Anda di halaman 1dari 11

Nama : Qurrotu Aini

NIM : 16110114
Matkul : Masa’il Fiqh

Review Materi 1
(Zakat Hasil Bumi dan Zakat Hasil Tanah yang Disewakan)

A. Pengertian Zakat

Secara bahasa, zakat merupakan masdar dari kata zakâ yang artinya tumbuh,
bersih, baik dan berkah.1 Secara syari’at, zakat adalah suatu bentuk sedekah wajib
atas harta yang dimilikinya agar bisa menjadi orang suci yang disucikan serta
kedudukannya bisa lebih tinggi di sisi Allah SWT.

Ada beberapa perbedaan pendapat tentang pengertian zakat menurut imam


mazhab. Menurut Mazhab Maliki, zakat diartikan sebagai pengeluaran sebagian harta
khusus yang telah mencapai batas minimal harta yang wajib dizakatkan kepada
beberapa golongan yang wajib menerima zakat.2

Mazhab Hanafi sedikit berbeda memberikan definisi pada zakat, menurutnya


zakat adalah suatu pengkhususan dari harta yang khusus sebagai bagian dari
kepemilikan orang yang telah ditentukan dalam syariat dengan berlandaskan karena
Allah ta’ala.3

Mazhab Syafi’i mengartikan zakat sebagai bentuk pengeluaran harta dengan cara
yang khusus. Sedangkan menurut mazhab Hambali, zakat adalah pengeluaran hak
yang wajib dari harta khusus kepada golongan yang dikhususkan sesuai yang
tercantum dalam al Qur’an.

1
Nuruddin Mhd. Ali, Zakat sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada),
hlm. 6
2
Wahbah Zuhaylliy, Zakat Kajian Beberapa Mazhab, (Bandung: Remaja Rosdakarya), hlm. 83.
3
Ibid., hlm. 84
B. Hukum Zakat Hasil Pertanian

Sumber : https://muslim.or.id/9442-panduan-zakat-8-zakat-hasil-pertanian.html

Hasil pertanian wajib dikenai zakat. Beberapa dalil yang mendukung hal ini
adalah:

ِ ‫ت َما َك َس ْبت ُ ْم َو ِم َّما أ َ ْخ َرجْ نَا لَ ُك ْم ِمنَ ْاْل َ ْر‬


‫ض‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َ َمنُوا أ َ ْن ِفقُوا ِم ْن‬
ِ ‫ط ِِّيبَا‬

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari
hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu.” (QS. Al Baqarah: 267). Kata “‫”م ْن‬
ِ di sini menunjukkan sebagian, artinya
tidak semua hasil bumi itu dizakati.

‫الر َّمانَ ُمتَشَابِ ًها َو َغي َْر ُمتَشَابِ ٍه‬ َّ ‫ع ُم ْختَ ِلفًا أ ُ ُكلُهُ َو‬
ُّ ‫الز ْيتُونَ َو‬ َّ ‫ت َوالنَّ ْخ َل َو‬
َ ‫الز ْر‬ ٍ ‫ت َو َغي َْر َم ْع ُروشَا‬ ٍ ‫ت َم ْع ُروشَا‬ ٍ ‫شأ َ َجنَّا‬ َ ‫َوه َُو الَّذِي أ َ ْن‬
َ ‫ُكلُوا ِم ْن ثَ َم ِر ِه ِإذَا أَثْ َم َر َوآَتُوا َح َّقهُ يَ ْو َم َح‬
‫صا ِد ِه‬

“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak
berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun
dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah
dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya
di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin).” (QS. Al
An’am: 141).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫صدَقَة‬
َ ‫ق‬ ُ ‫ْس فِي َما دُونَ َخ ْم ِس أ َ ْو‬
ٍ ‫س‬ َ ‫َولَي‬

“Tidak ada zakat bagi tanaman di bawah 5 wasaq.”

Dalil-dalil ini menunjukkan wajibnya zakat hasil pertanian yang dipanen dari
muka bumi, namun tidak semuanya terkena zakat dan tidak semua jenis terkena zakat.
Akan tetapi, yang dikenai adalah jenis tertentu dengan kadar tertentu.
Hasil Pertanian yang Wajib Dizakati

Sumber : https://rumaysho.com/2464-panduan-zakat-hasil-pertanian.html

Pertama, para ulama sepakat bahwa hasil pertanian yang wajib dizakati ada empat
macam, yaitu: sya’ir (gandum kasar), hinthoh (gandum halus), kurma dan kismis
(anggur kering).

-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫سو َل هللا‬ ُ ‫ أ َ َّن َر‬: ‫ع ْن ُه َما‬ َّ ‫ى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ض‬ِ ‫ى َو ُمعَا ٍذ َر‬ ِّ ِ ‫سى اْل َ ْش َع ِر‬ َ ‫ع ْن أَبِى ُمو‬ َ ‫ع ْن أَبِى ب ُْردَة‬ َ
‫ب‬ َّ ‫ير َوالت َّ ْم ِر َو‬
ِ ‫الز ِبي‬ َّ ‫ط ِة َوال‬
ِ ‫ش ِع‬ َ ‫ فَأ َ َم َر ُه ْم أ َ ْن ََل يَأ ْ ُخذُوا ِإَلَّ ِمنَ ْال ِح ْن‬،‫اس‬ ِ ‫بَ َعث َ ُه َما ِإلَى ْاليَ َم ِن يُ َع ِلِّ َم‬
َ َّ‫ان الن‬

Dari Abu Burdah, bahwa Abu Musa Al-Asy’ari dan Mu’adz bin Jabal
radhiallahu ‘anhuma pernah diutus ke Yaman untuk mengajarkan perkara agama.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka agar tidak mengambil
zakat pertanian kecuali dari empat jenis tanaman: hinthah (gandum halus), sya’ir
(gandum kasar), kurma, dan zabib (kismis).

Dari Al Harits dari Ali, beliau mengatakan:

‫الصدقة عن أربع من البر فإن لم يكن بر فتمر فإن لم يكن تمر فزبيب فإن لم يكن زبيب فشعير‬

“Zakat (pertanian) hanya untuk empat komoditi: Burr (gandum halus), jika
tidak ada maka kurma, jika tidak ada kurma maka zabib (kismis), jika tidak ada zabib
maka sya’ir (gandum kasar).”

Dari Thalhah bin Yahya, beliau mengatakan: Saya bertanya kepada Abdul
Hamid dan Musa bin Thalhah tentang zakat pertanian. Keduanya menjawab,

‫إنما الصدقة في الحنطة والتمر والزبيب‬

“Zakat hanya ditarik dari hinthah (gandum halus), kurma, dan zabib(kismis).”

Kedua, jumhur (mayoritas) ulama meluaskan zakat hasil pertanian ini pada tanaman
lain yang memiliki ‘illah (sebab hukum) yang sama. Jumhur ulama berselisih
pandangan mengenai ‘illah (sebab) zakat hasil pertanian.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada
segala sesuatu yang ditanam baik hubub (biji-bijian), tsimar (buah-buahan) dan sayur-
sayuran.

Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu
ada pada tanaman yang merupakan kebutuhan pokok dan dapat disimpan.

Imam Ahmad berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada tanaman
yang dapat disimpan dan ditakar.

Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada tanaman
yang dapat disimpan.

Tiga pendapat terakhir ini dinilai lebih kuat. Sedangkan pendapat Abu Hanifah
adalah pendapat yang lemah dengan alasan beberapa dalil berikut,

َ ‫ِى ْالبُقُو ُل فَقَا َل « لَي‬


‫ْس فِي َها‬ ِ ‫ع ِن ْال ُخض َْر َوا‬
َ ‫ت َوه‬ َ ُ‫ يَسْأَلُه‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى‬ َ ‫ع ْن ُم َعا ٍذ أَنَّهُ َكت‬
ِّ ِ ‫َب ِإلَى النَّ ِب‬ َ
‫َىء‬
ْ ‫ش‬

Dari Mu’adz, ia menulis surat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
bertanya mengenai sayur-sayuran (apakah dikenai zakat). Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sayur-sayuran tidaklah dikenai zakat.” Hadits ini menunjukkan
bahwa sayuran tidak dikenai kewajiban zakat.

-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َّللا‬ َّ ‫سو َل‬ُ ‫ أ َ َّن َر‬: ‫سى َو ُمعَا ِذ ب ِْن َجبَ ٍل‬ َ ‫ع ْن أَبِى ُمو‬ َ َ ‫ع ْن أَبِى ب ُْردَة‬ َ ‫ط ْل َحةَ ب ِْن يَحْ يَى‬ َ ‫ع ْن‬ َ
‫َاف‬
ِ ‫صن‬ َّ ‫« َلَ ت َأ ْ ُخذَا فِى ال‬: ‫وقَا َل‬.
ْ َ ‫صدَقَ ِة ِإَلَّ ِم ْن َه ِذ ِه اْل‬ َ َّ‫بَعَث َ ُه َما ِإلَى ْاليَ َم ِن فَأ َ َم َر ُه َما أ َ ْن يُعَ ِلِّ َما الن‬
َ ‫اس أ َ ْم َر دِينَ ِه ْم‬
.» ‫ب َوالت َّ ْم ِر‬ َ ‫ير َو ْال ِح ْن‬
َّ ‫ط ِة َو‬
ِ ‫الزبِي‬ َّ ‫اْل َ ْربَعَ ِة ال‬
ِ ‫ش ِع‬

Dari Tholhah bin Yahya, dari Abu Burdah, dari Abu Musa dan Mu’adz bin
Jabal berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus keduanya ke
Yaman dan memerintahkan kepada mereka untuk mengajarkan agama. Lalu beliau
bersabda, “Janganlah menarik zakat selain pada empat komoditi: gandum kasar,
gandum halus, kismis dan kurma.” Hadits ini menunjukkan bahwa zakat hasil
pertanian bukanlah untuk seluruh tanaman.
Sedangkan pendapat ulama Zhohiriyah yang menyatakan bahwa zakat hasil
pertanian hanya terbatas pada empat komoditi tadi, maka dapat disanggah dengan dua
alasan berikut:

1. Kita bisa beralasan dengan hadits Mu’adz di atas bahwa tidak ada zakat pada sayur-
sayuran. Ini menunjukkan bahwa zakat hasil pertanian diambil dari tanaman yang bisa
disimpan dalam waktu yang lama dan tidak mudah rusak. Sedangkan sayur-sayuran
tidaklah memiliki sifat demikian.
2. Empat komoditi yang disebutkan dalam hadits adalah makanan pokok yang ada pada
saat itu. Bagaimana mungkin ini hanya berlaku untuk makanan pokok seperti saat itu
saja dan tidak berlaku untuk negeri lainnya? Karena syari’at tidaklah membuat ‘illah
suatu hukum dengan nama semata namun dilihat dari sifat atau ciri-cirinya.

Pendapat Imam Syafi’i lebih dicenderungi karena hadits-hadits yang telah


disebutkan di atas memiliki ‘illah (sebab hukum) yang dapat ditarik di mana gandum,
kurma dan kismis adalah makanan pokok di masa silam –karena menjadi suatu
kebutuhan primer- dan makanan tersebut bisa disimpan. Sehingga hal ini dapat
diqiyaskan atau dianalogikan pada padi, gandum, jagung, sagu dan singkong yang
memiliki ‘illah yang sama.

C. Hukum dan Aturan Zakat Hasil Tanah yag Disewakan

Sumber : https://bejanasunnah.wordpress.com/2012/03/10/zakat-sewa-tanah/

Soal: Bagaimana aturan zakat untuk hasil sewa tanah? berapa nishabnya?

Jawab :

Mengaitkan antara tanah yang dimiliki seseorang dengan keharusan berzakat tidak
lepas pada hal-hal berikut ini :

 Jika tanah tersebut ia tanami, maka ia berkewajiban mengeluarkan zakat dari hasil
pertanian tersebut berupa biji-bijian dan buah-buahan yang dapat ditakar dan
disimpan jika telah mencapai nishabnya; yaitu 5 wasaq.
 Jika tanah tersebut dipersiapkan untuk diperdagangkan, maka ia wajib
mengeluarkan zakat perdagangan apabila telah mencapai nishab serta telah
berlalu satu tahun.
 Jika tanah tersebut disewakan, maka ia mesti mengeluarkan zakat atas
keuntungan yang ia dapatkan apabila telah mencapai nishab serta telah berlalu
satu tahun.
 Adapun jika tanah tersebut digunakan untuk kepentingan tempat tinggal atau
belum ada tujuan jelas antara ditanami, dijual, atau disewakan; maka tidak wajib
dizakati.

Nishab dan Kadar Zakat Sewa Tanah

Bagi yang menyewakan sebidang tanah yang ia miliki, maka ia wajib


membayar zakat harga (sewa) berupa uang bila telah mencapai nishab (seharga 85
gram emas murni) dan berlalu satu tahun dari sejak akad sewa-menyewa dengan kadar
zakat 2,5%. Dari ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ‘Tidak ada kewajiban zakat
untukmu sehingga engkau memiliki 20 dinar (85 gram emas) dan tekah lewat setahun.
Yang zakatnya adalah setengah dinar.’ [Hasan. HR. Abu Dawud 1572-1574 dan at-
Tirmidzi 620].

Contoh Perhitungan

Seseorang memiliki sebidang tanah yang disewakan dengan sewa sebesar Rp.
20.000.000. Bagaimana cara mengeluarkan zakatnya? Jawab : Kadar nishab
adalah 85 gram emas. Seandainya harga setiap gram emas adalah Rp. 200.000
maka nishabnya adalah Rp. 17.000.000. Dengan demikian uang hasil sewa tanah
tersebut mencapai nishab dan harus dihitung zakatnya. Besar zakat yang harus
dikeluarkan : 2,5% x Rp. 20.000.000 = Rp. 500.000

Penulis : Abu Halbas Muhammad Ayyub


D. Perbedaan Pendapat Ulama Megenai Zakat Hasil Tanah yang Disewakan

1) Sumber : http://alutsblog.blogspot.com/2011/08/zakat-hasil-bumi-atas-tanah-
yang.html

Maka dari itu, apabila hasil bumi berupa tanam-tanaman dan buah-buahan
ditanam diatas tanah sewaan, siapakah yang wajib menzakati hasil tanah yang
disewakan, pemilik tanahkah atau penyewa tanah yang mengeluarkan zakathasil
tanahnya? Dalam hal ini ada beberapa pendapat sebagai berikut:

1. Jumhur (kebanyakan) ulama’ berpendapat, jika ada orang yang menyewa sebidang
tanah lalu ditanaminya atau dia meminjam tanah kemudian menanaminya dengan
tanaman yang berbuah, maka hasil atas tanah itu dikenakan zakat. Kewajiban
mengeluarkan zakat dibebankan kepada penyewa atau orang yang meminjam
tanah itu, bukan kepada pemilik tanah karena sesungguhnya zakat itu diwajibkan
atas tanaman.
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT
“dan tunaikanlah haknya di hari memetiknya”. (QS. Al-An’am : 141)

Adalah tidak adil bila kewajiban zakat diberikan kepada pemilik tanah sebab zakat
dikenakan atas tanamannya, dengan demikian dia berkewajiban mengeluarkan
zakat karena menanami tanahnya. Begitulah keterkaitan antara zakat, tanah, dan
tanamannnya.

Mahmud Syaltut memperkuat pendapat jumhur dengan alasan bahwa beban zakat
berkaitan dengan hasil tanamannya, sehingga zakatnya itu sebagai pernyataan
syukur yang bersangkutan atas hasil tanaman yang baik, selamat dari musibah
banjir, hama wereng dan sebagainya.

2. Abu Hanifah berpendapat, pemilik tanah yang berkewajiban mengeluarkan


zakatnya, sebab tanah itulah asal mula timbulnya kewajiban zakat, tiada tanah
tiada pulahasil tanaman.
Madzab Maliki dan Syafi’i tidak sepakat dengan Abu Hanifah, mereka
mengatakan,”kewajiban zakat tanah sewaan dibebankan kepada pihak penyewa
karena tanah yang menghasilkan diwajibkan zakatnya sebesar sepersepuluh dan
yang menikmati hasil tanah itu adalah pinak penyewa. Oleh karena itu pihak
penyewa dibebani untuk membayar zakat sebesar sepersepuluh dan dia dianggap
sebagai peminjam, akan tetapi kita harus meminta fatwa imam untuk
melaksanakannya karena begitulah makna lahiriyah riwayat yang ada. Bila
kewajiban zakat atas penyewa itu akan membawa manfaat yang lebih bagi fakir
miskin, kewajiban itu mesti dilaksanakan karena memang begitulah fatwa ulama’
mutaakhirin.
Berkata Ibnu Rusyd,”sebab pertikaian mereka adalah, apakah zakat itu kewajiban
tanah atau kewajiban tanaman, ataukah kedua-duanya, yakni tanah dan hasilnya.
Nampaknya Jumhur melihat kepada harta benda yang wajib dizakati, ialah berupa
hasil tanaman itu, sedangkan Abu Hanifah melihat kepada harta benda yang
menjadi asal mula timbulnya kewajiban zakat yaitu tanah”. Maka dari itu Ibnu
Qudamah memandang pendapat jumhur lebih kuat, katanya,”zakat itu wajib pada
tanaman, maka terpikullah atas si pemilik tanaman itu, seperti menzakatkan uang
sebagai harga dari barang dagangan, dan mengeluarkan tanaman hasil tanah
kepunyaan sendiri.

Jalan yang baik dan aman dalam pandangan agama adalah zakat dikeluarkan oleh
pemilik tanah dan penyewa walaupun jumlah yang dikeluarkan tidak sama
besarnya. Mungkin si pemilik tanah yang lebih besar atau sebaliknya atas
kesepakatan bersama pada saat di buat perjanjian sewa-menyewa, dapat juga
dengan cara bahwa pemilik tanah mengeluarkan zakat dari hasil sewanya bila
telah mencapai nisab, demikian juga penyewa tanah mengeluarkan zakat dari hasil
tanah yang dikelolanya, dengan jalan ini baik pemilik tanah maupun penyewanya
telah bersih jiwanya atau dirinya. Begitu pula dengan harta yang diperoleh pemilik
tanah (sewanya) dan penyewa (hasil tanah yang diolah) telah bersih dari hak orang
lain didalamnya. Dengan cara ini tidak ada helah atau upaya dari masing-masing
pemilik dan penyewa membebaskan diri dari kewajiban zakat, namun kuncinya
sangat tergantung kepada kesadaran kedua belah pihak.
Akan tetapi dari pendapat-pendapat dan pandangan-pandangan di atas bahwa yang
berhak mengeluarkan zakatnya adalah penyewa tanah atau yang memiliki
tanaman tersebut yang mana sesuai dengan pendapat jumhur yang lebih kuat yang
dikemukakan oleh Ibnu Qudamah dan juga pendapat yang dikemukakan oleh
Imam Malik, Imam Syafi’I, ats-Tsauri Ibnu’i-mubarak, Abu Tsaur dan golongan
fuqaha’ lainnya. Sedangkan zakat yang harus dikeluarkan darinya ialah 10% atau
5% tergantung dari tanahnya apa diairi dengan alat mekanik (dengan biaya) atau
tidak, sesuai dengan apa yang telah ditetapkan/disepakati para ulama’ berdasarkan
hadist Nabi.

2) Sumber : https://zakat.or.id/zakat-hasil-sewa-lahan-pertanian/

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh

Saya memiliki pertanyaan seputar bab zakat hasil sewa lahan pertanian. Kami
mempunyai tanah sawah dan disewakan. Berapa persen besar zakat yang harus
dikeluarkan? siapakah yang harus membayar zakat (pemilik atau penyewa)?

Termasuk kategori zakat apakah hal seperti ini (pertanian/perniagaan atau


yang lain)?

Jawaban:
Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh

Semoga Allah swt senantiasa mencurahkan keberkahan-Nya kepada saudara


dan keluarga.

Apabila penyewa itu menyewa dengan membayar uang kepada saudara,


misalnya menyewa 5 tahun senilai 5 juta, maka pemilik tanah mengeluarkan
zakat hasil sewa lahan pertanian yang ia terima pada saat menerima uang sewa itu
saja. Menurut Syaikh Yusuf Al-Qardhawi, zakat atas uang sewa itu adalah 10
persen bila zakat dikeluarkan setelah dikurangi biaya operasional dan 5 persen
bila zakat dikeluarkan dari hasil terima. Tentu saja, zakat dikeluarkan bila hasil
sewa itu mencapai nishab senilai 653 kg beras. Sistem sewa semacam ini para
ulama sepakat diperbolehkan.

Adapun system sewa tanah dengan pembayaran bagi hasil dari hasil tanah
tersebut, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama membolehkan hal
tersebut berdasarkan sistem yang Rasulullah saw berlakukan terhadap tanah
khaibar.

Sebagian ulama membolehkan, dengan syarat bibit tanaman berasal dari


pemilik tanah. Dalam fikih metode ini dikenal dengan istilah muzaara’ah.

Sebagian ulama tidak memperbolehkan sistem sewa dengan pembayaran dari


hasil tanah itu bila bibit tanaman berasal dari penyewa. Berapa berasalan bahwa
akad tersebut mengandul unsur jahalah (ketidakpastian informasi tentang nilai
sewa).

Menurut hemat penulis, boleh menyewakan tanah dengan bayaran sewa dari
sebagian hasil tanah atau sawah yang ditanami. Sedangkan bibit bisa berasal dari
pemilik tanah atau pekerja. Dengan syarat berdasarkan prinsip keadilan. Pendapat
ini mengikuti pendapat Imam Mawardi, Ibnu Qayyim dan ulama yang lain.

Apabila menggunakan metode ini, maka sistem zakatnya adalah: pemilik


tanah menzakati hasil panen yang menjadi jatahnya. Sedangkan orang yang
menggarap tanah itu juga mengeluarkan zakat atas bagiannya. Sementara untuk
pencapaian nishabnya berdasarkan nilai hasil panen yang diperoleh. Sedangkan
prosentasi zakat yang dikeluarkan adalah: 10 persen dari bagian yang diterima
bila pengairannya berasal dari air hujan atau sungai. Sedangkan bila pengairannya
membutuhkan pembiayaan atau beli, nilai zakatnya adalah 5 persen dari hasil
yang diterima.

Sebagai ilustrasi, Pak Ahmad adalah seorang pemilik tanah. Sedangkan Pak
Hamid penyewa tanah untuk ditanami dengan akad bagi hasil pertanian dan benih
berasal dari Pak Hamid. Ketika panen, tanah pak Ahmad menghasilkan 3 ton
beras. Sedangkan system pengairannya berasal dari pembelian air disel.
Sedangkan bagi hasilnya adalah: 40: 60. 40 persen untuk Pak Ahmad dan 60
persen untuk Pak Hamid.

Bila kita perhatikan, hasil pertanian itu telah mencapai nishab karena lebih
dari 653 kg beras (5 wasaq). Dengan begitu, Pak Ahmad mengeluarkan zakat
hasil sewa lahan pertanian 5 persen dari bagi hasil yang ia terima. Sedangkan Pak
Hamid mengeluarkan zakat 5 persen dari bagi hasil yang ia terima. Wallahu
a’lam

DAFTAR PUSTAKA

Mas’ud, Ibnu, Abidin, Zaenal, Fiqih madzhab syafi’I buku 1 ibadah, Bandung:
Pustaka Seta, 2005

Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994

Hasbi, T.M. Ash Shiddiqy, Pedoman Zakat, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,
2002

Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah, Malang: Toko Gunung agung, 1994

Anda mungkin juga menyukai