Anda di halaman 1dari 13

WORKSHEET

FARMAKOKINETIKA KLINIK
VARIABILITAS FARMAKOKINETIKA DAN FARMAKODINAMIKA
OBAT (II)

Kelas : _________
Kelompok : _________
Anggota : nama lengkap_________________ nim

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS INSTITUT ILMU KESEHATAN


MEDIKA PERSADA 2017
VARIABILITAS FARMAKOKINETIKA FARMAKODINAMIKA OBAT
PADA PENYAKIT GASTROINTESTINAL
*coret yang tidak perlu
Sebelum dapat diabsorbsi, sediaan padat di dalam GI track secara berurutan
obat melalui proses (1) dan (2). Kecepatan proses (1) sediaan
padat di dalam tubuh ditentukan oleh faktor (3) dan faktor
(4). Sedangkan kecepatan proses (2) ditentukan oleh faktor
(5) dan (6).
Uji bioavailabilitas obat biasanya dilakukan pada subjek dengan karakter
usia (7) dengan tingkat kesehatan yang baik dan tidak dilakukan pada usia
(8) dan (9) atau pasien yang mengalami
(10). Hal tersebut menyebabkan
perbedaan nilai bioavailabilitas antar pasien ketika digunakan secara klinik.
Faktor fisiologik yang berperan dalam proses absorbsi yang berkaitan dengan
jumlah molekul terion dan tidak terion adalah parameter (11).
Untuk obat-obat dengan karakteristik parameter (11) yang rendah atau dalam
suasana (12), akan lebih mudah diserap pada suasana (13). Hal ini disebabkan
karena dalam kondisi tersebut, sebagian besar obat berada dalam
bentuk (14), yang bersifat cenderung (15) sehingga lebih mudah menembus
membrane lipid bilayer. Hal inilah yang menyebabkan pada orang dengan usia
lanjut yang mengalami achlorhidia (penurunan produksi asam lambung), obat-
obatan seperti aspirin, ketokonazol, dan itrakonazol cenderung mengalami
penurunan/peningkatan* (16) absorbsi. Selain faktor usia, kenaikan pada
parameter (11) dapat diakibatkan oleh golongan obat-obatan seperti
(17).
Kecepatan pengosongan lambung (gastric emptying rate, GER) menentukan
kecepatan penghantaran obat ke usus halus. Apabila GER melambat, akan
menyebabkan (18) absorbsi obat di usus, dan (19) pencapaian kadar
puncak obat di dalam darah (T max). Proses absorbsi yang terjadi seperti
no (18) akan merugikan tujuan terapi apabila onset yang diinginkan
(20) seperti pada obat-obatan asma dan kardiovaskular. Namun perlambatan
pada nilai GER menjadi menguntungkan bila penyerapan obat yang mekanisme
absorbsinya terbatas (capacity limited) misalnya absorbsi vitamin B, melalui
mekanisme transport aktif yg hanya terjadi di duodenum. Perlambatan peristaltic
usus dapat (21) kontak antara obat dengan epitel penyerap obat
sehingga (22) bioavilabilitas obat.
Berikut merupakan faktor yg berkaitan dengan pengosongan lambung
Pengaruh terhadap pengosongan
No
Sindrom Peristiwa lambung
soal
(mempercepat/memperlambat)*
Fisiologi Adanya cairan (mempercepat/memperlambat)* 23
Distensi lambung (mempercepat/memperlambat)* 24
Densitas energy makanan (mempercepat/memperlambat)* 25
Makanan padat (mempercepat/memperlambat)* 26
Makanan berlemak (mempercepat/memperlambat)* 27
Patologik Diabetes (mempercepat/memperlambat)* 28
Farmakologi Metoklorpramid (mempercepat/memperlambat)* 29
Domperidon (mempercepat/memperlambat)* 30
Antikolinergik (amitriptilin) (mempercepat/memperlambat)* 31

Penyakit Celiac: peradangan usus halus proksimal akibat konsumsi gluten berlebih
atau kelainan genetic. Sedangkan Penyakit Chron’s: peradangan usus halus distal
dan kolon proksimal akibat konsumsi gluten berlebih atau kelainan genetic. Isilah
tabel mengenai Perubahan fisiologi pada penyakit celiac dan chrons dan
kemungkinan pengaruhnya pada absorbsi obat adalah sebagai berikut
Penyakit Celiac Penyakit Crohn’s
Fisiologik Efek Fisiologik Efek
Kenaikan Pengurangan luas
GER permukaan (36)
absorbsi
(32)
Kenaikan Penebalan dinding
permeabilitas usus (37)
usus (33)
Steatorea Perlambatan transit
usus
(34)
(38)
siklus Diare karena
enterohepatik pertumbuhan
asam empedu↓ (35) bakteri berlebihan (39)
VARIABILITAS FARMAKOKINETIKA DAN FARMAKODINAMIKA OBAT
PADA PENYAKIT KARDIOVASKULAR

Pengaruh pada proses absorbsi


Sistem kardiovaskular memegang peranan sentral dalam disposisi
obat. Setelah obat terabsorbsi, obat akan terdistribusi ke seluruh tubuh.
(2) yang menuju dan berada di organ tertentu menentukan
disposisi obat, kadarnya di dalam darah, dan target obat (enzim pemetabolisme atau
reseptor). Gagal jantung dapat mengubah ketersediaan hayati obat disebabkan
karena (3) kecepatan aliran darah ditempat-tempat absorpsi.
Hipoperfusi jaringan dapat mengurangi/meningkatkan* (4) motilitas
gastro-
intestinal, sehingga (5) waktu transit obat. Seperti yang telah
dikemukakan perlambatan motilitas usus akan menunda/mempercepat*
(6) obat masuk ke dalam sistem sirkulasi sehingga terjadi
penundaan/percepatan* (7) obat mencapai puncak di dalam darah.
Perlambatan aliran darah di usus halus akan (8) klirens obat-obat
rasio ekstraksi hepatik tinggi/rendah* (9) yang seharusnya mengalami first-pass
metabolism. Hal ini dibuktikan oleh beberapa obat dengan ekstraksi hepatic yang
rendah/tinggi* (10), yaitu prazosin dan hidralazin per oral, mengalami
peningkatan/penurunan/tidak ada pengarunya* (11) pada parameter biovailabilitas
obat. Sedangkan untuk obat dengan ekstraksi hepatic yang rendah/tinggi* (12),
pada digoksin, mengalami peningkatan/penurunan/tidak ada pengaruhnya* (13)
pada parameter biovailabilitas obat.

Pengaruh pada proses distribusi


Volume distribusi
Pada gagal jantung biasanya akan terjadi peningkatan/penurunan* (14)
volume cairan ekstrasel yang menyebabkan distribusi obat menjadi lebih
banyak/lebih sedikit* untuk obat-obat hidrofilik/lipofilik*(151) seperti aminopirin,
sehingga meningkatkan/ menurunkan* (16) volume distribusi obat tersebut.

Pengaruh pada klirens


Gagal jantung menyebabkan respon dari saraf otonom. Penurunan fungsi
jantung mengakibatkan autoregulasi aliran darah sebagai respon adaptasi, yaitu
aliran darah ke otak dan otot jantung menjadi lebih besar/lebih kecil/tetap* (17)
dan aliran darah ke organ lain seperti ginjal menjadi lebih besar/lebih
kecil/tetap* (18)
Klirens dan BA
Pada keadaan normal lidokain sangat terdistribusi di paru, kemudian
perlahan juga terdistribusi sangat besar di organ ekskresi lain seperti
hati dan ginjal. Pada gagal jantung, karena proses no (17) dan (18),
khususnya di organ hati, menyebabkan klirens lidokain menjadi
bertambah/berkurang/tetap* (19), sehingga bioavailabilitasnya menjadi
lebih tinggi/rendah/tetap* (20) (dengan asumsi klirens renal tetap)
Selain itu, obat-obatan untuk penyakIt jantung seperti norepinefrin dan
propanolol akan menyebabkan perlambatan/percepatan* (21) aliran darah. Hal
tersebut menyebabkan percepatan/perlambatan* (22) klirens hepatic untuk
obat dengan ekstraksi hepatic (Eh) yang tinggi/rendah* (23). Hal tersebut
akhirnya menyebabkan peningkatan/penurunan* (24) kadar obat dalam darah
Gagal jantung dapat meningkatkan/menurunkan* (25) kapasitas
metabolism hati melalui 2 cara, yaitu kerusakan sel hati (akibat kongesti dan
hipoperfusi/hiperperfusi*(26) atau akibat tingginya/rendahnya* (27) kadar O 2
dalam darah sehingga mengganggu proses oksidasi oleh enzim CYP
Obat dengan klirens hepatic yang tinggi ditunjukkan oleh tabel 2.1 (0,6-1)

Data penurunan klirens obat pada penyakit jantung ditujukkan oleh tabel 2.2

Karena adanya kelainan jantung tadi, tidak hanya aliran darah ke


hati yang terpengaruh, namun juga aliran darah ke ginjal. Akibatnya
meskipun suatu obat memiliki ekstraksi hepatic yang rendah/tinggi* (28),
dapat juga menyebabkan penurunan/peningkatan*(29) klirens obat.
Berkaitan dengan fenomena nomor 28, diperlukan upaya penyesuaian dosis
dan interval pemberian obat, agar pasien-pasien dnegan gagal jantung yang
mendapatkan obat dengan indeks terapi sempit/lebar* (30) tidak melampaui/di
bawah* (31) kadar MTC/MEC* (32). Contoh obat-obatan tersebut adalah

.(33)
Selain itu, berkaitan dengan peristiwa no 28 perlu dilakukan
(34) dan perlu
dilakukan upaya (35) untuk
memastikan regimen dosis telah menghasilkan kadar terapetik yg diharapkan
Selain obat induk, metabolit aktif dari obat juga perlu mendapatkan
perhatian. Karena proses perlambatan aliran darah ke ginjal dapat menyebabkan
peningkatan/penurunan* (36) kadar metabolit tertentu dalam darah, sehingga
kadar metabolit dapat melampaui/di bawah* (37) kadar MTC/MEC* (38).
Contoh metabolit toksik dapat dilihat pada tabel 2.3.

Metabolit aktif dalat dilihat pada tabel 2.4

*coret yang tidak perlu


VARIABILITAS FARMAKOKINETIKA FARMAKODINAMIKA OBAT
PADA PENYAKIT HATI

Hati memegang peranan penting dalam proses ADME obat.


Umumnya gangguan di hati menyebabkan perubahan profil kadar
obat dalam darah dan reseptor.
Absorbsi dan Distribusi Obat
Pada sirosis hepatikus, terjadi perlambatan/peningkatan* (1) motilitas GI tract
sehingga mempercepat/memperlambat* (2) absorbsi obat. Peristiwa pada nomor
(1) dapat diakibatkan oleh penurunan/peningkatan* (3) hormone motilin di GI
tract. Motilin adalah hormone yang

(4). Proses no 2 hanya (5) proses absorbsi, namun


tidak mempengaruhi (6). Sebaliknya, obat-obat seperti
eritromisin dan cisaprid mampu memperlambat/meningkatan* (7) motilitas GI Hati
merupakan organ yang berperan dalam farmakokinetika obat, khususnya
proses (8). Kelainan hati dapat menyebabkan penurunan/peningkatan*
(9) proses no (8) akibat sedikit/banyaknya* (10) produksi enzim yang berperan
pada proses no (8). Hal tersebut selanjutnya mempengaruhi parameter
bioavailabilitas, yaitu berupa (11).
Fenomena perubahan ketersediaan hayati ini dapat dilihat pada tabel 3.1

Prodrug adalah (12). Proses no 9


menyebabkan pengaruh pada prodrug, yakni
(13).
First pass metabolism adalah

(14). Obat-obat lain yang saat fungsi hati normal mengalami first pass effect,
mengalami (15) saat terjadi penyakit hati kronis karena
penurunan/peningkatan* (16) aktivitas enzim CYP
Tabel 3.2 Contoh obat yang mengalami first pass effect dan
pengaruhnya tehadap ketersediaan hayati per oral
Pada gangguan hati yang berat, dilaporkan tergadi kenaikan/penurunan* (17)
sensitivitas target obat atau reseptor, (18)
misalnya anti-inflamasi non-steroid, diuretik, inbfitor ACE, asam valproat, dan
benzbromaron-suatu urikosurik. Kejadian adverse effects (tipe A)
meningkat/menurun* (19) misalnya pada sirosis hepatikus-alkoholik, contoh obat:
toksisitas metotreksat, isoniazid atau parasetamol. Peningkatan toksisitas ini
disebabkan karena alkohol mengonduksi enzim CYP2E1 sehingga
metabolit toksik yang terbentuk lebih banyak.
Perubahan fisiologi lain terkait gangguan hati adalah produksi protein
transport seperti (20) Berupa peningkatan/penurunan* (21)

produksinya dan kualitas protein tersebut. Proses

tersebut selanjuunya mengakibatkan (22) yang terdistribusi sehingga


(23) Seperti
yg terjadi pada diazepam, fenitoin, kinidin, morfin, prednisolon,
tolbutamid. Pada sirosis yg diikuti oleh udem atau dan atau ascites,
(24) untuk obat-obat hidrofilik
Klirens merupakan parameter untuk (25) Tulis persamaam
yg menggambarkan hubungan antara dosis,klirens,
bioavailabilitas dan AUC Pada pemberian tunggal (26)

Pada pemberian berulang (27)

Untuk obat obat yg sebagian besar (lebih ≥ 70% dosis mengalami


metabolisme maka klirens (total atau sistemik) lebih ditentukan oleh
klirens hepatik (28) dibandingkan klirens renal (29)
Tuliskan persamaan yg menghubungkan klirens hepatik (CLh) , fraksi obat
bebas (fu), kapasitas metabolisme (CLi), dan kecepatan aliran darah hepatik (Qh)
(30)
Jika kapasitas metabolisme melebihi
kecepatan aliran darah hepatik
fu.Cli>>> Qh maka klirens hepatik hanya ditentukan oleh parameter (31)

Obat2 dengan karakteristik seperti nomor 31 di atas disebut dengan obat yg


memiliki rasio ekstraksi hepatik tinggi/rendah* (32). Pada obat-obat tersebut,
klirens total hanya ditentukan oleh klirens hepatic. Sementara obat dg sifat
sebaliknya rasio ekstraksi hepatik rendah/ /tinggi (33) maka hubungan nilai fu.CLi
dengan Qh adalah (34), sehingga nilai CLh ditentukan oleh 35)

Obat dengan ekstraksi hepatik rendah, lebih mudah/sulit * (36)


diprediksi nilai CLh karena sulitnya menentukan nilai fu (37)
Sulitnya menentukan nilai parameter di atas diakibatkan oleh perubahan
pada kelainan hepar seperti ekspresi albumin yg berkurang/bertambah* (38)
dan ekspresi enzim pemetabolisme yg berkurang/bertambah* (39)
Pada akhirnya secara keseluruhan terjadi penurunan/peningkatan * (40) klirens
total pada orang dg penyakit hati, sehingga perlu dilakukan modifikasi berupa
penurunan/peningkatam *(41) dosis agar obat mencapai efek yg diinginkan
Perlambatan/percepatan* aliran darah hepatic (42) obat obat dengan Eh
tinggi/rendah* (43) seperti labetalol, metroprolol, propanolol, lidokqin, morfin,
verapamil, akan meningkatkan/mengurangi * (44) klirens hepatic. Karena obat2 ini
sebagian besar/sebagian kecil* (45) mengalami proses metabolisme di hati maka
penurunan/peningkatan* (46) klirens hepatik akan menurunkan/meningkatkan*
(47) klirens total. Proses tersebut juga bisa terjadi pada obat dg
klirens hepatik rendah.
Disfungsi hati pada sirosis, dapat menurunkan/meningkatkan* (48) produksi
enzim pemetabolisme, sehingga kecepatan dan jumlah obat yg dimetabolisme
oleh tubuh menjadi bertambah/berkurang *(49), hal ini selanjutnya akan
meningkatkan/menurunkan* (50) kadar obat aktif di dalam darah.
Penurunan/peningkatan *(51) klirens pada penyakit hati juga
diakibatkan oleh perlambatan/peningkatan* (52) aliran darah hepatik
akibat obat2an seperti ranitidin, simetidin, labetalol, propanolol.
Perubahan klirens dapat diakibatkan oleh faktor fisiologi, diantaranya
- Gangguan respirasi kronik : meningkatkan/menurunkan aliran
darah hepatik dan klirens hepatik * (53)
- Gangguan nafas akut : meningkatkan/menurunkan aliran darah
hepatik dan klirens hepatik * (54)
- Usia lanjut : meningkatkan/menurunkan aliran darah hepatik dan
klirens hepatik * (55)
- Pengurangan volume darah : meningkatkan/menurunkan aliran
darah hepatik dan klirens hepatik * (56)
Perubahan klirens dapat diakibatkan oleh faktor patologilogi, diantaranya
- Hepatitis virus : meningkatkan/menurunkan aliran darah hepatik
dan klirens hepatik * (57)
- Gagal ginjal berat CLcr < 5ml/menit : meningkatkan/menurunkan aliran
- Gagal jantung kongesti : meningkatkan/menurunkan aliran
darah hepatik dan klirens hepatik * (58)
- sirosis : meningkatkan/menurunkan aliran darah hepatik dan
klirens hepatik * (59)

Perubahan farmakokinetik obat dengan Eh tinggi dapat dilihat pada tabel 3.3.

Perubahan pada parameter klirens obat tersebut di atas pada akhirnya dapat
memperpanjang/memperpendek t ½* (60) sehingga perlu dilakukan modifikasi
pada (61) pada pemberian obat berulang. Perubahan pada t ½ seperti
tersebut di atas juga akan menunda/mempercepat *(62) kadar tunak
obat di dalam darah

Pengaruh sirosis hepatic terhadap t ½ eliminasi obat dengan EH


rendah dapat dilihat pada tabel 3.4

Contoh obat yang mengalami perlambatan klirens 20-90% dan perpanjangan


waktu paruh eliminasi (1,5-5x) pada sirosis hepatic dapat dilihat tabel 3.5

Penyakit sirosis dapat berlanjut ke gangguan renal yang disebut dengan


sindrom (63). Sindrom ini salah satunya diakibatkan oleh penurunan produksi
vasodilator akibat sirosis sehingga terjadi vasokonstriksi di ginjal. Hal tersebut
selanjutnya menyebabkan penurunan/peningkatan* (64) aliran darah di ginjal dan
filtrasi glomerulus. Hal ini terlihat dari penurunan/peningkatan* (65) eksresi renal
pada orang yg mengkonsumsi ofloxacin, cilazapril, fluconazol. Kreatinin adalah
produk yang diproduksi di hati, sehingga penurunan fungsi
hati dapat
mengakibatkan peningkatan/penurunan * (66) produksi kreatinin, sehingga untuk
mengukur fungsi ginjal digunakan
(67)
Sebagain besar tes fungsi hati hanya memperkirakan kerusakan hati, namun
tidak bisa menilai fungsi enzim pemetabolisme di hati. Biasanya akan
dilakukan penurunan dosis sebesar setengahnya atau kurang, kemudian
dilakukan (68). Untuk obat-obat yang klirensnya sangat tergantung pada laju
aliran darah hepatik, sebaiknya dihindari pada orang dengan
kelainan hati. Bila perlu dosis dikurani hingga (69)

Kolestasis dan ekskresi bilier obat


Gangguan hati, seperti hepatitis A,B,dan C, kelainan genetic pada saluran
empedu, kelainan metabolism asam empedu/Dubin Johnson) atau karena obat
(estrogen, ipglitazon) dapat menyebabkan terhambatnya aliran empedu
(kolestasis). Hal tersebut mennghambat/meningkatkan* (70) eliminasi obat
(metabolit glukoronat) menuju duodenum. Obat yang telah dimetabolisme
oleh getah empedu selanjutnya masuk ke duodenum kemudian
(71) atau mengalami siklus enterohepatik, yaitu
(72). Obat yang
mengalami siklus enterohepatik ini selanjutnya melewati hati kembali, dan masuk
ke sirkulasi sistemik. Siklus ini berlangsung terus menerus, sehingga dapat
menyebabkan terbentuknya (73) pada profil farmakokinetika obat. Hal
ini disebabkan oleh (74). Gambar 3.1 fenomena soal no 73

. Beberapa obat yang mengalami siklus enterohepatik dan


ekskresi bilier ditunjukkan oleh tabel 3.6
Pada dosis besar, sistem sekresi bilier dapat mengalami (75),
sehingga obat (76) tanpa melalui metabolisme.
Pemberian obat berulang juga akan membingungkan penafsiran data kadar obat
dalam darah, khususnya pada parameter eliminasi, akibat munculnya fenomena no
73,. Oleh karena itu, untuk mengurangi pengaruh siklus enterohepatik, obat dapat
diberikan melalui (77), sehingga tetapan kecepatan eliminasi yang
sebenarnya dapat ditentukan dan interval pemberian obat dapat
ditentukan dengan lebih akurat.
Selain karena kelainan patologik, sekresi bilier dapat dipengaruhi oleh
obat-obatan. Misalnya fenobarbital yang dapat memacu/menghambat* (78)
aliran empedu. Terlalu sering mengkonsumsi antibiotik dapat menyebabkan
penurunan/ peningkatan* (79) produksi enzim beta glukoronidase, akibat dari
(80). Hal ini terjadi pada kegagalan
kontrasepsi pada penggunaan pil KB

Anda mungkin juga menyukai