Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI PRODUKSI TANAMAN SEMUSIM

ACARA II
POLA TANAM PADA BUDIDAYA TANAMAN SEMUSIM

Oleh :
Nur Annisa Priyati
NIM. A1D017110
Rombongan 5
PJ asisten : Abdullah Bagas Bestari

KEMENTERIAN RISET, TEKOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2019
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanam adalah menempatkan tanaman berupa benih atau bibit pada media

tanah maupun selain tanah dalam suatu bentuk pola tanam. Pola tanam merupakan

penyusunan tanaman yang diusahakan dalam satu satuan luas. Hal tersebut dalam

sistem budidaya tanaman merupakan hal yang penting karena dengan pola tanam

tersebut dapat memanfaatkan dan memadukan berbagai komponen seperti iklim,

tanah, tanaman, dinamika hama dan penyakit, serta aspek sosial ekonomi. Adanya

pemilihan pola tanam yang baik dan tepat, dapat meningkatkan produksi suatu

tanaman budidaya.

Pola tanam secara prinsip dibagi menjadi dua, yaitu pola tanam monokultur

dan tumpangsari. Pola tanam monokultur merupakan penanaman satu jenis

tanaman pada suatu bidang lahan. Pola tanam tumpangsari merupakan penanaman

dua tanaman atau lebih pada suatu bidang lahan.

Pola tanam di daerah tropis, biasanya disusun selama satu tahun dengan

memperhatikan curah hujan, terutama pada daerah atau lahan yang sepenuhnya

tergantung dari curah hujan. Pemilihan jenis atau varietas yang ditanam pun perlu

disesuaikan dengan keadaan air yang tersedia ataupun curah hujan. Setiap pola

tanam mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pola tanam biasanya disesuaikan

dengan tanaman yang akan ditanam dan kondisi lahan yang digunakan. Oleh

karena itu, berdasarkan penjelasan di atas maka perlu dilakukannya praktikum ini
untuk mengetahui pertumbuhan tanaman dengan pola tanam yang berbeda,

khususnya tanaman semusim.

B. Tujuan

Praktikum ini bertujuan untuk sebagai berikut:

1. Mampu menerapkan teknik budidaya tanaman semusim dengan pola tanam

tumpangsari dan mengelola usahatani dengan baik

2. Mampu mengetahui pengaruh perbedaan waktu tanam tanaman sela pada pola

tanam tumpangsari
II. TINJAUAN PUSTAKA

Tanam adalah menempatkan bahan tanam berupa benih atau bibit pada

media tanam baik media tanah maupun bukan media tanah dalam satu bentuk pola

tanam. Keberhasilan tanam sangat dipengaruhi faktor manusia, seperti edukasi,

skill, inovavtion, plan and evaluation. Bahan tanam harus diperhatikan agar

diperoleh interaksi yang baik, seperti asal benih/ bibit jelas, bersertifikat, sesuai

dengan habitat tumbuh. Media tanamnya seperti memahami karakteristik media,

ketahui kandungan nutrisi, peralatan yg sesuai. persiapan media sesuai budidaya.

Lingkungan tumbuhnya seperti, pahami iklim & cuaca, pahami kebutuhan tumbuh

tanaman per fase pertumbuhannya, sesuaikan tanaman, lingkungan, inovasi

manipulasi lingkungan tumbuh (Vincent, 1996).

Tanam adalah menanam sesuatu yang bisa hidup yang disesuaikan

dengandaerah kondsis dan lingkungan serta keadaan sehingga dapat

menghasilkansesuatu yang menguntungkan minimal bagi pribadi yang menanam

(Aak, 1993). Menurut Mubyarto (1989), tanam adalah proses pengisian lubang

tanam yang sudah dipersiapkan padalahan budidaya baik menggunakan benih atau

bibit dengan ketentuan jarak jarak tanam yang telah ditetapkan.

Pola tanam dapat didefinisikan sebagai pengaturan jenis tanaman atau

urutan jenis tanaman yang diusahakan pada sebidang lahan dalam kurun waktu

tertentu (biasanya satu tahun). Pengertian pola tanam tersebut ada tiga hal yang

perlu diperhatikan yaitu jenis tanaman, lahan dan kurun waktu tertentu. Pola

tanam di daerah tropis seperti Indonesia, biasanya disusun selama 1 tahun dengan
memperhatikan curah hujan (terutama pada daerah/lahan yang sepenuhnya

tergantung dari hujan). Penentuan pola tanam sangat dipengaruhi ketersediaan air

dan keadaan lingkungan seperti kondisi fisik kimia tanah (Vincent, 1996).

Pola tanam adalah usaha penanaman pada sebidang lahan dengan mengatur

susunan tata letak dan urutan tanaman selama periode waktu tertentu termasuk

masa pengolahan tanah dan masa tidak ditanami selama periode tertentu. Pola

tanam ada tiga macam, yaitu monokultur, rotasi tanaman dan polikultur (Anwar,

2012).

Sistem tanam tumpangsari adalah salah satu usaha sistem tanam dimana

terdapat dua atau lebih jenis tanaman yang berbeda ditanam secara bersamaan

dalam waktu relatif sama atau berbeda dengan penanaman berselang‐seling dan

jarak tanam teratur pada sebidang tanah yang sama. Tumpangsari secara

tradisional digunakan untuk meningkatkan diversitas produk tanaman dan

stabilitas hasil tanaman. Keuntungan yang diperoleh dengan penanaman secara

tumpangsari diantaranya yaitu memudahkan pemeliharaan, memperkecil resiko

gagal panen, hemat dalam pemakaian sarana produksi dan mampu meningkatkan

efisiensi penggunaan lahan (Permanasari dan Kastono, 2012).

Pemilihan tanaman penyusun dalam tumpangsari senantiasa mendasarkan

pada perbedaan karakter morfologi dan fisiologi antara lain kedalaman dan

distribusi sistem perkaran, bentuk tajuk, lintasan fotosintesis, pola serapan unsur

hara sehingga diperoleh sauatu karakteristik pertumbuhan, perkembangan dan

hasil tumpangsari yang bersifat sinergis. Selain itu, menurut Odum, (1983)

tanaman yang ditumpangsarikan adalah tanaman dari lain famili dan yang
memneuhi syarat-syarat yaitu berbeda dalam kebutuhan zat hara, hama dan

penyakit kepekaaan terhadap toksin dan faktor-faktor lain yang mengendalikan

yang sama pada waktuyang berbeda. Pertanaman tumpangsari lebih banyak

diketahui mampu memberikan hasil tanaman secara keseluruhan yang lebih tinggi

dibandingkan monokutur, apabila tepat dalam pemilihan sepesies tanaman yang

ditumpangsarikan (Permanasari dan Kastono, 2012).

Pola tanam monokultur adalah sistem penanaman satu jenis tanaman yang

dilakukan sekali atau beberapa kali dalam setahun tergantung jenis tanamannya.

Penanaman monokultur menyebabkan terbentuknya lingkungan pertanian yang

tidak mantap. Hal ini terbukti dari tanah pertanian harus selalu diolah, dipupuk

dan disemprot dengan insektisida sehingga resisten terhadap hama (Prasetyo et

al., 2009).

Tanaman polikultur terbagi menjadi beberapa pola tanam, pola tanam

tersebut adalah:

1. Tumpangsari (Intercropping)

Tumpangsari adalah penanaman lebih dari satu tanaman pada waktu atau

periode tanam yang bersamaan pada lahan yang sama (Thahir, 1999).

2. Tanaman Bersisipan ( Relay Cropping )

Pola tanam dengan cara menyisipkan satu atau beberapa jenis tanaman selain

tanaman pokok (dalam waktu tanam yang bersamaan atau waktu yang

berbeda). Contoh: jagung disisipkan kacang tanah, waktu jagung menjelang

panen disisipkan kacang panjang Kegunaan dari sistem ini yaitu pada
tanaman yang ke dua dapat melindungi lahan yang mudah longsor dari hujan

sampai selesai panen pada tahun itu (Bunyamin dan Aqil, 2010).

3. Tanaman Campuran ( Mixed Cropping )

Penanaman jenis tanaman campuran yang ditanam pada lahan dan waktu

yang sama atau jarak waktu tanam yang singkat, tanpa pengaturan jarak

tanam dan penentuan jumlah populasi. Kegunaan sistem ini dapat melawan

atau menekan kegagalan panen total (Kustantini, 2012).


III. METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada praktikum ini antara lain cangkul, tugal, ajir,

sabit, timbangan analitik, tali raffia, dan alat tulis. Bahan yang digunakan pada

praktikum ini antara lain benih jagung, kacang hijau, kacang panjang, bayam,

terong, kangkung, tomat, daun bawang, pupuk kandang, KCl, urea, dan SP-36.

Alat dan bahan tersebut digunakan demi kelancaran dari proses praktikum pola

tanam pada budidaya tanaman semusim.

B. Prosedur Kerja

Prosedur kerja dari praktikum ini yaitu:

1. Masing-masing rombongan mendapat 5 petak lahan, setiap petak lahan

berukuran 2,5 m x 2 m diolah dengan mencangkul dan memberi pupuk

kandang

2. Penanaman secara tumpangsari dilakukan dengan perlakuan beda waktu

tanam pada tanaman sela, yaitu:

 Monokultur tanaman utama

 Manokultur tanaman sela

 Tanam bersama

 Jeda 1 minggu

 Jeda 2 minggu
3. Pemeliharaan rutin dilakukan berupa penyiraman, pemupukan, penyulaman,

dan penyiangan

4. Variabel Pengamatan: jumlah daun, tinggi tanaman, bobot basah tajuk, bobot

basah akar, bobot basah tanaman


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

A. Tanaman Utama
Tabel 1. Rerata Tinggi Tanaman Utama (cm)
No Perlakuan 2 mst 3 mst 4 mst 5 mst 6 mst 7 mst
1. Monokultur 25,9 34,5 36,2 66,9 106,4 126,4
2. Tanam bersama 24,25 51,02 71 79,5 114,4 88,25
3. Sela 1 mst 27,6 35,9 83,8 94 113 153,4
4. Sela 2 mst 33,1 55,1 86,2 65,4 97,8 124,8

Grafik 1. Tinggi tanaman pada tanaman utama

Tinggi Tanaman Utama


200

150
Tinggi

Monokultur
100
Tanam bersama
50 Sela 1 mst
Sela 2 mst
0
2 mst 3 mst 4 mst 5 mst 6 mst 7 mst
Waktu

Kesimpulan: Berdasarkan grafik diatas, maka dapat disimpulkan bahwa


pertumbuhan tinggi tanaman yang paling tinggi adalah tanaman sela 1 mst,
sedangkan pertumbuhan tinggi tanaman yang paling rendah adalah tanaman
tanaman bersama

Tabel 2. Rerata Jumlah Daun


No Perlakuan 2 mst 3 mst 4 mst 5 mst 6 mst 7 mst
1. Monokultur 6 7 9 11 12 14
2. Tanam bersama 5 7 8 11 13 13
3. Sela 1 mst 5 6 10 12 11 12
4. Sela 2 mst 5 7 8 10 10 11
Grafik 2. Jumlah daun pada tanaman utama

Jumlah daun tanaman utama


Jumlah daun 15

10
Monokultur
Tanam bersama
5
Sela 1 mst
0 Sela 2 mst
2 mst 3 mst 4 mst 5 mst 6 mst 7 mst
Waktu

Kesimpulan: Berdasarkan grafik diatas, maka dapat disimpulkan bahwa jumlah


daun tanaman dengan pola tanam monokultur paling tinggi, sedangkan jumlah
daun tanaman paling rendah adalah tanaman sela 2 mst.

Tabel 3. Rerata Bobot basah tajuk pada tanaman utama (gr)


No Perlakuan 7 mst
1. Monokultur 334
2. Tanam bersama 357,524
3. Sela 1 mst 468,74
4. Sela 2 mst 359,3

Grafik 3. Bobot basah tajuk pada tanaman utama

Rerata Bobot Tajuk Tanaman


500
Bobot tajuk (gr)

400
300
200
100
0
Monokultur Tanam bersama Sela 1 mst Sela 2 mst
Pola tanam
Kesimpulan: Berdasarkan grafik diatas, maka dapat disimpulkan bahwa bobot
tajuk tanaman sela 1 mst menunjukkan angka tertinggi, sedangkan bobot tajuk
tanaman monokultur menunjukkan angka terendah.

Tabel 4. Rerata Bobot akar Tajuk (gr)


No Perlakuan 7 mst
1. Monokultur 76,4
2. Tanam bersama 21,366
3. Sela 1 mst 65,5
4. Sela 2 mst 30,3

Grafik 4. Bobot akar pada tanaman utama

Bobot akar tanaman


100
80
Bobot (gr)

60
40
20
0
Monokultur Tanam Sela 1 mst Sela 2 mst
bersama
Pola tanam

Kesimpulan: Berdasarkan grafik diatas, maka dapat disimpulkan bahwa bobot


akar tanaman monokultur menunjukkan bobot tertinggi, sedangkan bobot akar
tanaman bersama menunjukkan bobot terendah.

Tabel 5. Rerata Bobot Tanaman Utama (gr)


No Perlakuan 7 mst
1. Monokultur 370,80
2. Tanam bersama 374,29
3. Sela 1 mst 534,24
4. Sela 2 mst 389,6
Grafik 5. Bobot tanaman pada tanaman utama

Bobot tanaman
600
500
400
Axis Title

300
200
100
0
Monokultur Tanam Sela 1 mst Sela 2 mst
bersama
Pola tanam

Kesimpulan: Berdasarkan grafik diatas, maka dapat disimpulkan bahwa bobot


tanaman sela 1 mst menunjukkan bobot tertinggi, sedangkan bobot tanaman
monokultur menunjukkan bobot terendah.

B. Tanaman Sela
Tabel 6. Rerata Tinggi Tanaman Sela (cm)
No Perlakuan 2 mst 3 mst 4 mst 5 mst 6 mst 7 mst
1. Monokultur 6,9 15,9 45,6 68,2
sela
2. Tanam 17,01 34,012 50,068 60,6
bersama
3. Sela 1 mst 5,7 20,4 32,6 42,5 62,4
4. Sela 2 mst 8,82 13,8 28,6 49,6 66,5

Grafik 6. Tinggi tanaman pada tanaman sela

Tinggi Tanaman Sela


80
Tinggi (cm)

60
Monokultur
40
Tanam bersama
20
Sela 1 mst
0
Sela 2 mst
2 mst 3 mst 4 mst 5 mst 6 mst 7 mst
Waktu
Kesimpulan: Berdasarkan grafik diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
pertumbuhan tanaman sela menunjukkan tanaman dengan pola tanaman
monokultur 5 mst memiliki data pertumbuhan tertinggi, sedangkan
pertumbuhan tanaman terendah adalah sela 2 mst.

Tabel7. Rerata Jumlah Daun Tanaman Sela


No Perlakuan 2 mst 3 mst 4 mst 5 mst 6 mst 7 mst
1. Monokultur 3,18 7,5 14,22 20,48
sela
2. Tanam 6,466 7,732 9,534 27,46
bersama
3. Sela 1 mst 1,8 5,6 8,6 11,8 8,2
4. Sela 2 mst 2,8 3,8 21,2 19,2 22,8

Grafik 7. Jumlah daun pada tanaman sela


30

25

20 Monokultur sela
15 Tanam bersama
Sela 1 mst
10
Sela 2 mst
5

0
2 mst 3 mst 4 mst 5 mst 6 mst 7 mst

Kesimpulan: Berdasarkan grafik diatas, maka dapat disimpulkan bahwa


pertumbuhan tanaman sela menunjukkan tanaman dengan pola tanaman sela 2
mst memiliki data pertumbuhan tertinggi, sedangkan pertumbuhan tanaman
terendah adalah tanaman bersama

Tabel 8. Rerata Bobot Basah Tajuk Tanaman Sela


No Perlakuan 2 mst 3 mst 4 mst 5 mst 6 mst 7 mst
1. Monokultur 157,94
sela
2. Tanam 216,74
bersama
3. Sela 1 mst 159,12
4. Sela 2 mst 63,54
Grafik 8. Bobot Tajuk pada Tanaman Sela

Bobot Tajuk Tanaman Sela


250

200
Bobot (gr)

150 Monokultur sela


100 Tanam bersama
Sela 1 mst
50
Sela 2 mst
0
Monokultur
Tanam
sela bersama
Sela 1 mstSela 2 mst
Pola Tanam

Kesimpulan: Berdasarkan grafik diatas, maka dapat disimpulkan bahwa bobot


tajuk pada tanaman sela menunjukkan tanaman bersama memiliki data
pertumbuhan tertinggi, sedangkan pertumbuhan tanaman terendah adalah sela
2 mst.

Tabel 9. Rerata bobot akar tanaman sela


No Perlakuan 2 mst 3 mst 4 mst 5 mst 6 mst 7 mst
1. Monokultur 14,3
sela
2. Tanam 15,34
bersama
3. Sela 1 mst 11,46
4. Sela 2 mst 9,02

Grafik 9. Bobot akar pada tanaman sela

Bobot Akar Tanaman Sela


20
Bobot Akar

15
5 mst
10
6 mst
5
7 mst
0
MonokulturTanam
sela bersama
Sela 1 mst Sela 2 mst
Perlakuan
Kesimpulan: Berdasarkan grafik diatas, maka dapat disimpulkan bahwa bobot
akar pada tanaman sela menunjukkan tanaman bersama memiliki data
pertumbuhan tertinggi, sedangkan pertumbuhan tanaman terendah adalah sela
2 mst.

Tabel 10. Rerata bobot tanaman sela


No Perlakuan 2 mst 3 mst 4 mst 5 mst 6 mst 7 mst
1. Monokultur 169,8
sela
2. Tanam 232,08
bersama
3. Sela 1 mst 170,58
4. Sela 2 mst 72,56

Grafik 10. Rerata bobot tanaman pada tanaman sela

Bobot Tanaman Sela


250
200
Bobot (gr)

150
5 mst
100
6 mst
50 7 mst
0
Monokultur sela Tanam bersama Sela 1 mst Sela 2 mst
Waktu

Kesimpulan: Berdasarkan grafik diatas, maka dapat disimpulkan bahwa bobot


tanaman pada tanaman sela menunjukkan tanaman bersama memiliki data
pertumbuhan tertinggi, sedangkan pertumbuhan tanaman terendah adalah sela
2 mst.

B. Pembahasan

Monokultur adalah cara dalam budidaya yang dilakukan di lahan pertanian

dengan menanam suatu jenis tanaman pada satu areal tertentu. Selain itu dalam

hal perawatan dan memanen dapat dilakukan dengan sangat cepat, karena
menggunakan bantuan mesin pertanian serta mampu menekan biaya tenaga kerja.

Akan tetapi monokultur juga terdapat kelemahan seperti keseragaman kultivar

yang menyebabkan terjadi penyebaran organisme yang bisa mengganggu

tanaman, seperti penyakit dan hama tanaman. Tanaman yang sering dijadikan

penanaman monokultur ialah jagung, padi dan juga gandum karena sangat

memudahkan petani dalam hal perawatan.

Monokultur adalah sistem budi daya pada suatu areal lahan yang ditanami

dengan satu jenis tanaman saja. Perkembangan hama dan penyakit cenderung

lebih mudah terjadi pada pola tanam monokultur karena sumber makanan bagi

hama dan patogen selalu tersedia (Rosya dan Winarto, 2013). Menurut Prasetyo et

al. (2009), pola tanam monokultur adalah sistem penanaman satu jenis tanaman

yang dilakukan sekali atau beberapa kali dalam setahun tergantung jenis

tanamannya.

Polikultur merupakan suatu usaha yang dilakukan dalam bidang pertanian

yang membudidayakan berbagai jenis tanaman pada lahan yang sama, artinya

pada satu lahan dapat ditanami berbagai macam tanaman tidak hanya satu jenis

tanaman saja. Sistem tanaman polikultur sebenarnya meniru gaya dari

keanekaragaman ekosistem alami demi terhindarnya penanaman tanaman tunggal.

Selain itu penanaman polikultur adalah salah satu dari prinsip permakultur.

Namun penanaman polikultur membutuhkan tenaga yang banyak karena pada satu

areal lahan ditanami banyak tumbuhan.

Polikultur merupakan sistem budidaya tamanan pada suatu areal lahan yang

sama dalam satu tahun ditanami dengan beberapa jenis tanaman, baik yang
ditanam dalam waktu yang bersamaan atau waktu yang sedikit berbeda. pola

tanam polikultur yang diikuti dengan rotasi tanaman, dapat memutus siklus hidup

hama dan patogen termasuk nematoda (Rosya dan Winarto, 2013). Menurut Barus

(2015) polikultur adalah menanam lebih dari satu jenis tanaman pada lahan yang

sama pada waktu yang simultan. Beberapa pola tanam dalam sistem polikultur

adalah tumpang sari (intercropping dan interplanting), tumpang gilir (multiple

cropping), tanaman pendamping (companion planting), tanaman campuran (mix

cropping), dan budidaya lorong (alley cropping). Penerapan polikultur pada

dasarnya bertujuan untuk mengefisienkan pemanfaatan lahan, meningkatkan

pendapatan petani, dan mengurangi kerusakan lahan.

Fitter dan Hay (1991), menyatakan bahwa proses pertumbuhan dan

perkembangan tanaman pada umumnya dipengaruhi oleh dua faktor. Faktor

pertama atau yang lebih dikenal dengan faktor internal yaitu faktor yang berasal

dari tubuh tanaman itu sendiri yang meliputi sifat gen dan hormon tumbuhan.

Faktor kedua atau yang lebih dikenal dengan faktor eksternal merupakan faktor-

faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang

berasal dari lingkungan, faktor ini diantaranya:

1. Cahaya matahari

Sumber utama energi yang diperlukan dalam proses fotosintesis tanaman.

Cahaya matahari mempengaruhi kehidupan tanaman karena 4 hal: 1)

intensitasnya: banyaknya jumlah cahaya (dalam foot candle) yang sampai

pada tanaman 2) kualitasnya: panjang gelombang (dalam satuan mg) yang


dapat ditangkap/ disekap tanaman 3) durasi: lamanya pencahayaan 4) arah

datangnya cahaya: berkaitan dengan intensitas.

2. Suhu (temperatur)

Kisaran suhu untuk pertumbuhan tanaman pada umumnya berkisar antara

15°-40°C (59°440°F). Suhu suatu tempat ditentukan oleh altitude

(ketinggian) dan latitude (garis lintang).

3. Bahan organik tanah

Bahan organik tanah merupakan amber hara mineral esensial untuk

pertumbuhan tanaman. Humus yang telah terdekomposisi dapat

meningkatkan kapasitas penyimpanan air. Bahan organik dapat mengikat

sejumlah besar mineral terutama dalam bentuk ion, dengan demikian

meningkatkan kapasitas pertukaran ion tanah. Bahan organik juga merupakan

amber makanan bagi organisme tanah. Bahan organik sebagai sumber hara

tanaman mengandung 95 % total nitrogen, 50-60 % total fosfor dan 10-20 %

total sulfur.

4. Presipitasi

Meliputi semua air yang jatuh dari atmosfir ke permukaan bumi, berupa

hujan, salju, kabut dan embun. Faktor hujan yang dapat mempengaruhi

pertumbuhan tanaman adalah jumlah/volume hujan, penyebaran/distribusi

hujan dan efektivitas hujan. Jumlah dan distribusi hujan sangat berpengaruh

terhadap macam/jenis tanaman yang dapat dibudidayakan pada suatu daerah.

5. Kelembaban
Kelembaban udara pada umumnya dinyatakan dalam kelembaban relatif yang

mempengaruhi evapotranspirasi tanaman. Evapotranspirasi akan meningkat

atau lancar apabila kelembaban udara di sekitar tanaman rendah.

6. Angin

Angin sangat penting bagi pertumbuhan tanaman, terutama angin yang tidak

terlalu kencang karena angin atau udara yang bergerak merupakan penyedia

gas CO2 yang sangat dibutuhkan tanaman dalam proses fotosintesis.

Pengaturan arah barisan tanaman dalam budidaya tanaman harus

memperhatikan arah angin. Apabila arah barisan tegak lurus dengan arah

datangnya angin, akan terjadi turbulensi udara sehingga pucuk tanaman

terombang-ambing dan akhimya dapat merusakkan tanaman.

Jouban (2012) menyatakan bahwa salinitas yang terjadi pada tanah

merupakan salah satu faktor lingkungan yang paling serius di bidang pertanian

dan kehadirannya dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

Kualitas yang tinggi dari tanaman akan didapatkan apabila faktor lingkungan

sudah baik. Oleh karena itu perlu adanya penentuan faktor lingkungan dalam

pencapaian kualitas dan produksi yang lebih baik. Witkowicx (2010)

menambahkan, hasil produksi yang diperoleh dari suatu tanaman dipengaruhi oleh

banyak faktor, faktor yang paling signifikan adalah faktor genotip dari tanaman,

morfologi tanaman, cuaca, dan faktor agronomis seperti kesuburan tanah,

pembibitan, kelembaban tanah, aplikasi pengatur tumbuh, dan interaksi antara

faktor tersebut.
Sistem tumpangsari persyaratan yang harus dipenuhi diantaranya habitus

tanaman harus berbeda, sistem perakaran dangkal dan dalam; umur tanaman

genjah dan dalam; bentuk daun geometris erek dan geometris horizontal;

kebutuhan cahaya tinggi dan rendah; fase generatif berlainan, lebih awal atau

lebih lambat; dan kedua tanaman tidak bercabang (Santoso, 2004).

Menurut Permanasari dan Kastono (2012), pemilihan tanaman penyusun

dalam tumpangsari senantiasa mendasarkan pada perbedaan karakter morfologi

dan fisiologi antara lain kedalaman dan distribusi sistem perkaran, bentuk tajuk,

lintasan fotosintesis, pola serapan unsur hara sehingga diperoleh sauatu

karakteristik pertumbuhan, perkembangan dan hasil tumapngsari yang bersifat

sinergis. Selain itu, menurut Odum, (1983) tanaman yang ditumpangsarikan

adalah tanaman dari lain famili dan yang memneuhi syarat-syarat yaitu berbeda

dalam kebutuhan zat hara, hama dan penyakit kepekaaan terhadap toksin dan

faktor-faktor lain yang mengendalikan yang sama pada waktu yang berbeda.

Pertanaman tumpangsari lebih banyak diketahui mampu memberikan hasil

tanaman secara keseluruhan yang lebih tinggi dibandingkan monokutur, apabila

tepat dalam pemilihan spesies tanaman yang ditumpangsarikan.

Penyisipan tanaman sela mampu memberikan efek naungan terhadap

tanaman lain yang lebih pedek atau baru ditanam. Tanam sisip dapat

menyebabkan suhu udara lebih rendah dibandingkan waktu penyisipan lainnya

sehingga tanaman dapat terhindar dari stress/panas. Selain memperbaiki iklim

mikro, tanam sisip mendapatkan hasil yang lebih tinggi. Gardner et al. (1991)

menyatakan bahwa pengaruh naungan itu (etiolasi) dianggap disebabkan oleh


peningkatan auksin, yang bekerja secara sinergis dengan giberelin, perusakan

auksin karena cahaya lebih sedikit pada tegakan yang ternaungi, karena

penyinaran yang kuat menurunkan auksin dan mengurangi tinggi tanaman.

Ditambahkan oleh Harjadi (1991), bahwa auksin bergerak ke bawah sepanjang

batang secara seragam; tetapi cahaya dapat menembus ke dalam dan akibatnya

akan merusak atau mengalirkan uksin ke arah lain dari yang terkena cahaya.

Akibatnya pemanjangan batang berjalan jauh lebih cepat di sisi yang jauh dari

cahaya. Reaksi ini memerlukan cahaya dengan intensitas rendah sekali, jadi

cahaya sedikitpun dapat menghambat etiolasi.

Menurut Bunyamin dan Aqil (2010), penanaman dengan waktu penyisipan

yang berbeda memperlihatkan laju pertumbuhan, aktivitas fisiologis serta tingkat

produksi yang berbeda. Waktu penyisipan sebagai faktor tunggal yang diteliti

memberikan pengaruh pada komponen-komponen pengamatan. Pengaruh yang

diperlihatkan pada komponen-komponen tersebut adalah nyata sampai sangat

nyata akibat adanya perbedaan waktu penyisipan. Ekspresi (fenotipe) yang

berbeda dan kemudian ditampilkan merupakan variasi genetik dari masing-masing

varietas yang kemudian ditumbuhkan pada perlakuan (waktu penyisipan) yang

berbeda-beda, dimana perlakuan yang diberikan menciptakan suatu lingkungan

mikro yang berbeda, dalam hal ini waktu penyisipan berpengaruh terhadap

intensitas cahaya yang diterima akibat adanya efek naungan dari tegakan

tanaman-tanaman terdahulu. Menurut Sitompul dan Guritno (1995), tanaman yang

kekurangan cahaya akan mempunyai jumlah sel yang lebih sedikit dengan kondisi
habitus tanaman yang lebih tinggi daripada tanaman yang memperoleh banyak

cahaya. Hal ini diduga akibat pengaruh etiolasi.

Menanam tanaman sela pada pola tanam tumpangsari haruslah

memperhatikan waktu yang tepat untuk ditanam sesuai dengan umur panen dari

setiap tanaman yang ditanam. Menurut Bunyamin dan Aqil (2010), waktu tanam

dari tanaman sisip yaitu pada saat panen. Tanam sisip pada saat panen

menyebabkan suhu udara lebih rendah dibandingkan waktu penyisipan lainnya

sehingga tanaman dapat terhindar dari stress/panas. Selain memperbaiki iklim

mikro, tanam sisip pada saat panen mendapatkan hasil yang lebih tinggi.

Pemberian pupuk kandang memberikan pertumbuhan dan hasil yang lebih

baik pada tanaman, karena pupuk kandang mengandung unsur hara lebih

kompleks dan lebih tersedia selama siklus hidup tanaman, baik unsur hara mikro

dan makro lain selain unsur N, P, dan K. Selain pupuk kandang mampu

mempertahankan struktur tanah tetap remah sehingga merangsang pertumbuhan

akar. Pemberian pupuk NPK buatan dengan dosis 200:100:100 cenderung

meningkatkan komponen hasil (Supartoto et al., 2002).

Waktu dan teknik pemupukan sistem tumpangsari menurut Sisworo et al.

(1990) dalam penelitiannya adalah pemberian satu kali saat tanam atau dua kali

saat tanam dan satu bulan setelah tanam. Pupuk N dalam sistem tumpangsari yang

diletakkan didekat jagung baik yang ditabur maupun yang diletakkan dalam alur

masih tetap tersedia bagi kedelai atau diserap kedelai. Tumpangsari baris tunggal

nampaknya tidak mungkin menempatkan pupuk N hingga dapat memenuhi

kebutuhan nitrogen non legume tanpa membuatnya juga tersedia bagi legume.
Apabila pupuk diletakkan dalam alur, kedelai dapat menyerap pupuk N lebih

banyak daripada jika pupuk ditabur merata ke seluruh petak dan diaduk dengan

tanah lapisan atas. Ketersediaan pupuk N dan serapan pupuk N lebih tinggi jika

pupuk ditempatkan dalam alur daripada yang ditabur.

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada kegiatan praktikum pola tanam pada

tanaman semusim pada Tanaman Utama bahwa pada grafik yang terlampir

variabel tinggi tanaman utama dengan pola tanam tanaman sela 1 mst, sedangkan

tinggi tanaman paling rendah adalah pola tanam tanaman bersama. Hasil

pengukuran variabel jumlah daun berdasarkan grafik didapatkan bahwa jumlah

daun tanaman utama dengan pola tanam monokultur paling tinggi dengan rata-

rata, sedangkan jumlah daun paling rendah adalah pola tanam sela 2 mst. Hasil

pengukuran variabel bobot tajuk berdasarkan grafik didapatkan bahwa pengaruh

perbedaan waktu tanam pada tanaman utama diperoleh bobot tajuk tanaman

paling tinggi pada pola tanam sela 1 mst, sedangkan bobot tajuk tanaman paling

rendah pada pola tanam monokultur. Hasil pengukuran variabel bobot akar

berdasarkan grafik didapatkan bahwa bobot akar tanaman paling tinggi pada pola

tanam sela 2 mst, sedangkan bobot akar tanaman paling rendah pada pola tanam

sela 1 mst. Hasil pengukuran variabel bobot tanaman berdasarkan grafik

didapatkan bahwa bobot tanaman paling tinggi pada pola monokultur, sedangkan

bobot tanaman paling rendah pada pola tanam bersama. Hasil diatas menunjukkan

adanya perbedaan di setiap perlakuan. Perbedaan waktu tanam pada tumpangsari

bermanfaat untuk memperkecil terjadinya kompetisi pada tanaman. Hal ini sesuai

menurut Surtinah et al. (2016), tumpangsari dari dua jenis tanaman menimbulkan
interaksi, akibat masing-masing tanaman membutuhkan ruangan yang cukup

untuk memaksimumkan kerjasama dan meminimumkan kompetisi, sehingga pada

sistem tumpang sari ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Sistem tumpang

sari akan meningkatkan kompetisi dalam menggunakan faktor pertumbuhan, oleh

karena itu untuk mengurangi kompetisi itu maka perlu pengaturan waktu tanam

dari tanaman yang ditumpangsarikan.

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada kegiatan praktikum pola tanam pada

tanaman semusim pada tanaman sela hasil pengukuran variabel tinggi tanaman

berdasarkan grafik didapatkan bahwa tinggi tanaman paling tinggi pada pola

tanam tanaman monokultur 5 mst, sedangkan tinggi tanaman paling rendah pada

pola tanam tanaman sela 2 mst. Hasil pengukuran variabel jumlah daun

berdasarkan grafik didapatkan bahwa pengaruh perbedaan waktu tanam pada

tanaman sela diperoleh jumlah daun tertinggi pada pola tanam sela 2 mst,

sedangkan jumlah daun terendah pada pola tanam bersama. Hasil pengukuran

variabel bobot tajuk berdasarkan grafik didapatkan bahwa bobot tajuk tanaman

paling tinggi pada pola tanam tanam bersama, sedangkan bobot tajuk tanaman

paling rendah pada pola tanam sela 2 mst. Hasil pengukuran variabel bobot akar

berdasarkan grafik didapatkan bahwa bobot akar tanaman paling tinggi pada pola

tanam sela 1 mst, sedangkan bobot tajuk tanaman paling rendah pada pola tanam

sela 2 mst. Hasil pengukuran variabel bobot tanaman berdasarkan grafik

didapatkan bahwa bobot tanaman paling tinggi pada pola tanaman bersama,

sedangkan bobot tanaman paling rendah pada pola tanam sela 2 mst. Hasil

tersebut menyatakan bahwa pada pola tanam monokultur sela merupakan sistem
yang mendapatkan hasil produktifitas yang rendah dibanding dengan tanam

bersama. Menurut Sektiwi et al. (2013), perlakuan model tanam dan waktu tanam

dalam sistem tumpangsari memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata

terhadap seluruh parameter pengamatan. Hal ini disebabkan karena dalam sistem

tumpangsari dapat memanfaatkan sumberdaya lahan yang ada dengan optimum.

Sesuai dengan pernyataan Guritno (2011) bahwa sistem tanam tumpangsari dapat

memanfaatkan lingkungan yang ada semaksimal mungkin dan adanya perbedaan

permukaan kanopii daun dan sistem perakaran antara tanaman yang diusahakan

akan dapat menggunakan lingkungan sekitarnya secara optimal.


V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kesimpulan dari praktikum ini yaitu:

1. Pola tanam tumpangsari adalah pola tanam dengan memanfaatkan lahan

untuk ditanami lebih dari satu macam tanaman budidaya. Tumpangsari

merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan produktifitas hasil apabila

digunakan teknik yang tepat. Pola tanam jenis ini harus memperhatikan waktu

tanam dan jarak tanam agar mendapatkan hasil yang lebih optimal.

Pengelolaan yang baik dan tepat seperti penyiraman, pemupukan, dan

penyiangan pun mampu mempengaruhi hasil akhir pada tanaman.

2. Perbedaan waktu tanam yang diterapkan pada tumpangsari bermanfaat untuk

menghindari terjadinya kompetisi antar tanaman. Perbedaan waktu tanam

berpengaruh terhadap parameter-parameter yang diamati pada tanaman serta

mampu memberikan hasil produksi yang lebih tinggi.


DAFTAR PUSTAKA

Aak. 1993. Teknik Bercocok Tanam Jagung. Kanisisius, Yogyakarta.

Anwar, S. 2012. Pola Tanam Tumpangsari. Agroteknologi Litbang. Deptan.

Barus, J. 2015. Pemanfaatan lahan di bawah tegakan kelapa di Lampung. Jurnal


Lahan Suboptimal, 2(1): 68-74.

Bunyamin, Z., dan M. Aqil. 2010. Analisis iklim mikro tanaman jagung (Zea
mays. L) pada sistem tanam sisip. Prosiding Pekan Sereralia Nasional, 294-
300.

Fitter A. H dan Hay R.1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Gajah Mada


University Press, Yogyakarta.

Gardner, F.P., R.B. Pearce and R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Guritno, B. 2011.Pola Tanam Di Lahan Kering. Universitas Brawijaya Press.


Malang.

Harjadi, S, S. 1991. Pengantar Agronomi. Gramedia, Jakarta.

Jouyban, Z. 2012. The Effects of Salt Stress on Plant Growth. Engineering and
Applied Sciences, 2(1): 7-10.

Kustantini, D. 2012. Peningkatan Produktifitas dan Pendapatan Petani Melalui


Penggunaan Pola Tanam Tumpangsari pada Produksi Benih Kapas. Balai
Besar Perbanihan dan Proteksi Tanaman Perkebuanan (BBP2TP). Surabaya.

Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian Lembaga Penelitian, Pendidikan


dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. LP3ES, Jakarta.

Odum, E. P. 1983. Basic Ecology. CBS College Publishing, Japan.

Permanasari, I., dan D. Kasno. 2012. Pertumbuhan tumpangsari jagung dan


kedelai pada perbedaan waktu tanam dan pemangkasan jagung. Jurnal
Agroteknologi, 3(1): 13-20.

Prasetyo, E. I. Sukardjo dan H. Pujiwati. 2009. Produktivitas lahan dan NKL pada
tumpang sari jarak pagar dengan tanaman pangan. Jurnal Akta Agrosia,
12(1): 51 – 55.
Rosya, A., dan Winarto. 2013. Keragaman komunitas fitonematoda pada sayuran
lahan monokultur dan polikultur di Sumatera Barat. Jurnal Fitopatologi
Indonesia, 9(3): 71-76.

Santoso, B. 2004. Peningkatan pendapatan usahatani Kenaf melalui perbaikan


teknologi di lahan rawam musiman (Bonorowo). Jurnal Perspektif, 3(1): 1-
14.

Sektiwi, A. T., N. Aini, dan H. T. Sebayang. 2013. Kajian model tanam dan
waktu tanam dalam system tumpangsari terhadap pertumbuhan dan
produksi benih jagung. Jurnal Produksi Tanaman, 1(3): 59-70.

Sisworo, W. H., H. Rasyid, dan H. W. Sirwando. 1990. Pemupukan nitrogen pada


sistem tumpangsari jagung dan kedelai. BATAN, 391-403.

Sitompul, S. M dan B. Guritno. 1995. Analisa Pertumbuhan Tanaman.


FP. Universitas Brawijaya. Malang.

Supartoto, P. Widyasunu, dan E. Setyaningsih. 2002. Kajian agronomis jagung


dan kacang hijau sebagai tanaman penyela pada pertanaman dammar muda
(Agathis sp) di lahan hutan produksi. Jurnal Pembangunan Pedesaan, 2(3):
1-9.

Surtinah, N. Susi, dan S. U. Lestari. 2016. Optimasi lahan dengan system


tumpang sari jagung manis (Zea mays saccharata, Sturt) dan kangsung sutra
(Ipomea reptans) di Pekanbaru. Jurnal Ilmiah Pertanian, 12(2).

Thahir. 1999. Tumpang Gilir. PCU Yasaguna, Jakarta.

Vincent, H.R. 1996. Agriculture Fertilizer and Envisement. CO. BI Publishing,


New York.

Witkowicz, R. 2010. How Do Mineral Fertilization and Plant Growth Regulators


Affect Yield and Morphology of Naked Oat?. Faculty of Agriculture and
Biology, 5(2): 96-107.

Anda mungkin juga menyukai