Anda di halaman 1dari 15

Kejang

Kejang pada gagal ginjal lebih sering dialami pada penderita gagal ginjal
akut dibandingkan gagal ginjal kronik. Penurunan insidensi ini dapat
mencerminkan tatalaksana gagal ginjal kronik yang lebih agresif. Kejang muncul
akhir pada ensefalopati renal, dan apabila timbul pertimbangkan pula kondisi
patologis yang merupakan komplikasi gagal ginjal Kejang pada uremia akut
cenderung berkaitan dengan ensefalopati berat, umumnya antara 7-10 hari setelah
awitan gagal ginjal dan selama stadium anuria/oliguria.

Weisberg LA, Garcia C, Strub

R. Essentials of Clinical Neurology: Neurologic Complication of Systemic Diseases. 2003

Umumnya, kejang berupa bangkitan general tonik-klonik dan seringkali


multipel. Kejang berupa mioklonik, parsial sederhana, parsial kompleks juga
dapat muncul dengan frekuensi lebih jarang, demikian pula epilepsia partialis
continua. Apabila terdapat kejang rekuren atau kejang parsial, investigasi untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya lesi struktural perlu dilakukan. Kejang
dialami oleh hampir 2/3 pasien dengan dialysis encephalopathy, muncul selama
atau segera setelah dialysis. Kejang juga dapat muncul pada dialysis
disequilibrium syndrome yang terjadi pada akhir hemodialysis (HD) atau beberapa
jam setelah HD.

Weisberg LA, Garcia C, Strub R. Essentials of Clinical Neurology:

Neurologic Complication of Systemic Diseases. 2003

Kejang pada pasien gagal ginjal juga dapat disebabkan oleh gangguan
serebrovaskuler. Pembuluh darah otak rentan terhadap terjadinya kalsifikasi

dan atherosclerosis akibat gangguan mineral (chronic kidney diseasemineral and


bone disorder atau CKD-MBD) dan hiperhomosisteinemia. Perdarahan otak
(ICH/ SAH/ SDH) pada gagal ginjal berkaitan dengan penggunaan antikoagulan
pada dialysis dan disfungsi platelet akibat. Weisberg et al, 2003).
Ginjal merupakan organ yang umum dilakukan transplantasi. Obat
imunosupresan yang sering diberikan antara lain steroid, cyclosporine, tacrolimus,
azathioprine dan mycophenolate.
berkaitan

dengan

terjadinya

Cyclosporine dan tacrolimus diketahui

posterior

leukoencephalopathy dan

kejang.

Cyclosporine juga dapat menurunkan ambang kejang. Apabila pasien epilepsi


yang menjalani transplantasi mengalami kejang, pertimbangkan etiologi kejang
selain epilepsi, terutama ensefalopati uremik, gangguan metabolik, infeksi
oportunistik, dan leukoencephalopathy (Murphy & Delanty, 2009). Antibiotik
yang digunakan dalam terapi infeksi pada pasien gagal ginjal juga dapat
menurunkan ambang kejang, antara lain penicillin, cefepime dan quinolone
(Michelagnoli et al, 2013; Rizzo et al, 2012; Aminoff & Parent, 2008; Weisberg et
al, 2003).
Prinsip Terapi Obat Antiepilepsi Pada Gangguan Ginjal
Gagal

ginjal

dan

uremia

sangat

mempengaruhi

farmakokinetik dan farmakodinamik OAE beserta metabolitnya.


Pada umumnya, reduksi dosis diindikasikan pada pasien penyakit
ginjal kronik bila 30% obat atau metabolit aktif tak berubah di
urine (Diaz et al, 2012).Dalam absorpsi, penyakit ginjal dapat

berpengaruh secara langsung maupun tak langsung dan berefek


terhadap bioavailabilitas obat oral. Gangguan ginjal dapat
berpengaruh pada pH lambung, menyebabkan peningkatan
pertumbuhan

bakteri

intestinal

dan

mengurangi

ionisasi

beberapa obat. Pada neuropati gastrointestinal (pada diabetes


mellitus atau penuaan yang mengakibatkan gangguan ginjal),
adanya gangguan motilitas, mual dan muntah dapat mengubah
waktu kontak obat dengan mukosa saluran cerna, sehingga
absorpsi obat berkurang; Demikian pula pada kondisi edema
saluran cerna akibat volume overload (pada sirosis dan gagal
jantung

pada

penyakit

ginjal).

Absorpsi

yang

berkurang

mengakibatkan penurunan bioavailabilitas obat (Diaz et al, 2012;


Murphy & Delanty, 2009).
Loading dose ditentukan dengan volume distribusi. Loading
dose berkaitan dengan jumlah obat yang terdapat dalam tubuh
dibandingkan dengan konsentrasi dalam plasma, ini digunakan
untuk mengurangi waktu mencapai kadar steady state. Loading
dosetidak bergantung pada clearance ginjal, oleh karena itu
umumnya

tidak

membutuhkan

penyesuaian

dosis

pada

gangguan ginjal (Diaz et al, 2012).


Pada penyakit ginjal kronik, didapatkan perubahan ikatan
protein. Obat yang terikat umumnya tidak menimbulkan efek

farmakologis, dan beberapa obat sangat berikatan dengan


protein plasma. Pasien penyakit ginjal kronik dan sindroma
nefrotik dalam kondisi hipoalbuminemia mengalami penurunan
ikatan obat, menghasilkan peningkatan jumlah obat bebas
(dibandingkan dengan konsentrasi total yang sama pada kondisi
normal) untuk menimbulkan efek farmakologis (Diaz et al, 2012).
Hal ini membuat kerancuan dalam interpretasi kadar total OAE
dalam plasma. Kadar total OAE dalam plasma dapat berada
dalam therapeutic range sementara kadar obat bebas sudah
mencapai toksisitas. Oleh karena itu, pengukuran kadar bebas
OAE yang berikatan kuat dengan protein dalam plasma lebih
bermanfaat (Murphy & Delanty, 2009). Bila pasien menderita
hypoalbuminemia berat, kadar phenytoin dapat dikoreksi dengan
rumus

berikut:

PHT

corrected

PHT

measured/

[(albumin*0.2)+1] (DeLacerda, 2008)


Molekul

uremik

dan

produk

sisa

organik

lainnya

yang

terakumulasi dalam tubuh pada kondisi gagal ginjal memiliki


kemampuan

untuk

berikatan

dengan

protein

plasma

dan

menggeser ikatan obat dari binding site-nya. Molekul dan produk


tersebut

juga

menurunkan

aktivitas

ekspresi

enzim cytochrome P450, memperlambat metabolisme di liver,

memperpanjang waktu paruh obat, dan meningkatkan toksisitas


(Diaz et al, 2012).
Manajemen farmakologis penyakit ginjal kronik memerlukan
estimasi fungsi ginjal, penilaian klinis, dan monitor kadar obat
yang akurat. Beberapa metode telah diajukan untuk menghitung
dosis

OAE

distribusi,

berdasarkan
dan

pada creatinine

variabel-variabel

lain,

clearance,

namun

volume

penghitungan

tersebut rumit dan konsentrasi aktual obat dapat berbeda dari


yang diperhitungkan. Pada pasien dengan gangguan ginjal, OAE
dimulai dengan dosis rendah (Murphy & Delanty, 2009). Sebagai
rekomendasi umum, untuk pasien dengan gagal ginjal akut yang
berat,

dosis

diperhitungkan

berdasarkan

estimasi

GFR

<10ml/min (Diaz et al, 2012).


Dialisis

dan

terapi

pengganti

ginjal

juga

menjadi

pertimbangan pemberian OAE pada gagal ginjal. Sifat fisiokimia


obat mempengaruhi eliminasi obat dengan dialisis. Terdapat
beberapa faktor terkait HD yang mempengaruhi clearance obat,
seperti tipe membran (ukuran pori), luas area permukaan,
kecepatan aliran darah, dan frekuensi/durasi HD. Eliminasi obat
meningkat pada OAE dengan ukuran molekul obat yang kecil dan
larut air. Obat yang terikat protein dan memiliki volume distribusi
yang besar akan kurang tereliminasi karena hanya proporsi obat

tersirkulasi yang tak terjangkau dialisis lebih besar dibandingkan


dengan jumlah obat yang beredar dalam ruang vaskuler tubuh.
OAE yang diketahui banyak tereliminasi dengan dialisis perlu
diberikan setelah dialysis untuk menghindari kejang post-HD
(Diaz et al, 2012).
Pilihan Obat Antiepilepsi pada Gagal Ginjal
Selain melibatkan koreksi fungsi ginjal dan gangguan metabolik,
kejang pada gangguan ginjal sering membutuhkan OAE dalam
penatalaksanaannya
epileptikus

pun

(Aminoff

ditangani

&

Parent,

sebagaimana

20008).

tatalaksana

Status
status

epileptikus oleh penyebab lain (Murphy & Delanty, 2009).


Phenytoin, carbamazepine, dan tiagabin merupakan OAE dengan
ekskresi ginjal yang minimal tidak perlu penyesuaian dosis,
kecualicreatinine clearance dibawah 25 ml/min. OAE lain seperti
gabapentin, topiramat, pregabalin, dan levetiracetam hampir
seluruhnya diekskresikan melalui ginjal. Obat-obat ini berkurang
eliminasinya

dan

meningkat

waktu-paruhnya

pada

pasien

dengan gangguan ginjal sehingga perlu penyesuaian dosis


(Murphy & Delanty, 2009).
Ethosuximide,

gabapentin,

levetiracetam,

phenobarbital,

pregabalin dan topiramat yang sangat larut air, tidak terikat

protein, dan volume distribusi yang kecil

mudah tereliminasi

dengan HD. Carbamazepine, clonazepam, phenytoin, tiagabin,


dan valproate kurang tereliminasi dengan HD (Murphy & Delanty,
2009).
Phenytoin umum digunakan pada gagal ginjal. Obat ini 90% terikat protein,
namun pada kondisi gagal ginjal ikatannya dapat berkurang 20%, oleh karena
itu therapeutic range phenytoin pada gagal ginjal menurun dari 10-20 g/mL
menjadi 5-10 g/mL. Pamantauan kadar phenytoin sebaiknya menggunakan kadar
phenytoin bebas dengan therapeutic range 1-2 g/mL (Aminoff & Parent,
20008). Ekskresi renal hanya sebesar 15% (Browne, 2002). Dosis total harian
tidak perlu dikurangi karena phenytoin tidak terakumulasi dalam tubuh, kecuali
penderita juga mengalami gangguan liver. Waktu paruh phenytoin berkurang pada
kondisi uremia, pembagian dosis harian lebih dianjurkan daripada pemberian
seluruh dosis dalam satu waktu (Aminoff & Parent, 20008).
Valproat sangat membantu dalam mengatasi kejang mioklonik dan general tonikklonik pada pasien uremia. Ikatan proteinnya juga berkurang pada kondisi gagal
ginjal. Monitor klinis dan laboratoris penting dilakukan dalam penggunaannya
pada kondisi gangguan ginjal berat. Tidak diperlukan dosis tambahan setelah
dialysis (Aminoff & Parent, 2008). Penggunaannya perlu diwaspadai karena
dilaporkan dapat meyebabkan acute tubular necrosis dan Fanconi syndrome
sehingga disarankan untuk memonitor sedimen urine (DeLacerda, 2008).

Carbamazepine juga tidak banyak dipengaruhi kondisi uremia (Aminoff &


Parent, 2008), namun memiliki efek antidiuretik yang dapat meningkatan retensi
cairan (Murphy & Delanty, 2009).
Topiramate dan zonisamide merupakan carbonic

anhidrase

inhibitor dan

memiliki 1% risiko timbulnya batu ginjal simtomatik (calcium phosphat) karena


peningkatan pH urine, hypercalciuria, penurunan citrate urine. Penggunaannya
tidak disarankan pada pasien dengan riwayat nefrolithiasis

(Brodie & Kwan,

2012; Frassetto, 2011).


OAE yang menginduksi enzim dapat menurunkan konsentrasi imunosupresan,
khususnya cyclosporine, pada pasien transplantasi ginjal, mengakibatkan
penurunan survival allograft ginjal. OAE generasi baru lebih dipilih untuk pasien
epilepsi yang menjalani transplantasi karena lebih sedikit berpengaruh
terhadap cytochrome P450 dan lebih jarang terjadi interaksi obat. Perlu
diwaspadai,pemberian gabapentin pada transplantasi ginjal berkaitan dengan
disfungsi ginjal akut pada allograft (Murphy & Delanty, 2009).
Data yang tersedia tentang OAE generasi baru (seperti vigabatrin, rufinamide,
lacosamide, pregabalin, ezogabine, eslicarbazepine, brivaracetam, perampanel dan
clobazam yang diperkenalkan sejak tahun 2006) masih terbatas. Pemahaman
mengenai pengaruh penyakit ginjal dan dialisis terhadap masing-masing obat
sangat diperlukan dalam pemilihan OAE dan penentuan dosis. Umumnya, OAE
generasi baru kurang memiliki efek samping dan interaksi obat, namun

memerlukan penyesuaian dosis sesuai derajat gangguan ginjal dan membutuhkan


dosis tambahan setelah dialisis (Diaz et al, 2012).

Referensi

Aminoff MJ, Parent JM. Comorbidity in Adult. Epilepsy: A Comprehensive Textbook,


2nd ed. (2008) 2007-2008

Baumgaertel MW, Kraemer M, Berlit P. Neurologic complications of acute and


chronic renal disease. Handb Clin Neurol. 2014;119:383-93. [abstrak]

Brodie, M, Kwan P. (2012) Newer drugs for focal epilepsy in adults. British Medical
Journal, 344 . e345. ISSN 0959-8138

Brouns

R,

DeDeyn

PP. Neurological

complications

in

renal

failure:

review. Clinical Neurology and Neurosurgery, 107 (2004) 116.

Croft R, Moore J. Renal failure and its treatment. Anaesthesia and Intensive Care
Medicine, (2012) 13:7.

De Lacerda GCB. Treating Seizures in Renal and Hepatic Failure. J Epilepsy Clin
Neurophysiol 2008; 14(Suppl 2):46-50.

Diaz A, Deliz B, Benbadis SR. The Use of Newer Antiepileptic Drugs in Patients
With Renal Failure. Expert Rev Neurother. 2012;12(1):99-105.

Frassetto L, Kohlstadt I. Treatment and Prevention of Kidney Stones: An


Update. Am Fam Physician 2011 Dec 1;84(11):1234-1242

Gopaluni S, Lines S, Lewington AJP. Acute kidney injury in the critically ill
patient. Current Anaesthesia & Critical Care, 21 (2010) 6064.

Hirsch KG, Josephson SA. An Update on Neurocritical Care for the Patient with
Kidney Disease. Advances in Chronic Kidney Disease, Vol 20, No 1 (January), 2013 :
pp39-44.

Kwon

C,

Metcalfe A,

Liu M,

Quan H,

Wiebe S,

Jette N. The Prevalence of

Comorbid Conditions Increases After A Diagnosis of Epilepsy, A large

Population

Based

Study. 2008.http://www.aesnet.org/go/publications/aes-

abstracts/abstract. Diakses 13/1/14 pukul 7.50 PM. [Abstrak]

Leung H, Man CBL, Hui ACF, Kwan P, Wong KS. Prognosticating acute symptomatic
seizures using two different seizure outcomes.Epilepsia, 51 (8): 15701579,
2010.

Michelagnoli G, Zamidei L, Consales G. Organ failure and central nervous


system. Trends in Anaesthesia and Critical Care, 3 (2013) 116-121.

Murphy SM, Delanty N. Treatment of the Epilepsy patient with concomitant


medical condition. Therapeutic Strategies in Epilepsy, (2009) 231-233

Neligan

A,

Shovron

SD. Frequency

and

Prognosis

of

Convulsive

Status

Epilepticus of Different Causes: A Systematic Review. Arch Neurol vol 67 (8),


Aug 2010.

Rizzo MA, Frediani F, Granata A, Ravasi B, Cusi D, Gallieni M. Neurological


complication of hemodialysis: state of the art. J Nephrol2012; 25(02) : 170-182

Ruiz-Gimenez

J,

PJ. Antiepileptic

Sanchez-Alvarez

JC,

treatment

patients

in

Canadillas-Hidalgo
with

F,

epilepsy

Serrano-Castro
and

other

comorbidities. Seizure, 19 (2010) 375382.

Sawhney IM, McLauchlan DJ, Powell HWR. Management of Acute Symptomatic


Seizures: Outline of Current Practice. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2012;83

St.Germaine-Smith C, Liu MF, Quan H, Wiebe S,

Jette

N. Development of an

epilepsy-specic risk adjustment comorbidity index.Epilepsia, 52(12):2161


2167, 2011.

Weisberg LA, Garcia C, Strub R. Essentials of Clinical Neurology: Neurologic


Complication of Systemic Diseases. 2003.www.psychoneuro.tulane.edu/neurolect/

Pengobatan dan pencegahan infeksi


Ginjal yang sakit lebih mudah mengalami infeksi dari pada biasanya.
Pasien CRF dapat ditumpangi pyelonefritis di atas penyakit dasarnya. Adanya
pyelonepritis ini tentu memperburuk lagi faal ginjal. Obat-obat anti mikroba
diberi bila ada bakteriuria dengan perhatian khusus karena banyak diantara obatobat yang toksik terhadap ginjal atau keluar melalui ginjal. Tindakan yang
mempengaruhi saluran kencing seperti kateterisasi sedapat mungkin harus
dihindarkan. Infeksi ditempat lain secara tidak langsung dapat pula menimbulkan
permasalahan yang sama dan pengurangan faal ginjal.
Infeksi ginjal atau pielonefritis adalah penyakit yang menyebabkan rasa
sakit yang tidak nyaman karena berpindahnya bakteri dari kandung kemih menuju
ginjal, baik salah satu atau bisa juga kedua-duanya. Di dalam tubuh manusia
terdapat dua buah organ ginjal. Kedua ginjal menghasilkan urine yang dialirkan
melalui ureter dan akhirnya disimpan di dalam kandung kemih. Urine akan
dikeluarkan dari kandung kemih melalui uretra. Infeksi ginjal biasanya merupakan
komplikasi dari infeksi saluran kemih. Bakteri akan memasuki tubuh manusia
melalui kulit yang berada di sekitar uretra, lalu berpindah atau bergerak dari uretra
menuju kandung kemih, sebelum akhirnya menginfeksi ginjal.
Infeksi ginjal terjadi ketika terdapat infeksi bakteri yang menyebar hingga
ke organ ginjal, baik salah satu maupun kedua-duanya. Bakteri yang paling umum
menyebabkan infeksi ini adalah bakteri yang ada di kotoran manusia, bernama E.
coli. Ini adalah jenis bakteri yang sama yang menyebabkan infeksi saluran kemih.

Awalnya, bakteri akan masuk melalui uretra yang terbuka hingga naik menuju
kandung kemih. Setelah itu bakteri menginfeksi kandung kemih dan akhirnya
menyebar ke ginjal Anda. Bakteri yang masuk ke saluran kemih kemungkinan
secara tidak sengaja menyebar dari anus menuju uretra. Bakteri bisa masuk ke
uretra ketika kita membersihkan diri setelah buang air besar atau saat melakukan
hubungan seksual.
Selain itu, infeksi ginjal juga bisa terjadi ketika infeksi bakteri atau jamur pada
kulit menyebar melalui aliran darah dan masuk ke ginjal. Tapi kondisi ini cukup
jarang dan biasanya hanya terjadi pada orang yang memiliki sistem kekebalan
tubuh yang lemah.
Penanganan
Antibiotik berbentuk tablet atau kapsul selama kurang lebih 1-2 minggu.
Beberapa antibiotik yang sering kali digunakan adalah ciprofloxacin atau Coamoxiclav, tapi obat ini tidak disarankan untuk wanita yang hamil. Khusus untuk
wanita hamil, biasanya akan diberikan obat yang bernama cefalexin.
Perdarahan
Hipertensi
Ginjal merupakan organ penting dalam mengendalikan tekanan darah, oleh
karena itu berbagai penyakit dan kelainan pada ginjal bisa menyebabkan
terjadinya

tekanan darah tinggi, jika terjadi penyempitan arteri yang menuju ke

salah satu ginjal, maka bisa menyebabkan peradangan dan cidera pada salah satu
atau

kedua ginjal, selain itu juga bisa menyebabkan naiknya tekanan

darah.Peningkatan tekanan darah hingga melebihi ambang batas normal


(hipertensi) dapat menyebabkan gangguan fungsi ginjal dan bisa merupakan salah
satu gejala munculnya penyakit ginjal. Jika tekanan darah melebihi 140 mmHg/90
mmHg maka aliran darah ke ginjal akan terganggu. Bila salah satu faktor
pendukung kerja ginjal, misalnya aliran darah ke ginjal, jaringan ginjal atau
saluran pembuangan ginjal terganggu atau rusak maka fungsi ginjal akan
terganggu.
Patogenesis hipertensi pada pasien gagal ginjal kronik terlalu kompleks
dan mungkin terdiri dari banyak faktor. Tapi kita tahu bahwa natrium, volume
cairan dan sistem saraf simpatis memiliki peran penting dalam hal ini.4 Volume
cairan intravaskular adalah faktor utama penyebab hipertensi pada pasien dengan
gagal ginjal kronik. Membuang cairan yang berlebihan melalui hemodialisis akan
dapat menurunkan kembali tekanan darah pasien. Apabila hal ini tidak terjadi,
maka harus menggunakan tehnik lain untuk menurunkan tekanan darahnya.
Kita telah lama mengetahui bahwa dengan adanya sekresi renin yang
berlebihan, mengakibatkan peningkatan kadar natrium dan volume cairan,
sehingga terjadi hipertensi.

Lazarus JM, Hampers CL, Merrill JP. Hypertension in chronic renal failure.
Treatment
with hemodialysis and nephrectomy. Arch. Intern Med 1974; 133:1059-1065.

Anda mungkin juga menyukai