Selain itu, dengan menjadi tahan uji dan tahan banting terhadap
berbagai persoalan hidup, kita juga akan menjadi terbiasa
dengannya. Secara perlahan kita bisa belajar melihat sisi lain
dari keadaan tidak menyenangkan tersebut. Kita mulai bisa
menunjukkan senyuman dan melangkah lebih ringan di kala
mengarungi bab kehidupan yang penuh liku. Sudahkah diri kita
masing-masing merasakan sukses sejati dalam hidup kita?
Coba sejenak bandingkan dengan anak-anak dalam e-book
ini. Di perjalanan hidupnya yang masih terbilang sangat muda
ini, mereka mampu tetap berdiri tegak meski harus menerima
berbagai kepahitan dan kegetiran. Tidak sedikit juga yang
berhasil memetik prestasi yang membanggakan.
Salam Sukses,
Andrie Wongso
DAFTAR ISI
Pendahuluan 2
Daftar Isi 4
#2 “Kembalilah Ma...” 9
Penutup 35
#1
S
uatu pagi Ellie terbangun dengan kesakitan. Panas
badannya tinggi dan tangan serta kakinya terasa dingin.
Waktu itu ia masih berusia sekitar 1 tahun. Ibunya
segera membawanya ke rumah sakit. Namun karena tidak ada
kejanggalan apa pun dari hasil tes darahnya, orangtua Ellie
disarankan untuk kembali ke rumah. Setibanya mereka di rumah,
Lisa, ibu Ellie, menemukan tiga bintik merah di punggung Ellie.
Hanya berselang 4 jam, badan Ellie sudah tertutup dengan
bercak ungu tua. Lisa langsung tahu kalau putrinya itu terserang
meningitis.
“Kembalilah Ma...”
Z
hang Da harus menanggung beban hidup yang berat
ketika usianya masih sangat belia. Tahun 2001, ketika
usianya menjelang 10 tahun, Zhang Da harus menerima
kenyataan ibunya lari dari rumah. Sang ibu kabur karena tak
tahan dengan kemiskinan yang mendera keluarganya. Yang lebih
tragis, si ibu pergi karena merasa tak sanggup lagi mengurus
suaminya yang lumpuh, tak berdaya, dan tanpa harta. Dan ia tak
mau menafkahi keluarganya.
Maka Zhang Da yang tinggal berdua dengan ayahnya yang
lumpuh, harus mengambil-alih semua pekerjaan keluarga. Ia
harus mengurus ayahnya, mencari nafkah, mencari makanan,
memasaknya, memandikan sang ayah, mencuci pakaian,
mengobatinya, dan sebagainya.
Usai sekolah, agar dirinya bisa membeli makanan dan obat untuk
sang ayah, Zhang Da bekerja sebagai tukang batu. Ia membawa
keranjang di punggung dan pergi menjadi pemecah batu.
Upahnya ia gunakan untuk membeli aneka kebutuhan seperti
obat-obatan untuk ayahnya, bahan makanan untuk berdua, dan
sejumlah buku untuk ia pejalari.
Zhang Da ternyata cerdas. Ia tahu ayahnya tak hanya
membutuhkan obat yang harus diminum, tetapi diperlukan obat
yang harus disuntikkan. Karena tak mampu membawa sang ayah
ke dokter atau ke klinik terdekat, Zhang Da justru mempelajari
bagaimana cara menyuntik. Ia beli bukunya untuk ia pelajari
caranya. Setelah bisa, ia membeli jarum suntik dan obatnya lalu
menyuntikkannya secara rutin pada sang ayah.
N
i Wayan Mertiayani atau biasa dipanggil Ni Wayan atau
Sepi merupakan putri sulung almarhum I Nengah
Sangkrib dan Ni Nengah Sirem. Sejak ayahnya meninggal,
Mertiayani tinggal bersama ibunya dan adiknya, Ni Made Jati.
Sejak itu pula, tiga wanita ini berjuang untuk melanjutkan
hidupnya dari hari ke hari.
Sepeninggal sang ayah, mereka tinggal di gubuk berdinding
bilik bambu dengan satu kamar tidur. Ibunya sudah bertahun-
tahun menderita ginjal dan harus bekerja serabutan. Untuk
menopang kehidupan, tiap sore hingga gelap menyergap, gadis
yang sekarang duduk di bangku SMA itu berjualan permen, kue
jajanan, dan makanan kecil lain di Pantai Amed, salah satu pusat
wisata di bagian timur Karangasem, Bali.
Foto Wayan ini adalah sebuah potret pohon ubi karet dengan
dahan tanpa daun yang tumbuh di depan rumahnya. Seekor
ayam bertengger di salah satu dahan, serta handuk berwarna
merah jambu dan baju keseharian yang dijemur di bawahnya.
“Dalam kondisi miskin kita tak akan punya kesempatan untuk pergi
ke mana-mana. Namun dengan buku kita bisa pergi ke mana pun kita
mau, bisa jadi orang seperti apa pun, dan bisa melakukan apa pun
yang kita inginkan.”
Sejak itu Ben melahap buku apa pun. Ia membaca buku teknik
hingga ensiklopedia. Ia juga terobsesi menjadi ilmuwan. Ia suka
belajar praktik sendiri di laboratorium. Ia meneliti berbagai
hal dari buku yang dibacanya. Perubahan ini tentu saja
mengherankan guru dan teman-temannya. Banyak juga guru
yang mendukungnya. Bahkan ada yang bersedia jadi mentornya
di laboratorium.
Ya, Siapa pun kita, bisa sukses asal mengerjakannya lebih baik
dan lebih baik lagi.
U
jian yang menimpa Qian memang sangat berat. Betapa
tidak, di usianya yang masih sangat dini—tiga tahun
(tepatnya pada bulan Oktober 2000)—ia mengalami
kecelakaan fatal yang mengakibatkan separuh tubuhnya hingga
batas pinggang harus diamputasi.
Kondisi itu diperparah lagi dengan keadaan ekonomi orangtua
Qian yang tidak berkecukupan. Karena itu, keluarga gadis cilik
yang tinggal di Zhuangxia, China itu tak mampu memberikan
kaki palsu untuk Qian. Sebagai gantinya, keluarga tersebut
menyangga tubuh Qian dengan potongan bola basket. Sebuah
solusi yang jauh dari kata nyaman, seperti kaki-kaki palsu lainnya.
S
ejak usia balita, Ben Way (Benjamin Peter Bernard Way)
sudah menunjukkan gejala menderita disleksia. Disleksia
adalah sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada
seseorang yang disebabkan oleh kesulitan pada orang tersebut
dalam melakukan aktivitas membaca dan menulis. Pada kasus
Ben, kondisi ini lebih diperparah dengan perceraian orangtuanya.
Masa-masa itu menjadi waktu yang sangat berat bagi Ben
yang masih berusia lima tahun. Karena itulah, ia menjadi anak
yang hiperaktif, emosional, dan sering kali berteriak-teriak,
lari ke sana kemari, dan merusak segala hal di sekitarnya.
Televisi, pemanggang roti, lemari jadi sasarannya. Itu pula yang
membuatnya tak bisa masuk play group karena di sekolah Ben
akan merusak kursi, meja, dan perlengkapan sekolah lainnya
yang membuat pengelola sekolah tak mau ambil risiko.
Sifatnya yang seperti itu makin merepotkan ibunya yang saat itu
masih harus mengurusi bayinya—adik Ben—bernama Hermione.
Sang ibu menjadi orangtua tunggal yang bekerja sebagai guru.
Profesi ibunya inilah yang memberikan kesempatan bagi Ben
untuk mendapat pendidikan gratis di sekolah tempat ibunya
bekerja.
Ben kemudian pindah ke rumah dekat kakek Ben dari pihak ayah.
Ben sekolah lagi. Namun, tetap menghadapi kekacauan serupa.
Ben bahkan sempat dikunci di dalam ruang kelas sendirian
karena gurunya begitu kesal padanya. Mendapat perlakuan
demikian, Ben mengamuk. Lemari dijungkirkan. Guru lalu
memarahi Ben. Salah satu umpatannya, menyakitkan hati Ben
yang saat itu sudah berusia tujuh tahun. “Kamu tak akan pernah
bisa membaca dan menulis, kamu tak akan bisa membuat
apa pun,” ujar gurunya. Ben pun terpukul. Ia jadi makin takut
menghadapi hari demi hari dalam hidupnya.
Kondisi Ben yang semakin parah membuat ibunya tak kuat lagi
mengurus Ben. Sang ibu kemudian berunding dengan mantan
suaminya yang kini sudah menikah lagi. Akhirnya diputuskan
bahwa Ben harus ikut ayahnya. Ternyata hidup bersama ayahnya
tak juga menolongnya. Di sekolahnya yang baru, Ben tetap tak
mampu belajar. Ia selalu berada di urutan bawah di kelasnya
dan itu membuatnya frustrasi. Terlebih-lebih ayahnya. Apalagi
ayahnya tak bisa lembut seperti ibunya. Ben terombang-ambing
dalam keputusasaan.
Tergerak karena Tertantang
Seperti juga yang sering saya katakan bahwa, “Tidak ada jalan
rata menuju kesuksesan. Jadilah buldozer yang meratakan jalan-
jalan menuju kesuksesan itu!”.
Salam Sukses,
Andrie Wongso
Produced by:
Digital Media & Production Dept.
www.andriewongso.com