Anda di halaman 1dari 47

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI


DAN HUTAN LINDUNG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL


PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG
NOMOR P.7/PDASHL/SET/KUM.1/8/2017

TENTANG

PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN AGROFORESTRI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DIREKTUR JENDERAL
PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG,

Menimbang : a. bahwa berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal


Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung
Nomor : P.8/PDASHL/SET/KUM.1/11/2016 telah diatur
petunjuk teknis pelaksanaan kegiatan Rehabilitasi
Hutan dan Lahan (RHL);
b. bahwa untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan
keberhasilan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan
dan lahan khususnya pembuatan agroforestri dengan
mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi serta sosial,
perlu menerbitkan ketentuan teknis pembuatan
agroforestri;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran
Sungai dan Hutan Lindung Tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Agroforestri.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang


Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 19 tahun 2004 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-
undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4412);
-2-

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang


Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 5533);
3. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang
Konservasi Tanah dan Air (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 299, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 5609);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2008 tentang
Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 201, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4947);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5259);
6. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.9/Menhut-
II/2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan, Kegiatan
Pendukung dan Pemberian Insentif Kegiatan Rehabilitasi
Hutan dan Lahan (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 173) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor P.39/MenLHK/Setjen/
Kum.1/4/2016 (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 580);
7. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.18/MenLHK-II/2015 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan(Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 713);
8. Peraturan Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran
Sungai dan Hutan Lindung Nomor
P.8/PDASHL/SET/KUM.1/11/2016 tentang Petunjuk
Teknis Pelaksanaan Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan
Lahan.

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN
DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG TENTANG
PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN AGROFORESTRI.

Pasal 1
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Agroforestri sebagaimana
tercantum dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal ini.
-3-

Pasal 2
Petunjuk Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
dijadikan acuan dalam pelaksanaan Agroforestri.

Pasal 3
Pelaksanaan Agroforestri yang telah dilaksanakan sebelum
diberlakukannya Peraturan Direktur Jenderal ini, dinyatakan
tetap berlaku dan untuk pelaksanaan selanjutnya harus
disesuaikan dengan Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 4
Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Salinan sesuai dengan aslinya Pada tanggal 1 Agustus 2017
KEPALA BAGIAN HUKUM DAN DIREKTUR JENDERAL,
KERJASAMA TEKNIK,

Ttd.

DUDI ISKANDAR Dr. Ir. HILMAN NUGROHO, MP


NIP 19590615 198603 1 004

Salinan Peraturan ini disampaikan kepada Yth.


1. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia;
2. Pejabat Eselon I Lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan;
3. Pejabat Eselon II Lingkup Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran
Sungai dan Hutan Lindung;
4. Gubernur seluruh Indonesia;
5. Kepala Dinas Provinsi yang diserahi tugas dan tanggungjawab di bidang
kehutanan di seluruh Indonesia;
6. Kepala Unit Pelaksana Teknis Lingkup Direktorat Jenderal Pengendalian
Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung di seluruh Indonesia.
4

LAMPIRAN
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN
DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG
NOMOR P.7/PDASHL/SET/KUM.1/8/2017
TENTANG
PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN AGROFORESTRI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Umum
Agroforestri atau yang dalam istilah Indonesia disebut sebagai
“wanatani” merupakan sistem/pola pemanfaatan lahan dengan
menggabungkan dua komponen atau lebih yang terdiri atas pertanian
(agro=tani) dan kehutanan (forest=wana) dan pada beberapa kasus juga
dikombinasikan dengan hewan ternak yang telah banyak dijalankan di
Indonesia. Diawali dari unit terkecil yaitu keluarga, agroforestri telah
banyak berkembang seiring perubahan zaman bahkan sampai pada level
komersial/produksi. Agroforestri ini sejatinya adalah upaya optimalisasi
pemanfaatan lahan yang banyak mengalami modifikasi, sehingga tidak
hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tapi bahkan
sebagai solusi sosial ekonomi bagi pengelolaan hutan di Indonesia.
Agroforestri selama ini dijabarkan sebagai salah satu upaya
konservasi tanah dan air secara vegetatif, juga diharapkan dapat
membantu memecahkan permasalahan sosial ekonomi terkait dengan
pemanfaatan kawasan hutan.
Agroforestri atau wanatani memiliki ragam pengertian. Secara
sederhana agroforestri dapat diartikan sebagai menanam tanaman kayu-
kayuan dan tanaman semusim dalam satu lahan. Akan tetapi pengertian
tersebut berkembang menjadi lebih luas, sehingga agroforestri diartikan
sebagai sistem dan teknologi penggunaan lahan dengan pengaturan ruang
dan waktu yang dilakukan secara sengaja/terencana, melalui kombinasi
tanaman kayu-kayuan (pohon-pohonan) dengan tanaman tidak kayu-
kayuan atau tanaman semusim (tahunan) dan/atau ternak/hewan lainnya
di dalam satu unit lahan sehingga terbentuk interaksi ekologis dan
ekonomis di antara komponen penyusunnya
Dalam peraturan ini agroforestri memuat tentang pola agroforestri
yang dapat diterapkan pada kawasan hutan, khususnya di Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH). Peraturan ini digunakan sebagai acuan dalam
pelaksanaan agroforestri oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Lingkup
Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan
Lindung (PDASHL) maupun instansi lainnya, swasta dan masyarakat.
5

B. Maksud dan Tujuan

Maksud penyusunan petunjuk teknis pelaksanaan agroforestri di


hutan lindung dan luar kawasan hutan adalah sebagai arahan teknis bagi
para pelaksana/penanggung jawab kegiatan agroforestri di lapangan baik
lingkup pemerintahan, swasta, dan masyarakat luas.

Tujuannya yaitu terlaksananya kegiatan agroforestri di hutan lindung


dan di luar kawasan hutan dalam kerangka pengelolaan hutan lestari dan
peningkatan daya dukung DAS untuk kesejahteraan masyarakat melalui
pendekatan aspek ekonomi, ekologi dan sosial.

C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup peraturan ini meliputi :
1. konsepsi agroforestri
2. klasifikasi agroforestri
3. pola agroforestri
4. perencanaan
5. pelaksanaan penanaman dan pemeliharaan
6. pengendalian
7. pelaporan
8. serah terima pekerjaan.

D. Sasaran
1. Ruang tumbuh pada blok pemanfaatan pada hutan lindung
2. Areal yang saat ini dimanfaatkan masyarakat untuk kegiatan
pertanian/perkebunan/perikanan yang berada di hutan lindung
3. Ruang tumbuh di luar kawasan hutan dan/atau lahan milik
masyarakat yang dapat dikembangkan untuk kegiatan pertanian dan
kehutanan

E. Pengertian

Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan :


1. Agroforestri adalah kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan
menggunakan optimalisasi pemanfaatan lahan dengan sistem
kombinasi tanaman berkayu, buah-buahan, ternak atau tanaman
semusim sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis diantara
komponen penyusunnya.
2. Bibit adalah bahan tanaman atau bagiannya yang digunakan untuk
memperbanyak dan/atau mengembangkan tanaman yang berasal dari
bahan generatif atau bahan vegetatif.
6

3. Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah suatu


wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan
anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut
secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan
batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh
aktivitas daratan.
4. Hasil hutan adalah benda-benda hayati, nonhayati dan turunannya,
serta jasa lingkungan yang berasal dari hutan.
5. Hutan Lindung yang selanjutnya disebut HL adalah kawasan hutan
yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga
kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan
erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
6. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau yang
ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya
sebagai hutan tetap.
7. Kesatuan Pengelolaan Hutan yang selanjutnya disebut KPH adalah
wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya
yang dapat dikelola secara efisien dan lestari.
8. Konservasi Tanah dan Air adalah upaya perlindungan, pemulihan,
peningkatan, danpemeliharaan fungsi tanah pada lahan sesuai dengan
kemampuan dan peruntukan lahan untuk mendukung pembangunan
yang berkelanjutan dan kehidupan yang lestari.
9. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu adalah kegiatan untuk
memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan berupa bukan kayu
dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi
pokoknya.
10. Pemanfaatan kawasan adalah kegiatan untuk memanfaatkan ruang
tumbuh sehingga diperoleh manfaat lingkungan, manfaat sosial dan
manfaat ekonomi secara optimal dengan tidak mengurangi fungsi
utamanya.
11. Pemeliharaan tanaman adalah perlakuan terhadap tanaman dan
lingkungannya agar tanaman tumbuh sehat dan normal melalui
pendangiran, penyiangan, penyulaman, pemupukan dan
pemberantasan hama dan penyakit.
12. Pengamanan tanaman adalah kegiatan yang ditujukan untuk menjaga
tanaman hasil rehabilitasi hutan dan lahan dari berbagai gangguan
pencurian, kebakaran dan ternak.
13. Penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta
pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan
mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar,
teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk
meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan
7

kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian


fungsi lingkungan hidup.
14. Pola agroforestri mosaik adalah pola agroforestri yang menempatkan
kelompok/cluster tanaman semusim dan kelompok/cluster tanaman
kayu-kayuan dengan luasan tertentu yang diatur sesuai ruang dan
waktu untuk kepentingan efisiensi dan efektivitas manfaat secara
ekonomi.
15. Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang selanjutnya disingkat RHL adalah
upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi
hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya
dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.
16. Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai
yang selanjutnya disebut RTk-RHL DAS adalah rencana RHL 15 (lima
belas) tahunan yang memuat rencana pemulihan hutan dan lahan,
pengendalian erosi dan sedimentasi, pengembangan sumberdaya air
dan pengembangan kelembagaan.
17. Tanaman kayu-kayuan adalah tanamanperennial/tahunan yang
memiliki jaringan vaskuler yaitu, jaringan pengangkut berupa floem
dan xilem yang mengalami pertumbuhan sekunder sehingga
membentuk struktur kayu.
18. Tanaman semusim adalah istilah agrobotani bagi tumbuhan yang
dapat dipanen hasilnya dalam satu musim tanam.
19. Tegakan awal adalah tegakan berupa anakan, pancang, tiang, dan
pohon sebelum dilaksanakan penanaman atau pengayaan tanaman.
20. Wanahijauan pakan ternak (silvopasture) adalah sistem pengelolaan
hutan yang menggabungkan antara sistem silvikultur dengan
peternakan.
21. Wanamina (silvofishery) adalah sistem pengelolaan hutan dengan cara
tumpangsari antara tanaman hutan (mangrove) dengan budidaya
perikanan atau tambak.
22. Wanafarma adalah suatu bentuk pengelolaan sumberdaya yang
mengkombinasikan kegiatan pengelolaan hutan atau tanaman kayu-
kayuan dengan penanaman komoditas obat-obatan.
8

BAB II

KONSEPSI AGROFORESTRI

A. Tinjauan Umum Agroforestri

Agroforestri digolongkan menjadi dua sistem, yaitu :

1. Agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian kehutanan


dimana pohon ditanam secara tumpang sari dan selang-seling, baik
dalam jalur tanam atau baris tanam, yang teratur maupun tidak
teratur dengan satu jenis atau lebih tanaman semusim.

Contoh jenis tanaman kayu-kayuan pada sistem ini : kelapa, karet,


cengkeh, kopi, kakao (coklat), nangka, melinjo, petai, jati, mahoni,
dadap, lamtoro dan kaliandra. Jenis tanaman semusim biasanya
berkisar pada tanaman pangan yaitu padi (gogo), jagung, kedelai,
kacang-kacangan, ubi kayu, sayur-sayuran dan rerumputan atau jenis-
jenis tanaman lainnya.

Gambar 1. Contoh Ilustrasi Agroforestri Sederhana

2. Agroforestri kompleks adalah suatu sistem pertanian kehutanan


menetap yang melibatkan banyak jenis tanaman kayu-kayuan (berbasis
pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada
sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan
ekosistem menyerupai hutan. Ciri utama dari sistem agroforestri
kompleks adalah kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya yang
mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan
sekunder.
9

Gambar 2. Contoh Ilustrasi Agroforestri Kompleks

Beberapa tujuan dari penyelenggaraan kegiatan agroforestri adalah sebagai


berikut :

1. Memaksimalkan penggunaan energi matahari dan mengoptimalkan


efisiensi penggunaan tanah dan air;
2. Meminimalkan hilangnya unsur hara sehingga memulihkan kesuburan
tanah;
3. Meminimalkan run-off (aliran permukaan) sehingga dapat melindungi
tanah dari erosi dan berperan dalam pengawetan tanah;
4. Sebagai sumber pangan, sandang, serat, bahan bangunan, makanan
ternak dan produksi lainnya.

B. Peran dan Fungsi Agroforestri

Peran utama agroforestri dalam fungsi memulihkan dan mempertahankan


kesuburan tanah, diperoleh melalui 4 (empat) mekanisme, yaitu :

1. Mempertahankan kandungan bahan organik tanah;


2. Mengurangi kehilangan hara ke lapisan bawah tanah;
3. Menambah N dari hasil penambatan N bebas di udara;
4. Memperbaiki sifat fisik tanah.

Fungsi agroforestri adalah :

1. memelihara sifat fisik dan kesuburan tanah,


2. mempertahankan fungsi hidrologi,
3. mempertahankan cadangan karbon,
4. mengurangi emisi gas rumah kaca, dan
5. mempertahankan keanekaragaman hayati.
10

C. Manfaat Agroforestri

Agroforestri memberikan manfaat antara lain :

1. Manfaat ekonomi : meningkatkan produktivitas lahan, menyediakan


lapangan kerja, menjamin kebutuhan pangan, diversifikasi produk, dan
meningkatkan kualitas hidup pedesaan dengan tetap menjaga struktur
tradisional dan memelihara nilai-nilai budaya.

2. Manfaat ekologi : mendukung konservasi tanah dan air melalui interaksi


berbagai komponen penyusun sistem agroforestri, pencegahan erosi
dan degradasi lahan, serta perlindungan terhadap keragaman hayati.

3. Manfaat sosial : meningkatkan kemandirian masyarakat, kesejahteraan


masyarakat dan ketahanan sosialmelalui berbagai manfaat agroforestri,
baik langsung maupun tidak langsung.
11
Gambar 3. Skema Konsep Agroforestri
KEHUTANAN PERTANIAN

Reboisasi, Tanaman semusim,


Pembangunan Hutan, Tanaman HMT (Hijau
Pengelolaan alam, Makanan Ternak),
dll. Ternak,
dll.

KONDISI/PERMASALAHAN
Keterbatasan kebutuhan Modal kecil, tenaga kerja
hidup jangka pendek dan banyak tersedia
jangka panjang
Masalah kepemilikan
Pertanian
tanah
subsistens
Kerusakan tanah
Keterbatasan pakan ternak, kayu bakar,
kayu perkakas

Solusi
AGROFORESTRI
(dinomori)

SOLUSI/PEMECAHAN MASALAH

Penanaman pohon untuk


Kebun kayu jenis MPTS perbaikan kondisi tanah

Agroforestri pada buffer zone


Tanaman kayu-kayuan pada lahan pertanian
misalnya pada tanaman teras, kelompok tanaman Sistem terpadu dengan tanaman non-kehutanan
kayu bakar, dan tanaman pembatas lahan misalnya kebun, sistem pertanaman pertanian, dll
12

BAB III
KLASIFIKASI AGROFORESTRI

Dalam penerapan sistem agroforestri, beberapa klasifikasi sistem agroforestri


yang dapat digunakan sebagai acuan adalah sebagai berikut:

A. Klasifikasi Berdasarkan Komponen Penyusun

1. Agrosilvikultur : penggunaan/pemanfaatan lahan secara terpadu


melalui kombinasi tanaman kehutanan (tegakan/tanaman kayu-
kayuan/tanaman HHBK) dengan tanaman pertanian dan/atau
perkebunan. Pohon yang ditanam pada sistem ini biasanya adalah
multipurpose trees (MPTS/pohon serbaguna) atau pohon dengan fungsi
lindung pada lahan pertanian.

Gambar 4. Contoh Agrisilvikultur

2. Silvopastura (wanahijauan pakan ternak): penggunaan/pemanfaatan


lahan secara terpadu melalui kombinasi tanaman kehutanan
(tegakan/tanaman kayu-kayuan/tanaman HHBK) dengan kegiatan
peternakan. Khusus silvopastura di lokasi hutan lindung, dibatasi
hanya untuk penyediaan pakan ternak.
13

Gambar 5. Contoh Silvopastura

3. Agrosilvopastura : penggunaan/pemanfaatan lahan secara terpadu


melalui kombinasi tanaman kehutanan (tegakan/tanaman kayu-
kayuan/tanaman HHBK) dengan tanaman pertanian/perkebunan, dan
kegiatan peternakan. Khusus agrosilvopastura di lokasi hutan lindung,
dibatasi hanya untuk penyediaan pakan ternak.

4. Silvofisheri (wanamina): penggunaan/pemanfaatan lahan secara


terpadu melalui kombinasi tanaman kehutanan (tegakan/tanaman
kayu-kayuan/tanaman HHBK) dengan kegiatan perikanan.

Gambar 6. Contoh Silvofisheri

5. Apikultur : penggunaan/pemanfaatan lahan secara terpadu melalui


kombinasi tanaman kehutanan (tegakan/tanaman kayu-
kayuan/tanaman HHBK) dengan budidaya lebah.

Gambar 7. Contoh Apikultur


14

6. Wanafarma : penggunaan/pemanfaatan lahan secara terpadu melalui


kombinasi tanaman kehutanan (tegakan/tanaman kayu-
kayuan/tanaman HHBK) dengan tanaman obat-obatan (farma).

Gambar 8. Contoh Wanafarma Sengon dengan Kunyit

Gambar 9. Komponen Agroforestri

Keterangan :
A : Pertanian AP : Agropastura (unsur kehutanan
tidak ada)
S : Kehutanan SP : Silvopastura
P : Peternakan ASP :Agrosilvopastura
AS : Agrosilvikultur
15

B. Klasifikasi Berdasarkan Orientasi Ekonomi

Berdasarkan orientasi ekonomi, sistem agroforestri dapat dibedakan


menjadi :
1. Skala subsisten : dikembangkan oleh pemilik lahan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari, terutama untuk kebutuhan pangan, bahan
mentah pertanian, bahkan ritual tradisional (contoh : pohon pinang
untuk masyarakat Dayak).
Ciri-cirinya :
a) lahan terbatasdengan luas < 1 Ha,
b) jenis yang diusahakan banyak,
c) jenis yang dibudidayakan biasanya jenis-jenis lokal non komersial,
d) penanaman tidak teratur, dan
e) pemeliharaan tidak intensif.

Gambar 10. Contoh Agroforestri skala Sub-Sisten

2. Skala semi-komersial (untuk lahan seluas 1 - 5 Ha) : dikembangkan


pada wilayah dengan kondisi masyarakat yang memiliki motivasi
ekonomi tinggi, ingin meningkatkan produktivitas lahan dan kualitas
hasil panen, akan tetapi investasi yang dimiliki terbatas, dan jangkauan
pemasaran sempit.

Gambar 11. Contoh Agroforestri skala Semi-Komersial


16

3. Skala komersial
Ciri-ciri dari agroforestri skala ini adalah :
a) luas lahan > 5 Ha;
b) komposisi terdiri atas 2-3 kombinasi tanaman, salah satunya
merupakan komoditi utama, sedangkan jenis lain hanya sebagai
pendukung,
c) dikembangkan pada skala luas (investasi besar), dan menggunakan
input teknologi yang memadai,
d) penanganan pasca panen dan pemasaran yang jelas, dan
e) manajemen professional.
Agroforestri skala komersial dapat diterapkan pada wilayah Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH). Pada skala komersial, komposisi tanaman
agroforestri diatur sesuai jarak dan strukturnya sehingga pengaturan
panen dapat dilakukan secara bergilir. Selain itu, pengaturan jarak
dan ruang juga berguna untuk efektivitas dan efisiensi pengelolaan
serta maksimalisasi nilai ekonomi. Dengan demikian unsur kelestarian
hutan dan kontinuitas suplai dapat terjamin yang merupakan syarat
untuk keberlanjutan pemasaran. Pola yang dapat diterapkan pada
skala ini bisa berupa pola mosaik (sesuaikan dengan pengertian) atau
pola-pola lain sesuai dengan kebutuhan produksi.

Gambar 12. Contoh Agroforestri skala Komersial

C. Klasifikasi Berdasarkan Produksi

1. Kehutanan : produk utama dari sistem agroforestri berupa produk


kehutanan.

Gambar 13. Contoh Agroforestri berbasis Produksi Kehutanan


17

2. Pertanian/Perkebunan :produksi utama dari sistem agroforestri berupa


tanaman semusim/pertanian/perkebunan.

Gambar 14. Contoh Agroforestri berbasis Produksi Pertanian

3. Peternakan : produk utama dari sistem agroforestri berupa hasil


peternakan.

Gambar 15. Contoh Agroforestri berbasis Produksi Peternakan


D. Klasifikasi Berdasarkan Produksi Hasil Hutan

1. Hasil Hutan Kayu (HHK) : produk hasil hutan yang dimanfaatkan oleh
petani/pengelola lahan agroforestri berupa hasil hutan kayu.

Gambar 16. Contoh Agroforestri untuk Produksi Hasil Hutan berupa Kayu
18

2. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) : produk hasil hutan yang


dimanfaatkan oleh petani/pengelola lahan agroforestri berupa Hasil
Hutan Bukan Kayu (HHBK), seperti getah, kulit kayu, bunga, buah, biji,
dan lain-lain.

Gambar 17. Contoh Agroforestri untuk Produksi HHBK

3. Jasa Lingkungan : produk hasil hutan yang dimanfaatkan oleh


petani/pengelola lahan agroforestri berupa jasa lingkungan, seperti
penahan erosi, peneduh, penyimpan karbon, penyimpan air, dan lain-
lain.

Gambar 18. Contoh Agroforestri untuk Penahan Erosi


19

E. Klasifikasi Berdasarkan Produksi Kayu

1. Perkakas : kayu yang dihasilkan ditujukan untuk keperluan pembuatan


perkakas.
2. Pulp dan kertas : kayu yang dihasilkan ditujukan untuk keperluan
pembuatan pulp dan kertas.
3. Energi : kayu yang dihasilkan ditujukan untuk keperluan energi.
F. Klasifikasi Berdasarkan Lingkup Manajemen
Berdasarkan lingkup manajemennya, agroforestri dibedakan menjadi :
1. Tingkat tapak : dilakukan pada lahan-lahan milik perorangan (petani)
atau milik badan hukum (perusahaan). Agroforestri pada tingkat tapak
menitikberatkan pada optimalisasi kombinasi melalui simulasi dan
manipulasi jenis tanaman/hewan dan seringkali pada skala lahan yang
relatif terbatas (rata-rata 0,25 ha). Pemahaman terhadap karakter jenis
penyusun sistem dan fungsinya dalam interaksi antar komponen
menjadi kunci keberhasilan agroforestri pada tingkat ini.

Gambar 19. Contoh Agroforestri pada Tingkat Tapak

2. Tingkat bentang lahan :


Agroforestri pada tingkat bentang lahan di dalam lingkup kehutanan
sering diistilahkan dengan “Sistem Hutan Kerakyatan” (Community
based forest management). Agroforestri pada tingkat ini tidak hanya
kombinasi dua atau lebih elemen pemanfaatan lahan, akan tetapi juga
mampu mengakomodir kepentingan berbagai sektor terutama
kehutanan dan pertanian dan bersifat kooperatif, kolaboratif, dan
koordinatif. Contoh : Tane’ Olen di Malinau.
20

Gambar 20. Contoh Agroforestri pada Tingkat Bentang


Lahan
G. Klasifikasi Berdasarkan Zona Agroekologi

Pengembangan sistem agroforestri dapat didasarkan pada kondisi ekologi


setempat dan dibagi menjadi :
1. Agroforestri pada zona monsoon
Dicirikan oleh batas yang jelas antara musim penghujan dan musim
kering. Di Indonesia wilayah ini relatif lebih subur dibanding dengan
wilayah tropis lembab, padat penduduk, dan kekurangan lahan
(contoh: Jawa).

Gambar 21. Contoh Agroforestri pada Zona Monsoon

Lahan
2. Agroforestri pada zona tropis lembab
Karakter biofisik yang mencirikan wilayah ini adalah curah hujan dan
kelembaban yang tinggi, topografi berbukit-bukit, dengan tanah yang
didominasi oleh jenis podsolik merah kuning yang memiliki tingkat
kesuburan rendah. Wilayah Indonesia yang termasuk di dalam zona ini
adalah Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Agroforestri yang
diterapkan pada zona ini biasanya menyerupai perladangan yang
strukturnya meniru hutan alam yang tersusun dari tanaman kayu-
kayuan, jenis flora dan fauna endemik yang belum banyak
dibudidayakan secara luas.
21

Gambar 22. Contoh Agroforestri pada Zona Tropis Lembab

3. Agroforestri pada zona kering Lahan

Wilayah yang mencakup Provinsi Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara


Barat, sebagian Bali dan Jawa Timur, sebagian Sulawesi
Selatan/Tenggara, dan sebagian Papua bagian selatan dicirikan oleh
perbedaan musim penghujan dan musim kemarau yang sangat
mencolok. Jumlah bulan basah hanya 3-4 bulan, sedangkan musim
kemarau berlangsung selama 7-8 bulan.Keseimbangan air pada wilayah
ini sangat membutuhkan penerapan pola dan jenis tanaman yang
mampu mengakomodir permasalahan tersebut. Tanaman pangan
diusahakan pada musim hujan, atau pada musim kemarau dimana
saluran irigasi tersedia, dan pada musim kemarau biasanya para petani
mengusahakan pemeliharaan ternak, sehingga pemilihan jenis
tanaman sebagai pakan ternak sangat sesuai untuk zona ini.Selain itu
jenis tanaman yang memiliki fungsi untuk mencegah erosi, peneduh,
dan bernilai ekonomi juga sangat sesuai untuk zona ini.

Gambar 23. Contoh Agroforestri pada Zona Kering Lahan

4. Agroforestri pada zona wilayah pesisir dan kepulauan

Ciri utama pada zona ini adalah lahan terbatas dengan kemiringan
yang tinggi, berbatu, berpasir, serta sangat rentan terhadap erosi dan
longsoran atau pergerakan tanah jika terjadi hujan lebat, apalagi jika
penutupan lahan sangat kurang. Konservasi tanah, pemeliharaan
22

ternak, dan pengembangan tanaman kelapa di kawasan pantai menjadi


ciri utama penanganan ekosistem pertanian dan upaya memperoleh
pendapatan.

Tanaman kelapa dapat dikombinasikan dengan tanaman perkebunan


seperti coklat, cengkeh, dan vanili tergantung pada tingkat curah hujan
atau dapat dipadukan dengan pisang dan ubi-ubian sebagai sumber
pangan masyarakat pantai tradisional. Di dataran rendah pada zona ini
sangat tergantung pada ada tidaknya kawasan alluvial untuk
pengembangan agroforestri. Pengembangan silvofisheri sangat potensial
di zona ini dengan memadukan tanaman bakau (Rhizopora sp) yang
digunakan sebagai penguatan tambak dengan kepiting dan ikan. Pada
beberapa kawasan pantai juga dapat dikembangkan pula jambu mete
atau cengkeh. Perpaduan antara tanaman ini dengan tanaman pangan
lain sangat memungkinkan di tahap awal.

Gambar 24. Contoh Agroforestri pada Zona Pesisir dan Kepulauan


5. Agroforestri pada zona pegunungan
Iklim pada zona ini lebih dingin dan basah. Agroforestri pada zona ini
biasanya terkait dengan pengembangan hortikultura seperti sayuran
dan buah-buahan. Berbeda dengan dataran rendah, jenis ternak pada
kawasan pegunungan sangat terbatas. Agroforestri yang dapat
dikembangkan pada zona ini adalah kombinasi antara tanaman buah-
buahan (kayu-kayuan dan atau non-kayu) dengan sayuran atau
tanaman pangan. Tidak jarang beberapa pohon kayu-kayuan juga
dijumpai pada zona ini dan menjadi bagian dari sistem agroforestri.
Contoh : penanaman strawberry, tembakau, kubis sebagai tanaman
sela yang dikombinasikan dengan kelengkeng, kopi arabica, albasia,
suren, atau jeruk keprok sebagai tanaman kerasnya.
23

Gambar 25. Contoh Agroforestri pada Zona Pegunungan


Kepulauan
Lahan
24

BAB IV

POLA AGROFORESTRI

Di dalam pengembangan sistem agroforestri, desain pola kombinasi antara


tanaman semusim, tanaman kayu-kayuan, dan atau peternakan harus
memenuhi beberapa kriteria, yaitu :

1. Produktivitas : meliputi berbagai cara dengan tujuan untuk meningkatkan


produktivitas lahan, yaitu mengelola panen tanaman semusim melalui
kombinasi tanaman yang tepat dan sesuai, mengurangi input dalam
budidaya tanaman pertanian, efisiensi tenaga kerja, diversifikasi
hasil/produk, dan memenuhi kebutuhan dasar pemilik lahan.
2. Sustainabilitas : kesinambungan sistem produksi mendukung upaya
pelestarian lingkungan/konservasi dan meningkatkan motivasi petani
untuk kepentingan jangka panjang.
3. Adoptabilitas : teknologi yang diterapkan di dalam sistem agroforestri
harus sesuai dengan karakter sosial, budaya, dan kondisi lingkungan
setempat.
Adapun pola-pola kombinasi yang dapat diterapkan dalam pengembangan
agroforestri adalah sebagai berikut :

A. Pola menurut waktu

Kombinasi secara tata waktu dimaksudkan sebagai durasi interaksi antar


komponen pertanian, kehutanan dan atau peternakan. Pola ini terbagi atas
beberapa kombinasi, yaitu :

1. Co-incident : kombinasi tanaman yang dilakukan selama budidaya


jenis/komponen agroforestri.
2. Concomitant : kombinasi yang hanya dilakukan di awal atau akhir
budidaya suatu jenis/komponen agroforestri.
3. Intermittent : kombinasi yang dilakukan pada masa budidaya, tetapi
bersifat musiman.
4. Overlapping : kombinasi bergantian yang tumpang tindih antara akhir
dan awal dari dua atau lebih jenis/komponen agroforestri.
5. Interpolated : kombinasi tersisip pada jangka waktu budidaya
jenis/komponen agroforestri.
6. Separate : kombinasi yang memanfaatkan masa bero/istirahat.
25

Susunan Ilustrasi Contoh


Waktu
Tanaman kopi dengan naungan,
COINCIDENT ..........................................
Peternakan di bawah pohon2an
Tumpangsari
CONCOMITANT ................
Tan. semusim di bawah kelapa,
INTERMITTENT ..... ...... ...... ..... ..... Penggembalaan musiman di
(dominan ruang)
bawah tegakan
INTERPOLATED
....... ....... ....... .......
(dominan ruang & Kebun/pekarangan
waktu) .......... .........

OVERLAPPING ______________________________
Tanaman lada dengan karet
___________________________________

___________.................... Pemanfaatan lahan bero bekas


SEPARATE
perladangan berpindah
(dominan waktu)

waktu
----------------------------->
Gambar 26. Ilustrasi Pola Kombinasi Agroforestri Menurut Waktu

Keterangan :
: tanaman kayu-kayuan
: tanaman semusim

B. Pola menurut tata ruang

Pola kombinasi didasarkan tata ruang dapat dibedakan secara horizontal


dan vertikal.
1. Secara horizontal
Pada pola tata ruang secara horizontal secara umum, pola kombinasi
agroforestri dapat dibedakan menjadi :
1.1. Sistem jalur berselang : pohon-pohon tumbuh merata
berdampingan dengan tanaman pertanian.

Tanaman kayu-kayuan

Tanaman semusim

Gambar 27. Ilustrasi Penanaman dengan Pola Jalur


Berselang
26

1.2. Pepohonan (tanaman kayu-kayuan) dan tanaman pertanian


ditanam dalam bentuk jalur/lorong. Fungsi utama pohon adalah
sebagai pelindung bagi tanaman pertanian yang ada

Tanaman kayu-
kayuan

Tanaman semusim

Gambar 28. Ilustrasi Penanaman dengan Pola Jalur/Lorong

1.3. Pohon atau tanaman kayu-kayuan ditanam di sekeliling petak


atau pada sisi-sisi petak (bentuk kotak). Bentuk ini sesuai
diaplikasikan untuk kepemilikan lahan yang sempit.

Tanaman kayu-kayuan

Tanaman semusim

Gambar 29. Ilustrasi Penanaman dengan Pola Kotak

1.4. Tegakan pohon atau perdu tumbuh tersebar secara tidak merata
pada lahan pertanian. Tidak ada model yang sistematis (acak atau
random).

Tanaman kayu-kayuan
Tanaman semusim

Gambar 30. Ilustrasi Penanaman dengan Pola Random/Acak


27

1.5. Pola mosaik yaitu pola yang menempatkan kelompok/cluster


tanaman semusimdan kelompok/cluster tanaman kayu-kayuan
luasan tertentu yangdiatur sesuai ruang dan waktu untuk
kepentingan efisiensi dan efektivitas manfaat secara ekonomi.Pola
mosaik dapat diterapkan di dalam kawasan hutan (KPH), sehingga
pengaturan tanaman semusim pada pola ini dapat mengurangi
eksploitasi terhadap kawasan hutan. Oleh karena itu, disarankan
agar pengaturan plot tanaman semusim dilakukan di tepi-tepi
kawasan hutan,dengan demikian, proses panen terhadap
tanaman semusim dapat dilakukan secara efektif dan efisien
tanpa merusak tanaman hutan.

Tanaman kayu-
kayuan

Tanaman semusim

Gambar 31. Ilustrasi Penanaman dengan Pola Mosaik

2. Secara vertikal
Penyebaran secara vertikal merupakan struktur kombinasi komponen
penyusun agroforestri berdasarkan kenampakan samping atau
penampang melintang, sehingga bukan hanya strata kombinasi yang
terlihat namun kemerataan/distribusi masing-masing jenis.
Penyebaran secara vertikal terbagi atas
2.1. Merata dengan beberapa strata dimana komponen kehutanan dan
pertanian tersebar pada sebidang lahan dengan strata yang
sistematis.
2.2. Tidak merata dimana komponen kehutanan dan pertanian
tersusun dalam strata yang tidak beraturan (acak/random) pada
sebidang lahan.

Gambar 32. Contoh Agroforestri dengan Sebaran Merata


28

Gambar 33. Contoh Agroforestri dengan Sebaran Tidak Merata


29

BAB V

PERENCANAAN

A. Sasaran Lokasi

Sasaran lokasi agroforestri meliputi:

1. Ruang tumbuh pada blok pemanfaatan pada hutan lindung

a. Prinsip Agroforestri
1) Optimalisasi pemanfaatan ruang tumbuh dan efisiensi
penggunaan tanah dan air.
2) Tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi
utamanya.
3) Pengelolaan tanah terbatas.
4) Tidak melakukan penebangan pohon dalam penyiapan lahan;
5) Tidak menimbulkan dampak negative terhadap biofisik dan
sosial ekonomi;
6) Tidak menggunakan peralataan mekanis dan alat berat;
7) Tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah
bentang alam.

b. Lokasi Agroforestri
1) Ruang tumbuh pada blok pemanfaatan pada hutan lindung;
2) Areal yang saat ini dimanfaatkan masyarakat untuk kegiatan
pertanian/perkebunan/perikanan yang berada di hutan
lindung;
3) Areal bekas perambahan, areal tidak berhutan/tidak produktif,
areal yang tidak sesuai dengan peruntukannya.

2. Ruang tumbuh di luar kawasan hutan dan/atau lahan milik masyarakat


yang dapat dikembangkan untuk kegiatan budidaya pertanian,
kehutanan, dan atau peternakan

a. Prinsip Agroforestri
1) Optimalisasi pemanfaatan ruang tumbuh dan efisiensi
penggunaan tanah dan air.
2) Tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi
utamanya.
3) Tidak menimbulkan dampak negative terhadap biofisik dan
sosial ekonomi.
4) Tidak mengubah bentang alam.
30

b. Lokasi Agroforestri

1) Lahan milik masyarakat;


2) Lahan milik yang pengelolaannya diserahkan kepada pihak
lain/petani penggarap, maka penyelenggaraan agroforestri di
dalam lahan tersebut harus dilengkapi dengan surat kuasa dari
pemilik lahan yang ditujukan kepada petani penggarap bahwa
pada lahan tersebut diperbolehkan untuk dikelola dengan
sistem agroforestri;
3) Lahan milik badan usaha, tanah desa, tanah marga/adat;
4) Lahan terlantar atau lahan HGU yang tidak dalam kondisi
sengketa.

B. Prakondisi Masyarakat

Prakondisi masyarakat dimaksudkan untuk mensosialisasikan agroforestri


yang akan dilaksanakan dan menjaring dukungan dari seluruh pihak
terkait. Pada fase prakondisi masyarakat dapat dihimpun jenis-jenis
tanaman (kayu-kayuan dan semusim) yang diinginkan oleh masyarakat,
sehingga manfaat yang diperoleh dapat semaksimal mungkin.

Prakondisi masyarakat terdiri atas kegiatan:

1. Sosialisasi: merupakan kegiatan yang bertujuan untuk


menyebarluaskan informasi tentang program-program pemerintah
terkait dengan penyelenggaraan agroforestri;

2. Penyuluhan: merupakan kegiatan yang bertujuan untuk memberikan


pengetahuan dan pemahaman tentang teknis penyelenggaraan
agroforestri, termasuk tentang teknik penanaman dan pemeliharaan
tanaman agroforestri;

3. Pendampingan: merupakan kegiatan yang bertujuan untuk membantu


kelompok tani/masyarakat dalam menghadapi dan menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang terjadi selama pelaksanaan
agroforestri.
Pelaksana prakondisi masyarakat dapat berasal dari penyuluh kehutanan,
petugas teknis, atau tenaga lain yang ditunjuk oleh pejabat yang
berwenang.

Gambar 34. Contoh Ilustrasi Prakondisi Masyarakat


31

C. Pemilihan Jenis Tanaman

Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan jenis tanaman


agroforestri:

1. Tujuan penanaman;
2. Jenis HHBK potensial dan/atau unggulan lokal;
3. Kondisi agroklimat setempat;
4. Kultur budaya dan sosial ekonomi masyarakat setempat;

Adapun jenis tanaman kayu-kayuan yang dapat dipilih untuk tanaman


agroforestri sebagai berikut:

1. Penghasil hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu;


2. Jenis potensial dan/atau unggulan lokal;
3. Mudah beradaptasi dengan agroklimat setempat;
4. Memiliki nilai ekonomi tinggi;
5. Mampu berinteraksi positif dengan komponen penyusun lainnya
(pertanian, kehutanan, dan atau peternakan);
6. Memperbaiki siklus hidrologis;
7. Tahan terhadap hama dan penyakit;
8. Tahan terhadap kekeringan dan tekanan iklim lainnya;
9. Low input atau tidak membutuhkan biaya besar dan waktu yang lama
dalam pengelolaannya.

Alternatif tanaman yang dapat diaplikasikan pada pola agroforestri tersaji


pada Tabel 1.
32

Tabel 1. Contoh Alternatif Tanaman yang dapat Diaplikasikan pada Pola


Agroforestri

Jenis Tanaman
Zona
Semusim Industri/Perkebunan Hortikultura Kehutanan
Rendah 1. Kc. Tanah 1. Kelapa 1. Jeruk
Elevasi : 0-500 2. Jagung 2. Mlinjo 2. Mangga Semua jenis
mdpl 3. Kedelai 3. Kapuk 3. Pepaya tanaman kayu-
Iklim : B,C,D 4. Kc. Hijau 4. Kemiri 4. Alpukat kayuan
5. Ubi Jalar 5. Kopi 5. Pisang kehutanan
6. Ubi Kayu 6. Kelengkeng yang sesuai
7. Durian dengan
8. Petai agroklimatnya
9. Tomat
10. Cabai
11. Kunyit
12. Jahe, dll
Sedang 1. Ubi Kayu 1. Cengkeh 1. Jeruk 1. Albizia
Elevasi >500- 2. Ubi Jalar 2. Kopi 2. Apel 2. Pinus
1000 mdpl 3. Ubi Kayu 3. Coklat 3. Kelengkeng 3. Kaliandra
Iklim : B,C,D 4. Kc. Tanah 4. Mlinjo 4. Pepaya 4. Khusus di
5. Kc. Hijau 5. Kapuk 5. Alpukat hutan
6. Kemiri 6. Durian lindung
7. Nanas jenis
8. Tomat tanaman
9. Kentang kayu-
10. Kunyit kayuan
11. Jahe kehutanan
12. Cabai, dll adalah
Atas 1. Jagung 1. Kopi 1. Jeruk penghasil
Elevasi : 2. Coklat 2. Apel HHBK
>1000-1500 3. Alpukat
mdpl 4. Kentang
Iklim : A,B,C,D 5. Tomat,dll
Tinggi 1. Jagung 1. Timun
Elevasi : Belanda
>1500 mdpl 2. Carica
Iklim : B,C,D 3. Kentang
4. Bawang
daun, dll

D. Penyusunan Rancangan Kegiatan

Rancangan kegiatan agroforestri merupakan desain teknis kegiatan yang


memuat informasi detail mengenai jenis dan lokasi kegiatan, peta, rincian
kebutuhan bahan dan tenaga, rincian kebutuhan biaya, dan gambar, yang
disajikan dalam satu buku rancangan.

Prosedur teknis dalam penyusunan rancangan kegiatan (khusus untuk


agroforestri yang dibiayai oleh APBN/APBD) meliputi :
33

1. Pembentukan Tim Penyusun

Untuk kegiatan yang dibiayai oleh APBN/APBD maka tim penyusun


rancangan kegiatan dibentuk oleh satuan kerja pelaksana kegiatan
yang dapat terdiri dari UPT lingkup Direktorat Jenderal PDASHL
serta Dinas Provinsi.

2. Penyiapan bahan-bahan

Bahan-bahan yang diperlukan untuk penyusunan rancangan


kegiatan adalah :

a. Peta-peta
Peta yang diperlukan dalam penyusunan rancangan berupa peta
liputan lahan dan peta dari RTkRHL DAS.
b. Tally Sheet
Tally sheet disiapkan untuk membantu pemetaan dan identifikasi
kondisi fisik lapangan serta sosial-kelembagaan calon lokasi
kegiatan RHL.
c. Peralatan pemetaan lapangan
Peralatan standar pemetaan berupa GPS, kompas, dan meteran
serta alat fotografi untuk proses dokumentasi kegiatan pemetaan.
3. Identifikasi Lokasi

Proses identifikasi lokasi dilakukan melalui dua tahap, yaitu :

a. Orientasi Peta
Identifikasi calon lokasi penanaman kegiatan agroforestri melalui
peta merupakan langkah awal yang sangat penting, karena
dengan identifikasi peta yang baik maka pekerjaan penyusunan
rancangan kegiatan selanjutnya akan menjadi sangat efisien.Peta
yang digunakan adalah peta RTkRHL DAS/ RPRHL.

b. Orientasi Lapangan
Hasil identifikasi peta dijadikan bahan untuk melakukan orientasi
lokasi langsung di lapangan dengan menggunakan peralatan
pemetaan standar yaitu GPS, kompas, dan meteran. Pekerjaan ini
dalam praktiknya dapat dilakukan bersamaan dengan identifikasi
lapangan. Orientasi lapangan dilakukan untuk mengetahui
kondisi penutupan lahan dan menentukan batas-batas terluar
calon lokasi kegiatan agroforestri, serta kondisi topografi dan
aksesibilitas.
34

4. Identifikasi tegakan awal

Identifikasi tegakan awal dilakukan dalam rangka memperoleh data


jumlah tegakan per hektar yang dilakukan dengan metode remote
sensing atau terestris.
a. Metode remote sensing
Metode yang digunakan adalah metode digital klasifikasi citra
satelit.
b. Terestris
Identifikasi tegakan awal ini menggunakan pedoman inventarisasi
tegakan yang berlaku dengan metode sampling.
5. Identifikasi lapangan dan pemetaan

Identifikasi lapangan dilakukan untuk mengumpulkan data biofisik


dan sosial ekonomi, kelompok tani/masyarakat pelaksana,
ketersediaan bahan-bahan, dan data-data pendukung lainnya.

6. Pengolahan data

Data hasil identifikasi lapangan dan pemetaan lokasi diolah dan


dianalisis untuk menghitung kebutuhan bahan dan upah,
menentukan pola tanam serta membuat peta poligon tertutup
termasuk gambar konstruksi untuk bangunan pendukung kegiatan
agroforestri.

7. Penyusunan naskah rancangan kegiatan

Naskah rancangan kegiatan berisi informasi sebagai berikut :

a. Lokasi kegiatan :

Informasi lokasi kegiatan agroforestri terdiri atas :

1) Kampung/blok/petak, desa, kecamatan, kabupaten/kota,


provinsi, KPH, DAS;

2) Identitas kelompok tani/masyarakat pelaksana (nama dan


alamat kelompok tani);

3) Kondisi biofisik dan sosial ekonomi kelompok


tani/masyarakat.

b. Peta situasi dan lokasi


Peta yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan agroforestri
meliputi :
1) Peta situasi dengan skala 1 : 25.000 s/d 1: 50.000 yang
menunjukkan posisi geografis lokasi agroforestri terhadap
wilayah administrasi/KPH sekitarnya.
35

2) Peta lokasi kegiatan agroforestri pada lahan hamparan yang


kompak adalah peta poligon tertutup lokasi tanaman yang
diukur menggunakan GPS atau theodolite atau alat-alat
pemetaan lain dengan skala 1 : 1.000 s/d 1:5.000. Peta
lokasi kegiatan dilengkapi dengan titik koordinat.

c. Gambar pola tanam

Rancangan kegiatan dilengkapi dengan gambar/sket pola tanam


berupa sebaran/letak jenis dan jarak tanam.

d. Gambar papan nama

Informasi yang dimuat dalam papan nama meliputi jenis kegiatan,


lokasi dan luas, jenis dan jumlah tanaman, serta tahun tanam.
Untuk satu lokasi dibuat 1 (satu) papan nama.

e. Rincian kebutuhan bahan dan tenaga

Analisis kebutuhan bahan dilakukan berdasarkan kondisi riil


lapangan dengan diupayakan menggunakan jenis-jenis bahan
lokal setempat, sedangkan kebutuhan tenaga kerja dihitung
sesuai standar kemampuan kerja masyarakat setempat.

f. Rincian kebutuhan biaya

Analisis kebutuhan biaya kegiatan agroforestri dihitung sesuai


standar harga setempat.

g. Rencana tata waktu

Tata waktu disusun berdasarkan analisis kebutuhan waktu dalam


melaksanakan persiapan lapangan, persiapan bahan, tenaga dan
peralatan, penyiapan bibit bambu atau pengadaan bibit,
penanaman (pemasangan ajir, pembuatan lubang tanam dan lain-
lain) dan pemeliharaan ( penyiangan, pendangiran, penyulaman,
pemupukan dan lain-lain).

h. Lembar pengesahan

Lembar pengesahan berisi informasi penyusun, penilai dan


pengesah buku rancangan kegiatan agroforestri.

Tabel rencana kebutuhan kelompok tani atau masyarakat seperti


tersaji pada Tabel 2. berikut :
36

Tabel 2. Rencana Kebutuhan Kelompok Tani/Masyarakat


Kelompok Tani : ............................. Musim tanam ke : .........................
Desa : ............................. Tahun ke : ..........................
Kecamatan : ............................. Pola Agroforestri : ..........................
Kabupaten : .............................

No Nama Anggota Luas Pemilik Upaya Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Keterangan
Kelompok Tani Kelompok Lahan Vegetatif Sipil Teknis
Garapan Tanaman Tanaman Tanaman Teras SPA Terjunan
(Ha) Kayu- Buah/MPTS Semusim
kayuan (Batang) (Batang) Jenis Ha Meter Buah
(Batang)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
37

BAB VI
PELAKSANAAN PENANAMAN DAN PEMELIHARAAN

A. Penyediaan Bibit

Penyediaan bibit meliputi pembuatan dan atau pengadaan bibit yang


dapat dilakukan oleh kelompok tani/masyarakat/badan usaha/
perusahaan/UPT lingkup Direktorat Jenderal PDASHL. Bibit yang
disediakan adalah bibit-bibit dengan jenis sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, kondisi agroklimat setempat, dan budaya lokal.

Pembibitan dalam kegiatan agroforestri harus memenuhi kaidah umum


pembibitan sebagai berikut:

1. Asal-usul bibit tanaman hutan :

Bibit berkualitas diperoleh dari benih berkualitas yang berasal dari


sumber benih bersertifikat yang diterbitkan oleh pejabat yang
berwenang. Sumber benih yang bersertifikat memiliki klasifikasi sebagai
berikut:
a. Tegakan benih teridentifikasi;
b. Tegakan benih terseleksi;
c. Areal produksi benih;
d. Tegakan benih provenans;
e. Kebun benih semai;
f. Kebun benih klon;
g. Kebun pangkas.

2. Kriteria dan Standar serta Sertifikasi Mutu Bibit

Kriteria dan standar mutu bibit ditetapkan berdasarkan beberapa


faktor, di antaranya kualitas, penanganan/perlakuan benih, teknik
pembibitan, dan tujuan penggunaannya. Mutu bibit dinyatakan dalam
bentuk sertifikat mutu bibit (berasal dari sumber benih bersertifikat)
dan surat keterangan mutu bibit (bukan berasal dari sumber benih
bersertifikat).

B. Penyiapan kelembagaan

Penyiapan kelembagaan masyarakat dilakukan antara lain dengan


kegiatan sebagai berikut:

1. Sosialisasi, penyuluhan, dan pelatihan;


2. Penyiapan lahan untuk lokasi kegiatan agroforestri;
3. Pertemuan-pertemuan kelompok tani/masyarakat;
4. Penyiapan administrasi kelompok tani/masyarakat;
5. Penyusunan perangkat aturan/kesepakatan internal kelompok
tani/masyarakat.
38

C. Penanaman

1. Persiapan penanaman
Persiapan penanaman dilaksanakan melalui tahapan, yaitu :
a. Penataan areal penanaman sesuai dengan pola agroforestri yang
akan diterapkan
Kegiatan penataan areal penanaman dilakukan dengan tahapan
sebagai berikut :
1) Pemancangan tanda batas dan pengukuran lapangan;
2) Penentuan arah larikan;
3) Penentuan tempat penampungan sementara bibit yang akan
ditanam.
b. Pembuatan sarana dan prasarana
Sarana dan prasarana yang dibangun untuk kelancaran kegiatan
agroforestri meliputi :
1) Pembuatan gubuk kerja dan papan pengenal di lapangan;
2) Pembuatan jalan inspeksi/setapak dan atau jembatan di dalam
lokasi agroforestri jika diperlukan.

2. Pelaksanaan Penanaman
Penanaman dilakukan pada awal musim penghujan dan pada lubang
tanam atau larikan yang telah disiapkan. Kegiatan penanaman
dilakukan sesuai dengan tipe agroforestri dan jenis-jenis tanaman yang
telah ditentukan.
a. Dari jenis tanaman yang dibudidayakan, kegiatan penanaman
dapat dibedakan menjadi:
1) Penanaman tanaman kayu-kayuan dan/atau MPTS
Lubang tanam yang telah dibuat sebaiknya ditambahkan
dengan kompos. Bibit tanaman ditanam pada lubang tanam
yang telah disiapkan secara hati-hati sebatas leher akar
kemudian diisi tanah gembur dan dipadatkan. Pada tanah
datar, bibit tanaman ditanam memanjang dari timur ke barat,
sedangkan pada lahan miring ditanam searah kontur.
Penanaman agroforestri di luar kawasan hutan dilakukan
dengan ketentuan:
a) Jumlah tanaman kayu-kayuan paling sedikit 400 batang/ha
untuk kawasan lindung;
b) Jumlah tanaman kayu-kayuan paling sedikit 300 batang/ha
untuk kawasan penyangga;
c) Jumlah tanaman kayu-kayuan paling sedikit 200 batang/ha
untuk kawasan budidaya.
39

Penanaman agroforestri di dalam hutan lindung dilakukan


pada blok pemanfaatan dengan ketentuan:
a) Tanaman kayu-kayuan kehutanan tersebar secara merata
dan penanaman mengikuti kontur.
b) Jumlah tanaman kayu-kayuan kehutanan pada tahun
ketiga minimal 400 batang/ha.
c) Jenis tanaman pertanian/perkebunan yang
dikembangkan adalah jenis tanaman/vegetasi permanen
yang produktif dan toleran terhadap naungan.
d) Pelaksanaan penanaman tanaman kayu-kayuan/pohon
pelindung, dilakukan 1 (satu) tahun sebelum tanaman
perkebunan dan atau tanaman semusim yang
dibudidayakan.
e) Pada silvopastura, hijauan makan ternak (HMT) yang
dikembangkan adalah jenis tanaman/vegetasi/rumput-
rumputan yang produktif dengan sistem perakaran rapat.
f) Pada silvofisheri, tanaman kayu-kayuan
kehutanan/mangrove adalah tanaman asli setempat
sesuai dengan habitatnya/zonasinya.
g) Pada silvofisheri komposisi tanaman kayu-kayuan
kehutanan/mangrove 60%, dan kolam/tambak ikan 40%.
Jenis tanaman kayu-kayuan kehutanan meliputi antara lain
tanaman pohon berkayu, MPTS, dan tanaman penghasil HHBK.

2) Penanaman tanaman pertanian/perkebunan


Penanaman tanaman tidak boleh ditanam dalam jarak <1 m
dari pangkal pohon atau di bawah proyeksi garis tepi tajuk
pohon. Adapun pola penanaman dilakukan sesuai kontur dan
disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan sosial setempat.
b. Tahapan penanaman
1) Pembersihan lapangan dari tanaman pengganggu. Khusus
untuk di hutan lindung, pembersihan lapangan cukup
dilakukan pembersihan pada piringan tanaman.
2) Pengolahan tanah berupa penggemburan dan pembuatan
bangunan konservasi tanah pada lahan miring. Pengolahan
lahan di hutan lindung dilakukan secara terbatas/tidak
intensif, dengan pengolahan tanah yang tidak merubah
struktur, komposisi, dan kepadatan tanah.
Pada daerah pegunungan atau lahan miring, penyiapan lahan
untuk penyelenggaraan kegiatan agroforestri disertai
40

dengan upaya konservasi tanah dan air yang pelaksanaannya


mengacu pada peraturan perundang-undangan.
3) Pembuatan lubang tanam
Kegiatan pembuatan lubang tanam dilakukan pada saat akan
menanam bibit dan dimaksudkan untuk menghilangkan gulma
pada gundukan atau titik tanam. Sedangkan lubang tanam
dibuat sesuai dengan ukuran bibit yang akan ditanam.
4) Pembuatan dan pemasangan ajir
Ajir dibuat dan dipasang sesuai dengan lubang tanam yang
telah dibuat sebagai patokan dan penyangga tanaman.
5) Pemberian pupuk dasar (pupuk kandang/bokasi)

D. Pemeliharaan

Pemeliharaan tanaman dalam sistem agroforestri dibedakan menjadi 2


(dua) yaitu :
1. Pemeliharaan tanaman kayu-kayuan

Pemeliharaan tanaman kayu-kayuan dalam sistem agroforestri perlu


dilakukan untuk meningkatkan kualitas kayu yang akan dihasilkan
pada akhir masa daur, sehingga bernilai ekonomi tinggi bagi pengelola
dan dapat memberikan manfaat ekologis yang optimal bagi lingkungan.

Khusus untuk di hutan lindung tidak ada penebangan tanaman kayu-


kayuan, kegiatan pemeliharaan tanaman kayu-kayuan adalah untuk
meningkatkan hasil buah, biji, daun, getah, kulit, dan hasil bukan
kayu lainnya, sehingga diperoleh produktivitas yang optimal dengan
tidak mengganggu fungsi pokoknya.

Kegiatan pemeliharaan tanaman kayu-kayuan dapat berupa :

a. Pemupukan sesuai dengan jenis tanaman dan kondisi tanah;

b. Penyulaman dilakukan apabila pohon yang telah ditanam banyak


yang mati.

c. Penyiangan dan pendangiran sekitar 2-3 kali setahun pada


tanaman yang mengganggu pertumbuhan pohon, baik tanaman
merambat maupun tanaman penutup tanah yang dapat
mengurangi penyerapan unsur hara;

d. Pemangkasan batang yang bertujuan untuk memperoleh batang


yang lurus dan tidak menghalangi masuknya cahaya matahari
yang dibutuhkan tanaman semusim maupun tanaman sela
lainnya;
41

e. Penjarangan dilakukan apabila tajuk pohon mengganggu


pertumbuhan baik pohon maupun tanaman semusim. Penjarangan
dilakukan secara hati-hati agar tidak merusak tanaman yang
berada di sekitarnya. Khusus di hutan lindung tidak ada kegiatan
penjarangan;

f. Pengamanan dilakukan untuk menghindari serangan binatang dan


mencegah dari bencana.

g. Perlindungan hama dan penyakit.

2. Pemeliharaan tanaman pertanian/perkebunan.


Pemeliharaan tanaman pertanian/perkebunan dilakukan untuk
mencapai produktivitas secara optimal. Pemeliharaan tersebut meliputi
antara lain:
a. Pemupukan sesuai jenis tanaman dan kondisi tanah, biasanya
pemupukan yang dilakukan untuk tanaman pertanian/perkebunan
sekaligus juga merupakan sumber unsur hara bagi tanaman kayu-
kayuan kehutanan; untuk tanaman obat-obatan pemupukan dapat
dilakukan seperlunya mengingat tidak semua jenis tanaman obat-
obatan membutuhkan pemupukan untuk pertumbuhannya.

b. Penyiangan sekitar 1 kali setahun tergantung pada jenis tanaman,


serta rumput dan gulma yang tumbuh di sekitar tanaman
semusim;

c. Perlindungan hama dan penyakit;

d. Setelah pemanenan tanaman pertanian/perkebunan, terutama


untuk tanaman dengan daur pendek (sayur, kacang-kacangan, dll),
maka tanah bekas dapat ditanami kembali dengan jenis yang lebih
beragam untuk memperkaya unsur hara dalam tanah.
42

BAB VII

PENGENDALIAN, PELAPORAN DAN SERAH TERIMA PEKERJAAN

A. Pengendalian

Kegiatan pengendalian yang dilakukan meliputi kegiatan pemantauan


(monitoring) dan evaluasi.

1. Pengendalian (monitoring) ditujukan untuk memantau (monitoring)


kemajuan pelaksanaan kegiatan agroforestri sesuai dengan rancangan
yang telah ditetapkan.

Kegiatan yang dipantau meliputi:

a. Penyusunan rancangan,
b. Persiapan lapangan,
c. Penanaman dan pemeliharaan.

2. Kegiatan evaluasi dimaksudkan untuk mengetahui dan menilai tingkat


keberhasilan agroforestri yang telah dilaksanakan. Adapun tujuannya
adalah teridentifikasinya kondisi fisik tanaman agroforestri sebagai
dasar pengelolaan lahan selanjutnya. Evaluasi yang dilakukan meliputi:

a. Pengukuran luas tanaman;

Pengukuran luas tanaman dilakukan dengan cara memetakan hasil


penanaman menggunakan GPS, theodolit, atau alat ukur lain. Hasil
pengukuran luas tanaman dituangkan dalam peta dengan skala 1 :
5.000 atau 1 : 10.000 dan dihitung luasnya (Tabel 3.);

b. Jumlah dan jenis tanaman kayu-kayuan, MPTS, dan penghasil HHBK


(Tabel 4.);
c. Perhitungan prosentase tumbuh tanaman kayu-kayuan, MPTS, dan
penghasil HHBK (Tabel 4.);
d. Jenis dan keberhasilan tanaman/kegiatan pertanian/perkebunan/
peternakan (Tabel 5.).
43

Tabel 3. Format Rekapitulasi Hasil Pengukuran Luas Tanaman pada setiap


Petak/Lokasi Tanam

Luas Tanaman
Blok/Petak/Unit
No Rencana (Ha) Realisasi
(Lokasi Tanam)
(Ha) %
1 2 3 4 5

Keterangan : Persen realisasi luas tanaman (%) = Hasil Pengukuran x 100%


Rencana
Tabel 4. Format Rekapitulasi Hasil Perhitungan Persentase Tumbuh Tanaman
Kayu-kayuan/MPTS/Penghasil HHBK.

Jumlah yang Jumlah yang Hidup Persentase


Blok/Petak/Unit Ditanam (%)
No
(Lokasi Tanam) Jenis Jumlah Jenis Jumlah
(Batang) (Batang)
1 2 3 4 5 6 7

Keterangan : Persen tumbuh tanaman (%) = Tanaman Hidup x 100%


Yang ditanam
Tabel 5. Format Rekapitulasi Jenis dan Keberhasilan Tanaman/Kegiatan
Pertanian/Perkebunan/Peternakan

Jenis Produksi Pendapatan Keterangan


Blok/Petak/Unit
No Tanaman (Rp)
(Lokasi Tanam)
Semusim
1

3
dst

Keterangan : Produksi dapat dinyatakan dalam satuan Kg/Kuintal/Ton.


44

Evaluasi tanaman/kegiatan agroforestri dilakukan di setiap lokasi pada


setiap petak tanaman sesuai dengan rancangan.

Untuk evaluasi tanaman kayu-kayuan dan pertanian/perkebunan,


metode yang digunakan adalam Systematic Sampling with Random Start
dengan Intensitas Sampling (IS) sesuai dengan ketersediaan anggaran.

Data dan informasi yang dikumpulkan mencakup :

a. Wilayah administratif (Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Desa),


blok/petak, nama KPH, nama DAS/Sub DAS, nama kelompok
tani/masyarakat, jumlah anggota kelompok tani/masyarakat, tenaga
pendamping dan penyuluh, luas, dan jumlah tanaman kayu-kayuan.

b. Data pengamatan tanaman meliputi jenis tanaman, tanaman yang


hidup dan kondisi tumbuh tanaman sehat.

Tabel tally sheet evaluasi tanaman kayu-kayuan/MPTS/penghasil


HHBK sebagaimana tersaji pada Tabel 6.

Tabel 6. Tally Sheet Evaluasi Tanaman Kayu-kayuan/MPTS/Penghasil


HHBK
45

B. Pelaporan

Pelaporan dilakukan untuk memperoleh informasi sedini mungkin tentang


kemajuan dan permasalahan dalam penyelenggaraan agroforestri dengan
mekanisme sebagai berikut :

1. Kegiatan agroforestri yang dilaksanakan oleh UPT Direktorat Jenderal


PDASHL yang bersumber dari dana APBN, pelaporan disusun oleh
Kepala UPT disampaikan kepada Dirjen Pengendalian DAS dan Hutan
Lindung c.q. Direktur Konservasi Tanah dan Air.

2. Kegiatan agroforestri yang dilaksanakan dengan menggunakan dana


APBD, pelaporan disusun oleh Kepala KPH setempat disampaikan
kepada Kepala Dinas Kehutanan Provinsi, dengan tembusan Direktur
Konservasi Tanah dan Air.

3. Kegiatan agroforestri yang dilaksanakan dengan menggunakan dana


selain APBN dan APBD, pelaporan dilakukan oleh pemilik/pelaksana
kegiatan agroforestri disampaikan kepada Kepala Dinas Kehutanan
Provinsi, dengan tembusan Kepala UPT Direktorat Jenderal PDASHL.

4. Pelaporan penyelenggaraan agroforestri meliputi laporan triwulanan dan


tahunan.

Format laporan mencakup identitas kelompok tani/masyarakat/badan


usaha/perusahaan, volume bahan, peralatan dan upah tenaga kerja,
rencana fisik dan keuangan, serta kemajuan pelaksanaan fisik dan
keuangan.
46

C. Serah Terima Pekerjaan

Hasil kegiatan agroforestri, terutama yang bersumber dana dari


APBN/APBD yang telah selesai dilaksanakan, harus segera dilakukan
serah terima hasil pekerjaan yang terbagi atas :

1. Hasil kegiatan agroforestri yang dilaksanakan di dalam kawasan hutan


lindung dilakukan oleh Kepala UPT lingkup Direktorat Jenderal PDASHL
kepada Pemangku Kawasan atau KPH.

2. Hasil kegiatan agroforestri yang dilaksanakan di luar kawasan hutan


dilakukan oleh Kepala UPT lingkup Direktorat Jenderal PDASHL kepada
masyarakat/kelompok tani dengan diketahui oleh Kepala Dinas Provinsi
yang membidangi kehutanan.
47

BAB VIII

PENUTUP

Agroforestri merupakan suatu sistem penanaman dalam upaya rehabilitasi


lahan serta konservasi tanah dan air yang memadukan antara bidang
kehutanan, pertanian, dan/atau peternakan. Tujuan utama dari sistem ini
adalah optimalisasi lahan sehingga produk yang dihasilkan dapat bervariasi
yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat. Dalam interaksi antar komponen penyusun yang tercipta dalam
agroforestri mampu memberikan peran dan fungsinya terhadap perbaikan dan
konservasi tanah dan siklus hidrologis.

Penyelenggaraan agroforestri telah berlangsung lama dan berkembang di


berbagai tempat di Indonesia, akan tetapi sampai saat ini masih banyak yang
tidak memperhatikan segi konservasi tanah dan air terutama di daerah
pegunungan/lahan miring, sehingga tidak jarang mengakibatkan banjir dan
tanah longsor. Selain itu, praktik pengelolaan hutan yang kurang
memperhatikan kesejahteraan masyarakat mengakibatkan eksploitasi
terhadap hutan semakin mengancam keberadaan hutan di Indonesia.
Pengembangan agroforestri menjadi salah satu solusi bagi persoalan-
persoalan lingkungan dan sosial tersebut. Untuk itu, Direktorat Jenderal
Pengendalian DAS dan Hutan Lindung sebagai organisasi yang berkomitmen
terhadap rehabilitasi lahan, konservasi tanah dan air, serta kesejahteraan
masyarakat bertugas untuk memberikan informasi kepada masyarakat luas
tentang penyelenggaraan kegiatan agroforestri yang dituangkan dalam
petunjuk teknis pelaksanaan agroforestri.

Petunjuk teknis pelaksanaan kegiatan agroforestri disusun untuk digunakan


sebagai bahan acuan bagi UPT yang akan menyelenggarakan kegiatan
agroforestri, sehingga pelaksanaan kegiatan dapat berjalan dengan baik dan
bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Modifikasi dalam
penyelenggaraan agroforestri dapat dilakukan sepanjang memenuhi kaidah-
kaidah teknis agroforestri.

Ditetapkan di Jakarta
Salinan sesuai dengan aslinya Pada tanggal 1 Agustus 2017
KEPALA BAGIAN HUKUM DAN DIREKTUR JENDERAL,
KERJASAMA TEKNIK,

Ttd.

DUDI ISKANDAR Dr. Ir. HILMAN NUGROHO, MP


NIP 19590615 198603 1 004
KEPALA BAGIAN HUKUM DAN
KERJASAMA TEKNIK,

DUDI ISKANDAR

Anda mungkin juga menyukai