Anda di halaman 1dari 20

​Penyesuaian Dosis Obat Pada Pasien

Dengan Gangguan Fungsi Hati


Kelompok 6 ( 5 H )

Ayu Fadillah Rizki 152114191


Chairina Milda Careca 192114059
Dara Indah Sari Sitorus 192114136
Nadia Osama 192114097
Nona Miranza 192114074
Penyakit Hati
Penyakit hati merupakan istilah umum untuk berbagai sindrom yang dapat
disebabkan oleh infeksi (bakteria, virus, parasit), xenobiotik, alkohol, gangguan
sirkulasi (misalnya gagal) jantung dan radang autoimun. Jika keadaan berlanjut
akan terjadi kerusakan sel dan bahkan kematian sel hati seperti pada sirosis
hepatikus.

Beberapa perubahan fisiologik yang mungkin terjadi akibat penyakit hati dan
yang erat berkaitan dengan ADME obat, diantaranya ialah perlambatan aliran
darah hepatik, disfungsi sel hati, perubahan protein serum kualitatif maupun
kuantitatif, dan perubahan aliran empedu.
Beberapa Faktor Yang Mengubah Kecepatan Aliran Darah Hepatik
Faktor Mengikat Berkurang
Fisiogenik Gangguan respirasi Gangguan pernafasan akut stress
kronik, makan gigesti, panas, olahraga, posisi tubuh tegak,
posisi tubuh telentang tekanan darah sistemik turun,
pengurangan volume darah, usia
lanjut (>65 tahun)
Patologik Hepatitis virus, Gagal jantung kongesti, luka bakar
diabetes tak berat, sirosis, kolaps sirkulasi,
terkontrol, gagal ginjal hipertensi renovaskular
berat (CLcr < 5
mL/menit)
Farmakologikal Glukagon, dopamin Anstetik, dopamin dosis tinggi,
dosis rendah, dimetilbiguanid, fenilefrin, labetalol,
isoproterenol, pro pranol, norepinefrin, ranitidin,
salbutamol, simetidin
fenobarbital,
fenolamin, PGE,
klonidin
Seperti diketahui, hati memegang peranan sentral dalam menentukan
profil ADME obat. Perubahan pada sistem ADME tergantung jenis dan
berat gangguan yang terjadi pada hati, misalnya kholestasis, hepatitis
karena virus, atau sirosis. Namun apapun jenis gangguannya, pada
umumnya akan menyebabkan perubahan profil kedua kadar obat didalam
darah dan target obat (reseptor), sehingga dapat mengubah pula efek yang
ditimbulkannya.
Pada gangguan hati yang berat, dilaporkan terjadi kenaikan sensitivitas
target obat atau reseptor, menyebabkan adverse effects (tipe B),
misalnya anti inflamasi non stroid, diuretik, dan edverse effect (Tipe A),
misalnya pada sirosis hepatikus alkoholik, isoniazid, atau paracetamol
meningkat. Peningkatan ketoksikan ini disebabkan karena alkohol
menginduksi enzim CYP2E1 sehingga metabolit toksik yang terbentuk
lebih banyak
1. Disposisi Obat
a). Absorpsi dan distribusi obat
Pada hepatikus terjadi perlambatan motilitas gastro intestinal sehingga
memperlambat absorpsi obat. perlambatan ini kemungkinan disebabkan oleh
penurunan efek hormon sekretin, glukagon, kolesistokinin, atau motilin
disaluran gastro intestinal. Tetapi  perlambatan ini hanya menunda absorpsi,
dan bukan jumlah obat yang terabsorpsi seperti yang terjadi pada furosemid.

Pada umumnya obat diberikan ke dalam tubuh secara parenteral atau jalur
lain,  juga akan mengalami kenaikan ketersediaan hayati, jika kadar dan
akivitasnya enzim metabolisme berkurang. Sudah barang tenu efikasi pro
drug, misalnya koden, proguanil, dan klopidogrel, juga akan berkurang,
karena metabolit aktif yang terbentuk berkurang.
Kenaikan kadar obat didalam darah yang paling signifikan pada
sirosis hepatikus akan terjadi pada obat-obatan yang jika fungsi hati
normal mengalami first pass metabolisme besar dan sedang. Efek ini
mirip polimorfisme genetik atau inhibisi enzim metabolisme.

b) Klirens Obat
Seperti yang telah dikemukakan setelah obat berada didalam
tubuh, ia akan mengalami distribusikan eliminasi. Di dalam
farmakokinetika, parameter eliminasi yang utama adalah klirens
(disebut pula klirens total atau sistemik). Jika proses eliminasi linier
(belum mengalami saturasi pada proses metabolisme atau eksresi),
maka hubungan dosis (D) dan klirens (CL) bersifat linear, dan
klirens tidak berubah ketika besar dosis di ubah.
Menurunnya aktivitas beberapa enzim CYP tanpa di ikuti pengurangan dosis dapat
menyebabkan farmakokinetik obat menjadi nonlinear, mirip seperti yang dijumpai pada
pasien dengan fungsi hati normal, tetapi bersifat sebagai poor metabolizer
(pemetabolisme lambat). Dosis terapeutik barangkali dapat menghasilkan kadar obat di
dalam darah meningkat tidak proporsional, sebab terjadi saturasi enzim CYP, sehingga
menyebabkan ketoksikan. Penurunan klirens obat akibat perlambatan aliran darah
hepatik  juga bisa disebabkan oleh obat-obat lain, misalnya anestetik sistemik, dopamin
dosis tinggi, dimetilbiguanid, fenilefrin, labetalol, propanolol, noreoinefrin, ranitidin
dan simetidin, meskipun fungsi hati nornal. Penurunan tersebut juga dapat disebabkan
oleh faktor fisiologik dan patologik. Dengan perubahan klirens dan waktu paro
eliminasi, maka dosis maintenance dan interval pemberian obat dapat disesuaikan untuk
pasien yang bersangkutan, menurut persamaan 2.2 diatas. Perlu dicermati bahwa
kenaikan waktu paro eliminasi obat juga akan menunda tercapainya kadar obat tunak
(Css) di dalam darah, sebab per definisi, sekitar 97% kadar tunak akan tercapai selama
5 kali waktu paro eliminasi obat, sejak obat diberikan, baik untuk obat yang diberikan
per oral atau infus.
2. Klasifikasi Child-Pugh
Skor Chlid-Pugh digunakan untuk mengklasifikasi tingkat keparahan fungsi hati di dunia
pengobatan. Tidak seperti pada klasifikasi fungsi renal yang bisa digambarkan dengan
kreatinin atau sistatin-C serum, Skor Chlid-Pugh tidak menggambarkan fungsi hati
sebagai pusat metabolisme obat, mengingat parameter yang digunakan (misalnya asites,
bilirubin dan albumin serum serta waktu protombin) tidak berkolerasi dengan kapasitas
metabolisme pada hati, khususnya enzin-enzim CYP. Selain itu, keempat parameter
tersebut juga tidak sebagai acuan untuk mengetahui perubahan aliran darah hepatik, yang
semakin melambat ketika proses penyakit hati berlangsung. Pencarian senyawa endogen
sebagai marker fungsi hati nampaknya juga belum berhasil, sihingga diusahakan
menggunakan senyawa eksogen.
Kolestasis dan Ekskresi Bilier Obat
Terhambatnya aliran empedu, seperti pada kolestasis, akan menghambat pula
eksresi obat melalui saluran empedu. Gangguan ini biasa terjadi karena
pembengkakan hati (hepatitis A, B dan C) kelainan genetik pada saluran empedu,
defisiensi α, -antitripsin, kelainan metabolism asam empedu (Sindrom Dubin-
Johnson), atau karena obat (estrogen, troglitazon), sehingga mempersempit saluran
atau memperlambat aliran empedu, akibatnya menghambat eliminasi obat biasanya
metabolit dalam bentuk glukuronat menuju duodenum. Fraksi dosis obat yang
dikeluarkan ke dalam duodenum selanjutnya akan tereksresi melalui feses, namun
untuk obat lain (misalnya estradiol, simetidin), dapat terabsorpsi kembali setelah
mengalami hidrolisis di usus halus oleh enzim ß- glukuronidase, dan masuk ke hati
dan sirkulasi sistemik. Sebenarnya siklus usus hati ini berlangsung terus menerus
sampai obat di dalam tubuh habis, namun karena jumlah obat yang
mengalami proses tersebut semakin kecil, dan sensitivitas metode analisis terbatas,
maka biasanya hanya nampak dua puncak kadar (Cmaks) pada kurva, dimana pucak
yang pertama selalu lebih tinggi dari yang ke dua.
Tabel contoh obat yang mengalami siklus usus-hati dan ekskresi billier
Pada dosis besar, sistem ekskresi bilier dapat mengalami saturasi dan
obat akan diteruskan ke sirkulasi sistemik, sedangkan pada
pemberian berulang, munculnya puncak ke dua dapat menyulitkan
penafsiran data kadar obat di dalam darah, khususnya pada penetapan
parameter eliminasi. Oleh sebab itu untuk mengurangi pengaruh siklus
usus-hati per oral dan memperbaiki ketersediaan hayatinya, obat dapat
deberikan secara intravena. Pada jalur pemberian ini, tetapan kecepatan
eliminasi yang sebenarnya dapat yang sebenarnya dapat diketahui, dan
akhirnya interval pemberian obat dapat ditetapkan lebih akurat. Estimasi
klirens billier kecepatan ekskresi bilier dapat diukur dengan memantau
kadar obat dalam cairan empedu pada waktu-waktu tertentu,
denganmengambil sampel duodenum. Dengan asumsi kecepatan aliran
empedu rata-rata pada manusia 0,5-0,8 mL/menit, klirens bilier (CLbi)
dapat diperkirakan, jika kadar obat di dalam cairan empedu (Cemp)
diketahui menurut persamaan dibawah ini.
Pertimbangan Pendosisan pada
Penyakit Hepatik
Penyakit hipatik yaitu hilangnya fungsi otak ketika hati yang
rusak tidak mengeluarkan racun dari darah. Beberapa faktor
fisiologis dan farmakokinetika adalah relevan dalam
mempertimbangkan pendosisan suatu obat pada pasien dengan
penyakit hati. Penyakit kronis atau cedera jaringan dapat mengubah
kemampuan akses dari beberapa enzim sebagai akibat dari
pengalihan atau  jalan memutar sirkulasi darah hati Penyakit hati
mempengaruhi sintesis secara kuantitatif dan kualitatif dari albumin,
globulin, dan protein plasma lain yang bersirkulasi yang selanjutnya
mempengaruhi ikatan obat protein,  plasma, dan distrubusi seperti
disebutkan, sebagian besar tes fungsi hati hanya menunjukkan
bahwa hati telah rusak; tidak menilai fungsi enzim sitokrom-450
atau klirens interinsik hati.
Karena tidak tersedia ukuran dari fungsi hati yang
dapat diterapkan menghitung dosis yang tepat, obat-
obat yang bergantung enzim biasanya diberikan
kepada pasien dengan gagal hati dalam setengah
dosis, atau kurang Respon atau kadar plasma
selanjutnya harus dipantau. Pada pasien dengan gagal
hati jika menungkinkan obat dengan klirens
tergantung aliran (flow-defendant) di hindari. Bila
perlu, dosis obat-obat ini dikurangi menjadi
sepersepuluh dari dosis konvensional, untuk obat
yang diberikan secara oral. mulai terapi dengan dosis
rendah dan pemantauan respon atau kadar plasma
memberikan kesempatan terbaik untuk keamanan,
memberikan kesempatan terbaik untuk keamanan
dan kemanjuran pengobatan.
Fraksi Obat Termetabolisme
Eliminasi obat dalam tubuh dapat dibagi menjadi:
1. Fraksi ekskresi obat tidak berubah, fe
2. Fraksi obat termetabolisme

Yang terakhir ini biasanya diperkirakam dari 1- fe. Cara lain, fraksi
obat dimetabolisme dapat diperkirakan dari rasio clh / cl. Clh adalah
kliren hepatik dam Cl dalah kliren tubuh total. Mengetahui fraksi
obat yang dieliminasi oleh hati memungkinkan memperkirakan
kliren total tubuh bila kliren hepatik menurun. Obat-obat dengan
nilai fe rendah atau sebaliknya, obat-obat dengan fraksi yang lebih
tinggi dimetabolisme lebih dipengaruhi oleh  perubahan fungsi hati
akibat penyakit hati.
Sebuah contoh dari kolerasi yang ditetapkan antara fungsi hati sisa sebenarnya
(diukur dengan penanda) dan klirens hepatik dilaporkan untuk cefoperazone dan
obat lain pada pasien dengan sirosis metode yang hendaknya diterapkan hanya
untuk obat yang memiliki farmakokinetika linier ikatan protein rendah, atau yang
terikat secara nonrestriktif. Beberapa variabel dapat mempersulit koreksi dosis bila
ikatan sangat mempengaruhi distribusi, eliminasi, dan penetrasi obat kesisi aktif.
Dengan obat-obat dengan terbatasi ikatan, fraksi obat bebas harus digunakan
untuk mengoreksi perubahan konsentrasi obat bebas dan perubahan klirens obat
bebas. Dalam beberapa kasus, peningkatan obat bebas di imbangi sebagian dengan
volume distribusi yang lebih besar akibat dari penurunan ikatan protein. Karena
terdapat banyak variabel yang merumitkan koreksi dosis untuk pasien dengan
penyakit hati, koreksi dosis terbatas untuk obat-obat yang mengalami metabolisme
hepatik didekati dengan farmakokinetik linier.
Obat Aktif dan Metabolit
Untuk beberapa obat, baik obat dan metabolit berkontribusi pada
keseluruhan respon terapi dari pasien terhadap obat tersebut. Konsentrasi  baik
dari obat dan metabolit dalam tubuh harus diketahui. Bila parameter
farmakokinetika metabolit dan obat tersebut adalah sama, keseluruhan aktivitas
obat dapat menjadi lebih atau kurang poten sebagai akibat dari  perubahan
fungsi hati. Yaitu, (1) ketika obat ini lebih poten dari metabolit, keseluruhan
aktivitas farmakologis akan meningkat pada pasien gangguan hati karena
konsentrasi obat induk akan lebih tinggi, (2) ketika obat ini kurang poten dari
metabolit, keseluruhan aktifitas farmakologis pada pasien hepatik akan menurun
karena sedikit metabolit aktif terbentuk. Perubahan dalam aktifitas farmakologi
karena penyakit hati.
Aliran Darah Hepatika Dan Klirens
Intrinsik
Perubahan aliran darah dapat terjadi pada pasien dengan penyakit
hati kronis (sering disebabkan virus hepatitis atau penggunaan
alkohol kronis). Pada beberapa pasien dengan sirosis hati berat,
fibrosis jaringan hati dapat terjadi sehingga terjadi shunt intra- atau
ekstrahepatik. Shunt arteri-vena hepatica dapat menyebabkan
penurunan fraksi obat yang diekstraksi dan peningkatan ketersediaan
hayati obat. Pada pasien lain, resisten terhadap terhadap aliran darah A Picture
dapat meningkatkan sebagai akibat dari kerusakan jaringan dan Always
fibrosis, menyebabkan penurunan klirens intrinsik hati . Reinforces
the Concept
Sebuah metode praktis untuk pendosisan pasien gangguan hati masih
dalam tahap awal pengembangan. Sementara model aliran darah
hepatik berguna untuk memprediksi perubahan klirens hepatik akibat
perubahan aliran darah hati, Qa, dan Qv  perubahan ekstrahepatik
 perubahan ekstrahepatik juga dapat mempengaruhi farmakokinetika
pada pasien gangguan hati. Perubahan global dalam distribusi dapat
terjadi diluar hati. Metabolisme ekstrahepatik dan perubahan
hemodinamika lainnya juga dapat terjadi dan dipertanggungjawabkan
secara lebih lengkap melalui pemantauan klirens tubuh total obat
dengan menggunakan farmakokinetika dasar. Sebagai contoh,
kurangnya perubahan lokal dalam klirens hepatik obat hendaknya tidak
terlalu dini diartikan sebagai ‘’tidak ada perubahan’’ dalam
keseluruhan klirens obat. Penurunan albumin dan asam glikoprotein
(AAG), misalnya dapat mengubah volume distribusi obat dan karena
itu mengubah klirens total tubuh secara global.
Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan bahwa penyesuaian dosis obat  pada
pasien dengan gangguan hati penting dilakukan karena jika terjadi suatu gangguan
fungsi di hati maka akan memperlambat kinerja hati untuk memetabolisme obat-
obatan dalam tubuh. Sedangkan untuk penyesuaian dosis, dapat menggunakan
perhitungan berdasarkan fraksi obat atau fraksi bentuk tidak berubah berubah ( ),
dengan memperhatikan kecepatan aliran darah menuju hati dan rasio ekstrasi
hepatik atau kemampuan enzim hati dalam metabolisme obat.
DAFTAR PUSTAKA

Hakim, Lukman. 2015. Farmakokinetika Klinik . Yogyakarta : Bursa Ilmu

Shargel, L., Andrew, B.C & Sussanna, W.U. 2004. Apllied


Biopharmaceutics and Biopharmakokinetics 5th Ed. Boston: Appleton
Century Croft

Anda mungkin juga menyukai