Anda di halaman 1dari 3

LATAR BELAKANG

System saraf pusat (SSP) merupakan system saraf yang dapat mengendalikan sisitem
saraf lainnya didalam tubuh dimana bekerja dibawah kesadaran atau kemauan. SSP bisa juga
disebut dengan sistem saraf sentral karena merupakan sentral atau pusat dari yang lainnya.
Sistem saraf pusat dibagi mejadi 2 yaitu otak (ensevalon) dan sumsum tulang belakang (medulla
oblongata).

System syaraf pusat sangat peka terhadap obat-obatan, akibatnya sebagian obat-obatan
jika diberikan dalam dosis yang cukup besar akan menimbulkan efek yang sangat mencolok
terhadap system saraf pusat. Adapun obat-obat yang bekerja pada sistem saraf pusat yaitu obat
sedatf-hipnotik, obat anti konvulsi (kejang), anestika umum dan anestika lokal.

Anesthesia umum adalah obat yang dapat menimbulkan anesthesia atau nakrosa, yakni
keadaan depsresi umum di pel bagai pusat system saraf pusat (SSP) yang bersifat reversible,
dimana seluruh perasaan dan kesadaran di tiadakan, sehingga agak mirip dengan seperti pingsan
(Tjay dan kirana, 2007)

Anaetika umum dibedakan menjadi dua, yaitu anestika inhalan dan anestika intravena.
Adapun efek anestetika pada otak menimbulkan empat stadium atau tingkat kedalaman depresi
SSP, yaitu: Stadium I Anelgesia, stadium II excitement (eksitasi), stadium III operasi dan
stadium IV depresi medulla (Bertram G. Katzung et al.,2013)

Maka dari itu dengan dilakukannya praktikum ini, mahasiswa farmasi diharapkan dapat
mengetahui obat anestesia yang paling tepat digunakan sebagai obat yang dapat penurunan
kesadaran secara bertahap dari segi farmakokinetik dan farmakodinamik yang dimiliki oleh obat
tersebut.

Dapus

Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja, 2007, Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan Efek-
Efek Sampingnya, Edisi Keenam, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo

Katzung, Bertram G. 2012. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. Jakarta: EGC
MEKANISME KERJA ATROPIN SULFAT

Mekanisme kerja Atropine memblok aksi kolinomimetik pada reseptor muskarinik secara
reversible (tergantung jumlahnya) yaitu, hambatan oleh atropine dalam dosis kecil dapat diatasi
oleh asetilkolin atau agonis muskarinik yang setara dalam dosis besar. Hal ini menunjukan
adanya kompetisi untuk memperebutkan tempat ikatan. Hasil ikatan pada reseptor muskarinik
adalah mencegah aksi seperti pelepasan IP3 dan hambatan adenilil siklase yang diakibatkan oleh
asetilkolin atau antagonis muskarinik lainnya. (Jay dan Kirana,2002)
Atropin dapat menimbulkan beberapa efek, misalnya pada susunan syaraf pusat,
merangsang medulla oblongata dan pusat lain di otak, menghilangkan tremor, perangsang
respirasi akibat dilatasi bronkus, pada dosis yang besar menyebabkan depresi nafas, eksitasi,
halusinasi dan lebih lanjut dapat menimbulkan depresi dan paralisa medulla oblongata. Efek
atropin pada mata menyebabkan midriasis dan siklopegia. Pada saluran nafas, atropin dapat
mengurangi sekresi hidung, mulut dan bronkus. Efek atropin pada system kardiovaskuler
(jantung) bersifat bifasik yaitu atropin tidak mempengaruhi pembuluh darah maupun tekanan
darah secara langsung dan menghambat vasodilatasi oleh asetilkolin. Pada saluran pencernaan,
atropin sebagai antispasmodik yaitu menghambat peristaltik usus dan lambung, sedangkan pada
otot polos atropin mendilatasi pada saluran perkencingan sehingga menyebabkan retensi urin
(Hidayat, 2005)

FARMAKOLOGI
Pemberian atropin sebagai obat tetes mata, terutama pada anak dapat menyebabkan
absorpsi dalam jumlah yang cukup besar lewat mukosa nassal,sehingga menimbulkan efek
sistemik dan bahkan keracunan. Untuk mencegah hal ini perlu dilakukan penekanan kantus
internus mata setelah penetesan obat agar larutan atropin tidak masuk ke rongga hidung, terserap,
dan menyebabkan efek sistemik. Hal ini tidak tampak pada derivat sintetis maupun semisintetis. .
(Sulistia, 2008)

Atropin sulfat menghambat M. constrictor pupillae dan M. ciliaris lensa mata, sehingga
menyebabkan midriasis dan siklopegia (paralisis mekanis meakomodasi). Midriasis
mengakibatkan fotopobia, sedangkan siklopegia menyebabkan hilangnya daya melihat jarak
dekat.
FARMAKODINAMIK
Mula timbulnya midriasis tergantung dari besarnya dosis, dan hilangnya lebih lambat
daripada hilangnya efek terhadap kelenjar liur. Pemberian lokal pada mata menyebabkan
perubahan yang lebih cepat dan berlangsung lama sekali (7-12 hari), karena atropin sukar
dieliminasi dari cairan bola mata. Midriasis oleh alkaloid belladona dapat diatasi dengan
pilokarpin, eserin, atau DFP. Tekanan intraokular pada mata yang normal tidak banyak
mengalami perubahan.Tetapi pada pasien glaukoma, terutama pada glaukoma sudut sempit,
penyaliran cairan intraokular melalui saluran schlemm akan terhambat karena muaranya terjepit
dalam keadaan midriasis. (Sulistia, 2008)

Dapus
Amrun Hidayat. M. 2005. Alkaloid Turunan Triptofan.

Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2002. Obat-obat Penting : Khasiat, Penggunaan dan Efek-
efek Sampingnya. Jakarta : PT. Gramedia.
Gunawan, Sulistia Gan. 2008. Farmakologi dan Terapi. Departemen Farmakologi dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran UniversitasIndonesia. Jakarta: badan penerbit FK
Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai