Anda di halaman 1dari 3

Obat Antiepilepsi Pada Gangguan Ginjal

Gagal ginjal dan uremia sangat mempengaruhi farmakokinetik dan farmakodinamik OAE.
Dalam absorpsi, penyakit ginjal dapat berpengaruh secara langsung maupun tak
langsung dan berefek terhadap bioavailabilitas obat oral. Gangguan ginjal dapat
berpengaruh pada pH lambung, menyebabkan peningkatan pertumbuhan bakteri intestinal
dan mengurangi ionisasi beberapa obat. Pada penyakit ginjal kronik, akibat
disregulasj sirkulasi, terjadi gastroparesis, sehingga terjadi penundaan absorpsi
maksimal serum level OAE akibat edema intestinal. Terjadi penurunan sitokrom P450
intestinal untuk metabolisme dan transpor aktif glikoprotein OAE, sehingga lebih
banyak OAE bebas yang memasuki sirkulasi enterohepatik, mengakibatkan banyak pula
OAE bebas masuk ke sirkulasi. Beberapa keadaan perubahan pada penyakit ginjal
diatas, menyebabkan sulitnya menghitung kadar akumulasi obat, sehingga nilai
klirens kreatinin tidak bisa diperkirakan efeknya terharap waktu paruh OAE. Pada
neuropati gastrointestinal (pada gangguan ginjal), adanya gangguan motilitas, mual
dan muntah dapat mengubah waktu kontak obat dengan mukosa saluran cerna, sehingga
absorpsi obat berkurang; Demikian pula pada kondisi edema saluran cerna akibat
volume overload (pada penyakit ginjal). Absorpsi yang berkurang mengakibatkan
penurunan bioavailabilitas OAE. (1,2)
Loading dose ditentukan dengan volume distribusi. Loading dose berkaitan dengan
jumlah obat yang terdapat dalam tubuh dibandingkan dengan konsentrasi dalam plasma,
ini digunakan untuk mengurangi waktu mencapai kadar steady state. Loading dose
tidak bergantung pada clearance ginjal, oleh karena itu umumnya tidak membutuhkan
penyesuaian dosis pada gangguan ginjal (1,2)

Pada penyakit ginjal kronik, didapatkan perubahan ikatan protein. Obat yang terikat
ke protein binding umumnya tidak menimbulkan efek farmakologis, dan beberapa obat
sangat berikatan dengan protein plasma. Pasien penyakit ginjal kronik dan sindroma
nefrotik dalam kondisi hipoalbuminemia mengalami penurunan ikatan obat,
menghasilkan peningkatan jumlah obat bebas (dibandingkan dengan konsentrasi total
yang sama pada kondisi normal) untuk menimbulkan efek farmakologis. Albuminuria dan
asidosis metabolik akan menurunkan kadar albumin serum, dan afinitas nya terhadap
obat juga menurun. Akibatnya kadar obat bebas dalam serum ajan meningkat, sehingga
volume distribusi dan beban klirens nya dari plasma akan meningkat.19,27 Hal ini
membuat kerancuan dalam interpretasi kadar total OAE dalam plasma. Kadar total OAE
dalam plasma dapat berada dalam therapeutic range sementara kadar obat bebas sudah
mencapai toksisitas. Oleh karena itu, pengukuran kadar bebas OAE yang berikatan
kuat dengan protein dalam plasma lebih bermanfaat. Molekul uremik dan produk sisa
organik lainnya yang terakumulasi dalam tubuh pada kondisi gagal ginjal memiliki
kemampuan untuk berikatan dengan  protein plasma dan menggeser ikatan obat dari
binding site-nya. Molekul dan produk tersebut juga menurunkan aktivitas ekspresi
enzim cytochrome P450, memperlambat metabolisme di liver, memperpanjang waktu paruh
obat, dan meningkatkan toksisitas. Manajemen farmakologis penyakit ginjal kronik
memerlukan estimasi fungsi ginjal, penilaian klinis, dan monitor kadar obat yang
akurat. Beberapa metode telah diajukan untuk menghitung dosis OAE berdasarkan pada
creatinine clearance, volume distribusi, dan variabel-variabel lain, namun
penghitungan tersebut rumit dan konsentrasi aktual obat dapat berbeda dari yang
diperhitungkan. Pada pasien dengan gangguan ginjal, OAE dimulai dengan dosis
rendah.
Sebagai rekomendasi umum, untuk pasien dengan gagal ginjal akut yang berat, dosis
diperhitungkan berdasarkan estimasi GFR <10ml/min. Dialisis dan terapi pengganti
ginjal juga menjadi pertimbangan pemberian OAE pada gagal ginjal. Sifat fisiokimia
obat mempengaruhi eliminasi obat dengan dialisis. Terdapat beberapa faktor terkait
HD yang mempengaruhi clearance obat, seperti tipe membran (ukuran pori), luas area
permukaan, kecepatan aliran darah, dan frekuensi/durasi HD. Eliminasi obat
meningkat pada OAE dengan ukuran molekul obat yang kecil dan larut air. Obat yang
terikat protein dan memiliki volume distribusi yang besar akan kurang tereliminasi
karena hanya proporsi obat tersirkulasi yang tak terjangkau dialisis lebih besar
dibandingkan dengan jumlah obat yang beredar dalam ruang vaskuler tubuh. OAE yang
diketahui banyak tereliminasi dengan dialisis perlu diberikan setelah dialysis
untuk menghindari kejang post-HD. (3)

Selain melibatkan koreksi fungsi ginjal dan gangguan metabolik, kejang pada
gangguan ginjal sering membutuhkan OAE dalam penatalaksanaannya. Status epileptikus
pun ditangani sebagaimana tatalaksana status epileptikus. Fenitoin, carbamazepine,
dan tiagabin merupakan OAE dengan ekskresi ginjal yang minimal tidak perlu
penyesuaian dosis, kecuali creatinine clearance dibawah 25 ml/min. OAE lain seperti
gabapentin, topiramat, pregabalin, dan levetiracetam hampir seluruhnya
diekskresikan melalui ginjal. Obat-obat ini berkurang eliminasinya dan meningkat
waktu-paruhnya pada pasien dengan gangguan ginjal sehingga perlu penyesuaian dosis.
Ethosuximide, gabapentin, levetiracetam, phenobarbital, pregabalin dan topiramat
yang sangat larut air, tidak terikat protein, dan volume distribusi yang kecil
mudah tereliminasi dengan hemodialisa. Carbamazepine, clonazepam, fenitoin,
tiagabin, dan asam valproate kurang tereliminasi dengan hemodialisa. (4)

Fenitoin sering digunakan pada gagal ginjal. Obat ini 90% terikat protein, namun
pada kondisi gagal ginjal ikatannya dapat berkurang 20%, oleh karena itu
therapeutic range fenitoin pada gagal ginjal menurun dari 10-20 µg/mL menjadi 5-10
µg/mL. Pemantauan kadar fenitoin sebaiknya menggunakan kadar fenitoin bebas dengan
therapeutic range 1-2 µg/mL.
Ekskresi renal hanya sebesar 15% (Browne, 2002). Dosis total harian tidak perlu
dikurangi karena phenytoin tidak terakumulasi dalam tubuh, kecuali penderita juga
mengalami gangguan liver. Waktu paruh phenytoin berkurang pada kondisi uremia,
pembagian dosis harian lebih dianjurkan daripada pemberian seluruh dosis dalam satu
waktu (Aminoff & Parent, 20008).(4)
Valproat sangat membantu dalam mengatasi kejang mioklonik dan general tonik-klonik
pada pasien uremia. Ikatan proteinnya juga berkurang pada kondisi gagal ginjal.
Monitor klinis dan laboratoris penting dilakukan dalam penggunaannya pada kondisi
gangguan ginjal berat. Tidak diperlukan dosis tambahan setelah dialysis (Aminoff &
Parent, 2008). Penggunaannya perlu diwaspadai karena dilaporkan dapat meyebabkan
acute tubular necrosis dan Fanconi syndrome sehingga disarankan untuk memonitor
sedimen urine.
Carbamazepine juga tidak banyak dipengaruhi kondisi uremia, namun memiliki efek
antidiuretik yang dapat meningkatan retensi cairan.
Data yang tersedia tentang OAE generasi baru (seperti vigabatrin, rufinamide,
lacosamide, pregabalin, ezogabine, eslicarbazepine, brivaracetam, perampanel dan
clobazam yang diperkenalkan sejak tahun 2006) masih terbatas. Pemahaman mengenai
pengaruh penyakit ginjal dan dialisis terhadap masing-masing obat sangat diperlukan
dalam pemilihan OAE dan penentuan dosis. Umumnya, OAE generasi baru kurang memiliki
efek samping dan interaksi obat, namun memerlukan penyesuaian dosis sesuai derajat
gangguan ginjal dan membutuhkan dosis tambahan setelah dialisis.

Pasien dengan abnormalitas struktural otak dengan defisit neurologis fokal atau
kelainan pada MRI/CT membutuhkan terapi profilaksis jangka panjang. Pada kasus
acute symptomatic seizure yang disebabkan gangguan metabolik, disarankan untuk
mengoreksi penyakit dasarnya (5)

Pemilihan OAE berdasarkan jenis kejang yang terjadi, namun beberapa keadaan
komorbid harus dipertimbangkan, seperti gangguan fungsi ginjal baik akut maupun
kronik. Insufisiensi ginjal sangat mempengaruhi farmakokinetik OAE, khususnya
menghambat eliminasi OAE melalui urin, sehinggaakan meningkatkan waktu paruh dan
kadar obat dalam plasma.
Sebagian besar OAE dieliminasi melalui ginjal, seperti gabapentin, topiramate,
ethosuximide, vigabatrin, dan levetiracetam.16 Semua obat-obatan ini akan meningkat
akumulasinya dalam darah pada keadaan klirens kreatinin yang menurun. Tabel berikut
menunjukkan perubahan farmakokinetik beberapa OAE dan akibat hemodialisa (6)

1. Diaz A, Deliz B, Benbadis SR. The Use of Newer Antiepileptic Drugs in


Patients With Renal Failure. Expert Rev Neurother. 2012;12(1):99-105.

2. Murphy SM,  Delanty N. Treatment of the Epilepsy patient with


concomitant medical condition. Therapeutic Strategies in Epilepsy, (2009) 231-233

3. De Lacerda GCB. Treating Seizures in Renal and Hepatic Failure. J


Epilepsy Clin Neurophysiol 2008; 14(Suppl 2):46-50.

4. Ruiz-Gimenez J, Sanchez-Alvarez JC, Canadillas-Hidalgo F, Serrano-


Castro PJ. Antiepileptic treatment in patients with epilepsy and other
comorbidities. Seizure, 19 (2010) 375–382.

5. Sawhney IM, McLauchlan DJ, Powell HWR. Management of Acute Symptomatic


Seizures: Outline of Current Practice. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2012;83

6. Liu MF, Quan H, Wiebe S,  Jette  N. Development of an epilepsy-specific


risk adjustment comorbidity index. Epilepsia, 52(12):2161–2167, 2011.

Anda mungkin juga menyukai