Anda di halaman 1dari 6

Konflik GWK Dapat Rusak Citra Pariwisata Bali

Protes yang dilakukan warga Banjar (Dusun) Suka Duka Giri Dharma, Desa Ungasan,
Kabupaten Badung, terhadap investor Garuda Wisnu Kencana (GWK), PT Alam Sutera Realty
Tbk, dapat merusak citra pariwisata Bali.

"Kondisi tersebut memang dapat dimaklumi karena selama ini kurang jelasnya ketentuan
pemerintah terhadap hak-hak orang Bali di kawasan pariwisata. Namun di sisi lain masalah itu
jika berlarut-larut dapat merusak citra pariwisata," kata pengamat pariwisata Bali, Dewa Rai
Budiasa di Denpasar, Selasa (26/8/2014).

Oleh karena itu, menurut Dewa Rai Budiasa, pemerintah harus lebih arif dan teliti dalam
menerima investor luar negeri untuk berinvestasi di Bali, mengingat daerah ini bermodalkan seni
budaya dan adat istiadat yang tiada duanya di dunia.

Dia mengatakan, masyarakat internasional yang datang ke Bali bukan untuk mendapatkan
fasilitas canggih seperti hotel bintang lima atau pemandangan alam, karena di luar negeri kondisi
itu jauh lebih baik dari pada di Bali.

Bali yang mengembangkan dunia pariwisata budaya bernafaskan agama Hindu, hendaknya bisa
dilestarikan, termasuk adat istiadat yang ada, bukan justru dirusak bahkan meniadakannya seperti
yang dialami masyarakat sekitar GWK.

Dewa Rai Budiasa mengatakan, jika peristiwa ini tidak bisa ditangani dengan bijak,
dikhawatirkan kasus serupa akan muncul di obyek wisata lainnya yang tersebar di Bali.

"Saya berpandangan bahwa kejadian semacam ini akan terjadi juga di lokasi lain seperti Sanur,
Kuta, Legian dan Nusa Dua, karena kepemilikan usaha pariwisata di wilayah itu pada awalnya
banyak dilakukan dengan kekurangcermatan," ujar Dewa Rai.

Untuk mengurangi peristiwa serupa di masa depan, pemerintah atau investor yang ingin
mengembangkan usaha di Bali, sejak awal melibatkan mitra lokal dan mengikutkan warga
setempat menjadi milik perusahaan tersebut dengan prosentase tertentu.

"Dengan cara itu masyarakat tentu ikut merasa memilikinya dan dapat dipastikan akan
memelihara keberlanjutan dari perusahaan tersebut, tidak seperti kasus ini, di mana hak
masyarakat diabaikan," katanya.

Seperi diberitakan, warga Banjar (Dusun) Suka Duka Giri Dharma Desa Ungasan, Kabupaten
Badung mengajukan protes kepada investor Garuda Wisnu Kencana (GWK) Bali, PT Alam
Sutera Realty Tbk, karena mengalihkan salah satu akses masyarakat di sekitar itu ke lokasi lain.
"Kami dan warga tetap meminta investor merealisasikan akses Jalan Rurung yang berada di areal
GWK. Sebab jalan tersebut sudah ada sejak terun-temurun sebagai akses menuju ke kuburan,"
kata Kelian (Ketua) Banjar Giri Dharma, Wayan Kurma di Jimbaran.

Wayan mengatakan sejak pembebasan kawasan tersebut menjadi kawasan GWK sudah ada
kesepakatan dengan investor terdahulu, bahwa akses tersebut tetap dibuka dan dapat
dipergunakan untuk akses kepentingan desa adat.

Namun dengan investor baru ini, tiba-tiba mengingkari kesepakatan tersebut. Karena penyerahan
kepada investor lama ke baru harus mengikuti apa yang menjadi kesepakatan terdahulu yang
berkaitan dengan kepentingan umum, dalam hal ini desa adat setempat," katanya.

Kesabaran warga Suka Duka Banjar Giri Dharma, Ungasan, Bali, di sekitar area Garuda Wisnu
Kencana (GWK), rupanya sudah habis. Warga bahkan mengancam akan menempuh jalur hukum
untuk mempidanakan investor GWK, PT Tbk, karena telah mengingkari janji dengan warga
setempat.

Warga bahkan berjanji akan terus memblokir jalan masuk obyek wisata GWK, hingga
tuntutannya dipenuhi. "Pokoknya kita ingin bertemu langsung dengan pemilik GWK yakni Pihak
PT Tbk, tidak dengan wakil di Bali, biar kita tidak dapat janji-janji saja," ujar I Wayan Kurma,
Kelian Adat Giri Darma Bukit Ungasan, Badung Selatan

"Kami mendukung penuh perjuangan warga Giri Dharma. Setidaknya ini juga sebagai peringatan
bahwa investor yang datang ke Bali jangan ingkar janji," tegas Ketua Bali Corruption Watch
(BCW) Putu Wirata Dwikora, yang ditemui usai aksi warga Giri Dharma ini.

Menurut Wirata, apa yang dilakukan investor GWK, dalam hal ini PT Tbk, tidak saja
membohongi warga. Lebih dari itu, juga terkesan mematikan usaha-usaha kecil termasuk
pertokoan yang ada di sekitar GWK.

"Investor janjikan memberikan akses jalan masuk ke GWK di Rurung Agung. Tetapi justru
mengalihkan akses masuk melalui kawasan pertokoan di Plaza Amata," ucapnya.

Pengalihan akses masuk ini, menurut dia, berimplikasi pada dua hal. Pertama, warga Giri
Dharma merasa dibohongi. Kedua, ada upaya untuk mematikan usaha-usaha di pertokoan Plaza
Amata yang mencapai 195 toko. "Ada upaya mematikan pertokoan karena di lingkungan
pertokoan justru dibangun tembok oleh pihak GWK. Selain itu juga ada larangan untuk melintasi
kawasan receaving area tersebut, yang notabene adalah fasilitas umum," beber Wirata.

Ia menilai, hal ini sangat tidak menguntungkan 195 pengusaha pertokoan di Plaza Amata.
Bahkan PT MGK (Marga Giri Kencana) melalui kuasa hukumnya, juga sempat melayangkan
dua kali somasi kepada investor GWK. Somasi dilakukan PT MGK, karena merasa
bertanggungjawab kepada pemilik toko di Plaza Amata.

"Tetapi dua somasi tersebut tak ada respon positif," jelas Wirata, yang juga salah satu kuasa
hukum Direktur Utama PT MGK Putu Antara.

Karena dua kali somasi tak digubris, Wirata mengaku akan melakukan upaya pidana kepada
pihak investor GWK. "Kita akan pelajari dulu. Setelah itu baru kita pastikan tuntutannya seperti
apa. Yang jelas di sana sudah ada unsur perbuatan tak menyenangkan," jelas Wirata, yang
didampingi koleganya Made Dewantara Endrawan yang juga kuasa hukum PT MGK.

Selain mengancam akan menempuh jalur pidana, Wirata juga mengingatkan investor GWK agar
tidak terus-menerus menciptakan ketidaknyamanan bagi warga.

"Jangan sampai masyarakat resisten dengan investor. Ini akan berdampak buruk, karena bisa jadi
investor lain akan enggan datang ke Bali," tegasnya.

Yang tidak kalah penting, lanjut Wirata, investor GWK juga patut berhati-hati terkait kebijakan
dan keputusannya. Sebab, saat ini GWK merupakan daya tarik bagi wisatawan.

"Kalau terus-menerus GWK disorot maka bisa mengganggu pariwisata Bali. Sebab media asing
jelas akan memberitakan setiap masalah yang menyelimuti GWK," tegas Wirata.

Masyarakat peduli dengan kawasan Garuda Wisnu Kencana (GWK) membentuk Forum
Revitalisasi Penyelamatan GWK, terkait semakin kisruhnya masalah objek wisata itu.

"Kekisruhan dan keprihatian terhadap kawasan GWK mengundang reaksi warga Bali untuk
membentuk Forum Revitalisasi GWK, yang terdiri dari budayawan, akademisi, pengamat
pariwisata, ekonom maupun pemilik pertokoan Plaza Amata," kata Wakil Ketua Perhimpunan
Pemilik Toko Plaza Amata (PPTPA) Sudiarta Indrajaya di sela acara Fokus Group Diskusi
(FGD) di Denpasar, Senin.

Ia mengatakan langkah ini dilakukan supaya warga mengetahui akar permasalahan yang terjadi
di kawasan GWK dari sejak konsep awal hingga terjadinya perubahanpengelolaan GWK saat ini.

"Kami sudah melihat konsep awal berdirinya kawasan GWK adalah sebagai taman budaya
(culture park), tetapi sejak dikelola oleh PT Alam Sutera Realty (ASR), konsepnya justru
menjadi kawasan relestate terpadu," ucapnya.

Dalam FGD tersebut berbagai pandangan terungkap sejak berdirinya GWK sampai sekarang
juga belum berdiri patung yang menjadi ikon objek wisata, yakni GWK.
Mantan Direktur Utama PT Garuda Adhimatra Indonesia (GAIn) Putu Antara yang sempat
membantu konseptor GWK, Nyoman Nuarta mengatakann dari masterplan awal GWK tahun
2006 saat pembangunan pedestal GWK juga membangun pertokoan yang berjalan cukup sukses.

Saat itu, kata Putu Antara, PT Pengembangan Pariwisata Bali (BTDC) hanya memiliki saham 18
persen. Namun setelah masuknya investor baru ke GWK yakni PT Alam Sutera Realty tbk, ingin
sekali menguasai investor kecil-kecil lainnya.

Perencanaan besar (masterplan) baru GWK yang dirancang oleh pengelola GWK malah sudah
mengkomersilkan sebagai kawasan Relestate terpadu sehingga tidak lagi seratus persen taman
budaya (cultural park), karena semuanya menjadi kawasan relestate atau perumahan mewah.

"Yang dimaksud `cultural park` untuk memperjuangkan lokal jenius di Bali. Hal ini ingin
ditampilkan karena selama ini pengemasannya sangat kurang. Sehingga di GWK disediakan
beragam fasilitas untuk produk karya kesenian Bali guna menampilkan secara sistematis ikon
GWK," ucapnya.

Dengan masuknya PT Alam Sutera Realty, kini mengalami pergeseran bahkan sering terjadi
pesta-pesta yang tidak layak dilakukan dikawasan itu. Seperti minum-minum atau dugem yang
tidak semestinya dilakukan di daerah tersebut.

Sudiarta Indrajaya menambahkan awalnya pemilik toko membeli toko dari PT GAIn. Karena
GWK ini memberikan harapan untuk mendirikan patung yang membanggakan di dunia sehingga
terpanggil bersama-sama membeli toko untuk berkontribusi mewujudkan pembangunan GWK.

Saat peletakan batu pertama juga banyak yang terlibat dan didoakan dari berbagai komunitas
agar segera terwujud menjadi kawasan budaya GWK Culture Park yang menjadi lokomotif
pariwisata di Bali.

"Keyakinan muncul untuk membeli bersama-sama pertokoan dan berinvestasi membeli


pertokoan ini. Namun sayangnya akibat peristiwa bom Bali 2002 menghambat proyek ini karena
muncul keretakan-keretakan. Padahal keberadaan toko ini sangat berjasa besar untuk
mempertahankan nama GWK apalagi Nyoman Nuarta sedang dalam kesulitan," ujarnya.

Sudiarta Indrajaya menjelaskan gejolak GWK muncul saat Nyoman Nuarta yang awalnya
mendirikan PT Nyoman Nuartha Enterprise (NNE) yang memikili 82 persen saham GWK
berganti nama menjadi PT Multi Matra Indonesia (MMI) dengan 41 persen saham Nuartha dan
41 persennya lagi PT Istana Group milik Gunawan Chandra dan Edi Sukamto.

Setelah masuklah PT Istana Group bersama Nyoman Nuarta dan Putu Antara dengan Ketua
Yayasan GWK, Made Mangku Pastika yang sudah menjabat Gubernur Bali kala itu ingin
melanjutkan pembangunan patung GWK.

Namun tahun 2007 juga terhambat karena terjadi gejolak antara PT Istana Group dengan
Nyoman Nuarta sehingga tahun 2013, GWK akhirnya sampai saat ini dikuasai oleh PT GAIn,
dan dirubahnya masterplan awal GWK yang sangat mengecewakan para pemilik Toko Plaza
Amata.

Bahkan muncul polemik akibat pertokoan ditembok dan akses jalan ditutup serta badan jalan
dikeruk yang menyebabkan akses masuk pertokoan menjadi tinggi sehingga sangat sulit
kendaraan terutama bus untuk bisa masuk.

Persoalan yang terjadi sehingga pemilik toko kecewa dengan pengelola GWK. Apalagi dibilang
GWK bukan kawasan pariwisata berbasis budaya, namun hanya destinasi pariwisata budaya
padahal sebenarnya kawasan Relestate.

"Wakil Gubernur Bali Ketut Sudikerta sudah sempat turun tangan untuk mendamaikan persoalan
GWK yang kita rasakan sangat cepat. Namun hingga kini masih upaya damai itu masih
membingungkan karena awalnya sudah dipastikan itu kawasan sehingga wajib menyerahkan
fasilitas umum dan fasilitas sosial (fasum dan fasos), namun mendadak berubah disebut destinasi
pariwisata budaya dan bukan kawasan," katanya.

Rohaniawan (sulinggih) Sabha Pandita Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat,
Acharya Agni Yoga Nanda mengaku waktu menjabat anggota Komisi A DPRD Bali konsep
awal GWK juga pernah mau dirubah sehingga membuktikan investor sangat arogan.

"Kita menuntut dikembalikan visi dan misinya yang semakin lama harus diperkuat bukan
digeser. Yang paling pantas Pemprov Bali dan Pemkab Badung serta Pemerintah Pusat yang
mengelola, karena devisa yang terbesar masuk ke pusat. Memang ini ada yang berkepentingan
dan harus dikawal oleh komponen umat Hindu bukan Parisada saja,"ucapnya.

Masyarakat Bali juga didorong mempertahankan konsep awal GWK bersama-sama dengan
pemilik toko yang disebut memiliki masalah kecil, padahal ada masalah besar di balik itu. Jika
hal ini dibiarkan simbol-simbol ini akan dijadikan alat saja.

"Prinsip ini yang harus dikawal. Kita meminta Gubernur dan DPRD Bali untuk memanggil
investor yang merubah konsep awal GWK ini. Hal itu sudah jelas sebagai penipuan, penistaan
dan pelecehan lambang agama. Jadinya ini bukan masalah biasa sehingga harus membentuk tim
gabungan meminta pertanggungjawaban," ujarnya.
Acharya Agni minta pertanggungjawaban Nuartha sebagai seniman karena uang negara masuk
harus dipertanggungjawabkan.

Dikatakan, jika rakyat Bali ingin kembali ke GWK ke konsep awal, masalah pemilik toko ini
harus dituntaskan dan harus dikawal Pemprov Bali dan Pemkab Badung untuk segera
menyelesaikan agar tidak bergeser menjadi konsep abu-abu.

"Kita minta masterplan awal harus diperkuat dan tidak bergeser menjadi destinasi lain. Simbol-
simbol agama harus diamankan agar tidak dilecehkan nantinya oleh pihak-pihak tertentu. Kita
harus sadar bergerak bersama-sama agar sekadar kasus ini bisa menyadarkan setia dan konsisten
mengawal budaya rohani kita yang bukan budaya biasa," ucapnya.

Pengurus PHDI Kabupaten Badung, Wayan Sukayasa mengakui proyek ini tidak akan selesai
jika desain patungnya tidak ditentukan, semestinya dimana ditaruh sebenarnya. Apalagi patung
tidak pernah diupacarai sampai sekarang.

Investor harus bisa menyesuaikan dengan "Tri Hita Karana" (tiga keseimbangan dan
keharmonisan). Investor yang datang hanya mengobok-ngobok Bali dan ingin membangun di
Bali tanpa memperhatikan lingkungan.

"Kami sangat prihatin dengan GWK, apalagi ada investor baru menembok pembatas di
pertokoan dan melarang akses jalan masuk. Janji-janji GWK membangun `rurung agung` bagi
para penyanding juga harus dijalankan dengan baik. Pemerintah Bali harus menyelesaikan
persoalan tersebut," katanya.

Anda mungkin juga menyukai