Anda di halaman 1dari 35

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Banyuwangi merupakan Kabupaten terluas di Provinsi Jawa Timur dengan
luas areal 5.782,50 km2 (Badan Pusat Statistik, 2017). Sektor pertanian
merupakan salah satu sektor yang berperan terhadap ketahanan pangan di
Banyuwangi. Selain itu, sektor pertanian juga mempunyai potensi sangat besar
terhadap sumber pendapatan, kesempatan kerja, serta perekonomian nasional.
Sektor pertanian meliputi tanaman pangan, holtikultura, tanaman perkebunan, dan
perikanan. Banyuwangi juga menjadi salah satu lumbung pangan nasional di Jawa
Timur, yang memiliki peran strategis dalam memberikan kontribusi produksi
pangan nasional. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.1 yang menunjukkan bahwa
banyuwangi menjadi salah satu produksi gabah terbesar menurut Kabupaten/Kota
di Jawa Timur pada tahun 2013-2017.
Tabel 1.1 Produksi (Ton) Gabah Terbesar Menurut Kabupaten/Kota di Jawa
Timur 2013-2017
Kabupaten/Kota 2013 2014 2015 2016 2017
Jember 719.311 727.947 798.847 734.447 683.234
Lamongan 598.197 687.919 666.309 688.451 665.304
Bojonegoro 576.492 594.487 594.879 630.355 601.693
Banyuwangi 522.209 556.247 640.147 573.650 579.322
Pasuruan 457.528 478.780 527.886 518.799 519.390
Ngawi 577.593 548.642 564.964 602.482 563.914
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2017
Gabah adalah buah dari tanaman padi yang berbentuk biji yang diselimuti
oleh sekam. Gabah kering panen (GKP) secara umum mempunyai kadar air
maksimum sebesar 25,0 persen dan hampa/kotoran maksimum 10,0 persen.
Gabah kering giling (GKG) mengandung kadar air maksimum sebesar 14,0 persen
dan hampa/kotoran maksimum 3,0 persen, agar dapat disimpan dalam jangka
waktu 6 bulan untuk gabah konsumsi (Badan Pusat Statistik, 2018). Pengurangan
kadar air dalam GKP dapat dilakukan secara tradisional dengan penjemuran

1
langsung dengan sinar matahari ataupun dengan menggunakan alat pengering
mekanis.

600,000
532,815
500,000
Prod.GKG
Jumlah (Ton)

400,000
306,073 Beras
300,000
Konsumsi
200,000 175,295
130,778 Neraca
100,000

Gambar 1.1 Grafik Produksi Gabah Menggunakan KSA (BPS, 2018)


Gambar 1.1 Produksi gabah di banyuwangi yang diukur menggunakan
Kerangka Sampel Area (KSA) yakni pengumpulan data menggunakan teknologi
satelit, diperoleh produksi Gabah Kering Giling (GKG) di Kabupaten
Banyuwangi pada tahun 2018 sebanyak 532.815 ton, atau setara dengan 306.073
ton beras. Apabila dari 1.604.897 jiwa penduduk Banyuwangi mengkonsumsi
beras rata-rata per kapita per tahun sebanyak 108,90 kg beras, maka dibutuhkan
beras sebanyak 175.295 ton. Dengan demikian Banyuwangi dapat mensurplus
beras sebanyak 130.778 ton .
Kekurangan bahan baku gabah akan menghambat terjadinya proses
produksi. Salah satu upaya untuk mempertahankan persediaan bahan baku perlu
adannya proses pengendalian bahan baku, agar persediaan bahan baku berjalan
dengan lancar. Persediaan bahan baku dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan
bahan baku untuk proses produksi pada waktu yang akan datang. Kebutuhan
bahan baku ini diperhitungkan atas dasar perkiraan yang mempengaruhi pola
pembelian bahan baku serta besarnya persediaan pengaman. Kegiatan
pengendalian persediaan bahan baku mengatur tentang pelaksanaan pengadaan
bahan baku yang diperlukan sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan serta dengan
biaya minimal, yang meliputi masalah pembelian bahan, penyimpanan dan
pemeliharaan bahan, pengaturan pengeluaran bahan saat bahan dibutuhkan dan
juga mempertahankan persediaan dalam jumlah yang optimal.

2
UD. Sinar Jaya merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dalam
bidang produksi penggilingan beras. UD. Sinar Jaya beralamat di Desa
Macanputih, Kecamatan Kabat, Kabupaten Banyuwangi, yang menghasilkan
mutu beras premium dengan cap Nyai Sekar Arum dan medium dengan cap Satria
Nusantara. Berdasarkan hasil observasi permasalahan dalam perusahaan, peneliti
mengambil judul “ANALISIS PENGENDALIAN PERSEDIAAN GABAH DI
UD. SINAR JAYA BANYUWANGI yang bertujuan untuk menganalisis
pengendalian persediaan dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan agar
perusahaan dapat bekerja lebih teratur dan stabil.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang penelitian, dapat disusun perumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana pengelompokan gabah berdasarkan nilai investasinya dengan
menggunakan metode analisis ABC di UD. Sinar Jaya ?
2. Bagaimana menentukan persediaan gabah yang efisien menggunakan
metode EOQ di UD. Sinar Jaya ?
3. Bagaimana mengetahui ketepatan waktu persediaan stok gabah
menggunakan metode ROP di UD. Sinar Jaya ?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah
yang ingin dijawab melalui penelitian ini, yaitu :
1. Menganalisis pengelompokan gabah berdasarkan nilai investasinya dengan
menggunakan metode analisis ABC di UD. Sinar Jaya.
2. Menganalisis penentuan persediaan gabah yang efisien menggunakan
metode EOQ di UD. Sinar Jaya.
3. Menganalisis ketepatan waktu dalam persediaan stok gabah menggunakan
metode ROP di UD. Sinar jaya.

3
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dengan adannya penelitian ini antara
lain:
1. Bagi perusahaan
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pihak perusahaan sebagai
bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan
efisiensi penggunaan sumber dana dan sumber daya yang dimiliki
perusahaan untuk menentukan besarnya kuantitas pembelian bahan baku
serta total biaya persediaan yang efisien.
2. Bagi peneliti selanjutnya
Sebagai bahan acuan dan tambahan sumber informasi untuk menjadikan
target yang lebih baik.
3. Bagi akademis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menambah referensi
sebagai bahan penelitian lanjutan yang lebih mendalam pada masa yang
akan datang.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Gabah
Gabah adalah bulir padi yang telah dipisahkan dari tangkainnya (jerami).
Gabah dikelompokan menjadi GKP, GKS, dan GKG, Gabah yang baru dipanen
(GKP) sebaiknya langsung dikeringkan karena masih mengandung air sangat
tinggi dalam bahan. Tingginya kadar air dapat mengakibatkan respirasi berjalan
cepat dan dapat menimbulkan tumbuhnya jamur dan perkecambahan maupun
terjadinya reaksi pencoklatan pada gabah yang dipanen dan sangat berdapak pada
mutu gabah. Mutu gabah yang rendah berakibat pada beras hasil gilingan bermutu
rendah (Raharjo, 2012).

Gambar 2.1 Struktur Gabah (Yoshida, 1981)


Keterangan :
1. Beras (Karyopsis)
2. Palea
3. Lemma
4. Rakhilla
5. Lemma Mandul
6. Padisel (Tangkai Beras (Karyopsis)
Gambar 2.1 menunjukkan, bahwa terdapat 5 komponen utama pada gabah
yakni beras (karyopsis), palea, lemma, rakhilla, lemma mandul dan padisel
(tangkai gabah) (Yoshida, 1981). Karakteristik fisik gabah pada beberapa varietas

5
padi berbeda-beda seperti dalam hal dimensi dan penampakan gabah. Menurut
Hasbullah dan Dewi (2011), perbedaan dimensi gabah dari beberapa varietas padi
dapat dilihat pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Dimensi Gabah pada Beberapa Varietas Padi
Varietas Panjang (mm) Lebar (mm) Rasio panjang/lebar
Ciherang 10,00 2,73 3,66
Hibrida 9,97 2,82 3,54
Cibogo 11,10 2,97 3,74
Sumber : Hasbullah dan Dewi, 2011.
Kualitas fisik gabah sangat dipengaruhi oleh kadar air dan kemurnian gabah.
Tingkat kemurnian gabah merupakan persentase berat gabah bernas terhadap berat
keseluruhan campuran gabah. Tingkat kemurnian gabah akan semakin menurun
dengan makin banyaknya benda asing atau gabah hampa di dalam campuran
gabah. Kualitas fisik gabah dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut :
Tabel 2.2 Kualitas Fisik Gabah pada Beberapa Varietas Padi
Ciherang Hibrida Cibogo
Kadar air (%) 16,14 15,26 14,26
Gabah bernas (%) 94,77 98,14 98,63
Gabah hampa (%) 5,17 1,58 1,29
Gabah hijau (%) 11,03 13,27 6,59
Keretakan (%) 4,63 4,89 7,10
Sumber : Hasbullah dan Dewi, 2011.
Masing-masing gabah memiliki kriteria serta keunggulan dan kelemahan
yang berbeda, berikut penjelasannya :
1. Situ Bagendit
Situ Bagendit merupakan jenis padi gogo yang berproduksi tinggi di
lahan yang kering. Padi yang merujuk pada danau di Desa Bagendit,
Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut Jawa Barat ini dirilis pada tahun
2003. Padi gogo Situ Bagendit mempunyai tinggi 99-105 cm dengan masa
pemeliharaan 110-120 hari, dengan karakteristik fisik Bentuk biji panjang dan
ramping, warna gabah kuning bersih dengan bobot per 1.000 butir mencapai
27-28 gram. Padi gogo Situ bagendit memiliki tekstur nasi pulen, tahan

6
terhadap penyakit blas dan tungro serta agak tahan terhadap penyakit hawar.
Selain itu, Situ Bagendit juga memiliki kelemahan, yakni sensitive terhadap
tanah yang memiliki kandungan almunium (Al) (Litbang Kementrian
Pertanian, 2019).
2. Inpari 4
Inpari 4 adalah jenis komoditas padi yang hidup di areal persawahan
dengan ketinggian mencapai 600 m dpl. Inbrida Padi Sawah Irigasi (Inpari) 4
mulai dilepas pada tahun 2008 dan varietas ini termasuk dalam golongan
cere. Inpari 4 mempunyai tinggi 95-105 cm dengan masa pemeliharaan 115
hari. Bentuk biji panjang dan ramping, warna gabah kuning bersih dengan
bobot per 1.000 butir mencapai 25 gram, dan rata-rata hasil 6,04 ton/ha GKG,
dengan Potensi hasil 8,80 ton/ha GKG. Inpari 4 memiliki tekstur nasi pulen,
agak rentan terhadap hama wereng batang coklat biotipe 1,2 dan 3 serta tahan
terhadap penyakit hawar daun bakteri strain III, strain IV, dan Strain VIII,
agak tahan penyakit virus tungro inoculum varian 013, dan rentan terhadap
inoculum varian 073 dan 031 (Litbang Kementrian Pertanian, 2019).
3. Inpari 13
Inpari 13 adalah jenis komoditas padi yang juga termasuk dalam kategori
padi sawah dengan anjuran tanam di ekosistem sawah dengan tadah hujan
dataran rendah sampai ketinggian 600 m dpl. Inpari sawah dilepas oleh Balai
Besar Penelitian Tanaman Padi (BBPADI) pada tahun 2009. Inpari 13
mempunyai tinggi 101 cm dengan masa pemeliharaan 103 hari. Bentuk biji
panjang dan ramping, warna gabah kuning bersih dengan bobot per 1000
butir mencapai 25,2 gram, dan rata-rata hasil 5,59 ton/ha GKG dengan
Potensi hasil 8,80 ton/ha GKG. Inpari 13 memiliki tekstur nasi pulen, tahan
terhadap hama wereng batang coklat biotipe 1, 2, dan 3 serta agak rentang
terhadap penyakit Hawar Daun Bakteri strain III, IV dan VIII, tahan terhadap
penyakit blas ras 033 dan agak tahan terhadap ras 133, 073 dan 173 (Litbang
Kementrian Pertanian, 2019).
4. Inpari 32
Inpari 32 adalah jenis komoditas padi irigasi yang hidup di areal
persawahan, dengan ketinggian mencapai 600 m dpl. Inbrida Padi Sawah

7
Irigasi (Inpari) mulai dilepas pada tahun 2013 dan varietas ini asal turunan
dari padi jenis ciherang dan IRBB64. Inpari 32 mempunyai tinggi 97 cm
dengan masa pemeliharaan 120 hari. Bentuk gabah medium, warna gabah
kuning bersih dengan bobot per 1.000 butir mencapai 27,1 gram, dan rata-rata
hasil 6,03 ton/ha GKG, dengan Potensi hasil 8,42 ton/ha GKG. Inpari 32
memiliki tekstur nasi pulen, tahan terhadap penyakit Hawar daun bakteri
strain III, agak tahan terhadap Hawar Daun Bakteri Strain IV, tahan terhadap
blas Ras 033, agak tahan terhadap Tungro, dan agak rentan terhadap wereng
coklat biotipe 1, 2, dan 3. (Litbang Kementrian Pertanian, 2019).
5. IR 64
IR 64 adalah jenis komoditas padi irigasi yang hidup di areal
persawahan. IR 64 mulai dilepas pada tahun 1984. IR 64 mempunyai tinggi
85 cm dengan masa pemeliharaan 110-120 hari. Bentuk gabah panjang
ramping, warna gabah kuning bersih dengan bobot per 1.000 butir mencapai
27 gram, dan rata-rata hasil 5,0 ton/ha GKG dengan potensi hasil 6,0 ta/ha
GKG. IR 64 memiliki tekstur nasi pulen, Tahan terhadap wereng coklat
biotipe 1, 2 dan agak tahan biotipe 3. Tahan terhadap hawar daun bakteri
strain IV dan tahan virus kerdil rumput (Litbang Kementrian Pertanian,
2019).
6. Ciherang
Ciherang adalah jenis komoditas padi irigasi yang hidup di areal
persawahan yang baik ditanam pada lahan sawah irigasi dataran rendah yang
mencapai 500 m dpl. Ciherang mulai dilepas pada tahun 2000. Ciherang
mempunyai tinggi 107-115 cm dengan masa pemeliharaan 116-125 hari.
Bentuk gabah panjang ramping, warna gabah kuning bersih dengan bobot per
1.000 butir mencapai 27-28 gram, dan rata-rata hasil 5,0 ton/ha GKG dengan
potensi hasil 8,5 ton/ha GKG. Ciherang memiliki tekstur nasi pulen, Tahan
terhadap wereng coklat biotipe 2 dan agak tahan biotipe 3. Tahan terhadap
hawar daun bakteri strain III dan IV. (Litbang Kementrian Pertanian, 2019).
7. Mekongga
Mekongga adalah jenis komoditas padi irigasi yang hidup di areal
persawahan yang baik ditanam pada lahan sawah irigasi dataran rendah yang

8
mencapai 500 m dpl. mulai dilepas pada tahun 2004. Mekongga mempunyai
tinggi 91-106 cm dengan masa pemeliharaan 116-125 hari. Bentuk gabah
Tegak, warna gabah kuning bersih dengan bobot per 1.000 butir mencapai 28
gram, dan rata-rata hasil 6,0 ton/ha GKG dengan potensi hasil 8,4 ton/ha
GKG. Mekongga memiliki tekstur nasi pulen, Tahan terhadap wereng coklat
biotipe 2 dan agak tahan biotipe 3. Tahan terhadap hawar daun bakteri strain
III dan IV. (Litbang Kementrian Pertanian, 2019).
Kualitas fisik gabah juga ditentukan oleh kadar air dan kemurnian gabah.
Kadar air gabah adalah jumlah kandungan air di dalam butiran gabah yang
biasanya dinyatakan dalam satuan (%) dari berat basah (wet basis). Sedangkan
tingkat kemurnian gabah merupakan persentase berat gabah bernas terhadap berat
keseluruhan campuran gabah. Kadar air yang optimal untuk melakukan
penggilingan adalah 13-14%. Pada kadar air yang lebih tinggi gabah sulit dikupas,
sedangkan pada kadar air yang lebih rendah butiran gabah menjadi mudah patah.
Gabah yang baru dipanen (GKP), memiliki kadar air antara 20-25%. Apabila
gabah disimpan sebelum digiling, kadar airnya harus diturunkan terlebih dahulu
dengan cara dikeringkan sampai kadar air maksimum 18%. Pada kadar air ini
gabah disebut gabah kering simpan (GKS). Sebelum digiling GKS dikeringkan
lagi hingga kadar air sekitar 14% untuk proses gabah kering giling (GKG) yang
memiliki kadar air sekitar 14%. Gabah kering giling yang memiliki kadar air
sekitar 14% dan kotoran sekitar 3% dianggap sebagai bobot awal (100%) yang
merupakan masukan terhadap proses penggilingan. (Badan Pusat Statistik, 2018)
2.1.2 Penggilingan Gabah
Sistem agribisnis beras melibatkan sejumlah subsistem, mulai dari
subsistem penyedia input sampai dengan subsistem pemasaran (output). Industri
penggilingan padi merupakan salah satu subsistem agribisnis yang berperan
penting mengolah gabah sebagai input menjadi beras. Sebagai industri perantara
maka industri penggilingan padi berperan penting sebagai mata rantai suplai beras
nasional. Penggilingan padi adalah tahap kegiatan setelah pengeringan, kegiatan
ini bertujuan untuk memisahkan kulit gabah yang akan menghasilkan beras putih
dan hasil sampingnya adalah dedak dan menir. Penggilingan padi ini biasanya
menggunakan huller. Penggilingan padi yang ada di masyarakat umumnya

9
menggunakan mesin dua tahap yaitu, mesin pecah kulit (husker) dan penyosoh
beras (polisher). Mesin pecah kulit digunakan untuk mengupas gabah dari
kulitnya dan akan menghasilkan beras pecah kulit yang selanjutnya akan
dilakukan penyosohan beras dengan mesin penyosoh dan menjadi beras putih.
Bila ditinjau dari konstruksinya, mesin-mesin penggiling padi dapat
dikelompokan menjadi 3 yaitu penggilingan padi skala kecil (PPK), penggilingan
padi sedang atau rice milling unit (RMU) dan penggilingan padi besar atau rice
milling plant (RMP). Perbedaan yang mendasar antara ketiganya adalah pada
ukuran, kapasitas dan aliran bahan dalam proses penggilingan yang dilakukan.
Penggilingan padi yang lengkap kadang kala dilengkapi dengan pembersih gabah
sebelum masuk mesin pemecah kulit, dan pengumpul dedak sebagai hasil
sampingan dari proses penyosohan. Berikut adalah 3 tipe mesin penggilingan tipe
skala kecil (PPK), sedang (RMU) dan besar (RMP).
1. Penggilingan Padi Skala Kecil
Penggilingan padi skala kecil (PPK) merupakan penggilingan padi yang
menggunakan tenaga 20 - 40 HP, dengan kapasitas produksi 300 - 700
kg/jam. Mesin yang digunakan PPK terdiri dari satu mesin pecah kulit
(husker) dan satu mesin penyosoh (polisher). Posisi mesin pecah kulit dan
penyosh PPK ini terpisah sehingga dalam proses pemindahan beras pecah
kulit dari husker ke penyosoh beras/polisher dilakukan secara manual dengan
tenaga manusia. Beras yang dihasilkan dari penggilingan padi PPK mutu
berasnya kurang baik, umumnya beras ini untuk dikonsumsi sendiri.
2. Rice Milling Unit
Rice milling unit (RMU) merupakan jenis mesin penggilingan padi yang
kompak dan mudah dioperasikan, di mana proses pengolahan gabah menjadi
beras dapat dilakukan dalam satu kali. Kapasitas RMU mempunyai kapasitas
giling < 1,0 ton/jam. Mesin RMU bila dilihat fisiknya menyerupai mesin
tunggal dengan fungsi banyak, namun sesungguhnya memang terdiri dari
beberapa mesin yang disatukan dalam rancangan yang kompak dan bekerja
secara harmoni dengan tenaga penggerak tunggal yaitu mesin diesel dengan
tenaga penggerak 40 - 60 HP. Rangkaian mesin RMU terdapat bagian mesin
yang berfungsi memecah sekam atau mengupas gabah, bagian mesin yang

10
berfungsi memisahkan beras pecah kulit (BPK) dan gabah dari sekam yaitu
husker. Sedangkan mesin yang berfungsi menyosoh yang memisahkan beras
hasil pecah kulit dan dedak menjadi beras putih yaitu polisher, mesin pecah
kulit dan penyosoh tersebut dikemas dalam satu mesin yang kompak dan
padat, sehingga praktis dan mudah digunakan (Widowati, 2001).
3. Rice Milling Plant
Rice Milling Plant (RMP) merupakan penggilingan padi tiga fase atau
lebih dengan kapsitas produksi lebih besar dari 3,0 ton gabah per jam. RMP
memiliki beberapa rangakain mesin yang terdiri dari mesin pengering vertikal
(vertical dryer), mesin pembersih gabah (cleaner), mesin pemecah kulit
(husker), mesin pemisah gabah (separator), dan mesin penyosoh beras
(polisher) sebanyak tiga unit atau lebih serta dilengkapi dengan mesin
pemisah menir (shifter). Komponen-komponen mesin penggilingan padi jenis
RMP secara umum terdiri dari mesin pembersih kotoran gabah, mesin
pemecah kulit, mesin pemisah gabah dan beras pecah kulit, mesin pemutih
(batu dan besi), mesin pengkilap beras, mesin pemisah beras utuh, kepala,
patah dan menir, timbangan dan yang terakhir mesin pengemasan. Beras hasil
dari mesin RMP menghasilkan mutu beras SNI I atau yang disebut dengan
beras kristal/premium (Hadiutomo, 2012).
2.1.3 Pengendalian Persediaan
Persediaan merupakan hal yang paling penting dalam usaha bisnis. Tanpa
adanya persediaan suatu usaha akan diharapkan pada risiko bahwa pada suatu
waktu tidak dapat memenuhi permintaan pelanggannya sehingga akan
menyebabkan hilangnya kesempatan untuk memperoleh keuntungan yang
seharusnya di dapatkan. Menurut Wiyono dan Kusuma (2017), Persediaan
merupakan salah satu aktiva lancar yang jumlahnya cukup besar dalam
perusahaan. Persediaan merupakan aktiva yang sangat vital, dikarenakan: (1). Jika
kekurangan akan menggangu aktivitas proses produksi dan pelayanan kepada
pelanggan: (2). Jika kelebihan akan menyebabkan meningkatnya biaya
penyimpanan serta adanya risiko kadaluwarsa.
Pengendalian persediaan menurut Heizer dan Render (2015), dilakukan
untuk mengatur pelaksanaan pengadaan bahan baku yang diperlukan sesuai

11
dengan jumlah dan waktu yang dibutuhkan dengan biaya yang serendah-
rendahnya. pengendalian pada persediaan dapat mengakibatkan terjadinya
kekurangan persediaan (stockout) maupun kelebihan persediaan (over stock).
Kekurangan persediaan dapat mengakibatkan kegagalan pengiriman, hilangnya
penjualan, pelanggan yang tidak puas, dan terhambatnya produksi. Sedangkan jika
terjadi kelebihan persediaan (over stock) maka akan timbuk resiko-resiko yang
dihadapi oleh perusahaan, seperti tingginya biaya penyimpanan dan investasi yang
tertahan, karena semakin besar tingkat persediaan maka semakin besar pula biaya
penyimpanan yang harus dikeluarkan perusahaan.
Jenis-jenis persediaan menurut Heizer dan Render (2015), yaitu: persediaan
bahan mentah (row material inventory) yang telah dibeli, tetapi belum diproses.
Persediaan ini dapat digunakan untuk memisahkan (yaitu, menyaring) pemasok
dari proses produksi. Meskipun demikian, pendekatan yang lebih disukai adalah
menghapus variabilitas pemasok dalam kualitas, jumlah, atau waktu pengiriman
sehingga tidak diperlukan pemisahan. Yang kedua adalah persediaan barang
dalam proses (wor-in-process-WIP) ialah komponen-komponen atau bahan
mentah yang telah melewati beberapa proses perubahan, tetapi belum selesai. WIP
itu ada karena untuk membuat produk diperlukan waktu (disebut juga waktu
siklus). Mengurangi waktu siklus akan mengurangi persediaan WIP. Tugas ini
tidaklah sulit. Selama sebagian besar waktu sebuah produk “sedang dibuat”
produk itu sebenarnya berdiam. Yang ketiga adalah jenis MRO
(maintenance/repair/operating) adalah persediaan yang disediakan untuk
perlengkapan pemeliharaan/perbaikan/operasi yang dibutuhkan untuk menjaga
agar mesin dan proses tetap produktif. Dan yang terakhir adalah persediaan
barang jadi (finish-goods inventory) adalah produk yang telah selesai dan tinggal
menunggu pengiriman. Barang jadi dapat dimasukkan ke persediaan karena
permintaan pelanggan pada masa mendatang tidak diketahui.
Fungsi persediaan menurut Heizer dan Render (2015), yaitu menambah
fleksibilitas operasi dalam suatu perusahaan dan keempat fungsi persediaan
tersebut adalah:
1. Untuk memberikan pilihan barang agar dapat memenuhi permintaan
pelanggan yang diantisipasi dan memisahkan perusahaan dari fluktuasi

12
permintaan. Persediaan seperti ini digunakan secara umum pada perusahaan
ritel.
2. Untuk memisahkan beberapa tahapan dari proses produksi. Contohnya, jika
persediaan sebuah perusahaan berfluktuasi, persediaan tambahan mungkin
diperlukan agar bias memisahkan proses produksi dan pemasok.
3. Untuk mengambil keuntungan dari potongan jumlah karena pembelian
dalam jumlah besar dapat menurunkan biaya pengiriman barang.
4. Untuk menghindari inflasi dan kenaikan harga.
Pardede (2007), berpendapat bahwa kebijakan dalam perencanaan dan
pengawasan meliputi dua putusan yakni kapan pesanan dilakukan (reorder point
atau reorder time) dan berapa banyak harus dipesan (reorder quantity). Salah satu
diantara berbagai pertimbangan dalam hubunganya dengan aturan kerja tersebut
adalah biaya-biaya sediaan (inventory costs), yaitu segala biaya yang timbul
sebagai akibat dari diadakannya sediaan, dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa
didalam perencanaan dan pengawasan sediaan tidak semua biaya harus
dipertimbangkan melainkan hanya biaya-biaya yang jumlahnya berubah dengan
perubahan waktu atau titik pemesanan serta jumlah pesanan. Sehubungan dengan
itu maka seluruh biaya sediaan dapat dikelompokkan atas:
1. Biaya pembelian atau pembuatan
2. Biaya pemesanan
3. Biaya penahanan
4. Biaya darurat
5. Biaya modal atau biaya peluang
6. Biaya kegagalan pelayanan pemakai akhir
7. Biaya kegagalan pendayagunaan sumber daya
Faktor-faktor yang mempengaruhi persediaan di dalam menyediakan bahan baku
untuk proses produksi, menurut Ahyari (1990) adalah sebagai berikut :
1. Perkiran pemakaian bahan baku : sebelum perusahaan mengadakan
pembelian bahan baku, maka selayakanya perusahaan mengadakan
penyusunan perkiraan pemakaian bahan baku untuk keperluan produksi.

13
2. Harga bahan baku : Harga bahan baku yang digunakan dalam proses
produksi merupakan salah satu faktor penentu terhadap persediaan bahan
baku.
3. Biaya-biaya persediaan : di dalam penyelenggaraan persediaan bahan baku,
maka perusahaan tentunya tidak akan dapat lepas dari biaya-biaya
persediaan yang harus ditanggung.
4. Kebijaksanaan pembelanjaan : didalam perusahaan, kebijkasanaan
pembelanjaan akan dapat mempengaruhi kebijaksanaan pembelian
5. Pemakaian bahan baku : Pemakaian bahan baku dari perusahaan pada
periode-periode yang lalu untuk keperluan proses produksi aakan dapat
dipergunakan sebagai salah satu dasar pertimbangan dalam penyelenggaraan
bahan baku.
6. Persediaan pengaman : Pada umumnya untuk menanggulangi adanya
kehabisan bahan baku, maka perusahaan akan mengadakan pengaman.
7. Pembelian kembali : di dalam menyelenggarakan persediaan pembelian
bahan baku tidak cukup dilaksanakan hanya sekali saja, akan tetapi
dilaksanakan berulang kali secara berkala.
2.1.4 Analisis ABC
Analisis ABC yaitu suatu metode untuk membagi persediaan ke dalam tiga
kelompok berdasarkan pada volume tahunan dalam jumlah uang (Heizer dan
Render, 2015). Analisis ABC merupakan penerapan persediaan dari Prinsip Pareto
(yang diberi nama berdasarkan pada Vilfredo Pareto, ahli ekonomi Italia pada
Abad ke -19). Untuk menentukan volume uang tahunan dalam analisis ABC,
diukur dari permintaan tahunan dari setiap barang persediaan dikalikan biaya per
unit.
Barang-barang kelas A adalah barang-barang yang volume uang tahunannya
tinggi. Meskipun barang-barang ini mungkin hanya mewakili sekitar 15% dari
total barang persediaan, tetapi mewakili 70% sampai 80% dari total penggunaan
uang. Barang-barang kelas B adalah barang persediaan dengan volume dolar
tahunan yang sedang. Barang ini mempresentasikan sekitar 30% dari barang
persediaan dan 15% sampai 25% dari nilai total. Barang dengan volume dolar

14
tahunan kecil adalah kelas C yang hanya mempresentasikan 5 % dari volume
dolar tahunan, tetapi mewakili sekitar 55% dari barang persediaan total.
2.1.5 Economic Order Quantity (EOQ)
Perusahaan berusaha menekan biaya seminimal mungkin agar keuntungan
yang diperoleh menjadi lebih besar, demikian pula dengan manajemen persediaan
selalu mengupayakan agar biaya persediaan menjadi minimal. Economic Order
Quantity (EOQ) adalah salah satu teknik pengendalian persediaan yang paling
sering digunakan. Menurut Heizer dan Render (2015) Economic Order Quantity
(EOQ) adalah salah satu teknik pengendalian persediaan yang paling tua dan
terkenal secara luas, metode pengendalian persediaan ini menjawab 2 (dua)
pertanyaan penting, kapan harus memesan dan berapa banyak harus memesan.
Teknik ini relatif mudah digunakan, tetapi didasarkan pada beberapa asumsi
sebagai berikut:
1. Jumlah permintaan diketahui cukup konstan dan independen.
2. Waktu tunggu, yakni waktu antara pemesanan dan penerimaan pesanan
telah diketahui dan bersifat konstan.
3. Persediaan segera diterima dan selesai seluruhnya. Dengan kata lain,
persediaan yang dipesan tiba dalam satu kelompok pada suatu waktu.
4. Tidak tersedia diskon kuantitas.
5. Biaya variabel hanya biaya untuk memasang atau memesan (biaya
pemasangan atau pemesanan) dan biaya untuk menyimpan persediaan
dalam waktu tertentu.
6. Kehabisan persediaan dapat sepenuhnya dihindari jika pemesanan
dilakukan pada waktu yang tepat.
2.1.6 Re-Order Point (ROP)
Perusahaan sering mengalami kendala di dalam menjalani kegiatan
operasinya diantaranya yaitu persediaan yang kurang memadai yang dilibatkan
oleh keterlambatan pembelian kembali stock persediaan bahan baku, sehingga
dapat memperlambat proses produksi. Menurut Heizer dan Render (2015), Re-
Order Point (ROP) atau titik pemesanan ulang adalah tingkat atau titik persediaan
dimana tindakan harus diambil untuk mengisi kembali persediaan barang”. Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi ROP antara lain:

15
1. Lead time (waktu tunggu)
2. Tingkat penggunaan rata-rata
3. Safety stock (persediaan pengaman)

2.2 Penelitian Terdahulu


Analisis tentang pengendalian bahan baku telah banyak dilakukan
sebelumnya. Berbagai model digunakan untuk menganalisis dan meningkatkan
optimalisasi persediaan sehingga dapat meminimalisasi biaya persediaan.
Tabel 2.3 Penelitian Terdahulu
No. Nama Judul Tahun Hasil Penelitian Alat Analisis
Peneliti
1. Carla Manajemen 2018 Hasil analisis ABC Menggunakan
Riana Persediaan bahan baku kurma metode
Kuswandi Pengaman dan glukosa probabilistik
Bahan Baku termasuk kategori A dan Tenik
Sari Kurma dimana kurma 64% analisis ABC
AL Jazira di dan glukosa 35.96%
CV Amal dan untuk metode
Mulia probabilistik
Sejahtera persediaan bahan
baku kurma sebesar
8.204.12 Kg dapat
menghemat biaya
total per tahun Rp.
10.822.575.58 dan
bahan baku glukosa
sebesar 6271.31 Kg
dengan total biaya
bahan baku sebesar
RP. 10.272.512.91

2. Mutiara Analisis 2014 Pembelian bahan Menggunakan


Pengendalian baku tahun 2013 metode EOQ
Persediaan adalah sebesar dengan contoh
Bahan Baku 4.448 m³. jumlah satu produk
Kayu Frekuansi dengan
Cempaka Pada pemesanan Teknik
Industri Mebel sebanyak 2 kali. analisis
(Studi Kasus Safety stock 0.24 m³ deskriptif
Pada UD. Batu dan Titik kuantitatif
Zaman) Pemesanan Kembali Teknik
0.603 m³ purposive
sampling.

16
No. Nama Judul Tahun Hasil Penelitian Alat Analisis
Peneliti
3. Taufiq dan Pengendalian 2014 Tepung terigu dan Economic
Slamet Persediaan gula pasir lebih Order
Bahan Baku optimal Quantity
pada Salsa menggunakan (EOQ)
Bakery Jepara metode EOQ,
dibanding dengan
menggunakan
metode
konvensional.

4. Erna Penerapan 2015 menggunakan Analisis ABC


Puspitasari Analisis ABC analisis Kesimpulan
Dalam hasil penelitian ini
Pengendalian adalah UD Mansur
Persediaan memperlakukan
Produk semua jenis
Pertanian Pada produknya sama
UD.Mansur bobotnya sehingga
Papar Kediri dapat dikatakan
bahwa UD Mansur
belum menerapkan
metode Analisis
Abc, dari
perhitungan ABC
beberapa produk
yang harus
mendapatkan
prioritas Kelas A:
Score, Gramaxone,
Prevathon 200 ml,
Roundap power 1
ltr, Parade tavi
kaleng 500 kg,
Roundap, Prevathon
100 ml. Kelas B:
Regent red 250 ml,
Orient, Matador 250
ml, Filia, Amistar
top dan Kelas C :
Dacis 100 ml, See
top, Regent red 100
ml, Matador 50 ml,
Dacis 50 ml,
Acrobat bubuk,
Marsal bubuk.

17
No. Nama Judul Tahun Hasil Penelitian Alat Analisis
Peneliti
5. Michael Analisis 2014 pengendalian dan Analisis
Chandra Pengendalian pengadaan deskriptif dan
Tuerah Persediaan persediaan bahan Analisis
Bahan Baku baku ikan tuna CV. Economic
Ikan Tuna Golden KK sudah Order
pada Cv. efektif dalam Quantity
Golden KK memenuhi (EOQ).
permintaan
konsumen karena
perusahaan tidak
mengalami
kehabisan
persediaan bahan
baku dan total biaya
persediaan dengan
metode EOQ lebih
kecil dibandingkan
dengan metode
yang digunakan
perusahaan.

6. Koko Hadi Penerapan 2016 Kesimpulan hasil Analisis ABC


Winarko Analisis ABC penelitian ini adalah
dalam (1) Pengelompokan
Pengendalian kelas A: score,
Persediaan roundup, gramaxon,
Produk prevathon1 200 ml,
Pertanian pada parade tavi kaleng
UD Roy 100 ml, roundup
Mandiri power 1 ltr,
Nronggot prevathon 100 ml.
Nganjuk Pengelompokan
kelas B:
Sliver&clainser,
regent red 200 ml,
orient, matador 250
ml, fillia.
Pengelompokan
kelas C: amistartop,
see top, daciss 100
ml, regent red 100
ml, matador 50 ml,
daciss 50 ml, marsal
bubuk, acrobat.

18
No. Nama Judul Tahun Hasil Penelitian Alat Analisis
Peneliti
7. Chandra Penerapan 2013 Hasil yang Economic
Herawan, metode diperoleh dengan Order
Udi Economic metode (EOQ) Quantity
Pramiudi Order diketahui jumlah (EOQ)
dan Quantity pemesanan
Edison (EOQ) Dalam ekonomis untuk
mewujudkan setiap bahan baku
efisiensi biaya dan frekuensi
persediaan pemesanan untuk
pada PT. jangka waktu ketika
Setiajaya pemesanan barang
Mobilindo yang akan
Bogor direnovasi,
sehingga Sehingga
metode (EOQ)
penting untuk
mengefisienkan
biaya persediaan di
perusahaan
Setiajaya Mobilindo
Bogor

8. Anindita Cara 2014 Berdasarkan Analisis


Utari Pengendalian analisis ABC ABC, EOQ,
Persediaan terdapat 13 jenis buffer stock,
obat paten di dengan anggaran dan ROP
Gudang unit 70,12% kelompok
Farmasi RS A, 21 jenis dengan
Zahira anggaran 20,68%
kelompok B, dan 99
jenis dengan
anggaran 9,19% dan
pesanan optimum
(EOQ) 13 obat
mulai dari 12-105
item kelompok A,
21 obat dari 7-110
item, dan 99 obat
dari 0-298 item, dan
ROP kelompok A
22-330 item,
kelompok B 5-54
item, dan kelompok
C mulai dari 2-46
item.

19
No. Nama Judul Tahun Hasil Penelitian Alat Analisis
Peneliti
9. Rahmi Studi 2013 Hasil penelitian Analisis
Fadhila pengendalian Analisis ABC ABC, EOQ
persediaan terdapat 13 jenis dan ROP
obat generik obat generik
di Gudang kelompok A dengan
farmasi rumah anggaran 69,64%,
sakit islam 25 jenis kelompok
Asshobirin B, anggaran
20,19%, dan
kelompok C 105
jenis dengan
anggaran
10,37%,berdasarkan
EOQ jumlah
pesanan optimum
untuk 13 obat
termasuk kelompok
A dari 10-301 item,
dan berdasarkan
ROP diperoleh titik
pemesanan kembali
untuk 13 obat yang
termasuk kelompok
A bervariasi mulai
dari 1-25 item.

10. Citra Manajemen 2012 Manajemen Mengevaluasi


Aulia Hani Persediaan persediaan di Lotte persediaan
Fasa Produk Ikan Mart Wholesale dengan
Segar di Ritel meningkatkan metode EOQ
Modern (studi frekuensi pembelian dan
Kasus di Lotte kecuali bawal hitam merumuskan
Mart dan kerang dara, arah
Wholesale di mengurangi pengelolaan
Kota Bandung) kuantitas persediaan
pemesanan pada menggunakan
seluruh jenis ikan. metode
persediaan produk SWOT.
yaitu meningkatkan
kerjasama dengan
Horeka

20
No. Nama Judul Tahun Hasil Penelitian Alat Analisis
Peneliti
11. Fadlun Analisis 2016 Hasil analisis Analisis
dan Mado Persediaan menunjukkan deskriptif dan
Bahan Baku bahwa dengan analisis
Produk Usaha menggunakan economic
Sale Pisang metode EOQ order quantity
Industri rumah jumlah pembelian (EOQ).
tangga “Sofie” bahan baku jauh
lebih ekonomis.

2.3 Kerangka Pemikiran


Anggaran pembelian bahan baku merupakan alat manajemen dalam
mengendalikan persediaan bahan baku. Bahan baku yang tersedia tidak boleh
terlalu besar maupun terlalu kecil jumlahnya. Bahan baku yang terlalu banyak
disediakan digudang akan menimbulkan biaya-biaya penyimpanan dan resiko
yang dihadapi, seperti menumpuknya bahan baku di gudang yang mungkin
mengakibatkan penurunan kualitas, terlalu lamanya bahan baku menunggu untuk
diproses, sehingga biaya penyimpanan yang menjadi lebih besar. Sedangkan
apabila jumlah bahan baku yang dibeli terlalu sedikit atau kecil jumlahnya maka
akan menimbulkan gangguan terhadap kontinuitas proses produksi, juga akan
mendatangkan resiko berupa terhambatnya kelancaran proses produksi akibat
kehabisan bahan baku, serta timbulnya biaya tambahan untuk mencari bahan
mentah pengganti secepatnya. (Gunawan Adisaputro & Marwan Asri, 2010)
Output dalam usahatani padi berupa gabah kering panen (GKP), gabah
kering simpan (GKS) dan gabah kering giling (GKG). GKP merupakan gabah
yang baru dipanen di areal sawah, sedangkan GKG merupakan gabah yang telah
dijemur beberapa hari dan memenuhi syarat untuk digiling. Proses pengolahan
dilakukan oleh penggilingan dengan mengubah gabah menjadi beras.
Penggilingan padi sebagai akhir dari proses produksi beras memerlukan
penanganan khusus. Hal ini dikarenakan proses penggilingan akan mempengaruhi
kuantitas dan kualitas beras. Usaha penggilingan padi memerlukan biaya produksi
yang tidak sedikit. Gambar 2.2 menjelaskan kerangka pemikiran yang bertujuan
untuk menganalisis pengendalian persediaan pada UD.Sinar Jaya sebagai berikut:

21
Evaluasi pengendalian
bahan baku pada UD.Sinar
jaya

Optimalisasi Persediaan

Analisis Bahan baku Meminimalkan Biaya


Prioritas Penyimpanan dan
Pemesanan

Metode
Metode EOQ
Analisis ABC

Metode ROP
Microsoft Excel

Pengendalian Persediaan Output

Gambar 2.2 Skema Kerangka Pemikiran

22
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2019 yang akan dilaksanakan di
PB (Penggilingan Besar) UD. Sinar Jaya Desa Macanputih Kecamatan Kabat
Kabupaten Banyuwangi. Alasan peneliti memilih lokasi ini adalah karena pada
waktu peneliti melakukan observasi pendahuluan, persediaan bahan baku utama
tidak stabil, terkadang menumpuk berlebihan namun terkadang juga mengalami
kekurangan.

3.2 Pendekatan Penelitian


Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif
dan kuantitatif yang bersifat deskriptif. Menurut Sugiyono (2012), metode
penelitian kualitatif atau sering disebut dengan metode naturalistik, adalah
penelitian yang dilakukan pada kondisi alamiah (natural setting). Sedangkan
metode penelitian kuantitatif merupakan salah satu jenis penelitian yang
spesifikasinya adalah sistematis, terencana, dan terstruktur dengan jelas sejak awal
hingga pembuatan desain penelitianya. Penelitian kuantitatif ini bertujuan untuk
menganalisa pengendalian efisiensi persediaan gabah menggunakan metode
Analisis ABC, metode Economic Order Quantity (EOQ) dan metode Re-Order
Point (ROP). Adapun pengertian deskriptif menurut sugiyono (2012), adalah
metode yang berfungsi untuk mendiskripsikan atau memberi gambaran terhadap
objek yang diteliti melalui data atau sampel yang telah terkumpul. data yang
diperlukan dalam penelitian ini berupa data pembelian bahan baku, harga bahan
baku, rata-rata penggunaan bahan baku perhari, perkiraan harga, lamanya
pengiriman bahan baku dihitung dari hari pemesanan, standar deviasi,
menentukan persediaan pengaman (safety stock).

3.3 Metode Pengumpulan Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan
sekunder. Data primer merupakan data yang langsung dapat dan disajikan sebagai
sumber dari penelitian dan pengamatan secara langsung pada objek atau

23
perusahaan tempat penulis melakukan penelitian, dilakukan secara langsung
dengan cara pengamatan (observation) yakni pengamatan dari peneliti secara
langsung maupun tidak langsung terhadap objek penelitian. Selanjutnya adalah ,
dokumentasi dan yang terakhir adalah wawancara (interview) yakni salah satu
teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan berhadapan secara langsung
dengan yang diwawancarai tetapi dapat juga diberikan daftar pertanyaan dahulu
untuk dijawab pada kesempatan lain (Noor, 2011). Penelitian dilakukan melalui
pihak perusahaan dengan teknik pengumpulan data yang diperoleh secara
langsung pada UD. Sinar Jaya, sedangkan sumber data sekunder diperoleh dari
lembaga, instansi, dan berbagai macam literatur seperti: buku, jurnal, skripsi,
internet. Literatur yang diperoleh sesuai dengan penelitian ini. Data yang
diperoleh dari lembaga yang digunakan sebagai literatur berupa data penjualan
dan pemesanan serta data produksi.

3.4 Metode Penentuan Sampel


Metode penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara sengaja
(purposive sampling). Purposive sampling merupakan teknik penentuan sampel
dengan pertimbangan khusus sehingga layak dijadikan sampel (Noor, 2011).
Kriteria yang digunakan dalam penentuan sampel meliputi:
1. Perusahaan UD. Sinar Jaya. Narasumber yang memenuhi kriteria dalam
penelitian ini pemilik perusahaan untuk terkait sejarah perusahaan karyawan
bagian pengadaan bahan baku dan produksi, serta karyawan bagian
administrasi keuangan.
2. Dinas Pertanian Kab. Banyuwangi. Narasumber yang bersangkutan dalam
penelitian ini adalah karyawan bidang tanaman pangan, yang mengetahui
produksi gabah serta fluktuasi harga gabah di banyuwangi.

3.5 Metode Analisis Data


Menurut Wiyono dan Kusuma (2017), Analisis ABC adalah metode dalam
manejemen persediaan untuk mengendalikan sejumlah barang kecil, tetapi
mempunyai nilai investasi yang tinggi. berdasarkan hukum pareto, analisis ABC
dapat menggolongkan barang berdasarkan peringkat nilai dari tertinggi hingga
terendah, kemudian dibagi menjadi kelas-kelas besar terprioritas: kelas tersebut

24
dinamai A, B, dan C. Oleh Karena itu analisis ini dinamakan analisis biasa
dinamakan “Analisis ABC”. Menurut Heizer dan Render (2015), EOQ adalah
salah satu teknik pengendalian persediaan yang paling tua dan terkenal secara
luas, metode pengendalian persediaan ini menjawab 2 (dua) pertanyaan penting,
kapan harus memesan dan berapa banyak harus dipesan. Metode EOQ (Economic
Order Quantity) ini adalah metode yang digunakan untuk mencari titik
keseimbangan antara biaya pemesanan dengan biaya penyimpanan agar diperoleh
suatu biaya yang minimum. Sedangkan Re-Order Point (ROP) adalah metode
untuk menentukan jangka waktu pemesanan kembali bahan baku atau material
lainya dari vendor/supplier.
3.5.1 Metode Analisis ABC
Metode Analisis ABC Menurut Heizer dan Render (2010), barang kelas A
adalah barang dengan volume dolar tahunan tinggi yaitu 70%-80% penggunaan
uang secara keseluruhan namun hanya mereprentasikan 15% dari persediaan total.
Barang kelas B barang dengan volume dolar tahunan yang sedang yaitu 15%-20%
penggunaan uang keseluruhan dari 30% penggunaan persediaan total. Barang
dengan volume dolar tahunan yang kecil adalah kelas C yang hanya
mereprentasikan 5% volume tahunan namun mewakili 55% barang persediaan
total. Penelitian ini diawali dengan mengumpulkan dan menginput data mengenai
jenis gabah, jumlah gabah, dan harga gabah selama tahun 2018 (Januari-
Desember) dengan menggunakan Microsoft Excel. Kemudian gabah
dikelompokkan berdasarkan nilai investasinya. Nilai investasi gabah dihitung
dengan cara mengalikan jumlah pemakaian dengan jumlah kebutuhan (unit/tahun)
gabah dengan harga (Rupiah/unit) masing-masing gabah.

25
Tabel 3.1 Analisis ABC
Jenis Gabah Varietas Total Total
Varietas kebutuha kebutu
Situb Inpari Inpari Inpari IR 64 Cihera Mikon n han
agend 4 13 32 ng gga Unit/hari unit/tah
it un
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Model Analisis ABC ini sangat berguna di dalam memfokuskan perhatian
manajemen terhadap penentuan jenis barang yang paling penting dan perlu
diprioritaskan dalam persediaan. Tidaklah realistis jika memantau barang yang
tidak mahal dengan intensitas yang sama dengan barang yang sangat mahal. Hasil
analisis ABC harus diikuti kebijaksanaan dalam manajemen persediaan antara lain
(Heizer dan Render, 2010).
1. Perencanaan kelompok A harus mendapat perhatian lebih besar
dari pada item yang lain.
2. Kelompok A harus dilakukan kontrol fisik yang lebih ketat
dibandingkan dengan kelompok B dan C. pencatatan harus lebih
akurat serta frekuensi pemeriksaan lebih sering.
3. Pemasok juga harus lebih memperhatikan kelompok A agar jangan
terjadi keterlambatan pengiriman.
4. Cycle Counting, merupakan verifikasi melalui internal audit
terhadap record yang ada, dilaksanakan lebih sering untuk
kelompok A, yaitu 1 bulan satu kali, untuk kelompok B tiap 4
bulan, sedangkan kelompok C tiap 6 bulan.

26
Secara grafik persediaan akan terlihat seperti gambar berikut ini:

100
90
persen 80 A
penggunaan 70
Dollar 60
Tahunan 50
40
30
20 B
10
0 C
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Persen persediaan
Gambar 3.1 Grafik Analisis ABC (Heizer & Render, 2010)

3.5.2 Metode Economic Order Quantity (EOQ)


Menurut Rangkuti (2004), metode EOQ merupakan metode yang digunakan
untuk menentukan jumlah pembelian bahan mentah pada setiap kali pesan dengan
biaya yang paling rendah, jumlah persediaan tidak terlalu banyak dan tidak terlalu
sedikit karena keduannya mengandung resiko. Menurut Heizer dan Render
(2015), rumus tingkat pemesanan yang meminimasi biaya persediaan keseluruhan
yang dikenal dengan metode EOQ adalah sebagai berikut:
1. Jumlah optimal unit per pesanan (EOQ)

𝟐𝐃𝐒
𝑸 ∗= √
𝐇

D = permintaan (demand) / tahun (Ton)


Q* = kuantitas optimal (quantity optimal) (Ton)
S = biaya pemesanan (cost of ordering) / unit (Rupiah)
H = biaya penyimpanan (cost of holding) / tahun (Rupiah)

27
Economic Order Quantity (EOQ) juga akan menentukan berapa unit
persediaan yang optimal untuk perusahaan, agar perusahaan bisa meminimalisir
biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan persediaan. Dalam menerapkan
Economic Order Quantity (EOQ) ada biaya-biaya yang harus dipertimbangkan
dalam penentuan jumlah pembelian yaitu:
1. Biaya Pemesanan
Menurut Rangkuti 2009 biaya pemesanan atau pembelian
(Ordering/Procurement cost) per periode sama dengan jumlah pesanan yang
dilakukan setiap periode dikalikan biaya yang harus dikeluarkan setiap kali
pesan. Biaya-biaya ini meliputi biaya telepon, biaya pemprosesan pesanan,
biaya ekspedisi, upah, biaya inspeksi dan lain-lain. Adapun biaya
pemesanan menurut Heizer dan Render (2015), sebgai berikut :

𝑫
𝒃𝒊𝒂𝒚𝒂 𝒑𝒆𝒎𝒆𝒔𝒂𝒏𝒂𝒏 = 𝑺
𝑸

Dimana:
Q : Jumlah unit per pesanan (Ton)
D : Permintaan tahunan dalam unit untuk barang persediaan (Ton)
S : Biaya pemasangan atau pemesanan untuk setiap pesanan (Rupiah)
2. Biaya Penyimpanan
Menurut Rangkuti (2004), biaya penyimpanan (Holding cost/Carrying
cost) yaitu, terdiri dari biaya biaya yang bervariasi secara langsung dengan
kuantitas persediaan, biaya penyimpanan per periode akan semakin besar
apabila kuantitas bahan yang dipesan semakin banyak atau rata-rata
persediaan semakin tinggi. Adapun rumus biaya penyimpanan menurut
Heizer dan Render (2015), adalah sebagai berikut:

𝑸
𝒃𝒊𝒂𝒚𝒂 𝒑𝒆𝒏𝒚𝒊𝒎𝒑𝒂𝒏𝒂𝒏 = 𝑯
𝟐

Dimana:
Q : Jumlah unit per pesanan (Ton)
H : Biaya penyimpanan per unit per tahun (Rupiah)

28
𝑯=𝑷𝒙𝒊

P : Harga barang per unit (Rupiah)


i : Biaya penyimpanan dari jumlah persediaan dinyatakan dalam persen
(%) (Rupiah)
3. Total Inventory Cost (TIC)
Menurut Rangkuti (2004), biaya persediaan yang diberi notasi TIC
merupakan penjumlahan dari biaya pesan dan biaya simpan, TIC
minimum ini akan tercapai pada saat biaya simpan sama dengan biaya
pesan. Pada saat TC minimum, maka pada jumlah pesanan tersebut
dikatakan jumlah yang paling ekonomis (EOQ), Adapun rumus dari
total biaya persediaan atau total inventory cost/ total cost Menurut
Heizer dan Render (2015), sebagai berikut:
𝑇𝐼𝐶/𝑇𝐶 = 𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑃𝑒𝑚𝑒𝑠𝑎𝑛𝑎𝑛 + 𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑃𝑒𝑛𝑦𝑖𝑚𝑝𝑎𝑛𝑎𝑛
𝑫 𝑸
𝑇𝐼𝐶/𝑇𝐶 = 𝑺+ 𝑯
𝑸 𝟐

Dimana:
Q : Jumlah unit per pesanan (Ton)
D : Permintaan tahunan dalam unit untuk barang persediaan (Ton)
S : Biaya pemasangan atau pemesanan untuk setiap pesanan (Rupiah)
H : Biaya penyimpanan per unit per tahun (Rupiah)

2. Frekuensi atau Jumlah pemesanan Pertahun (N)


Menurut Heizer dan Render Konsep EOQ dikenal memiliki beberapa
persamaan diantaranya frekuensi pemesanan (N) atau jumlah pemesanan yang
dilakukan perusahaan dalam suatu periode. Nilai dari frekuensi atau jumlah
pemesanan per tahun dapat diperoleh dengan rumus sebagai berikut:

𝒑𝒆𝒓𝒎𝒊𝒏𝒕𝒂𝒂𝒏 (𝑫)
𝐍=
𝒌𝒖𝒂𝒏𝒕𝒊𝒕𝒂𝒔 𝒑𝒆𝒔𝒂𝒏𝒂𝒏 (𝑸)

Dimana :
N = Frekuensi pemesanan dalam satu tahun (Ton)
D = Permintaan tahunan dalam unit untuk setiap pesanan (Ton)

29
Q = Jumlah unit per pesanan (Ton)

3. Waktu Tunggu Antar Pesanan (Lead time)


Menurut Heizer dan Render (2015), persamaaan berikutnya yang dikenal
dalam konsep EOQ adalah waktu antara pesanan (T). Waktu antara pesanan (T)
adalah jarak waktu antara suatu pesanan dengan pesanan berikutnya, Nilai dari
waktu tunggu antar pesanan dapat diperoleh dengan rumus berikut sebagai berikut:

𝒋𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒉𝒂𝒓𝒊 𝒌𝒆𝒓𝒋𝒂 𝒑𝒆𝒓 𝒕𝒂𝒉𝒖𝒏


𝐓=
𝑵

Gambar 3.2 Grafik Economic Order Quantity (Heizer & Render, 2015)

3.5.3 Metode Re-Order Point (ROP)


Menurut Rangkuti (2004), Titik pemesanan kembali (Re-Order Point)
adalah suatu tingkat tertentu di dalam persediaan dimana pemesanan harus segera
dilaksanakan pada saat titik tersebut telah tercapai. Batas /titik Jumlah yang
diharapkan tersebut dihitung selama masa tenggang, ditambah dengan persediaan
pengaman (safety tock) yang biasanya mengacu kepada probabilitas atau
kemungkinan terjadinya kekurangan stok selama masa tenggang (Lead Time),
Adapun rumus ROP menurut Heizer & Render (2015), adalah sebagai berikut:

30
ROP = d x L

Dimana:
d = Jumlah permintaan per hari (Ton)
L = Lead Time atau waktu tunggu, yaitu waktu antara penempatan
pesanan dan menerimannya. (1 hari)
Jika perusahaan menggunakan Safety Stock maka ROP akan menjadi:
ROP = (d x L) + Safety Stock

Dimana:
ROP = Titik pemesanan ulang
d = Jumlah permintaan per hari atau tingkat pemakaian rata-rata (Ton)
L = Lead time atau waktu tunggu, yaitu waktu antara penempatan
pesanan dan menerimannya. (1 hari)
Sedangkan untuk Permintaan perhari (d) dapat diperoleh dengan rumus :

𝑫
𝐝=
𝒋𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒉𝒂𝒓𝒊 𝒌𝒆𝒓𝒋𝒂 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒔𝒆𝒕𝒂𝒖𝒏

Dimana:
d = permintaan perhari (Ton)
D = permintaan pertahun (Ton)
Menurut Rangkuti (2004), safety stock (persediaan pengaman) adalah
persediaan tambahan yang diadakan untuk melindungi atau menjaga kemungkinan
terjadinya kekurangan bahan (stock out), ada beberapa faktor yang menentukan
besarnya persediaan pengaman, yaitu:
a. Rataan tingkat permintaan dan rataan masa tenggang.
b. Keragaman permintaan pada masa tenggang.
c. Keinginan tingkat pelayanan yang diberikan.
Adapun rumus safety stock menurut Heizer dan Render (2015), sebagai
berikut:

Safety stock = (pemakaian maksimum – pemakaian rata-rata) lead time

31
Menurut Heizer dan Render (2015), Re-Order Point (ROP) menggunakan
asumsi bahwa permintaan selama waktu tunggu dan waktu tunggu itu sendiri
adalah konstan. Ketika kasusnya tidak seperti ini, persediaan tambahan yang
sering disebut dengan persediaan pengaman (safety stock) haruslah ditambahkan.
Jika ROP ditetapkan terlalu rendah, persediaan akan habis sebelum persediaan
pengganti persediaan baru sudah datang sementara persediaan di gudang masih
banyak. Keadaan ini mengakibatkan pemborosan biaya dan investasi yang
berlebihan, Berikut diterima sehingga produksi dapat terganggu atau permintaan
pelanggan tidak dapat dipenuhi. Namun, jika titik pemesanan ulang ditetapkan
terlalu maka penjelasan kurva titik pemesanan ulang (ROP) pada Gambar 3.4

Gambar 3.4 Kurva Titik Pemesanan Ulang (Heizer & Render, 2015)

32
DAFTAR PUSTAKA

Adisaputro, Gunawan dan M. Asri. 2010. Anggaran Perusahaan. Yogyakarta:


BPFE.

Ahyari. 1990. Pengendalian Produksi. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.

Badan Pusat Statistik. 2017. Produksi Gabah Menurut Kabupaten/Kota di Jawa


Timur. [Internet]. [diunduh 12 Februari 2019]. Tersedia pada:
https://www.bps.go.id.

BPS Kabupaten Banyuwangi. 2018. Kadar Air Gabah GKP dan GKG. [Internet].
[diunduh 12 Februari 2019]. Tersedia pada: https://banyuwangikab.bps.go.
id/subject/36/harga-produsen.html.

Badan Pusat Statistik. 2018. KSA Produksi gabah Banyuwangi dalam Angka
2018. [Internet]. [diunduh 12 Februari 2019]. Tersedia pada:
https://banyuwangikab.bps.go.id/statistik-daerah-kabupaten-banyuwangi201
8.html

Herawan, C., U. Pramiudi dan Edison. 2013. Penerapan Metode Economic Order
Quantity dalam Mewujudkan Efisiensi Biaya Persediaan pada PT. Setiajaya
Mobilindo Bogor. [Skripsi]. Denpasar: Fakultas Teknik Universitas
Udayana.

Fadhila, R. 2013. Studi Pengendalian Persediaan Obat Generik Melalui Metode


Analisis ABC, Economic Order Quantity (EOQ), dan Reorder Point (ROP)
di Gudang Farmasi Rumah Sakit Islam Asshobirin. [Skripsi]. Jakarta:
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Fadlun, dan Mado. 2016. Analisis Persediaan Bahan Baku Produk Usaha Sale
Pisang Industri Rumah Tangga Sofie di Kota Palu. e-J. Agrotekbis 4(2):
204-209.

Rangkuti, F. 2004. Manajemen Persediaan. Jakarta: Rajawali Pers

Hasbullah, R. dan A.R. Dewi. 2009. Kajian Pengaruh Konfigurasi Mesin


Penggilingan terhadap Rendemen dan Susut Giling beberapa Varietas Padi.
Jurnal Enjiniring Pertanian 23(2): 122.

Hasbullah, R., dan A.R. Dewi. (2012). Teknik Penanganan Pascapanen Padi untuk
Menekan Susut dan Meningkatkan Rendemen Giling. Pangan, 21(1), 17–
28.

Hadiutomo, K. 2011. Mekanisasi Pertanian. Bogor: IPB Press.

33
Jay, H. and Barry R. (2010). Manajemen Operasi. Manajemen Keberlangsungan
dan Rantai Pasakan. Novietha, I. S., penerjemah; Kurnia, H., Saraswati, R.,
Wijaya D., editor. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Terjemahan dari:
Operations Manajemen. Sustainbility and Suply Chain Management. Ed ke-
7.

Jay, H. and Barry R. (2015). Manajemen Operasi. Manajemen Keberlangsungan


dan Rantai Pasakan. Novietha, I. S., penerjemah; Kurnia, H., Saraswati, R.,
Wijaya D., editor. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Terjemahan dari:
Operations Manajemen. Sustainbility and Suply Chain Management. Ed ke-
11.

Juliyansyah, Noor. 2014. Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan


Karya Ilmiah. Jakarta: Kencana Pramedia Group.

Kementrian Pertanian. 2019. BBPADI Varietas Gabah Inpari 4. [Internet].


[diunduh 10 April 2019]. Tersedia pada: https://www.litbang.pertanian.go.id
/varietas/130/

Kementrian Pertanian. 2019. BBPADI Varietas Gabah Inpari 4. [Internet].


[diunduh 10 April 2019]. Tersedia pada: https://www.litbang.pertanian.go.id
/varietas/673/.

Kementrian Pertanian. 2019. BBPADI Varietas Gabah Inpari 13. [Internet].


[diunduh 10 April 2019]. Tersedia pada: http://www.litbang.pertanian.go.id
/varietas/749/.

Kementrian Pertanian. 2019. BBPADI Varietas Gabah Inpari 32. [Internet].


[diunduh 10 April 2019]. Tersedia pada: https://www.litbang.pertanian.go.id
/varietas/1024/

Kementrian Pertanian. 2019. BBPADI Varietas Gabah Inpari 32. [Internet].


[diunduh 10 April 2019]. Tersedia pada: http://www.litbang.pertanian.go.id
/varietas/503/

Kementrian Pertanian. 2019. BBPADI Varietas Gabah Situ Bagendit. [Internet].


[diunduh 10 April 2019]. Tersedia pada: http://www.litbang.pertanian.go.id
/varietas/158/.

Kuswandi, C. R. 2018. Manajemen Persediaan Pengaman Bahan Baku Sari


Kurma AL Jazira di CV Amal Mulia Sejahtera [Skripsi]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.

Mutiara. 2014. Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku Kayu Cempaka


Pada Industri Mebel Dengan Menggunakan Metode EOQ Studi Kasus Pada
UD. Batu Zaman. JMA 5(1):

34
Pardede, P. M. 2007. Manajemen Operasi dan Produksi: Teori, Model, dan
Kebijakan. Yogyakarta: CV. Andi Offset.

Puspitasari, E. 2015. Penerapan Analisis dalam Pengendalian Persediaan Produk


Pertanian pada UD Mansur Papar Kediri [Skripsi]. Kediri: Universitas
Nusantara PGRI.

Raharjo, B., D. Hadiyanti, dan K.A. Kodir. 2012. Kajian Kehilangan Hasil pada
Pengeringan dan Penggilingan Padi di Lahan Pasang Surut Sumatra Selatan.
Jurnal Lahan Suboptimal. 1(1): 72 - 78.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta.

Utari, A. 2014. Cara Pengendalian Persediaan Obat Paten Dengan Metode


Analisis ABC, Metode Ecomoic Order Quantity (EOQ), buffer stock dan
Reorder Point (ROP) di Unit Gudang Farmasi RS Zahira. [Skripsi]. Jakarta:
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Taufiq, A., dan A. Kusuma. 2014. Pengendalian Persediaan Bahan Baku dengan
Metode Economic Order Quantity (EOQ) pada Salsa Bakery Jepara.
Management Analysis Journal. 1(3): 1–6.

Tuerah, M. C. 2014. Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku Ikan Tuna


pada CV Golden KK [Skripsi]. Manado: Universitas Sam Ratulangi.

Widowati, S. 2001. Pemanfaatan Hasil Samping Penggilingan Padi dalam


Menunjang Sistem Agroindustri di Pedesaan. Buletin Agrobio. 4(2): 33-38.

Winarko, K. H. 2016. Penerapan Analisis ABC dalam Pengendalian Persediaan


Produk Pertanian pada UD Roy Mandiri Nggronggot Nganjuk. [Skripsi].
Universitas Nusantara PGRI.

Wiyono, G., dan H, Kusuma. 2017. Manajemen Keuangan Lanjutan Berbasis


Corporate Value Creation. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.

Yoshida, S. 1981. Fundamental of Rice Crop Science. The International Rice


Research and Institute. IRRI. Manila.

35

Anda mungkin juga menyukai