Anda di halaman 1dari 19

KEKURANGAN KALORI

PROTEIN

Pembimbing:

dr. Rasita Sembiring


Oleh:

Alfina Rahmina R.D. 080100052


Sheila Nabila Asepty 080100116
Ardiana Annisa 080100171
Dira Wahyuni Siregar 080100174
Shalini Shanmugalingam 080100402

DEPARTEMEN ILMU GIZI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2012

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia
dan rahmat-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang


pengertian kekurangan kalori protein, cara mendiagnosa, serta tatalaksana pasien
dengan gagal ginjal terutamanya pengaturan diet protein yang optimal bagi para
penderita.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staff pengajar Departemen


Ilmu Gizi terutama dr. Rasita Sembiring atas segala bantuan yang telah diterima
selama penyusunan makalah ini. Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini
masih memiliki kekurangan dan jauh dari kesempurnaan dikarenakan keterbatasan
kemampuan penulis. Oleh karenanya, penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Medan, 13 Juni 2012


Penulis

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................iii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iv

BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................................6
1.1. Latar Belakang...............................................................................................6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................8


2.1.Kekurangan kalori protein......................................................................8
2.1.1. Definisi..............................................................................................8
2.1.2. Epidemiologi ……………………………………………….....8

2.1.3. Klasifikasi.........................................................................................8
2.1.4. Etiologi.....…………………………………………………......9

2.1.5. Patogenesis.......................................................................................9
2.1.6. Gejala Klinis.......................................................................................11

2.1.7. Patofisiologi....................................................................................11
2.1.8. Diagnosa …………………………………………...................13

2.1.9. Terapi Diet Rendah Protein...........................................................16


2.1.10. Prognosis.......................................................................................19

BAB 3 KESIMPULAN & SARAN................................................................................20


3.1. Kesimpulan.........................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................22

iv
5

BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit KKP merupakan bentuk malnutrisi yang terdapat terutama pada anak-anak dibawah
umur 5 tahun dan kebanyakan di negara-negara yang sedang berkembang. Berdasarkan hasil
penyelidikan di 254 desa di seluruh Indonesia, Tarwotjo, dkk (1999), memperkirakan bahwa 30
% atau 9 juta diantara anak-anak balita menderita gizi kurang, sedangkan 3% atau 0,9 juta
diantara anak-anak balita menderita gizi buruk. Berdasarkan “Rekapitulasi Data Dasar Desa Baru
UPGK 1982/1983” menunjukkan bahwa prevalensi penderita KKP di Indonesia belum menurun.
Hasil pengukuran secara antropometri pada anak-anak balita dari 642 desa menunjukkan angka-
angka sebagai berikut: diantara 119.463 anak balita yang diukur, terdapat status gizi baik 57,1%,
gizi kurang 35,9%, dan gizi buruk 5,9%.

Tingginya prevalensi penyakit KKP disebabkan pula oleh faktor tingginya angka kelahiran.
Menurun Morley (1968) dalam studinya di Nigeria, insidensi kwashiorkor meninggi pada
keluarga dengan 7 anak atau lebih. Studi lapangan yang dilakukan oleh Gopalan (1964) pada
1400 anak prasekolah menunjukkan bahwa 32% diantara anak-anak yang dilahirkan sebagai
anak keempat dan berikutnya memperlihatkan tanda-tanda KKP yang jelas, sedangkan anak-anak
yang dilahirkan terlebih dahulu hanya 17% memperlihatkan gejala KKP. Ia berkesimpulan
bahwa 62% dari semua kasus kekurangan gizi pada anak prasekolah terdapat pada anak-anak
keempat dan berikutnya.

Mortalitas KKP berat dimana-mana dilaporkan tinggi. Hasil penyelidikan yang dilakukan pada
tahun 1955/1956 (Poey, 1957) menunjukkan angka kematian sebanyak 55%, 35% diantara
mereka meninggal dalam perawatan minggu pertama, dan 20% sesudahnya.

Menurut WHO, 150 juga anak berumur di bawah 5 tahun menderita KKP dan 49% dari 10,4 juga
anak berumur di bawah 5 tahun meninggal karena KKP yang kebanyakan terjadi di negara-
negara yang sedang berkembang.

5
6

KKP merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. KKP disebabkan karena defisiensi
macro nutrient (zat gizi makro). Meskipun sekarang ini terjadi pergeseran masalah gizi dari
defisiensi macro nutrient kepada defisiensi micro nutrient, namun beberapa daerah di Indonesia
prevalensi KKP masih tinggi (> 30%) sehingga memerlukan penanganan intensif dalam upaya
penurunan prevalensi KKP (Aritonang, 2008).

Penyakit akibat KKP ini dikenal dengan Kwashiorkor, Marasmus, dan Marasmic Kwashiorkor.
Kwashiorkor disebabkan karena kurang protein. Marasmus disebabkan karena kurang energi dan
Manismic Kwashiorkor disebabkan karena kurang energi dan protein. KKP umumnya diderita
oleh balita dengan gejala hepatomegali (hati membesar). Tanda-tanda anak yang mengalami
Kwashiorkor adalah badan gemuk berisi cairan, depigmentasi kulit, rambut jagung dan muka
bulan (moon face). Tanda-tanda anak yang mengalami Marasmus adalah badan kurus kering,
rambut rontok dan flek hitam pada kulit (Aritonang, 2008).
Adapun yang menjadi penyebab langsung terjadinya KKP adalah konsumsi yang kurang
dalam jangka waktu yang lama. Pada orang dewasa, KKP timbul pada anggota keluarga
rumahtangga miskin olek karena kelaparan akibat gagal panen atau hilangnya mata pencaharian.
Bentuk berat dari KKP di beberapa daerah di Jawa pernah dikenal sebagai penyakit busung lapar
atau HO (Honger Oedeem) (Aritonang, 2008).

Menurut perkiraan Reutlinger dan Hydn, saat ini terdapat ± 1 milyar penduduk dunia yang
kekurangan energi sehingga tidak mampu melakukan aktivitas fisik dengan baik. Disamping itu
masih ada ± 0,5 milyar orang kekurangan protein sehingga tidak dapat melakukan aktivitas
minimal dan pada anak-anak tidak dapat menunjang terjadinya proses pertumbuhan badan secara
normal(Aritonang, 2008) .

Di Indonesia masalah kekurangan pangan dan kelaparan merupakan salah satu masalah pokok
yang dihadapi memasuki Repelita I dengan banyaknya kasus HO dan kematian di beberapa
daerah. Oleh karena itu tepat bahwa sejak Repelita I pembangunan pertanian untuk mencukupi
kebutuhan pangan penduduk merupakan tulang punggung pembangunan nasional kita. Bahkan
sejak Repelita III pembangunan pertanian tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan produksi
pangan dan meningkatkan pendapatan petani, tetapi secara eksplisit juga untuk meningkatkan
keadaan gizi masyarakat (Aritonang, 2008).

6
7

BAB II
ISI

Definisi

Kekurangan kalori protein adalah defisiensi gizi terjadi pada anak yang kurang mendapat
masukan makanan yang cukup bergizi, atau asupan kalori dan protein kurang dalam waktu yang
cukup lama (Ngastiyah, 1997).

Kurang kalori protein (KKP) adalah suatu penyakit gangguan gizi yang dikarenakan adanya
defisiensi kalori dan protein dengan tekanan yang bervariasi pada defisiensi protein maupun
energi (Sediatoema, 1999).

Epidemiologi
KKP adalah gangguan nutrisi yang penting di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia,
karena sebagai salah satu penyebab kematian dan kecacatan anak-anak (Hendricks, 2009).

KKP merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. Besar dan luasnya masalah KKP
pada balita di tingkat propinsi dan nasional sudah tersedia secara periodik melalui SUSENAS
modul kesehatan dan gizi. Analisis masalah KKP pada balita berdasarkan data Susenas 1989,
1992, dan 1995 menunjukkan bahwa secara keseluruhan terdapat penurunan prevalensi KKP
total dari 47,8% tahun 1989 menjadi 41,7% tahun 1982 dan 35% pada tahun 1995. Di sisi lain,

7
8

prevalensi gizi lebih meningkat dari 1,1% tahun 1989 menjadi 2,4% tahun 1992 dan 4,6% pada
tahun 1995 (Aritonang, 2008).

Keadaan gizi balita yang tinggal di pedesaan cenderung lebih buruk dibanding balita yang
tinggal di perkotaan; dan keadaan gizi balita perempuan relatif lebih baik dibanding balita laki-
laki (Aritonang, 2008).

Etiologi

Penyebab langsung dari KKP adalah defisiensi kalori protein dengan berbagai tekanan, sehingga
terjadi spektrum gejala-gejala dengan berbagai nuansa dan melahirkan klasifikasi klinik
(kwashiorkor, marasmus, marasmus kwashiorkor) (Aritonang, 2008).

Penyebab tak langsung dari KKP sangat banyak sehingga penyakit ini disebut sebagai penyakit
dengan causa multifactoral (Aritonang, 2008).

Berikut ini merupakan sistem holistik penyebab multifactoral menuju ke arah terjadinya KKP.

Ekonomi negara rendah


Pendidikan umum kurang
Produksi bahan pangan rendah
Hygiene rendah
Pekerjaan rendah
Pasca panen kurang baik
Sistem perdagangan dan distribusi tidak lancar
Daya beli rendah
Persediaan pangan kurang
Penyakit infeksi dan investasi cacing
Konsumsi kurang
Absorpsi terganggu
Utilisasi terganggu
KKP
Pengetahuan gizi kurang
Anak terlalu banyak

8
9

Etiologi akibat primer oleh karena tidak cukupnya asupan energi, protein maupun keduanya, dan
akibat sekunder oleh karena penyakit tertentu yang mengakibatkan intake yang tidak optimal,
absorpsi maupun penggunaan yang tidak adekuat serta meningkatnya kebutuhan karena
kehilangan zat gisi maupun meningkatnya penggunaan energi. KKP adalah gangguan nutrisi
yang penting di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, karena sebagai salah satu
penyebab kematian dan kecacatan anak-anak. KKP sekunder sering terjadi akibat adanya
penyakit akut maupun kronis (Hendricks, 2009). .

Pada tingkat makro, besar dan luasnya masalah KKP sangat erat kaitannya dengan keadaan
ekonomi secara keseluruhan. Peningkatan angka prevalensi KKP pada balita, dari data Susenas,
seiring sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dengan pendapatan di bawah garis
kemiskinan (Hendriks, 2009).

Pada tingkat mikro (rumah tanggat/individu), tingkat kesehatan terutama penyakit infeksi yang
juga menggambarkan keadaan sanitasi lingkungan merupakan faktor penentu status gizi.
Kesalahan memberikan makanan pada bayi mempunyai pengaruh kuat terjadinya KKP pada
awal kehidupan balita. Seringkali bayi tidak memperoleh ASI yang adekuat. Soal pemberian
makanan pendamping ASI (MP-ASI) terlalu dini atau terlambat dan jumlah serta mutu MP-ASI
tidak cukup akan membuat pertumbuhan balita terhambat. Lebih-lebih MP-ASI buatan pabrik
yang penyebarannya sudah sangat meluas di pedesaan, banyak digunakan oleh ibu-ibu dengan
jumlah yang tidak sesuai dengan kecukupan gizinya (Hendriks, 2009) .

Konsumsi makan bagi seseorang yang rawan terhadap kekurangan gizi (balita, ibu hamil)
dipengaruhi oleh pola konsumsi keluarga dan pola distribusi makan antar anggota keluarga.
Selanjutnya pola distribusi makan antar anggota keluarga dipengaruhi oleh banyak faktor.
Beberapa faktor penting yang diduga ada kaitannya dengan kebijaksanaan ekonomi makro
adalah tingkat upah kerja, alokasi waktu untuk keluarga, dll. Dalam hal ini peranan wanita atau
ibu sangat penting. Meningkatnya kesempatan kerja wanita dapat mengurangi waktu untuk
pemeliharaan anak, kurang pemberian ASI, meskipun hal tersebut belum tentu berpengaruh
negatif pada keadaan gizi bayi (Hendriks, 2009).

9
10

Pendapatan rumah tangga merupakan salah satu faktor yang menentukan konsumsi makan
keluarga. Disamping itu konsumsi makan keluarga juga dipengaruhi oleh harga pangan dan harga
bukan pangan. Rumah tangga berpendapatan rendah 60-80% dari pendapatannya dibelanjakan
untuk makan. Harga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pendapatan riil
rumahtangga, sedangkan pendapatan riil rumahtangga disamping ditentukan oleh tingkat harga
juga oleh jumlah pendapatan nominal, sementara tingkat harga ditentukan, oleh tingkat inflasi
dan harga relatif antar berbagai barang dan jasa (Aritonang,2008).

Klasifikasi

Berdasarkan berat dan tidaknya, KKP dibagi menjadi (Aritonang, 2008):

KKP ringan/sedang disebut juga sebagai gizi kurang (undernutrition) ditandai oleh
adanya hambatan pertumbuhan.

KKP berat, meliputi:

Kwashiorkor

Marasmus

Marasmik-kwashiorkor.

Manifestasi KKP tercermin dalam bentuk fisik tubuh yang apabila diukur secara Antropometri
(TB/U, BB/U, BB/TB) kurang dari nilai baku yang dianjurkan (Hendricks, 2009).
).

Klasifikasi Kurang Kalori Protein (Hendricks, 2009)


Normal Mild Moderate Severe
BB/TB 110-90 90-85 85-75 < 75
BB/U 110-90 90-81 80-61 < 60
BB/U > 90 90-75 75-61 < 60

10
11

TB/U > 95 98-87 87-80 < 80


BB/TB 90 90-80 80-70 < 70

Patofisiologi dan Manifestasi Klinis


Perjalanan penyakit Kurang Kalori Protein (KKP) yang terdiri dari marasmus (kurang protein
dan kalori) dan kwashiorkor (kurang protein) diawali dengan adanya ketidakseimbangan pasokan
protein dan kalori dengan kebutuhan sebenarnya. Penyakit yang biasanya melanda anak-anak di
negara miskin dan berkembang ini disebabkan oleh selain dari kurangnya pasokan sumber nutrisi
terpenting seperti protein, karbohidrat dan lemak sebagai penyebab utama, infeksi yang kronis
dan tergolong berat, khususnya yang disertai dengan diare, juga meningkatkan angka kejadian
KKP (Dixone, 2008).

Anak-anak dengan KKP kronis, tergolong kecil untuk umur dan cenderung tidak aktif secara
fisik, apatis, dan mudah terkena infeksi. Anoreksia dan diare juga sering dijumpai pada anak
yang mengalami KKP (Behrman, 2007).

Pada KKP akut, anak tampak kecil, sangat kurus tampak seperti tulang yang hanya dilapisi kulit
tanpa adanya jaringan lemak di bawah kulit.2 Kulit kering, dan “baggy” seperti, rambut jarang
dan berwarna coklat kusam atau kuning kemerahan. Temperatur tubuh rendah, denyut nadi dan
frekuensi pernapasan melambat. Mereka juga tampak lemah, irritable, dan biasanya lapar,
walaupun ada beberapa yang mengalami anoreksia disertai mual dan muntah (Behrman, 2007).

Pada penderita yang mengalami KKP, gejala klinis yang khas untuk marasmus adalah triangular
face, amenore primer atau sekunder, perut yang melar (akibat dari hipotonus otot abdomen),
prolapsus anal atau rektal (akibat dari kehilangan lemak perianal). Sedangkan pada penderita
kwashiorkor manifestasi klinis yang sering dijumpai adalah edema, perubahan pada warna kulit
dan rambut, anemia, hepatomegali, letargi, defisiensi imunitas yang berat, dan kematian yang
cepat (Behrman, 2007)

11
12

Edema yang tidak terjadi pada penderita marasmus sedangkan sering dijumpai pada penderita
kwashiorkor masih sering diperdebatkan.1 Protein yang diketahui sebagai pengatur tekanan
onkotik plasma, akan hilang fungsinya jika tidak mencapai kadar yang sesuai dalam pembuluh
darah, sehingga menyebabkan edema dan asites. Tetapi pada penderita kwashiorkor lebih banyak
mengalami edema dan asites dipercaya akibat anemia berat yang dialami oleh penderita karena
dari beberapa penelitian didapati bahwa konsentrasi total protein dalam plasma pada penderita
marasmus tidak jauh berbeda dengan penderita kwashiorkor (Behrman, 2007).

Organ vital yang sering mengalami degeneradsi pada penderita KKP adalah hati dan jantung.
Akibatnya akan terjadi insufisiensi pada otot-otot jantung, yang akhirnya akan menjadi gagal
jantung. Hilangnya lemak subkutan menyebabkan anak-anak penderita KKP tidak memiliki
kemampuan untuk pengaturan suhu tubuh yang baik dan menurunkan cadangan air. Hal ini akan
berujung pada dehidrasi, hipotermi dan hipoglikemi jika dibandingkan dengan anak-anak yang
sehat. Pada KKP berat juga terjadi atrofi vili-vili usus halus sehingga penyerapan nutrisi pun
tidak baik yang akhirnya memperparah keadaan si penderita (Behrman, 2007).

Manifestasi Klinis pada Malnutrisi


Marasmus Kwashiorkor
Gagal tumbuh ++ +
Severely underweight ++ -
Kehilangan massa otot + ++
Edema - +
Apatis, lemah + ++
Iritable + +
Ketidakseimbangan elektrolit (hipokalemia) + +
Hipoalbuminemia - +
Anemia - + ++
Perlemakan hati - +
Suhu tubuh menurun + ++
Flakey pain dermatitis - +

12
13

Tanda-tanda dari KKP dibagi menjadi 2 macam yaitu (Pudjiadi, 2005):

1. KKP Ringan

- Pertumbuhan linear terganggu.

- Peningkatan berat badan berkurang, terhenti, bahkan turun.

- Ukuran lingkar lengan atas menurun.

- Maturasi tulang terlambat.

- Ratio berat terhadap tinggi normal atau cenderung menurun.

- Anemia ringan atau pucat.

- Aktifitas berkurang.

- Kelainan kulit (kering, kusam).

- Rambut kemerahan.

1. KKP Berat

- Gangguan pertumbuhan.

- Mudah sakit.

- Kurang cerdas.

- Jika berkelanjutan menimbulkan kematian

13
14

Pemeriksaan (Behrman, 2007)


Menurut WHO untuk pemeriksaan atau pengkajian pada pasien dengan kekurangan kalori
protein (KKP) sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Fisik
1) Kaji tanda-tanda vital.
2) Kaji perubahan status mental, pada anak apakah anak nampak cengeng atau apatis.
3) Pengamatan timbulnya gangguan gastrointestinal, untuk menentukan kerusakan fungsi
hati, pankreas dan usus.
4) Menilai secara berkelanjutan adanya perubahan warna rambut dan keelastisan kulit
dan membran mukosa.
5) Pengamatan pada output urine.
6) Kaji perubahan pola eliminasi.
Perhatikan apakah ada ditemukan gejala seperti diare, perubahan frekuensi BAB, dan
di tandai adanya keadaan lemas dan konsistensi BAB cair.
7) Kaji secara berkelanjutan asupan makanan tiap hari.
Perhatikan apakah ada dijumpainya gejala mual dan muntah dan biasanya ditandai
dengan penurunan berat badan.
8) Pengkajian pergerakan anggota gerak/aktivitas anak dengan mengamati tingkah laku
anak melalui rangsang.
Kemudian untuk menegakkan diagnose pada Kekurangan Kalori Protein ini juga bisa didukung
dengan pemeriksaan penunjang :
2. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
- Pemeriksaan darah tepi
untuk memperlihatkan apakah dijumpai anemia ringan sampai sedang, umumnya
pada KKP dijumpai berupa anemia hipokronik atau normokromik.

14
15

- Pada uji faal hati:


Pada pemeriksaan uji faal hati tampak nilai albumin sedikit atau amat rendah,
trigliserida normal, dan kolesterol normal atau merendah.
- Kadar elektrolit K rendah, kadar Na, Zn dan Cu bisa normal atau menurun.
- Kadar gula darah umumnya rendah. (normalnya Gula darah puasa : 70-110 mg/dl,
Waktu tidur : 110-150 mg/dl, 1 jam setelah makan < 160 mg/dl, 2 jam setelah
makan : < 125 mg / dl
- Asam lemak bebas normal atau meninggi.
- Nilai beta lipoprotein tidak menentu, dapat merendah atau meninggi.
- Kadar hormon insulin menurun, tetapi hormon pertumbuhan dapat normal, merendah
maupun meninggi.
- Analisis asam amino dalam urine menunjukkan kadar 3-metil histidin meningkat dan
indeks hidroksiprolin menurun.
- Pada biopsi hati hanya tampak perlemakan yang ringan, jarang dijumpai dengan
kasus perlemakan berat.
- Kadar imunoglobulin serum normal, bahkan dapat meningkat.
- Kadar imunoglobulin A sekretori rendah.
- Penurunan kadar berbagai enzim dalam serum seperti amilase, esterase, kolin
esterase, transaminase dan fosfatase alkali. Aktifitas enzim pankreas dan xantin
oksidase berkurang.
- Defisiensi asam folat, protein, besi.
- Nilai enzim urea siklase dalam hati merendah, tetapi kadar enzim pembentuk asam
amino meningkat.
2) Pemeriksaan Radiologik
Pada pemeriksaan radiologik tulang memperlihatkan osteoporosis ringan

PENATALAKSANAAN KKP

Prinsip pengobatan MEP adalah (Junia, 2009):

15
16

1) Memberikan makanan yang mengandung banyak protein bernilai biologik tinggi, tinggi
kalori, cukup cairan, vitamin dan mineral.

2) Makanan harus dihidangkan dalam bentuk yang mudah dicerna dan diserap.

3) Makanan diberikan secara bertahap, karena toleransi terhadap makanan sangat rendah.
Protein yang diperlukan 3-4 gr/kg/hari, dan kalori 160-175 kalori.

4) Antibiotik diberikan jika anak terdapat penyakit penyerta.

5) Tindak lanjut berupa pemantauan kesehatan penderita dan penyuluhan gizi terhadap
keluarga.

Dalam keadaan dehidrasi dan asidosis pedoman pemberian cairan parenteral adalah
sebagai berikut:

1) Jumlah cairan adalah 200 ml/kgBB/hari untuk kwashiorkor atau marasmus kwashiorkor,
dan 250 ml/kg BB/hari untuk marasmus.

2) Jenis cairan yang dipilah adalah Darrow-glukosa aa dengan kadar glukosa dinaikkan
menjadi 10% bila terdapat hipoglikemia.

3) Cara pemberiannya adalah sebanyak 60 ml/kg BB diberikan dalam 4-8 jam pertama,
kemudian sisanya diberikan dalam waktu 16-20 jam berikutnya.

Makanan tinggi energi tinggi protein (TETP) diolah dengan kandungan protein yang
dianjurkan adalah 3,0-5,0 gr/kg BB dan jumlah kalori 150-200 kkal/kg BB sehari.

Asam folat diberikan per oral dengan variasi dosis antara 3×5 mg/hari pada anak kecil
dan 3×15 mg/hari pada anak besar. Kebutuhan kalium dipenuhi dengan pemberian KCL oral
sebanyak 75-150mg/kg BB/hari (ekuivalen dengan 1-2 mEq/kg BB/hari); bila terdapat tanda
hipokalemia diberikan KCl secara intravena dengan dosis intramuskular atau intravena dalam
bentuk larutan MG-sulfat 50% sebanyak 0,4-0,5 mEq/kgBB/hari selama 4-5 hari pertama
perawatan.

16
17

a. Prinsip penanganan anak dengan kurang gizi adalah (Junia, 2009)


1. Memberikan makanan yang mengandung banyak protein, tinggi kalori, cukup cairan,
vitamin dan mineral.
2. Makanan harus dihidangkan dalam bentuk yang mudah diserap dan dicerna
3. Makanan diberikan secara bertahap
4. Penyakit- penyakit lain yang menyertai harus ditangani
5. Tindak lanjut bersehatan berupa pemantauan kesehatan penderita dan penyuluhan gizi
terhadap keluarga.

b. Terapi dietik (Junia, 2009)


3 tahap cara pemberian makanan pada KKP adalah
Tahap Penyesuaian (Junia, 2009)
1. Makanan yang diberikan diawal lebih encer, lebih cair
2. Makanan yang diberikan awal bernilai kalori dan protein rendah , lalu bertahap ditingkatkan
kalori 150 – 220 kkal/kgBB sehari
Pada aplikasinya penderita KEP dibagi dua golongan menurut berat badan , yaitu
1. Berat badan < 7 kg
Pada penderita dengan berat badan dibawah 7 kg jenis makanan yang diberikan adalah makanan
bayi. Pada awal perawatan makanan utama adalah susu yng diencerkan ( 1/3, 2/3, 3/3) atau susu
formula rendah laktosa. Untuk tambahan kalori dapat diberikan glukosa 2 – 5 % dan tepung 2 %.
2. Berat badan > 7 kg
Pada penderita dengan berat badan diatas 7kg jenis makanan yang diberikan adalah makanan
anak umur satu tahun. Pemberian kalori 50 kkal/kgBB, protein 0,1 g/kgBB, cair200 ml/kgBB,
makanan cair kental ( 1/3 , 2/3, 3/3). Sumber makanan utama adalah susu dengan tambahan
kalori glukosa 5%.

Tahap Penyembuhan (Junia, 2009)


Pada tahap penyembuhan, toleransi terhadap makanan dan nafsu makan sudah membaik. Ien
Pemberian makanan dapat ditingkatkan secara berangsur setiap 1-2 hari. Konsumsi kalori 150 –
200 kkal/kgBB dan protein 3,0 – 5,0 g/kgBB.

17
18

Tahap Lanjutan (Junia, 2009)


Pada tahap lanjutan, pemberian makanan kembali ke kebutuhan nutrien baku.
C. Penatalaksanaan Marasmik dan Kwarshiorkor
1. Pemberian makanan tinggi energi dan tinggi protein
2. Energi 150 kkal/kgBB, protein 3 – 5 g/kgBB diberikan bertahap.
3. Tambahan KCL 75 – 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam tiga dosis, MgSO4 50%
sebanyak 0,25 ml/kgBB/hari secara IM.

KOMPLIKASI KKP (Muller, 2005)

1. Defisiensi vitamin A (xerophtalmia)

Vitamin A berfungsi pada penglihatan (membantu regenerasi visual purple bila mata
terkena cahaya).

Jika tidak segera teratasi ini akan berlanjut menjadi keratomalasia (menjadi buta).

2. Defisiensi Vitamin B1 (tiamin) disebut Atiaminosis.

Tiamin berfungsi sebagai ko-enzim dalam metabolisme karbohidrat. Defisiensi vitamin


B1 menyebabkan penyakit beri-beri dan mengakibatkan kelainan saraf, mental dan
jantung.

3. Defisiensi Vitamin B2 (Ariboflavinosis)

Vitamin B2/riboflavin berfungsi sebagai ko-enzim pernapasan. Kekurangan vitamin B2


menyebabkan stomatitis angularis (retak-retak pada sudut mulut, glositis, kelainan kulit
dan mata.

4. Defisiensi vitamin B6 yang berperan dalam fungsi saraf.

5. Defisiensi Vitamin B12

18
19

Dianggap sebagai faktor anti anemia dalam faktor ekstrinsik. Kekurangan vitamin B12
dapat menyebabkan anemia pernisiosa.

6. Defisit Asam Folat

Menyebabkan timbulnya anemia makrositik, megaloblastik, granulositopenia,


trombositopenia.

7. Defisiensi Vitamin C

Menyebabkan skorbut (scurvy), mengganggu integrasi dinding kapiler. Vitamin C


diperlukan untuk pembentukan jaringan kolagen oleh fibroblas karena merupakan bagian
dalam pembentukan zat intersel, pada proses pematangan eritrosit, pembentukan tulang
dan dentin.

8. Defisiensi Mineral seperti Kalsium, Fosfor, Magnesium, Besi, Yodium

Kekurangan yodium dapat menyebabkan gondok (goiter) yang dapat merugikan tumbuh
kembang anak.

9. Tuberkulosis paru dan bronkopneumonia.

10. Noma sebagai komplikasi pada KEP berat

Noma atau stomatitis merupakan pembusukan mukosa mulut yang bersifat progresif
sehingga dapat menembus pipi, bibir dan dagu. Noma terjadi bila daya tahan tubuh
sedang menurun. Bau busuk yang khas merupakan tanda khas pada gejala ini
(Muller, 2005).

19
20

BAB III
KESIMPULAN
Penyakit KKP merupakan bentuk malnutrisi yang terdapat terutama pada anak-anak dibawah
umur 5 tahun dan kebanyakan di negara-negara yang sedang berkembang. Berdasarkan hasil
penyelidikan di 254 desa di seluruh Indonesia, Tarwotjo, dkk (1999), memperkirakan bahwa 30
% atau 9 juta diantara anak-anak balita menderita gizi kurang, sedangkan 3% atau 0,9 juta
diantara anak-anak balita menderita gizi buruk. Berdasarkan “Rekapitulasi Data Dasar Desa Baru
UPGK 1982/1983” menunjukkan bahwa prevalensi penderita KKP di Indonesia belum menurun.
Hasil pengukuran secara antropometri pada anak-anak balita dari 642 desa menunjukkan angka-
angka sebagai berikut: diantara 119.463 anak balita yang diukur, terdapat status gizi baik 57,1%,
gizi kurang 35,9%, dan gizi buruk 5,9%.

Manifestasi KKP tercermin dalam bentuk fisik tubuh yang apabila diukur secara Antropometri.
Perjalanan penyakit Kurang Kalori Protein (KKP) yang terdiri dari marasmus (kurang protein
dan kalori) dan kwashiorkor (kurang protein) diawali dengan adanya ketidakseimbangan pasokan
protein dan kalori dengan kebutuhan sebenarnya (Behrman, 2007) (Hemdricks, 2009).

Menurut WHO untuk pemeriksaan atau pengkajian pada pasien dengan kekurangan kalori
protein (KKP) adalah dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang(baik pemeriksaan
lab maupun radiologik) (Behrman, 2007).

Kekurangan kalori protein (KKP) berat dapat menimbulkan komplikasi pada kulit dan mata
(Markum, 2006) .

20

Anda mungkin juga menyukai