Anda di halaman 1dari 6

Bionomik Aedes aegypti

Yang dimaksud bionomik adalah kesenangan memilih tempat perindukan


(breeding habit), kesenangan menggigit (feeding habit), kesenangan istirahat
(resting habit) dan jarak terbang (flight range).

1. Tempat perindukan nyamuk (Breeding Habit)


Tempat perindukan utama nyamuk berupa tempat-tempat penampungan
air di dalam dan disekitar rumah yang disebut kontainer. Biasanya tidak
melebihi jarak 500 meter dari rumah. Nyamuk Aedes aegypti tidak dapat
berkembangbiak di genangan air yang langsung bersentuhan dengan tanah
(Soegijanto, 2003). Jenis-jenis tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
a. Tempat Penampungan Air (TPA)
Penampungan ini biasanya dipakai untuk menampung air guna keperluan
sehari-hari, keadaan airnya jernih, tenang dan tidak mengalir, seperti drum,
tempayan, bak mandi, bak WC, tanki reservoir, ember dan lain-lain.
b. Bukan Tempat penampungan air (Non TPA)
Tempat yang bisa menampung air tetapi bukan untuk keperluan seharihari,
seperti tempat minuman hewan, vas bunga, perangkap semut, barangbarang
bekas (ban, kaleng, botol, plastik dan lain-lain).
c. Tempat penampungan air alamiah
Bukan tempat penampungan air tetapi secara alami dapat menjadi tempat
penampungan air seperti lobang pohon, pelepah daun, tempurung kelapa,
dan lain-lain.
2. Kebiasaan menggigit (Feeding Habit)
Kebiasaan menggigit dari nyamuk Aedes aegypti pada pagi hari pukul
08.00-12.00 WIB dan sore hari pukul 15.00-17.00 WIB. Lebih banyak
mengigit di dalam rumah dari pada di luar rumah. Aedes aegypti mempunyai
kebiasaan menghisap darah berulang kali (multiple bites) dalam satu siklus
gonotropik untuk memenuhi lambungnya dengan darah (Cahyati, WH dan
Suharyo, 2006).
3. Kebiasaan istirahat (Resting Habit)
Tempat yang disenangi nyamuk untuk beristirahat selama menunggu
proses pematangan telur, yaitu di dalam atau luar rumah yang berdekatan
dengan tempat perkembangbiakannya, pada tumbuhan atau benda yang
bergantung di tempat yang gelap dan lembab seperti korden, baju yang
digantung, dibawah furnitur. Pada tempat-tempat tersebut nyamuk akan
menunggu proses pematangan telur (Cahyati, WH dan Suharyo, 2006).
4. Jarak Terbang (Fight Range)
Pergerakan nyamuk dari tempat perindukan ke tempat mencari mangsa
dan selanjutnya ke tempat untuk beristirahat ditentukan oleh kemampuan
terbang nyamuk. Pada waktu terbang nyamuk memerlukan oksigen lebih
banyak, dengan demikian penguapan air dari tubuh nyamuk menjadi lebih
besar. Untuk mempertahankan cadangan air di dalam tubuh dari penguapan
maka jarak terbang nyamuk menjadi terbatas. Aktivitas dan jarak terbang
nyamuk dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu: faktor eksternal dan faktor internal.
Eksternal meliputi kondisi luar tubuh nyamuk seperti kecepatan angin,
temperatur, kelembaban dan cahaya. Adapun faktor internal meliputi suhu
tubuh nyamuk, keadaan energi dan perkembangan otot nyamuk. Meskipun
Aedes aeegypti kuat terbang tetapi tidak pergi jauh-jauh, karena tiga macam
kebutuhannya yaitu tempat perindukan, tempat mendapatkan darah, dan tempat
istirahat ada dalam satu rumah. Keadaan tersebut yang menyebabkan Aedes
aegypti bersifat lebih menyukai aktif di dalam rumah, endofilik. Apabila
ditemukan nyamuk dewasa pada jarak terbang mencapai 2 km dari tempat
perindukannya, hal tersebut disebabkan oleh pengaruh angin atau terbawa alat
transportasi (WHO, 2005).

Ukuran Kepadatan Vektor

Untuk mengetahui kepadatan vektor disuatu lokasi dapat dilakukan


beberapa survei yang dipilih secara acak yang meliputi : Survei nyamuk, survei
jentik dan survei perangkap telur. Sesuai dengan penelitian ini hanya akan dibahas
tentang survei jentik. Survei jentik dilakukan dengan cara pemeriksaan terhadap
semua tempat air didalam dan diluar rumah dari seratus rumah yang diperiksa
disuatu daerah dengan mata telanjang untuk mengetahui ada tidaknya jentik.

1. Cara Survei Jentik


Survei jentik nyamuk Aedes aegypti dilakukan dengan cara sebagai berikut
(Depkes RI, 2005):
a. Semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan
nyamuk Aedes aegypti diperiksa (dengan mata telanjang) untuk mengetahui
ada tidaknya jentik.
b. Untuk memeriksa TPA yang berukuran besar, seperti: bak mandi, tempayan,
drum, dan bak penampungan air lainnya. Jika pada pandangan (penglihatan)
pertama tidak menemukan jentik, tunggu kira-kira 1 menit untuk
memastikan bahwa benar jentik tidak ada.
c. Untuk memeriksa tempat-tempat perkembangbiakan yang kecil, seperti: vas
bunga atau pot tanaman air atau botol yang airnya keruh, seringkali airnya
perlu dipindahkan ke tempat lain.
d. Untuk memeriksa jentik di tempat yang agak gelap, atau airnya keruh,
biasanya digunakan senter.
2. Metode Survei Jentik
Metode survei jentik dapat dilakukan dengan cara (Depkes RI, 2005):
a. Single larva: Cara ini dilakukan pada setiap kontainer yang ditemukan ada
jentik, maka satu ekor jentik akan diambil dengan cidukan (gayung plastik)
atau menggunakan pipet panjang jentik sebagai sampel, untuk pemeriksaan
spesies jentik (identifikasi). Jentik yang diambil ditempatkan dalam botol
kecil/ vial bottle dan diberi label.
b. Visual: Cara ini cukup dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya jentik di
setiap tempat genangan air tanpa mengambil jentiknya. Biasanya dalam
program DBD menggunakan cara visual.
3. Ukuran-Ukuran Yang Dipakai Untuk Mengetahui Kepadatan Jentik Aedes:
a. Angka Bebas Jentik (ABJ)
Angka Bebas Jentik adalah persentase pemeriksaan jentik yang dilakukan di
semua desa/kelurahan oleh petugas pada rumah-rumah penduduk yang
diperiksa secara acak.

Jumlah rumah⁄bangunan yang tidak


ditemukan jentik
x 100%
Jumlah rumah/bangunan yang diperiksa

b. House Indeks (HI)


House Indeks (HI) adalah persentase rumah yang ditemukan jentik yang
dilakukan di semua desa/kelurahan oleh petugas pada rumah-rumah
penduduk yang diperiksa secara acak.
Jumlah rumah⁄bangunan yang ditemukan jentik
𝑥 100%
Jumlah rumah⁄bangunan yang diperiksa
c. Container Indeks (CI)
Container Indeks (CI) adalah persentase pemeriksaan jumlah kontainer yang
diperiksa ditemukan jentik pada kontainer di rumah-rumah penduduk yang
diperiksa secara acak.

Jumlah 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑎𝑖𝑛𝑒𝑟 dengan jentik


𝑥 100%
Jumlah 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑎𝑖𝑛𝑒𝑟 yang diperiksa

d. Breteau Indeks (BI)


Breteau Indeks (BI) adalah jumlah kontainer yang terdapat jentik dalam 100
rumah.

Jumlah 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑎𝑖𝑛𝑒𝑟 dengan jentik


𝑥 100%
Jumlah rumah yang diperiksa

Daftar Pustaka

Cahyati, WH dan Suharyo. Dinamika Aedes Aegypti sebagai Vektor Penyakit.


KEMAS. Vol. II, No. 1, Juli 2006.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pencegahan dan Pemberantasan


Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Ditjen PP dan PL. 2005.
Soegijanto S. Demam Berdarah Dengue, Tinjauan dan Temuan Baru di Era 2003.
Surabaya: Airlangga University Press. 2003.

World Health Organization. Demam Berdarah Dengue Diagnosis Pengobatan,


pencegahan dan pengendalian. Edisi 2. Alih Bahasa: Manied ester. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005.

Keberadaan jentik Aedes aegypti di suatu daerah merupakan indikator


terdapatnya populasi nyamuk Aedes aegypti di daerah tersebut.
Penanggulangan penyakit DBD mengalami masalah yang cukup kompleks,
karena penyakit ini belum ditemukan obatnya. Tetapi cara paling baik untuk
mencegah penyakit ini adalah dengan pemberantasan jentik nyamuk
penularnya atau dikenal dengan istilah Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam
Berdarah Dengue (PSN-DBD).8
Penyakit ini ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang
terinfeksi, khususnya nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus4 yang
terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia.5

Menurut Dinas Kesehatan Kota Semarang, kasus DBD di Kota


Semarang pada tahun 2012 berjumlah sebanyak 1.250 kasus. Pada tahun 2013
jumlah kasusnya sebanyak 2.364 kasus atau meningkat 89,11% dari 1.250
kasus pada tahun 2012. Tahun 2014 jumlah kasus DBD sebanyak 1.628 kasus
atau menurun 31,13% dari 2.364 kasus pada tahun 2013. Tahun 2015 jumlah
kasus DBD sebanyak 1.737 kasus atau meningkat 6,7% dari 1.628 kasus pada
tahun 2014.
Jumlah kematian pada tahun 2012 yaitu 22 kasus (CFR = 1,76% dan IR
= 70,9/100.000). Tahun 2013 sebanyak 27 kasus, CFR menurun dari 1,80%
pada tahun 2012 menjadi 1,14% pada tahun 2013. Jumlah kematian pada tahun
2014 tetap sama dari tahun 2013 yang berjumlah 27 kasus. CFR DBD tahun
2013 sebesar 1,14% meningkat menjadi 1,66% pada tahun 2014. IR DBD
tahun 2013 yang semula 134,09 menurun menjadi 92,43 atau turun 41,47%
pada tahun 2014. Sedangkan target nasional Incident Rate DBD yaitu < 20 per
100.000 penduduk dan CFR DBD < 1% yang berarti Kota Semarang belum
mencapai target nasional.11
Angka kesakitan/Incidence Rate (IR) DBD di Jawa Tengah pada tahun
2010 sebesar 56,8/100.000 penduduk. Angka kesakitan/Incidence Rate (IR)
tahun 2011 sebesar 15,3/100.000 penduduk, meningkat pada tahun 2012 yaitu
sebesar 19,29/100.000 penduduk. Pada tahun 2013, IR sebesar 45,53/100.000
lebih tinggi dari tahun 2014 yaitu sebesar 36,2/100.000 penduduk. Kemudian
mengalami peningkatan pada tahun 2015 yaitu sebesar 47,9/100.000 penduduk.
Hal ini berarti bahwa IR DBD di Jawa Tengah lebih rendah dari target nasional
(< 51/100.000 penduduk, namun lebih tinggi jika dibandingkan dengan target
RPJMD yaitu < 20/100.000 penduduk). Selanjutnya untuk Angka
kematian/Case Fatality Rate (CFR) DBD tahun 2010 sebesar 1,29%. Pada
tahun 2011 sebesar 0,93% dan mengalami peningkatan di tahun 2012 sebesar
1,52%. Sedangkan pada tahun 2013 sebesar 1,21% dan terjadi peningkatan di
tahun 2014 sebesar 1,7%. Dan pada tahun 2015, CFR sebesar 1,6% yang
mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Angka tersebut masih lebih
tinggi dibandingkan dengan target nasional maupun RPJMD (< 1%).10
PROFIL KES JATENG 2015

Anda mungkin juga menyukai