PARTAI POLITIK
DI INDONESIA
ْللاَ ْلَ يُغَيِِّ ُْر َما بِقَ ْومْ َحتَّى يُ َغيِِّ ُروْاْ َما بِأ َ ْنفُس ِِه ْم
ِّْ َّْإِن
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum
sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar Ra’d: 11)
Terimakasih penulis ucapkan pada Bapak Busiri selaku Dosen mata kuliah Pengantar
Ilmu Politik yang telah memberikan tugas ini kepada kami dan kepada seluruh civitas
akademika Institut Pemerintahan Dalam Negeri.
Penulis sangat berharap tulisan ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai Partai Politik itu sendiri. Sekiranya tulisan yang telah
disusun ini dapat berguna bagi penulis sendiri maupun orang yang membacanya.
Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-
kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, penulis berharap adanya
kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun.
Penulis juga memohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di
masa depan.
Semoga karya bakti ini dapat bermanfaat. Hanya kepada Allah kita meminta
pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon keadilan.
Rozal Nawafil
NPP. 29.0062
Penutup ...................................................................................................................................................... 32
Daftar Pustaka ......................................................................................................................................... 33
Biodata Penulis ....................................................................................................................................... 34
Partai politik secara umum dapat didefinisikan dengan, sekumpulan orang yang
mempunyai tujuan ataupun kepentingan yang sama. Dengan tujuan memperoleh
kekuasaan politik dan merebut kekuasaan politik. Biasanya dengan cara konstitusional
untuk melaksanakan kebijaksanaan mereka.
Berikut beberapa definisi dari partai politik menurut beberapa para ahli:
Prof. Miriam Budiardjo: “Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang
anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama dengan
tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya),
dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka”.
Carl J. Friedrich: Partai Politik adalah “sekelompok manusia yang terorganisir secara
stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap
pemerintahan bagi pimpinan partainya, berdasarkan penguasaan ini memberikan
kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil”.
R. H. Soltau: “Partai Politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak
terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan dengan memanfaatkan
kekuasaannya untuk memilih. Bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan
kebijaksanaan umum mereka”.
Sigmund Neumann: “Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis Politik yang
berusaha untuk menguasai kekuasan pemerintah serta merebut dukungan rakyat atas
dasar persaingan melawan golongan-golongan lain yang tidak sepaham”.
Menurut Undang-Undang:
UU Partai Politik pasal 1 ayat 1 tahun 2011: Partai Politik adalah organisasi yang
bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara
sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan
membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta
memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan pancasila dan
UUD 1945.
Di Indonesia terdapat 2 jenis partai politik yaitu Partai Politik Nasional dan Partai
Politik Lokal. Partai politik lokal adalah organisasi politik yang dibentuk di Provinsi
Aceh oleh beberapa warga negara Indonesia secara suka rela atas persamaan kehendak
dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan, anggota, masyarakat, bangsa dan
negara melalui Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)/Dewan Perwakilan Rakyat
Kabupaten/Kota (DPRK), Gubernur dan Wakil Gubernur, serta Bupati dan Wakil
Bupati/Wali Kota dan Wakil Walikota di Provinsi Aceh.
Secara umum, tujuan partai politik adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan
merebut kedudukan politik dengan cara kostitusionil untuk melaksanakan kebijakan-
kebijakan kepada rakyatnya.
Menurut Miriam Budiardjo (2003), ada empat fungsi partai politik, yaitu komunikasi
politik, sosialisasi politik, rekruitmen politik dan pengelolaan konflik.
Menurut Caton (2007:7) dalam Pamungkas, dalam negara demokrasi dan berbagai
fungsi partai politik yang ada sebenarnya terdapat 4 (empat) fungsi sentral partai
politik, yaitu:
1. fungsi artikulasi kepentingan, yaitu mengembangkan program-program dan
kebijakan pemerintah yang konsisten.
2. fungsi agregasi kepentingan, memungut tuntutan masyarakat dan
membungkusnya.
3. rekuitmen, yaitu menyeleksi dan melatih orang untuk posisi-posisi di eksekutif
dan legislatif.
4. mengawasi dan mengkontrol pemerintah.
Fungsi-fungsi tersebut dalam cakupan lebih luasnya antara lain adalah dari satu partai
ke partai lain menunjukkan bahwa kaderisasi yang dilakukan oleh partai politik belum
berhasil menanamkan loyalitas yang kuat sehingga kaderisasi tersebut menjadi masalah
besar di partai politik. Partai-partai politik tersebut dianggap tidak memiliki
kemampuan mengerahkan dan mewakili kepentingan warga dengan pemerintah.
Fungsi partai untuk memperkuat stabilitas pemerintahan dan demokrasi adalah
menjaga stabilitas partai.
Berdasarkan penjelasan fungsi partai politik diatas, dapat disimpulkan bahwa fungsi
partai politik adalah untuk membantu masyarakat menyalurkan aspirasinya dan
membantu masyarakat berpartisipasi dalam politik, mengawasi jalannya pemerintahan
dan mewujudkan pemerintahan yang adil dan demokratis.
Pertama, di antara ahli kepartaian sendiri tidak pernah mencapai kesepakatan tentang
apa yang dimaksud dengan kata fungsi. Beberapa ahli menggunakan kata itu untuk
menunjukkan aktivitas nyata partai politik, seperti kontestasi dalam pemilu, sementara
ahli yang lain menggunakannya untuk menggambarkan konsekuensi-konsekuensi yang
tidak direncanakan atau sebuah kebetulan yang dihasilkan dari aktivitas-aktivitas yang
direncanakan. Pakar yang lain menyebutkan fungsi adalah menandakan sebuah
kontribusi partai untuk beroperasi dalam sistem politik yang luas.
Ada beberapa faktor yang bias menjadi penyebab gagalnya sebuah partai politik di
Indonesia menjalankan fungsinya, yaitu:
Terjadinya kesulitan dalam menjalankan fungsi partai politik ini menurut Paul Allen
Beck dan Frank J. Sorauf dikarenakan oleh dua hal, yakni:
Berdasarkan fakta, tidak semua fungsi partai politik dilaksanakan dalam porsi besar
dan tingkat keberhasilan yang sama. Tetapi semua fungsi dijalankan sesuai kepada
sistem politik itu sendiri yang menjadi faktor yang melingkupi partai politik tersebut,
tetapi juga ditentukan oleh faktor lain. Di antaranya yaitu berupa dukungan atau
semangat yang diberikan anggota masyarakat terhadap partai politiknya.
Tujuan dari pembentukan partai politik menurut Undang-Undang No.2 Tahun 2008
tentang Partai Politik, yaitu
Tujuan khusus partai politik ini sifatnya lebih ke dalam partai politik itu sendiri atau
apa yang di raih oleh partai politik tersebut dalam lingkup dirinya sendiri. Beberapa
tujuan khusus atau misi yang harus dicapai oleh suatu partai politik, yaitu sebagai
berikut:
Partai politik meningkatkan partisipasi politik baik bagi anggota dan juga
masyarakat Indonesia dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan
pemerintah.
Sebuah partai politik harus memperjuangkan cita-cita partai politik dalam
kehidupan bemasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Partai politik harus memiliki kemampuan untuk membangun etika dan budaya
politik, baik dalam kehidupan bemasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Klasifikasi lainnya dapa dilakukan dari segi sifat dan orientasi, secara umum dapat
dibagi dalam dua jenis yaitu partai lindungan dan partai ideology atau partai azas.
Partai lindungan biasanya memiliki organisasi nasional yang kendor, disiplin yang
lemah dan biasanya tidak terlalu mementingkan pemungutan iuran secara teratur.
Sedangkan partai ideology atau azas biasanya mempunyai pandangan hidup yang
digariskan dalam kebijaksanaan pimpinan dan berpedoman pada disiplin partai yang
kuat dan mengikat.
Pembagian di atas sering dianggap kurang memuaskan karena dalam setiap partai ada
unsur lindungan serta pembagian rezeki di samping pandangan hidup tertentu. Oleh
karena itu Maurice Duverger dalam bukunya yang berjudul Political Parties,
mengklasifikasikan partai politik ke dalam tiga jenis, yaitu sistim partai tunggal, sistim
dwi-partai dan sistim multi-partai.
Dalam sistem ini, hanya ada satu partai dalam suatu negara atau ada satu partai yang
mempunyai kedudukan dominan di antara beberapa partai lainnya untuk dapat
menyalurkan aspirasi rakyat. Sehingga aspirasi rakyat tidak dapat berkembang dengan
baik. Segalanya ditentukan oleh satu partai tanpa adanya campur tangan partai lain,
baik sebagai saingan maupun sebagai mitra. Partai tersebut tentunya adalah partai yang
mengendalikan pemerintahan. Suasana kepartaian dinamakan non-kompetitif karena
partai- - partai yang ada harus menerima pimpinan dari partai yang dominan dan tidak
dibenarkan untuk saling bersaing secara merdeka melawan partai itu. Contohnya
adalah Partai Nazi di Jerman, Partai Fascis di Italia dan Partai Komunis di Uni Soviet,
RRC, Jerman, Kuba dll.
SISTEM DWI-PARTAI
Dalam sistem ini diartikan adanya dua partai dalam suatu negara atau adanya dua
partai yang berperan dominan dari partai yang lain. Dalam sistem ini di bagi jelas antara
partai yang berkuasa dan partai oposisi. Partai yang kalah berperan sebagai pengecam
utama tapi yang setia terhadap kebijaksanaan partai yang duduk dalam pemerintahan,
dengan pengertian bahwa peranan ini sewaktu – waktu dapat bertukar tangan. Dalam
persaingan memenangkan pemilihan umum kedua partai berusaha untuk merebut
dukungan orang – orang yang ada di tengah dua partai dan yang sering dinamakan
pemilih terapung.
Dalam sistem ini partai yang kalah berperan sebagai pengancam utama tapi yang setia
(loyal opposition) terhadap kebjakan partai yang duduk dalam pemerintahan, dengan
pengertian bahwa peran ini sewaktu-waktu dapat bertukar tangan. Dalam persaingan
memenangkan pemilihan umum kedua partai berusaha untuk merebut dukunygan
orang-orang yang ada ditengah kedua partai dan sering dinamakan pemilihan terapung
(floating vote) atau pemilih ditengah (median vote).
Pengaruh partai ini biasanya terbatas, tetapi kedudukanya berubah menjadi sangat
krusial pada saat perbedaan dalam perolehan suara dari kedua partai besar dalam
pemilihan umum sangat kecil. Dalam situasi seperti ini partai pemenang terpaksa
membentuk koalisi dengan partai leberal demokrat atau partai kecil lainnya.
Pada umumnya dianggap bahwa sistem dwi-partai lebih konduktif untuk
terpeliharanya stabilitas karena ada perbedaan yang jelas antara partai pemerintah dan
partai oposisi. Akan tetapi perlu juga diperhatikan dalam masyarakat yag terpolarisasi
sistem dwi-partai malahan dapat mempertajam perbedaan pandangan antara kedua
belah pihak, karena tidak ada kelompok ditengah-tengah yang dapat meredakan
suasana konflik.
Inggris biasanya di kemukakan sebagai contoh yang paing ideal dalam menjalankan
sistem dwi-partai. Partai buruh dan Partai Konservatif boleh di katakan tidak
mempunyai pandangan yang banyak berbeda mengenai azas dan tujuan politik, dan
perubahan pimpinan umumnya tidak terlalu mengganggu kontinuitas dalam
kebijaksanaan pemerintah. Perbedaan yang pokok hanya berkisar pada cara–cara dan
kecepatan melaksanakan beberapa program pembaharuan yang menyangkut masalah
sosial, perdagangan dan industri. Di samping kedua partai tadi ada beberapa partai kecil
lainnya, diantaranya yan paling penting adalah Partai Liberal. Kedudukan partai ini
relatif sedikit artinya dan baru terasa perannya jika kemenangan yang dicapai oleh
salah satu partai besar hanya tipis sekali, sehingga perlu diadakan koalisi dengan Partai
Liberal.
SISTEM MULTI-PARTAI
Dalam sistem ini terdapat lebih dari dua partai. Negara yang menganut sistem multi
partai adalah Indonesia, Jerman, Perancis, Jepang, Malaysia, Nederland, Australia,
Prancis, Swedia, dan Federasi Rusia. Prancis mempunyai jumlah partai yang berkisar 17
dan 28, sedangkan di Federasi Rusia sesudah jatuhnya partai komunis jumlah partai
mencapai 43.
Dalam sistem multi-partai, jika tidak ada partai yang meraih suara mayoritas, maka
terpaksa dibentuk pemerintahan koalisi. Penentuan suara mayoritas adalah “setengah
tambah satu”, yaitu bahwa sekurang – kurangnya lebih dari separuh jumlah anggota
parlemen.
Pada permulaannya peranan partai politik di negara-negara Barat bersifat elitis dan
aristokratis, dalam arti terutama mempertahankan kepentingan golongan bangsawan
terhadap tuntutan raja, namun dalam perkembangannya kemudian peranan tersebut
meluas dan berkembang ke segenap lapisan masyarakat. Hal ini antara lain disebabkan
oleh perlunya dukungan yang menyebar dan merata dari semua golongan masyarakat.
Dengan demikian terjadi pergeseran dari peranan yang bersifat elitis ke peranan yang
meluas dan populis.
1. Teori Kelembagaan
Teori ini melihat ada keterhubungan antara Parlemen awal dan timbulnya partai politik.
Teori ini mengatakan bahwa, partai politik dibentuk oleh kalangan legislatif (dan
eksekutif) karena ada kebutuhan para anggota parlemen untuk mengadakan kontrak
dengan masyarakat dan membina dukungan dari masyarakat. Setelah partai tersebut
terbentuk dan menjalankan fungsinya, maka muncul partai politik lain yang dibentuk
oleh kalangan masyarakat. Oleh kalangan masyarakat partai politik dibentuk karena
masyarakat sadar bahwa partai politik yang dibentuk oleh pemerintah tidak dapat
menampung aspirasi mereka.
Teori ini melihat timbulnya partai politik sebagai upaya sebuah sistem politik untuk
mengatasi krisis yang disebabkan oleh perubahan masyarakat secara luas.Teori ini
menjelaskan bahwa krisis situasi yang terjadi manakala suatu sistem politik mengalami
masa transisi karena perubahan masyarakat dari bentuk masyarakat yang sifatnya
tradisional yang berstruktur sederhana menuju masyarakat yang modern yang
3. Teori Pembangunan
Teori yang melihat partai politik sebagai produk modernisasi sosial ekonomi.Dalam
teori ketiga ini, melihat modernisasi sosial ekonomi, seperti pembangunan teknologi
komunikasi berupa media massa dan transportasi, perluasan dan peningkatan mutu
pendidikan, industrialisasi, urbanisasi, perluasan kekuasaan negara seperti
birokratisasi, pembentukan berbagai kelompok-kelompok kepentingan dan organisasi
profesiserta peningkatan individu dalam memberikan pengaruh terhadap lingkungan
sekitarnya, melahirkan sebuah kebutuhan terhadap sebuah organisasi politik yang
mampu memadukan dan memperjuangkan berbagai aspirasi tersebut. Jadi partai politik
merupakan sebuah produk logis dari modernisasi sosial ekonomi
Masa ini disebut sebagai periode pertama lahirnya partai politik di Indoneisa (waktu itu
Hindia Belanda). Lahirnya partai menandai adanya kesadaran nasional. Pada masa itu
semua organisasi baik yang bertujuan sosial seperti Budi Utomo dan Muhammadiyah,
ataupun yang berazaskan politik agama dan sekuler seperti Serikat Islam, PNI dan
Partai Katolik, ikut memainkan peranan dalam pergerakan nasional untuk Indonesia
merdeka.
Di luar dewan rakyat ada usaha untuk mengadakan gabungan partai politik dan
menjadikannya semacam dewan perwakilan rakyat. Pada tahun 1939 dibentuk KRI
(Komite Rakyat Indoneisa) yang terdiri dari GAPI (Gabungan Politik Indonesia) yang
merupakan gabungan dari partai-partai yang beraliran nasional, MIAI (Majelis Islami)
yang merupakan gabungan partai-partai yang beraliran Islam yang terbentuk tahun
1937, dan MRI (Majelis Rakyat Indonesia) yang merupakan gabungan organisasi buruh.
Rezim pemerintah Jepang yang sangat represif bertahan sampai tiga setengah tahun.
Sumber daya alam atau tenaga manusia dikerahkan untuk menunjang perang “Asia
Timur Raya” dalam rangka itu semua partai di bubarkan dan setiap kegiatan politik
dilarang, hanya golongan Islam diberi kebebasan untuk membentuk partai Masyumi,
yang lebih banyak bergerak di bidang sosial.
Beberapa bulan setelah proklamsi kemerdekaan, terbuka kesempatan yang besar untuk
mendirikan partai politik, sehingga bermunculanlah parti-partai politik Indonesia.
Dengan demikian kita kembali kepada pola sistem banyak partai.
Pesta demokrasi lima tahunan, pemilihan umum ( pemilu), menjadi perhelatan politik
yang selalu menimbulkan gegap gempita. Dengan segala cerita dan keriuhannya.
Indonesia telah 12 kali menyelenggarakan pemilu. Pemilu pertama digelar pada era
Presiden Soekarno pada tahun 1955. Jumlah partai politik yang menjadi peserta pemilu
juga berbeda dari satu pemilu ke pemilu berikutnya. Pada 1955, jumlah partai politik
peserta pemilu mencapai 172 partai.
Berikut perjalanan pemilu di Indonesia dari masa ke masa : Pemilu 1955 Pemilu 1955
diikuti oleh 172 parpol dengan 15 daerah pemilihan dan jumlah pemilih sekitar 43 juta
orang. Berdasarkan data Litbang Kompas, kursi yang diperebutkan sebanyak 257 kursi
DPR.
Pemilu 1955 diikuti oleh 172 kontestan partai politik. Empat partai terbesar
diantaranya adalah: PNI (22,3 %), Masyumi (20,9%), Nahdlatul Ulama (18,4%), dan PKI
(15,4%).
Pemilu 1955 memunculkan 4 partai politik besar, yaitu : Masyumi, PNI, NU dan PKI.
Masa tahun 1950 sampai 1959 ini sering disebut sebagai masa kejayaan partai politik,
karena partai politik memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan
bernegara melalui sistem parlementer. Sistem banyak partai ternyata tidak dapat
berjalan baik. Partai politik tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, sehingga
kabinet jatuh bangun dan tidak dapat melaksanakan program kerjanya. Sebagai
akibatnya pembangunan tidak dapat berjaan dengan baik pula. Masa demokrasi
parlementer diakhiri dengan Dekrit 5 Juli 1959, yang mewakili masa masa demokrasi
terpimpin. Demokrasi terpimpin ditandai pertama dengan diperkuatkan kedudukan
presiden antara lain di tetapkannya presiden seumur hidup melalui TAP MRP No
III/1963 , pengurangan peranan partai politik kecuali PKI , peningkatan peranan militer
sebagai kekuatan sosial politik
Pada masa demokrasi terpimpin ini peranan partai politik mulai dikurangi, sedangkan
di pihak lain, peranan presiden sangat kuat. Partai politik pada saat ini dikenal dengan
NASAKOM (Nasional, Agama dan Komunis) yang diwakili oleh NU, PNI dan PKI. Pada
masa Demokrasi Terpimpin ini nampak sekali bahwa PKI memainkan peranan
bertambah kuat, terutama memalui G 30 S/PKI akhir September 1965).
Pemilu 1971 pada era Presiden Soeharto diikuti oleh 10 parpol yaitu:
1. Partai Katolik
Untuk mengikis pengaruh PKI yang begitu besar saat itu, Golongan Karya (Golkar)
dibentuk di akhir-akhir masa kepemimpinan Sukarno. Golkar langsung ikut Pemilu
tahun 1971 dan menang. Ia bisa mengungguli partai-partai yang sebelumnya dominan
yakni NU, PNI dan Parmusi.
Beberapa parpol yang ikut pada Pemilu 1955 tak lagi ikut serta pada masa Orde Baru
karena telah dibubarkan, seperti Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai
Sosialis Indonesia (PSI), dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Golkar menang dengan
mengantongi 62,8 persen suara (236 kursi DPR). Kemudian, disusul Nahdlatul Ulama
(NU) dengan 18,6 persen suara (58 kursi); Parmusi 5,3 persen suara (24 kursi); Partai
Nasionalis Indonesia (PNI) dengan 6,9 persen suara (20 kursi), dan Partai Syarikat
Islam Indonesia (PSII) dengan 2,3 persen suara (10 kursi).
Tahun 1973 atau dua tahun setelah Pemilu 1971, Rezim Orde Baru menggabungkan
partai-partai politik yang ada. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975
tentang Partai Politik dan Golkar, maka jumlah parpol peserta pemilu menjadi lebih
sedikit.
Tiga partai politik terbentuk dari hasil penggabungan atau fusi tersebut. Tiga partai itu
adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari NU,
Parmusi, PSII, dan PERTI. Lalu ada Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan
gabungan dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo. Sementara Golkar
berdiri sendiri.
Dalih rezim Soeharto saat ini adalah untuk menciptakan stabilitas. Saat itu pemerintah
berkaca pada rezim orde lama di mana banyak parpol membuat perpecahan di tubuh
masyarakat.
Selanjutnya di Pemilu 1977 hingga 1997, Pemilu selalu diikuti oleh tiga parpol ini dan
selalu Golkar yang jadi pemenang. Golkar saat itu menjadi kendaraan politik utama
Soeharto untuk melanggengkan kekuasaan. Soeharto juga setiap periode selalu ditunjuk
oleh MPR menjadi Presiden RI.
Era Reformasi ditandai dengan mundurnya Soeharto dari presiden setelah berkuasa
hampir 32 tahun lamanya. Sejak itu, masyarakat menuntut kepada pemerintah penerus
agar ada pembaharuan kehidupan politik yang lebih demokratis dibanding sebelumnya.
Salah satunya yakni dengan mengeluarkan undang-undang pemilu yang baru.
KPU, kala itu, mencatat ada 141 partai politik yang mendaftarkan diri ke Departemen
Kehakiman. Namun hanya 48 di antaranya memenuhi syarat dan boleh mengikuti
Pemilu 1999.
Pemilu 1999 untuk pertama kalinya Golkar kalah. Pendatang baru, PDI Perjuangan yang
digawangi Megawati Soekarnoputri langsung jadi pemenang.
Di Pemilu selanjutnya di tahun 2004, mulai ada seleksi pada parpol yang akan ikut
pemilu dengan Undang-Undang Pemilu yang baru. Partai dengan perolehan kursi 2
persen di DPR atau 3 persen di DPRD yang boleh ikut Pemilu 2004. Saat itu hanya enam
partai yang memenuhi kriteria. Sementara partai-partai lain yang tidak memenuhi
kriteria harus bergabung dengan partai lainnya.
Dari 'seleksi' ini, ada 24 parpol yang berhak ikut Pemilu 2004, yaitu:
Pada Pemilu 2009 muncul pemenang baru, yakni Partai Demokrat di mana sosok
sentral partai ini, SBY, adalah petahana yang berlaga kembali di pilpres. Jumlah parpol
yang ikut Pemilu 2009 berjumlah 38 partai.
Terdiri dari 34 partai politik yang lolos verifikasi faktual Komisi Pemilihan Umum dan
empat parpol lama yang berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi partai politik
peserta Pemilu 2004 berhak ikut Pemilu 2009.
Selain itu ada enam partai lokal di Aceh yang bertarung untuk ditingkat DPRD selain
partai di tingkat nasional yakni Partai Aceh, Partai Aceh Aman Sejahtera, Partai Bersatu
Aceh, Partai Daulat Aceh, Partai Rakyat Aceh, dan Partai Suara Independen Rakyat Aceh.
Pemilu 2009 diikuti oleh 38 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal Aceh, yaitu:
Catatan : Tanda * menandakan partai yang mendapat kursi di DPR pada Pemilu 2004
Pemilu 2014 diikuti oleh 15 partai Politik, 12 partai di tingkat nasional dan tiga partai
lokal Aceh. Tiga partai lokal yang ikut adalah Partai Aceh (PA), Partai Nasional Aceh
(PNA) dan Partai Damai Aceh (PDA) sedangkan 12 partai nasional pada Pemilu 2014
yakni PDI-P, Golkar, Demokrat, PKB, PPP, PAN, PKS, Gerindra, Hanura, Nasdem, PBB,
dan PKPI. Dari 12 partai itu, hanya 10 partai yang memenuhi parliamentary threshold
sebesar 3,5 persen perolehan suara. Kesepuluh partai yang melenggang ke DPR adalah
PDI Perjuangan (18,95 persen), Golkar (14,75 persen), Gerindra (11,81 persen),
Demokrat (10,19 persen), PKB (9,04 persen), PAN (7,59 persen), PKS (6,79 persen),
Nasdem (6,72 persen) PPP (6,53 persen), Hanura (5,26 persen). Sementara itu, Joko
Widodo dan Jusuf Kalla terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilihan
Presiden 2014. PDIP kembali unggul dalam Pemilu ini. Sementara Demokrat melorot di
urutan keempat.
Pada Pemilu 2019, ada 20 partai politik yang berlaga, terdiri dari 16 parpol tingkat
nasional dan empat parpol lokal Aceh.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan partai politik (parpol) di Indonesia
memiliki tiga kekurangan utama. Ketiganya yaitu keterbukaan pengelolaan dana parpol,
kaderisasi hingga penegakan etik yang lemah. Ketiga problem itu berdasarkan
penelitian yang dilakukan KPK terhadap seluruh parpol di Indonesia. Penilitian itu
dilakukan KPK dengan mengandeng Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Kekurangan pertama yaitu soal keterbukaan soal pengelolaan dana parpol. Banyak
parpol yang tidak mau diaudit secara keseluruhan terkait anggaran dana parpol
tersebut. Kedua proses kaderisasi. Sejumlah parpol mapan malah mengambil dari pihak
luar ketimbang kadernya sendiri saat kepala daerah atau anggota dewan. Yang terakhir
soal penegakan etik. Belum ada ketegasan dari parpol dalam memberikan sanksi
kepada kader yang berbuat salah.
Ketiga hal itu harus dibenahi oleh setiap parpol. Saat ini para pelaku yang terjerat oleh
KPK didominasi anggota parlemen baik di pusat maupun daerah. Korupsi, baik yang
dilakukan secara individu maupun kolektif untuk kepentingan partai politik,
merupakan fenomena yang seakan terus bergulir. Kasus-kasus skandal korupsi partai
politik juga makin marak dengan melibatkan individu-individu di pemerintahan.
Maraknya fenomena ini tidak lain disebabkan karena kebutuhan sumber dana yang
besar untuk partai politik sebagai sebuah mesin politik
Perannya yang sedemikian besar diatur dalam konstitusi lewat sejumlah proses yang
sarat dengan tarik menarik kepentingan wakil-wakil partai politik yang ada di DPR RI.
Ini merupakan salah satu perubahan paling dramatis dan menguntungkan bagi partai
politik, mengingat UUD 1945 bahkan tak sekalipun menyebut “partai politik” dan secara
praktik fungsi partai politik dimandulkan oleh rezim Orde Baru. Peran yang demikian
besar dan strategis ini diikuti dengan kebutuhan berkegiatan untuk menjalankan
fungsinya, terutama untuk mempertahankan keberadaannya dan mengupayakan
berbagai cara untuk memenangkan pertarungan elektoral. Partai politik membutuhkan
sumber dana yang terbilang sangat besar untuk mencakup mulai dari kebutuhan
operasional (kesekretariatan) hingga konsolidasi organisasi.
Besarnya pengeluaran ini tidak dibarengi dengan pendapatan atau pemasukan yang
memadai. Pendapatan partai politik diatur sebagaimana yang diatur dalam Undang-
undang, dan disebutkan juga dalam AD/ART partai politik, mencakup lima sumber:
iuran anggota,sumbangan perseorangan anggota, sumbangan perseorangan bukan
anggota, sumbangan badan usaha, dan subsidi Negara.
b. Politik uang
Politik uang atau yang umumnya dikenal sebagai money politik, yang dilakukan
oleh individu-individu partai politik di Indonesia merupakan sebuah fenomena
yang semakin mencuat dalam dua dekade terakhir. Fenomena ini bahkan sudah
mencapai titik kronis, dikarenakan banyaknya kasus-kasus terjadi di momen politik
lokal maupun nasional. Di samping itu, berbeda dengan korupsi, politik uang sulit
dibuktikan secara hukum, tapi lebih umum diakui secara sosial. Praktek ini sudah
dimulai oleh Golkar pada masa Orde Baru yang mengiming-imingi masyarakat
setiap Pemilu yang kemudian dikenal dengan istilah ‘serangan fajar’, dan
berkembang di hampir seluruh pemilihan di lingkungan partai politik pada era
tersebut.
Fenomena vote-buying ini menurut Scheffer merupakan sesuatu yang umum terjadi
dalam Pemilu yang kompetitif (popular election). Pembelian suara memiliki banyak
arti dan dipahami dalam konteks yang berbeda-beda tergantung faktor-faktornya,
termasuk tradisi politik, budaya, dan sistem pemilihan.
Politik uang dalam Pemilu langsung bekerja paling tidak empat siklus.
1. transaksi antara elit ekonomi (pemilik uang) dengan pasangan calon kepala
daerah yang akan menjadi pengambil kebijakan/keputusan politik pasca-
Pemilu.
2. transaksi antara pasangan calon kepala daerah dengan partai politik, dimana
partai politik cenderung memanfaatkan kesempatan untuk mengeruk dana dari
kandidat tersebut.
3. transaksi antara pasangan calon dan tim kampanye dengan petugas-petugas
Pemilukada yang mempunyai wewenang untuk menghitung perolehan suara
agar kandidat memiliki kesempatan untuk memperoleh tambahan suara guna
memenangkan pemilihan, dengan cara-cara yang tidak sah melalui bantuan
dari otoritas pelaksana pemilu. Aspinall dkk menyebut praktek ini sebagai vote-
trading atau pertukaran suara, dan ini menjadi fenomena yang marak di
berbagai pilkada sebagaimana temuan penelitian mereka.
4. transaksi antara calon atau tim kampanye dengan calon pemilih dalam bentuk
pembelian suara. Lima aktor yang terlibat dalam siklus tersebut adalah
penyandang dana atau donor, kandidat politik dan timnya, partai politik,
penyelenggara pemilu, dan calon pemilih.
Persoalan lain yang dihadapi sistem kepartaian adalah belum berjalannya secara
maksimal fungsi yang dimiliki oleh partai politik, baik fungsi partai politik terhadap
negara maupun fungsi partai politik terhadap rakyat. Fungsi partai politik terhadap
negara antara lain adalah menciptakan pemerintahan yang efektif dan adanya
partisipasi politik terhadap pemerintahan yang berkuasa. Sedangkan fungsi partai
politik terhadap rakyat antara lain adalah memperjuangkan kepentingan, aspirasi, dan
nilai-nilai pada masyarakat serta memberikan perlindungan dan rasa aman.
Kebanyakan partai politik pada saat ini belum sepenuhnya memberikan pendidikan
politik dan melakukan pengkaderan serta rekrutmen politik yang efektif untuk
menghasilkan keder-kader pemimpin yang memiliki kemampuan di bidang politik.
Sistem kepartaian yang ada juga masih menghadapi derajat kesisteman yang rendah
serta kurang mengakar dalam masyarakat, struktur organisasi partai yang tidak stabil
yang tidak mengacu pada AD/ART, dan citra partai di mata publik yang masih relatif
buruk. Selain itu, partai politik yang ada pada umumnya cenderung mengarah pada tipe
partai politik kharismatik dan klientelistik ketimbang partai programatik.
Hampir sebagian besar partai politik menghadapi masalah sentralisasi yang terlalu kuat
dalam organisasi partai, antara lain ditandai oleh sentralisasi dalam pengambilan
keputusan di tingkat pengurus pusat (DPP) dan pemimpin partai. Hal ini membuat
kepengurusan partai di daerah sering kali tidak menikmati otonomi politik dan harus
rela menghadapi berbagai bentuk intervensi dari pengurus pusat partai. Dalam kaitan
ini, penyempurnaan sistem kepartaian dalam rangka mendukung penguatan sistem
pemerintahan presidensial dan sistem perwakilan, perlu diatur ketentuan yang
mengarah pada terbentuknya sistem multipartai sederhana, terciptanya pelembagaan
partai yang efektif dan kredibel, terbentuknya kepemimpinan partai yang demokratis
dan akuntabel, dan penguatan basis dan struktur kepartaian.
Problematik lain, partai politik di Indonesia dewasa ini belum terlembaga sebagai
organisasi moderen. Yang dimaksud dengan pelembagaan partai politik adalah proses
pemantapan sikap dan perilaku partai politik yang terpola atau sistemik sehingga
terbentuk suatu budaya politik yang mendukung prinsip-prinsip dasar sistem
demokrasi. Dalam konteks pembangunan politik, yang terpenting bukanlah jumlah
partai yang ada, melainkan sejauh mana kekokohan dan adaptabilitas sistem kepartaian
yang berlangsung. Sistem kepartaian disebut kokoh dan adaptabel, apabila partai politik
mampu menyerap dan menyatukan semua kekuatan sosial baru yang muncul sebagai
akibat modernisasi. Dari sudut pandang ini, jumlah partai hanya akan menjadi penting
bila ia mempengaruhi kapasitas sistem untuk membentuk saluran-saluran kelembagaan
yang diperlukan guna menampung partisipasi politik.
Konflik tentu tidak bisa dihindari, tetapi partai politik juga harus memberikan ruang
bagi terbangunnya suatu sistem manajemen konflik yang lebih baik. Agar konflik
personal maupun kelompok maupun yang terjadi diluar partai tidak bisa berkembang,
mampu kendalikan sehingga tidak melahirkan suasana ketegangan yang apalagi perlaku
negatif yang bisa merusak. Manajemen konflik juga penting dalam mengelola masalah
tersebut sebelum diselesaikan secara organisasi, atau minimal bisa secara efektif
mencegah adanya perpecahan ditubuh partai.
Sebagaimana yang dipikirkan oleh Ross (1993) sebagai seorang ahli dalam manajemen
konflik, bahwa manajemen konflik berupa penyelesaian konflik dan bisa jadi
menghasilkan ketenangan, hal positif, mufakat dan lebih kreatif. Masih ada waktu bagi
para pemimpin partai untuk melakukan perubahan di dalam partainya. Kepemimpinan
kharismatis haruslah diabdikan untuk kepentingan semua kader, bukan kelompok.
Kepemimpinan model itu harus dipadukan dengan manajemen pengelolaan partai yang
modern, terbuka dan demokratis, termasuk dalam mengelolah konflik. Hanya dengan
menerapkan manajemen modern, partai bisa eksis dan mendapat simpati
pendukungnya.
Tiga tantangan utama yang penulis identifikasi adalah relasi patronase dan klientalisme
yang kuat, mekanisme dan sistem yang tidak demokratis dalam internal partai, serta
keterbatasan pengawasan dan implementasi. Untuk tetap memperbaiki citra partai
politik sebagai institusi demokrasi, tentu partai politik lebih maksimal memikirkan
nasib masyarakat ketimbang memperebutkan kursi kekuasaan. Sedangkan dalam
konteks konflik internal partai politik, meminimalisir mungkin adanya sikap politik
yang bisa merusak citra partai politik itu sendiri, tetap membuka adanya ruang bagi
kedua pihak yang bertikai untuk melakukan komunikasi politik yang lebih sehat dan
lebih konsisten pada aturan main organisasi.
Demikian tulisan ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada. Penulis
banyak berharap para pembaca agar menyampaikan kritik dan saran yang membangun
kepada penulis demi sempurnanya tulisan ini dan dan penulisan lain di kesempatan-
kesempatan berikutnya. Semoga tulisan ini berguna bagi penulis pada khususnya juga
para pembaca yang budiman pada umumnya.
Tulisan ini penulis tulis sebagai tugas terstruktur mata kuliah Pengantar Politik di kelas E-1
Prodi Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) Sektor Publik, Fakultas Manajemen
Pemerintahan, Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor tahun 2019.