Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Permasalahan gizi yang sering terjadi diseluruh negara dunia adalah

kekurangan energi protein seperti marasmus, kwasiorkor, dan stunting.

Kekurangan energi protein dapat berdampak pada perkembangan otak, hal tersebut

dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia, durasi keadaan kekurangan gizi,

pemulihan menuju keadaan normal, lingkungan, serta terdapat atau tidaknya

penyakit. Masalah gizi yang paling banyak ditemukan pada anak di Indonesia

adalah stunting. Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (balita

dibawah lima tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu

pendek unttuk usianya. stunting didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut

Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) dengan ambang batas

(z-score) antara -3 SD sampai dengan <2 SD. Prevalensi pendek (stunting) pada

balita dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terkait, antara lain keadaan gizi ibu

ketika masa kehamilan, asupan gizi yang kurang pada bayi, kekurangan konsumsi

makanan yang berlangsung lama sehingga status gizi balita rendah. (Efendhi, A,

2015)

Upaya intervensi gizi spesifik untuk balita pendek difokuskan pada

kelompok 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu Ibu hamil, Ibu Menyusui,

dan Anak 0-23 bulan, karena penanggulangan balita pendek yang paling efektif

dilakukan pada 1.000 HPK. Periode 1.000 HPK meliputi yang 270 hari selama

kehamilan dan 730 hari pertama setelah bayi yang dilahirkan telah dibuktikan

1
2

secara ilmiah merupakan periode yang menentukan kualitas kehidupan. Oleh

karena itu periode ini ada yang menyebutnya sebagai "periode emas", "periode

kritis", dan Bank Dunia (2006) menyebutnya sebagai "window of opportunity".

Periode inilah yang menentukan anak stunting atau tidak. (Kementrian Kesehatan,

R,I, 2017)

Keadaan stunting dapat menimbulkan berbagai macam penyakit,

diantaranya penyakit yang sering menyerang balita seperti halnya ISPA. Penyakit

infeksi ini merupakan penyakit yang sering menyebabkan kematian. Infeksi

saluran pernafasan akut disebabkan oleh virus atau bakteri. Penyakit ini diawali

dengan panas dan disertai salah satu atau lebih gejala: tenggorokan sakit, atau

nyeri telan, pilek, batuk kering atau berdahak. (Efendhi, A, 2015)

Stunting pada balita perlu menjadi perhatian khusus karena dapat

menghambat perkembangan fisik dan mental anak. Stunting berkaitan dengan

peningkatan resiko kesehatan dan kematian serta terhambatnya pertumbuhan dan

perkembangan kemampuan motorik dan mental. Balita yang mengalami stunting

memiliki resiko terjadinya penurunan kemampuan intelektual, produktivitas, dan

peningkatan resiko penyakit degeneratif dimasa mendatang. Hal ini dikarenakan

anak stunting juga cendrung lebih rentan terhadap penyakit infeksi. (Ningrum, E.

W,. & Utami, T, 2017)

Status gizi merupakan hal yang paling berperan dalam kejadian sakit,

terutama pada balita. Penelitian Hamisah (2011) yang dilakukan di Kabupaten

Klaten, menyebutkan bahwa status gizi memiliki hubungan yang bermakna

terhadap penyakit infekai saluran pernafasan akut (ISPA) dimana balita dengan
3

status gizi kurang mudah terjangkit ISPA. Balita dengan konsumsi pangan hewani,

susu, dan produk olahan susu yang rendah akan menyebabkan balita kekurangan

protein dan mineral seperti kalsium dan seng. Dikarenakan stunting tidak dapat

dipisahkan dengan asupan gizi, dimana asupan gizi akan mempengaruhi

pertumbuhan tinggi badan anak. Hubungan stunting dengan frekuensi penyakit

ISPA dan sistem imunitas tubuh sangat berperan penting, sehingga apabila

konsumsi sayur dan buah tidak mencukupi maka dapat menyebabkan balita

kekuranagn vitamin A dan vitamin C yang dapat menurunkan imunitas tubuh.

Hal ini dapat memicu terjadinya penyakit infeksi pada balita seperti ISPA.

( Efendhi, A, 2015)

ISPA adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular

didunia. Hampir empat juta orang meninggal akibat ISPA setiap tahunnya. Selain

itu, ISPA merupakan penyebab utama konsultasi atau rawat inap difasilitas

pelayanan kesehatan terutama pada bagian perawatan anak. Hal yang serupa juga

terjadi di Indonesia. Satu dari empat kematian bayi dan balita di Indonesia

diakibatkan oleh ISPA. Pada setiap tahunnya, setiap anak diperkirakan mengalami

3-6 episode ISPA. (Maharani, D, et al, 2017)

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 di Indonesia mencatat

bahwa prevalensi stunting sebesar 37,2%, meningkat dari tahun 2010 (35,6%) dan

2007 (36,8%). Persentase tersebut dengan pembagian untuk kategori sangat

pendek 19,2% dan pendek 18,1%. Artinya, diperkirakan lebih dari sepertiga atau

lebih dari 8,9 juta anak usia dibawah 5 tahun di Indonesia mengalami

pertumbuhan yang tidak sesuai ukuran standar internasional untuk tinggi badan
4

berbanding usia. Selain itu, untuk anak Indonesia yang dalam keadaan kurus,

diperkirakan ada sekitar 3,3 juta anak. (Onetusfifsi, P, 2016)

Ditahun 2014 Kementerian Kesehatan merilis turunan dari Riskesdas 2013

yang disebut Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) 2014. IPKM

2014 membreak down data Riskesdas 2013 dilevel Kabupaten Kota untuk

prevalensi balita sangat pendek dan pendek adalah sebagai berikut, Kabupaten

Lampung Barat 34,60%, Tanggamus 39,66%, Lampung Selatan 43,01 %,

Lampung Timur 43,17%. Lampung Tengah 52,68%, Lampung Utara 32,44%,

Way Kanan 29,80 %, Tulang Bawang 40,99%, Pesawaran 50,81%, Pringsewu

36,9 9%, Mesuji 43,43%, Tulang Bawang Barat 40,08%, Bandar Lampung,

44,59%, dan Metro 47,34%. (Lampung, D. K. P. 2016)

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, peneliti tertarik untuk lebih

lanjut meneliti mengenai: “Hubungan kejadian stunting dengan riwayat

penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita usia 24-59 bulan

di Desa Mataram Ilir, Kecamatan Seputih Surabaya, Kabupaten Lampung

Tengah, tahun 2019”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah

dalam penelitian ini yaitu “adakah hubungan kejadian stunting dengan riwayat

penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita usia 24-59 bulan di

Desa Mataram Ilir, Kecamatan Seputih Surabaya, Kabupaten Lampung Tengah,

tahun 2019”.
5

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan kejadian stunting dengan riwayat penyakit

infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita usia 24-59 bulan di Desa

Mataram Ilir, Kecamatan Seputih Surabaya, Kabupaten Lampung Tengah, tahun

2019.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Desa

Mataram Ilir, Kecamatan Seputih Surabaya, Kabupaten Lampung Tengah,

tahun 2019.

2. Mengetahui gambaran kejadian penyakit infeksi saluran pernafasan akut

(ISPA) pada balita usia 24-59 bulan di Desa Mataram Ilir, Kecamatan Seputih

Surabaya, Kabupaten Lampung Tengah, tahun 2019.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Institusi Malahayati

1. Dapat dijadikan bahan referensi khususnya bagi mahasiswa Kedokteran

Universitas Malahayati tentang hubungan kejadian stunting dengan riwayat

penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita usia 24-59 bulan

di Desa Mataram Ilir, Kecamatan Seputih Surabaya, Kabupaten Lampung

Tengah, tahun 2019.


6

1.4.2 Bagi Tempat Penelitian

Sebagai bahan evaluasi bagi petugas kesehatan unit program gizi anak di

Desa mataram Ilir, Kecamatan Seputih Surabaya, Kabupaten Lampung Tengah

untuk meningkatkan pengetahuan dampak kejadian stunting dengan riwayat

penyakit infeksi saluran pernafsan akut (ISPA) pada balita usia 24-59 bulan.

1.4.3 Bagi Peneliti

Dapat menambah wawasan dan pengetahuan peneliti tentang penyakit

infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan stunting serta pengalaman

mengaplikasikan mata ajar metodelogi penelitian.

1.4.4 Ruang Lingkup Penelitian

1. Judul penelitian: “Hubungan kejadian stunting dengan riwayat penyakit

infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita usia 24-59 bulan di Desa

Mataram Ilir, Kecamatan Seputih Surabaya, Kabupaten Lampung Tengah,

tahun 2019”.

2. Jenis penelitian: menggunakan metode penelitian observasi analitik dengan

rancangan case control.

3. Subyek penelitian: Balita stunting sebagai kelompok kasus dan balita normal

sebagai kelompok kontrol yang berada di Desa Mataram Ilir, Kecamatan

Seputih Surabaya, Kabupaten Lampung Tengah, Tahun 2019.

4. Waktu dan tempat penelitian: Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari

tahun 2019 samapai dengan selesai. Penelitian ini dilakukan di Desa Mataram

Ilir, Kecamatan Seputih Surabaya, Kabupaten Lampung Tenga


7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stunting

2.1.1 Definisi

Stunting adalah gangguan pertumbuhan linier yang tidak sesuai

dengan umur yang mengindikasikan kejadian jangka panjang serta merupakan

dampak akumulatif dari ketidak cukupan konsumsi zat gizi, kondisi kesehatan

yang buruk dan pengasuhan yang tidak memadai. (Damayanti, R. A., et al.

2017)

Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh

asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan

yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting dapat terjadi mulai janin

masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun.

(Rachim, A. N. F., & Pratiwi, R. 2017)

2.1.2 Etiologi

Banyak faktor yang dapat menyebabkan kejadian stunting pada balita.

Faktor-faktor tersebut dapat berasal bersifat langsung dan tidak langsung.

Penyebab langsung dari kejadian stunting adalah asupan MP-ASI, riwayat

ASI eksklusif, tinggi badan orang tua, berat bayi lahir rendah (BBLR), dan

riwayat penyakit infeksi sedangkan penyebab tidak langsungnya adalah faktor

pendidikan, faktor pekerjaan, dan status ekonomi keluarga. (Oktavia S, et al,

2017)
8

2.1.3 Gejala Klinis

Anak atau balita stunting umumnya terlihat normal dan sehat. Namun

jika ditelisik lebih jauh ada aspek-aspek lain yang justru jadi persoalan. Tidak

hanya kognitif atau fisik, anak yang mengalami stunting cenderung memiliki

sistem metabolisme tubuh yang tidak optimal.Misalnya kalau anak lain bisa

tumbuh ke atas, dia justru tumbuh ke samping. (Kementrian Kesehatan, R. I,

2018))

2.1.4 Faktor Resiko

Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian stunting pada anak umur

12 - 24 bulan adalah rendahnya tingkat kecukupan energi, potein, seng, berat

badan lahir rendah, pemberian ASI tidak eksklusif, penyakit infeksi dan

tingginya pajanan pestisida. (Wellina, W. F. et al, 2016)

2.1.5 Dampak Pada Balita

Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi pada periode

tersebut, dalam jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak,

kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam

tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan

adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya

kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan risiko tinggi untuk munculnya

penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker,

stroke, dan disabilitas pada usia tua, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif

yang berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomi. (Kementerian

Kesehatan, R. I, 2017)
9

2.1.6 Pencegahan Dan Penanggulangan

Periode yang paling kritis dalam penanggulangan stunting dimulai

sejak janin dalam kandungan sampai anak berusia 2 tahun yang disebut

dengan periode emas (seribu hari pertama kehidupan). Oleh karena itu,

perbaikan gizi diprioritaskan pada usia seribu hari pertama kehidupan yaitu

270 hari selama kehamilannya dan 730 hari pada kehidupan pertama bayi

yang dilahirkannya.

Pencegahan dan penanggulangan stunting yang paling efektif

dilakukan pada seribu hari pertama kehidupan, meliputi :

1. Pada ibu hamil

a. Memperbaiki gizi dan kesehatan ibu hamil merupakan cara terbaik

dalam mengatasi stunting. Ibu hamil perlu mendapat makanan

yang baik. Apabila ibu hamil dalam keadaan sangat kurus atau

telah mengalami Kurang Energi Kronis (KEK), maka perlu

diberikan makanan tambahan kepada ibu hamil tersebut.

b. Setiap ibu hamil perlu mendapat tablet tambah darah, minimal 90

tablet selama kehamilan.

c. Kesehatan ibu harus tetap dijaga agar ibu tidak mengalami sakit.

2. Pada saat bayi lahir

a. Persalinan ditolong oleh bidan atau dokter terlatih dan begitu bayi

lahir melakukan IMD (Inisiasi Menyusu Dini).

b. Bayi sampai dengan usia 6 bulan diberi ASI saja (ASI Eksklusif).

3. Bayi berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun


10

a. Mulai usia 6 bulan, selain ASI bayi diberi Makanan Pendamping

ASI (MP-ASI). Pemberian ASI terus dilakukan sampai bayi

berumur 2 tahun atau lebih.

b. Bayi dan anak memperoleh kapsul vitamin A, taburia, dan

imunisasi dasar lengkap.

c. Memantau pertumbuhan balita di posyandu merupakan upaya yang

strategis untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan pertumbuhan.

4. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) harus diupayakan oleh setiap

rumah tangga termasuk meningkatkan akses terhadap air bersih dan

fasilitas sanitasi, serta menjaga kebersihan lingkungan.

5. PHBS menurunkan kejadian sakit terutama penyakit infeksi yang dapat

membuat energi untuk pertumbuhan teralihkan kepada perlawanan tubuh

menghadapi infeksi, gizi sulit diserap oleh tubuh dan terhambatnya

pertumbuhan. (Kementrian Kesehatan, R. I, 2017)

2.1.7 Kriteria Diagnostik

Balita pendek adalah balita dengan status gizi yang berdasarkan

panjang atau tinggi badan menurut umurnya bila dibandingkan dengan standar

baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) tahun 2005, nilai z-

scorenya <-2SD dan dikategorikan sangat pendek jika nilai z-scorenya <-

3SD. (Kementrian Kesehatan, R. I, 2017)


11

2.2 Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA)

2.2.1 Definisi ISPA

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang

menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran napas mulai hidung

sampai alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga tengah, pleura).

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO),

ISPA merupakan penyakit saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh agen

infeksius yang menimbulkan gejala dalam waktu beberapa jam sampai

beberapa hari. Penyakit ini ditularkan umumnya melalui droplet, namun

berkontak dengan tangan atau permukaan yang terkontaminasi juga dapat

menularkan penyakit ini. (Maharani, D., et al, 2017)

2.2.2 Etiologi ISPA

ISPA baik atas maupun bawah mengalami infeksi yang disebabkan

oleh bakteri, virus, dan riketsia yang menyebabkan radang akut tanpa disertai

radang parenkim paru. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah Genus

Streptococcus, Staphylococcus, Pneumococcus, Hemofilus, Bordetella dan

Corynebacterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan

Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikomavirus, Mikooplasma,

Herpesvirus dan lain-lain. (Hadiana, S. Y. M, 2013)

2.2.3 Tanda Dan Gejala Klinis ISPA

Tanda dan gejala ISpa banyak bervariasi antara lain demam, pusing,

malaise (lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus (muntah),

photopobia (takut cahaya ), gelisah batuk , keluar secret, stridor (suara nafas
12

mengorok), dyspnea (kesakitan bernafas), retraksi suprasternal (adanya

tarikan dada), hipoksia (kurang oksigen), dan dapat berlanjut pada gagal nafas

apabila tidak mendapat pertolongan dan mengakibatkan kematian. (Dekawati,

W, 2014)

2.2.4 Klasifikasi ISPA

A. Mengklasifikasikan penyakit ISPA atau infeksi saluran pernapasan akut

bagian atas dan infeksi saluran pernapasan akut bagian bawah.

1. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Bagian Atas. Adalah infeksi-

infeksi yang terutama mengenai strukturstruktur saluran napas di sebelah

atas laring. Kebanyakan penyakit saluran napas mengenai bagian atas dan

bawah secara bersama-sama atau berurutan, tetapi beberapa diantaranya

adalah Nasofaringitis akut (salesma), Faringitis akut (termasuk Tonsilitis

dan Faringotositilitis) dan rhinitis.

2. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Bagian Bawah. Adalah infeksi-

infeksi yang terutama mengenai strukturstruktur saluran napas bagian

bawah mulai dari laring sampai dengan alveoli. Penyakit-penyakit yang

tergolong Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) bagian bawah:

Laringitis, Asma Bronchial, Bronchitis akut maupun kronis, Broncho

Pneumonia atau Pneumonia.

B. Klasifikasi ISPA dibedakan untuk golongan umur dibawah 2 bulan dan untuk

golongan umur 2 bulan-5 tahun.

1. Golongan umur kurang 2 bulan :

1) Pneumonia berat
13

Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di dinding pada bagian

bawah atau nafas cepat. Napas cepat untuk golongan umur kurang dari 2

bulan yaitu 60 kali per menit atau lebih.

2) Bukan Pneumonia (batuk pilek biasa)

Bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah

atau napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur kurang 2 bulan,

yaitu: kemampuan minum menurun sampai kurang dari ½ volume yang

biasa diminum, kejang, kesadaran menurun, stridor, wheezing (mengi),

serta demam/dingin.

2. Golongan umur 2 bulan-5 tahun.

1) Pneumonia Berat

Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada bagian

bawah kedalam pada waktu anak menarik napas.

2) Pneumonia Sedang

Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah : untuk usia 2 bulan

– 12 bulan = 50 kali per menit atau lebih sedangkan untuk usia 1-4 tahun

= 40 kali per menit atau lebih.

3) Bukan Pneumonia

Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak

ada napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun

yaitu: tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, serta gizi

buruk.
14

C. ISPA diklasifikasikan kedalam tiga kategori, yaitu :

1. ISPA ringan Tanda dan gejala ISPA ringan yaitu batuk, pilek, demam,

tidak ada napas cepat 40 kali per menit, tidak ada tarikan dinding ke dada

dalam. Seseorang dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan

gejala-gejala: batuk, serak (bersuara parau pada waktu mengeluarkan

suara), pilek (mengeluarkan lendir dari hidung), panas atau demam (suhu

badan lebih dari 30ºC). Penderita ISPA ringan cukup dibawa ke

puskesmas atau diberi obat penurun panas di rumah.

2. ISPA sedang Tanda atau gejala ISPA sedang yaitu sesak napas, suhu

tubuh lebih dari 39ºC, bila bernapas mengeluarkan suara seperti

mendengkur. Seseorang dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai

gejala ISPA ringan disertai gejala: suhu tubuh lebih dari 39ºC,

tenggorokan berwarna merah, timbul bercak-bercak pada kulit

menyerupai bercak campak, telinga 13 sakit atau mengeluarkan nanah

dari telinga, pernapasan berbunyi seperti mendengkur.

3. ISPA berat Tanda dan gejala ISPA berat yaitu kesadaran menurun, nadi

cepat atau tidak teraba, nafsu maka menurun, bibir dan ujung jari

membiru (sianosis). Seseorang dinyatakan menderita ISPA berat jika

ditemukan gejala ISPA ringan atau sedang disertai satu atau lebih gejala

yaitu: bibir atau kulit membiru, lubang hidung kembang kempis pada

waktu bernapas, tidak sadar atau kesadarannya menurun, pernapasan

berbunyi mendengkur atau tampak gelisah, pernapasan menciut, sela iga

tertarik kedalam pada waktu bernapas, nadi cepat lebih dari 60 kali per
15

menit atau tidak teraba, tenggorokan berwarna merah. (Alfarindah, F.

2017)

2.2.5 Faktor Resiko ISPA

Terdapat beberapa faktor resiko kesakitan hingga resiko kematian

pada balita penderita ISPA. Diantaranya faktor Berat Bayi Lahir Rendah

(BBLR), status gizi, imunisasi, kepadatan tempat tinggal dan lingkungan fisik.

Salah satunya balita dengan riwayat Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR). Pada

bayi BBLR, pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih

mudah terkena penyakit infeksi terutama pneumonia.

Berdasarkan hasil penelitian mengenai status imunisasi merupakan

faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita. Imunisasi

sangat berguna dalam menentukan ketahanan tubuh bayi terhadap gangguan

penyakit.

Salah satu faktor penyebab ISPA juga yaitu keadaan lingkungan fisik

dan pemeliharaan lingkungan rumah. Pemeliharaan lingkungan rumah dengan

cara menjaga kebersihan di dalam rumah, mengatur pertukaran udara dalam

rumah, menjaga kebersihan lingkungan luar rumah dan mengusahakan sinar

matahari masuk ke dalam rumah di siang hari, supaya pertahanan udara di

dalam rumah tetap bersih sehingga dapat mencegah kuman dan termasuk

menghindari kepadatan penghuni karena dianggap risiko meningkatnya

terjadinya ISPA. (Oktaviani, I., et al. 2014)


16

2.2.6 Jenis-Jenis Penyakit ISPA

1. Nasofaringitis

Nasofaringitis adalah infeksi primer pada nasofaring dan hidung yang

sering mengeluarkan cairan, penyakit ini banyak dijumpai pada bayi dan

anak-anak. Dibedakan istilah nasofaringitis akut adalah istilah untuk anak,

sedangkan common cold adalah istilah untuk orang dewasa atau yang kita

kenal dengan sebutan infuenza. Dalam hal ini manifestasi klinis antara orang

dewasa dan anak berlainan. Pada anak infeksi lebih luas, mencakup daerah

sinus parsial, telinga tengah sampai nasofaring, disertai demam yang tinggi.

Pada orang dewasa infeksi mencakup daerah terbatas dan biasanya tidak

disertai demam yang tinggi. Pada bayi dan anak-anak infeksi saluran nafas

seperti nasofaringitis sangat berbahaya karena dapat mengganggu makan dan

kadang-kadang menyebabakan infeksi saluran nafas bawah menjadi lebih

akut, apabila tidak disertai penanganan khusus dari orangtua. Gejala penyakit

nasofaringitis pada anak-anak yaitu gejala awal berupa rasa tidak enak di

hidung atau tenggorokkan, penderita mulai bersin-bersin, hidung

mengeluarkan cairan yang encer atau jernih, biasanya tidak timbul demam

tetapi bisa muncul demam ringan, disertai batuk atau tanpa batuk.

2. Faringitis

Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat

disebabkan oleh virus, bakteri, alergi, trauma, toksin, dll. Faringitis umumnya

terjadi didaerah beriklim dingin. Faringitis adalah suatu penyakit peradangan

tenggorokan (faring) yang bersifat mendadak dan cepat memberat. Radang


17

tenggorokan dapat merupakan tanda awal pilek, tapi juga dapat merupakan

gejala penyakit tertentu yang disebut faringitis. Pada radang tenggorokan

yang merupakan awal pilek, gejala bisa menghilang setelah beberapa hari.

Penyebab terbanyak radang ini adalah kuman golongan streptokokus Beta

Hemolitikus, Streptokokus viridians dan Streptokokus piogeners. Faringitis

akut dapat menular melalui kontak dari sekret hidung dan ludah (droplet

infection) dari oang yang menderita faringitis. Gejala faringitis pada anak

adalah mengalami demam tinggi, terdapat bintik-bintik merah terang dan

nanah putih di bagian belakang langit-langit dan amandel, dan kesulitan

menelan makanan.

3. Rinitis

Rinitis aadalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,

rinore, rasa gatal dan tersumbat pada mukosa hidung. Berdasarkan sifat

berlangsungnya terdapat dua macam rhinitis yaitu rinitis musiman dan rinitis

sepanjang tahun. Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat

berlangsungnya. Rinitis melibatkan interaksi antara lingkungan dengan

predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Alergen yang

menyebabkan rinitis musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis

perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies

utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides

pteronyssinus, jamur, kecoa, dll. Berbagai pemicu yang dapat memberatkan

adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranyaasap rokok, polusi udara, bau

aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca. Gejala rinitis adalah
18

bersin berulang-ulang terutama pada pagi atau malam hari dengan intensitas

lebih dari 5 kali bila terdapat kontak dengan debu, keluar ingus (rinore) yang

encer, hidung tersumbat, hidung dan mata terasa gatal kadang disertai keluar

banyak air mata (lakrimasi), mengalami pucat. Gejala lain yang mungkin

terjadi berupa batuk, mengalami sakit kepala, terjadi masalah penciuman,

kehilangan nafsu makan dan susah tidur.

4. Asma

Global Initiative for Asthma (GINA) mendefinisikan sebagai

gangguan inflamasi kronik saluran nafas dengan banyak sel yang berperan,

khususnya sel mast, eosinosil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan

inflamasi dapat menyebabkan mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan

dan batuk khususnya pada malam atau dini hari. Mekanisme utama timbulnya

gejala asma diakibatkan hipereaktivitas bronkus, sehingga pengobatan utama

asma adalah mengatasi bronkospasme. Pada anak-anak, asap rokok akan

memberikan efek lebih parah dibandingkan orang dewasa, ini disebabkan

lebar saluran pernafasan anak lebih sempit, sehingga jumlah nafas anak akan

lebih cepat dari orang dewasa.

5. Bronkitis

Bronkitis adalah suatu penyakit yang ditandai adanya dilatasi

(ekstasis) bronkus lokal yang bersifat patologis dan berjalan kronik.

Perubahan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan oleh

perubahan-perubahan dalam dinding bronkus berupa destruksi elemen-elemen

elastis dan otot-otot polos bronkus. Bronkus yang terkena umumnya bronkus
19

kecil (medium size), sedangkan bronkus besar jarang terjadi. Hal ini dapat

memblok aliran udara ke paru-paru dan dapat merusaknya. Secara umum

penyebab bronkitis dibagi berdasarkan faktor lingkungan dan faktor

host/penderita. Penyebab bronkitis berdasarkan faktor lingkungan meliputi

polusi udara, merokok dan infeksi. Infeksi sendiri terbagi manjadi infeksi

bakteri (Staphylococcus, Pertusis, Tuberculosis, mikroplasma), infeksi virus

(RSV, Parainfluenza, Infuenza, Adeno) dan infeksi fungi (Monilia). Faktor

polusi udara meliputi polusi asap rokok atau uap/gas yang memicu terjadinya

bronkitis. Gejala umum bronkitis akut maupun bronkitis kronik adalah batuk

dan produksi sputum biasanya terjadi setiap hari paling sedikit 3 bulan atau 2

tahun berturut-turut, dahak dapat berwarna bening, putih atau hijau

kekuningan, mengalami dyspnea (sesak nafas), mengalami kelelahan, sakit

tenggorokan, nyeri otot, hidung tersumbat, sakit kepala, kadang disertai

demam.

6. Pneumonia

Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru

(alveoli). Terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan

terjadinya proses infeksi akut pada bronkus yang disebut bronchopneumonia.

Gejala penyakit pneumonia ini berupa nafas cepat dan nafas sesak, karena

paru meradang secara mendadak. Selain itu gejala pneumonia yang lain

adalah mengalami kesulitan bernafas dengan stidor (ngorok), kejang, anak

mengalami mengi, dan sulit menelan makanan atau minuman. Batas nafas

cepat adalah frekuensi pernafasan sebanyak 50 kali per menit atau lebih pada
20

anak usia 2 bulan sampai kurang dari 1 tahun, dan 40 kali per menit atau lebih

pada nanak usia 1 tahun sampai kurang dari 5 tahun.

7. Tuberculosis (TBC)

Tuberculosis (TB) adalah infeksi bakteri pada paru-paru yang

diperkirakan mempengaruhi sekitar sepertiga penduduk dunia. Kuman TB

menyebar ketika penderita TB batuk atau bersin. Pada anak-anak gejala TB

adalah batuk kering, kesulitan bernafas, demam, nafsu makan menurun,

mengeluarkan keringat ketika malam hari dan sulit mendapatkan kenaikan

berat badan. Namun gejala seringkali tidak jelas atau samar sehingga untuk

memastikan TB perlu diagnosis dengan tes kulit (mantoux) dan rongga paru.

Bila anak anda terdiagnosisi TB tersedia pengobatan seperti INH atau

rifampisin yang harus diberikan untuk jangka waktu tertentu (6 bulan atau

lebih) tanpa putus. (Pratiwi, A., Wahyuni, E,G, 2016)

2.2.7 Damapak ISPA Pada Balita

Dampak yang yang paling dirasakan adalah sesak nafas, pilek, demam,

kelelahan dan kelemahan sehingga balita berkurang aktifitasnya, padahal

proses tumbuh kembang pada balitas sangatlah penting. (mardiah, 2017)

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu

penyebab kematian tersering pada anak di negara sedang berkembang. ISPA

menyebabkan empat dari 15 juta perkiraan kematian pada anak berusia di

bawah 5 tahun pada setiap tahunnya Sebanyak dua pertiga kematian tersebut

adalah bayi (khususnya bayi muda). (Libianingsih, R. 2014)


21

2.2.8 Penatalaksanaan Dan Pencegahan ISPA

Penatalaksanaan ISPA meliputi langkah atau tindakan sebagai berikut :

A. Pemeriksaan

Pemeriksaan Pemeriksaan artinya memperoleh informasi tentang penyakit

anak dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada ibunya, melihat dan

mendengarkan anak. Hal ini penting agar selama pemeriksaan anak tidak

menangis (bila menangis akan meningkatkan frekuensi napas), untuk ini

diusahakan agar anak tetap dipangku oleh ibunya. Menghitung napas

dapat dilakukan tanpa membuka baju anak. Bila baju anak tebal, mungkin

perlu membuka sedikit untuk melihat gerakan dada. Untuk melihat tarikan

dada bagian bawah, baju anak harus dibuka sedikit. Tanpa pemeriksaan

auskultasi dengan steteskop penyakit pneumonia dapat didiagnosa dan

diklassifikasi.

B. Pengobatan

a) Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik

parenteral, oksigendan sebagainya.

b) Pneumonia: diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila

penderita tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan

pemberian kontrmoksasol keadaan penderita menetap, dapat dipakai

obat antibiotik pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau penisilin

prokain.

c) Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan

perawatan di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk


22

tradisional atau obat batuk lain yang tidak mengandung zat yang

merugikan seperti kodein, dekstrometorfan dan, antihistamin. Bila

demam diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol. Penderita

dengan gejala batuk pilek bila pada pemeriksaan tenggorokan didapat

adanya bercak nanah (eksudat) disertai pembesaran kelenjar getah

bening dileher, dianggap sebagai radang tenggorokan oleh kuman

streptococcuss dan harus diberi antibiotik (penisilin) selama 10 hari.

C. Penanganan di rumah

Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk mengatasi anaknya

yang menderita ISPA.

a) Mengatasi panas (demam) Untuk anak usia 2 bulan samapi 5

tahun demam diatasi dengan memberikan parasetamol atau

dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan dengan demam harus

segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6 jam untuk

waktu 2 hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan

dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan. Memberikan

kompres, dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air

(tidak perlu air es).

b) Mengatasi batuk Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu

ramuan tradisional yaitu jeruk nipis ½ sendok teh dicampur

dengan kecap atau madu ½ sendok teh , diberikan tiga kali sehari.

c) Pemberian makanan Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-

sedikit tetapi berulang-ulang yaitu lebih sering dari biasanya,


23

lebih-lebih jika muntah. Pemberian ASI pada bayi yang menyusu

tetap diteruskan.

d) Pemberian minuman usahakan pemberian cairan (air putih, air

buah dan sebagainya) lebih banyak dari biasanya. Ini akan

membantu mengencerkan dahak, kekurangan cairan akan

menambah parah sakit yang diderita.

e) Lain-lain Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang

terlalu tebal dan rapat, lebih-lebih pada anak dengan demam. Jika

pilek, bersihkan hidung yang berguna untuk mempercepat

kesembuhan dan menghindari komplikasi yang lebih parah.

Usahakan lingkungan tempat tinggal yang sehat yaitu yang

berventilasi cukup dan tidak berasap. Apabila selama perawatan

dirumah keadaan anak memburuk maka dianjurkan untuk

membawa kedokter atau petugas kesehatan. Untuk penderita yang

mendapat obat antibiotik, selain tindakan diatas usahakan agar

obat yang diperoleh tersebut diberikan dengan benar selama 5 hari

penuh. Dan untuk penderita yang mendapatkan antibiotik,

usahakan agar setelah 2 hari anak dibawa kembali kepetugas

kesehatan untuk pemeriksaan ulang. (Rasmaliah, 2014)

Pencegahan dan Pemberantasan Pencegahan dapat dilakukan dengan :

a. Menjaga keadaan gizi agar tetap baik.

b. Immunisasi.

c. Menjaga kebersihan prorangan dan lingkungan.


24

d. Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA. Pemberantasan

yang dilakukan adalah :

a) Penyuluhan kesehatan yang terutama dituj ukan pada para ibu.

b) Pengelolaan kasus yang disempurnakan.

c) Immunisasi.

(Rasmaliah, 2014)

Pencegahan primer yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit

khusunya ISPA pada balita yaitu dapat dengan memberikan imunisasi

lengkap, pemenuhan nutrisi yang optimal, menciptakan lingkungan yang

sehat, serta memelihara kebersihan dan kesehatan (personal hygiene) balita.

(Ridwan, A., & Zahriani, Z. 2016)

2.3 Hubungan Kejadian Stunting Dengan ISPA

Salah satu faktor risiko kejadian stunting kurangnya asupan gizi dalam

jangka waktu yang lama, sehingga dapat terjadi perlambatan pertumbuhan dan

berpengaruh terhadap status gizi. Penyakit infeksi dapat mengakibatkan berat

badan turun secara akut dan berpengaruh pada status gizi balita bila terjadi

dalam jangka waktu yang lama. Balita dengan status gizi yang kurang

mempunyai sistem imun yang rendah yang dapat membuat balita mudah

terkena penyakit infeksi. (Wellina, W. F., et al. 2016)

Keadaan stunting dapat menimbulkan berbagai macam penyakit

infeksi, diantaranya penyakit yang sering menyerang balita seperti halnya

ISPA. Penyakit infeksi ini merupakan penyakit yang dapat menyebabkan


25

kematian. Infeksi saluran pernapasan akut disebabkan oleh virus dan bakteri.

Penyakit ini diawali dengan panas disertai salah satu gejala: tenggorokan

sakit, nyeri telan, pilek, batuk kering atau berdahak. Periode prevalensi ISPA

dihitung dalam kurun waktu 1 bulan terakhir. Penelitian oleh Efendi (2015)

anak stunting yang mengalami ISPA dengan frekuensi sering sebesar 85,2%.
26

2.4 Kerangka Teori

Faktor resiko stunting

1.Asupan gizi kurang


2.BBLR
3.Pemberian ASI tidak
eksklusif
4.Pejanan pestidisa

Gangguan pertumbuhan dan gangguan metabolisme tubuh

Imunitas menurun

Kerentanan terhadap penyakit

Keterangan:

= Tidak diteliti

= Diteliti

Gambar 1. Kerangka Teori Kejadian ISPA


(Sumber : Wellina, W. F., et al, 2016)

2.5 Kerangka Konsep


Variabel Independen Variabel Dependen

Stunting ISPA

Gambar 2. Kerangka konsep penelitian


27

2.6 Hipotesis Penelitian

Perumusan jawaban sementara terhadap suatu soal yang dimaksud

dalam ketentuan sementara dalam penelitian untuk mencari jawaban yang

sebenarnya atau hipotesis merupakan suatu jawaban yang bersifat sementara

terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang

terkumpul.(Notoatmodjo, 2012) Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

HA Ada hubungan kejadian stunting dengan riwayat penyakit infeksi

saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita usia 24-59 bulan di Desa

Mataram Ilir, Kecamatan Seputih Surabaya, Kabupaten Lampung

Tengah, tahun 2019.

HO Tidak ada hubungan kejadian stunting dengan riwayat penyakit infeksi

saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita usia 24-59 bulan di Desa

Matarm Ilir, Kecamatan Seputih Surabaya, Kabupaten Lampung

Tengah, tahun 2019.


28

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Desain penelitian ini menggunakan metode observasi analitik dengan

desain penelitian stadi case control.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian akan dilaksanankan pada bulan Februari 2019 sampai

selesai dan tempat penelitian di Desa Mataram Ilir, Kecamatan Seputih

Surabaya, Kabupaten Lampung Tengah.

3.3 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian dalam penelitian ini dengan menggunakan

desain penelitian observasi analitik yaitu penelitian yang mencoba menggali

bagaimana hubungan antara variabel independent dan variabel dependent dan

menggunakan pendekatan case control yaitu studi analitik yang menganalisis

hubungan kausal dengan menggunakan logika terbalik, yaitu menentukan

penyakit (outcome) terlebih dahulu kemudian mengidentifikasi penyebab

(faktor resiko). Riwayat paparan dalam penelitian ini dapat diketahui

berdasarkan pengukuran (TB/U) dan dengan tabel antropometri penilaian

status gizi untuk stunting, sedangkan untuk ISPA menggunakan data rekam

medis Puskesmas Seputih Surabaya.(Notoatmodjo, 2012)


29

3.4 Subjek Penelitian

3.4.1 Populasi

Populasi adalah subjek yang hendak di teliti dan memiliki sifat-sifat

yang sama. Menurut Notoatmodjo “populasi adalah keseluruhan objek

penelitian atau objek yang di teliti”. Berdasarkan pengertian diatas, peneliti

menentukun populasi dalam penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data-

data yang benar-benar relevan dengan masalah yang diteliti. Adapun populasi

dalam penelitian ini berjumlah 463 dengan prevalensi balita stunting 38,01%

atau 106 di Desa Mataram Ilir, Kecamatan Surabaya, Kabupaten Lampung

Tengah, tahun 2019.

3.4.2 Sampel

Sampel adalah sebagian dari keseluruhan objek yang diteliti dan

dianggap mewakili seluruh populasi.(Notoatmodjo, 2012) Cara perhitungan

sampel untuk penelitian yang digunakan sebagai berikut: Metode penelitian

besar sampel terhadap populasi dihitung menggunakan metode slovin:

𝑁
n=
1+𝑁(𝑑)²

106
n=
1+106 (0,1)²

106
n=
1+106(0,01)

106
n=
1+1,06

106
n=
2,06
30

n= 51,4 orang

Keterangan:

N = Jumlah Populasi

n = Jumlah Sampel

d = Derajat penyimpangan terhadap populasi yang diharapkan (10%)

Berdasarkan hasil perhitungan sampel diatas, maka dapat diketahui

sampel dalam penelitian ini berjumlah 52 responden untuk masing-masing

kelompok kasus dan kelompok kontrol.

3.4.3 Teknik Pengambilan Sampel

Sedangkan teknik pengambilan sampel dengan metode purposive

sampling terhadap seluruh balita stunting di Desa Mataram Ilir, Kecamatan

Seputih Surabaya, Kabupaten Lampung tengah, tahun 2019 yang menderita

stunting hingga terpenuhi jumlah sampel yang dibutuhkan.

3.5 Variabel Penelitian

Variabel adalah obyek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian

suatu penelitian.(Arikunto S,2006). Penelitian ini mempunyai dua variabel,

yaitu: variabel bebas atau independen yaitu stunting dan variabel terkait atau

variabel dependen yaitu ISPA.


31

3.6 Definisi Oprasional


3.1 Tabel Definisi Oprasional

N Variabel Definisi Oprasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
O Ukur
Variabel Independen
1 Stunting Keadaan fisik anak Pengukuran Pengukur 0=Mengala Nominal
balita yang antropometri tinggi mi stunting
ditentukan dengan dengan badan dan jika: <-3
melakukan melakukan tebel SD s/d < -
pengukuran pengukuran antropomet 2 SD.
antropometri tinggi tinggi badan. ri penilaian
badan menurut umur status gizi 1=Tidak
(TB/U) Kemudian anak. mengalami
diinterpretasikan stunting
dengan standar WHO jika: -2SD
NCHS dengan s/d +2 SD
menggunakan (Kemenkes
indikator TB/U. RI, 2012)
Variabel Dependen
2 Riwayat Suatu kondisi dimana Berdasarkan Rekam 0=Sering Nominal
ISPA pernah mengalami diagnosa. medis (Mengalam
(infeksi infeksi pada saluran tahun 2018. i ISPA >6
saluran pernafasan selama ≤ kali)
pernafasa 14 hari. 1=Tidak
n akut) sering
(mengalam
i ISPA <6
kali)
32

3.7 Kriteria Subjek Penelitian

3.7.1 Kriteria Inklusi

1. Balita usia 24-59 bulan yang berada di Desa Mataram Ilir, Kecamatan

Seputih Surabaya, Kabupaten Lampung Tengah.

2. Orangtua balita bersedia menjadi responden penelitian dengan

menandatangani informed consent.

3.7.2 Kriteria Eksklusi

1. Balita yang mengalami penyakit kongenital.

2. Balita yang mengalami kelainan tulang belakang (kifosis, skoliosis,

lordosis).

3. Balita yang sedang menjalani pengobatan penyakit kronis seperti TB paru.

3.8 Pengumpulan Data

Pengumpulan data menggunakan data primer dan data sekunder. Data

primer yang diambil meliputi pengukuran tinggi badan (TB/U atau PB/U) dan

menggunakan tabel antropometri penilaian status gizi anak. Data sekunder

yang diambil meliputi riwayat penyakit infeksi saluran pernafasan akut

(ISPA) dari data rekam medis yang diambil dari Puskesmas Seputih Surabaya,

Desa Mataram Ilir, Kecamatan Seputih Surabaya, Kabupaten Lampung

Tengah.
33

3.9 Pengolahan Data

Untuk memperoleh pengolahan data dilakukan teknik-

teknik pengolahan data sebagai berikut:

1. Editing (Pengeditan data)

Langkah ini dilakukan peneliti untuk memeriksa kembali kelengkapan

data yang diperlukan untuk mecapai tujuan penelitian maka dilakukan

pengelompokan dan penyusunan data.

2. Coding (Pengkodean)

Coding adalah mengalokasikan jawaban-jawaban yang ada menurut

macamnya kedalam bentuk yang lebih ringkas dengan menggunakan

kode-kode agar lebih mudah dan sederhana.

3. Tabulating (Tabulasi data)

Tabulasi yaitu melakukan tabulasi dari data yang diperoleh dengan

menggunakan rumus distribusi frekuensi.

4. Entri data

Data yang telah dikelompokkan kemudian dimasukkan kedalam program

statistic computer (SPSS).

5. Cleaning

Data yang sudah benar-benar tidak ada kesalahan dilanjutkan dengan

pengujian data dengan menggunakan uji statistik.


34

3.10 Analisis Data

3.10.1 Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik tiap variabel penelitian. Bentuk analisis univariat tergantung dari

jenis datanya. Untuk data numerik digunakan nilai mean atau rata-rata,

median dan standar deviasi. Pada umumnya dalam analisis ini hanya

menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel

(Notoatmodjo, 2012). Pada penelitian ini analisis univariat yang digunakan

adalah antropometri TB/U dan rekam medis ISPA di Desa Mataram Ilir,

Kecamatan Seputih Surabaya, Kabupaten Lampung Tengah.

3.10.2 Analisis Bivariat

Analisa bivariat digunakan untuk mengetahui ada tidaknya korelasi

antara variabel dependent dan variabel independent yaitu hubungan kejadian

stunting dengan riwayat infeksi saluran pernafasan akut. Hubungan antara

satu keadaan dengan keadaan yang lain dapat digunakan uji statistik

“chi-square” dengan tingkat kesalahan 5%.


35

3.11 Alur Penelitian

Balita

Inklusi Eksklusi

Pengisian Lembar Informed Consent

Pengukuran Tinggi Badan

Kuesioner

Pencatatan Hasil

Gambar 3. Alur Peneliti


Input Data

Analisis Data

Hasil Data
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Gambaran Umum Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada balita stunting dan balita normal yang

berada di Desa Mataram Ilir, Kecamatan Seputih Surabaya, Kabupaten

Lampung Tengah pada tanggal 6 Februari 2019. Dalam penelitian ini,

pengambilan data dilakukan secara primer dengan melakukan pengukuran

tinggi badan (TB/U atau PB/U) dan menggunakan tabel antropometri

penilaian status gizi anak, dan pengambilan data dilakukan secara sekunder

dari rekam medis. Responden pada penelitian ini adalah balita stunting

sebagai kelompok kasus dan balita normal sebagai kelompok kontrol yang

berusia 24-59 bulan yang berada di Desa Mataram Ilir, Kecamatan Seputih

Surabaya, Kabupaten lampung Tengah masing-masing sebanyak 52 orang.

4.1.2 Karakteristik Balita Stunting Dan Balita Normal

Tabel 4.1. Karakteristik Balita Stunting Berdasarkan Usia

Usia (Bulan) Jumlah Persentasi (%)


24-35 16 orang 30,8 %
36-47 22 orang 42,3 %
48-59 14 orang 26,9 %
Total 52 100 %

36
37

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kelompok dengan usia terbanyak

mengalami stunting sebagai kasus adalah 36-47 bulan dengan jumlah 22

orang (42,3 %), sedangkan yang terendah adalah kelompok dengan usia 48-59

bulan dengan jumlah 14 orang (26,9 %).

Tabel 4.2. Karakteristik Balita Stunting Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah Persentasi (%)


Laki-laki 27 orang 51,9 %
Perempuan 25 orang 48,1 %
Total 52 100 %

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah sampel laki-laki balita

stunting adalah 27 orang (51,9 %), sedangkan sampel perempuan balita

stunting berjumlah 25 orang (48,1 %).

Tabel 4.3 Karakteristik Balita Normal Berdasarkan Usia

Usia (Bulan) Jumlah Persentasi (%)


24-35 23 44,2 %
36-47 14 26,9 %
48-59 15 28,8 %
Total 52 100 %

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kelompok dengan usai terbanyak

balita normal yang menjadi kelompok kontrol adalah 24-35 bulan dengan

jumlah 23 orang (44,2 %), sedangkan yang terendah adalah kelompok dengan

usia 48-59 bulan dengan jumlah 14 orang (26,9 %).


38

Tabel 4.4 Karakteristik Balita Normal Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis kelamin Jumlah Persentasi (%)


Laki-laki 29 55,8 %
Perempuan 23 44,2 %
Total 52 100 %

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah sampel laki-laki balita

normal adalah 29 orang (55,8 %), sedangkan sampel perempuan berjumlah 23

orang (44,2 %)

4.2 Hasil Analisis Univariat

4.2.1 Kejadian Stunting

Peneliti mendapatkan data kejadian balita stunting dari data primer

dengan melakukan pengukuran tinggi badan (TB/U atau PB/U) dan

menggunakan tabel antropometri penilaian status gizi anak di Desa Mataram

Ilir, Kecamatan Seputih Surbaya, Kabupaten Lampung Tengah bisa dilihat

dalam tabel 4.3 dan 4.4.

Tabel 4.5 Balita Stunting Berdasarkan Status Standar Deviasi (SD)

golongan Status Jumlah Persentasi (%)


Standar Deviasi
(SD)
-3 SD sampai <-2 Pendek 43 82,7 %
SD
<-3SD Sangat pendek 9 17,3 %
Total 52 100%
39

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah balita dengan golongan

-3SD sampai <-2 SD dengan status pendek sebanyak 43 orang (82,7 %),

sedangkan golongan <-3 SD dengan status sangat pendek sebanyak 9 orang

(17,3 %).

Tabel 4.6 Balita Normal Berdasarkan Status Standar Deviasi (SD)

golongan Standar Status Jumlah Persentasi (%)


Deviasi (SD)
>2 SD sampai 3 Tinggi 13 25 %
SD
<-1 SD sampai 2 Normal 39 75 %
SD
Total 52 100%

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah balita denagn golongan

>2 SD sampai 3 SD dengan status tinggi sebanyak 13 orang (25 %),

sedangkan golongan <-1 SD sampai 2 SD dengan status normal sebanyak 39

orang (75 %).

4.2.2 Riwayat Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

Peneliti mendapatkan data riwayat penyakit infeksi saluran pernafasan

akut (ISPA) dari data sekunder dengan melihat data rekam medis pasien.

Distribusi riwayat penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dapat

dilihat pada tabel 4.5 dan 4.6.


40

Tabel 4.7 Riwayat Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Balita

Stunting

Riwayat Penyakit ISPA Jumlah Persentasi (%)


(per tahun)
Sering 44 orang 84,6 %
Tidak sering/ jarang 8 orang 15,4 %
Total 52 100 %

Dari tabel diatas, menunjukan gambaran riwayat penyakit infeksi

saluran pernafasan akut (ISPA) yang mengalami ISPA sering sebanyak 44

orang (84,6 %), sedangkan tidak sering ISPA sebanyak 8 orang (15,4 %).

Tabel 4.8 Riwayat Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Balita

Normal

Riwayat Penyakit ISPA Jumlah Persentasi (%)


(per tahun)
Sering 4 orang 7,7 %
Tidak sering/ jarang 48 orang 92,3 %
Total 52 100 %

Dari tabel diatas, menunjukan gambaran riwayat penyakit infeksi

saluran pernafasan akut (ISPA) yang mengalami ISPA sering sebanyak 4

orang(7,7 %), sedangkan yang mengalami ISPA tidak sering sebanyak 48

orang (92,3 %).


41

4.3 Analisis Bivariat

4.3.1 Hubungan Kejadian Stunting Dengan Riwayat Penyakit Infeksi Saluran

Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita Usia 24-59 Bulan Di Desa Mataram

Ilir, Kecamatan Seputih Surabaya, Kabupaten Lampung Tengah, Tahun

2019.

Setelah dilakukan pengumpulan data, diedit dan dilakukan uji

chi-square dengan menggunakan program SPSS Computer 16.0 sehingga

diperoleh gambaran data dan melihat kemaknaan hubungan kejadian stunting

dengan riwayat penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA).

Tabel 4.9 Analisis Hubungan Kejadian Stunting Dengan Riwayat Penyakit

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

Riwayat
Kejadian ISPA Total OR P
Stunting Sering Tidaksering Value
ISPA ISPA
Balita 44orang 8 orang 52
stunting 84,6% 15,4% 100%
Balita 4 orang 48orang 52 61.000 0,000
100% CI=18.572-
Tidak 7,7 % 92,3%
234.552
Stunting
Total 48orang 56 orang 104
46 % 54 % 100%

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa balita stunting yang sering

mengalami ISPA sebanyak 44 orang (84,6 %), dan yang tidak sering

mengalami ISPA sebanyak 8 orang (15,4 %). Sedangkan balita normal atau
42

tidak stunting yang sering mengalami ISPA sebanyak 4 orang (7,7 %), dan

yang tidak sering mengalami ISPA sebanyak 48 orang (92,3 %).

Dari tabel diatas juga dapat dilihat bahwa ada hubungan bermakna

antara kejadian Stunting dengan riwayat penyakit ISPA dikarenakan hasil uji

Chi-square menunjukan nilai p=0,000 dan uji chi-square dikatakan

berhubungan apabila nilai p<0,05.

4.4 Pembahasan

4.4.1 Karakteristik Responden Balita Stunting

Karakteristik responden menurut jenis kelamin paling banyak diderita

oleh laki-laki sebanyak 27 orang dibandingkan dengan wanita yang bejumlah

25 orang. Hal ini sesuai dengan penelitian Roscha, et al (2013) yang

menganalisis data Riskesdas menyatakan bahwa balita stunting lebih banyak

berjenis kelamin laki-laki (39,5 %). Lebih banyak prevalensi stunting pada

laki-laki disebabkan karena laki-laki lebih beresiko untuk mengalami

kekurangan gizi akibat lebih banyaknya kebutuhan energi protein pada laki-

laki. Jenis kelamin menentukan besar kecilnya kebutuhan energi protein

seseorang. (Damayanti, R. A., et al. 2017)

Karakteristik responden berdasarkan usia paling banyak di derita oleh

penderita dengan usia 36-47 bulan dengan presentasi sebanyak 42 %. Hal ini

sejalan dengan penelitian Bahmat (2015) di Nusa Tenggara yang

menyimpulkan bahwa balita stunting paling banyak pada usia 36-47 bulan.

Hal tersebut disebabkan karena mulai tahun kedua kehidupan, laju


43

pertumbuhan melambat dan terjadi perubahan bentuk tubuh balita menjadi

lebih berotot. (Damayanti, R. A., et al. 2017)

4.4.2 Kejadian Stunting

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Desa Mataram Ilir,

Kecamatan Seputih Surabaya, Kabupaten Lampung Tengah tahun 2019,

didapatkan sampel sebanyak 52 responden sebagai kelompok kasus, dan

didapatkan hasil yang menunjukan bahwa balita dengan standar deviasi -3 SD

sampai <-2 SD dengan status pendek paling banyak sebanyak 43 orang (82,7

%) dibandingkan dengan standar deviasi <-3 dengan status sangat pendek

sebanyak 9 orang (17,3 %). Hal ini dikarenakan, stunting merupakan bentuk

kegagalan pertumbuhan (growth faltering) akibat akumulasi ketidak cukupan

nutrisi yang berlangsusng lama mulai dari kehamilan sampai usia 24 bulan.

( Mitra, M. 2015)

Hasil diatas juga sesui dengan kecendrungan prevalensi sangat pendek

dan pendek dari hasil Riskesdas tahun 2007-2013 menunjukan bahwa, untuk

prevalensi sangat pendek, cendrung menurun dari 18,8 % (Riskesdas 2007)

menjadi 18,0 % (Riskesdas 2013), namun untuk pendek terjadi sedikit

kenaikan dari 18,0 5 (Riskesdas 2007) turun sedikit menjadi 17,1 %

(Riskesdas 2010) dan naik lagi menjadi 19,2 % (Riskesdas 2013).

(Trihono, A., et al. 2015)


44

4.4.3 Riwayat Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita

Stunting

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang

menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran napas mulai hidung

sampai alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga tengah, pleura).

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO),

ISPA merupakan penyakit saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh agen

infeksius yang menimbulkan gejala dalam waktu beberapa jam sampai

beberapa hari. Penyakit ini ditularkan umumnya melalui droplet, namun

berkontak dengan tangan atau permukaan yang terkontaminasi juga dapat

menularkan penyakit ini.( Maharani, D., et al. 2017)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Desa Mataram Ilir,

Kecamatan Seputih Surabaya, Kabupaten Lampung Tengah tahun 2019,

didapatkan hasil yang menunjukan bahwa balita stunting lebih banyak

mengalami ISPA sering dari pada tidak sering. Dimana balita dikatakan sering

ISPA jika mengalami frekuensi ISPA > 6 kali pertahun, dan jarang atau tidak

sering jika frekuensi ISPA < 6 kali pertahun. (Sienviolincia, D. 2015). Balita

stunting lebih rentan terkena infeksi, terutama infeksi saluran pernafasan akut

(ISPA) yang biasa menyerang anak-anak karena lebih rentan mengalami

penurunan imunitas. ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi

dimasyarakat. Terdapat 156 juta episode baru kejadian ISPA didunia pertahun

dimana 151 juta episode (96,7 %) terjadi dinegara berkembang. ISPA lebih

sering terjadi pada anak-anak, dengan insiden menurut kelompok umur balita
45

diperkirakan 0,29 episode peranak pertahun dinegara berkembang dan 0,05

episode peranak pertahun dinegara maju. (Efendhi, A. 2015). Penelitian oleh

Efendi (2015) anak stunting yang mengalami ISPA dengan frekuensi sering

sebesar 85,2%

4.4.4 Hubungan Kejadian Stunting Dengan Riwayat penyakit Infeksi saluran

Penafasan Akut (ISPA)

Hubungan antara kejadian stunting dengan riwayat penyakit ISPA

pada tabel 4.9, menunjukan bahwa persentase balita yang mengalami stunting

dan tidak mengalami stunting yang sering mengalai ISPA yaitu sebesar 84,6%

: 7,7%. Kemudian dari uji analisa data Chi Square dengan tingkat kepercayaan

90% diperoleh p value sebesar 0,000 dengan taraf signifikan (p<0,05) yang

menunjukkan bahwa terdapat hubungann antara kejadian stunting dengan

riwayat penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita di Desa

Mataram Ilir, Kecamatan Seputih Surabaya, Kabupaten lampung Tengah yang

berarti HO ditolak.

Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh

asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan

yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting dapat terjadi mulai janin

masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun.

(Rachim, A. N. F., & Pratiwi, R. 2017).

Stunting adalah gangguan pertumbuhan linier yang tidak sesuai

dengan umur yang mengindikasikan kejadian jangka panjang serta merupakan

dampak akumulatif dari ketidakcukupan konsumsi zat gizi, kondisi kesehatan


46

yang buruk dan pengasuhan yang tidak memadai. (Damayanti, R. A., et al.

2017)

Gizi merupakan salah satu penentu dari kualitas sumber daya manusia.

Akibat kekurangan gizi akan menyebabkan beberapa efek serius seperti

kegagalan dalam pertumbuhan fisik serta tidak optimalnya perkembangan dan

kecerdasan. Akibat lain adalah terjadinya penurunan produktifitas,

menurunnya daya tahan tubuh terhadap penyakit yang akan meningkatkan

resiko kesakitan salah satunya adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)

(Hadiana, S. Y. M. 2013)

Keadaan stunting dapat menimbulkan berbagai macam penyakit,

diantaranya penyakit yang sering menyerang balita seperti halnya ISPA.

Penyakit infeksi ini merupakan penyakit yang sering menyebabkan kematian.

Infeksi saluran pernafasan akut disebabkan oleh virus atau bakteri. Penyakit

ini diawali dengan panas dan disertai salah satu atau lebih gejala: tenggorokan

sakit, atau nyeri telan, pilek, batuk kering atau berdahak. (Efendhi, A. 2015)

Stunting pada balita perlu menjadi perhatian khusus karena dapat

menghambat perkembangan fisik dan mental anak. Stunting berkaitan dengan

peningkatan resiko kesehatan dan kematian serta terhambatnya pertumbuhan

dan perkembangan kemampuan motorik dan mental. Balita yang mengalami

stunting memiliki resiko terjadinya penurunan kemampuan intelektual,

produktivitas, dan peningkatan resiko penyakit degeneratif dimasa mendatang.

Hal ini dikarenakan anak stunting juga cendrung lebih rentan terhadap

penyakit infeksi. (Ningrum, E. W., & Utami, T. 2017)


47

Hasil penelitian Fonseca 1996 di Fortaleza Brazil menunjukkan bahwa

status gizi kurang menempati urutan pertama faktor resiko terjadinya

pneumonia pada anak balita. (Hadiana, S. Y. M. 2013) Salah satu faktor risiko

kejadian stunting kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu yang lama,

sehingga dapat terjadi perlambatan pertumbuhan dan berpengaruh terhadap

status gizi. Penyakit infeksi dapat mengakibatkan berat badan turun secara

akut dan berpengaruh pada status gizi balita bila terjadi dalam jangka waktu

yang lama. Balita dengan status gizi yang kurang mempunyai sistem imun

yang rendah yang dapat membuat balita mudah terkena penyakit infeksi.

(Wellina, W. F., et al . 2016)

Kemudian penelitian dari Sukmawati & Sri Dara Ayu (2010) di

wilayah kerja Puskesmas Tunikamaseang Kabupaten Maros Sulawesi juga

menunjukkan kejadian ISPA berulang yang lebih banyak pada balita dengan

status gizi kurang dengan p = 0,03, hal ini disebabkan karena status gizi yang

kurang menyebabkan ketahanan tubuh menurun dan virulensi patogen lebih

kuat, sehingga akan menyebabkan keseimbangan terganggu dan akan terjadi

infeksi. Salah satu determinan dalam mempertahankan keseimbangan tersebut

adalah status gizi yang baik.

Dari hasil analisis dapat dilihat bahwa frekuensi ISPA lebih sering

terjadi pada balita stunting dibandingkan dengan balita tidak stunting atau

normal. Hal ini menunjukan bahwa stunting sangat berpengaruh terhadap

kejadian infeksi seperti halnya infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Hasil

penelitian ini sejalan dengan penelitian Hadiana (2013) dimana diperoleh hasil
48

bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan frekunsi

ISPA. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian wanda lestari (2014)

dimana anak stunting pada penelitian ini memiliki proporsi yang lebih tinggi

menderita ISPA dibandingkan dengan anak normal. Hal ini tidak sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Bayu (2013) yang menyatakan bahwa

kejadian stunting pada ank usia 12-60 bulan tidak ada hubungannya secara

bermakna dengan frekuensi penyakit infeksi yang terjadi di Desa Gresik.

Dari penelitian ini terdapat responden yang tidak mengalami stunting

namun sering mengalami ISPA. Hal ini disebabkan oleh faktor lain yang

dapat menyebabkan terjadinya ISPA pada balita seperti umur, pemberian ASI,

keteraturan pemberian vitamin A, polusi udara, sosial ekonomi, imunisasi

kepadatan dalam rumah dan BBLR. Selain itu didapatkan juga responden

yang yang mengalami stunting tetapi jarang mengalami ISPA. Hal tersebut

bisa terjadi kemungkinan karena faktor lingkungan tempat tinggalnya yang

tidak ada yang menderita ISPA meskipun status balita stunting, atau bisa

dikarenakan mereka sudah mendapatkan imunisasi yang lengkap sehingga

mereka mempunyai kekebalan tubuh terhadap serangan infeksi sehingga tidak

mudah terkena ISPA. Dari hasil diatas dapat disimpulkan bahwa kejadian

stunting mempunyai peran yang sangat besar dalam pemeliharaan kesehatan

tubuh balita. Jika balita mengalami stunting maka akan lebih mempermudah

kuman-kuman patogen menyerang tubuh sehingga terjadi ISPA.


49

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah di lakukan di Desa Mataram

Ilir, Kecamatan Seputih Surabaya, Kabupaten Lampung Tengah tahun 2019

dengan jumlah sample 52 balita masing-masi sebagai kelompok kasus dan

kontrol, maaka dapat diambil kesimpulan mengenai hubungan kejadian

stunting dengan riwayat penyakit ISPA pada balita usia 24-59 bulan di Desa

Matarm Ilir, Kecamatan Seputih Surabaya, Kabupaten Lampung Tengah

sebagai berikut:

1. Balita stunting sebagai kelompok kasus yang berada di Desa Mataram Ilir,

Kecamatan Seputih Surabaya, Kabupaten Lampung Tengah yang sering

mengalami ISPA sebanyak 44 orang (84,6 %), dan yang tidak sering

mengalami ISPA sebanyak 8 orang (15,4 %). Sedangkan balita normal atau

tidak stunting sebagai kelompok kontrol yang berada di di Desa Mataram Ilir,

Kecamatan Seputih Surabya, Kabupaten Lampung Tengah yang sering

mengalami ISPA sebanyak 4 orang (7,7 %), dan yang tidak sering mengalami

ISPA sebanyak 48 orang (92,3 %). Yang artinya, balita stunting lebih sering

mengalami ISPA dari pada balita normal.

2. Balita stunting dengan golongan -3SD sampai <-2 SD dengan status pendek

sebanyak 43 orang (82,7 %), sedangkan golongan <-3 SD dengan status

sangat pendek sebanyak 9 orang (17,3 %). Dan jumlah balita normal dengan
50

golongan >2 SD sampai 3 SD dengan status tinggi sebanyak 13 orang (25 %),

sedangkan golongan <-1 SD sampai 2 SD dengan status normal sebanyak 39

orang (75 %).

3. Balita stunting dengan riwayat penyakit infeksi saluran pernafasan akut

(ISPA) termasuk dalam kategori sering sebanyak 44 orang (84,6 %),

sedangkan tidak sering ISPA sebanyak 8 orang (15,4 %). Dan balita normal

dengan riwayat penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) termasuk

dalam kategori sering sebanyak 4 orang (7,7 %), sedangkan yang mengalami

ISPA tidak sering sebanyak 48 orang (92,3 %).

5.2 Saran

1.2.1 Bagi Instansi Dan Masyarakat

1. Dinas kesehatan dan instansi-instansi terkait sebaiknya meningkatkan

pemberian informasi dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai stunting.

2. Diperlukan intervensi fokus kesehatan ibu dan anak untuk mengurangi risiko

bayi dengan berat badan lahir rendah dan panjang badan lahir rendah demi

mengurangi risiko semakin banyaknya anak yang mengalami stunting.

3. Menumbuhkan kesadaran ibu akan pentingnya pemberian ASI eksklusif

kepada ibu dan calon ibu melalui penyuluhan.

4. Pemantauan perkembangan disertai dengan stimulasi perkembangan sesuai

dengan kelompok usia baduta.

5. Balita yang diketahui memiliki perkembangan yang meragukan dan

menyimpang perlu dilakukan pemeriksaan perkembangan dengan KPSP,


51

sebaiknya dilakukan secara rutin oleh kader maupun orang tua untuk

mendeteksi sejak dini gangguan perkembangan anak sehingga intervensi yang

tepat dapat dilakukan.

6. Dalam penanggulangan penyakit ISPA dan terjadinya gangguan pertumbuhan,

keluarga khususnya ibu hendaknya selalu memantau pertumbuhan bayi

melalui penimbangan rutin diposyandu, segera melakukan tindakan

pengobatan pada saat bayi sakit serta menjaga kebersihan lingkungan.

1.2.2 Peneliti Selanjutnya

1. Saran untuk penelitian selanjutnya yaitu kejadian kesakitan perlu diteliti dan

dilihat kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan.

2. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat menambahkan variabel lain seperti

variabel keadaan rumah dan variabel ekonomi keluarga.

Anda mungkin juga menyukai