Anda di halaman 1dari 36

6 Inspirasi Nyata dari Anak-Anak

dengan Tekad dan Perjuangan


Hidup yang Luar Biasa
PENDAHULUAN

Kesuksesan sering kali diukur dengan besar-kecilnya materi yang


kita miliki. Namun sesungguhnya yang paling tepat menjadi
tolok ukurnya adalah kemampuan kita dalam menjalani hidup
ini. Kehidupan yang tak dapat dipungkiri akan bertaburan pasir
halus atau pasir kasar, kerikil, dan batu. Jika kita mampu melewati
semua itu dengan baik, kita akan menjadi pribadi yang lebih
tangguh dan tegar, serta pastinya lebih baik. Itulah yang layak
dikatakan sukses sejati dalam hidup. Karena jika telah sekali
teruji dan tahan banting, kita akan mampu melakukannya lagi
di lain kesempatan. Hidup kita pun akan terasa lebih berarti dan
berharga.

Selain itu, dengan menjadi tahan uji dan tahan banting terhadap
berbagai persoalan hidup, kita juga akan menjadi terbiasa
dengannya. Secara perlahan kita bisa belajar melihat sisi lain
dari keadaan tidak menyenangkan tersebut. Kita mulai bisa
menunjukkan senyuman dan melangkah lebih ringan di kala
mengarungi bab kehidupan yang penuh liku. Sudahkah diri kita
masing-masing merasakan sukses sejati dalam hidup kita?
Coba sejenak bandingkan dengan anak-anak dalam e-book
ini. Di perjalanan hidupnya yang masih terbilang sangat muda
ini, mereka mampu tetap berdiri tegak meski harus menerima
berbagai kepahitan dan kegetiran. Tidak sedikit juga yang
berhasil memetik prestasi yang membanggakan.

Mari kita telusuri bersama kisah kehidupan anak-anak yang


penuh perjuangan ini. Tidak hanya itu, diharapkan kita pun bisa
mengambil hikmah dan pelajaran penting dari anak-anak ini
yang nantinya bisa berguna bagi pembentukan karakter diri kita
dan kelanjutan perjalanan hidup kita sendiri.

Salam Sukses,

Andrie Wongso
DAFTAR ISI

Pendahuluan 2

Daftar Isi 4

#1 Ellie Challis, Gadis Tanpa Kaki dan Tangan 5


yang Gemar Bermain Bola

#2 “Kembalilah Ma...” 9

#3 Pemulung dengan Prestasi Mendunia 14

#4 Berprestasi karena Gemar Membaca Buku 19

#5 Qian Hongyan, Bocah Cacat Penuh 24


Semangat

#6 Pengusaha Sukses Pengidap Disleksia 29

Penutup 35
#1

Ellie Challis, Gadis Tanpa Kaki dan


Tangan yang Gemar Bermain Bola

S
uatu pagi Ellie terbangun dengan kesakitan. Panas
badannya tinggi dan tangan serta kakinya terasa dingin.
Waktu itu ia masih berusia sekitar 1 tahun. Ibunya
segera membawanya ke rumah sakit. Namun karena tidak ada
kejanggalan apa pun dari hasil tes darahnya, orangtua Ellie
disarankan untuk kembali ke rumah. Setibanya mereka di rumah,
Lisa, ibu Ellie, menemukan tiga bintik merah di punggung Ellie.
Hanya berselang 4 jam, badan Ellie sudah tertutup dengan
bercak ungu tua. Lisa langsung tahu kalau putrinya itu terserang
meningitis.

Dengan segera, mereka membawa Ellie kembali ke rumah sakit.


Tubuh Ellie membengkak hingga 3 kali lipat. Kondisi Ellie pun
makin memburuk dalam waktu singkat. Dalam hitungan menit,
tubuhnya sudah menghitam dan membiru. Tak lama setelah
itu, jantungnya berhenti berdetak. Dokter yang menanganinya
segera memanggil orangtua Ellie dan meminta mereka agar
merelakan saja putri tercintanya.

Ajaibnya, Ellie bisa melalui itu semua dan detak jantungnya


kembali terdengar. Namun, kondisinya malah kian memburuk.
Empat hari kemudian, tangan dan kaki Ellie pelan-pelan berubah
menjadi hitam. Dokter mengabarkan bahwa tangan dan kaki Ellie
harus diamputasi. Sungguh keputusan yang membuat putus asa
orangtua mana pun. Setelah operasi amputasi berjalan dengan
baik, Lisa sungguh terkejut melihat kondisi putrinya yang hanya
menyisakan sedikit bagian tubuh. Ia tak berhenti menangis...

Bermain Bola dengan Kaki Palsu

Namun, tangisan ini tak lantas membuat dirinya dan suaminya


terpuruk dengan keadaan. Mereka lekas bangkit dan bertekad
untuk memberikan Ellie kaki buatan yang sefleksibel mungkin
sehingga Ellie bisa bergerak layaknya orang normal. Pada
Desember 2006, keinginan itu tercapai. Ellie sudah mulai terbiasa
dengan kaki barunya yang terbukti sangat membantunya dalam
beraktivitas. Pada April 2009, Ellie membuat sejarah baru sebagai
orang termuda di dunia dengan kaki buatan yang berbahan
khusus untuk olahraga.

Tahun demi tahun yang berlalu menunjukkan bahwa ternyata


Ellie memiliki sesuatu yang unik dalam dirinya. Semangat
hidupnya ternyata tak ikut teramputasi bersama dengan
tangan dan kakinya. Ia bahkan bergabung dengan tim sepak
bola di sekolahnya. Ellie memang bisa dibilang penggila bola.
Klub favoritnya adalah Arsenal. Di lapangan, Ellie tetap bisa
mengimbangi anak-anak lainnya yang bergerak secara leluasa.
Ia terlihat tak memiliki masalah di lapangan dan malah sangat
bahagia bisa bermain bola.
Menantang Atlet Dewasa

Tak hanya semangat hidup tinggi yang dimiliki Ellie. Ia juga


mempunyai pemikiran besar yang melampaui tubuhnya yang
mungil dan melebihi segala keterbatasan yang dimiliki. Pada
2009 silam, ia dengan berani menantang seorang atlet lari Afrika
Selatan bernama Oscar Pistorius yang terkenal sebagai ”pelari
tercepat tanpa kaki”.

Waktu itu umur Ellie baru 5 tahun, sedangkan Oscar sudah


berusia 23 tahun. Perbedaan lainnya: Oscar sudah sangat terbiasa
dengan kaki buatan berbahan karbon. Sedangkan, Ellie baru
memakainya selama sebulan. Namun, pada pertandingan lari
untuk tujuan amal itu, Ellie tidak tampak canggung. Ia terbukti
mampu cepat beradaptasi dengan kaki fibernya. Bahkan, saat
bersiap-siap di garis start, pandangan mata Ellie tak terlepas dari
Oscar. Tatapan berbinar Ellie mewakili keyakinan dan tekadnya
untuk mengalahkan pencetak rekor dunia itu.

Keberanian dan semangat Ellie sungguh patut diacungi dua


jempol. Luar biasa!

Next : “Kembalilah Ma...”


#2

“Kembalilah Ma...”

Z
hang Da harus menanggung beban hidup yang berat
ketika usianya masih sangat belia. Tahun 2001, ketika
usianya menjelang 10 tahun, Zhang Da harus menerima
kenyataan ibunya lari dari rumah. Sang ibu kabur karena tak
tahan dengan kemiskinan yang mendera keluarganya. Yang lebih
tragis, si ibu pergi karena merasa tak sanggup lagi mengurus
suaminya yang lumpuh, tak berdaya, dan tanpa harta. Dan ia tak
mau menafkahi keluarganya.
Maka Zhang Da yang tinggal berdua dengan ayahnya yang
lumpuh, harus mengambil-alih semua pekerjaan keluarga. Ia
harus mengurus ayahnya, mencari nafkah, mencari makanan,
memasaknya, memandikan sang ayah, mencuci pakaian,
mengobatinya, dan sebagainya.

Yang patut dihargai, ia tak mau putus sekolah. Setelah mengurus


ayahnya, ia pergi ke sekolah berjalan kaki melewati hutan
kecil dengan mengikuti jalan menuju tempatnya mencari
ilmu. Selama dalam perjalanan, ia memakan apa saja yang
bisa mengenyangkan perutnya, mulai dari memakan rumput,
dedaunan, dan jamur-jamur untuk berhemat. Tak semua bisa jadi
bahan makanannya, ia menyeleksinya berdasarkan pengalaman.
Ketika satu tumbuhan merasa tak cocok dengan lidahnya, ia
tinggalkan dan beralih ke tanaman berikut. Sangat beruntung
karena ia tak memakan dedaunan atau jamur yang beracun.

Menjadi Perawat & Tulang Punggung Keluarga

Usai sekolah, agar dirinya bisa membeli makanan dan obat untuk
sang ayah, Zhang Da bekerja sebagai tukang batu. Ia membawa
keranjang di punggung dan pergi menjadi pemecah batu.
Upahnya ia gunakan untuk membeli aneka kebutuhan seperti
obat-obatan untuk ayahnya, bahan makanan untuk berdua, dan
sejumlah buku untuk ia pejalari.
Zhang Da ternyata cerdas. Ia tahu ayahnya tak hanya
membutuhkan obat yang harus diminum, tetapi diperlukan obat
yang harus disuntikkan. Karena tak mampu membawa sang ayah
ke dokter atau ke klinik terdekat, Zhang Da justru mempelajari
bagaimana cara menyuntik. Ia beli bukunya untuk ia pelajari
caranya. Setelah bisa, ia membeli jarum suntik dan obatnya lalu
menyuntikkannya secara rutin pada sang ayah.

Kegiatan merawat ayahnya terus dijalaninya hingga sampai lima


tahun. Rupanya kegigihan Zhang Da yang tinggal di Nanjing,
Provinsi Zhejiang, menarik pemerintahan setempat. Pada Januari
2006 pemerintah China menyelenggarakan penghargaan
nasional pada tokoh-tokoh inspiratif nasional. Dari 10 nama
pemenang, satu di antaranya terselip nama Zhang Da. Ternyata ia
menjadi pemenang termuda.

Acara pengukuhan dilakukan melalui siaran langsung televisi


secara nasional. Zhang Da si pemenang diminta tampil ke depan
panggung. Seorang pemandu acara menanyakan kenapa ia
mau berkorban seperti itu padahal dirinya masih anak-anak.
”Hidup harus terus berjalan. Tidak boleh menyerah, tidak boleh
melakukan kejahatan. Harus menjalani hidup dengan penuh
tanggung jawab,” katanya.

Pejuang Tangguh Berhati Mulia

Setelah itu suara gemuruh penonton memberinya applaus.


Pembawa acara menanyainya lagi. ”Zhang Da, sebut saja apa
yang kamu mau, sekolah di mana, dan apa yang kamu inginkan.
Berapa uang yang kamu butuhkan sampai kamu selesai kuliah
dan mau kuliah di mana. Pokoknya apa yang kamu idam-
idamkan, sebutkan saja. Di sini ada banyak pejabat, pengusaha,
dan orang terkenal yang hadir. Saat ini juga ada ratusan juta
orang yang sedang melihat kamu melalui layar televisi, mereka
bisa membantumu!” papar pembawa acara.

Zhang Da terdiam. Keheningan pun menunggu ucapannya.


Pembawa acara harus mengingatkannya lagi. ”Sebut saja!”
katanya menegaskan.
Zhang Da yang saat itu sudah berusaha 15 tahun pun mulai
membuka mulutnya dengan bergetar. Semua hadirin di ruangan
itu, dan juga jutaan orang yang menyaksikannya langsung
melalui televisi, terdiam menunggu apa keinginan Zhang Da.

”Saya mau mama kembali. Mama kembalilah ke rumah, aku bisa


membantu papa, aku bisa cari makan sendiri. Mama kembalilah!”
kata Zhang Da yang disambut tetesan air mata haru para penonton.

Zhang Da tak meminta hadiah uang atau materi atas


ketulusannya berbakti kepada orangtuanya. Padahal saat
itu semua yang hadir bisa membantu mewujudkannya. Di
mata Zhang Da, mungkin materi bisa dicari sesuai dengan
kebutuhannya, tetapi seorang ibu dan kasih sayangnya, itu tak
ternilai. Pelajaran moral yang tampak sederhana, tetapi amat
bermakna.

Next : Pemulung dengan Prestasi Mendunia


#3

Pemulung dengan Prestasi Mendunia

N
i Wayan Mertiayani atau biasa dipanggil Ni Wayan atau
Sepi merupakan putri sulung almarhum I Nengah
Sangkrib dan Ni Nengah Sirem. Sejak ayahnya meninggal,
Mertiayani tinggal bersama ibunya dan adiknya, Ni Made Jati.
Sejak itu pula, tiga wanita ini berjuang untuk melanjutkan
hidupnya dari hari ke hari.
Sepeninggal sang ayah, mereka tinggal di gubuk berdinding
bilik bambu dengan satu kamar tidur. Ibunya sudah bertahun-
tahun menderita ginjal dan harus bekerja serabutan. Untuk
menopang kehidupan, tiap sore hingga gelap menyergap, gadis
yang sekarang duduk di bangku SMA itu berjualan permen, kue
jajanan, dan makanan kecil lain di Pantai Amed, salah satu pusat
wisata di bagian timur Karangasem, Bali.

Jika dagangannya laku, dia bisa memperoleh pendapatan hingga


Rp50 ribu. Tapi lebih sering dia rugi karena banyak yang tidak
bayar. “Atau kalau tak habis saya makan sendiri, jadi ya rugi,” ujar
Wayan tersipu. Dia bahkan hampir putus sekolah karena tidak
punya uang untuk biaya sekolah.

Jika hasil berjualannya tidak mencukupi kebutuhan dasarnya,


Wayan memulung di seputaran pantai Bali. Usai pulang sekolah
atau berjualan, Wayan tidak merasa malu memunguti sampah-
sampah plastik yang bertebaran di sepanjang pantai. Bahkan,
ejekan teman sekolahnya tak dihiraukannya sama sekali. Satu
prinsipnya, ”Saya tidak mencuri!”

Terinspirasi Anne Frank

Namun, di sela kehidupan keras yang dilaluinya, Wayan biasa


meluangkan waktu dengan membaca di perpustakaan milik
Marie Johana Fardan, tetangganya. Dari koleksi perpustakaan
inilah, Wayan mengenal sosok Anne Frank dari buku catatan
harian Anne Frank berjudul The Diary of Anne Frank. Dari buku
ini juga muncul sebuah cita-cita dalam diri Wayan, yaitu ingin
menjadi wartawan dan penulis.

Wayan mengaku mengagumi Anne Frank, gadis Yahudi korban


kekejaman Nazi. Frank bersembunyi dari kekejaman Nazi
selama dua tahun sejak tahun 1942. Frank menulis cerita harian
yang kemudian diterbitkan dalam berbagai bahasa termasuk
Indonesia. “Tiang merasa patuh ajak ceritane Anne Frank,” kata
Wayan dalam bahasa Bali, yang artinya, saya merasa hidup saya
sama dengan cerita Anne Frank.

Alur hidup Mertiayani bisa dikatakan hampir mirip Anne Frank.


Sama-sama hidup dalam tekanan, tapi penuh harapan dan cita-
cita. Bedanya, Anne yang keturunan Yahudi besar di bawah
tekanan tentara Nazi pada masa itu, sementara besar di bawah
tekanan ekonomi.

Mutiara Terpendam yang Akhirnya Bersinar

Pada September 2009, saat melakukan aktivitas memulungnya


Wayan berjumpa seorang turis asal Belanda, Mrs Dolly
Amarhoseija. Mrs Dolly meminjamkan kamera digitalnya
dan mengajarkan Wayan cara membidikannya. Dan Wayan
pun menggunakan kamera itu untuk mengambil beberapa
foto. Begitu melihat indahnya hasil jepretan Wayan, Mrs Dolly
menyarankan Wayan agar menjadi peserta Lomba Fotografi
Internasional yang diselenggarakan Yayasan Anne Frank di
Belanda.

Bermodal sekitar 15 foto, Wayan menjadi pesertanya. Dan


ternyata juri dari World Press Photo menilai foto milik Wayan
adalah foto terbaik dari ribuan foto yang dikirimkan 200 foto
karya 200 fotografer kelas dunia. Foto Wayan ditetapkan sebagai
Juara 1 tahun 2009.

Foto Wayan ini adalah sebuah potret pohon ubi karet dengan
dahan tanpa daun yang tumbuh di depan rumahnya. Seekor
ayam bertengger di salah satu dahan, serta handuk berwarna
merah jambu dan baju keseharian yang dijemur di bawahnya.

Kedua belas juri berpendapat bahwa semua unsur dalam foto


Wayan bekerja sangat bagus. “The shape of the tree, the one
chicken up in the branches, the color and light. They all work
in its favor. All of this relays the photographer’s reality through
subtle symbolism,” tulis juri di dalam website resmi Yayasan Anne
Frank.
Acara penyerahan hadiah
berlangsung pada 3 Mei 2010 di
Amsterdam, Belanda. Wayan pun
hadir di sana dengan ditemani
adiknya. Wayan menerima hadiah
berupa kamera Canon G11, buku-
buku tentang Anne Frank, dan
fotonya sendiri yang menang
lomba dari perwakilan Yayasan
Anne Frank.

Wayan berharap bisa menyelesaikan sekolah dan mewujudkan


cita-citanya menjadi jurnalis. “Saya ingin membahagiakan ibu
saya,” ujarnya sendu. Matanya bulat menerawang. Dia sangat
sadar kemiskinan mengancam kelanjutan pendidikannya. “Anne
Frank lebih susah hidupnya. Jika dia tak mengeluh, saya juga
seharusnya tidak,” ujarnya kemudian.

Kisah hidup Wayan terbukti amat inspiratif karena dalam kondisi


hidup serba kekurangan, Wayan tak pernah berhenti berupaya
agar roda hidupnya bergulir menjadi lebih baik.

Next : Berprestasi Karena Gemar Membaca Buku


#4

Berprestasi karena Gemar


Membaca Buku

“Dalam kondisi miskin kita tak akan punya kesempatan untuk pergi
ke mana-mana. Namun dengan buku kita bisa pergi ke mana pun kita
mau, bisa jadi orang seperti apa pun, dan bisa melakukan apa pun
yang kita inginkan.”

Kata-kata itu diucapkan oleh Ben Carson, seseorang yang


dulunya adalah anak tak berprestasi dan biang keributan.
Ketika usianya menginjak tahun ke-8, orangtua Ben bercerai.
Ben bersama kakaknya, Curtis, kemudian dibesarkan oleh ibunya
seorang diri. Karena ibunya sibuk bekerja hampir sepanjang
hari demi menafkahi keluarganya, Ben tumbuh menjadi anak
yang bandel. Prestasinya di sekolah sangat mengecewakan. Dia
pun menjadi bahan olok-olok teman-temannya. Belum lagi, Ben
sering menjadi biang keributan di antara teman-temannya.

Karena kebandelan Ben sudah di ambang batas, ibu Ben


terpaksa membuat aturan ketat baginya. Jam menonton
televisinya dibatasi. Ia dilarang keluar rumah selama PR-nya
belum diselesaikan. Selain itu, Ben diharuskan membaca dua
buku dalam seminggu yang dipinjam ibunya dari perpustakaan.
Ben pun diharuskan membuat laporan setiap buku yang
dibacanya itu. Hasil dari upaya ini ternyata luar biasa. Ben mulai
memperlihatkan kepintarannya. Bahkan, tak sampai setahun Ben
tampil sebagai juara kelas.

Anak Bandel Penggila Buku

Sebenarnya pada awalnya Ben sulit menyesuaikan aturan ibunya


itu. Ia sering tergoda keluar rumah untuk bermain dengan
teman-temannya. Namun, lama-lama terbiasa juga dan bahkan
jadi gila buku. Ia jadi termotivasi untuk meraih masa depan
yang lebih baik. “Dalam kondisi miskin kita tak akan punya
kesempatan untuk pergi ke mana-mana. Namun dengan buku
kita bisa pergi ke mana pun kita mau, bisa jadi orang seperti apa
pun, dan bisa melakukan apa pun yang kita inginkan,” ungkap
Ben.

Sejak itu Ben melahap buku apa pun. Ia membaca buku teknik
hingga ensiklopedia. Ia juga terobsesi menjadi ilmuwan. Ia suka
belajar praktik sendiri di laboratorium. Ia meneliti berbagai
hal dari buku yang dibacanya. Perubahan ini tentu saja
mengherankan guru dan teman-temannya. Banyak juga guru
yang mendukungnya. Bahkan ada yang bersedia jadi mentornya
di laboratorium.

Ben lulus SMA dengan nilai


yang memuaskan. Sayangnya
minatnya melanjutkan sekolah
terhalang biaya. Meskipun ia
mendapat beasiswa di Yale
University di bidang psikologi,
ia harus bekerja keras untuk
memenuhi kebutuhan
hidupnya. Setelah mengetuk
pintu ke sana-sini akhirnya
ia bisa bekerja di sebuah
rumah sakit sambil kuliah. Ia menjadi tenaga pembantu medis
di situ. Dari sanalah impiannya terbangun. Ia sering mendengar
orang mencari-cari Dr. Jones. Begitu hebatnya Dr. Jones sampai-
sampai ia bermimpi, suatu kali bisa juga orang-orang mencari Dr.
Carson. Sejak itulah ia berupaya mengejar pendidikan di bidang
kedokteran.

Menerima Penghargaan Presiden

Setelah lulus dari Yale pada tahun 1973, Ben melanjutkan ke


School of Medicine University of Michigan dan memilih bidang
saraf ketimbang psikologis yang jadi pilihannya. Dari sanalah
ia membangun kariernya sebagai ahli saraf. Ketika lulus ia
sudah dikenal sebagai dokter bedah saraf yang cekatan. Satu
kelebihannya adalah ia bisa mengoordinasikan antara mata dan
tangan dengan sangat luar biasa saat mengoperasi pasien. Selain
itu, ia bisa berpikir tiga dimensi dalam melihat bagian yang
dioperasi di dalam tubuh pasien. Kecekatannya ini membuatnya
bisa bekerja di John Hopkins Hospital di Baltimore, Maryland,
dan menjadi kebanggaan rumah sakit yang terkenal di dunia ini.
Bahkan dalam usianya yang ke-33, Ben Carson sudah menjadi
profesor di rumah sakit itu dan menjadi direktur Pediatric
Neurosurgery.

Kepiawaiannya dalam bedah saraf segera didengar ke mana-


mana. Ia pun terlibat dalam berbagai operasi pasien di berbagai
negara. Ia makin dikenal sebagai salah seorang ahli bedah saraf
dunia yang hebat. Bahkan sebegitu besarnya apresiasi orang
pada Ben, pada tahun 2008 Presiden George Bush memberikan
penghargaan The Presidential Medal of Freedom.

Ben berusaha menyimpulkan kesuksesannya ini dengan berkata,


“Ketika saya sedang belajar, ibu saya selalu bilang, ‘Kamu bisa
melakukan apa saja yang orang lain lakukan, hanya saja kamu
harus melakukannya dengan lebih baik’,” katanya.

Ya, Siapa pun kita, bisa sukses asal mengerjakannya lebih baik
dan lebih baik lagi.

NEXT : Qian Hongyan, Bocah Cacat Penuh Semangat


#5

Qian Hongyan, Bocah


Cacat Penuh Semangat

U
jian yang menimpa Qian memang sangat berat. Betapa
tidak, di usianya yang masih sangat dini—tiga tahun
(tepatnya pada bulan Oktober 2000)—ia mengalami
kecelakaan fatal yang mengakibatkan separuh tubuhnya hingga
batas pinggang harus diamputasi.
Kondisi itu diperparah lagi dengan keadaan ekonomi orangtua
Qian yang tidak berkecukupan. Karena itu, keluarga gadis cilik
yang tinggal di Zhuangxia, China itu tak mampu memberikan
kaki palsu untuk Qian. Sebagai gantinya, keluarga tersebut
menyangga tubuh Qian dengan potongan bola basket. Sebuah
solusi yang jauh dari kata nyaman, seperti kaki-kaki palsu lainnya.

Namun, meski tumbuh dengan keterbatasan, Qian membuktikan


bahwa dunia belumlah tamat bagi dirinya. Ia tumbuh menjadi
gadis yang periang dan murah senyum, seolah-olah tak terjadi
suatu apa pun dalam dirinya. Dengan memantulkan bola basket
di bagian bawah tubuhnya, dan dibantu penyangga untuk
membantunya bergerak, Qian tetap bisa menjadi bocah lincah
layaknya kebanyakan anak normal.

Gantungkan Cita-Citamu Setinggi Mungkin

Dengan kekurangan di tubuhnya, Qian pantang berputus asa,


meski ia belum tahu bagaimana masa depannya kelak serta
bagaimana ia bisa mengubah hidupnya dengan kondisinya saat
itu. Hingga, suatu ketika ia mendatangi sebuah pertandingan
olahraga nasional yang diselenggarakan di Kunming pada
Mei 2007. Di sana, benih yang menumbuhkan cita-citanya
bertumbuh.
Saat itu, Qian setiap hari menyaksikan
perjuangan beberapa atlet cacat
yang ikut meramaikan pertandingan.
Melihat perjuangan rekan senasib
yang bertubuh cacat, hati Qian pun
tergerak. Jika orang lain mampu
berprestasi di bidang olahraga meski
dengan tubuh cacat, mengapa dia tidak melakukan hal yang
sama? Pikiran itulah yang meletupkan cita-cita Qian Hongyan
untuk ikut menjadi seorang atlet.

Maka, selepas acara olahraga nasional tersebut, tekad Qian


segera diwujudkan dengan bergabung di sebuah klub renang
khusus. Tekad itu didukung sepenuhnya oleh orangtua Qian.
Maka, mereka pun mendatangi Zhang Honghu, seorang pelatih
yang terkenal banyak menjadikan perenang cacat sebagai juara
di kejuaraan renang. Qian meminta kesempatan kepada Zhang
untuk dilatih menjadi seorang juara.

Zhang yang dikenal sebagai pelatih bertangan dingin hanya


mengatakan bahwa semua tergantung pada kemauan dan
tekad Qian. Sebab, menurutnya, dengan kekurangan separuh
tubuh yang tak dimilikinya, agak sulit bagi Qian untuk berenang
dengan hanya mengandalkan kedua lengannya. Tetapi, tekad
sangat kuat Qian rupanya berhasil memikat Zhang. Maka, ia pun
memberikan porsi latihan khusus bagi Qian agar lebih mampu
menyeimbangkan kedua bahu dan lengannya.

Atlet Renang yang Pantang Mengeluh

Kepercayaan Zhang pun dijawab dengan kesungguhan Qian.


Dengan porsi latihan cukup berat, apalagi dengan kesulitan yang
dialami sejak awal latihan, Qian tak pernah sekali pun mengeluh.
Baginya, impian untuk menjadi atlet adalah cita-cita yang
tak boleh padam. Dalam sehari, setidaknya jarak 2.000 meter
ditempuh Qian di arena air untuk melatih otot-ototnya. Selain itu,
latihan lain seperti sit-up, mengangkat beban, hingga berbagai
jenis latihan dilakukannya dengan bersemangat.

Semangat inilah yang membuat Qian kini dikenal di seantero


China dan bahkan dunia. Kisah hidup dan tekad kuatnya telah
menginspirasi banyak orang agar mampu mendobrak segala
keterbatasan. Kisah Qian banyak dimuat di berbagai media baik
cetak maupun online sehingga mengangkat namanya. Kini, ia
ingin mendunia dengan usahanya mewakili China pada tahun
2012 pada kejuaraan renang di olimpiade khusus orang cacat.

Tak tanggung-tanggung, Qian mematok target menjadi juara


dunia renang pada kejuaraan olimpiade tersebut. Dia bekerja
keras untuk mewujudkan impiannya tersebut. Jika melihat
kesungguhan dan tekadnya, sepertinya impian itu tak mustahil
untuk dicapai. Sebab, sejatinya kesungguhan dan tekad kuat
yang dilandasi kerja keras akan mampu menaklukkan segala
tantangan.

NEXT : Pengusaha Sukses Pengidap Disleksia


#6

Pengusaha sukses pengidap disleksia

S
ejak usia balita, Ben Way (Benjamin Peter Bernard Way)
sudah menunjukkan gejala menderita disleksia. Disleksia
adalah sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada
seseorang yang disebabkan oleh kesulitan pada orang tersebut
dalam melakukan aktivitas membaca dan menulis. Pada kasus
Ben, kondisi ini lebih diperparah dengan perceraian orangtuanya.
Masa-masa itu menjadi waktu yang sangat berat bagi Ben
yang masih berusia lima tahun. Karena itulah, ia menjadi anak
yang hiperaktif, emosional, dan sering kali berteriak-teriak,
lari ke sana kemari, dan merusak segala hal di sekitarnya.
Televisi, pemanggang roti, lemari jadi sasarannya. Itu pula yang
membuatnya tak bisa masuk play group karena di sekolah Ben
akan merusak kursi, meja, dan perlengkapan sekolah lainnya
yang membuat pengelola sekolah tak mau ambil risiko.

Sifatnya yang seperti itu makin merepotkan ibunya yang saat itu
masih harus mengurusi bayinya—adik Ben—bernama Hermione.
Sang ibu menjadi orangtua tunggal yang bekerja sebagai guru.
Profesi ibunya inilah yang memberikan kesempatan bagi Ben
untuk mendapat pendidikan gratis di sekolah tempat ibunya
bekerja.

Frustasi Karena Tak Bisa Membaca dan Menulis

Namun saat menjalani hari-harinya di sekolah, Ben seperti


baru menyadari penyakit yang dideritanya. Ia sulit mengikuti
pelajaran. Setiap pelajaran yang didengarnya tidak mampu
dituangkannya dalam bentuk catatan di buku tulisnya. Seolah
tak ada sedikit pun bahan pelajaran yang bisa tergambar
dalam benaknya. Hal ini membuat Ben frustrasi dan sebagai
pelampiasannya ia jadi pemarah dan mengacau. Setiap kali
dimarahi oleh gurunya, Ben berlari ke kelas tempat ibunya
mengajar dan bersembunyi di kolong meja. Kejadian seperti itu
berlangsung terus-menerus dan dalam waktu setahun ibunya
menyerah. Ben pun keluar dari sekolah itu.

Ben kemudian pindah ke rumah dekat kakek Ben dari pihak ayah.
Ben sekolah lagi. Namun, tetap menghadapi kekacauan serupa.
Ben bahkan sempat dikunci di dalam ruang kelas sendirian
karena gurunya begitu kesal padanya. Mendapat perlakuan
demikian, Ben mengamuk. Lemari dijungkirkan. Guru lalu
memarahi Ben. Salah satu umpatannya, menyakitkan hati Ben
yang saat itu sudah berusia tujuh tahun. “Kamu tak akan pernah
bisa membaca dan menulis, kamu tak akan bisa membuat
apa pun,” ujar gurunya. Ben pun terpukul. Ia jadi makin takut
menghadapi hari demi hari dalam hidupnya.

Kondisi Ben yang semakin parah membuat ibunya tak kuat lagi
mengurus Ben. Sang ibu kemudian berunding dengan mantan
suaminya yang kini sudah menikah lagi. Akhirnya diputuskan
bahwa Ben harus ikut ayahnya. Ternyata hidup bersama ayahnya
tak juga menolongnya. Di sekolahnya yang baru, Ben tetap tak
mampu belajar. Ia selalu berada di urutan bawah di kelasnya
dan itu membuatnya frustrasi. Terlebih-lebih ayahnya. Apalagi
ayahnya tak bisa lembut seperti ibunya. Ben terombang-ambing
dalam keputusasaan.
Tergerak karena Tertantang

Pada suatu malam, sang ayah memintanya mempelajari agenda


waktu. Tapi itu tak berhasil juga. Ben malah meminta ayahnya
membelikan mainan kapal-kapalan. Ayahnya tentu tak senang.
Dengan sedikit marah ia mengatakan, kalau mau beli kapal-
kapalan kamu harus mengumpulkan uang sendiri. Ben berpikir,
perlu waktu berapa lama agar ia bisa membeli kapal-kapalan itu.
Ternyata tantangan itu bisa dia tangkap dan dia bergairah untuk
melakukannya dengan mengumpulkan uang.

Tantangan itu bahkan ibarat cahaya yang menyinari kegelapan


otaknya selama ini. Sejak saat itu, ia menemukan jawaban
kesulitan belajarnya yang selama ini ia alami. “Ternyata bagi
penderita disleksia harus ada alasan untuk melakukan sesuatu,”
ujarnya. Dari sanalah ia mulai bisa belajar berhitung, yakni
berhitung dengan praktik pada kejadian sehari-hari.

Proses belajarnya terus berlanjut sampai suatu kali ia menyukai


komputer yang ia lihat di kantor ayahnya. Ayahnya memahami
ketertarikannya lalu meminta perusahaan membelikan satu
laptop untuk Ben. Sebulan kemudian laptop itu datang.
“Benda itu begitu berat, tetapi bagi saya itu sangat hebat dan
menakjubkan. Ternyata komputer dan otak saya bisa nyambung
dan begitu lengket,” cerita Ben.
Menjadi Pengusaha di Usia 15 Tahun

Ke mana pun Ben pergi, laptop selalu ada di tasnya. Mereka


seakan tak terpisahkan. Ia bahkan mengibaratkan laptop itu
sebagai pemandunya. Menurutnya, laptop itu ibarat kacamata
pada orang yang pandangannya kabur. Apa pun yang
diinginkannya bisa diterjemahkan oleh laptop itu. Melalui laptop
itu, Ben bisa merancang software sendiri dengan cara belajar
autodidak. Ia kemudian jadi ahli software komputer. “Pada usia 11
tahun saya sudah bisa membuat program komputer. Pada usia 15
tahun saya sudah memiliki perusahaan. Dan pada usia 17 tahun
saya sudah bisa menghasilkan satu juta poundsterling pertama
saya,” ujarnya.

Bahkan pada tahun 2000, ia mendapat penghargaan dari


Perdana Menteri Inggris Gordon Brown sebagai New Business
Millennium Young Entrepreneur of The Year. Ternyata
penghargaan ini membuka jalan kariernya sebagai ahli software
komputer yang dilirik pemerintah. Tak lama kemudian ia
mendapat tawaran dari Gedung Putih dan pemerintah Inggris
untuk menjadi salah satu konsultan dalam proyek inkubator
internet kerja sama kedua negara itu yang bernama NetB2B2
PLC. Lalu, Ben mengepalai sebuah divisi teknologi pada sebuah
perusahaan besar sambil menjadi dosen di Imperial College.
PENutup

Sahabat yang luar biasa, setelah membaca kisah nyata dari 6


anak tersebut, tentunya ada pembelajaran luar biasa yang bisa
kita dapatkan. Melalui mereka, dan banyak anak lain yang belum
disampaikan kisahnya di sini, kita bisa belajar apa makna sukses
sebenarnya dan bagaimana meraihnya. Selalu ada perjuangan
menuju kesuksesan, tapi ketahuilah bahwa kekurangan kita tidak
seharusnya menghambat semangat kita dalam meraih impian!

Seperti juga yang sering saya katakan bahwa, “Tidak ada jalan
rata menuju kesuksesan. Jadilah buldozer yang meratakan jalan-
jalan menuju kesuksesan itu!”.

Nantikan berbagai e-book berikutnya dari kami, dapatkan


informasinya dengan follow account social media kami.

Salam Sukses,

Andrie Wongso
Produced by:
Digital Media & Production Dept.

www.andriewongso.com

© 2014 Andrie Wongso Motivation Industry. All rights reserved.

Anda mungkin juga menyukai