Produksi sampah di Indonesia terus mengalami peningkatan 2-4% per tahun, demikian
juga dengan produksi sampah perkapita yang diperkirakan akan meningkat dan
mencapai 1 kg sampah/orang/hari pada tahun 2025.
Data dari Kementrian Jepang menunjukkan bahwa produksi sampah di Jepang
mencapai 44 juta ton, lebih besar dari Indonesia hanya sebesar 38,5 ton pada tahum
yang sama. Pemasalahan lain yang dihadapi pemerintah Jepang adalah keterbatasan
lahan untuk tempat pembuangan akhir (landfiil) terutama di kota-kota besar.
Data dari Kementrian Lingkungan Hidup Jepang menunjukkan produksi sampah di
jepang mengalami penurunan sebesar 17% dalam satu dasawarsa terakhir. Tingkat
daur ulang sampah di Jepang mengalami peningkatan dalam dasawarsa terakhir,
mencapai 20,4% pada tahun 2015.
Pengelolaan sampah yang terintegrasi akan tercipta apabila setidaknya terpenuhi dua
faktor, yaitu (1) kemampuan untuk mengidentifikasi dan memahami karakteristik
persampahan dari hulu ke hilir, (2) kemampuan untuk melibatkan semua pemangku
kepentingan sehingga terjadi kerja sama, saling dukung, saling menguatkan, dan tidak
terjadi tumpang tindih dalam menjalankan peran masing-masing pemangku
kepentingan.
Untuk mendorong partisipasi dunia usaha untuk terlibat dalam usaha daur ulang,
pemerintah mengimplementasikan kebijakan Extended Producer Responsibility
(EPR). EPR merupakan suatu kebijakan yang mewajibkan produsen untuk
bertanggung jawab secara fisik maupun finansial terhadap keberadaan produk yang
dinuat setelah produk tidak digunakan. Secara finansial, produsen harus bertanggung
jawab terhadap seluruh biaya pengelolaan produknya yang telah menjadi sampah.
Di Jepang, sampah secara umum dipilah menjadi lima kategori, yaitu sampah yang
dapat dibakar (combustible), sampah yang tidak dapat dibakar (incombustible),
sampah yang dapat didaur ulang (recyclable), sampah berukuran besar (bulky), dan
sampah lainnya (others). Namun, setiap pemerintah daerah menerapkan aturan yang
berbeda-beda mengenai kategori sampah pilah. Sebagai contoh, sampah dipilah
menjadi 34 jenis di Kamikatsu, 10 jenis di Yokohama, 4 jenis di Sapporo, dan 5 jenis
di Tokyo.
14. DISKURSUS PERENCANAAN FORMASI ASN BERBASIS HASIL KERJA
MINIMAL SEBAGAI IMPLEMENTASI HCDP
Human Capital Development Plan (HCDP) meruakan aset organisasi yang secara
dinamis dapat dikembangkan sesuai dengan tujuan. Melalui HCDP, organisasi
dapat menunjukkan nilai yang dianut sehingga nilai (value) yang dimiliki oleh
organisasi dapat tersampaikan kepada stakeholder. Melalui HCDP, modal-modal
organisasi yang lain dapat diupayakan untuk mencapai tujuan organisasi dengan
efektif dan efisien. Hal ini akan mendukung kesuksesan suatu organisasi (Nuzulul
Kusuma Putri, 2013).
Hasil Kerja Minimum (HKM) adalah unsur kegiatan utama yang harus dicapai
minimal oleh ASN sebagai prasyarat pencapaian hasil kerja. Implementasu HCDP
adalah pelaksanaan dari perencanaan sumber daya manusia, yaitu strategi yang
menguraikan sumber daya manusia dan keterampilan yang diperlukan untuk
memungkinkan suatu organisasi mencapai tujuannya.
Diagram berikut menunjukkan alur pikir implementasi HCDP dalam perencanaan
penyusunan formasu ASN berbasis HKM :
Human Capital
Development Plan
VUCA yaitu suatu keadaan yang menuntut kita untuk terus berhadapan dengan
tantangan yang tidak menentu dan terus menerus mengalami perubahan, penuh
ketidakpastian.
Era VUCA ini menuntut kepemimpinan yang mempunyai berbagai kemampuan
dan kapasitas pemimpin yang tidak saja hanya memimpin tapi memimpin dengan
metode coaching, mentoring, dan juga counselling. Pemimpin yang mampu
menjadi coach, yaitu pemimpin yang mampu menggali potensi bawahannya,
mentor yang mampu memberikan arahan kepada bawahannya, atau consellor yang
mampu memberikan perbaikan kepada bawahannya.
Berikut ini Konsep pengembangan kompetensi sesuai PP 11/2017
Terdapat tiga tahapan dalam pengembangan karier ASN, yaitu (1) penetapan
kebutuhan dan rencana pengembangan kompetensi; (2) pelaksanaan pengembangan
kompetensi; (3) pelaksanaan evaluasi pengembangan kompetensi.
Revolusi industri 4.0 merupakan revolusi digital yang didasarkan pada perpaduan
teknologi yang tidak lagi membatasi antara fisik, digital, dan biologis. Aparatur
Sipil Negara (ASN) harus merespon perubahan-perubahan yang terjadi akibat
adanya revolusi industri 4.0 diberbagai pekerjaan yang menyangkut tata kelola
negara. Artinya ASN harus mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang
lebih meningkatkan efisiensi kerja seperti e-government, e-procurement, e-
budgeting, dan lain-lain.
Terkait dengan ASN, adaptasi diperlukan bersamaan dengan kemajuan teknologi
4.0. Perlu diantisipasi juga masalah kompetensi terutama terkait dnegan soft skill.
Perlu juga perubahan budaya kerja terutama mentalitas melayani.
Seperti yang dirilis dalam World Economic Forum maka terdapat sepuluh skill yang
dibutuhkan, yaitu pemecahan masalah yang komplek (rumit), berpikir kritis,
kreativitas, manajemen manusia, kecerdasan emosional, penilaian dan oengambilan
keputusan, berorientasi pada pelayanan, serta negosiasi dan fleksibilitas kognitif.
Sebagian besar dari skill tersebut merupakan soft skill. Artinya, soft skill menjadi
salah satu faktor yang penting untuk dimiliki para pekerja pada masa depan.
Menurut data BPS (2017), jumlah PNS adalah 4.374.349 sampai akhir tahun 2016,
baik di instansi pusat maupun daerah, dengan pertumbuhan yang minus sebesar -
4,8% dikarenakan adanya moratorium penerimaan PNS.
Adapun tahap-tahap pembekalan yang dilakukan bagi CPNS adalah sebgai berikut
: (1) Pada tahap I, bagian kepegawaian harus memetakan komposisi pegawai yang
telah diterima berdasarkan jurusan masing-masing yang telah ditetapkan; (2) Tahap
II adalah melakukan penempatan pegawai secara keseluruhan di tingkat pelayanan
paling rendah; (3) Pada tahap III akan terlihat kinerja masing-masing PNS, baik
kelebihan skill administratif maupun di teknis penyelesaian masalah lapangan; (4)
Tahapan IV dalam melakukan penilaian promosi karier pegawai harus didasarkan
kepada track record masa kerjanya dari mulai awal menjadi pegawai sampai
terakhir.