PENDAHULUAN
Kekurangan energi protein dapat berdampak pada perkembangan otak, hal tersebut
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia, durasi keadaan kekurangan gizi,
penyakit. Masalah gizi yang paling banyak ditemukan pada anak di Indonesia
adalah stunting. Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (balita
dibawah lima tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu
pendek unttuk usianya. stunting didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut
Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) dengan ambang batas
(z-score) antara -3 SD sampai dengan <2 SD. Prevalensi pendek (stunting) pada
balita dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terkait, antara lain keadaan gizi ibu
ketika masa kehamilan, asupan gizi yang kurang pada bayi, kekurangan konsumsi
makanan yang berlangsung lama sehingga status gizi balita rendah. (Efendhi, A,
2015)
kelompok 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu Ibu hamil, Ibu Menyusui,
dan Anak 0-23 bulan, karena penanggulangan balita pendek yang paling efektif
dilakukan pada 1.000 HPK. Periode 1.000 HPK meliputi yang 270 hari selama
kehamilan dan 730 hari pertama setelah bayi yang dilahirkan telah dibuktikan
1
2
karena itu periode ini ada yang menyebutnya sebagai "periode emas", "periode
Periode inilah yang menentukan anak stunting atau tidak. (Kementrian Kesehatan,
R,I, 2017)
diantaranya penyakit yang sering menyerang balita seperti halnya ISPA. Penyakit
saluran pernafasan akut disebabkan oleh virus atau bakteri. Penyakit ini diawali
dengan panas dan disertai salah satu atau lebih gejala: tenggorokan sakit, atau
anak stunting juga cendrung lebih rentan terhadap penyakit infeksi. (Ningrum, E.
Status gizi merupakan hal yang paling berperan dalam kejadian sakit,
terhadap penyakit infekai saluran pernafasan akut (ISPA) dimana balita dengan
3
status gizi kurang mudah terjangkit ISPA. Balita dengan konsumsi pangan hewani,
susu, dan produk olahan susu yang rendah akan menyebabkan balita kekurangan
protein dan mineral seperti kalsium dan seng. Dikarenakan stunting tidak dapat
ISPA dan sistem imunitas tubuh sangat berperan penting, sehingga apabila
konsumsi sayur dan buah tidak mencukupi maka dapat menyebabkan balita
Hal ini dapat memicu terjadinya penyakit infeksi pada balita seperti ISPA.
( Efendhi, A, 2015)
didunia. Hampir empat juta orang meninggal akibat ISPA setiap tahunnya. Selain
itu, ISPA merupakan penyebab utama konsultasi atau rawat inap difasilitas
pelayanan kesehatan terutama pada bagian perawatan anak. Hal yang serupa juga
terjadi di Indonesia. Satu dari empat kematian bayi dan balita di Indonesia
diakibatkan oleh ISPA. Pada setiap tahunnya, setiap anak diperkirakan mengalami
bahwa prevalensi stunting sebesar 37,2%, meningkat dari tahun 2010 (35,6%) dan
pendek 19,2% dan pendek 18,1%. Artinya, diperkirakan lebih dari sepertiga atau
lebih dari 8,9 juta anak usia dibawah 5 tahun di Indonesia mengalami
pertumbuhan yang tidak sesuai ukuran standar internasional untuk tinggi badan
4
berbanding usia. Selain itu, untuk anak Indonesia yang dalam keadaan kurus,
2014 membreak down data Riskesdas 2013 dilevel Kabupaten Kota untuk
prevalensi balita sangat pendek dan pendek adalah sebagai berikut, Kabupaten
36,9 9%, Mesuji 43,43%, Tulang Bawang Barat 40,08%, Bandar Lampung,
penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita usia 24-59 bulan
dalam penelitian ini yaitu “adakah hubungan kejadian stunting dengan riwayat
penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita usia 24-59 bulan di
tahun 2019”.
5
infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita usia 24-59 bulan di Desa
2019.
1. Mengetahui gambaran kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Desa
tahun 2019.
(ISPA) pada balita usia 24-59 bulan di Desa Mataram Ilir, Kecamatan Seputih
penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita usia 24-59 bulan
Sebagai bahan evaluasi bagi petugas kesehatan unit program gizi anak di
penyakit infeksi saluran pernafsan akut (ISPA) pada balita usia 24-59 bulan.
infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita usia 24-59 bulan di Desa
tahun 2019”.
3. Subyek penelitian: Balita stunting sebagai kelompok kasus dan balita normal
4. Waktu dan tempat penelitian: Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari
tahun 2019 samapai dengan selesai. Penelitian ini dilakukan di Desa Mataram
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stunting
2.1.1 Definisi
dampak akumulatif dari ketidak cukupan konsumsi zat gizi, kondisi kesehatan
yang buruk dan pengasuhan yang tidak memadai. (Damayanti, R. A., et al.
2017)
asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan
yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting dapat terjadi mulai janin
masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun.
2.1.2 Etiologi
ASI eksklusif, tinggi badan orang tua, berat bayi lahir rendah (BBLR), dan
2017)
8
Anak atau balita stunting umumnya terlihat normal dan sehat. Namun
jika ditelisik lebih jauh ada aspek-aspek lain yang justru jadi persoalan. Tidak
hanya kognitif atau fisik, anak yang mengalami stunting cenderung memiliki
sistem metabolisme tubuh yang tidak optimal.Misalnya kalau anak lain bisa
2018))
badan lahir rendah, pemberian ASI tidak eksklusif, penyakit infeksi dan
Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi pada periode
tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan
kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan risiko tinggi untuk munculnya
stroke, dan disabilitas pada usia tua, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif
Kesehatan, R. I, 2017)
9
sejak janin dalam kandungan sampai anak berusia 2 tahun yang disebut
dengan periode emas (seribu hari pertama kehidupan). Oleh karena itu,
perbaikan gizi diprioritaskan pada usia seribu hari pertama kehidupan yaitu
270 hari selama kehamilannya dan 730 hari pada kehidupan pertama bayi
yang dilahirkannya.
yang baik. Apabila ibu hamil dalam keadaan sangat kurus atau
c. Kesehatan ibu harus tetap dijaga agar ibu tidak mengalami sakit.
a. Persalinan ditolong oleh bidan atau dokter terlatih dan begitu bayi
b. Bayi sampai dengan usia 6 bulan diberi ASI saja (ASI Eksklusif).
4. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) harus diupayakan oleh setiap
panjang atau tinggi badan menurut umurnya bila dibandingkan dengan standar
scorenya <-2SD dan dikategorikan sangat pendek jika nilai z-scorenya <-
menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran napas mulai hidung
ISPA merupakan penyakit saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh agen
oleh bakteri, virus, dan riketsia yang menyebabkan radang akut tanpa disertai
radang parenkim paru. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah Genus
Tanda dan gejala ISpa banyak bervariasi antara lain demam, pusing,
photopobia (takut cahaya ), gelisah batuk , keluar secret, stridor (suara nafas
12
tarikan dada), hipoksia (kurang oksigen), dan dapat berlanjut pada gagal nafas
W, 2014)
atas laring. Kebanyakan penyakit saluran napas mengenai bagian atas dan
B. Klasifikasi ISPA dibedakan untuk golongan umur dibawah 2 bulan dan untuk
1) Pneumonia berat
13
Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di dinding pada bagian
bawah atau nafas cepat. Napas cepat untuk golongan umur kurang dari 2
Bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah
atau napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur kurang 2 bulan,
serta demam/dingin.
1) Pneumonia Berat
Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada bagian
2) Pneumonia Sedang
Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah : untuk usia 2 bulan
– 12 bulan = 50 kali per menit atau lebih sedangkan untuk usia 1-4 tahun
3) Bukan Pneumonia
Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak
ada napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun
yaitu: tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, serta gizi
buruk.
14
1. ISPA ringan Tanda dan gejala ISPA ringan yaitu batuk, pilek, demam,
tidak ada napas cepat 40 kali per menit, tidak ada tarikan dinding ke dada
suara), pilek (mengeluarkan lendir dari hidung), panas atau demam (suhu
2. ISPA sedang Tanda atau gejala ISPA sedang yaitu sesak napas, suhu
gejala ISPA ringan disertai gejala: suhu tubuh lebih dari 39ºC,
3. ISPA berat Tanda dan gejala ISPA berat yaitu kesadaran menurun, nadi
cepat atau tidak teraba, nafsu maka menurun, bibir dan ujung jari
ditemukan gejala ISPA ringan atau sedang disertai satu atau lebih gejala
yaitu: bibir atau kulit membiru, lubang hidung kembang kempis pada
tertarik kedalam pada waktu bernapas, nadi cepat lebih dari 60 kali per
15
2017)
pada balita penderita ISPA. Diantaranya faktor Berat Bayi Lahir Rendah
(BBLR), status gizi, imunisasi, kepadatan tempat tinggal dan lingkungan fisik.
Salah satunya balita dengan riwayat Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR). Pada
bayi BBLR, pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih
faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita. Imunisasi
penyakit.
Salah satu faktor penyebab ISPA juga yaitu keadaan lingkungan fisik
dalam rumah tetap bersih sehingga dapat mencegah kuman dan termasuk
1. Nasofaringitis
sering mengeluarkan cairan, penyakit ini banyak dijumpai pada bayi dan
sedangkan common cold adalah istilah untuk orang dewasa atau yang kita
kenal dengan sebutan infuenza. Dalam hal ini manifestasi klinis antara orang
dewasa dan anak berlainan. Pada anak infeksi lebih luas, mencakup daerah
sinus parsial, telinga tengah sampai nasofaring, disertai demam yang tinggi.
Pada orang dewasa infeksi mencakup daerah terbatas dan biasanya tidak
disertai demam yang tinggi. Pada bayi dan anak-anak infeksi saluran nafas
akut, apabila tidak disertai penanganan khusus dari orangtua. Gejala penyakit
nasofaringitis pada anak-anak yaitu gejala awal berupa rasa tidak enak di
mengeluarkan cairan yang encer atau jernih, biasanya tidak timbul demam
tetapi bisa muncul demam ringan, disertai batuk atau tanpa batuk.
2. Faringitis
disebabkan oleh virus, bakteri, alergi, trauma, toksin, dll. Faringitis umumnya
tenggorokan dapat merupakan tanda awal pilek, tapi juga dapat merupakan
yang merupakan awal pilek, gejala bisa menghilang setelah beberapa hari.
akut dapat menular melalui kontak dari sekret hidung dan ludah (droplet
infection) dari oang yang menderita faringitis. Gejala faringitis pada anak
menelan makanan.
3. Rinitis
rinore, rasa gatal dan tersumbat pada mukosa hidung. Berdasarkan sifat
berlangsungnya terdapat dua macam rhinitis yaitu rinitis musiman dan rinitis
sepanjang tahun. Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat
menyebabkan rinitis musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis
aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca. Gejala rinitis adalah
18
bersin berulang-ulang terutama pada pagi atau malam hari dengan intensitas
lebih dari 5 kali bila terdapat kontak dengan debu, keluar ingus (rinore) yang
encer, hidung tersumbat, hidung dan mata terasa gatal kadang disertai keluar
banyak air mata (lakrimasi), mengalami pucat. Gejala lain yang mungkin
4. Asma
gangguan inflamasi kronik saluran nafas dengan banyak sel yang berperan,
khususnya sel mast, eosinosil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan
inflamasi dapat menyebabkan mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan
dan batuk khususnya pada malam atau dini hari. Mekanisme utama timbulnya
lebar saluran pernafasan anak lebih sempit, sehingga jumlah nafas anak akan
5. Bronkitis
elastis dan otot-otot polos bronkus. Bronkus yang terkena umumnya bronkus
19
kecil (medium size), sedangkan bronkus besar jarang terjadi. Hal ini dapat
polusi udara, merokok dan infeksi. Infeksi sendiri terbagi manjadi infeksi
polusi udara meliputi polusi asap rokok atau uap/gas yang memicu terjadinya
bronkitis. Gejala umum bronkitis akut maupun bronkitis kronik adalah batuk
dan produksi sputum biasanya terjadi setiap hari paling sedikit 3 bulan atau 2
demam.
6. Pneumonia
Gejala penyakit pneumonia ini berupa nafas cepat dan nafas sesak, karena
paru meradang secara mendadak. Selain itu gejala pneumonia yang lain
mengalami mengi, dan sulit menelan makanan atau minuman. Batas nafas
cepat adalah frekuensi pernafasan sebanyak 50 kali per menit atau lebih pada
20
anak usia 2 bulan sampai kurang dari 1 tahun, dan 40 kali per menit atau lebih
7. Tuberculosis (TBC)
berat badan. Namun gejala seringkali tidak jelas atau samar sehingga untuk
memastikan TB perlu diagnosis dengan tes kulit (mantoux) dan rongga paru.
rifampisin yang harus diberikan untuk jangka waktu tertentu (6 bulan atau
Dampak yang yang paling dirasakan adalah sesak nafas, pilek, demam,
bawah 5 tahun pada setiap tahunnya Sebanyak dua pertiga kematian tersebut
A. Pemeriksaan
mendengarkan anak. Hal ini penting agar selama pemeriksaan anak tidak
dapat dilakukan tanpa membuka baju anak. Bila baju anak tebal, mungkin
perlu membuka sedikit untuk melihat gerakan dada. Untuk melihat tarikan
dada bagian bawah, baju anak harus dibuka sedikit. Tanpa pemeriksaan
diklassifikasi.
B. Pengobatan
prokain.
tradisional atau obat batuk lain yang tidak mengandung zat yang
C. Penanganan di rumah
Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk mengatasi anaknya
dengan kecap atau madu ½ sendok teh , diberikan tiga kali sehari.
tetap diteruskan.
terlalu tebal dan rapat, lebih-lebih pada anak dengan demam. Jika
b. Immunisasi.
c) Immunisasi.
(Rasmaliah, 2014)
Salah satu faktor risiko kejadian stunting kurangnya asupan gizi dalam
jangka waktu yang lama, sehingga dapat terjadi perlambatan pertumbuhan dan
badan turun secara akut dan berpengaruh pada status gizi balita bila terjadi
dalam jangka waktu yang lama. Balita dengan status gizi yang kurang
mempunyai sistem imun yang rendah yang dapat membuat balita mudah
kematian. Infeksi saluran pernapasan akut disebabkan oleh virus dan bakteri.
Penyakit ini diawali dengan panas disertai salah satu gejala: tenggorokan
sakit, nyeri telan, pilek, batuk kering atau berdahak. Periode prevalensi ISPA
dihitung dalam kurun waktu 1 bulan terakhir. Penelitian oleh Efendi (2015)
anak stunting yang mengalami ISPA dengan frekuensi sering sebesar 85,2%.
26
Imunitas menurun
Keterangan:
= Tidak diteliti
= Diteliti
Stunting ISPA
saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita usia 24-59 bulan di Desa
saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita usia 24-59 bulan di Desa
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
status gizi untuk stunting, sedangkan untuk ISPA menggunakan data rekam
3.4.1 Populasi
data yang benar-benar relevan dengan masalah yang diteliti. Adapun populasi
dalam penelitian ini berjumlah 463 dengan prevalensi balita stunting 38,01%
3.4.2 Sampel
𝑁
n=
1+𝑁(𝑑)²
106
n=
1+106 (0,1)²
106
n=
1+106(0,01)
106
n=
1+1,06
106
n=
2,06
30
n= 51,4 orang
Keterangan:
N = Jumlah Populasi
n = Jumlah Sampel
Variabel adalah obyek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian
yaitu: variabel bebas atau independen yaitu stunting dan variabel terkait atau
N Variabel Definisi Oprasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
O Ukur
Variabel Independen
1 Stunting Keadaan fisik anak Pengukuran Pengukur 0=Mengala Nominal
balita yang antropometri tinggi mi stunting
ditentukan dengan dengan badan dan jika: <-3
melakukan melakukan tebel SD s/d < -
pengukuran pengukuran antropomet 2 SD.
antropometri tinggi tinggi badan. ri penilaian
badan menurut umur status gizi 1=Tidak
(TB/U) Kemudian anak. mengalami
diinterpretasikan stunting
dengan standar WHO jika: -2SD
NCHS dengan s/d +2 SD
menggunakan (Kemenkes
indikator TB/U. RI, 2012)
Variabel Dependen
2 Riwayat Suatu kondisi dimana Berdasarkan Rekam 0=Sering Nominal
ISPA pernah mengalami diagnosa. medis (Mengalam
(infeksi infeksi pada saluran tahun 2018. i ISPA >6
saluran pernafasan selama ≤ kali)
pernafasa 14 hari. 1=Tidak
n akut) sering
(mengalam
i ISPA <6
kali)
32
1. Balita usia 24-59 bulan yang berada di Desa Mataram Ilir, Kecamatan
lordosis).
primer yang diambil meliputi pengukuran tinggi badan (TB/U atau PB/U) dan
(ISPA) dari data rekam medis yang diambil dari Puskesmas Seputih Surabaya,
Tengah.
33
2. Coding (Pengkodean)
4. Entri data
5. Cleaning
jenis datanya. Untuk data numerik digunakan nilai mean atau rata-rata,
median dan standar deviasi. Pada umumnya dalam analisis ini hanya
adalah antropometri TB/U dan rekam medis ISPA di Desa Mataram Ilir,
satu keadaan dengan keadaan yang lain dapat digunakan uji statistik
Balita
Inklusi Eksklusi
Kuesioner
Pencatatan Hasil
Analisis Data
Hasil Data
BAB IV
Penelitian ini dilakukan pada balita stunting dan balita normal yang
penilaian status gizi anak, dan pengambilan data dilakukan secara sekunder
dari rekam medis. Responden pada penelitian ini adalah balita stunting
sebagai kelompok kasus dan balita normal sebagai kelompok kontrol yang
berusia 24-59 bulan yang berada di Desa Mataram Ilir, Kecamatan Seputih
36
37
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kelompok dengan usia terbanyak
orang (42,3 %), sedangkan yang terendah adalah kelompok dengan usia 48-59
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah sampel laki-laki balita
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kelompok dengan usai terbanyak
balita normal yang menjadi kelompok kontrol adalah 24-35 bulan dengan
jumlah 23 orang (44,2 %), sedangkan yang terendah adalah kelompok dengan
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah sampel laki-laki balita
orang (44,2 %)
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah balita dengan golongan
-3SD sampai <-2 SD dengan status pendek sebanyak 43 orang (82,7 %),
(17,3 %).
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah balita denagn golongan
akut (ISPA) dari data sekunder dengan melihat data rekam medis pasien.
Tabel 4.7 Riwayat Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Balita
Stunting
orang (84,6 %), sedangkan tidak sering ISPA sebanyak 8 orang (15,4 %).
Tabel 4.8 Riwayat Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Balita
Normal
Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita Usia 24-59 Bulan Di Desa Mataram
2019.
Riwayat
Kejadian ISPA Total OR P
Stunting Sering Tidaksering Value
ISPA ISPA
Balita 44orang 8 orang 52
stunting 84,6% 15,4% 100%
Balita 4 orang 48orang 52 61.000 0,000
100% CI=18.572-
Tidak 7,7 % 92,3%
234.552
Stunting
Total 48orang 56 orang 104
46 % 54 % 100%
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa balita stunting yang sering
mengalami ISPA sebanyak 44 orang (84,6 %), dan yang tidak sering
mengalami ISPA sebanyak 8 orang (15,4 %). Sedangkan balita normal atau
42
tidak stunting yang sering mengalami ISPA sebanyak 4 orang (7,7 %), dan
Dari tabel diatas juga dapat dilihat bahwa ada hubungan bermakna
antara kejadian Stunting dengan riwayat penyakit ISPA dikarenakan hasil uji
4.4 Pembahasan
berjenis kelamin laki-laki (39,5 %). Lebih banyak prevalensi stunting pada
kekurangan gizi akibat lebih banyaknya kebutuhan energi protein pada laki-
penderita dengan usia 36-47 bulan dengan presentasi sebanyak 42 %. Hal ini
menyimpulkan bahwa balita stunting paling banyak pada usia 36-47 bulan.
sampai <-2 SD dengan status pendek paling banyak sebanyak 43 orang (82,7
sebanyak 9 orang (17,3 %). Hal ini dikarenakan, stunting merupakan bentuk
nutrisi yang berlangsusng lama mulai dari kehamilan sampai usia 24 bulan.
( Mitra, M. 2015)
dan pendek dari hasil Riskesdas tahun 2007-2013 menunjukan bahwa, untuk
4.4.3 Riwayat Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita
Stunting
menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran napas mulai hidung
ISPA merupakan penyakit saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh agen
mengalami ISPA sering dari pada tidak sering. Dimana balita dikatakan sering
ISPA jika mengalami frekuensi ISPA > 6 kali pertahun, dan jarang atau tidak
sering jika frekuensi ISPA < 6 kali pertahun. (Sienviolincia, D. 2015). Balita
stunting lebih rentan terkena infeksi, terutama infeksi saluran pernafasan akut
dimasyarakat. Terdapat 156 juta episode baru kejadian ISPA didunia pertahun
dimana 151 juta episode (96,7 %) terjadi dinegara berkembang. ISPA lebih
sering terjadi pada anak-anak, dengan insiden menurut kelompok umur balita
45
Efendi (2015) anak stunting yang mengalami ISPA dengan frekuensi sering
sebesar 85,2%
pada tabel 4.9, menunjukan bahwa persentase balita yang mengalami stunting
dan tidak mengalami stunting yang sering mengalai ISPA yaitu sebesar 84,6%
: 7,7%. Kemudian dari uji analisa data Chi Square dengan tingkat kepercayaan
90% diperoleh p value sebesar 0,000 dengan taraf signifikan (p<0,05) yang
riwayat penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita di Desa
berarti HO ditolak.
asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan
yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting dapat terjadi mulai janin
masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun.
yang buruk dan pengasuhan yang tidak memadai. (Damayanti, R. A., et al.
2017)
Gizi merupakan salah satu penentu dari kualitas sumber daya manusia.
resiko kesakitan salah satunya adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)
(Hadiana, S. Y. M. 2013)
Infeksi saluran pernafasan akut disebabkan oleh virus atau bakteri. Penyakit
ini diawali dengan panas dan disertai salah satu atau lebih gejala: tenggorokan
sakit, atau nyeri telan, pilek, batuk kering atau berdahak. (Efendhi, A. 2015)
Hal ini dikarenakan anak stunting juga cendrung lebih rentan terhadap
pneumonia pada anak balita. (Hadiana, S. Y. M. 2013) Salah satu faktor risiko
kejadian stunting kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu yang lama,
status gizi. Penyakit infeksi dapat mengakibatkan berat badan turun secara
akut dan berpengaruh pada status gizi balita bila terjadi dalam jangka waktu
yang lama. Balita dengan status gizi yang kurang mempunyai sistem imun
yang rendah yang dapat membuat balita mudah terkena penyakit infeksi.
menunjukkan kejadian ISPA berulang yang lebih banyak pada balita dengan
status gizi kurang dengan p = 0,03, hal ini disebabkan karena status gizi yang
Dari hasil analisis dapat dilihat bahwa frekuensi ISPA lebih sering
terjadi pada balita stunting dibandingkan dengan balita tidak stunting atau
kejadian infeksi seperti halnya infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian Hadiana (2013) dimana diperoleh hasil
48
bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan frekunsi
ISPA. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian wanda lestari (2014)
dimana anak stunting pada penelitian ini memiliki proporsi yang lebih tinggi
menderita ISPA dibandingkan dengan anak normal. Hal ini tidak sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Bayu (2013) yang menyatakan bahwa
kejadian stunting pada ank usia 12-60 bulan tidak ada hubungannya secara
namun sering mengalami ISPA. Hal ini disebabkan oleh faktor lain yang
dapat menyebabkan terjadinya ISPA pada balita seperti umur, pemberian ASI,
kepadatan dalam rumah dan BBLR. Selain itu didapatkan juga responden
yang yang mengalami stunting tetapi jarang mengalami ISPA. Hal tersebut
tidak ada yang menderita ISPA meskipun status balita stunting, atau bisa
mudah terkena ISPA. Dari hasil diatas dapat disimpulkan bahwa kejadian
tubuh balita. Jika balita mengalami stunting maka akan lebih mempermudah
BAB V
5.1 Kesimpulan
stunting dengan riwayat penyakit ISPA pada balita usia 24-59 bulan di Desa
sebagai berikut:
1. Balita stunting sebagai kelompok kasus yang berada di Desa Mataram Ilir,
mengalami ISPA sebanyak 44 orang (84,6 %), dan yang tidak sering
mengalami ISPA sebanyak 8 orang (15,4 %). Sedangkan balita normal atau
tidak stunting sebagai kelompok kontrol yang berada di di Desa Mataram Ilir,
mengalami ISPA sebanyak 4 orang (7,7 %), dan yang tidak sering mengalami
ISPA sebanyak 48 orang (92,3 %). Yang artinya, balita stunting lebih sering
2. Balita stunting dengan golongan -3SD sampai <-2 SD dengan status pendek
sangat pendek sebanyak 9 orang (17,3 %). Dan jumlah balita normal dengan
50
golongan >2 SD sampai 3 SD dengan status tinggi sebanyak 13 orang (25 %),
sedangkan tidak sering ISPA sebanyak 8 orang (15,4 %). Dan balita normal
dalam kategori sering sebanyak 4 orang (7,7 %), sedangkan yang mengalami
5.2 Saran
2. Diperlukan intervensi fokus kesehatan ibu dan anak untuk mengurangi risiko
bayi dengan berat badan lahir rendah dan panjang badan lahir rendah demi
sebaiknya dilakukan secara rutin oleh kader maupun orang tua untuk
1. Saran untuk penelitian selanjutnya yaitu kejadian kesakitan perlu diteliti dan