Anda di halaman 1dari 7

Bilangan Oksidasi

Salah satu ciri logam transisi adalah di mana unsur-unsur tersebut mempunyai lebih dari satu
bilangan oksidasi. Contohnya, pada senyawa vanadium diketahui mempunyai bilangan
oksidasi mulai -1 pada V(CO)6- hingga +5 pada VO43-. Bilangan oksidasi maksimum pada
logam transisi baris pertama sama dengan jumlah elektron valensi seperti titanium (+4)
dan mangan (+7) namun berkurang pada unsur-unsur selanjutnya. Pada baris kedua dan
ketiga ada ruthenium dan osmium dengan bilangan oksidasi +8. Pada senyawa seperti [Mn04]-
dan OsO4, unsur logam transisi memperoleh oktet yang stabil dengan membentuk
empat ikatan kovalen. Bilangan oksidasi terendah ada pada senyawa Cr(CO)6 (bilangan
oksidasi nol) dan Fe(CO)42- (bilangan oksidasi -2) di mana aturan 18 elektron dipatuhi.
Senyawa tersebut juga merupakan kovalen. Ikatan ion biasanya terbentuk pada bilangan
oksidasi +2 atau +3. Pada senyawa yang terlarut, ion tersebut biasanya berikatan dengan
enam molekul air yang tersusun secara oktahedral.

5.1.1 Sifat Katalitik Unsur-Unsur Transisi


Banyak sekali dijumpai bahwa suatu reaksi kimia yang mestinya dapat
berlangsung secara termodinamik, namun kenyataannya reaksi berjalan
sangat sukar atau sangat lambat. Hal ini dapat diatasi dengan melibatkan
zat“pemicu”agar reaksi berlangsung dengan laju lebih cepat atau lebih
mudah seperti yang diharapkan, sedangkan zat pemicu itu sendiri tidak
dikonsumsi menjadi produk, melainkan diperoleh kembali pada akhir
reaksi. Zat pemicu demikian ini disebut sebagai katalisator atau katalis,
dan reaksinya dikatakan reaksi katalitik. Reaksi katalitik ini sesungguhnya
banyak dijumpai di alam, dalam tubuh, lebih-lebih dalam bidang industri
kimia maupun di laboratorium.
Tentu merupakan suatu keuntungan apabila dapat ditemukan
suatu katalisator untuk jenis reaksi tertentu yang sukar berlangsung, dan
untuk itu perlu dipelajari cara kerja katalis dan materi apa yang cocok
untuk memenuhi persyaratan sebagai katalis. Cara kerja katalisa- tor
ditinjau dari aspek kimiawi secara umum, mungkin terlibat dalam
pembentukan senyawa-senyawa kompleks “antara” yang tidak stabil,
namun dapat mengakibatkan reaktan menjadi aktif, atau mungkin
menyediakan media pusat-pusat aktif bagi reaktan. Katalisator dapat
dibedakan menjadi katalisator homogen, artinya reaktan dan katalisa- tor
keduanya mempunyai fase atau wujud yang sama, dan katalisator
heterogen jika keduanya mempunyai fase berbeda.

Katalisator homogen

Cara kerja katalis homogen umumnya melibatkan pembentukan


senyawa-senyawa kompleks antara yang bersifat tidak stabil dalam
tahap-tahapreaksi. Katalisdenganreaktanmembentukkompleksantara
yang mengakibatkan reaktan dalam kompleks menjadi aktif membentuk
produk baru dengan disertai pelepasan kembali katalisatornya. Oleh
karena itu, unsur-unsur transisi sangat berperan dalam reaksi katalitik
karena sifatnya mudah membentuk senyawa kompleks, misalnya pada
banyak reaksi organik dipakai senyawa Pd(II) dan Pt(II).
Selain pembentukan senyawa kompleks, reaktan sering dibuat ak- tif
oleh karena keterlibatan proses redoks pada katalisnya, dan dengan
demikian unsur-unsur transisi sangat berperan karena kemampuannya
membentuk variasi tingkat oksidasi. Sebagai contoh, pasangan Cu 2+ /
Cu+ , Co3+ / Co2+, dan pasangan Mn3+ / Mn2+ yang merupakan pa
sangan transfer satu elektron, banyak dipakai pada oksidasi hidrokar- bon
dalam skala besar-besaran.
Berikut ini dikemukakan beberapa contoh reaksi organik katalitik:
(1) Pada reaksi hidrocarbonilasi alkena menjadi aldehid (artinya
pengikatan hidrogen dan karbonil, CO) dipakai katalisator Co(I)
atau Rh(I) :

RHC= CH2 + H2 + CO
Reaksi ini, walaupun kurang tepat, sering juga disebut sebagai
reaksi hidroformilasi yang mengacu pada terikatnya formaldehid
pada alkena. Katalisator Co(I) dalam bentuk kompleks
hidrokarbonil diduga mengalami perubahan sebagai berikut:
HCo(CO)4 HCo(CO)3 + CO
(2) Pada reaksi oksidasi etena menjadi metanal (proses Wacker)
dipakai katalisator Pd(II) dan Cu(II) :

H2C = CH2 + O2

Pada proses ini dipakai katalisator PdCl2 yang pada awalnya


diduga terjadi reaksi dengan etena :
C2H4 + PdCl2 + H2O → CH3CHO + Pd + 2 HCl
OksidasiPdkembalimenjadiPd(II)dipercepatdenganpenambahan
katalisator Cu(II): Pd + 2 Cu2+ → Pd2+ + 2 Cu+, dan Cu+
mudah teroksidasi oleh udara kembali menjadi Cu2+:
4 Cu+ + O2 + 4 H+ → 4 Cu2+ + 2 H2O
(3) Pada sintesis asam asetat dengan proses karbonilasi metanol
(proses Monsanto)dipakai katalisator Co(III), atau Rh(III), atau Ir(III),
namun yang paling efektif adalah Rh(III) dalam bentuk kompleks
[RhI2(CO)2]-:
CH3OH + CO CH3COOH
Peran katalisator di sini sesungguhnya merupakan media penya- lur
CO kepada iodometana membentuk asetil iodida yang ke-
mudian mengalami hidrolisis membentuk asam asetat dan asam
hidrogen iodida. Asam hidrogen iodida ini kemudian bereaksi
dengan metanol membentuk iodometana, demikian seterusnya.
Persamaan reaksinya adalah:
CH3 I + CO

+ H2O → CH3COOH + H I

CH3OH + H I → CH3 I + H2O

Katalisator heterogen

Katalisator heterogen dalam bentuk padatan banyak dipakai


dalam bidang industri untuk reaksi-reaksi fase gas yang biasanya
berlangsung pada temperatur relatif tinggi. Oleh karena logam-logam
transisi mempunyai titik leleh yang sangat tinggi dan kuat, maka
dapat memenuhi syarat untuk berperan sebagai katalisator. Salah satu
keuntungan pemakaian katalis heterogen adalah bahwa produk reaksi
langsung terpisah dari fase katalisnya, sehingga tidak memerlukan
tahapan pemisahan khusus. Biasanya, reaktan dilewatkan pada lorong
katalis melalui satu ujung dan ke luar menjadi produk pada ujung yang lain.
Katalisator padatan ini dapat berupa logam murni, paduan maupun
senyawa oksidanya.
Selainmemberikanpermukaanyangluas, fasepadatdimaksudkan
memberikan bentuk pori-pori yang sesuai untuk media terjadinya reaksi
secara efektif. Untuk itu, katalisator dapat dibuat dalam bentuk serbuk
yang disebarkan pada suatu wadah atau suporter. Sebagai contoh,
serbuk paduan Pt-Rh, yang disebarkan pada suporter γ-Al2O3, dipakai
dalam alat gas buang auto-mobil untuk media terjadinya reaksi oksidasi gas
buang CO dan reduksi gas-gas oksida nitrogen yang sangat berbahaya agar
ke luar sebagai CO2 dan N2.

Laju reaksi persenyawaan antara gas hidrogen dengan oksigen


pada temperatur 800 K juga dipercepat dengan pemakaian katalisator
logam platina, Pt:
Pt ; 
2 H2 (g) + O2 (g)  2 H2O (g)

Bagaimana cara kerja katalisator padatan demikian ini? Interaksi


molekul-molekul gas reaktan dengan logam katalis dibedakan dalam dua
jenis, physisorption (fisisorpsi) dan chemisorption (kemisorpsi). Pada
jenis pertama molekul-molekul gas reaktan sekedar mengumpul
terkonsentrasi pada permukaan lorong-lorong katalis. Pada jenis ke dua
molekul-molekul gas reaktan terpecah ikatannya sebagian atau
seluruhnya karena melekat berikatan secara lemah dengan logam
katalis, sehingga ikatan dalam reaktan menjadi lemah atau reaktan
berubah menjadi atom-atomnya yang bersifat aktif sehingga dengan
mudah dapat membentuk ikatan baru antar reaktan.
Dari hasil penelitian ternyata diperoleh kesimpulan bahwa logam-
logam transisi mempunyai kecenderungan lebih mudah melakukan
kemisorpsi terhadap molekul gas-gas tertentu relatif terhadap logam-
logam lain sehingga cocok dipakai sebagai katalisator, sebagaimana di-
tunjukkan dalam Tabel 5.1.6. Contoh skematik fisisorpsi dan kemisorp- si
molekul gas H2 pada permukaan logam Ni ditunjukkan pada Gambar
5.1.2.

Gambar 5.1.2 Model fisisorpsi (a) dan kemisorpsi (b) molekul gas H2 pada
permukaan logam nikel
Molekul atau atom reaktan yang mengalami fisisorpsi ataupun kemisorpsi
ternyata dapat melakukan migrasi pada permukaaan de- ngan aktif sehingga
interaksi antara molekul-molekul atau atom-atom reaktan terjadi lebih aktif
membentuk molekul produk; molekul produk ini kemudian akan mengalami
desorpsi (pelepasan) dari permukaaan logam katalisnya.
Tabel 5.1.6 Kecenderungan melakukan proses kemisorpsi beberapa logam
(logam transisi 3d dicetak tebal) terhadap beberapa molekul gas;
(+ = kuat, ± = lemah, dan - = tak teramati )

Gas
Unsur
O2 C2H2 C2H4 CO H2 CO2 N2
Ti, V, Cr, Fe + + + + + + +
Zr, Nb, Ta, Mo + + + + + + +
Hf, W, Ru, Os + + + + + + +
Ni, Co + + + + + + -
Rh, Pd, Pt, Ir + + + + + - -
Mn, Cu + + + + ± - -
Al, Au + + + + - - -
Na, K + + - - - - -
Ag, Zn, Cd + - - - - - -
In, Si, Ge, Sn + - - - - - -
Pb, As, Sb, Bi + - - - - - -

Contoh reaksi katalitik fisisorpsi adalah hidrogenasi etena menjadi


etana dengan katalisator logam nikel yang ditemukan oleh Paul Sabatier
pada tahun 1900, menurut persamaan reaksi berikut:

Ni ; 
CH2 = CH2 + H2  C2H4

Reaksi sintesis amonia dari gas nitrogen dan hidrogen dengan


katalis logam besi dan dengan sedikit alumina dan garam kalium sebagai
promotor, didugaberlangsungsecarakemisorpsi. Adanyaikatanrangkap tiga
dalam molekul nitrogen tentu mengakibatkan proses kemisorpsi gas ini
menjadi lebih lambat daripada proses kemisorpsi gas hidrogen. Tahapan
reaksinya mungkin dapat dituliskan sebagai berikut:

Fe ; 
Kemisorpsi peruraian N2 : N2 (g)  N2 (Fe) → 2 N(Fe)
Fe ;  6 H (Fe)
Kemisorpsi peruraian H2 : 3 H2 (g)   
Fe ; 
Penggabungan atom-atom reaktan : 2 N (Fe) + 6 H (Fe)  2 NH3 (Fe)
Desorpsi (pelepasan) molekul produk NH3 : 2 NH3 (Fe) → 2 NH3 (g)

Reaksi total Fe ;  2 NH (g)


: N2 (g) + 3 H2 (g)   3

Contoh lain adalah, pemakaian garam kalium vanadat (K3VO4)


dalam industri asam sulfat yang melibatkan tiga tahapan reaksi sebagai
berikut:
(1) S (s) + O2 (g) → SO2 (g)
(2) SO2 (g) + ½ O2 (g) → SO3 (g)
(3) SO3 (g) + H2O (l) → H2SO4 (aq)
Reaksi tahap (2) ternyata berlangsung sangat lambat, dan oleh karena
itulah pada tahap ini dipakai katalisator vanadat dengan atom pusat V5+
yang ditempatkan dalam wadah suport silika, SiO2, dengan luas
permukaan yang besar. Namun pada temperatur tinggi ~ 600 oC,
vanadat meleleh sehingga terjadi reaksi redoks dengan laju yang cukup
tinggi sebagai berikut:
SO2 (g) + 2 V5+ O2- → 2 V4+ + SO3

(g) 2 V4+ + O2 → 2 V5+ O2-


Jadi, laju reaksi oksidasi tahap (2) dipercepat oleh proses reduksi vana-
dat yang kemudian diperoleh kembali.
Satu jenis lagi pemakaian katalisator heterogen adalah pada pro- ses
elektrolisis. Dalam hal ini molekul-molekul gas hasil elektrolisis bia- sanya
mengumpul di sekitar elektrode, sehingga menghambat proses elektrolisis
lebih lanjut. Akibatnya, sel elektrolisis mengalami overpotential
(tegangan berlebih), dan semakin panas. Untuk mengurangi ham batan ini
dapat dipakai oksida-oksida logam transisi yang diserakkan di seputar
elektrode, sehingga memperlancar evolusi gas hasil. Misalnya untuk gas
hasil Cl2, dapat dipakai RuO2, dan untuk gas hasil O2 dapat dipakai
kompleks tetrafenilporfirinakobalt(II), Co(TPP).

Anda mungkin juga menyukai