Anda di halaman 1dari 53

LAPORAN KASUS

TB Paru BTA (-) LLKPO


Meningoensefalitis TB
HIV Stage IV

Disusun Oleh :
M. K. Bima Sakti, S.Ked
61111004

Pembimbing :
dr. Antonius Sianturi, Sp.P
dr. Widya Sri Hastuti, Sp.P, FCCP, FAPSR

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT PARU


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH EMBUNG FATIMAH BATAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM
TAHUN 2016
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1. TUBERKULOSIS
1.1 Definisi

Tuberkulosis (TB) adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh


Mycobacterium tuberculosis, khas ditandai dengan terjadinya pembentukan
granuloma dan nekrosis. Infeksi ini paling sering mengenai paru, akan tetapi
dapat juga meluas mengenai organ-organ tertentu. Tuberkulosis dapat
menyerang paru ataupun terdapat di ektra paru seperti pleura, pericardium,
peritoneum, intestinum (ileo-caecal), tulang/sendi, SSP Jarang pada
orkitis/epididimitis, tubo-ovarial/endometrium, ginjal, adrenal, kulit.1

1.2 Etiologi
TB Paru diakibatkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex.
Bakteri ini merupakan basil tahan asam yang ditemukan oleh Robert Koch
pada tahun 1882.7 Mycobacterium tuberculosis adalah kuman penyebab TB
yang berbentuk batang ramping lurus atau sedikit bengkok dengan kedua
ujungnya membulat. Koloninya yang kering dengan permukaan berbentuk
bunga kol dan berwarna kuning tumbuh secara lambat walaupun dalam
kondisi optimal. Diketahui bahwa pH optimal untuk pertumbuhannya adalah
antara 6,8-8,0. Untuk memelihara virulensinya harus dipertahankan kondisi
pertumbuhannya pada pH 6,8.8
M. tuberculosis tipe humanus dan bovines adalah mikobakterium yang
paling banyak menimbulkan penyakit TB pada manusia. Basil tersebut
berbentuk batang, bersifat aerob, mudah mati pada air mendidih (5 menit
pada suhu 80 C dan 20 menit pada suhu 60C), dan mudah mati apabila
terkena sinar ultraviolet (sinar matahari). Basil tuberkulosis tahan hidup
berbulan-bulan pada suhu kamar dan dalam ruangan yang lembab.9

1.3 Patogenesis
1. TB primer : paparan I, inhalasi droplet nuclei menuju ke alveoli.
Multiplikasi sbg lesi eksudatif parenkim minimal (fokus Ghon)

1
memberikan gambaran limfadenopati hiler homolateral (kompleks
primer/Ranke). Bergantung respon imun, dpt terjadi berbagai kondisi :
– Asimptomatis
– Komplikasi paru dan pleura
2. TB post primer : reinfeksi atau reaktivasi setelah periode laten pasca
infeksi primer. Gambaran klinis berupa Destruksi luas jaringan, BTA
dahak (+), keterlibatan lobus superior paru, tanpa limfadenopati.

1.4 Manifestasi Klinis


Gejala respiratori :
a. Batuk lama > 2 minggu
b. Produksi sputum
c. Batuk darah
d. Sesak napas
e. Nyeri dada
Gejala Sistemik :
a. Demam
b. Malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun
Gejala TB ekstraparu
a. Tergantung organ yang terlibat misalnya pada limfadenitis TB akan
terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah
bening.
b. Pleuritis TB terdapat sesak napas dan nyeri dada pada pleura yang
sakit
c. Meningitis TB akan terjadi hemiparese maupun penurunan kesadaran

1.5 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik kelianan yang akan dijumpai tergantung dari
organ yang terlibat. Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas
kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit
umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada
umumnya terletak didaerah lobus superior terutama didaerah apeks dan
segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada
Pemeriksaan Fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik,
2
suara napas melemah, ronki basah, tanda – tanda penarikan paru, diafragma
dan mediastinum.1
Pada pleuritis TB kelianan pemeriksaan tergantung dari banyaknya cairan
di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan redup atau pekak, pada auskultasi
suara napas melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.1
Pada limfadenitis TB, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering
didaerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang
didaerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold abscess.1

1.6 Pemeriksaan Penunjang


1.6.1 Pemeriksaan Bakteriologi
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak,
cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, feses dan
jaringan biopsy (termasuk biopsy jarum halus/BJH).1
Cara pengumpulan dan pengiriman bahan : cara pengambilan
dahak 2 kali dengan minimal satu kali dahak pagi hari. Cara
pemeriksaan dahak lain : pemeriksaan dari specimen dahak dan bahan
lain (cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan
lambung, BAL, urin, feses dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat
dilakukan dengan cara : Mikroskopis, Biakan
1.6.2 Pemeriksaan Biakan Kuman
Identifikasi M. Tubercullosis dengan cara :
- Lowenstein – Jensen
- Middle brook
- Mycobacteria growth indicator tube test (MGITT)
- BACTEC
Uji Molekular :
- PCR
- Spoligotyping
- Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)
- MIRU/VNTR Analysis
- PGRS RFLP

3
- Genomic deletion Analysis
Uji Lainnya :
- Uji Tuberkulin, IGRA, T-SPOT TB
- ELISA, ICT, Mycodot dan IgG/IgM TB
1.6.3 Pemeriksaan Radiologi
- Foto thorax PA, lateral, top lordotic, oblik
 Di jumpai bayangan berawan/nodular disegmen apical dan
posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah
 Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan
opak berawan atau nodular
 Bayangan bercak milier
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
 Luluh paru (destroyed lung) menunjukan kerusakan jaringan
paru yang berat, gambaran radiologi terdiri dari atelectasis,
ekstasis/multikavitas dan fibrosis parenkim
- CT-Scan
1.6.4 Pemeriksaan Penunjang Lain
- Analisis cairan pleura
- Histopatologi jaringan dengan cara biopsy (BJH), trans bronchial
lung biopsy (TBLB), trans thoracal needle aspriration (TTNA),
biopsy paru terbuka.
- Pemeriksaan darah : LED meningkat
1.7 Diagnosis

Gambar 1. Skema alur diagnosis TB paru pada orang dewasa


Sumber : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan PDPI 2011

4
2. Meningitis TB
2.1 Definisi
Meningitis tuberkulosis adalah peradangan selaput otak atau meningen
yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Meningitis
tuberkulosis merupakan hasil dari penyebaran hematogen dan limfogen
bakteri Mycobacterium tuberculosis dari infeksi primer pada paru.16
Meningitis sendiri dibagi menjadi dua menurut pemeriksaan Cerebrospinal
Fluid (CSF) atau disebut juga Liquor Cerebrospinalis (LCS), yaitu:
meningitis purulenta dengan penyebab bakteri selain bakteri Mycobacterium
tuberculosis, dan meningitis serosa dengan penyebab bakteri tuberkulosis
ataupun virus. Tanda dan gejala klinis meningitis hampir selalu sama pada
setiap tipenya, sehingga diperlukan pengetahuan dan tindakan lebih untuk
menentukan tipe meningitis. Hal ini berkaitan dengan penanganan
selanjutnya yang disesuaikan dengan etiologinya. Untuk meningitis
tuberkulosis dibutuhkan terapi yang lebih spesifik dikarenakan penyebabnya
bukan bakteri yang begitu saja dapat diatasi dengan antibiotik spektrum luas.
World Health Organization (WHO) pada tahun 2009 menyatakan meningitis
tuberkulosis terjadi pada 3,2% kasus komplikasi infeksi primer tuberkulosis,
83% disebabkan oleh komplikasi infeksi primer pada paru.17

2.2 Epidemiologi
Meningitis tuberculosis (TB) merupakan penyakit yang paling sering
ditemukan di negara yang sedang berkembang, salah satunya adalah
Indonesia, dimana insidensi tuberkulosis lebih tinggi terutama bagi Orang
dengan HIV/AIDS (ODHA)18,19,20. Meningitis tuberculosis merupakan
penyakit yang mengancam jiwa dan memerlukan penanganan tepat karena
mortalitas mencapai 30%, sekitar 5:10 dari pasien bebas meningitis TB
memiliki gangguan neurologis walaupun telah di berikan antibiotik yang
adekuat. Diagnosis awal dan penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan
untuk mengurangi resiko gangguan neurologis yang mungkin dapat
bertambah parah jika tidak ditangani.20,21,22
Meningitis TB merupakan salah satu komplikasi TB primer. Morbiditas
dan mortalitas penyakit ini tinggi dan prognosisnya buruk. Komplikasi
meningitis TB terjadi setiap 300 kasus TB primer yang tidak diobati. Centers
5
for Disease Control (CDC) melaporkan pada tahun 1990 morbiditas
meningitis TB 6,2% dari seluruh kasus TB ekstrapulmonal. Insiden
meningitis TB sebanding dengan TB primer, umumnya bergantung pada
status sosio-ekonomi, higiene masyarakat, umur, status gizi dan faktor
genetik yang menentukan respon imun seseorang. Faktor predisposisi
berkembangnya infeksi TB adalah malnutrisi, penggunaan kortikosteroid,
keganasan, cedera kepala, infeksi HIV dan diabetes melitus. Penyakit ini
dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih sering dibanding dengan
dewasa terutama pada 5 tahun pertama kehidupan. Jarang ditemukan pada
usia dibawah 6 bulan dan hampir tidak pernah ditemukan pada usia dibawah
3 bulan.23

2.3 Anatomi dan Fisiologi


Meningen terdiri dari tiga lapis, yaitu24:
1. Pia mater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang
menutupi permukaan otak dan membentang ke dalam sulkus, fisura dan
sekitar pembuluh darah di seluruh otak. Piamater juga membentang ke
dalam fisura transversalis di bawah corpus callosum. Di tempat ini
piamater membentuk tela choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis,
dan bergabung dengan ependim dan pembuluh-pembuluh darah
choroideus untuk membentuk pleksus choroideus dari ventrikel-ventrikel
ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap dari ventrikel keempat dan
membentuk tela choroidea di tempat itu.
2. Arachnoid merupakan selaput halus yang memisahkan pia mater dan
durameter.
3. Dura mater merupakan lapisan paling luar yang padat dan keras berasal
dari jaringan ikat yang tebal dan kuat. Dura kranialis atau pachymeninx
adalah struktur fibrosa yang kuat dengan lapisan dalam (meningen) dan
lapisan luar (periosteal). Duramater lapisan luar melekat pada permukaan
dalam cranium dan juga membentuk periosteum. Di antara kedua
hemispher terdapat invaginasi yang disebut falx cerebri yang melekat
pada crista galli dan meluas ke crista frontalis ke belakang sampai ke
protuberantia occipitalis interna, tempat dimana duramater bersatu
dengan tentorium cerebelli yang meluas ke kedua sisi

6
Gambar 2. Struktur meningen dari luar
Sumber: Atlas anatomi natter 2013

Gambar 3. Struktur meningen dari luar


Sumber : Atlas anatomi natter 2013

2.4 Tuberkulosis Ekstrapulmoner


7
Gejala tuberkulosis paru yang paling umum adalah batuk produktif
yang persisten, sering disertai gejala sistemik seperti demam, keringat malam,
dan penurunan berat badan. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah batuk
darah, sesak napas, nyeri dada, malaise, serta anoreksia. Limfadenopati
dengan TB paru juga dapat ditemukan, terutama pada pasien dengan infeksi
Human Immunodeficiency Virus (HIV).25
Walaupun kebanyakan pasien dengan TB paru memiliki gejala batuk,
gejala tersebut tidak spesifik untuk tuberkulosis. Batuk dapat terjadi pada
infeksi saluran napas akut, asma, serta Penyakit Paru Obstruktif Kronis
(PPOK). Walaupun begitu, batuk selama 2-3 minggu merupakan kriteria
suspek TB dan digunakan pada guideline nasional dan internasional, terutama
pada daerah dengan prevalensi TB yang sedang sampai tinggi. Pada negara
dengan prevalensi TB yang rendah, batuk kronik lebih mungkin disebabkan
kondisi selain TB.25
Dengan memfokuskan terhadap dewasa dan anak dengan batuk kronik,
kesempatan mengidentifikasi pasien dengan TB paru dapat dimaksimalkan.
Selain gejala batuk, pada pasien anak penting mengevaluasi berat badan yang
sulit naik dalam kurun waktu 2 bulan terakhir atau gizi buruk. Beberapa studi
menunjukkan bahwa tidak semua pasien dengan gejala respiratori menerima
evaluasi yang adekuat untuk TB. Kegagalan ini terjadi karena kurangnya
deteksi dini TB sehingga menyebabkan meningkatnya keparahan penyakit
pada pasien dan meningkatnya kemungkinan transmisi Mycobacterium
tuberculosis ke orang-orang di sekitarnya.25
Pada pemeriksaan fisik pasien dengan TB paru, kelainan yang didapat
tergantung luas kelainan. Pada awal perkembangan penyakit sulit ditemukan
kelainan. Pada umumnya kelainan paru terletak di lobus superior terutama
apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Temuan yang
bisa didapatkan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas
melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan
mediastinum.25
Pada pleuritis TB, apabila cairan di rongga pleura cukup banyak, dapat
ditemukan redup atau pekak pada perkusi. Pada auskultasi suara napas
8
melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada
limfadenitis TB terdapat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di
daerah leher. Dari urutan terjadinya, tuberkulosis ekstrapulmoner paling
banyak terjadi di nodus limfa, pleura, sistem genitourinaria, tulang dan sendi,
meningen, peritoneum, dan perikardium. Secara singkat tuberkulosis
ekstrapulmoner diterangkan sebagai berikut:25
 Limfadenitis tuberkulosis dicirikan dengan pembesaran kelenjar getah
bening yang tidak nyeri (pada umumnya servikalis posterior dan
supraklavikular).
 Tuberkulosis pleura dapat bermanifestasi mulai dari efusi yang kecil,
hingga efusi besar sehingga menimbulkan nyeri pleura dan dispnu.
Pemeriksaan fisik menunjukkan efusi pleura (redup pada perkusi, suara
napas menghilang). Jenis efusi perlu ditentukan dengan melakukan pungsi
pleura. Dapat pula terjadi empiema tuberkulosis yang lebih jarang, pada
umumnya disebabkan oleh ruptur kavitas.
 Tuberkulosis saluran napas atas merupakan komplikasi dari tuberkulosis
paru dengan kavitasi. Tuberkulosis jenis ini melibatkan laring, faring,
dan/atau epiglotis sehingga memunculkan gejala serak, disfonia, dan
disfagia disertai dengan batuk produktif.
 Tuberkulosis genitourinaria dapat menimbulkan gejala frekuensi, disuria,
nokturia, hematuria, serta nyeri abdomen.
 Tuberkulosis sistem muskuloskeletal mengenai tulang dan sendi, dan
patogenesisnya terkait dengan reaktivasi dari fokus hematogen dan
penyebaran melalui nodus limfa paravertebra. Dapat pula mengenai
vertebra sehingga terkena tuberkulosis spinal (Pott’s disease atau
spondilitis tuberkulosis).
 Tuberkulosis meningitis dan tuberkuloma
 Tuberkulosis perikardial akibat ekstensi langsung nodus limfa mediastinal
atau hilus.

Kejadian tuberkulosis ekstrapulmoner dapat terjadi sekitar 15-20%


pada populasi yang prevalensi HIV-nya rendah. Kejadian ini akan semakin
9
meningkat dengan tingginya prevalensi infeksi HIV. Sebagaimana yang
diketahui bahwa tuberkulosis merupakan infeksi poportunistik tersering pada
ODHA di Indonesia. Tuberkulosis paru adalah jenis tuberkulosis yang paling
banyak ditemukan pada ODHA, sedangkan tuberkulosis ekstrapulmoner
sering ditemukan pada ODHA dengan hitung CD4 yang lebih rendah26,27.
Untuk mendiagnosis tuberkulosis ekstrapulmoner, sampel perlu didapakan
dari tempat-tempat yang cenderung sulit, sehingga konfirmasi bakteriologis
tuberkulosis ektrapulmoner menjadi lebih sulit dibandingkan tuberkulosis
paru. Selain itu terdapat kecenderungan jumlah mikroorganisme M.
tuberculosis pada situs ekstrapulmoner lebih sedikit sehingga pemeriksaan
mikroskopis basil tahan asam (BTA) menjadi lebih sulit. Sebagai contoh,
pemeriksaan cairan pleura pada pleuritis tuberkulosis hanya berhasil
menemukan BTA pada sekitar 5-10% kasus, dan temuan sama rendahnya
pada meningitis tuberkulosis. Mengingat fakta ini, kultur dan pemeriksaan
histopatologi terhadap jaringan (misal: biopsi jarum halus nodus limfa)
menjadi penting sebagai alat diagnostik. Pemeriksaan foto toraks juga
sebaiknya silakukan untuk mengetahui adanya TB paru atau TB milier
bersamaan dengan TB ekstraparu. Pada pasien anak, bila memungkinkan
dilakukan pemeriksaan dahak.25

Gambar 4. Tuberculosis penyebaran ke sistem syaraf pusat


Sumber : Be Na, Kim, KS, Bishai WR, Jain SK, pathogenesis of central nervous
system tuberculosis. current molecular medicine, 2009
2.5. Diagnosis dan Suspek Meningitis Tuberkulosa

10
Diagnosis ataupun suspek meningitis TB memerlukan gejala dan tanda
meningitis yang disertai klinis yang mengarahkan ke infeksi tuberkulosa dan
pada hasil foto rontgen toraks serta cairan serebrospinalis menunjukkan
infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Meningitis tuberkulosa dapat
terjadi melalui 2 tahapan. Tahap pertama adalah ketika basil My-cobacterium
tuberculosis masuk melalui inhalasi droplet menyebabkan infeksi
terlokalisasi di paru dengan penyebaran ke limfonodi regional. Basil tersebut
dapat masuk ke jaringan meningen atau parenkim otak membentuk lesi
metastatik kaseosa focisub-ependimal yang disebut rich foci. Tahap kedua
adalah bertambahnya ukuran rich foci sampai kemudian ruptur ke dalam
ruang subarachnoid dan mengakibatkan meningitis.28
Tabel 1. Kriteria diagnosis untuk klasifikasi diagnosis meningitis TB

Sumber: Marais et al modified

11
Berdasarkan tabel di atas, diagnosis kemungkinan meningitis TB
(probable) adalah apabila didapatkan skor antara 10 sampai 12. Diagnosis
mungkin bisa meningitis TB (possible) jika skor di atas 6 di bawah 10.
Penilaian cairan serebrospinalis pada pasien dengan meningitis TB dapat
menunjukkan warna yang jernih, pleocytosis sedang dengan peningkatan
pada limfosit, peningkatan kandungan protein dan konsentrasi glukosa yang
sangat rendah. Penemuan ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan
penemuan meningitis bakterial lain, yaitu pada meningitis bakterial tipikal
penemuan pada cairan serebrospinalis adalah berwarna keruh putih,
pleocytosis yang sangat tinggi dan dengan peningkatan pada neutrophil.20
Pada meningitis TB, sering ditemukan glukosa pada cairan serebrospinalis di
bawah 5 mg/dl dengan warna yang jernih, hitung jenis sel darah putih
menunjukkan peningkatan limfosit sebesar 50% atau lebih pada 50 sampai
500 per μL sel darah putih di dalam cairan serebrospinalis. Kandungan
protein di atas 1 g/L dan glukosa kurang dari 2.2 mmol/L. Namun pada
beberapa kasus bisa ditemukan hasil penemuan laboratorium yang berbeda.
Untuk meyakinkan diagnosis meningitis TB, tes cairan serebrospinalis lain
baru-baru ini telah dikembangkan. Salah satunya adalah evaluasi adenosine
deaminase activity (ADA), pengukuran interferon-gamma (IFN-ɣ) yang
dikeluarkan oleh limfosit, deteksi antigen dan antibodi bakteri M.tuberculosis
dan immunocytochemical staining of mycobacterial antigens (ISMA) pada
sitoplasma makrofag CSF.20
Meningitis tuberkulosa merupakan bentuk tuberkulosis paling fatal
dan menimbulkan gejala sisa yang permanen, oleh karena itu, dibutuhkan
diagnosis dan terapi yang segera. Penyakit ini merupakan tuberkulosis
ekstrapulmoner kelima yang sering dijumpai dan diperkirakan sekitar 5,2%
dari semua kasus tuberkulosis ekstrapulmoner serta 0,7% dari semua kasus
tuberkulosis. Gejala klinis saat akut adalah defisit saraf kranial, nyeri kepala,
meningismus, dan perubahan status mental. Gejala prodromal yang dapat
dijumpai adalah nyeri kepala, muntah, fotofobia, dan demam.28
Tes aktivitas ADA merupakan rapid test yang menampilkan
proliferasi dan diferensiasi limfosit sebagai hasil dari aktivasi imunitas yang
diperantarai sel (cell-mediated immunity) terhadap infeksi bakteri
12
M.tuberculosis23,29. Aktivitas ADA tidak dapat membedakan meningitis TB
dengan meningitis bakterial lainnya, tapi aktivitas dari ADA dapat menjadi
informasi tambahan yang berguna untuk menyingkirkan diagnosis meningitis
yang diakibatkan selain bakteri. Nilai ADA dari 1 sampai 4 U/L (sensitivitas
>93% dan spesifitas <80%) dapat membantu eksklusi diagnosis meningitis
TB. Nilai >8 U/L (sensitivitas 59% dan spesifitas >96%) dapat membantu
menegakkan diagnosis meningitis TB (p<0.001). Namun, nilai diantara 4 dan
8 U/L insufisien untuk mengonfirmasi atau mengeksklusi diagnosis
meningitis TB (p=0.07)23. Hasil positif palsu juga bisa ditemukan pada pasien
dengan infeksi HIV.29
Pengukuran IFN-ɣ yang dikeluarkan oleh limfosit yang terstimulasi
oleh antigen bakteri M.tuberculosis telah diakui lebih akurat dibandingkan
dengan skin-testing untuk mendiagnosis infeksi TB laten dan sangat berguna
untuk mendiagnosis TB ekstrapulmoner. Namun, sensitivitas dan spesifitas
tes bervariasi menurut asal atau sumber infeksi primernya30. Telah dilaporkan
kegagalan tes pengukuran IFN-ɣ ini diakibatkan oleh kematian limfosit yang
cepat ketika distimulasi dengan antigen M.tuberculosis ex vivo sehingga hasil
tes dapat ditemukan negatif meskipun sesungguhnya telah terdapat infeksi
TB.31
Penggunaan tes ISMA pada sitoplasma makrofag CSF berdasarkan
asumsi bahwa pada stase inisial infeksi terjadi fagositosis basil TB oleh
makrofag dan pada stase selanjutnya basil TB tersebut berkembang dan
bertambah di dalammakrofag31. Hasil tes yang positif mengindikasikan
bahwa terdapat isolat bakteri TB di dalam CSF. Pada studi terbaru di
dapatkan sensitivitas 73.5% dan spesifitas 90.7% dengan nilai prediksi positif
dan negatif sebesar 52.9% dan 96% berturut-turut.32
Diagnosis pasti meningitis TB dapat dibuat hanya setelah dilakukan
pungsi lumbal pada pasien dengan gejala dan tanda penyakit di sistem saraf
pusat (defisit neurologis), basil tahan asam positif dan atau atau
M.tuberculosis terdeteksi menggunakan metode molekular dan atau atau
setelah dilakukan kultur cairan serebrospinal (CSF)20. Namun segala metode
untuk memastikan sebuah diagnosis meningitis TB ini memiliki resiko
13
memperlambat terapi inisiasi. Kultur memerlukan 2 sampai 3 minggu untuk
mendapatkan hasil. Deteksi mikroskopik untuk basil tahan asam dan isolasi
kultur memiliki sensitivitas rendah. Metode molekular yang paling baru juga
memiliki sensitivitas dan spesifitas yang rendah namun dapat digunakan
untuk mengetahui konsentrasi bakteri yang berada di CSF sehingga dapat
menjadi pertimbangan untuk mengevaluasi respon terapi.20

2.6. Penatalaksanaan Meningitis TB


Penatalaksanaan meningitis TB berdasarkan tiga komponen
berbeda: administrasi obat anti TB, modulasi respon imun dan manajemen
atau penatalaksanaan tekanan intrakranial yang meningkat.

Tabel 2. Aktivitas Farmakokinetik dan penetrasi LCS dari OAT

Sumber : Marx GE, Chan ED, Tuberculosis diagnosis and treatment overview, 2011
14
Fixed-dose drug combination (FDC) adalah obat yang mengandung dua
atau lebih jenis obat di dalam satu tablet atau kapsul. Keuntungan dari
penggunaan FDC adalah menurunkan resiko pembentukan resistensi terhadap
obat dan medication errors yang lebih sedikit sebab hanya sedikit obat yang perlu
diresepkan33. Anak-anak di atas usia 8 tahun dengan berat badan lebih dari 30 kg
dapat diberikan standard four-drug FDC atau FDC yang memiliki kandungan 4
jenis obat TB standar yang digunakan pada pasien dewasa selama fase intensif
(dua bulan) terapi.34

Tabel 3. FDC untuk dewasa dan usia > 8 tahun dan berat badan > 30 kg

Sumber : Guidelines for Tuberculosis Control in New Zealand 2010 Chapter 3: Treatment of
Tuberculosis Disease. 2010

Ethambutol susah masuk ke dalam cairan serebrospinalis sehingga untuk


regimen meningitis TB biasanya diganti dengan ethionamide atau streptomycin.
Isoniazid 15-20 mg/kg/day (dosis harian maksimum 400 mg). Rifampicin 15-20
mg/kg/day (dosis harian maksimum 600 mg). Ethionamide 15-20 mg/kg/day
(dosis harian maksimum 1 g). Pyrazinamide 30-40 mg/kg/day (dosis harian
maksimum 2 g). Meningitis TB juga merupakan indikasi penggunaan
kortikosteroid, biasanya yang digunakan adalah prednisone oral yang diberikan
dosis 2 mg/kg/hari (maksimum 60 mg per hari) selama empat minggu sebagai

15
tambahan obat TB dan dilakukan tapering off setelah dua minggu (total
penggunaan kortikosteroid 6 minggu).34

3. HIV/ AIDS
3.1 Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu retrovirus dengan
materi genetik asam ribonukleat (RNA). Retrovirus mempunyai kemampuan
yang unik untuk mentransfer informasi genetik mereka dari RNA ke DNA
dengan menggunakan enzim yang disebut reverse transcriptase, setelah
masuk ke tubuh hospes. Virus ini menyerang dan merusak sel- sel limfosit T-
helper (CD4+) sehingga sistem imun penderita turun dan rentan terhadap
berbagai infeksi dan keganasan 12.
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai
kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan
tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang
termasuk family retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV4.

3.2 Patogenesis
HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran yang
memiliki reseptor membran CD4, yaitu sel T-helper (CD4+). Glikoprotein
envelope virus, yakni gp120 akan berikatan dengan permukaan sel limfosit
CD4+, sehingga gp41 dapat memperantarai fusi membran virus ke membran
sel. Setelah virus berfusi dengan limfosit CD4+, RNA virus masuk ke bagian
tengah sitoplasma CD4+. Setelah nukleokapsid dilepas, terjadi transkripsi
terbalik (reverse transcription) dari satu untai tunggal RNA menjadi DNA
salinan (cDNA) untai-ganda virus. cDNA kemudian bermigrasi ke dalam
nukleus CD4+ dan berintegrasi dengan DNA dibantu enzim HIV integrase.
Integrasi dengan DNA sel penjamu menghasilkan suatu provirus dan memicu
transkripsi mRNA. mRNA virus kemudian ditranslasikan menjadi protein
struktural dan enzim virus. RNA genom virus kemudian dibebaskan ke dalam
sitoplasma dan bergabung dengan protein inti. Tahap akhir adalah
pemotongan dan penataan protein virus menjadi segmen- segmen kecil oleh
enzim HIV protease. Fragmen-fragmen virus akan dibungkus oleh sebagian
16
membran sel yang terinfeksi. Virus yang baru terbentuk (virion) kemudian
dilepaskan dan menyerang sel-sel rentan seperti sel CD4+ lainnya, monosit,
makrofag, sel NK (natural killer), sel endotel, sel epitel, sel dendritik (pada
mukosa tubuh manusia), sel Langerhans (pada kulit), sel mikroglia, dan
berbagai jaringan tubuh.13
Sel limfosit CD4+ (T helper) berperan sebagai pengatur utama respon
imun, terutama melalui sekresi limfokin. Sel CD4+ juga mengeluarkan faktor
pertumbuhan sel B untuk menghasilkan antibodi dan mengeluarkan faktor
pertumbuhan sel T untuk meningkatkan aktivitas sel T sitotoksik (CD8+).
Sebagian zat kimia yang dihasilkan sel CD4+ berfungsi sebagai kemotaksin
dan peningkatan kerja makrofag, monosit, dan sel Natural Killer (NK).
Kerusakan sel T-helper oleh HIV menyebabkan penurunan sekresi antibodi
dan gangguan pada sel-sel imun lainnya.14
Pada sistem imun yang sehat, jumlah limfosit CD4+ berkisar dari 600
sampai 1200/ μl darah. Segera setelah infeksi virus primer, kadar limfosit
CD4+ turun di bawah kadar normal untuk orang tersebut. Jumlah sel
kemudian meningkat tetapi kadarnya sedikit di bawah normal. Seiring dengan
waktu, terjadi penurunan kadar CD4+ secara perlahan, berkorelasi dengan
perjalanan klinis penyakit. Gejala-gejala imunosupresi tampak pada kadar
CD4+ di bawah 300 sel/μl. Pasien dengan kadar CD4+ kurang dari 200/μl
mengalami imunosupresi yang berat dan risiko tinggi terjangkit keganasan
dan infeksi oportunistik.13

3.3 Penularan HIV/ AIDS


Penularan AIDS terjadi melalui :
1. Hubungan kelamin (homo maupun heteroseksual);
2. Penerimaan darah dan produk darah;
3. Penerimaan organ, jaringan atau sperma;
4. Ibu kepada bayinya (selama atau sesudah kehamilan).
Kemungkinan penularan melalui hubungan kelamin menjadi lebih
besar bila terdapat penyakit kelamin, khususnya yang menyebabkan luka atau
ulserasi pada alat kelamin. HIV telah diisolasi dari darah, sperma, air liur, air
17
mata, air susu ibu, dan air seni, tapi yang terbukti berperan dalam penularan
hanyalah darah dan sperma. Hingga saat ini juga tidak terdapat bukti bahwa
AIDS dapat ditularkan melalui udara, minuman, makanan, kolam renang atau
kontak biasa (casual)dalam keluarga, sekolah atau tempat kerja. Juga peranan
serangga dalam penularan AIDS tidak dapat dibuktikan.15

3.4 Diagnosis
Terdapat dua uji yang khas digunakan untuk mendeteksi antibodi
terhadap HIV. Pertama, tes ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay)
yang bereaksi terhadap antibodi dalam serum. Apabila hasil ELISA positif,
dikonfirmasi dengan tes kedua yang lebih spesifik, yaitu Western blot. Bila
hasilnya juga positif, dilakukan tes ulang karena uji ini dapat memberikan
hasil positif-palsu atau negatif-palsu. Bila hasilnya tetap positif, pasien
dikatakan seropositif HIV. Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan klinis dan
imunologik lain untuk mengevaluasi derajat penyakit dan dimulai usaha
untuk mengendalikan infeksi.13
WHO mengembangkan sebuah sistem staging (untuk menentukan
prognosis), berdasarkan dari kriteria klinis, sebagai berikut.15
Tabel 4. WHO clinical staging system for HIV infection and related
disease in adult (13 years or older)

Stage 1 :
- Asimptomatik
- Limfadenopati general

Stage 2:
-Penurunan berat badan < 10% berat badan sebelumnya
- Manifestasi mukokutaneus minor (misal: ulserasi oral, infeksi jamur di
kuku)
- Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
- Infeksi saluran napas atas rekuren (misal: sinusitis bakterial)

Dan/ atau Performance scale 2: simptomatik, aktivitas normal


Stage 3:
- Penurunan berat badan > 10% dari berat badan sebelumnya
- Diare kronis tanpa sebab > 1 bulan
- Demam berkepanjangan tanpa sebab > 1 bulan
- Candidiasis oral
- Oral hairy leukoplakia
18
- TB paru
- Infeksi bakteri berat (pneumonia, pyomiositis)

Dan/atau Performance scale 3: istirahat di tempat tidur < 50% dalam sehari
selama sebulan terakhir
Stage 4:
- HIV wasting syndrome
- Pneumonisitis carina pneumonia
- Toxoplasmosis otak
- Kriptosporidiosis dengan diare, lebih dari sebulan
- Kriptokokosis, ekstra paru
- TB ekstra paru
- Penyakit disebabkan oleh CMV
- Infeksi virus herpes lebih dari 1 bulan
- Leukoensefalopati multifokal yang progresif
- Infeksi jamur endemik yang menyebar
Sumber : WHO clinical staging system for HIV infection and related disease in adult
(13 years or older)

3.5 Penatalaksanaan Anti Retrovirus (ARV)


Antiretrovirus (ARV) yang ditemukan pada tahun 1996, mendorong
suatu revolusi dalam perawatan penderia HIV/AIDS. Meskipun belum
mampu menyembuhkan penyakit dan menambah tantangan dalam hal efek
samping dan resistensi, obat ini secara dramatis menunjukkan penurunan
angka mortalitas dan morbiditas akibat HIV/AIDS.14
Pemberian ARV bergantung pada tingkat progresifitas penyakit, yang
dapat dinilai melalui kadar CD4+ dan kadar RNA HIV serum. Terdapat tiga
jenis antiretrovirus yang digolongkan berdasarkan cara kerjanya, yang dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.13

Saat Memulai Terapi ARV


Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan
jumlah CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya.
Hal tersebut adalah untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi
syarat terapi antiretroviral atau belum. Berikut ini adalah rekomendasi cara
memulai terapi ARV pada ODHA dewasa.

a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4

19
Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapI
ARV adalah didasarkan pada penilaian klinis.
b. Tersedia pemeriksaan CD4
Rekomendasi :
1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350
sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya.
2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil
dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.

Tabel 5. Memulai Terapi pada ODHA Dewasa


Target Stadium Klinis Jumlah sel Rekomendasi
Populasi CD4
ODHA dewasa Stadium klinis 1 > 350 sel/mm3 Belum mulai
dan 2 terapi. Monitor
gejala klinis dan
jumlah sel CD4
setiap 6-12 bulan

<350 sel/mm3 Mulai terapi

Stadium klinis 3 Berapapun Mulai terapi


dan 4 jumlah CD4

Pasien dengan Apapun Berapapun Mulai terapi


ko-infeksi TB Stadium klinis jumlah sel CD4

Pasien dengan Apapun Berapapun Mulai terapi


ko-infeksi Stadium klinis jumlah sel CD4
Hepatitis B
Kronik aktif

Ibu Hamil Apapun Berapapun Mulai terapi


Stadium klinis jumlah sel CD4
Sumber : Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi ART,
KEMENKESRI, 2011.

20
Tabel 6. Tatalaksana IO sebelum memulai terapi ARV

Jenis Infeksi Opportunistik Rekomendasi


Progresif Multifocal ARV diberikan langsung setelah
Leukoencephalopathy, Sarkoma diagnosis infeksi ditegakkan
Kaposi, Mikrosporidiosis, CMV,
Kriptosporidiosis

Tuberkulosis, PCP, Kriptokokosis, ARV diberikan setidaknya 2


MAC minggu setelah pasien
mendapatkan pengobatan infeksi
opportunistik
Sumber : Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi ART,
KEMENKESRI, 2011.

Paduan ARV Lini Pertama yang Dianjurkan


Pemerintah menetapkan paduan yang digunakan dalam pengobatan ARV
berdasarkan pada 5 aspek yaitu:
• Efektivitas
• Efek samping / toksisitas
• Interaksi obat
• Kepatuhan
• Harga obat
Prinsip dalam pemberian ARV adalah
1. Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan
berada dalam dosis terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin
efektivitas penggunaan obat.
2. Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan
mendekatkan akses pelayanan ARV.
3. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan
manajemen logistik yang baik.

Anjuran Pemilihan Obat ARV Lini Pertama


Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah:
2 NRTI + 1 NNRTI

21
Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari paduan di bawah ini:

Tabel 7. Panduan pemilihan terapi antiretroviral

AZT + 3TC + NVP (Zidovudine + ATAU


Lamivudine +
Nevirapine)
AZT + 3TC + EFV (Zidovudine + ATAU
Lamivudine +
Efavirenz)
TDF + 3TC (atau FTC) + (Tenofovir + ATAU
NVP Lamivudine (atau
Emtricitabine) +
Nevirapine)
TDF + 3TC (atau FTC) (Te (Tenofovir +
+ EFV La mivudin (atau
Em tricitabine +
Efa efavirenz)
Sumber : Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi ART,
KEMENKESRI, 2011.

4. TUBERKULOSIS HIV (TB-HIV)


4.1 Hubungan TB dan HIV
Ketika infeksi HIV berlanjut dan imunitas menurun, pasien menjadi
rentan terhadap berbagai infeksi. Beberapa di antaranya adalah TB,
pneumonia, infeksi jamur di kulit dan orofaring, serta herpes zoster. Infeksi
tersebut dapat terjadi pada berbagai tahap infeksi HIV dan imunosupresi. 15
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB
adalah daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/ AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko paling kuat bagi yang
terinfeksi TB menjadi sakit TB 2. Menurut WHO, infeksi HIV terbukti
merupakan faktor yang memudahkan terjadinya proses pada orang yang telah
terinfeksi TB, meningkatkan risiko TB laten menjadi TB aktif dan
kekambuhan, menyulitkan diagnosis, dan memperburuk stigma. TB juga
meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada pasien pengidap HIV.6

22
Faktor risiko kejadian TB, secara ringkas digambarkan pada Gambar berikut :
transmisi
- Diagnosis
tepat dan
cepat
Jumlah kasus TB - Pengobatan
Risiko menjadi TB bila tepat dan
BTA +
dengan HIV: lengkap
Faktor lingkungan:
- 5-10% setiap - Kondisi
- Ventilasi
tahun kesehatan
- Kepadatan
- > 30% lifetime mendukung
- Dalam
ruangan
Faktor perilaku
HIV (+) SEMBU
H

TERPAJAN INFEK
SI
T MAT
I
B
Konsentrasi Kuman 10%
Lama Kontak - Keterlambatan
- Malnutrisi diagnosis dan
- Penyakit pengobatan
DM, - Tatalaksana tak
imunosupres memadai
an - Kondisi kesehatan

Gambar 5 . Faktor Risiko Kejadian TB


Sumber : Depkes 2008

4.2 Patogenesis
Pada orang yang imunokompeten, ketika terinfeksi M. tuberculosis,
organisme disajikan kepada makrofag melalui ingesti dimana setelah
diproses, antigen mikobakteri disajikan ke sel-T. Sel CD4 mengeluarkan
limfokin yang meningkatkan kapasitas makrofag untuk menelan dan
membunuh mikobakteri. Pada sebagian besar orang terjadi infeksi dan TB
tidak berkembang, meski sejumlah basil tetap dorman tubuh. Hanya 10% dari
kasus yang berkembang menjadi TB klinis, segera setelah infeksi primer atau
bertahun-tahun kemudian sebagai reaktivasi TB. Hal ini memungkinkan
terjadinya kerusakan pada fungsi dari sel T dan makrofag.5

23
Deplesi dan disfungsi sel CD4 yang progresif, ditambah dengan adanya
kerusakan pada fungsi makrofag dan monosit, membentuk ciri infeksi HIV.
Disfungsi ini pada odha sebagai predisposisi terjadinya infeksi TB baik
primer maupun reaktivasi. Bukti epidemiologis menunjukkan bahwa infeksi
HIV meningkatkan risiko reaktivasi laten TB dan juga risiko penyakit
progresif dari infeksi baru.5

4.3 Diagnosis
Tuberkulosis pada pasien dengan HIV mempunyai gejala dan gambaran
klinis yang berbeda dengan orang tanpa terinfeksi HIV. Hal ini disebabkan
karena rendahnya reaksi imunologik penderita AIDS. Seperti diketahui
manifestasi klinis TB sebenarnya merupakan reaksi imunologik terhadap
Mycobacterium tuberculosis. Walaupun gambaran radiologik TB pada
penderita AIDS mirip gambaran TB primer, keadaan umum pasien dengan
AIDS cepat memburuk. Situasi penyakit TB akan mengalami peningkatan
dengan masuknya HIV/ AIDS. Kombinasi TB dengan HIV/ AIDS sangat
berbahaya dan mematikan.6
Ketika infeksi HIV berlanjut, limfosit T CD4+ mengalami penurunan baik
dalam jumlah maupun fungsinya. Sel ini memerankan peranan penting dalam
pertahanan tubuh terhadap M. tuberculosis. Dengan demikian, kemampuan
sistem imunitas menurun dalam mencegah pertumbuhan dan penyebaran
lokal bakteri tersebut. 15
Pada pasien yang terinfeksi HIV, TB paru masih merupakan TB yang
tersering. Penampakan klinis tergantung dari derajat imunosupresi. Tabel 6
menunjukkan perbedaan pada gambaran klinis, hasil sputum dan radiologi
antara pasien infeksi HIV dengan TB paru tahap awal dan tahap lanjut.15

Tabel 8 . Perbedaan TB paru pada infeksi HIV tahap awal dan lanjut15.
Tahap Infeksi HIV
Gambaran TB Paru
Awal Akhir

Biasanya Biasanya
Gambaran klinis menyerupai TB menyerupai TB
paru post-primer paru primer

24
Hasil sputum BTA Biasanya positif Biasanya negative

Biasanya terdapat
Biasanya terdapat infiltrat tanpa
Gambaran radiologis
kavitas kavitas
Sumber: WHO clinical staging system for HIV infection and related disease in adult (13
years or older)

4.4 Penatalaksanaan
Pada dasarnya, prinsip pengobatan TB dengan HIV/AIDS sama dengan
pengobatan tanpa HIV/AIDS. Prinsip pengobatan adalah menggunakan
kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah cukup dan dosis serta jangka
waktu yang tepat1. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah adalah dengan
mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan ARV (Antiretroviral) dimulai
berdasarkan stadium klinis HIV dengan standar WHO.2
Pengobatan OAT pada TB-HIV1:
a. Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena
akan menyebabkan efek toksik berat pada kulit.
b. Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik
sekali pakai yang steril.
c. Desensitasi obat (INH, rifampisin) tidak boleh dilakukan karena
mengakibatkan toksik yang serius pada hati.
d. Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberikan respon
untuk pengobatan, selain dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat,
juga harus dipikirkan terdapatnya malabsorpsi obat. Pada pasien
HIV/AIDS terdapat korelasi antara imunosupresi yang berat dengan
derajat penyerapan, karenanya dosis standar OAT yang diterima sub
optimal sehingga konsentrasi obat rendah dalam serum.
Interaksi obat TB dengan ARV1:
a. Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya efek toksik OAT.
b. Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan
nukleotida, kecuali Didanosin (ddl) yang harus diberikan selang 1 jam
dengan OAT karena bersifat sebagai buffer antasida.
25
c. Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ARV golongan
nonnukleotida dan inhibitor protease. Rifampisin jangan diberikan
bersama dengan nelfinavir karena rifampisin dapat menurunkan kadar
nelfinavir sampai 82%.
d. Pasien dengan koinfeksi TB-HIV, segera diberikan OAT dan
pemberian ARV dalam 8 minggu tanpa mempertimbangkan kadar
CD4.
e. Setiap penderita TB-HIV harus diberikan profilaksis kotrimoksasol
dengan dosis 960 mg/hari (dosis tunggal) selama pemberian OAT.

Uji HIV dan konseling harus direkomendasikan pada semua pasien


yang menderita atau yang diduga menderita TB. Pemeriksaan ini merupakan
bagian penting dari manajemen rutin bagi semua pasien di daerah dengan
prevalensi infeksi HIV yang tinggi dalam populasi umum, pasien dengan
gejala dan/atau tanda kondisi yang berhubungan HIV dan pasien dengan
riwayat risiko tinggi terpajan HIV. Karena terdapat hubungan yang erat
antara TB dan infeksi HIV, pada daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi
pendekatan yang terintegrasi direkomendasikan untuk pencegahan dan
penatalaksanaan kedua infeksi.
Semua.pasien dengan TB dan infeksi HIV seharusnya dievaluasi untuk
menentukan perlu/ tidaknya pengobatan ARV diberikan selama pengobatan
TB. Perencanaan yang tepat untuk mengakses obat antiretroviral seharusnya
dibuat untuk pasien yang memenuhi indikasi. Bagaimanapun juga
pelaksanaan pengobatan TB tidak boleh ditunda. Pasien TB dan infeksi HIV
juga seharusnya diberi kotrimoksazol sebagai pencegahan infeksi lainnya.
Pasien dengan infeksi HIV yang, setelah dievaluasi dengan seksama, tidak
menderita TB aktif seharusnya diobati sebagai infeksi TB laten dengan
isoniazid selama 6-9 bulan.

26
Tabel 9. Paduan Lini Pertama yang direkomendasikan pada orang
dewasa yang belum pernah mendapat terapi ARV (treatment-naïve)

Populasi Target Pilihan yang Catatan


direkomendasikan
Dewasa dan anak AZT atau TDF + 3TC Merupakan pilihan
(atau FTC) + EFV atau paduan yang sesuai
NVP untuk sebagian besar
pasien
Gunakan FDC jika
tersedia
Perempuan hamil AZT + 3TC + EFV Tidak boleh
atau NVP menggunakan EFV
pada trimester
pertama
TDF bisa merupakan
pilihan
Ko-infeksi HIV/TB AZT atau TDF + 3TC Mulai terapi ARV
(FTC) + EFV segera setelah terapi
TB dapat ditoleransi
(antara 2 minggu
hingga 8 minggu)
Gunakan NVP atau
triple NRTI bila EFV
tidak dapat digunakan
Ko-infeksi TDF + 3TC (FTC) + Pertimbangkan
HIV/Hepatitis B EFV atau NVP pemeriksaan HBsAg
kronik aktif terutama bila TDF
merupakan paduan
lini pertama.
Diperlukan
penggunaan 2 ARV
yang memiliki
aktivitas anti-HBV
Sumber : Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi ART,
KEMENKESRI, 2011.

27
BAB II
LAPORAN KASUS

2. Identitas Pasien
Nama Pasien : Tn. MH
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat Tanggal Lahir : Banyuwangi, 7 Oktober 1977
Umur : 39 tahun
No. Rekam Medik : 124025
Tanggal Masuk : 31, Juli 2016
Tanggal Pulang : 5 Agustus 2016
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Sei Lekop Blok E7 no 13
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pekerjaan : Wiraswasta
Tinggi Badan : 165 cm
Berat Badan : 40 kg
Indeks Massa Tubuh : 14,69 kg/m2

2.1 Anamnesis
Keluhan Utama :
Penurunan Kesadaran +/- Sejak 3hari yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang via UGD dengan keluhan penurunan kesadaran sejak +/- 3 hari
yang lalu. Awalnya pasien hanya lemah seluruh anggota gerak badan. Lama
kelamaan mengalami lemah yang sangat berat hingga mengalami penurunan
kesadaran, lemah di rasakan sejak +/- 10 hari yang lalu. Pasien juga
mengalami penurunan berat badan yang sangat drastis sejak 1 bulan terakhir
ini. Dan mengalami penurunan nafsu makan sejak 1 bulan ini, mual muntah
(+), Demam (+), Sesak napas (+).
28
Riwayat putus obat OAT (+), berhenti sejak pertengahan bulan juni hingga
sekarang. Alasan putus obat di sebabkan ganti obat dan mengalami alergi
seperti gatal-gatal dan merah-merah di badan, dan pasien merasa sudah
enakan dan pasien merasa sudah sembuh.

Riwayat Penyakit Dahulu :


a. Terdiagnosa sakit TB paru sejak tanggal 2 Mei 2015, putus obat sejak
tgl 29 maret 2016, lanjut lagi OAT kategori II, pengobatan berjalan 4
bulan, tgl 17 juni 2016, putus obat kembali hingga sekarang di rawat.
b. Terdiagnosa HIV Stadium III sejak tanggal 2 Mei 2015, bersamaan
dengan sakit TB Paru nya hasil VCT HIV Reaktif, pasien langsung di
konseling mengenai penyakit HIV.

Riwayat Penyakit Keluarga :


a. Sakit serupa disangkal
b. Batuk lama disangkal
c. Asma dalam keluarga disangkal
d. Hipertensi disangkal
e. Diabetes Melitus disangkal
f. Alergi dalam keluarga (+)

Riwayat Kesehatan Lingkungan :


a. Ada penderita batuk lama disangkal
b. Ada penderita batuk darah disangkal
c. Udara dingin pada tempat tinggal pasien disangkal
d. Pasien bekerja PT. Bumi Sarana Sejahtera Tjg Uncang dekat
lokalisasi Sintai

Riwayat Pribadi :
a. Merokok (+) 1 bungkus per hari sejak umur 15 tahun
b. Konsumsi alkohol (+)

29
c. Riwayat seks bebas (+) dengan WPS
d. Sering ke tempat hiburan (+)
e. Riwayat penggunaan ekstasi (-)

Riwayat Sosial Ekonomi :


 Pasien bekerja sebagai Supir di PT. Bintan Sarana Sejahtera Tjg
Uncang sejak tahun 2007 sampai 2013. Sekarang tidak bekerja hanya
serabutan di karenakan sakit yg dideritanya. Penghasilan dirasakan
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

2.2. Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum :
Tampak sakit berat
Kesadaran :
Somnolen ( GCS 7 E2M3V2)

Vital Sign :
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Nadi : 92 x/menit
Pernapasan : 23 x/menit
Suhu : 37,5oC
SpO2 : 98%

Status Generalis
Kepala : normocephali, rambut hitam sedikit beruban, mudah di cabut,
Mata : conjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-), pupil anisokor
(2mm/3mm), oedema palebra (-/-), sekret (-/-)
Telinga : deformitas (-/-), nyeri tekan (-/-), sekret (-/-)
Hidung : deformitas (-/-), napas cuping hidung (-/-), Epistaksis (-/-),
Mulut : bibir kering (+), bibir sianosis (-), lidah kotor (+), candidiasis (+)

30
Leher : deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-/-), pembesaran
kelenjar getah bening (-/-), nyeri tekan (-/-) peningkatan JVP (-/-)
Thorax
Pulmo
Inspeksi : dinding dada simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi intercostal (+)
Palpasi : vocal fremitus normal
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : suara napas vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonchi (+/+)
Cor
Inspeksi : Iktus kordis terlihat, trill terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba pada linea mid clavikula anterior sinistra ICS
VI
Perkusi :
 Batas atas jantung ICS II
 Batas kanan Jantung linea sternalis dekstra ICS VI
 Batas kiri jantung linea aksilaris sinistra ICS VI
 Auskultasi : bunyi jantung I-II regular Murmur (-) Gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : simetris, ukuran normal, darm contour (-), darm steifung (-), bekas
luka operasi (-)
Palpasi : supel , hepar tidak teraba, lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi : timpani, pekak alih (-), undulasi (-)
Auskultasi : bising peristaltik usus normal
Ekstremitas
Superior : edema (-/-) , akral hangat (+/+), CRT < 2’’
Inferior : edema (-/-) , akral hangat (+/+), CRT < 2’’
Ruam skuama hampir di seluruh badan, wajah, bibir, kemaluan, tangan, dan
kaki (+), tampak kemerahan (+), dan gatal (+).

31
2.3. Pemeriksaan Laboratorium (31 Juli 2016)
Hematologi
Hb : 9,8 gr/dL
Leukosit : 5.000
Eritrosit : 3,6 juta/mm3
Trombosit : 190.000
Hematokrit : 29%
MCV : 81,2 fL
MCH : 27,2 pg
MCHC : 33,5 g/dL
Basofil : 0%
Eusinofil : 0%
Neutrofil : 70%
Limfosit : 17%
Monosit : 13%

Kimia Darah
Ureum : 28 mg/dL
Creatinin : 0,9 mg/dL

Kimia Darah
SGOT/AST : 49 U/I
SGPT/ALT : 15 U/I
Elektrolit
Natrium : 123 mmol/L
Kalium : 3,4 mmol/L
Klorida : 90 mmol/L

32
Pemeriksaan Laboratorium (3 Agustus 2016)
Elektrolit
Natrium : 143 mmol/L
Kalium : 2,9 mmol/L
Klorida : 99 mmol/L

Analisa Gas Darah :

pH : 7,492
PCO2 : 29,2
PO2 : 140
BE : -1,5
tCo2 : 23
HcO3 : 21,8
SO2 : 99%

Foto Rontgen Thorax PA


Tgl 31 juli 2016

33
- Jantung Aorta tidak membesar
- trakea di tengah
- kedua hilus tidak menebal
- Tampak infiltrat di perihiler bilateral
- kedua hemidiafrgama lancip
- kedua sinus phrenico costalis lancip
- jaringan lunak dinding dada terlihat baik

Kesan :
- Sesuai Bronchopneumonia
- Cor tidak membesar

2.4. Diagnosis Kerja


1. TB Paru LLKPO BTA (-)
2. HIV Stadium IV
3. Meningoensefalitis TB
4. Candidiasis Oral
5. Malnutrisi
6. Hiponatremia
7. Hipokalemia

2.5. Penatalaksanaan Awal


- Pasang NGT
- Infus NaCl 0,9% 500c/12 jam
- Infus Nacl 3%/24 jam
- Ceftriaxone 2gr/ 24 jam / IV
- OAT Kategori II /1x3 tab
- Cotrimoksazole /1x2 tab
- Ondansetron 4mg/ 8jam/ IV
- Streptomisin 750mg/ 24 jam/ IV
- Inhalasi ventolin + NS 2cc / 6jam

34
- Kapsul garam 3x1
- Omeprazole 40mg vial/ 24jam
- Konsul Spesialis Syaraf, advice  Citicoline 500mg/12 jam, Neurobion
amp/24jam, Ampicilin 1gr/ 12jam

2.6. Follow Up Pasien di Bangsal


A. (1 Agustus 2016 jam 15.30 WIB)
S : Penurunan Kesadaran (+), Lemah (+), mual (+), muntah (+), lemas (+),
O:
- Keadaan Umum : Tampak sakit Berat
- Kesadaran : Somnolen E2 M3 V2
- Tekanan Darah : 110/80 mmHg
- Nadi : 100 x / menit
- Pernapasan : 29 x / menit
- Suhu : 36,80C
- SPO2 : 98% O2 NRM 11 liter
- Mulut : Sianosis (-), Kering (+)
- Thorax : Vesikuler (+), Rhonki (+) WH (-)
Cor : BJ I – II regular, Gallop (-), Murmur (-)

A:
- TB Paru LLKPO BTA (-)
- HIV Stadium IV
- Penurunan kesadaran Ec. Meningoensefalitis TB
- Malnutrisi
- Hiponatremia
P:
- Pasang NGT
- Infus NaCl 0,9% 500c/12 jam
- Infus Nacl 3%/24 jam
35
- Ceftriaxone 2gr/ 24 jam / IV
- OAT Kategori II /1x3 tab
- Cotrimoksazole /1x2 tab
- Ondansetron 4mg/ 8jam/ IV
- Streptomisin 750mg/ 24 jam/ IV
- Inhalasi ventolin + NS 2cc / 6jam
- Kapsul garam 3x1
- Omeprazole 40mg vial/ 24jam
- Konsul Spesialis Syaraf, advice  Citicoline 500mg/12 jam, Neurobion
amp/24jam, Ampicilin 1gr/ 12jam

B. (2 Agustus 2016 jam 06.30 WIB)


S : Penurunan Kesadaran (+), Lemah (+), mual (+), muntah (+), lemas (+),
O:
- Keadaan Umum : Tampak sakit Berat
- Kesadaran : Somnolen E2 M3 V2
- Tekanan Darah : 160/70 mmHg
- Nadi : 90 x / menit
- Pernapasan : 28 x / menit
- Suhu : 36,70C
- SPO2 : 99% O2 NRM 10 liter
- Mulut : Sianosis (-), Kering (+)
- Rhonki (+/+) Wheezing (-)
- Ruam skuama hampir di seluruh badan, wajah, bibir, kemaluan, tangan,
dan kaki (+), tampak kehitaman (+),
A:
- TB Paru LLKPO BTA (-)
- HIV Stadium IV
- Meningoensefalitis TB
- Malnutrisi
- Hiponatremia
36
P:
- Infus NaCl 0,9% 500c/12 jam
- Infus Nacl 3%/24 jam
- Ceftriaxone 2gr/ 24 jam / IV
- OAT Kategori II /1x3 tab
- Cotrimoksazole /1x2 tab --- STOP : Alergi Cotrimoksazole
- Ondansetron 4mg/ 8jam/ IV
- Streptomisin 750mg/ 24 jam/ IV
- Dexamethasone 4x1 amp/ IV—STOP : Ikuti Pemberian Neurologist
- Inhalasi ventolin + NS 2cc / 6jam
- Kapsul garam 3x1
- Bisolvon 3x1 amp
- Omeprazole 40mg/vial/ 24 jam
- Konsul Spesialis Syaraf, advice  Citicoline 500mg/12 jam, Neurobion
amp/24jam, Ampicilin 1gr/ 6jam, Dexamethasone 5mg/ 6jam
PLAN : Cek Elektrolit
C. (3 Agustus 2016 jam 06.30 WIB)
S : Penurunan Kesadaran (+), Lemah (+), mual (+), muntah (+), lemas (+),
O:
- Keadaan Umum : Tampak sakit Berat
- Kesadaran : Somnolen E2 M3 V2
- Tekanan Darah : 110/80 mmHg
- Nadi : 98 x / menit
- Pernapasan : 28 x / menit
- Suhu : 36,70C
- SPO2 : 95% O2 Nasal Canule 5 liter
- Mulut : Sianosis (-), Kering (+)
- Rhonki (+/+) Wheezing (-)
- Ruam skuama hampir di seluruh badan, wajah, bibir, kemaluan, tangan,
dan kaki (+), tampak kehitaman (+),
A:
- TB Paru LLKPO BTA (-)
37
- HIV Stadium IV
- Meningoensefalitis TB
- Malnutrisi
- Hiponatremia
- Hipokalemia
P:
- Infus NaCl 0,9% 500c/12 jam
- Infus Nacl 3%/24 jam
- Ceftriaxone 2gr/ 24 jam / IV
- OAT Kategori II /1x3 tab
- Cotrimoksazole /1x2 tab --- STOP : Alergi Cotrimoksazole
- Ondansetron 4mg/ 8jam/ IV
- Streptomisin 750mg/ 24 jam/ IV
- Dexamethasone 4x1 amp/ IV—STOP : Ikuti Pemberian Neurologist
- Inhalasi ventolin + NS 2cc / 6jam
- Kapsul garam 3x1
- Bisolvon 3x1 amp
- Omeprazole 40mg/vial/ 24 jam
Konsul Spesialis Syaraf, advice  Citicoline 500mg/12 jam, Neurobion
amp/24jam, Ciprofloxacin 500mg, Dexamethasone 5mg/ 6jam, PLAN : CT-Scan
Kepala.
PLAN : Cek AGD
D. (4 Agustus 2016 jam 06.30 WIB)
S : sudah ada kontak dengan keluarga pasien (+), Lemah (+), mual (-), muntah (-),
lemas (+),
O:
- Keadaan Umum : Tampak sakit Berat
- Kesadaran : Apatis E4 M5 V3
- Tekanan Darah : 110/80 mmHg
- Nadi : 98 x / menit
- Pernapasan : 28 x / menit
- Suhu : 36,70C
38
- SPO2 : 95% O2 NRM 8 liter
- Mulut : Sianosis (-), Kering (+)
- Rhonki (+/+) Wheezing (-)
- Ruam skuama hampir di seluruh badan, wajah, bibir, kemaluan, tangan,
dan kaki (+), tampak kehitaman (+),
A:
- TB Paru LLKPO BTA (-)
- HIV Stadium IV
- Meningoensefalitis TB
- Malnutrisi
- Hiponatremia
- Hipokalemia
P:
- Infus NaCl 0,9% 500c/12 jam
- Infus Nacl 3%/24 jam
- Ceftriaxone 2gr/ 24 jam / IV
- OAT Kategori II /1x3 tab
- Cotrimoksazole /1x2 tab --- STOP : Alergi Cotrimoksazole
- Ondansetron 4mg/ 8jam/ IV
- Streptomisin 750mg/ 24 jam/ IV
- Dexamethasone 4x1 amp/ IV—STOP : Ikuti Pemberian Neurologist
- Inhalasi ventolin + NS 2cc / 8jam
- Kapsul garam 3x1
- Bisolvon 3x1 amp – ganti : N Acetylsistein 3x2 capsul
- Omeprazole 40mg/vial/ 24 jam
Konsul Spesialis Syaraf, advice  Citicoline 500mg/12 jam, Neurobion
amp/24jam, Ciprofloxacin 500mg, Dexamethasone 5mg/ 6jam, PLAN : CT-Scan
Kepala.

39
E. (5 Agustus 2016 jam 06.30 WIB)
S : Demam pasien (+), Lemah (+), mual (-), muntah (+), lemas (+), sesak napas
(+)
O:
- Keadaan Umum : Tampak sakit Berat
- Kesadaran : Apatis E4 M5 V3
- Tekanan Darah : 110/80 mmHg
- Nadi : 98 x / menit
- Pernapasan : 28 x / menit
- Suhu : 40,60C
- SPO2 : 95% O2 NRM 8 liter
- Mulut : Sianosis (-), Kering (+)
- Rhonki (+/+) Wheezing (-)
- Ruam skuama hampir di seluruh badan, wajah, bibir, kemaluan, tangan,
dan kaki (+), tampak kehitaman (+),
A:
- TB Paru LLKPO BTA (-)
- HIV Stadium IV
- Meningoensefalitis TB
- Malnutrisi
- Hiponatremia ---- Perbaikan
- Hipokalemia
P:
- Infus NaCl 0,9% 500c/12 jam
- Infus Nacl 3%/24 jam
- Ceftriaxone 2gr/ 24 jam / IV
- OAT Kategori II /1x3 tab
- Cotrimoksazole /1x2 tab --- STOP : Alergi Cotrimoksazole
- Ondansetron 4mg/ 8jam/ IV
- Streptomisin 750mg/ 24 jam/ IV
- Dexamethasone 4x1 amp/ IV—STOP : Ikuti Pemberian Neurologist
- Inhalasi ventolin + NS 2cc / 8jam
40
- Kapsul garam 3x1
- Bisolvon 3x1 amp – ganti : N Acetylsistein 3x2 capsul
- Omeprazole 40mg/vial/ 24 jam
Konsul Spesialis Syaraf, advice  Citicoline 500mg/12 jam, Neurobion
amp/24jam, Ciprofloxacin 500mg, Dexamethasone 5mg/ 6jam, PLAN : CT-Scan
Kepala.

Pukul : 09;00 Wib


- Pasien mengalami perburukan masuk Dopamine Loading 15meq
- Pasien sesak berat
- KU : Sopourous Coma
- TD 70/50
- N: 126x/mnt
- RR: 17x/Mnt
- Suhu: 39,8o C
- SpO2 75% --- NRM 15 liter
Pukul : 09:15 Wib
- Pasien mengalami Muntah warna putih berbuih,
- KU : Coma
- TD: 40/20
- RR : 12x/mnit
- Suhu : 40oC
- SpO2 45% --- NRM 15 liter
Pukul : 09; 35 Wib
- Pasien Apneu
- TD : tidak terdeteksi
- N: Pulsasi lemah
- RR: -
- SpoO2 : tidak terdeteksi
- Keluarga Pasien menolak Tindakan RJP
- Hasil EKG : Asistole
- Pasien dinyatakan Meninggal Dunia
41
BAB III
PEMBAHASAN KASUS

Pada laporan kasus ini dibahas seorang laki-laki berusia 39 tahun datang
ke IGD RSUD Embung Fatimah pada tanggal 31 Juli 2016 dengan keluhan
penurunan kesadaran sejak -/+ 3 hari yang lalu, Awalnya pasien hanya lemah
seluruh anggota gerak badan. Lama kelamaan mengalami lemah yang sangat berat
hingga mengalami penurunan kesadaran, lemah di rasakan sejak +/- 10 hari yang
lalu. Pasien juga mengalami penurunan berat badan yang sangat drastis sejak 1
bulan terakhir ini. Dan mengalami penurunan nafsu makan sejak 1 bulan ini, mual
muntah (+), Demam (+), Sesak napas (+).
Dari pemeriksaan fisik dan penunjang serta riwayat sakit pasien, dokter
mendiagnosa TB paru LLKPO BTA (-), Meningoensefalitis TB, HIV stage IV
Beberapa hal yang perlu dibahas mengenai kasus tersebut antara lain :

PERMASALAHAN PADA KASUS MENURUT TEORI


Penurunan Kesadaran Penurunan kesadaran terjadi di
karenakan infeksi Tuberkulosis yang
menyebar secara hematogen kemudian
masuk kedalam cairan serebrospinal
mencapai selaput otak (Meningen)
terjadi inflamasi. meningitis (radang
selaput otak) selama proses inflamasi
terjadi reaksi imunulogi sel-sel
polymorfonuclear mengenai ruang
subarachnoid proses inflamasi berlanjut
mengenai pembuluh darah arteri dan
vena otak, cerebral vasculitis membuat
thrombosis sehingga terjadi iskemik
serebral dan infark serebral →
Penurunan Kesadaran

42
Lemah seluruh anggota gerak badan Lemah dikarenakan Peningkaatan
metabolisme tubuh → kebutuhan nutrisi
sel meningkat → pemecahan cadangan
makanan (Glikolisis, gluconeogenesis)
→ Pemecahan cadangan makanan di
jaringan → kelemahan fisik

Penurunan berat badan, penurunan nafsu Proses inflamasi aktivasi makrofag, oleh
makan IFN-y, IL-1, IL-4, IL-6, TNF-a →
pyrogen endogen bersirkulasi sistemik
dan menembus masuk hepatoencephalic
barrier bereaksi terhadap hypothalamus
→ produksi prostaglandin →
prostaglandin merangsang cerebral
cortex → respon behavioral → nafsu
makan menurun dan leptin meningkat
menyebabkan stimulasi hypothalamus
→ nafsu makan disupresi, pada masa
yang sama terjadi peningkatan
metabolisme pada pasien TB karena
peningkatan penggunaan energy
metabolik → Penurunan nafsu makan
dan peningkatan metabolism tubuh
pasien TB → menyebabkan penurunan
BB

Demam Pyrogen endogen IL–1,IL-6 bersirkulasi


sistemik menembus hematoencephali →
set point hypothalamus → prostaglandin
termoregulator → Demam

43
Mual, muntah Dipicu iritasi mukosa lambung dan
proses infeksi lambung adanya
rangsangan hantaran impuls afferent ke
pusat muntah yaitu didaerah medulla
otak (Chemoreceptor Trigger Zone) atau
CTZ, korteks serebral, visceral afferent,
dari faring sampai saluran cerna impuls
afferent terintergrasi, hipersekresi
saliva, faring, saluran cerna, otot
abdomen, semua terintegrasi memicu
proses mual, muntah

Sesak napas Infeksi TB → membentuk jaringan


fibrosa → penurunan kapasitas paru →
berkurangnya oksigenasi darah →
gangguan pertukaran gas → sesak nafas
Infeksi TB → proses inflamasi →
hipersekresi mucus didalam rongga
bronkus → hambatan jalan napas →
sesak nafas

TB Paru BTA (-) LLKPO Dari hasil anamnesis pemeriksaan fisik,


pemeriksaan penunjang : pemeriksaan
BTA sputum, Radiologi : foto thorax
PA, hasil diagnosis TB Paru BTA (-)
LLKPO (Lesi luas kasus putus obat),
dinyatakan putus obat karena pasien
putum minum OAT sudah 2 kali putus
yang pertama kali putus pada 29 maret
2016, lanjut lagi OAT kategori II,
pengobatan berjalan 4 bulan, tgl 17 juni
2016, putus obat kembali hingga
44
sekarang di rawat.

Meningoensefalitis TB Dari skor table diagnosis kriteria


diagnosis 10 – 12 probable meningitis
TB, 6-10 kemungkinan meningitis TB.
Skor Pada pasien ini durasi gejala lebih
dari 5 hari (skor 4), gejala sugestif TB
yaitu penurunan berat badan, batuk lama
lebih dari 2 minggu, (skor 2). Sejarah
kontak dengan seseorang yang kena TB
atau positive tuberculin skin test, atau
IGRA positive skor (2), deficit
neurologi focal (1), chest x-rays
suggestive active TB skor (2). Total
skor pada pasien ini menurut table
diagnosis meningitis adalah 11 yang
berarti probable meningitis TB

HIV Stage IV Pada pasien ini di diagnose HIV yang


dikarenakan pada test VCT tanggal 2
mei 2015, hasil pemeriksaan Reaktif.
Stage IV berdasarkan gejala stadium
HIV yaitu pada pasien ini terdapat TB
ekstra paru, wasting syndrome.
Terapi awal yang sudah diberikan pada
tanggal 1 Juli 2016 berupa :
- Pasang NGT Tujuan nya untuk pemberian nutrisi cair,
dekompresi lambung, evakuasi cairan
lambung, pencegahan aspirasi karena
refluks gastroesofageal,

- Infus NaCl 0,9% 500c/12 jam


Untuk pemberian cairan via line infus,
45
Nacl 0,9% di karenakan cairan fisiologi
tubuh.

Pada pasien ini terjadi inbalance


- Infus Nacl 3%/24 jam
elektrolit yaitu penurunan natrium, di
berikan Nacil 3% untuk menaikan
natrium nya.

- Ceftriaxone 2gr/ 24 jam / IV Antibiotic sefalosporin spectrum luas,


ceftriaxone adalah salah satu antibiotic
yang menembus sawar otak.

Diberikan OAT kategori II karena


- OAT Kategori II /1x3 tab
pasien sudah putus obat 2 kali

- Cotrimoksazole /1x2 tab Diberikan kotrimoksazole karena untuk


pencegahan infeksi opurtunistik

- Ondansetron 4mg/ 8jam/ IV Salah satu golongan antagonis reseptor


serotonin yaitu anti emetic untuk
pencegahan mual muntah.

- Streptomisin 750mg/ 24 jam/ IV


Antibiotic salah satu dari OAT kategori
II, yang disuntikan IM

- Inhalasi ventolin + NS 2cc / 6jam


Bronkodilator beta 2 agonist yaitu
salbutamol, berfungsi untuk dilatasi
46
saluran nafas bagian bawah (bronkus,
bronkioulus)

- Omeprazole 40mg vial/ 24jam Salah satu obat golongan PPI (proton
pump inhibor hcl) berfungsi untuk
menghambat produksi asam lambung

- Konsul Spesialis Syaraf, advice :

Citicoline 500mg/12 jam, Citicoline adalah neuroprotector di


berikan untuk memperbaiki
vaskularisasi otak dan system saraf
pusat yang diakibatkan karena adanya
kerusakan otak.

Neurotropik vitamin syaraf yang


Neurobion amp/24jam
berfungsi memperbaiki system syaraf
pusat maupun perifer.

- Ampicilin 1gr/ 6jam Antibiotic golongan penisilin derivate


spectrum luas yang bertujuan
membunuh bakteri gram negative dan
positif

Therapy tambahan pada tanggal 2 agustus


2016, obat yang didapat berupa :

- Dexamethasone /6jam/IV
Golongan obat anti inflamasi
47
kortikosteroid, yang berfungsi untuk
antisipasi maupun pencegahan edema
cerebri

- Bisolvon /8jam/IV Untuk mengeluarkan dahak

Therapy tambahan pada tanggal 3 agustus


2016, obat yang diberikan berupa :

- Ampicillin stop
- Cotrimoksazole stop alergi
- Ciprofloxacin 500mg 2x1
Antibiotic golongan fluoroquinolone
spectrum luas dan lebih khusus ke
bakteri gram negatif.
Therapy tambahan pada tanggal 5 agustus
2016, obat yang diberikan berupa :
- Bisolvon stop

- N acetyl sistein 3x2 caps Mukolitik yaitu tujuannya untuk


mengeluarkan dahak,

48
DAFTAR PUSTAKA

1. Isbaniyah, F. dkk. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di


Indonesia. Jakarta: PDPI; 2011.
2. Aditama, T.Y, dkk. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta:
Depkes RI; 2007.
3. Djojodibroto, D. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC; 2009.
4. Djoerban, Z. Samsuridjal, D. HIV/ AIDS di Indonesia, dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; 2009.
5. Bhatia, R.S.. HIV and Tuberculosis: The Ominous Connection. IJCP. 2001; 2
(4): 256-9.
6. Hudoyo, A. dkk. Diagnosis TB-Paru pada Pasien dengan HIV/ AIDS. 2008;
JTI 4(2): 1-5.
7. Crofton, J., Horne, N., Miller, F. Tuberkulosis Klinis 2nd ed. Jakarta: Widya
Medika; 2002.
8. Misnadiarly. Pemeriksaan Laboratorium Tuberkulosis dan Mikobakterium
Atipik. Jakarta: Dian Rakyat; 2006.
9. Alsagaff, H. Abdul M. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga
University Press; 2009.
10. Hasan, H. Tuberkulosis Paru, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru.
Surabaya: Airlangga University Press; 2010
11. Amin, Z. Asril B. Tuberkulosis Paru, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: FKUI; 2009.
12. Simbolon, E. Pola Kelainan Kulit pada Pasien HIV/AIDS di Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Universitas Sumatra Utara; 2011.
Diakses dari: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/21448.
13. Lan, V.M. Virus Imunodefisiensi Manusia (HIV) dan Sindrom
Imunodefisiensi Didapat (AIDS). Dalam: Hartanto,H. (eds). Patofisiologi:
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Vol I. Ed.6. Jakarta:EGC; 2006. p.
224-245.
14. Murtiastutik, D. AIDS. Dalam: Barakbah, J. (eds). Buku Ajar Infeksi Menular
Seksual. Ed.2. Surabaya: Airlangga University Press; 2008.p. 211-220.
49
15. WHO. TB/ HIV: A Clinical Manual; 2004. Diakses dari:
whqlibdoc.who.int/publications/2004/9241546344.pdf.
16. Diagnosis and therapy of tuberculous meningitis in children. Nicola Principi*,
Susanna Esposito. Department of Maternal and Pediatric Sciences, Università
degli Studi di Milano, Fondazione IRCCS Ca’ Granda Ospedale Maggiore
Policlinico, Via Commenda 9, 20122 Milan, Italyen
17. Meningitis tuberculosis. http://www.mayoclinic.com/health/tuberculosis
Accessed September, 25th 2013.
18. Bidstrup C, Andersen PH, Skinhøj P, Andersen AB. Tuberculous meningitis
in a country with a low incidence of tuberculosis: still a serious disease and a
diagnostic challenge.Scand J Infect Dis 2002;34:811e4.
19. Keane J. TNF-blocking agents and tuberculosis: new drugs illuminate an old
topic.Rheumatology (Oxford)2005;44:714e20
20. Nicola Principi, Susanna Esposito. Diagnosis and therapy of tuberculous
meningitis in children. Department of Maternal and Pediatric Sciences,
Università degli Studi di Milano, Fondazione IRCCS Ca’ Granda Ospedale
Maggiore Policlinico. Via Commenda 9, 20122 Milan, Italy. Tuberculosis
2012: 92; 377-383
21. Farinha NJ, Razali KA, Holzel H, Morgan G, Novelli VM. Tuberculosis of the
central nervous system in children: a 20-year survey.J Infect 2000;41:61e8
22. Saitoh A, Pong A, Waecker Jr NJ, Leake JA, Nespeca MP, Bradley JS.
Prediction of neurologic sequelae in childhood tuberculous meningitis: a
review of 20 cases and proposal of a novel scoring system.Pediatr Infect Dis
J2005;24:207e12.
23. Nofareni. Status Imunisasi BCG dan Faktor Lain yang Mempengaruhi
Terjadinya Meningitis Tuberkulosa. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK USU.
2003; 1-13.
24. Yayan A. Israr. Meningitis. Faculty of Medicine – University of Riau, Arifin
Achmad General Hospital of Pekanbaru. 2008; 1-6.
25. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. International Standards for
Tuberculosis Care (ISTC). 2nd ed. The Hague: Tuberculosis Coalition for
Technical Assistance, 2009.
50
26. Raviglione MC, O’Brien RJ. Tuberculosis. In: Longo DL, Kasper DL,
Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison’s principles of
internal medicine. 18th edition. New York: McGraw Hill; 2012
27. Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z. Infeksi oportunistik pada aids. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta; 2005
28. Thwaites GE, Bhavnani SM, Chau TTH, Hammel JP, Torok ME, Wart SAV,
et. al. A randomized pharmaco-kinetic and pharmacodynamic comparison of
fl uo-roquinolones for tuberculous meningitis. Antimicrob Agents Chemother
2011; doi:10.1128/AAC.00064-11.
29. Corral I, Quereda C, Navas E, Martín-Dávila P, Pérez-Elías MJ, Casado JL, et
al.Adenosine deaminase activity in cerebrospinalfluid of HIV-
infectedpatients: limited value for diagnosis of tuberculous meningitis.Eur J
Clin Microbiol InfectDis2004;23:471e6
30. Liao CH, Chou CH, Lai CC, Huang YT, Tan CK, Hsu HL, et al. Diagnostic
perfor-mance of an enzyme-linked immunospot assay for interferon-gamma in
extrapulmonary tuberculosis varies between different sites of disease.J Infect
2009;59:402e8
31. Simmons CP, Thwaites GE, Quyen NT, Chau TT, Mai PP, Dung NT, et al.
The clinical benefit of adjunctive dexamethasone in tuberculous meningitis is
not associated with measurable attenuation of peripheral or local immune
responses.J Immunol 2005;175:579e90
32. Shao Y, Xia P, Zhu T, Zhou J, Yuan Y, Zhang H, et al. Sensitivity and
specificity of immunocytochemical staining of mycobacterial antigens in the
cytoplasm of cerebrospinalfluid macrophages for diagnosing tuberculous
meningitis.J ClinMicrobiol2011;49:3388e91
33. Guidelines for Tuberculosis Control in New Zealand 2010 Chapter 3:
Treatment of Tuberculosis Disease. 2010; Wellington: Ministry of Health.
34. DP Moore, HS Schaaf, J Nuttall, BJ Marais. Childhood tuberculosis
guidelines of the Southern African Society for Paediatric Infectious Diseases.
South Afr J Epidemiol Infect. 2009;24(3).
35. Pedoman penatalaksanaan Klinis Infeksi HIV dan Terapi Anti Retro Viral
pada orang dewasa. KementrianKesehatanRI. 2011
51
52

Anda mungkin juga menyukai