Anda di halaman 1dari 13

PRINSIP-PRINSIP DAKWAH

(BAGIAN DUA)

Disusun oleh : IEFA KAHANA

NIM : 12210028

Kelas : KPI A

Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam

Fakultas Dakwah dan Komunikasi

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

2013/2014
Kata Pengantar

Asalamualaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, puji syukur pertama saya ucapkan kehadirat Allah, Tuhan semesta alam.
Kedua, saya berterimakasih kepada orang tua dan pihak-pihak lain yang telah memfasilitasi
saya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini saya buat untuk melengkapi tugas mata kuliah Fikih Dakwah yang didalamnya
memuat lima prinsip dakwah. Semoga dengan makalah ini saya dan juga pihak-pihak lain
dapat mengambil manfaat darinya.

Saran dan masukan yang membangun sangat saya terima demi perbaikan makalah ini.

Terimakasih.

Wasalamualaikum Wr. Wb.

Prambanan, 16 September 2013

(Iefa Kahana)

2
Daftar Isi

Kata Pengantar ........................................................................................................................... 2


Daftar Isi .................................................................................................................................... 3
Pembahasan................................................................................................................................ 4
Kaidah 1: Yang Pokok Sebelum yang Cabang ...................................................................... 4
Kaidah 2: Membesarkan Hari Sebelum Memberi Ancaman ................................................. 6
Kaidah 3: Memahamkan, Bukan Mendikte ........................................................................... 8
Kaidah 4: Mendidik, Bukan Menelanjangi ............................................................................ 9
Kaidah 5: Muridnya Guru, Bukan Muridnya Buku ............................................................. 11
Daftar Pustaka .......................................................................................................................... 13

3
Pembahasan

Kaidah 1: Yang Pokok Sebelum yang Cabang

Dalam dunia dakwah, Dai dituntut untuk menjadi seorang yang bijaksana dalam
mengajak, menyeru, mengingatkan mad’unya untuk senantiasa berada dijalan Allah. Itu pun
jika sang mad’u sudah memiliki kesadaran bahwa kita sebagai manusia hendaknya mengabdi
kepada Allah semasa hidup didunia ini. Sedangkan diluar sana mungkin masih banyak
saudara-saudara kita yang masih perlu diingatkan bahkan justru baru mulai dikenalkan
dengan hal yang berkaitan tentang keimanan kita sebagai umat muslim. Sebelum melangkah
lebih jauh, kita sebagai Dai untuk orang lain maupun untuk diri kita sendiri hendaknya
memberi penekanan-penenkanan terhadap akidah, baru menuju hal-hal lainnya.
Sebagai Dai yang arif, kita dituntut untuk melaksanakan tata cara atau kaidah-kaidah
dakwah yang benar. Utamanya adalah dengan mengenalkan yang pokok sebelum yang
cabang kepada mad’u kita. Maksudnya, kita mencoba mengenalkan hal-hal yang sifatnya
keimanan atau menyangkut akidah terlebih dahulu, karena apalah arti sebuah ibadah yang
dilakukan secara kontinyu namun tidak jelas kepada siapa ibadah tersebut dipersembahkan.
Tentunya dalam melakukan amalan ibadah kita punya sesuatu yang menjadi tujuan, kita
paham bahwa kita sedang menghambakan diri kita terhadap sesuatu, yaitu Allah. Inilah salah
satu langkah awal kita dalam berdakwah, menyadarkan mengenai ekstensi Allah di jiwa-jiwa
manusia.
Namun, perlu diperhatikan pula sebelum kita mendakwahi orang lain, hendaknya kita
melakukan terlebih dahulu apa yang akan didakwahkan kepada orang lain, sehingga
diharapkan selain kita menjadi mukmin yang baik, kita juga bisa menjadi uswah bagi mad’u
kita daripada kita hanya menyeru, menyeru, dan menyeru tanpa melaksanakan apa yang kita
serukan kepada orang lain. Bahkan Allah sendiri pun berfirman bahwa Ia membenci orang
yang menyuruh orang lain berbuat kebajikan namun orang tersebut tidak melaksanakan apa
yang ia serukan kepada orang lain.
Tujuan mengenalkan hal pokok sebelum yang cabang adalah selain agar ibadah tidak
sia-sia karena ketidakpastian akidah, yaitu supaya mad’u lebih bisa menerima dengan mudah
apa-apa yang diserukan kepadanya. Dalam artian, ketika mad’u langsung diperkenalkan
dengan kewajiban-kewajiban, tentang berbagai hal mendetil tentang perintah-perintah ajaran
Islam, mereka sangat dimungkinkan akan merasa terbebani padahal bisa dikatakan mereka

4
baru saja hendak memulai langkahnya menuju kepada jalan Allah. Apa jadinya ketika mad’u
belum apa-apa sudah merasa seperti itu? Sangat wajar bila langkah pertama yang hendak iya
tapaki tadi berubah halauan ke arah yang lain alias tidak mau mengikuti seruan Da’i karena
sudah disetel pikirannya bahwa menjalankan ajaran Islam itu berat. Padahal kenyataannya
Rasulullah menyebarkan ajaran Islam dimuka bumi ini bukan untuk memberatkan kaumnya
melainkan untuk kebaikan manusia itu sendiri.
Langkah-langkah khusus perlu ditempuh Dai supaya Mad’u bisa menerima seruannya
dengan mudah. Dai yang baik adalah Dai yang mampu mengenal bagaimana kondisi Mad’u-
nya sehingga dalam melancarkan aksi dakwahnya dapat berjalan dengan lebih efektif.
Penting bagi Dai untuk menyelami karakteristik Mad’unya, bagaimana sifatnya, latar
belakang pendidikan, dan lain sebagainya. Tentu saja tidak semua seluk beluk Mad’u bisa
diselami apalagi hingga ke hal-hal yang detil, namun paling tidak Dai bisa memperkirakan
kapasitas Mad’u dalam menerima ajaran Islam. Apabila Dai bisa mendapatkan hati Mad’unya,
maka akan sangat mudah untuk Dai dalam menanamkan ajaran-ajaran Islm kepada Mad’u
tersebut.

Pondasi kesatuan kaum muslimin:

1. Perasaan yang satu/masya’ir wahidah


Yaitu menghadap Tuhan Yang Esa, yaitu Allah. Keimanan yang satu inilah
yang mempersatukan hati.

‫ض َج ِميعًا َما‬ِ ‫ت َما ِفي ْاْل َ ْر‬ َ ‫ف بَيْنَ قُلُو ِب ِه ْم ۚ لَ ْو أ َ ْنفَ ْق‬ َ َّ‫َوأَل‬
ٌ ‫ف بَ ْينَ ُه ْم ۚ ِإنَّهُ َع ِز‬
‫يز َح ِكي ٌم‬ َّ ‫ت بَيْنَ قُلُو ِب ِه ْم َو َٰلَ ِك َّن‬
َ َّ‫َّللاَ أَل‬ َ ‫أَلَّ ْف‬

“Dan (Allah-lah) yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang


beriman), Walaupun kamu membelanjakan semua kekayaan yang ada di bumi,
niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah
mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha
Bijaksana.” (Al- Anfal: 63)

5
2. Kesatuan ibadah/sya’a’ir wahidah
Ibadah adalah wujud dari penghambaan diri kepada Allah. Dalam lafadh-
lafadh sholat kita sejatinya kita sedang mengingkrarkan janji setia kita kepada
Allah. Janji untuk mengabdikan diri hanya untuk Allah dan Rasul-nya.
Dengan melakukan berbagai ibadah, kita dapat memperkuat ukhwah islamiyah
kita sesama muslim, karena banyak dari ibadah-ibadah yang diajarkan oleh
Rasul yang sifatnya mendidik kita untuk saling mengasihi satu sama lain,
mendidik kita menjadi manusia yang sosial. Seperti halnya sholat berjamaah,
zakat, puasa. Karena, tidak ada iman tanpa ukhwah dan tidak ada ukhwah
tanpa iman.1

3. Kesatuan sistem hidup/syara’i wahidah


Apabila dalam suatu masyarakat sudah tercipta ikatan hatinya satu, begitu pula
dengan ibadahnya maka sungguh akan mudah bagi mereka untuk senantiasa
berlomba-lomba kepada kebaikan. Ber-amar ma’ruf nahi munkar.
Umat yang satu adalah umat yang satu hati dan satu perasaan, satu ibadah dan
satu aturan hidup, satu Rabb, satu Rasul, dan satu Kitab.2
Setelah langakah pertama, yaitu pemeliharaan akidah terlaksana, barulaah Da’i
mengenalkan tentang kewajiban-kewajiban umat muslim, barulah mengenalkan tentang
larangan. Dalam ajaran Islam tentunya terdapat larangan-larangan yang mengatur kita demi
kebaikan kita. Larangan ini hendaknya diperkenalkan paling belakang supaya tidak menjadi
beban diawal bagi mad’u. Apabila ketiga tahap tadi(memelihara akidah, melaksanakan
kewajiban, dan menjauhi larangan) bisa kita lakukan maka insya Allah kita menjadi insan
yang baik kehidupan dunia-akheratnya.

Kaidah 2: Membesarkan Hari Sebelum Memberi Ancaman

ٌ ‫ِيرا ۚ َو ِإ ْن ِم ْن أ ُ َّم ٍة ِإ ََّّل خ َََل فِي َها نَذ‬


‫ِير‬ ً ‫ِيرا َونَذ‬ ِ ‫َاك ِب ْال َح‬
ً ‫ق بَش‬ َ ‫س ْلن‬
َ ‫ِإنَّا أ َ ْر‬

1
Jum’ah Amin A.A., Fiqih Dakwah (Solo: Era Adicitra Intermedia, 2011), h. 340.
2
Ibid

6
“Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita
gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada
padanya seorang pemberi peringatan.” ( Fatir: 24)

Dari firman Allah diatas dapat dipahami bahwa Allah mengutus tiap umat untuk
menyampaikan berita gembira yang kemudian diiringi dengan peringatan. Pada ayat ini
dijelaskan bahwa Basyir mengawali Nadzir. Basyir adalah kabar berita yang
menggembirakan hati. Dengan basyir itu diberilah harapan bagi manusia bila mereka
menuruti dan mematuhi apa yang disampaikan oleh Rasul sebagai wahyu dari Allah. Jalan
yang utama lebih dahulu ialah berita yang menggembirakan, sampai orang itu tertarik. 3

Mendahulukan kabar gembira dinilah lebih bermanfaat daripada mendahulukan ancaman


dalam pembicaraan. Kabar gembira berfungsi untuk menarik hati orang supaya mau
mengikuti ajaran Islam dengan tulus. Sedangkan apabila ancaman diungkapkan diawal, maka
persepsi negatiflah yang cenderung tertanam lebih dahulu.

‫سو ِل ِه يُؤْ ِت ُك ْم ِك ْفلَي ِْن ِم ْن َر ْح َم ِت ِه‬ َّ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا اتَّقُوا‬
ُ ‫َّللاَ َو ِآمنُوا ِب َر‬
َّ ‫شونَ ِب ِه َويَ ْغ ِف ْر لَ ُك ْم َو‬
ٌ ُ‫َّللاُ َغف‬
‫ور َر ِحي ٌم‬ ً ُ‫َويَ ْجعَ ْل لَ ُك ْم ن‬
ُ ‫ورا ت َ ْم‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-
Nya (Muhammad), niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan
menjadikan cahaya untukmu yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan serta Dia
mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hadid:28)

َ ً ‫صا ِل ًحا ِم ْن ذَ َك ٍر أ َ ْو أ ُ ْنث َ َٰى َو ُه َو ُمؤْ ِم ٌن فَلَنُ ْح ِييَنَّهُ َحيَاة‬


ۚ ً‫ط ِيبَة‬ َ ‫َم ْن َع ِم َل‬
َ ‫َولَن َْج ِزيَنَّ ُه ْم أ َ ْج َر ُه ْم بِأ َ ْح‬
َ‫س ِن َما َكانُوا يَ ْع َملُون‬
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan. (An-Nahl: 97)

3
Prof. Dr. Hamka, Prinsip dan Kebijaksanaan Da’wah Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), h. 63.

7
Dua ayat diatas adalah salah satu contoh firman Allah yang mencerminkan kabar
gembira. Kabar gembira ini disampaikan untuk memberi semangat supaya manusia mau
beramal sholeh. Kita akan bahagia dengan iman dan amal sholeh kita karena keduanya
memberikan kenikmatan baik di dunia maupun di akherat. Dalam surat Al Hadid ayat 28
diatas menyebutkan bahwa betapa Allah sayang kepada kita hingga membentangkan Rahmat-
Nya untuk kita. Ayat tersebut dimaksudkan supaya kita tidak berputus asa akan rahmat Allah.

Sedikit contoh diatas adalah bagaimana ayat-ayat Allah mencerminkan kabar gembira yang
menjadi penyemaangat dan menanamkan jiwa optimisme, sebelum datang ancaman.

َ ‫َونَ ْف ٍس َو َما َس َّواهَا فَأ َ ْل َه َم َها فُ ُج‬


‫ورهَا َوت َ ْق َواهَا قَ ْد أ َ ْفلَ َح َم ْن زَ َّكاهَا َوقَ ْد‬
َّ َ‫َاب َم ْن د‬
‫ساهَا‬ َ ‫خ‬
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (As Syams: 7-10)

Kaidah 3: Memahamkan, Bukan Mendikte

Salah satu kaidah berdakwah yang perlu kita pahami lagi adalah menanamkan dan
bukan mendikte. Berdakwah merupakan tugas yang besar dan sangat mulia untuk kita semua.
Sesungguhnya tidak mudah untuk merubah, mengajak orang lain untuk benar-benar
memahami apa yang kita seruka, terlebih lagi jika kita sendiri sebagai da’i tidak memahami
dan mengamalkan apa yang kita serukan. Untuk itu, dalam berdakwah perlu adanya
ketelatenan untuk menyelami kondisi objek dakwah kita serta tak lupa mengaca diri.

Islam pada hakekatnya bukan selalu soal ayat Al Quran dan Hadits yang
diceramahkan dari satu orang ke orang lain. Perlu adanya pemahaman yang diusahakan
secara bertahap. Bukan sekedar perintah atau ajakan untuk berbuat baik tanpa adanya
bimbingan dan pemahaman. Memahamkan orang lain untuk berbuat baik perlu
memperhatikan beberapa aspek. Aspek-aspek tersebut berkaitan dengan Dai’i itu sendiri,
Mad’u, serta kondisi lingkungan. Bagaimana kita menjadi Da’i yang arif, yang tidak
menggurui, yang tidak sekedar perintah atau berdalil sana-sini, tetapi juga memberikan
teladan ketika mendakwahkan sesuatu, sehingga Mad’u menjadi lebih paham bagaimana

8
seharusnya ia bertindak sebagaimana yang diserukan Da’i. Dengan menjadi teladan, maka
Da’i secara tidak langsung memberikan gambaran nyata bagaimana apa yang telah ia serukan
bisa dilaksanankan dengan baik dalam kehidupan. Selain itu Mad’u juga perlu diperhatikan
oleh Da’i. Bagaimana latar belakang Mad’u, bagaimana kemampuan penerimaan ilmu,
bagaimana karakteristiknya.

Perlu dilihatkan hikmah-hikmah dan bukan hanya sekedar menyampaikan ilmu saja
ketika berdakwah. Misalnya, kita memberikan sebuah kisah-kisah hidup yang bisa diambil
hikmahnya sebagai gambaran dari ilmu yang hendak kita pahamkan kepada Mad’u. Karena,
apabila kita menyampaikan sekedar nash-nash tekstual yang tidak disertai pemahaman yang
benar, maka bisa dimungkinkan terjadi kesalahan dalam penafsiran.

Bersama Ali r.a.

Dari Ali bin Abi Thalib ia berkata, “Ketika turun dirman Allah, Ya ayuhal ladsina
amanu idza najaitum ar rasula..., ( Al Mujadilah: 12), Nabii bersabda kepadaku, “Bagaimana
pendapatmu dengan satu dinar?” Aku menjawab, “Mereka tidak mampu.” Nabi bertanya,
“Kalau begitu berapa?” Aku menjawab, “ Emas, satu biji gandum.” Nabi bersabda,
“Sesungguhnya engkau orang yang zuhud.” Aku berkata, “Kemudian turunlah firman Allah,
A asyfaqtum... (Al Mujadilah: 13). Disebabkan karena aku, Allah memberi keringanan
kepada umat ini.”

Para sahabat merupakan generasi unik. Mereka tidak hanya berkutat dengan nash
tekstual, tetapi juga berinteraksi dengan nash-nash itu dalam kehidupannya, sehingga meraih
kemaslahatan yang maksimal. Mereka berharap kepada Allah agar memperkuat apa yang
mereka lihat berupa aturan-aturan. Allah pun menyetujui kemauan mereka.4

Kaidah 4: Mendidik, Bukan Menelanjangi

“Sesungguhnya beruntung orang yang membersihkan dirinya, dan sungguh merugi orang
yang mengotori dirinya.” (As Syams: 9-10)

Seorang Da’i perlu mengetahui kesalahan apa yang ada pada diri sebelum ia berusaha
membenarkan orang lain. Butuh intropeksi terlebih dahulu sehingga kita sebagai Da’i dapat

4
Jum’ah Amin A.A., Op. Cit, Fiqih Dakwah. 364.

9
memberbaiki diri sebelum memperbaiki orang lain. Sehingga, ketika kita berusaha
memperbaiki dan menyempurnaan amalan kita, maka objek yang kita dakwahi tidak berusaha
mencari-cari kesalahan kita yang berujung pada ketidakpatuhan dengan apa yang kita serukan
karena Mad’u melihat ketidakkonsistenan pada diri kita, yaitu tidak sinkronnya antara yang
kita serukan dengan yang kita lakukan.

Gajah dipelupuk mata tidak nampak, semut diseberang lautan tampak. Betapa
mudahnya kita mencecar orang lain atas kesalahan-kesalahan mereka yang bahkan terkadang
sengaja kita cari-cari, sedangkan kita sendiri menganggap diri suci. Betapa tidak terpujinya
bersikap seperti itu. Untuk itu, sebagai Da’i, hendaknya kita tidak bersikap seperti itu. Ketika
Mad’u kita melakukan kesalahan, seharunya kita merasa iba dan bukan malah membeberkan
kesalahan orang lain. Sehingga Mad’u kita juga tidak merasa ditelanjangi ketika kita berlaku
sebaliknya, yaitu malah menjelek-jelekkan Mad’u kita. Bagaimana kita bisa menyerunya
kepada kebaikan ketika kita sendiri malah berlaku kurang arif yang membuat Mad’u sungkan
mengikuti kita karena sudah merasa ciut hatinya dengan celaan-celaan yang diberikan
kepadanya. Cara yang tidak tepat justru bisa mengkaburkan tujuan yang baik.

“Barangsiapa menutupi aurat seseorang, maka seakan-akan ia menghidupkan kembali


anak wanita yang telah dikubur hidup-hidup.” (At Taghib wa At Tarhib, juz III, h. 176)

Kata Abdullah bin Mubarak. “Seorang mukmin itu mencari kebaikan, sedangkan
orang munafik itu selalu mencari kekurangan.”5

Mengutip apa yang diungkapkan Dorothy Law Nollte:

Jika anak dibesarkan dengan celaan, maka ia belajar memaki


Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, maka ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, maka ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, maka ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, maka ia belajar mengendalikan diri
Jika anak dibesarkan dengan motivasi, maka ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan kelembutan, maka ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, maka ia belajar percaya
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, maka ia belajar menghargai diri sendiri

5
Id. at 376.

10
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, maka ia belajar menemukan
kasih dalam kehidupannya. Begitu pula dengan Mad’u kita.

Kaidah 5: Muridnya Guru, Bukan Muridnya Buku

Tanggungjawab Da’i dalam memahamkan Mad’unya dan mengajak untuk berbuat


baik adalah tanggungjawab yang tidak mudah. Da’i harus terlebih dulu membekali diri
dengan ilmu-ilmu baik ilmu agama maupun keilmuan lain yang dalap menunjang aktivitas
berdakwah. Salah satu hal yang fundamental adalah bagaimana Da’i memahami nash-nash Al
Quran maupun Hadits dengan baik sehingga tidak ada kesalahan dalam penyampaian
ilmunya kepada Mad’u. Penafsiran nash pun tidak dilakukan sembarangan. Ada banyak cara
penafsiran. Menurut Ibnu Abbas r.a. tafsir itu ada empat macam. Ada penafsiran yang
diketahui oleh orang Arab dari bahasanya, ada penafsiran yang tidak ada seorang pun yang
mengetahuinya, ada penafsiran yang diketahui oleh ulama saja, dan ada penafsiran yang tidak
diketahui kecuali oleh Allah. 6 Oleh karena itu, sebagai seorang Da’i hendaknya kita
memperluas ilmu kita, membaca banyak buku karena buku adalah salah satu sumber ilmu
pengetahuan yang penting.

Namun tidak cukup sampai kepada membaca buku saja alias menggurukan buku,
namun perlu diimbangi dengan berguru kepada orang yang ahli dalam bidangnya sehingga
ada klarifikasi dan konfirmasi pemahaman yang kita dapat dari buku atau dari sumber lain.
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Furqon ayat 59, “Maka tanyakanlah(tentang
Allah) kepada yang lebih mengetahui(Muhammad) tentang Dia.” Juga dalam surat An Nisa
ayat 83, “Dan kalau mereka mengembalikan kepada Rasul dan ulil amri diantara mereka,
tentulah orang-ornag yang mengetahui kebenarannya(akan dapat) mengetahuinya dari
mereka(rasul dan ulil amri)”.

Dengan merujuk kepada orang yang ahli dalam ilmunya maka kita juga berarti
memuliakan ahli ilmu tersebut. Selain berguru kepada ahli ilmu, kita juga bisa berguru
kepada orang yang lebih berpengalaman. Ahli ilmu dibidang tertentu memang memahami
ilmu-ilmu dengan mendalam, namun terkadang pengalaman juga bisa dimiliki orang yang
belum tentu menjadi spesialis disuatu bidang keilmuan.

6
Id. at 387.

11
12
Daftar Pustaka

Abdul Aziz, Jum'ah Amin. "Beberapa Kaidah Dari Ushul Fiqih; Bimbingan Untuk
Dai." Fikih Dakwah. Solo: Era Adicitra Intermedia, 2011. 337-406. Print.

"Al Qur'an Online - Surat Al-Anfal." Al Qur'an Online. N.p., 2012. Web. 18 Sept. 2013

"Al Qur'an Online - Surat Fatir." Al Qur'an Online. N.p., 2012. Web. 18 Sept. 2013.

Hamka, Prof. Dr. "Prinsip-Prinsip Da'wah." Prinsip Dan Kebijaksanaan Da'wah Islam.
Jakarta: Pt Pustaka Panjimas, 1984. 63-70. Print.

"Tafsir Al Quran Al Karim." : Tafsir Al Hadid Ayat 22-29. N.p., n.d. Web. 18 Sept. 2013.

Wibowo, Timothy. "Peran Pola Asuh Dalam Membentuk Karakter Anak." Pendidikan
Karakter. N.p., n.d. Web. 25 Sept. 2013.

13

Anda mungkin juga menyukai