Anda di halaman 1dari 54

PEMERIKSAAN BUICK NIER OVERZICHT INTRAVENOUS

PYELOGRAPHY (BNO+IVP) DENGAN SANGKAAN


URETEROLITHIASIS

KARYA TULISAN ILMIAH

Diajukan dalam rangka menyelsakan Tugas Akhir Program

Pendidikan Diploma III Teknik Radiodiagnostik

Disusun Oleh :

JENN Y RAHMADHANI LUBIS


NIM : 16.081

AKADEMI TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAB RADIOTERAPI


YAYASAN SINAR AMAL BAKTI MEDAN
2019

1
LEMBARAN PENGESAHAN

JUDUL : PEMERIKSAAN BUICK NIER OVERZICHT


INTRAVENOUS PYELOGRAPHY (BNO+IVP)
DENGAN SANGKAAN URETEROLITHIASIS

NAMA : JENNY RAMMADHANI LUBIS

NIM : 16.081

PROGRAM : PENDIDIKAN DIPLOMA III TEKNIK


RADIODIAGNOSTIK

Disetujukan Oleh :

Dosen Pembimbing

( PARSAORAN PARDEDE, S.Si. M.K.M)

Mengetahui

Direktur Akademi Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi

Sinar Amal Bakti

Medan

( Djamiandar Simamora, DFM, S.Pd, M.Pd)

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

3
Appendiks yaitu berupa pipa buntu yang berbentuk seperti cacing dan
berhubungan dengan sekum di sebelah caudal ileocecal (ileocecal junction).
(Moore, 2002)
Appendiksitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing.
Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus
memerlukan pembedahan dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi.
Bila tidak dirawat, angka kematian cukup tinggi dikarenakan oleh peritonitis
dan syok ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur. (Smeltzer, 2001)
Appendikografi adalah pemeriksaan secara radiografi terhadap usus buntu
dengan menggunakan kontras media positif berupa barium sulfat (BaSo4)
dengan pencatatan gambar menggunakan sinar-X dan di proses munggunakan
computed radiografi (CR) yang dapat membantu melihat terjadinya sumbatan
atau adanya kotoran (skibala) dalam usus buntu. (Sanyoto, 2007)
Radiologi adalah ilmu yang mempelajari interpretasi dari pencitraan medis
berbagai media seperti sinar-X. Radiologi dan imaging berkonsentrasi pada
pencitraan atau penggambaran tubuh manusia, misalnya dengan sinar- X, CT-
Scan, USG (Ultrasonografi), Magnetic Resonance Imaging (MRI) atau
Nuklir. (Irianto,2014)
Pemeriksaan Appendikografi bermula dari pasien yang merasa sakit pada
abdomen kanan sebelah bawah. Kemudian pasien datang ke rumah sakit untuk
memeriksakan keadaan perutnya yang sakit, bila dokter mendiagnosa pasien
mengalami appendiksitis, maka dokter menyarankan kepada pasien untuk
melakukan pemeriksaan radiografi. Untuk menegakkan diagnosa dokter,maka
dilakukan pemeriksaan Appendikografi. Dari hasil foto tersebut dokter akan
dapat menegakkan diagnosa dengan tepat.
Dari hasil pengamatan dan penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah DR.
Pirngadi Medan, pemeriksaan Appendikografi untuk semua klinis hanya
menggunakan proyeksi Antero-Posterior setelah pemasukan media kontras,
tanpa plan foto, di lakukan selama 3 hari berturut-turut dan tanpa penggunaan
fluoroscopi. Sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut apakah hanya
dengan posisi Antero-Posterior, tanpa plan foto dan tanpa penggunaan

4
fluoroscopi pada pemeriksaan Appendikografi sudah dapat memberikan
gambaran radiografi yang baik dan dapat menegakkan diagnosa.

B. Pembatasan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang masalah, untuk memperlihatkan
adanya appendiksitis kronis dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa
jenis proyeksi pemeriksaan. Tetapi untuk mendapatkan gambaran
Appendikografi yang optimal penulis membatasi masalah yaitu pemeriksaan
Appendikografi dengan sangkaan appendiksitis kronis dengan proyeksi
Antero-Posterior, menggunakan kontras media positif berupa Barium Sulfat
(BaSO4) tanpa plain foto. Menggunakan pesawat Rontgen General Purpose
X-ray (GPX) tanpa fluoroscopi dengan faktor eksposi 67 kV; 16 mAs, mA
dan proses pencatatan gambar dengan menggunakan Computed Radiografi
(CR).

C. Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang dan pembatasan masalah tersebut
diatas, pemeriksaan Appendikografi dengan sangkaan Apendiksitis Kronis,
maka peneli mengidentifikasi perumusan masalah yaitu:“Apa upaya yang
dapat dilakukan untuk mendapatkan gambaran radiografi yang optimal dari
Appendikografi dengan sangkaan Apendiksitis Kronis ?”.

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah bagaimana prosedur pelaksanaan
Appendikografi dengan sangkaan Apendiksitis Kronis di Instalasi
Radiologi Rumah Sakit Umum Daerah DR. Pirngadi Medan.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengidentifikasi persiapan pasien pada pemeriksaan
appendikografi di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Umum
Daerah DR. Pirngadi Medan.

5
b. Untuk memperoleh gambaran radiografi appendiks dengan
kontras gambar dan densitas gambar yang tinggi.

E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang dapat diambil dari pemeriksaan
Appendikografi dengan sangkaan Apendiksitis Kronis ini adalah :
1. Untuk Penulis
Untuk menerapkan pengetahuan yang telah dipelajari dalam teori selama
masa perkuliahan dengan mempraktekkan secara langsung pada objek
yang sebenarnya dan untuk menambah pengalaman bagi penulis.
2. Untuk Rumah Sakit Umum Daerah DR. Pirngadi Medan
Diharapkan agar hasil penelitian yang penulis lakukan dapat menjadi
acuan dan pertimbangan untuk dilakukanya pemeriksaan appendikografi
dengan sangkaan appendiksitis kronis di Instalasi Radiologi Rumah Sakit
Umum Daerah DR. Pirngadi Medan.
3. Untuk Institusi ATRO Yayasan Sinar Amal Bhakti Medan
Dengan harapan agar hasil penelitian pemeriksaan appendikografi dengan
sangkaan appendiksitis kronis yang dilaksanakan di Instalasi Radiologi
Rumah Sakit Umum Daerah DR. Pirngadi Medan dapat bermanfaat bagi
Mahasiswa tingkat III yang akan melaksanakan ujian akhir program dan
penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah DR. Pirngadi Medan. Penelitian
ini juga diharapkan dapat menambah buku referensi diruang perpustakaan
ATRO Yayasan Sinar Amal Bhakti Medan.

F. Isi Penulisan
Adapun sistematika penulisan dari karya tulis ilmiah ini yang dibagi atas
lima bab adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN

6
Pada bab ini penulis akan menguraikan tentang latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian
dan isi penulisan.

BAB II :TINJAUAN TEORITIS


Pada bab ini penulis akan menguraikan tentang pengertian
pemeriksaan, teknik radiografi, teknik pemeriksaan, teknik
pesawat Rontgen, fisika radiodiagnostik dan proteksi radiasi,
pencatatan bayangan dan perlengkapan radiografi.

BAB III :METODE PENELITIAN


Pada bab ini penulis akan menguraikan jenis penelitian, tempat
penelitian dan waktu penelitian, teknik pengumpulam data dan
analisa hasil.
BAB IV :HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan menguraikan hasil berupa identifikasi
pasien, prosedur pemeriksaan, persiapan alat dan bahan
pemeriksaan, persiapan pasien, teknik pemeriksaan, evaluasi
hasil serta menguraikan pembahasan.
BAB V :KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini penulis menguraikan bab terakhir yang menjelaskan
tentang kesimpulan dan saran yang dapat diberikan kepada
penulis dalam menyusun karya tulis ilmiah ini.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian Konsep
1. Pengertian Pemeriksaan

7
Appendikografi adalah pemeriksaan secara radiografi terhadap usus
buntu dengan menggunakan kontras media positif barium sulfat (BaSo4)
dengan pencatatan gambar menggunakan sinar-X dan di proses
munggunakan computed radiografi (CR) yang dapat membantu melihat
terjadinya sumbatan atau adanya kotoran (skibala) dalam usus buntu.
(Sanyoto, 2007)
2. Anatomi
Anatomi adalah ilmu yang mempelajari bentuk dan susunan tubuh
yang dapat di peroleh dengan cara mengurai badan melalui potongan
bagian-bagian dari badan dan hubungan alat tubuh satu dengan yang lain.
(Syaifuddin,2006)
Anatomi adalah ilmu yang mempelajari bentuk dan susunan tubuh,
baik secara keseluruhan maupun secara bagian-bagian, serta hubungan alat
tubuh yang satu dengan yang lain.
Appendiks yaitu berupa pipa buntu yang berbentuk seperti cacing dan
berhubungan dengan sekum di sebelah caudal ileocecal (ileocecal
junction). (Moore, 2002)
Appendiks adalah bagian dari usus besar yang muncul seperi corong
dari akhir sekum yang mempunyai pintu keluar yang sempit tapi masih
bisa dilewati oleh beberapa isi usus. Sebagai suatu organ pertahanan
terhadap infeksi, kadang kala appendiks bereaksi secara hebat dan
hiperaktif yang bisa menimbulkan perforasi dindingnya kedalam rongga
abdomen. Appendiks memiliki struktur lapisan yang sama dengan seluruh
saluran cerna. Namun demikian, lapisan luar serabut otot pada muskularis
eksterna bersifat kontiniu. Sejumlah besar jaringan limfoid dalam mukosa
dan submukosa tersusun dalam folikel-folikel dengan pusat germinal yang
pucat.Pada orang dewasa struktur ini umumnya menghilang dan appendiks
terisi dengan jaringan perut.
Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar di pangkal dan sempit
diujung. Keadaan ini menjadi penyebab rendahnya insidens appendiksitis
pada usia tersebut.

8
Appendiks vermiformis merupakan organ yang mengandung jaringan
lymphoid dan bagian yang dekat sekum mempunyai lumen yang lebih
kecil dari pada bagian yang distal. Berpangkal pada daerah postero-lateral
dari sekum, dua sampai tiga centimeter di bawah muara ileum pada sekum.
Appendiks vermiformis tidak mempunyai mesentrium yang sebenarnya
tetapi mempunyai lipatan peritoneum yang disebut mesenterium atau
mesoapendiks yang menghubungkan dengan ileum. Di dalam
mesenteriolum terdapat arteri appendikularis. (Wibowo, 2009)
Letak appendiks vermiformis berubah-ubah, tetapi biasanya appendiks
vermiformis terletak retrosecal. Letak pangkal appendiks vemiformis lebih
kedalam dari titik pada batas antara bagian sepertiga lateral dan dua
pertiga medial garis miring antara spina iliaca anterior superior dan
anulus umbilicalis.
Pangkal appendiks dapat ditentukan dengan cara pengukuran garis
Monroe-Pichter. Garis diukur dari Spina Iliaka Anterior Superior (SIAS)
dextra ke umbilicus, lalu garis dibagi tiga. Pangkal appendiks terletak 1/3
lateral dari garis tersebut dan dinamakan titik McBurney. Ujung appendiks
juga dapat ditentukan dengan pengukuran garis Lanz. Garis diukur dari
Spina Iliaka Anterior Superior (SIAS) dextra ke Spina Iliaka Anterior
Superior (SIAS) sinistra, lalu garis dibagi 6, ujung appendiks terletak pada
1/6 lateral dextra garis tersebut.
Ujung appendiks mudah bergerak dan dapat ditemukan pada tempat-
tempat berikut ini:
a. Tergantung kebawah kedalam pelvis berhadapan dengan dinding
pelvis kanan
b. Melengkung di belakang sekum.
c. Menonjol ke atas sepanjang pinggir lateral sekum, dan
d. Di depan atau di belakang pars terminalis ileum.

Posisi pertama dan kedua merupakan posisi yang paling sering di


temukan. Posisi appendiks sangat variabel dibandingkan daripada organ-

9
organ lainnya. Yang paling sering sekitar 75% terletak di belakang sekum.
Sekitar 20% menggantung ke bawah tulang panggul.

h
b

c
d
g
e

i f

Gambar 1. Anatomi Appendiks.(Sjamshuhidajat, 2004)

Keterangan Gambar :
a. Arteri Ileotoitis
b. Ileum Terminal
c. Arteri Apendikularis Retroperitoneal
d. Arteri Apendikularis di dalam Mesoapendiks
e. Ujung Apendiks
f. Apendiks Intra Peritoneal
g. Sekum Intra Peritoneal
h. Apendiks Retro Peritoneal
i. Pangkal Apendiks

3. Fisiologi
Fisiologi adalah ilmu yang mempelajari faal, fungsi atau pekerjaan dari
tiap jaringan tubuh atau bagian dari alat tubuh tersebut.(Syaifuddin, 2006)
Secara khusus fungsi appendiks belum diketahui, namun appendiks
menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir tersebut secara normal
dialirkan ke appendiks dan ke secum. Dinding appendiks terdiri dari

10
jaringan limfe yang merupakan bagian dari sistem imun dalam pembuatan
anti bodi. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut
Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna
termasuk appendiks adalah Ig A. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan appendiks
tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfa
disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya jaringan disaluran
cerna dan seluruh tubuh. (Sjamshuhidajat, 2004)

4. Patologi
Patologi adalah ilmu mempelajari tentang struktur tubuh dan
perubahan yang berkaitan dengan penyakit atau cedera.(Sloane, 2003)
Appendiksitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing.
Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus
memerlukan pembedahan dengan penyingkiran umbai cacing yang
terinfeksi. Bila tidak dirawat, angka kematian cukup tinggi dikarenakan
oleh peritonitis dan syok ketika umbai cacing yang terinfeksi
hancur.(Smeltzer, 2001)
Klasifikasi appendiksitis terbagi atas dua yaitu appendiksitis akut dan
appendiksitis kronis. (Sjamshuhidajat, 2004)
a. Appendiksitis Akut
Appendiksitis akut ialah penyakit saluran pencernaan yang paling
sering memerlukan pembedahan dan paling sering menimbulkan
kesukaran dalam memastikan diagnosisnya karena tampil dengan
gejala khas yang didasari oleh radang mendadak appendiks, disertai
maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala appendiksitis
akut adalah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri
viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus.
Appendiksitis akut dibagi atas :
1) Apendiksitis Akut Fokalis atau Segmentalis.
Biasanya hanya bagian distal yang meradang, tetapi seluruh
rongga appendiks 1/3 distal berisi nanah dari luar tidak jelas tampak

11
kelainan, kadang-kadang hanya hiperemi ringan pada serosa,
sedangkan radangnya terbatas pada mukosa yang sering bertukak.
Untuk diagnosis yang penting ialah ditemukannya nanah dalam
lumen bagian itu. Kalau radangnya menjalar maka dapat terjadi
appendiksitis akut purulenta.
2) Apendisitis Akut Purulenta (Suppurative Apendiksitis) Diffusa
Pada appendiksitis akut purulenta tekanan dalam lumen yang
terus bertambah di sertai edema menyebabkan terbendungnya
aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan thrombosis.
Keadaan ini memperberat iskemia dan edema apa appendiks.
Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi kedalam dinding
appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi
suram karena di lapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan
mesoappendiks terjadi edema, hyperemia dan di dalam lumen
terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan
peritoneum local seperti nyeri di tekan, nyeri lepas di titik
McBurney, defans muskuler dan nyeri pada gerak aktif dan pasif.
Nyeri ini juga dapat terjadi pada seluruh perut di sertai dengan
tanda-tanda peritonitis umum.
3) Apendiksitis Akut Gangrenosa atau Phlegmonosa
Pembentukan nanah yang berlebihan jika radangnya lebih
mengeras dapat terjadi nekrosis dan pembusukan disebut
appendiksitis gangrenosa atau phlegmonosa.
Appendiks tampak lebih merah akibat hiperemi yang berlebihan
dan bengkak karena edema dengan tanda-tanda perdarahan
dibawah lapisan serosa (petechiae). Dari luar juga tampak eksudat
bercampur fibrin, sedangkan mesoappendiks juga membengkak.
Rongga appendiks juga mengandung nanah berwarna merah karena
perdarahan biasanya ditemukan sebagai fecolith. Mukosa bengkak
dan dapat terlepas sehingga terbentuk tukak-tukak juga terjadi
dilatasi karena penyumbatan sehingga dinding menipis.

12
Pada appendiksitis gangrenosa atau phlegmonosa dapat terjadi
perforasi akibat nekrosis kedalam rongga perut dengan akibat
peritonitis.
Secara mikroskopik tampak edema seluruh lapisan dinding
appendiks disertai serbukan sel radang mendadak pada semua
lapisan, dari mukosa sampai serosa. Tanda khas untuk tingkat akut
adalah sebukan sel radang mendadak pada lapisan otot. Mukosa
tampak nekrotik dan pada beberapa tempat bertukak terutama di
atas folikel-folikel getah bening juga mesoapendiks bengkak dan
menunjukkan sebukan sel radang mendadak yang merata.
Pembuluh-pembuluh darah pada tempat itu menunjukkan
trombosis. Gejala klinik diantaranya ialah demam (fibris), mual
(nausea), mutah-muntah (vomitus), mulas dan rasa nyeri daerah
sekitar pusat (periumbilikal) dan rasa nyeri bagian perut kanan
bawah dengan tanda-tanda yang khas untuk appendisitis akut
seperti nyeri pada titik McBurney.
b. Appendiksitis Kronis
Diagnosis appendiksitis kronis baru dapat ditegakkan jika di
temukan adanya riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu,
radang kronis appendiks secara makroskopik dan mikroskopik.
Appendiksitis kronis jika tidak dapat sembuhkan akan menjadi
appendiksitis kronis yang berupa:

1) Apendiksitis kronis fokalis


Secara mikroskopik tampak fibrosis setempat yang melingkar,
sehingga dapat menyebabkan stenosis. Tampak pula sebukan sel
mononukleus pada seluruh lapisan terdiri atas limfosit terutama
pada lapisan otot dan subserosa juga tampak eosinofil. Disamping
fibrosis jaringan submukosa dan subserosa juga tampak folikel
limfoid yang membesar tetapi semuanya masih setempat.
2) Apendiksitis kronis obliterativa

13
Terjadi fibrosis yang luas sepanjang appendiks pada jaringan
submukosa dan subserosa hingga terjadi obliterasi (hilangnya
lumen) terutama bagian distal, dengan menghilangnya selaput
lendir pada bagian itu seluruh rongga terisi jaringan ikat. Tampak
pula sebukan sel radang menahun pada seluruh lapisan dinding
sepanjang appendiks. Ditengah massa jaringan ikat yang mengisi
lumen tampak sisa-sisa makanan (fecolith) dengan reaksi sel dari
benda asing kadang-kadang juga tampak proliferasi serat saraf.
Folikel-folikel limfoid seluruh mukosa membesar yang khas untuk
tingkat kronis adalah adanya fibrosis submukosa dan subserosa di
sertai sebukan sel radang menahun. (Sjamshuhidajat, 2004)

5. Etiologi
Etiologi adalah ilmu yang mempelajari terjadinya
penyakit.(Mansjoer,2000)
Appendiksitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
appendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur
karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya atau neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang
meningkat tersebut akan menghambat aliran limfa yang
mengakibatkan edema, diapedesis bakteri dan ulserasi mukosa. Pada
saat inilah terjadi appendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri
epigastrium.(Pearce, 2005)
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat,
hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan
bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan
mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah
abdomen kanan bawah keadaan ini disebut dengan appendiksitis
supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi

14
infark dinding appendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini
disebut dengan appendiksitis gangrenosa. Bila dinding yang telah
rapuh itu pecah, akan terjadi appendiksitis perforasi. (Mansjoer,
2010)
Penyebab lain dari appendiksitis umumnya disebabkan oleh infeksi
bakteri. Namun, terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya
penyakit ini. Diantaranya obstruksi yang terjadi pada lumen appendiks
yang biasanya disebabkan karena adanya tinja yang keras (fekalit),
hyperplasia jaringan limfoid, penyakit cacing parasit, benda asing
dalam tubuh, tumor primer pada dinding appendiks dan striktur.
Penelitian terakhir menemukan bahwa ulserasi mukosa akibat
parasit seperti E. Hystolitica merupakan langkah awal terjadinya
appendiksitis pada lebih dari sepuluh kasus, bahkan lebih sering dari
sumbatan lumen. Beberapa penelitian juga menunjukkan peran
kebiasaan makan.
Faktor resiko yang mempegaruhi terjadinya apendiksitis ditinjau dari
teori Blum dibedakan menjadi empat faktor yaitu faktor biologi, faktor
lingkungan, faktor pelayanan kesehatan dan faktor perilaku. Faktor
biologi antara lain usia, jenis kelamin dan ras. Sedangkan faktor
lingkungan terjadi akibat obstruksi lumen akibat infeksi bakteri, virus,
parasit, cacing, benda asing dan sanitasi lingkungan yang kurang baik.
Faktor pelayanan kesehatan juga menjadi resiko apendiks baik dilihat
dari pelayanan kesehatan yang diberikan oleh layanan kesehatan baik
dari fasilitas maupun non-fasilitas, selain itu faktor resiko lain adalah
faktor perilaku seperti asupan rendah serat yang dapat mempengaruhi
defeksi dan fekolit yang menyebabkan obstruksi lumen sehingga
memiliki resiko appendiksitis yang lebih tinggi.(Sjamshuhidajat,
2004)

B. Teknik Radiografi
Teknik radiografi adalah ilmu yang mempelajari tentang tata cara
pemotretan dari objek yang di periksa dengan menggunakan sinar – X untuk

15
mendapatkan gambaran radiografi yang baik, yang dapat menegakkan
diagnosa.(Clark,1973)
Appendikografi adalah pemeriksaan secara radiografi terhadap usus buntu
dengan menggunakan kontras media positif berupa barium sulfat (BaSo4)
dengan pencatatan gambar menggunakan sinar-X dan di proses munggunakan
computed radiografi (CR) yang dapat membantu melihat terjadinya sumbatan
atau adanya kotoran (skibala) dalam usus buntu. (Sanyoto, 2007)
1. Tujuan Pemeriksaan
Adapun tujuan pemeriksaan Appendikografi dengan sangkaan
appendiksitis kronis adalah untuk melihat dan mengamati anatomi, fungsi
dan kelainan dari appendiks dengan menggunakan kontras media positif
berupa barium sulfat (BaSO4) untuk menegakkan diagnosa appendisitis
kronis dan keperluan pengobatan serta tindakan terapi selanjutnya untuk
pasien.
2. Bahan Kontras atau Kontras Media
Kontras media yang digunakan untuk keperluan radiografi adalah
suatu bahan yang sangat radioopaque apabila berinteraksi dengan sinar-X,
sehingga dapat membedakan antara organ dan jaringan
sekitarnya.(Rasad,2005)
Secara garis besar kontras media ini di bagi dua yaitu:
a. Media kontras Negatif(-), terdiri dari Udara(O2) dan Karbon Dioksida
(CO2)
b. Media kontras Positif(+), terdiri dari turunan Barium Sulfat(BaSO4)
dan turunan Iodium (I).(Rasad,2005)
Pada pelaksanaan penelitian appendikografi dengan sangkaan
appendiksitis kronis contras media yang di gunakan adalah kontras
media positif jenis barium sulfat (BaSo4).
3. Persiapan Alat
Dalam melakukan pemeriksaan appendikografi ada beberapa alat-alat
yang harus disiapkan, antara lain:
a. Pesawat Rontgen
b. Kaset

16
c. Film
d. Apron

C. Teknik Pemeriksaan
Dengan pemberian kontras media positif berupa barium sulfat
(BaSo4)secara per oral, appendiks bisa kelihatan setelah 9 jam sampai 48
setelah pemberian kontras media atau lebih.
Pemeriksaan Appendikografi dilakukan selama tiga hari berturut-turut
dengan menggunakan Pesawat Rontgen General Purpose X–ray adalah
sebagai berikut :
1. Pemeriksaan Hari I Proyeksi Antero-Posterior Post Kontras
Posisi Pasien : Tidur telentang di atas meja pemeriksaan (supine
position)
Posisi Objek :Objek yang akan di foto true AP tepat pada
pertengahan kaset pada meja pemeriksaan.
Tempatkan objek yang akan di foto pada
pertengahan kaset. Kedua bahu dalam satu bidang
horizontal. Kedua ekstremitas atas horizontal di
atas meja pemeriksaan. Kedua ekstremitas bawah
di luruskan dan pada knee joint di letakkan spons
untuk kenyamanan. Spina iliaka anterior superior
(SIAS) kanan dan spina iliaka anterior superior
(SIAS) kiri berjarak sama terhadap kaset. Kaset
horizontal dan di tempatkan dibawah bucky.
Eksposi dilakukan pada full ekspirasi dan tahan
nafas.

17
Gambar 2.Posisi Pasien Proyeksi Antero-Posterior.(Clarck, 1973)

Arah sinar :Vertical dan tegak lurus terhadap kaset


Pusat sinar :Pada pertengahan antara umbilikus dan Spina
Iliaka Anterior Superior (SIAS) kanan
Jarak Fokus ke Film :90 cm
Kondisi Penyinaran :70 kV ; 16mAs (Clarck,1973)
Ukuran Kaset : 24 cm x 30 cm
Kriteria Gambar : Tampak gambaran kontras media mengisi daerah
colon ascendences, daerah caecum, serta
mengisidaerah appendiks

Colon
Ascendens

Caecum

Apendiks

Gambar 3. Gambar Radiografi Appendiks Proyeksi Antero-Posterior Post Kontras


Hari I.(Clarck, 1973)
2. Pemeriksaan Hari II Proyeksi Antero-Posterior Post Kontras
Posisi Pasien : Tidur telentang di atas meja pemeriksaan (supine
position)
Posisi Objek : Objek yang akan di foto true AP tepat pada
pertengahan kaset pada meja pemeriksaan.
Tempatkan objek yang akan di foto pada
pertengahan kaset. Kedua bahu dalam satu bidang
horizontal. Kedua ekstremitas atas horizontal di
atas meja pemeriksaan. Kedua ekstremitas bawah
di luruskan dan pada knee joint di letakkan spons

18
untuk kenyamanan. Spina iliaka anterior superior
(SIAS) kanan dan spina iliaka anterior superior
(SIAS) kiri berjarak sama terhadap kaset. Kaset
horizontal dan di tempatkan dibawah bucky.
Eksposi dilakukan pada full ekspirasi dan tahan
nafas.

Gambar 4.Posisi Pasien Proyeksi Antero-Posterior.(Clarck, 1973)

Arah sinar :Vertical dan tegak lurus terhadap kaset


Pusat sinar : Pada pertengahan antara umbilikus dan Spina
Iliaka Anterior Superior (SIAS) kanan
Jarak Fokus ke Film : 90 cm
Kondisi Penyinaran : 70 kV ; 16mAs (Clarck,1973)
Ukuran Kaset : 24cm x 30 cm
Kriteria Gambar : Tampak gambaran kontras media sedikit
berkurang pada daerah caecum, kontras media
terisi pada appendiks.

Apendiks

19
Gambar 5.Gambar Radiografi Appendiks Proyeksi Antero-Posterior Post
Kontras Hari II.(Clarck, 1973)

3. Pemeriksaan Hari III Proyeksi Antero-Posterior Post Kontras


Posisi Pasien :Tidur telentang di atas meja pemeriksaan (supine
position)
Posisi Objek : Objek yang akan di foto true AP tepat pada
pertengahan kaset pada meja pemeriksaan.
Tempatkan objek yang akan di foto pada
pertengahan kaset. Kedua bahu dalam satu bidang
horizontal. Kedua ekstremitas atas horizontal di
atas meja pemeriksaan. Kedua ekstremitas bawah
di luruskan dan pada knee joint di letakkan spons
untuk kenyamanan. Spina iliaka anterior superior
(SIAS) kanan dan spina iliaka anterior superior
(SIAS) kiri berjarak sama terhadap kaset. Kaset
horizontal dan di tempatkan dibawah bucky.
Eksposi dilakukan pada full ekspirasi dan tahan
nafas.

Gambar 6. Posisi Pasien Proyeksi Antero-Posterior.(Clarck, 1973)

Arah sinar :Vertical dan tegak lurus terhadap kaset


Pusat sinar : Pada pertengahan antara umbilicus dan Spina
Iliaka Anterior Superior (SIAS) kanan
Jarak Fokus ke Film : 90 cm

20
Kondisi Penyinaran : 70 kV ; 16mAs (Clarck,1973)
Ukuran Kaset : 24 cm x 30 cm
Kriteria Gambar : Tampak gambaran kontras media mengisi daerah
apendiks

Apendiks

Gambar 7.Gambar Radiografi Apendiks Proyeksi Antero-Posterior Post Kontras


Hari III.(Clarck, 1973)

4. Proyeksi Right Posterior Oblique (RPO)


Posisi Pasien :Tidur telentang di atas meja pemeriksaan (supine
position)

Posisi Objek :Pasien dirotasikan 35 sampai 45 derajat terhadap


meja pemeriksaan, tangan kanan sebagai bantal,
kedua ekstremitas atas digerakkan ke arah cranial
di jadikan sebagai bantal. Kedua ekstremitas bawah
di tekuk untuk fiksasi.

21
Gambar 8.Posisi Pasien Proyeksi Right Posterior Oblique.(Frank, 2012)

Arah sinar :Vertical dan tegak lurus terhadap kaset


Pusat sinar :1-2 inch ke kiri dari titik tengah kedua Krista iliaca
Jarak Fokus ke Film : 90 cm
Kondisi Penyinaran : 70 kV ; 16 mAs (Clarck,1973)
Ukuran Kaset : 24 cm x 30 cm
Kriteria Gambar : Tampak gambaran kontras media mengisi daerah
appendiks

Apendiks

Gambar 9. Gambar Radiografi Appendiks Proyeksi Right Oblique Post


Kontras.(Frank,2012)

D. Teknik Pesawat Rontgen


Pesawat Rontgen adalah salah satu peralatan instalasi radiologi yang
mempunyai peranan penting untuk dapat memproduksi sinar- X dan dapat
memberikan gambaran objek pada film Rontgen setelah melalui proses secara
kimiawi di ruang prosesing film atau kamar gelap.(Meredith, 1972)

22
Teknik pesawat Rontgen adalah bagaimana tata cara penggunaan pesawat
Rontgen tersebut untuk kelancaran jalannya pemeriksaan dengan hasil
gambaran radiografi yang optimal.

Secara garis besar satu unit pesawat rontgen terdiri dari empat komponen
yaitu :
1. Tabung Rontgen (X-Ray Tube)
Tabung Rontgen adalah suatu wadah atau tempat komponen-
komponen pembangkit sinar - X untuk keperluan radiografi. Tabung
Rontgen merupakan ruang hampa udara dimana terdapat elektron-elektron
dan di arahkan dengan kecepatan tinggi pada suatu sasaran (target). Energi
elektron sebagian besar di ubah menjadi panas (99 %) dan sebagian kecil
(1%) diubah menjadi sinar-X.

Tabung Rontgen terdiri dari beberapa bagian yaitu :


a. Tube housing (tabung rontgen bagian luar)
Tube housing merupakan wadah pembungkus yang terbuat dari
bahan metal dan dilapisi dengan Pb. Fungsinya sebagai tempat insert
tube supaya terhindar dari benturan maupun goncangan dan sebagai
penahan supaya sinar–X keluar melalui tube window. Bagian-bagian
dari tube housing yaitu:
1) Window dilengkapi dengan box diafragma dan lampu kolimator.
2) Additional filter berfungsi untuk menyaring sinar-X menjadi
homogen. Filter terbuat dari bahan aluminium dengan ketebalan
tertentu.
3) Oli pendingin yang berfungsi sebagai bahan isolasi dengan
tegangan tinggi dan pendingin.
4) Kolimator adalah pembatas luas lapangan penyinaran terdapat
pada jendela tabung.
b. Insert tube

23
Insert tube adalah tabung Rontgen bagian dalam dan merupakan
tempat pembangkit sinar-X yang terletak di dalam tube hausing yang
terbuat dari kaca pyrex (gelas envelop) yang hampa udara didalamnya
terdapat katoda dan anoda.
Bagian-bagian dari insert tube :
1) Katoda yaitu elektroda yang bermuatan negatif dari sebuah
tabung Rontgen. Pada katoda terdapat filamen yang merupakan
sumber elektron yang membangkitkan sinar- X yang terbuat dari
kawat Tungstate dan focusing cup yang berfungsi mengarahkan
elektroda menuju bidang target dan letaknya mengapit filamen.
2) Anoda yaitu elektroda yang bermuatan positif yang bentuk
permukaannya miring untuk tempat tumbukan elektron (target).
Target ini terbuat dari bahan wolfram yang mempunyai daya
panas yang tinggi. Fungsi target adalah untuk memberhentikan
electron-electron yang berkecepatan tinggi secara tiba-tiba.
3) Filamen merupakan sumber electron untuk membangkitkan sinar-
X yang terbuat dari kawat tungstate.
4) Target terbuat dari bahan wolfram yang mempunyai daya tahan
panas tinggi. Fungsi target adalah untuk memberhentikan electron
yang berkecepatan tinggi secara tiba-tiba.

Urutan proses terjadinya sinar-X adalah sebagai berikut:


a. Katoda (filamen) dipanaskan (lebih dari 2000℃) sampai membara
dengan mengalirkan listrik yang berasal dari transformator.
b. Karena panas, elektron-elektron dari katoda (filamen) terlepas.
c. Muatan listrik filamen sengaja dibuat relatif lebih negatif terhadap
sasaran (target) dengan memilih beda potensial tinggi, sehingga
electron-electron bergerak ke anoda.
d. Sewaktu dihubungkan dengan transformator tegangan tinggi, electron
bergerak ke anoda.
e. Awan-awan elektron yang sampai di anoda mendadak dihentikan pada
sasaran (target) sehingga terbentuk panas (>99%) dan sinar- X (<1%).

24
f. Pelindung (perisai) timah akan mencegah keluarnya sinar- X yang
terbentuk dan hanya dapat keluar melalui jendela tabung.
Jumlah sinar-X yang dilepas tiap satuan waktu dapat dilihat pada alat
pengukur milli Ampere (mA), sedangkan jangka waktu pemotretan
dikendalikan oleh alat pengukur waktu

Gambar 10.Insert Tube X-ray Anoda Putar.(Meredith, 1972)

Keterangan:
1. Target yang terbuat dari Tungsten
2. Central shaft
3. Rotor
4. Stator coils
5. Oil
6. Expansion bellows
7. Filamen berbentuk spiral yang terbuat dari Wolfram
8. Focal spot
9. Oil displacement cone

25
10. Fixed shaft
11. Ball races

Suatu tabung Rontgen mempunyai persyaratan sebagai berikut :


a. Sumber elektron (Filamen)
Sumber elektron adalah filamen pada katoda didalam tabung
pesawat Rontgen, pemanasan filamen dilakukan dengan suatu
transformator tegangan tinggi.

b. Alat pemusat berkas elektron (focusing cup)


Alat ini menyebabkan elektron-elektron tidak bergerak terpencar tetapi
terarah ke bidang fokus (focal spot). Elektron-elektron yang ditolak
atau dipantulkan kembali oleh bidang fokus yang dapat menimbulkan
sinar-X di tempat lain atau memberi muatan listrik pada dinding
bagian dalam dari kaca tabung Rontgen.
c. Penghenti gerakan elektron ( Target )
Penghenti gerakan elektron terdiri dari :
1) Keping Wolfram yang di tanamkan di dalamnya pada tabung
Rontgen anoda diam.
2) Piring Wolfram diatas tangkai Molybdenum pada tabung Rontgen
anoda putar. Pada ujung tangkai ini terdapat rotor yang digerakkan
oleh stator yang terletak diluar labu kaca di dalam perisai tabung
Rontgen. Anoda terbuat dari tembaga dengan piring Wolfram atau
campuran alloy Wolfram atau rhenium pada tabung Rontgen anoda
putar. Katoda dan anoda dilas didalam labu kaca kedua ujung yang
dihadapkan pada jarak tertentu.
d. Gaya yang mempercepat gerakan elektron
Gaya tersebut memberikan percepatan yang dilakukan elektron-
elektron tergantung pada tegangan yang dipasang pada tabung
Rontgen.

26
2. Transformator Tegangan Tinggi (High Tension Transformator)
Sumber tegangan tinggi yang digunakan untuk menggerakkan dengan
cepat elektron-elektron melalui tabung sinar-X, sebuah transformator yang
selalu disebut trafo tegangan tinggi.(Meredith, 1973)
Tugasnya adalah mengubah tegangan masuk sampai beribu-ribu volt
yang diperlukan untuk menjalankan sinar-X. Trafo ini adalah trafo step up
dengan dua kumparan dan mempunyai lebih banyak lilitan dalam
kumparan keduanya dari pada kumparan pertama.
Bila pesawat sinar-X dipakai, tegangan melalui tabung sinar-X hampir
selalu dinyatakan dalam kilo Volt peak. Bentuk gelombang tabung dari
satu daya arus bolak balik adalah bentuk gelombang berdenyut, naik
sampai harga puncak (peak) dalam tiap half cycle dalam pola perubahan.
Kecuali dalam rangkaian arus khusus tegangan output dari trafo tegangan
tinggi yang di gunakan ketabung sinar-X juga berdenyut. Istilah kilo Volt
peak menunjukkan kilo Volt tertinggi yang dicapai dalam tipe cycle
tegangan berdenyut yang trafo sampaikan ke tabung sinar-X.

3. Meja Kontrol (Control Table)


Meja kontrol adalah bagian dari unit pesawat Rontgen yang digunakan
untuk menentukan besarnya keluaran sinar-X yang dibutuhkan untuk
menentukan setiap kali eksposi (paparan).(Bushong, 2001)
Meja kontrol pesawat rontgen merupakan tempat dilaksanakannya
segala kegiatan atau sistem kerja dari pesawat diagnostik dan tempatnya
terpisah dengan komponen pesawat lain, sehingga dalam
pengoperasiannya radiografer dapat terhindar dari bahaya radiasi
dikarenakan adanya tirai pelindung. Meja kontrol pada setiap unit pesawat
rontgen berbeda-beda tetapi prinsip dan penggunaan hampir sama.
Pada meja control terdapat alat pengatur atau indikator-indikator antara
lain :
a. kV Meter Radiografi
Alat penunjuk besarnya tegangan tabung rontgen (kilo Volt) yang
digunakan pada radiografi.

27
b. mA Selector Radiografi
Alat pengatur besarnya arus tabung Rontgen (mA) pada pemeriksaan
radiografi.
c. Timer Selektor Radiografi
Alat pengatur waktu eksposi yang digunakan untuk pemeriksaan
radiografi.
d. kV Selektor Radiografi
Alat untuk mengendalikan atau pengatur besaran kilo Volt yang
digunakan pada radiografi.
e. Tombol Eksposi Radiografi (Handswitch)
Berfungsi untuk melakukan ekspose pada saat pemeriksaan radiografi
f. Line Switch Lines
Alat untuk mematikan atau menghidupkan pesawat Rontgen.
g. LineVoltage Control
Alat untuk menyesuaikan besarnya tegangan masuk ke pesawat
Rontgen dengan tanda line Voltage.

4. Meja Pemeriksaan (Examination Table)


Meja pemeriksaan adalah suatu peralatan yang digunakan untuk
penderita atau pasien yang akan diperiksa. (Meredith,1972)
Meja pemeriksaan dibuat sedemikian rupa, sehingga dapat digunakan
dengan mudah, aman serta nyaman, dapat digerakkan kearah atas atau
tegak lurus (vertical) maupun dalam posisi datar (horizontal).

E. Fisika Radiodiagnostik Dan Proteksi Radiasi


1. Fisika Radiodiagnostik
Fisika radiodiagnostik merupakan bagian dari cabang ilmu radiologi
yang memanfaatkan sinar pengion untuk membantu diagnosa dalam
bentuk foto yang bisa didokumentasikan.(Rasad,2005)
Sinar-X adalah pancaran gelombang elektromagnetik yang panjangnya
1A0(Angstrom) atau 10-8cm sejenis dengan gelombang radio, panas,
cahaya, dan sinar ultraviolet tetapi dengan panjang gelombang yang sangat

28
pendek. Selain sinar- X adalah sebagai sumber sinar yang merupakan hal
mutlak yang harus ada dalam pembuatan foto Rontgen, juga diperlukan
alat-alat penunjang lainnya guna terlaksana suatu pemeriksaan
radiografi.(Rasad,2005)
Sinar-X merupakan suatu gelombang elektromagnetik dengan panjang
gelombang yang cenderung sangat pendek,akan tetapi memiliki energi
yang sangat besar. Sinar-X juga mempunyai daya tembus yang sangat
tinggi. Selain itu, sinar-X juga memiliki kemampuan mengionisasi atom
dari materi yang dilewati,selanjutnya menjadikan sebagai salah satu
bentuk radiasi elektromagnetik.
Dalam pemeriksaan Appendikografi dengan sangkaan appendiksitis
kronis memerlukan kontras gambar dan densitas gambar, sehingga dapat
memperlihatkan gambaran apendiks dengan jaringan disekitarnya.
a. Kontras Gambar
Kontras gambar merupakan derajat densitas atau perbedaan antara
dua area pada gambar radiografi. (Meredith,1972)
Faktor-faktor yang mempengaruhi kontras gambar adalah :

1) Pemilihan kilo Voltage (kV)


kV adalah faktor penting karena menentukan dosis radiasi (pasien)
dan kontras radiografi suatu struktur anatomi.
2) Film dan tabir
Penggunaan kombinasi film dan tabir yang cepat sehingga
mengurangi dosis radiasi pada pasien.
3) Luas lapangan penyinaran
Luas lapangan penyinaran harus cukup untuk mencangkup semua
daerah yang akan dipotret tetapi seoptimal mungkin untuk
mengurangi radiasi hambur.

Tegangan yang lebih rendah menghasilkan kontras gambar yang tinggi


dan tegangan yang lebih tinggi menghasilkan kontras gambar yang rendah.
Pengukuran kontras dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu :

29
1) Kontras objektif adalah perbedaan antara bayangan hitam dan
bayangan putih pada film Rontgen yang dapat diukur dengan alat
densito meter.
2) Kontras subjektif adalah perbedaan antara bayangan hitam dan
putih yang dapat dilihat langsung oleh mata.
b. Densitas gambar
Densitas gambar yaitu derajat kehitaman pada film. Hasil dari
eksposi film setelah diproses menghasilkan efek penghitaman karena
sesuai dengan sifat emulsi film yang akan menghitam apabila diekspos.
Derajat kehitaman ini tergantuk pada tingkat eksposi yang diterima baik
itu kV atau mAs. Kehitaman terjadi karena adanya interaksi antara sinar-X
dan emulsi film. Emulsi film akan menghitam jika nilai mAs dinaikkan.
Densitas yang tinggi didapat pada area yang terpapar langsung oleh sinar-
X. Jika intensitas sinar-X besar maka densitas akan tinggi (high density)
dan pada film akan berwarna hitam, sedangkan untuk intensitas sinar-X
yang kecil maka densitas akan rendah (low density). Faktor yang
mempengaruhi densitas gambar adalah :
1) Kilovolt (kV) : Menunjukkan kualitas sinar-X karena berhubungan
dengan kemampuan sinar-X dalam menembus bahan.
2) mAs : kuantits sinar yang dihasilkan.
3) FFD (Focus Film Distance) : Jarak pemotretan dari focus ke film.
4) Ketebalan objek : Semakin tebal objek yang akan difoto, factor
eksposi semakin meningkat.
5) Luas lapangan penyinaran : Intensitas sinar-X yang keluar dari tube
sinar-X·
6) Prosesing film

2. Proteksi Radiasi
Proteksi radiasi merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan atau tehnik
yang mempelajari masalah kesehatan manusia maupun lingkungan dan
berkaitan dengan pemberian perlindungan kepada seseorang atau
sekelompok orang terhadap kemungkinan terkena radiasi yang merugikan

30
kesehatan akibat paparan radiasi. Tujuan proteksi radiasi adalah mencegah
terjadinya deterministik yang membahayakan dan mengurangi terjadinya
efek stokastik serendah mungkin (Akhadi, 2000).
Tiga prinsip dasar proteksi radiasi yaitu :
1. Pengaturan Waktu
Seorang pekerja radiasi yang berada di dalam medan radiasi akan
menerima dosis radiasi yang besarnya sebanding dengan lamanya
pekerja tersebut berada di dalam medan radiasi. Semakin lama
seseorang berada di tempat itu akan semakin besar dosis radiasi yang
diterimanya, demikian pula sebaliknya.
2. Pengaturan Jarak
Faktor jarak berkaitan erat dengan fluks (ᶲ) radiasi. Fluks radiasi pada
suatu titik akan berkurang berbanding terbalik dengan kuadrat jarak
antara titik tersebut dengan sumber radiasi.
3. Penggunaan Perisai Radiasi
Untuk penanganan sumber-sumber radiasi dengan aktivitas sangat
tinggi (ber orde M Bq atau Ci), seringkali pengaturan waktu dan jarak
kerja tidak mampu menekan penerimaan dosis oleh pekerja di bawah
nilai batas dosis yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, dalam
penanganan sumber-sumber beraktivitas tinggi ini juga diperlukan
perisai radiasi.
Cara-cara perlindungan (proteksi radiasi) yang dapat dilakukan :
a. Terhadap pasien
1) Pemeriksaan dengan sinar-X hanya dilakukan sesuai dengan
permintaan dokter.
2) Alat kelamin dilindungi sebisanya.
3) Pasien hamil terutama trimester pertama tidak boleh diperiksa
secara radiografi.
b. Terhadap personil
1) Personil berlindung dibelakang pelindung (sheilding) pada saat
eksposi berlangsung.

31
2) Memilih faktor eksposi seminimal mungkin sesuai dengan
kebutuhan.
3) Berada jauh dari sumber radiasi

c. Terhadap masyarakat umum dan keluarga pasien


1) Menutup pintu ruangan saat pemeriksaan berlangsung
2) Dinding dan pintu ruangan pemeriksaan dilapisi Pb sesuai dengan
petunjuk aman untuk proteksi radiasi.
Prinsip-prinsip dasar proteksi radiasi terdapat dalam Peraturan Kepala
Badan Pengawas Tenaga Nuklir No. 4 tahun 2013 tentang proteksi dan
keselamatan radiasi dalam pemanfaatan tenaga nuklir. Dalam peraturan
tersebut disebutkan penentuan pembatasan penerimaan dosis radiasi bagi
pekerja radiasi maupun masyarakat umum bukan pekerja radiasi. Nilai
batas dosis radiasi untuk pekerja radiasi yaitu dengan dosis efektif 20 mSv
(dua puluh milli sievert) per tahun dalam 5 (lima) tahun, sehingga dosis
yang terakmulasi dalam 5 (lima) tahun tidak boleh melebihi 100
mSv(seratus milli sievert), sedangkan untuk masyarakat umum dosis
efektif sebesar 1 mSv (satu milli sievert)

F. Pencatatan Gambar Dan Perlengkapan Radiografi


1. Pencatatan Gambar Dengan Menggunakan Computed Radiografi
(CR)
Computed Radiografi adalah proses digitalisasi gambar yang
menggunakan lembar atau photostimulable plate untuk akusisi data
gambar. Dalam computed radiography terdapat system komponen utama
yaitu, Image Plate (IP), Image Reader, Image Console dan Imager
(printer) berupa digitalisasi gambar yang menggunakan lembar atau
photostimulable plate untuk akusisi data gambar.(Ballinger,2003).
Kemudian data digital berupa sinyal-sinyal ditangkap Photo Multiplier
Tube (PMT)setelah itu cahaya tersebut digandakan dandiperkuat
intensitasnya. Data diubah menjadi sinyal elektrik yang akan dikonversi
kedalam data digital oleh analog digital converter (ADC).

32
Pada Radiografi konvensional menggunakan kaset,film dan screen
sedangkan pada Computed Radiografi (CR) hanya menggunakan imaging
plate untuk mengambil gambar radiografi. Walaupun imaging plate secara
fisik tampak seperti menggunakan screen yang sama dengan radiografi
konvensional, tetapi image plate mempunyai fungsi yang sangat berbeda
karena imaging plate hanya berfungsi untuk menyimpan sinyal kedalam
photo stimulable phospor (PSP) dan Kemudian menyampaikan informasi
gambar dalam bentuk data digital.
Dalam Computed Radiografi terdapat 4 komponen utama yaitu :
a. Image Plate
Image plate merupakan lembaran yang dapat menangkap dan
menyimpan sinar-X,pada Computed Radiografi yang terbuat dari
bahan photostimulable phosphor tinggi.Dengan menggunakan Image
plate memungkinkan processor gambar untuk memodifikasi
kontras.Image plate berada dalam kaset Imaging.
Fungsi dari Image plate adalah sebagai penangkap gambar dari
objek yang sudah di sinar (eksposi). Prosesnya adalah pada saat
terjadinya penyinaran, Image plateakan menangkap energi dan
disimpan oleh bahan phosphor yang akan diubah menjadi Elektronik
Signal dengan laser scanner dalam image reader.
Struktur dari image plate adalah :
1) Protective layer yaitu berukuran tipis & transparan berfungsi untuk
melindungi IP.
2) Phosphor layer yaitu mengandung barium fluorohalide dalam
bahan pengikatnya
3) Support layer yaitu mempunyai stuktur dan fungsi yang sama
seperti yang ada pada intensifying screen.
4) Conductive layer yang berfungsi mengurangi masalah elektrostatik
dan menyerap cahaya untuk meningkatkan ketajaman.
5) Light shield layer yaitu lapisan yang berfungsi untuk mencegah
cahaya masuk saat proses penghapusan data dari IP (imaging

33
plate), kebocoran, dan menurunkan resolusi spasial.
(Ballinger,2003)

Gambar 11.Struktur Dari Image Plate.

Gambar 12. Bentuk Image Plate pada CR.

b. Image Reader
Merupakan alat untuk mengolah gambaran laten pada Image Plate
(IP) menjadi data digital. Image reader berfungsi sebagai pembaca
dan mengolah gambar yang diperoleh dari Image plate. Semakin besar
kapasitas memorinya maka semakin cepat waktu yang diperlukan
untuk proses pembacaan Image plate, dan mempunyai daya simpan
yang besar. Waktu tercepat yang diperlukan untuk membaca image
plate pada image reader yaitu selama 64 detik.
Selain tempat dalam proses pembacaan, Image reader mempunyai
peranan yang sangat penting juga dalam proses pengolahan gambar,
sistem transportasi image plate serta penghapusan data yang ada di
image plate.

34
Gambar 13.Bentuk Image Reader.

c. Image Console
Berfungsi sebagai pembaca dan pengolahan gambar yang diperoleh
dari IP dengan menggunakan optoelectronic laser scanner (helium
neon (He-Ne) 632,8 nM). Dilengkapi dengan preview monitor untuk
melihat gambar radiografi yang dihasilkan, apakah goyang, terpotong
dan lain-lain, berupa computer khusus untuk medical imaging dengan
touch screen monitor. Imaging console dilengkapi oleh bebagai
macam menu yang menunjang dalam proses editing dan pengolahan
gambar sesuai dengan anatomi tubuh, seperti kondisi hasil gambaran
organ tubuh, kondisi tulang dan kondisi soft tissue.
Terdapat menu yang sangat diperlukan dalam teknik radiofotografi
yaitu kita bisa mempertinggi atau mengurangi densitas, ketajaman,
kontras dan detail dari suatu gambaran radiografi yang diperoleh

35
Gambar 14.Image Console pada CR.

d. Imager (Printer)
Imager mempunyai fungsi sebagai proses akhir dari suatu
pemeriksaan yaitu media pencetakan hasil gambaran yang sudah
diproses dari awal penangkapan sinar-X oleh image plate kemudian di
baca oleh image reader dan diolah oleh image console terus dikirim ke
image recorder untuk dilakukan proses output dapat berupa media
compact disk sebagai media penyimpanan.atau dengan printer laser
yang berupa laser imaging film.

Gambar 15.Imager (printer) pada CR.

2. Perlengkapan Radiografi
a. Kaset Computed Radiografi(CR)

36
Kaset depan pada Computed radiografi terbuat dari carbon fiber
dan bagian belakang terbuat dari aluminium. Kaset ini berfungsi
sebagai pelindung dari imaging plate. Kaset CR hanya berisi plate
yang dilapisi Phosphor atau Storage Phosporscreen (Barium
FluoroHalide), bentuknya seperti IS namun tanpa film sehingga dapat
dipakai berulang-ulang.(Ballinger, 2003)
Cara kerja kaset :
1) Storage phospor screen di ekspose seperti biasa
2) Phospor menyerap radiasi pada derajat yang berbeda-beda
tergantung pada area anatomiknya.
3) Phospor diisi oleh radiasi, besarnya isian tersebut tergantung pada
besarnya energi sinar- X yang diserap.
4) Isian ini bertahan pada materi phospor sampai dihapus.
a. Ukuran Kaset CR
1) 18 cm x 24 cm
2) 24 cm x 30 cm
3) 35 cm x 35 cm
4) 35 cm x 43 cm

Gambar 16.Kaset Computed Radiografi.

b. Film Computed Radiografi (CR)


Film CR juga disebut juga film laser imaging. Film laser adalah
film film single emulsi yang sensitive terhadap cahaya merah yang di
pancarkan oleh laser. Merupakan alat pengolahan gambar dan

37
memprosesnya di atas film. Film yang di gunakan adalah photo
thermographic yang menggunakan butiran perak berhenate
(Ag22H43O2). (Ballinger,1999)

c. Grid
Grid adalah alat untuk mengurangi atau meminimilasikan radiasi
hambur agar tidak sampai ke film Rontgen.Grid terdiri dari lajur-lajur
lapisan tipis timbal yang disusun tegak diantara bahan yang tembus
radiasi misalnya: plastik, kayu, dll. (Rasad, 2005)
Jenis-jenis grid di tinjau dari pergerakannya yaitu :
1) Grid diam (stationary grid atau lysolm)
Grid diam saat eksposi. Jenis grid ini dalam penggunaannya di
atas meja pemeriksaan yang dapat di pindah-pindah.
2) Grid bergerak (moving grid atau bucky)
Grid yang bergerak saat eksposi. Jenis grid ini dalam
penggunaannya berada di bawah meja pemeriksaan dan tidak
dapat di pindah-pindahkan.
Jenis grid ditinjau dari susunan garis-garis Pb :
1) Grid Linear
Jalur (lempengan) grid yang satu dengan yang lain sejajar.
2) Focussed Grid
Jalur (lempengan) grid yang secara berangsur-angsur dari pusat
ke tepi mengikuti penyudutan arah sinar.
3) Pseudo Focussed Grid Jalur (lempengan) grid memiliki jarak
yang sama dari pusat ke tepi tebalnya berbeda atau semakin ke
tepi semakin tipis.
4) Crossed Grid
Jalur (lempengan) grid yang di susun secara bersilang, sumbu
pusat berkas sinar-x tegak lurus grid.

d. Marker (tanda atau kode)

38
Marker adalah tanda atau kode yang digunakan untuk memberi
identitas hasil Rontgen.(Ballinger,2003)
Terdiri dari :
1) Nama pasien / Identitas pasien
2) Memberi tanggal,bulan,tahun pemeriksaan
3) Tanda letak anatomi
R = Tanda anatomi tubuh sebelah kanan.
L = Tanda anatomi tubuh sebelah kiri.
4) Identitas institusi.
Marker pada CR (Computed Radiografi) dapat diatur ketika
pemrosesan di image Console sehingga kita tidak perlu
menggunakan marker manual. Akan tetapi ketika ada pemotretan
Corpus Alienum yang diakibatkan karena adanya penekanan
(punction) maka marker manual akan dibutuhkan untuk menandai
masuknya benda asing dan melihat sejauh mana benda asing
tersebut masuk kedalam tubuh pasien.
Cara Kerja Komputed Radiografi (CR) :
a. Image plate yang telah ada didalam kaset, dilakukan eksposi. Dan
pada saat sinar – X menembus objek akan terjadi atenuasi (diperlemah)
akibat dari kerapatan objek karena berkas sinar – X yang melalui objek
tersebut, kemudian membentuk bayangan laten.
b. Kemudian kaset yang berisi imageplate dimasukkan kedalam image
reader. Di dalam image reader, bayangan laten yang tersimpan pada
permukaan phosphor dibaca dan dikeluarkan menggunakan cahaya
infra merah menimbulkan phosphor, sebagian energi yang tersimpan
berubah menjadi cahaya tampak.
c. Cahaya yang dikeluarkan dari permukaan image plate akan ditangkap
oleh pengumpul cahaya yang mengubah energi cahaya menjadi signal
listrik analog.
d. Signal analog ini diubah menjadi signal digital oleh rangkaian Analog
to Digital Converter (ADC) dan diproses dalam computer.

39
e. Setelah pembacaan selesai, data gambar pada image plate dikenai
cahaya yang kuat, hal ini membuat image plate dapat dipergunakan
kembali.
f. Setelah gambaran tampil dilayar monitor, gambaran tersebut dapat di
rekonstruksi atau dimanipulasi pada image console sehingga mendapat
gambaran yang diinginkan.
g. Apabila gambaran sudah baik, maka ada dua pilihan yaitu apakah
dicetak dengan film atau di simpan di dalam file khusus. Jika ingin di
cetak maka gambaran akan dicetak menggunakan imaging recorder
yang di cetak dengan mengggunakan film Blue thermal Film atau Dry
View Film.
Computed Radiografi (CR) memiliki banyak kelebihan
dibandingkan dengan radiografi konvensional, antara lain :
a. Dosis pasien lebih rendah QDE (Quantum detection efficiency) fosfor
IP lebih tinggi
b. Angka pengulangan yang lebih rendah karena kesalahan-kesalahan
faktor teknis
c. Resolusi kontras yang lebih tinggi latitude ekspose yang lebih luas
dibandingkan emulsi film radiografi.
d. Tidak memerlukan kamar gelap atau biaya untuk film (jika gambar
tidak ditampilkan dalam hardcopy)
e. Kualitas gambar dapat ditingkatkan
f. Penyimpanan gambar lebih mudah baik dengan hardcopy maupun
penyimpanan elektron

Kekurangan Computed Radiografi (CR) antara lain :


a. Biaya yang cukup tinggi untuk Imaging Plate, Digitaizer Computed
Radiografi, hardware dan software untuk workstation
b. Resolusi spatial yang rendah

40
c. Pasien potensial menerima radiasi yang overekspose. CR dapat
mengkompensasi overeksposure sehingga radiografer terkadang
menggunakan faktor eksposi yang berlebihan pada pasien.
d. Adanya artefak pada gambar jika menggunakan grid

Persamaan Radiografi Konvensional dan Computed Radiography


yaitu :
a. Menggunakan X-Ray dalam pencitraan gambar
b. Masih memilih kVp dan mAs yang standar
c. Menggunakan kaset atau gambar reseptor
Terdapat bayangan laten yang dapat diolah menjadi bayangan nyata

BAB III
METODE PENELITIAN

41
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan dilaksanakan dalam menyusun karya tulis
ilmiah ini termasuk dalam jenis penelitian kualitatif deskriptif, yaitu penelitian
yang dilakukan dengan tujuan utama membuat gambaran atau
mendeskripsikan tentang suatu keadaan secara objektif. Metode penelitian
deskriptif ini menggunakan pendekatan studi kasus.

B. Tempat dan Waktu Penelitian


Tempat penelitian : Instalasi Radiologi Rumah Sakit Umum Daerah DR.
Pirngadi
Medan
Waktu penelitian : Pada bulan Mei hingga bulan Juli 2018.

C. Metode Pengumpulan Data


Untuk mendapatkan data-data dengan benar dan akurat dalam penyusunan
karya tulis ini, peniliti melakukan metode pengumpulan data dengan cara :
1. Observasi
Yaitu peneliti mengamati jalannya pemeriksaan Appendikografi
dengan menggunakan kontras media positif berupa Barium Sulfat
(BaSO4), yang dilakukan oleh radiografer di Instalasi Radiologi Rumah
Sakit Umum Daerah DR. Pirngadi Medan.
2. Wawancara dan konsultasi
Yaitu peneliti akan melaksanakan pendekatan wawancara terhadap
pasien dan keluarga pasien tentang penyakit yang di derita oleh pasien,
serta melakukan konsultasi dengan radiographer, dokter spesialis radiologi
serta dokter spesialis penyakit dalam yang berkaitan dengan subjek
penelitian dan memperoleh data-data yang diinginkan tentang pemeriksaan
Appendikografi dengan sangkaan appendiksitis kronis.
3. Dokumentasi
Yaitu peneliti mengumpulkan film appendikografi dan
mendokumentasikan hasil baik yang normal maupun yang ada kelainan

42
khususnya appendiksitis kronis dengan menggunakan kontras media
positif .

D. Analisa Hasil
Data yang diperoleh pada penelitian ini adalah data kualitatif yaitu data
yang berhubungan dengan kategorisasi karakteristik atau sifat variabel. Data
ini berupa kalimat, pernyataan, serta gambaran analisis kualitatif yang dimulai
dengan pengamatan secara langsung terhadap jalannya pemeriksaan
Appendikografi dengan sangkaan appendiksitis kronis di Instalasi Radiologi
Rumah Sakit Umum Daerah DR. Pirngadi Medan.
Dari hasil pengamatan peneliti menemukan beberpa masalah yang melatar
belakangi pengambilan judul Karya Tulis Ilmiah ini. Untuk memecahkan
masalah yang ditemukan maka peneliti melakukan wawancara dari pasien
untuk mengambil data yang berkaitan dengan latar belakang permasalahan
kepada Dokter spesialis Radiologi dan Radiografer yang berkaitan dengan
subjek masalah.
Hasil dari data-data tersebut kemudian diolah dengan collecting data
terlebih dahulu, hasilnya ditranskip dan disalin dalam bentuk ketikan. Setelah
collecting data, maka dilanjutkan dengan reducting data untuk mendapatkan
informasi data yang lebih valid. Dan selanjutnya peneliti melaksanakan
koding terbuka, yaitu data yang diolah dengan menganalisa hasil observasi
dan wawancara. Tujuannya adalah untuk memudahkan penggelompokan
informasi data sehingga lebih mudah dalam menarik kesimpulannya.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

43
1. Identitas Pasien
Dalam melaksanakan suatu pemeriksaan perlu diketahui identitas
pasien dengan jelas yang berguna untuk mengidentifikasi pasien yang satu
dengan pasien yang lainnya sehingga lebih mudah dalam melakukan suatu
pemeriksaan dan untuk mencegah terjadinya kesalahan data pasien yang
satu dengan pasien yang lain.
Dalam kesempatan ini penulis melakukan penelitian pemeriksaan
Appendikografi dengan sangkaan appendiksitis kronis di Instalasi
Radiologi Rumah Sakit Umun Daerah DR Pirngadi Medan dengan
identitas pasien yang meliputi :
Nama : Nn. Y.M
Usia : 51 Tahun 2 Bulan 21 hari
Tanggal Lahir : 01/04/1967
Jenis kelamin : Perempuan
NRM : 00560447
No. Kunjungan : 05-01-01-201800010493-001
Jenis Pemeriksaan : Appendikografi
Dokter Pengirim : dr. Daud Ginting, Sp.PD
Asal Pasien : Pasien Rawat Jalan
Pasiendatang ke Instalasi Radiologi Rumah Sakit Umum Daerah DR
Pirngadi Medan pada tanggal 22 juni 2018. Pasien dikirim oleh dokter
spesialis penyakit dalam wanita dengan diagnose appendiksitis karena
pasien sering merasa sakit pada abdomen kanan sebelah bawah.(Hasil
Anamnese)

2. Prosedur Pemeriksaan
a. Pendaftaran (Registratation)
Pasien datang ke Instalasi Radiologi dan mendaftar ke loket
radiologi dengan membawa surat permintaan foto pemeriksaan dari
dokter pengirim.

44
b. Penjelasan Prosedur Pemeriksaan dan Penandatanganan Surat
Pernyataan (informat consent)
Setelah melakukan pendaftaran, petugas radiologi atau
Radiografer membaca surat pengantar foto tersebut dan
mengidentifikasi pasien lalu memberikan pengarahan kepada pasien
dan keluarga pasien untuk mengikuti suatu prosedur pemeriksaan
yang tertulis.
Radiografer menjelaskan prosedur pemeriksaan kepada pasien
beserta di dampingi oleh salah seorang keluarga atau wali pasien dan
di informasikan jika pemeriksaan akan dilakukan dengan pemberian
zat kontras media berupa Barium Sulfat (BaSO4) dan efek yang akan
dirasakan oleh pasien setelah pemberian bahan kontras. Pasien juga di
minta melakukan persiapan pasien berupa puasa di rumah sebelum di
lakukan pemeriksaan.
Apabila pasien dan keluarga pasien sudah mengerti semua
prosedur pemeriksaan maka pasien atau wali pasien menandatangani
informat consent atau surat pernyataan setuju jika pemeriksaan
tersebut dapat dilakukan.

3. Persiapan Pasien
Pada pemeriksaan Appendikografi ini memerlukan persiapan khusus
yang harus dilaksanakan oleh pasien. Adapun prosedur persiapan pasien
pemeriksaan Appendikografi yaitu:
a. Sehari sebelum pemeriksaan pasien dianjurkan puasa selama 8-12 jam
dan hanya diperbolehkan makan makanan lunak tidak berserat,
misalnya bubur kecap.
b. 12 jam sebelum pemeriksaan pasien diberikan 2 atau 3 tablet dulcolax
untuk diminum.
c. Pada pukul 24.00 Wib pasien minum kontras media barium sulfat
dengan perbandingan 1:4 berupa bubuk yang sudah di larutkan dalam
air sebanyak 300 cc.
d. Pasien dianjurkan menghindari banyak bicara dan dilarang merokok.

45
e. Besok harinya pasien datang ke Instalasi Radiologi untuk
melaksanakan pemeriksaan Appendikografi hari pertama.

4. Persiapan Alat dan Kelengkapan Radiografi


Sebelum dilaksanakan pemeriksaan sebaiknya radiografer melakukan
pemanasan alat serta memilih faktor eksposi yang dibutuhkan. Adapun
persiapan alat pemeriksaan Appendikografi dengan sangkaan appendiksitis
kronis di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Umun Daerah DR Pirngadi
Medan adalah sebagai berikut :

a. Pesawat Rontgen Generel Purpose X – ray (GPX) merk Siemens


Adapun data-data Pesawat Rontgen General Purpose X– ray (GPX)
dengan Fluoroscopy yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
Merk Pesawat Rontgen : Siemens X-ray
Type Pesawat : GB 9706 11-1997
Nomor Seri Pesawat : 803181756
Tegangan Masuk : 230 V
Jumlah Tube : 1 Buah
Pelayanan Pesawat : Radiography dan Fluoroscopy
Permanent Filtration : 1,5 Al / 75
Nominal Voltage : 150 kV

Tabung
Rontgen
Kolimator

Meja
Pemeriksaan

Gambar 17. General Purpose X – ray vacum Merek Siemens.


(RSUD DR Pirngadi Medan, 2018)

46
b. Perlengkapan radiografi
1) Kaset CR ukuran 24x30 cm (Directview CR Cassette with PQ
Screen)
2) Film CR (Dry View DVB Lasser Imaging Film)
3) Pencatatan Bayangan dengan menggunakan Computed Radiografi
(CR)

5. Teknik Pemeriksaan
Pemeriksaan Appendikografi dengan sangkaan appendiksitis kronis di
Rumah Sakit Umum Daerah DR Pirngadi Medan menggunakan Pesawat
General X – ray (GPX) tanpa fluoroskopi, di lakukan tiga hari berturut-
turut, hanya menggunakan satu proyeksi yaitu Antero-Posterior post
kontras dan tanpa menggunakan plain foto .
a. Pemeriksaan Hari I Proyeksi Antero-Posterior Post Kontras
Posisi Pasien : Tidur telentang di atas meja pemeriksaan (supine
position)
Posisi Objek : Objek atau daerah appendiks diletakkan tepat pada
pertengahan film dengan kedua lengan disamping
tubuh dan kedua anggota gerak bawah lurus di
atas meja pemeriksaan.
Arah sinar : Vertical dan tegak lurus terhadap kaset
Pusat sinar : Pada pertengahan antara umbilicus dan Spina
Iliaka Anterior Superior (SIAS) kanan
Jarak Fokus ke Film : 90 cm
Kondisi Penyinaran : 67 kV ; 16 mAs
Ukuran Kaset : 24 cm x 30 cm
b. Pemeriksaan Hari II Proyeksi Antero-Posterior Post Kontras
Posisi Pasien : Tidur telentang di atas meja pemeriksaan (supine
position)
Posisi Objek : Objek atau daerah appendiks diletakkan tepat pada
pertengahan film dengan kedua lengan disamping

47
tubuh dan kedua anggota gerak bawah lurus di
atas meja pemeriksaan.
Arah sinar : Vertical dan tegak lurus terhadap kaset
Pusat sinar : Pada pertengahan antara umbilicus dan Spina
Iliaka Anterior Superior (SIAS) kanan
Jarak Fokus ke Film : 90 cm
Kondisi Penyinaran : 67 kV ; 16 mAs
Ukuran Kaset : 24 cm x 30 cm

c. Pemeriksaan Hari III Proyeksi Antero-Posterior Post Kontras


Posisi Pasien : Tidur telentang di atas meja pemeriksaan
Posisi Objek : Objek atau daerah apendiks diletakkan tepat pada
pertengahan film dengan kedua lengan disamping
tubuh dan kedua anggota bawah diluruskan.
Arah sinar : vertical dan tegak lurus terhadap kaset
Pusat sinar : Pada pertengahan antara umbilicus dan Spina
Iliaka Anterior Superior (SIAS) kanan
Jarak Fokus ke Film : 90 cm
Kondisi Penyinaran : 67 kV ; 16 mAs
Ukuran Kaset : 24cmx30cm
6. Hasil Ekspertise
Telah dilakukan pemeriksaan appendikografi dengan sangkaan
appendiksitis kronis dengan hasil sebagai berikut :
Nama : Nn. Y.M
Usia : 51 Tahun 2 Bulan 21 hari
Jenis kelamin : Perempuan
NRM : 00560447
Jenis Pemeriksaan : Appendikografi
Diagnose : appendiksitis kronis

Tanggal pemeriksaan : 22 juni 2018

48
a. Proyeksi Antero Posterior post kontras hari I

Colon transversum
Caecum
Colon assendence

SIAS
Appendiks

Os Pubis Caput Femur

Gambar 18. Appendikografi Post Kontras Hari I. (RSUD DR Pirngadi


Medan, 2018)

b. Proyeksi Antero Posterior post kontras hari II

Apendiks
Colon desendence
SIAS

Caput
Colon sigmoid
Femur

Os pubis

Gambar 19.Appendikografi Post Kontras Hari II. (RSUD DR Pirngadi Medan,


2018)

c. Proyeksi Antero Posterior post kontras hari III

49
Apendiks

SIAS

Caput femur Anus

Gambar 20. Appendikografi Post Kontras Hari III. (RSUD DR Pirngadi


Medan, 2018)

Pemeriksaan appendikografi antero posterior post kontras hari pertama,


hari kedua dan hari ketiga:
Uraian hasil pemeriksaan :
- Pada hari pertama tidak tampak pengisian lumen appendiks.
- Hari kedua dan ketiga tampak lumen terisi kontras dengan opacitas tidak
homogen.
Kesimpulan Radiologis:
Radiologis sesuai dengan gambaran appendiksitis kronis.

B. Pembahasan
1. Rumusan Masalah
Setelah mengamati dan mempelajari tentang pemeriksaan
Appendikografi dengan sangkaan apendiksitis kronis, maka penulis
mengidentifikasi perumusan masalah yaitu: “Apa upaya yang dapat
dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang optimal dari Appendikografi
dengan sangkaan appendiksitis kronis ?”.

2. Pembahasan Masalah

50
a. Pada pelaksanaan appendikografi dengan sangkaan appendiksitis kronis
menggunakan general X-ray unit berkapasitas 500 mA. Namun peneliti
menggunakan fokus besar yaitu 200 mA untuk meningkatkan kontras
dan densitas pada gambar. Oleh karena objek yang di periksa berada di
abdomen dimana pergerakannya tidak bisa di prediksi, maka sebaiknya
di gunakan fokus besar 300 mA agar dapat memilih waktu eksposi yang
singkat dengan tujuan untuk menghindari kekaburan gambar karena
pergerakan objek dan pasien.

b. Pada pelaksanaan appendikografi dengan sangkaan appendiksitis kronis


peneliti menggunakan proyeksi antero posterior dengan tahapan hari
pertama, hari kedua, dan hari ketiga post kontras. Dengan ketiga
tahapan tersebut sudah dapat memperlihatkan anatomi dari appendiks
khususnya appendiksitis kronis. Untuk memperlihatkan anatomi dan
kelainan pada appendiks khususnya appendiksitis kronis, sebaiknya
menggunakan proyeksi tambahan yaitu right posterior oblique (RPO)
dengan tujuan untuk memperlihatkan appendiksitis dengan jelas.
c. Pada pelaksanaan appendikografi dengan sangkaan appendiksitis kronis
peneliti menggunakan proses pencatatan gambar computed radiografi
(CR) untuk meningkatkan kualitas foto dan efisiensi kerja. Biasanya
pada pemrosesan gambar dengan computer radiografi (CR) faktor
ekposi dinaikkan sehingga dosis radiasi yang di terima oleh pasien lebih
tinggi. Namun sebaiknya dalam pemberian faktor eksposi harus
disesuaikan dengan besarnya objek, dalam batas toleransi tidak under
ekspose atau over ekspose.

d. Pada pelaksanaan appendikografi dengan sangkaan appendiksitis kronis


perlu kerja sama antara radiographer, pasien dengan keluarga pasien
untuk memperlancar jalannya pemeriksaan serta untuk menghindari
terjadinya pengulangan foto. Oleh karena itu, sebaiknya sebelum
dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu disampaikan prosedur
pemeriksaan yang akan di laksanakan.

51
e. Pada pelaksanaan appendikografi dengan sangkaan appendiksitis kronis
perlu di perhatikan proteksi radiasi dengan baik, karena objek yang
diperiksa berdekatan dengan objek yang sangat sensitif terhadap radiasi
yaitu alat reproduksi. Untuk meminimalisasi dosis radiasi yang di
terima oleh pasien khususnya di daerah yang sensitif terhadap radiasi,
sebaiknya mengatur luas lapangan penyinaran sesuai dengan besarnya
objek yang akan diperiksa.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pada pelaksanaan appendikografi dengan sangkaan appendiksitis kronis di


lakukan tanpa plan photo terlebih dahulu.

52
2. Pada pelaksanaan appendikografi dengan sangkaan appendiksitis kronis
menggunakan general X-ray unit berkapasitas 500 mA. Namun peneliti
menggunakan fokus besar yaitu 200 mA untuk meningkatkan kontras dan
densitas pada gambar.

3. Pada pelaksanaan appendikografi dengan sangkaan appendiksitis kronis


peneliti menggunakan proyeksi antero posterior dengan tahapan hari
pertama, hari kedua, dan hari ketiga post kontras. Dengan ketiga tahapan
tersebut sudah dapat memperlihatkan anatomi dari appendiks khususnya
appendiksitis kronis.

4. Pada pelaksanaan appendikografi dengan sangkaan appendiksitis kronis


peneliti menggunakan proses pencatatan gambar computed radiografi
(CR) untuk meningkatkan kualitas foto dan efisiensi kerja. Biasanya pada
pemrosesan gambar dengan computer radiografi (CR) faktor ekposi
dinaikkan sehingga dosis radiasi yang di terima oleh pasien lebih tinggi.

5. Pada pelaksanaan appendikografi dengan sangkaan appendiksitis kronis


perlu kerja sama antara radiographer, pasien dengan keluarga pasien untuk
memperlancar jalannya pemeriksaan serta untuk menghindari terjadinya
pengulangan foto.

6. Pada pelaksanaan appendikografi dengan sangkaan appendiksitis kronis


perlu di perhatikan proteksi radiasi dengan baik, karena objek yang
diperiksa berdekatan dengan objek yang sangat sensitif terhadap radiasi
yaitu alat reproduksi.

B. Saran

53
1. Diharapkan pada pelaksanaa appendikografi dengan sangkaan
appendiksitis kronis Radiografer melakukan plant photo terlebih dahulu
sebelum melaksanakan pemeriksaan appendikografi agar dapat menilai
persiapan pasien apakah sudah benar.

2. Diharapkan pada pelaksanaan appendikografi dengan sangkaan


appendiksitis kronis sebaiknya di gunakan fokus besar 300 mA agar dapat
memilih waktu eksposi yang singkat dengan tujuan untuk menghindari
kekaburan gambar karena pergerakan pasien serta objek yang di periksa
berada di abdomen dimana pergerakannya tidak bisa di prediksi.

3. Diharapkan pada pelaksanaan appendikografi dengan sangkaan


appendiksitis kronis petugas sebaiknya menggunakan proyeksi tambahan
yaitu right posterior oblique (RPO) dengan tujuan untuk memperlihatkan
appendiksitis dengan jelas.

4. Diharapkan pada pelaksanaan appendikografi dengan sangkaan


appendiksitis kronis sebaiknya dalam pemberian faktor eksposi petugas
harus menyesuaikan dengan besarnya objek dalam batas toleransi tidak
under ekspose atau over ekspose.

5. Diharapkan pada pelaksanaan appendikografi dengan sangkaan


appendiksitis kronis sebaiknya sebelum dilakukan pemeriksaan terlebih
dahulu petugas menyampaikan prosedur pemeriksaan yang akan di
laksanakan.

6. Diharapkan pada pelaksanaan appendikografi dengan sangkaan


appendiksitis kronis petugas sebaiknya mengatur luas lapangan
penyinaran sesuai dengan besarnya objek yang akan diperiksa, agar dapat
meminimalisasi dosis radiasi yang di terima oleh pasien khususnya di
daerah yang sensitif terhadap radiasi.

54

Anda mungkin juga menyukai