurangan yang signifikan dalam CO2-emisi gas rumah kaca
setara dengan pembakaran minyak dan gas. Penting dalam konteks ini,
pembakaran bahan bakar transportasi jalan saat ini bertanggung jawab untuk
sekitar 20% dari emisi gas rumah kaca.
Lembaga Perlindungan Lingkungan AS (EPA) memiliki jalan alternatif
terhadap pemakaian bensin, pemanfaatan etanol jagung mengurangi emisi gas
rumah kaca oleh setidaknya 20% dan gula tebu etanol dengan rata-rata 61%.
(membuat bahan baku tertentu setara dengan emisi etanol selulosa). Pada tahun
2006, pembakaran 4,9 miliar galon bioetanol disimpan dalam 8 juta ton CO2, yang
disamakan dengan penghapusan 1,2 juta mobil (Pilgrim, 2006).
Secara signifikan, penggunaan etanol selulosa mengurangi emisi jauh lebih
dari 60% (bahan bakar terbarukan asosiasi, 2010). Akhir-akhir ini, etanol
switchgrass yang diturunkan ditentukan oleh EPA untuk mengurangi emisi gas
rumah kaca sebesar 110%!
Sesuai dengan Perjanjian Kyoto, Eropa berkomitmen untuk mengurangi emisi
karbon dioksida sebesar 8% dari 2008-2012. Yang mana permusyawaratan Eropa
ini direktif 2009/30/EC menyediakan beberapa emisi informasi GRK dan
tabungan (dibandingkan dengan pembakaran bahan bakar fosil) bioetanol (L
140/88 EN jurnal afficial dari serikat Eropa 2009/06/05). Tabel 7.1 memberikan
ringkasan dari tabungan tersebut (dengan asumsi tidak ada emisi karbon bersih
dari perubahan penggunaan lahan).
Penyimpana emisi gas
Penyimpanan umum
Jalur produksi biofuel rumah kaca
emisi gas rumah kaca
(gCO2eq/MJ)
Gula bit etanol 61% 12-19 (33)
Etanol tebu 71% 14 (24)
Etanol gandum (bahan 32% 23-32 (57)
bakar proses tidak
ditentukan)
Etanol gandum (lignit 32% 32 (57)
sebagai bahan bakar
proses di pabrik CHP)
Etanol gandum (gas 45% 21 (46)
alam sebagai bahan
bakar proses di boiler
konvensional)
Etanol gandum (gas 53% 14 (39)
alam sebagai bahan
bakar proses di pabrik
CHP)
Etanol gandum (jerami 69% 1 (26)
sebagai bahan bakar
proses di pabrik CHP)
Jagung (jagung) etanol, 56% 15-20 (37)
komunitas diproduksi
(gas alam sebagai bahan
bakar proses di pabrik
CHP)
Gandum etanol jerami 87% 11 (11)
Etanol limbah kayu 80% 17 (17)
Bertani/budidaya etanol 76% 20 (20)
kayu
Tabel 7.1 Penyimpanan efek gas rumah kaca dari penggunaan bioetanol

Tambahan manfaat lingkungan dan kesehatan produksi bioetanol termasuk dalam:


1. Penghapusan metil beracun tersier-butil eter (MTBE) oksigenat bensin
(terutama di AS)
2. Etanol sebagai oksigenat mengurangi emisi pada pipa pembuangan yang
berbahaya pada pembakaran bahan bakar lebih lengkap (ethanol
mengandung 35% oksigen)
3. Beracun dan karsinogenik aditif bensin (misalnya. Memimpin, benzena)
diganti dengan etanol
4. Etanol mudah mengalami biodegradasi
Meskipun etanol kurang beracun ketika dibakar dibandingkan dengan bensin
atau solar (banyak emisi yang kurang dari oksida nitrat dan gas karbon monoksida
dan bahan campuran karbon organik kurang stabil) dan lebih bersahabat di
lingkungan, harus disebutkan bahwa kedudukan dari bioetanol "bersih dan hijau"
telah dipertanyakan (misalnya. oleh sidang senat AS pada bahan bakar nasional
yang berkelanjutan dan bahan kimia Act 1999). Wartawan bahkan
menggambarkan produksi jagung etanol sebagai "kebohongan besar bahan bakar
hijau" (Howden, 2007) dan "bidang mimpi" (Girling, 2008).
Pertanyaan mengenai bioetanol menjadi industri yang berkelanjutan itu adalah
jelas bahwa meningkatnya penggunaan sereal dan tanaman gula bit untuk
produksi biofuel pada akhirnya tidak berkelanjutan (dan tidak etis) karena dampak
yang merusak terhadap keamanan pangan manusia sebagai lahan pertanian
dialihkan ke biofuel. (Serikat konservasi dunia di Swiss bahkan menyatakan
bahwa gandum diperlukan untuk mengisi tangki satu kendaraan dengan etanol
akan cukup untuk memberi makan satu orang per tahun). kemungkinan 1 generasi
bahan baku pengecualian untuk ini adalah tebu (www.iea.org), khususnya di
brazil di mana ini dapat dianggap sebagai tanaman yang berkelanjutan.
Negara-negara Eropa sedang didorong untuk mengatur skema sertifikasi untuk
memastikan biofuel bantuan emisi dipotong dan tidak mengancam
keanekaragaman hayati. Pemerintahan Eropa dan Dewan Uni Eropa telah
menetapkan bahwa "produksi biofuel harus berkelanjutan" dan bagian yang
relevan dalam undang-undang tersebut disajikan dalam tabel 7.1
Agustus 2010, Eu energi komisaris Günther Oettinger mengumumkan 3
langkah berikut mengenai keberlanjutan biofuel:
1. "sertifikat berkelanjutan biofuel" - goverments, industri dan LSM didorong
untuk membangun "skema sukarela". agar skema untuk diakui oleh komisi
Eropa, mereka harus diaudit secara independen akan.
2. "melindungi alam tak tersentuh" - bahan bakar tidak harus dibuat dari bahan
baku dari hutan tropis atau daerah baru-baru ini mengalami deforestasi, lahan
gambut dikeringkan, lahan basah. misalnya, komisi mengatakan konversi
hutan untuk perkebunan kelapa sawit tidak akan memenuhi kriteria
keberlanjutan.
3. "mempromosikan hanya biofuel dengan tabungan gas rumah kaca yang tinggi"
- biofuel harus memberikan penghematan minimal 35% dibandingkan dengan
bahan bakar fosil, naik 50% pada 2017 dan 60% pada tahun 2018.
Di Inggris, RTFO (kewajiban bahan bakar transportasi terbarukan)
menentukan bahwa 80% dari biofuel (biodiesel dan bioetanol) bahan baku harus
memenuhi "standar kelestarian lingkungan" pada tahun 2010/11. yang RTFOs
"biofuel berkelanjutan meta-standar" menentukan kriteria keberlanjutan
lingkungan tertentu di bawah prinsip-prinsip berikut:
Prinsip 1 karbon konservasi: produksi biomassa tidak akan destry atau kerusakan
besar di atas atau di bawah stok karbon tanah.
Prinsip 2 keanekaragaman hayati konservasi: produksi biomassa tidak akan
menyebabkan kehancuran atau kerusakan daerah keanekaragaman hayati yang
tinggi.
Prinsip 3 tanah percakapan: produksi biomassa tidak menyebabkan degradasi
tanah
Prinsip 4 penggunaan air yang berkelanjutan: produksi biomassa tidak
menyebabkan kontaminasi atau penipisan sumber air.
Prinsip 5 kualitas udara: produksi biomassa tidak mengakibatkan polusi udara
- Meta-standar juga mencakup prinsip-prinsip sosial berikut.
- Produksi biomassa tidak merugikan hak-hak pekerja dan hubungan kerja.
- Produksi biomassa tidak berdampak buruk terhadap hak atas tanah dan
hubungan masyarakat yang ada.
Namun, saat ini ada keterbatasan pada sertifikasi standar keberlanjutan untuk
beberapa kombinasi bahan baku / negara. misalnya di 2010/11 periode pelaporan
RTFO pertama, hanya 23% dari biofuel di Inggris sesuai standar lingkungan,
dibandingkan dengan target 80% (lembaga bahan bakar terbarukan, Agustus
2010).
Bahan baku berkelanjutan bersertifikat mudah-mudahan akan menjadi lebih
tersedia di masa depan dari waktu ke waktu (sebagai standar berkembang dalam
menanggapi RTFO dipimpin permintaan dan meningkatnya kekhawatiran umum
tentang keberlanjutan komoditas pertanian).
Biomassa limbah dan lignoselulosa bahan-generasi kedua feedstocks-
mewakili sumber yang paling berkelanjutan dan etis dapat diterima untuk
produksi bioetanol di masa depan. mereka juga menawarkan pengurangan biaya
yang lebih besar dibandingkan dengan pati dan gula tanaman untuk bioetanol
(www.iea.org). penggunaan terdegradasi/tanah yang terkontaminasi untuk
pertumbuhan tanaman energi (misalnya. switchgrass) untuk biomassa bioetanol
sangat menarik dalam hal ini dan telah disorot dalam direktif energi terbarukan
Uni Eropa tahun 2009/28/EC. Penggunaan E85 berasal dari switchgrass ditanam
di ditinggalkan/lahan pertanian marjinal bahkan telah dianggap "karbon negatif"
sementara etanol selulosa umum untuk emisi gas rumah kaca lebih dibandingkan
dengan teknologi generasi pertama.

7.2 Energi dan Konservasi Air


Pada sektor industri bioetanol untuk menjadi proaktif diperlukan isu-isu
tentang lingkungan, baik dari sosiologis (perspektif publik) dan sudut pandang
peraturan (pemerintah) (Delano, Kohl dan Roddy, 2009). Isu-isu tersebut
berhubungan dengan air dan konservasi energi dan perawatan efektif dari padatan
dan residu cairan.
Selain dampak yang berpotensi untuk merusak keamanan pangan, produksi
bioetanol di daerah-daerah tertentu di dunia mungkin bersaing dengan pasokan air
bersih. Misalnya, pada Departemen Energi Amerika Serikat diperkirakan untuk
memproduksi etanol jagung, diperlukan sebanyak 830 L air tawar untuk
menghasilkan 2,7 kg jagung yang mana dihasilkan sebanyak 1L bioetanol.
Tanaman modern (bioethanol) yang memberikan perhatian khusus untuk
kegiatan energi dan mengkonsumsi air pokok serta kerja teknologi untuk
memfasilitasi perawatannya. Contohnya sebagai berikut:
- Pengolahan limbah biologis (misalnya pencernaan anaerobik untuk biogas)
- Membran filtrasi dan reverse osmosis (untuk daur ulang air dan penghilangan
bahan organik)
- Daur ulang air (misalnya air limbah/perawatan kondensat untuk penyediaan
air untuk fermentasi)
- Sistem pemulihan air panas (misalnya masih menggunakan kondensor)
- Kontrol emisi udara yang terkontaminasi (untuk mengurangi polutan udara
berbahaya)
- Swasembada listrik (misalnya pembakaran residu dan biogas)
Menurut sebuah survei pada 2001-2006 (disusun oleh Argonne National
Laboratories) tanaman bioetanol Amerika Serikat mampu mengurangi konsumsi
air sebesar 26,6%, penggunaan listrik sebesar 15,7%, dan jumlah penggunaan
energi sebesar 21,8%.
Analisis siklus hidup yang komprehensif diperlukan untuk menilai operasi dan
pengelolaan lingkungan tanaman bioetanol. Sebuah aspek kunci dari biofuel
dibandingkan bahan bakar fosil berpusat pada pemakaian energi secara baik dan
produksi bioetanol serta pemakaiannya harus ditandai dengan keseimbangan
energi positif.

7.3 Co-Produk: Generasi dan Pemanfaatan


Industri bioetanol menghasilkan berbagai macam co-produk (residu) selama
pengolahan bahan baku untuk etanol (misal CO2, minyak fusel, residu sereal,
ampas tebu, stillage, konsumsi ragi dan lain-lain). Co-produk utama dari sereal
(jagung) produksi bioetanol adalah DDGS (penyuling biji-bijian kering dengan
terlarut) dan DWG (biji-bijian penyuling basah). Di Amerika Serikat sekitar ~65%
dari residu jagung yang digunakan untuk pakan ternak adalah DDGS dan 35% nya
adalah DWG. Produk-produk ini (di Amerika Serikat) digunakan terutama sebagai
komponen (hingga 40%) dalam pakan ternak (sapi dan sapi perah, ~85% untuk
konsumsi); tetapi juga dapat dimasukkan dalam pakan untuk non-ruminansia
seperti unggas (~5%) dan babi (~10%). Butir penyuling kering tanpa terlarut juga
dapat digunakan sebagai pakan ternak, tetapi produk tersebut lebih rendah
proteinnya dibandingkan dengan DDGS (Pilgrim, 2009; Corrigan dan Mass,
2009). Komposisi gizi DDGS khas dari suatu proses produksi bioetanol kering
diringkas dalam Tabel 7.31.
Komponen gizi Konsentrasi (% bahan kering)
Bahan kering 89
Protein kasar (PK) 30
Karbohidrat 52
Lemak 11
Asam lemak terhidrolisis 11
Serat 7
Serat deterjen asam 14
Ekstrak nitrogen bebas 45
Abu 6
Total nutrisi yang dicerna 87

Selain DDGS, ada berbagai aplikasi lain dan aplikasi potensial untuk co-
produk dan "residu" lainnya yang dihasilkan oleh tanaman bioetanol dan ini
diringkas dalam Tabel 7.32.
Bioetanol
Co-Produk Aplikasi/Potensi Aplikasi
Bahan Baku
Sereal (jagung, Residu sereal (konsumsi biji- Pakan ternak (DDGS, DWG),
gandum) bijian) pengeringan dan pembakaran,
biokonversi untuk biofuel

Backset (stillage) residu dari Pemilihan untuk Re-cycling


Distilasi persiapan mash dan suplemen
untuk fermentasi media yang
membutuhkan perlakuan
sebelum dibuang
Tebu Ampas tebu (pengolahan Sumber energi yang mudah
residu tebu) terbakar (misalnya pada negara
Brasil listrik pabrik bioetanol,
dan surplus listrik Grid)

Vinasse (stillage) Vinasse digunakan sebagai


pupuk pertanian
Gula bit Pulp (residu dari proses Komponen pakan ternak yang
penggilingan) kaya akan serat
Lignoselulosa Lignin (residu dari Sumber energi yang mudah
biokonversi lignoselulosa terbakar (diolah menjadi pellet
adalah ~40% lignin) kering pelet atau gasifikasi
termal untuk sintetis alami
Gas, sng)
Semua Minyak fusel (nilai fraksi Komoditas kimia (kosmetik,
alkoholnya lebih tinggi dari cat/tinta)
distilasi)
Karbon dioksida Co2 cair digunakan untuk
minuman berkarbonasi, dan
digunakan dalam
Rumah kaca serta teknologi
penyerapan karbon

Konsumsi ragi Pakan ternak (langsung dan


penggabungan dengan
Co-produk lainnya)
Mengenai co-produk utama yang lain yang berasal dari pabrik produksi
bioetanol, yaitu karbon dioksida, mungkin akan "digosok" (selanjutnya
dimurnikan) sebelum pencairan dan dijual untuk minuman berkarbonasi atau
digunakan untuk rumah kaca. Untuk produksi bioetanol skala besar (misalnya.
ADM, Decatur, USA) dapat menggunakan penyerapan teknologi karbon untuk
mengurangi emisi CO2. Ini melibatkan injeksi CO2 ke dalam batu pasir berpori.
Aplikasi lain melibatkan pemanfaatan fermentasi CO2 yang diturunkan di
mikroalga fotosintesis bioreaktor untuk produksi biodiesel. Pengembangan
teknologi penyerapan CO2 dapat didorong baik dengan mengenakan pajak C-
polusi, atau perdagangan positif dari C-kredit (misalnya. menyediakan nilai pasar
untuk CO2).

7.4 Pengolahan Limbah dan Pengendaliannya


Air limbah dari tanaman bioetanol dengan tuntutan oksigen biologis tinggi
(BOD) tidak dapat dilepaskan langsung ke sungai karena akan berdampak
merugikan pada flora dan fauna akuatik.
Tes BOD digunakan mengukur konsentrasi bahan organik biodegradable dalam
sampel air dan pengukur kualitas air, atau polusi "kekuatan" nya. COD adalah
kebutuhan oksigen kimia dan mengukur semua senyawa organik dalam sampel
air yang dapat dioksidasi untuk membentuk CO (Dinyatakan sebagai mg/L) yang
menunjukkan massa oksigen yang dikonsumsi per liter air.

Kedua nilai BOD dan COD untuk air limbah penyulingan yang diperlukan
oleh otoritas lokal dan dapat digunakan untuk menginformasikan desain fasilitas
pengolahan debit. Stillage (residu dari operasi penyulingan) adalah terutama
polusi karena yang: BOD tinggi; terlarut kandungan padatan (5-10%); pH rendah
(menjadi asam di alam). Penguapan dari stillage tipis berkonsentrasi ke sebuah
stillage tebal yang dapat ditambahkan menghabiskan butir (seperti dalam DDGS)
untuk menambah kadar protein pakan ternak. Evaporator kondensat dari proses ini
masih tinggi di BOD dan membutuhkan perawatan lebih lanjut, dan bersama-
sama dengan aliran air limbah lainnya dapat diperlakukan menggunakan biologi
dan membran sistem. Sebuah penjelasan rinci tentang ilmu pengetahuan dan
teknologi sistem tersebut adalah outwith cakupan buku ini, tetapi proses AD untuk
air limbah bioetanol adalah diringkas dalam Gambar 7.5.
Pengolahan air limbah biologi meliputi baik strategi mikrobiologi aerobik dan
anaerobik untuk mengurangi polusi. Proses terakhir, pencernaan anaerobik (AD),
juga menyediakan energi dalam bentuk biogas (Metana). Misalnya, serta
mengurangi COD terlarut dengan> 90% sistem AD dapat juga memproduksi 0,35
m3 CH4/ Kg larut COD. sistem bubur AD konvensional dapat mengambil
sejumlah besar padatan tetapi lambat untuk beroperasi (hari mengambil atau
minggu). Selain itu, 1/3 dari padatan asli kiri sebagai digestate (atau biosolids)
harus dibuang. sistem-tingkat tinggi beroperasi lebih cepat (jam dan hari) dan
mengharuskan konsentrasi padatan tersuspensi adalah <1000mg / l. Ini
menghasilkan jumlah yang lebih kecil dari biosolids.

Biogas yang dihasilkan dapat digunakan sebagai berikut:


- Pemanasan digester anaerobik, yang berguna dalam sistem influen minggu
kecil, yaitu operasi pada menghabiskan lees dan air curam
- Tembak langsung di boiler yang ada, modifikasi Burner diperlukan.
- Mesin gas reciprocating, kuat dan situs teknologi dipelihara, produksi listrik
dan panas
- Bahan bakar tambahan untuk biomassa boiler
- Turbin Gas, dukungan pemeliharaan eksternal umumnya diperlukan, listrik
dan panas berguna dalam gas buangan.
Biogas mungkin memiliki konsentrasi yang relatif tinggi H2S, hidrogen
sulfida, yang pada tingkat> 1% adalah beracun, korosif dan berbau busuk. tingkat
H2S dapat dikontrol dengan menggunakan besi spons (yang membentuk sulfida
besi yang stabil) atau dengan kimia menggosok dengan NaOH. perawatan
desulphurication biologis juga mungkin.
Tergantung pada perairan menerima, pengobatan yang lebih luas berikut
pencernaan anaerobik mungkin diperlukan, terutama untuk mengontrol nitrogen
amonia yang merupakan racun bagi kehidupan air. Misalnya, nitrifikasi bakteri
aerobik untuk mengkonversi amonia menjadi nitrit, diikuti oleh oksidasi lebih
lanjut untuk nitrat.

BAB 8

PROSPEK MASA DEPAN UNTUK BIOETHANOL

8.1 tren global dan isu-isu

Pada tahun 2008, produk global dari biofuel (bioetanol dan biodisel) ada
87 gigaliter yang hampir setara dengan total volume dari konsumsi bahan bakar
dari jerman pada tahun itu (soommerville,2010).

Dimasa depan, informasi administrasi energi US (EIA) diperkirakan bahwa


baham bakar terbarukan mungkin mencapai 8,5% dari energi yang digunakan
pada tahun 2030. Produk bioetanol diseluruh dunia, penelitian dan perkembangan
terus berlanjut dengan prediksi (eg, Walter et al, 2008) dari biofuel khusus ini
menggantikan 20% penggunaan bensin ditahun 2030 (jumlah 655 Gl). Produksi
saat ini masih didominasi oleh Amerika dan brazil bioetanol dari jagung dan tebu,
masing-masing. Tapi bioetanol Asia berkembang pesat, namun peningkatan
produksi dari pati dan gula bahan baku tidak berkelanjutan karana faktor sosial
ekonomi termasuk kesadaran masyarakat tentang isu-isu seperti makanan untuk
bahan bakar, meningkatnya biaya sereal dan mengurangi keanekaragaman hayati

Badan Energi Internasional (IEA) menyatakan bahwa pati dan gula tenaman bit memilik
kemampuan untuk bertinfak sebagai pengganti minyak dan perubahan iklim mitigator
(www. Iea.org dan sims et al, 2008) Selain itu, dapat dikatakan (dengan pengecualian
dari proses tebu di Brazil) bioetanol generasi pertama dihadapkan dengan kendala
ekonomi dan lingkungan yang parah, termasuk :

- Kontribusi untuk harga pangan yang lebih tinggi (dengan bersaing dengan
tanaman pangan)
- Produksi tidak efektif (tanpa subsidi pemerintah)
- Manfaat pengurangan gas rumah kaca terbatas
- kriteria berkelanjutan meragukan
- Potensi dampak negatif terhadap keanekaragaman hayati
- Kompetisi untuk sumber daya yang langka air
Oleh karena itu jelas bahwa bukan makanan/ bahan biomassa (terutama residu
lignoselulosa dan biowatses) perlu dimanfaatkan lebih lajut untuk memenuhi
meningkatnya permintaan global di masa depan untuk bahan bakar alkohol
(misalnya royal society of chemistry, 2007; sommerville et al 2010 ; pilgrim dan
wright, 2009). Eksploitasi industri teknologi penuh mengubah selulosa menjadi
etanol yang ekonomis dan dengan energi yang efisien seperti kenyataan sekarang,
mengikuti keberhasilan operasi fasilitas skala pilot/demonstrasi, khususnya di AS
untuk misalnya, abengoa Bioenergy Biomassa (kansas): ceres inc (California);
BBI BioVentures (Colorado); coskata (florida) frontier Resources terbarukan
(michigan); Penyair (lowa dan soulth Dakota) ; Jarak bahan bakar (Gorgia);
Verenium (louisiana). Perkembangan selanjutnya [‘baru-baru ini di pra-biomassa
lignoselulosa pengobatan dan fermentasi akan membawa proses bioetanol
generasi kedua lebih dekat dengan komersial realitas pada skala global (lihat
http://biofuel.abc-energy.at/demiplants:Burkheisser,2009). Eropa inisiatif industi
termasuk inbicon (denmark); BioGasol (Denmark); Abengoa (spanyol); TMO
(UK dan Belanda). Beberapa komisi Eropa mendanai proyek-proyek penelitian
kolaboratif berfokus pada bioproses selulosa untuk perubahan etanol. (lihat
www.biofuelstp.eu/cell_ethanol/html).

Mengeser 20% bensin pada 2030 akan memerlukan peningkataan yang


signifikan produksi volume bioetanol dari bahan lignoselulosa, sebaik
mengembangkan teknologi biofuel di negara berkembang dan meningkatkan
biotrade internasional. Dimasa depan tanaman bioetanol digunakan sebagai
tepung sereal dan gula dapat disesuaikan untuk biorefineries bahwa seluruh proses
biomassa, termasuk residu lignoselulosa, dengan menggabungkan teknologi
etanol generasi pertama dengan kedua. Tabel 8.1 merangkun projek (sampai tahun
2020) produk bioethanol generasi pertama dan bahan baku biomassa generasi
kedua di negara berbeda. Dampak ekonomi dari meningkatnya bioethanol dari
lignoselulosa adalah asli dari US dimana pasar ini diharapakn untuk semakin
meningkat dari 125M euro di 2010 menjadi 13.000 euro di 2020.

Million Litres

2009 2010 2015 2020


Bioethanol
generasi pertama
USA 39743 45420 56775 56775
Brazil 28300 31700 48700 67041
Other 6319 6729 9220 12632
Global 74361 83849 114695 136448
Bioethanol
generasi kedua
USA 379 11355 39743

Tabel 8.1 diproyeksikan bentuk bahan baku bioetanol produksi generasi 1 dan 2

Gambar 8.1 menyediakan beberapa data yang diproyeksikan untuk tahun 2022
untuk produksi bioetanol dari jagung AS (ultising baik pati dan komponen
lignoselulosa). Data pada Gambar 8.1 mengasumsikan bahwa: residu jagung dapat
bioproses secara efektif untuk etanol; 50% brangkasan dapat dikumpulkan; gula
etanol mendekati konversi teoritis; dan 25 miliar gantang tanaman jagung (300
gantang/luas tanah) bisa dipanen. Hal ini juga membandingkan seluruh etanol
jagung dengan hasil potensial yang diperoleh dari tanaman berenergi.

Abbas (2010) memperkirakan bahwa mengganti semua bahan bakar transportasi


AS dengan etanol. Lebih dari 800 miliar liter akan diperlukan dan jika ini berasal
dari bahan baku generasi pertama (jagung) maka ini akan memerlukan 500 juta
lahan tanah yang bisa diolah. Karena saat ini berdiri di 473 juta luas tanah, jelas
bahwa masa depan ditentukan oleh bahan baku generasi kedua, dan limbah
terutama lignoselulosa dan korps energi. Organisasi Industri Bioteknologi (BIO)
di AS telah memperkirakan bahwa etanol selulosa akan mencapai "teknologi jatuh
tempo" melebihi tahun 2020. Memproyeksikan lebih jauh ke depan, telah
diperkirakan bahwa AS dan dunia selulosa produksi bioetanol bisa mencapai 178
dan 203 GI, masing-masing, pada tahun 2030 (US Department of Energy dan
Energi International Authority).

Somerville (2010) dan rekan-rekannya di University of California di Berkeley


baru-baru ini menetapkan bahwa jika tebu teknologi konversi ampas tebu-ke-
etanol menjadi lebih mudah tersedia, Brasil berpotensi menghasilkan sampai 750
miliar liter bioetanol (dibandingkan saat pertama, generasi Brasil produksi tebu
etanol adalah ~30 miliar liter). Ini merupakan sebagian besar bahan bakar
transportasi global.

Di AS, telah memperkirakan bahwa budidaya tanaman energi seperti Miskantus


kurang dari setengah dari tanah saat ini di bawah Program Konservasi Reserve
akan cukup untuk memenuhi 136 miliar liter biofuel diamanatkan di Amerika
Serikat pada 2022.
8.2 Tantangan Masa Depan

Sudah jelas bahwa bioetanol menawarkan manfaat yang besar untuk menjaga
lingkungan, meningkatkan ekonomi pedesaan dan menjamin keamanan bahan
bakar. Namun demikian, ada tantangan ilmiah, teknologi, sosiologis dan politik
secara signifikan yang dihadapi produksi bioetanol di masa depan. Meningkatkan
etanol di seluruh dunia untuk konsumsi bensin yang dibagikan pada ~ 20% dari
tahun 2030 akan memerlukan industrialisasi generasi kedua (selulosa) teknologi
dan tantangan yang harus dihadapi dalam memenuhi target tersebut telah
diringkas dalam Tabel 8.2. Beberapa tantangan ini sedang diatasi dan pelaksanaan
yang tertunda ditingkatkan seperti teknologi lignoselulosa-untuk-etanol akan
memberikan kesempatan untuk menggunakan bahan baku biofuel baru yang
mencapai saat di luar tanaman - dan menghindari perambahan lahan pertanian
yang saat ini digunakan untuk makanan.

Daerah yang menyajikan tantangan Solusi potensial (Contohnya)


ilmiah
Geo-politik Mendorong produksi di negara-negara
berkembang dan meningkatkan
perdagangan etanol internasional
Biomassa

- komposisi tinggi lignin Rekayasa genetika untuk mengurangi


kadar lignin. Ultratsructural dan
molekul-tingkat pemahaman dinding
sel tanaman
- Selulosa depolimerisasi
Pemahaman dasar selulolisis (dan peran
selulosomes). Novel perawatan rendah
energi (misalnya. ultrasonik) dan
selulosa novel dan enzim
- Ekspresi enzim arabynoxylanase
Misalnya. GM jagung mengekspresikan
enzim termostabil (misalnya. Gen alfa
- Menekankan-toleransi amilase dari bakteri thermococcales)

Rekayasa genetika untuk resistensi


kekeringan pada tanaman dll [ lihat
Padgette (2008); Moeller & wang
(2008) dan Torney et al (2007) untuk
informasi lebih lanjut]
Fermentasi

- konversi lengkap gula yang Fermentasi ragi xylose atau bakteri


tersedia baru SSF (misalnya. menggunakan
Thermoanaerobacterium
saccharolyticum) Pemodelan dan omics
analisis (strain / jalur rekayasa-lihat
Nevolgt, 2008)

- Baru, ragi kuat rekayasa ragi metabolik (lihat di


bawah)* Fermentasi alkohol dari
gravitasi tinggi untuk mashes secara
konsisten
Distilasi (menurunkan masukan energi) Peningkatan teknologi membran
pervaporasi
Biorefineries efisien Fleksibel biofuel lignoselulosa (etanol
dan butanol, bersama-sama dengan
komoditas kimia bernilai tinggi)
Tebel 8.2. Contoh tantangan bioetanol generasi kedua

*Kemajuan besar dalam rekayasa metabolisme sel-sel ragi telah dibuat dalam
beberapa tahun terakhir, khususnya yang berkaitan dengan pemberian properti
berikut pada S.cerevisiae untuk bioetanol (dan berpotensi juga biobutanol)
produksi:
 Mengekspresikan xylose (& arabinose) fermentasi enzim
 Mengekspresikan amylolytic & cellulolytic enzim
 Mengurangi glukosa-represi
 Mengurangi gliserol, xylitol & arabitol biosintesis
 asam asetat sebagai akseptor elektron (tidak ada gliserol, etanol- Medina
et al, 2010)
 Menekankan dan zat yang mencegah pertumbuhan toleransi (Alper et al,
2006; Nevoigt, 2008)
 Rekayasa metabolik untuk fermentasi n-butanol (Steen et al, 2008)

Namun demikian, meskipun melakukan rekayasa strain baik di bawah kondisi


laboratorium, sukses skala-besar dalam kondisi industri yang lebih ditekankan
penuh dengan kesulitan, dan penelitian lebih lanjut diperlukan mengenai
pengembangan ragi kuat yang dapat bertahan dan berkembang dalam fermentor
skala besar.
Tantangan utama di efisien konversi lignocellulose ke etanol sedang ditangani
secara global oleh penelitian yang intensif di industri dan akademisi. Di Eropa,
EBTP (platform teknologi Eropa biofuel) terlibat dengan industrialis, peneliti dan
pembuat kebijakan untuk memetakan agenda riset strategis untuk penggunaan
biofuel yang berkelanjutan di Uni Eropa (www.biofuelstp.eu). Hari arahan EU
(energi terbarukan direktif 2009/28/EC). Telah secara khusus ditentukan
penggunaan non-makanan selulosa dan lignocellulosic bahan untuk produksi
biofuel dan ini menanti implementasi negara anggota ke dalam legislasi nasional
oleh Desember 2010. Itu jelas bahwa produksi global etanol selulosa akan tidak
menjadi sepenuhnya dikomersialkan tanpa dukungan pemerintah.

Selain mempertimbangkan bioethanol industri skala besar produksi, masa depan


mungkin juga menggabungkan unit produksi skala kecil, termasuk "community
bioferineries} dan bahkan "do-it-yourself} mikro-kilang minyak unit. Contoh
surat adalah E-bahan bakar 100 microfueler perkembangan di AS oleh bahan
bakar-E corp pada tahun 2008. Perangkat portabel seperti memerlukan ragi dan
bahan baku Beragi (gula, limbah, bir, selulosa sampah), dan berikut fermentasi,
etanol diproduksi menggunakan distilasi solid-state teknologi (lihat
www.efuel100.com dan baker, 2010). Tn AS, undang-undang federal
memungkinkan individu untuk menghasilkan dan menggunakan E100 di
kendaraan mereka sendiri hingga 10.000 gal per tahun.

Selain ilmiah dan teknologi tantangan yang dihadapi produksi masa depan
bioethanol, ada juga penting geo-politik dan etis tantangan untuk diatasi.
Mengenai kebohongan mantan, potensi solusi dalam membina produksi di negara-
negara berkembang dan enhacing perdagangan internasional etanol. Berikut
mewakili tantangan etis yang paling penting yang diajukan oleh peningkatan
produksi masa depan bioethanol:
¬Ekonomi (keterjangkauan)
¬Makanan-untuk-bahan bakar (perubahan penggunaan lahan pertanian)
¬ Rekayasa genetika (pekerjaan GM-bahan baku)
¬ Lingkungan lokal (lokalisasi/bangunan baru biorefineries; tuntutan pada air
segar)
¬Bio-bisnis (potensi monopoli bio-sumber daya atau paten).
Mengenai dampak biofuel pada keamanan makanan manusia, dan makanan untuk
bahan-bakar etika, " laporan bank dunia terbaru yang menempatkan harga
komoditas 2006/08 booming dalam perspektif " (Lihat Berita biofuel dan industial
mengeluarkan 39-19 Agustus 2010) menyimpulkan bahwa dampak dari biofuel
pada harga pangan tidak sebagai besar sebagai awalnya berpikir.
Namun demikian, muncul generasi kedua bioethanol (terutama dari biowaste)
dapat dianggap sebagai yang paling etis dapat diterima. Saat ini biofuel memiliki
pers buruk, berarti bahwa ilmuwan, pengusaha dan pembuat kebijakan perlu untuk
lebih jelas berkomunikasi manfaat bahan bakar terbarukan transportasi, dan secara
terbuka mendiskusikan isu-isu etis, khalayak yang lebih luas (termasuk kelompok-
kelompok tekanan lingkungan).

Anda mungkin juga menyukai