Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengaruh pengelasan terhadap kemajuan teknologi bidang kontruksi saat ini sangatlah

besar karena mempunyai peranan penting dalam suatu rekayasa logam. Pembangunn

kontruksi pada masa sekarang tidak bisa dipisahkan dengan adanya pengelasan,terkhusus

pada bidang rancang bangun. Dalam suatu rancang bangun, sambungan las yang secara

teknik memerlukan suatu ketrampilan yang tinggi bagi pengelasnya agar tercapai sambungan

yang baik. Adapun lingkup penggunaan teknik pengelasan sangatlah luas, meliputi rangka

baja, perkapalan, jalur kereta, konstruksi sambungan dan lain sebagainya. Salah satu bahan

yang sering digunakan dalam pengelasan adalah baja karbon rendah. Kandungan karbon pada

baja ini antara 0.10 sampai 0.25 % . Karena kadar karbon yang sangat rendah maka baja ini

lunak dan tentu saja tidak dapat dikeraskan, dapat ditempa, dituang, mudah dilas dan dapat

dikeraskan permukaannya ( case hardening ), hal tersebut seperti yang dijelaskan oleh Negara

dan I Made (2015 : 167) Baja karbon rendah memiliki kelebihan lebih mudah dimachining

tetapi tidak bisa dikeraskan secara langsung karena kandungan karbonnya yang kurang dari

0,3%, untuk dapat dikeraskan ke dalam baja karbon rendah harus ditambahkan unsur karbon

terlebih dahulu .Baja dengan prosentase karbon dibawah 0.15 % memiliki sifat mach ability

yang rendah dan biasanya digunakan untuk konstruksi jembatan, bangunan, dan lainnya

(Fachrizal Mochammad,2016).

Bahan baja karbon rendah rentan terhadap perubahan sifat kekerasan ketika

dilas,tergantung pada faktor-faktor seperti: media pendingin, laju pendinginan, jenis

dan komposisi elektroda, parameter pengelasan, dll. Semakin tinggi nilai karbon,

maka akan semakin tinggi pula nilai kekerasannya (Rianto Endro,2015).


Dalam aplikasi pemakaiannya, semua baja akan terkena pengaruh gaya luar berupa

tegangan-tegangan gesek, tarik maupun tekan sehingga menimbulkan deformasi atau

perubahan bentuk. Usaha menjaga baja agar lebih tahan gesekan, tarikan atau tekanan adalah

dengan cara mengeraskan baja tersebut, yaitu salah satunya dengan perlakuan pendinginan.

Pada kondisi operasinya, komponen permesinan mempunyai kelemahan yaitu nilai kekerasan

yang rendah sehingga mengakibatkan kegagalan dalam proses operasinya. Jenis kegagalan

yang sering terjadi adalah keausan, deformasi, sobek dan pecah. Untuk memperluas

penggunaan baja karbon rendah, diperlukan peningkatan sifat mekaniknya terutama dari segi

sifat mekanik (tegangan tarik dan kekerasan) tetapi harganya masih relatif murah

dibandingkan dengan jenis baja karbon lainnya. Salah satu alternatif untuk perbaikan sifat

mekanik baja karbon rendah adalah dengan metode perlakuan pendinginan agar peningkatan

tegangan tarik dan kekerasan dapat dicapai. Dengan keinginan untuk mendapatkan tingkat

kekerasan baja sesuai dengan yang kita inginkan, terlebih dalam dunia industri dewasa ini

banyak sekali yang membutuhkan seperti contoh sebagai bahan pembuat pahat bubut.

Menurut Subkhan, et al.,( 2014: 68) Baja karbon rendah dapat ditingkatkan tingkat

kekerasan dan kekuatan tariknya dengan menggunakan proses pemanasan quenching dan

pemberian media pendinginan. Selurus dengan penelitian yang dilakukan oleh Arto dan

Turnip (2015: 191) salah satu cara untuk menngetahui sifat mekanis suatu bahan adalah

dengan cara proses celup cepat (Quenching).

Kualitas dari hasil pengelasan juga dipengaruhi oleh persiapan pelaksanaan

dan pengerjaan serta proses perlakuan pendinginan terhadap logam yang dilas.

Sehingga untuk mendapatkan hasil sambungan pengelasan yang baik dan berkualitas

maka perlu memperhatikan sifat-sifat bahan yang akan dilas maupun penelitian

tentang perlakuan pendinginan pada logam yang dilas sangat mendukung untuk

mendapatkan hasil sambungan las yang berkualitas (Irawan Andik dan D.T Agita,
2016). Pada umumnya struktur mikro dari baja karbon rendah tergantung pada

kecepatan pendinginannya dari suhu daerah austenite sampai ke suhu kamar (darma

susila budi,k. Dkk,2016)

Dalam proses pendingin media pendingin yang sering digunakan sebagai pendingin

yaitu air, air garam, oli dan udara. Semakin cepat logam didinginkan maka akan semakin

keras sifat logam itu, karbon yang dihasilkan dari pendinginan cepat lebih banyak dari

pendingian lambat. Dengan alasan media pendingin tersebut digunakan sesuai dengan

kemampuannya untuk memperoleh hasil yang diharapkan. (Irawan Andik dan D.T Agita,

2016).

Kemampuan suatu jenis media dalam mendinginkan spesimen bisa berbeda-beda,

perbedaan kemampuan media pendingin di sebabkan oleh temperatur, kekentalan, kadar

larutan dan bahan dasar media pendingin. Pelumas adalah minyak yang mempunyai sifat

untuk selalu melekat dan menyebar pada permukaan-permukaan yang bergeser, sehingga

membuat pengausan dan kenaikan suhu kecil sekali (Sanusi, 2014).

Berdasarkan latar belakang diatas maka penelitian ini mengambil judul : “ Pengaruh

Media Pendingin Terhadap Kekerasan Dan Struktur Mikro Baja ASTM A36 Hasil Pengelasan

SMAW.”

B. Identifikasi Masalah

Penelitian ini dapat diidentifikasikan berbagai permasalahan yang timbul berkaitan

dengan latar belakang :

1. Faktor dari pemberian cairan pendingin terhadap

kekerasan dan struktur mikro hasil pengelasan

SMAW baja ASTM A36


2. Karakteristik sifat mekanik yaitu kekerasan da struktur

mikro

C. Pembatasan Masalah

Agar Penelitian ini tidak menyimpang dari permasalahan yang diteliti,

maka akan dibatasi permasalahanya pada :

1. Pengelasan menggunakan las jenis SMAW dengan

elektroda E 6013.

2. Pemberian media pendingin radiator coolant dan juga

oli SAE 10W-40.

3. Arus listrik yang digunakan dalam pengelasan SMAW

adalah 75 A.

4. Jenis sambungan yang di gunakan adalah sambungan I

tertutup, I terbuka dan V.

5. Pengelasan dilakukan pada posisi di bawah tangan.

6. Pengujian kekerasan dilakukan didaerah HAZ.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka permasalahan yang timbul adalah:

a. Apakah ada pengaruh media pendingin radiator coolant dan oli SAE

10W-40 terhadap kekerasan baja ASTM A36 hasil pengelasan

SMAW?

b. Apakah ada pengaruh media pendingin radiator coolant dan oli SAE

10W-40 terhadap struktur mikro baja ASTM A36?


A. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh media pendingin radiator coolan

dan oli SAE 10W-40 terhadap kekerasan baja ASTM A36 hasil pengelasan

SMAW

b. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh media pendingin radiator

coolant dan oli SAE 10W-40 terhadap struktur mikro baja ASTM A36

hasil pengelasan SMAW.

A. Manfaat Penelitian

Sebagai peran nyata dalam pengembangan teknologi khususnya pengelasan, maka

penulis berharap dapat mengambil manfaat dari penelitian ini, diantaranya:

1. Bagi peneliti pribadi :

a. Sebagai syarat kelulusan dari

program sarjana pendidikan

teknik mesin.

b. Menambah wawasan dan juga

ilmu pengetahuan tentang

pengelasan dan ilmu bahan.

c. Mengetahui secara langsung

perbedaan sifat mekanik pada

baja ASTM A36 hasil

pengelasan SMAW yang diberi


cairan pendingin radiator

coolant dan oli SAE 10W-40

dengan yang tidak diberi

cairan pendingin

d. Mengetahui kekerasan dan

struktur mikro baja ASTM

A36

2. Bagi umum:

a. Sebagai literatur pada penelitian

yang sejenisnya dalam rangka

pengembangan teknologi

khususnya bidang pengelasan

b. Sebagai informasi bagi juru las

untuk meningkatkan kualitas

hasil pengelasan.

c. Sebagai informasi penting guna

meningkatkan pengetahuan

bagi peneliti dalam bidang

pengujian bahan, pengelasan

dan bahan teknik


BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Sumiyanto dan Abdunnaser (2015), melakukan penelitian pengaruh cairan

pendinginan terhadap sifat mekanis baja ASTM A36. Spesimen berbentuk plat

dengan tebal 2 cm dengan dimensi sesuai standar JIS. Sebelumnya spesimen diberi

perlakuan panas austenisasi dengan suhu 900℃ selama 60 menit. Media pendingin

yang digunakan dalam penelitian ini adalah udara (ruang terbuka), oli dan juga media

pendingin air. Dari hasil penilitian terhadap kekerasan baja ASTM A36, kecepatan
media pendingin terhadap proses pendinginan berpengaruh terhadap kekerasan

spesimen. Hasil yang diperoleh dari media pendinginan dengan menggunakan udara

yang memiliki kecepatan pendinginan 50℃/menit menghasilkan nilai kekerasan

sebesar 143.1 kg/mm2. Sedangkan dengan media pendingin oli yang memiliki

kecepatan pendinginan 100℃/menit menghasilkan nilai kekerasan sebesar 182.96

kg/mm2, media pendingin air dengan kecepatan pendinginan 150℃/menit

menghasilkan nilai kekerasan sebesar 370.96 kg/mm2.

Penelitian selanjutnya tentang pengaruh media pendingin terhadap kekerasan

dan struktur mikro baja s45c dilakukan oleh Rachmadani,dkk (2017). Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental. Menggunakan metode

pengelasan GMAW, rancangan penelitian dengan menguji dan membandingkan benda

uji (spesimen) dengan variasi media pendingin oli,air dan udara. Hasil penelitian yang

berfokus pada struktur mikro di daerah HAZ (heat affected zone) menunjukkan bahan

mengandung ferit dan martensit dengan kandungan martensit lebih banyak karena

sifat air yang mudah larut sehingga menyebabkan spesimen mudah mengeras.

Struktur mikro menggunakan media pendingin oli menunjukkan spesimen

mengandung ferit dan martensit dengan kandungan ferit lebih banyak dikarenakan

sifat oli yang kental dan laju pendinginan lambat sehingga martensit sulit terbentuk.

Hasil uji kekerasan yang dilakukan dengan menggunakan metode uji kekerasan

vickers didapatkan hasil dari media pendingin air pada daerah HAZ sebesar 315

VHN, sedangkan dengan media pendingin oli memiliki nilai kekerasan 269 VHN,

media pendingin udara memiliki nilai kekerasan sebesar 177 VHN. Media pendingin

dengan densitas tinggi berpengaruh terhadap nilai kekerasan spesimen yang diuji.

Penelitian yang dilakukan oleh Saputra Hendi,dkk (2014), yang berjudul Kekuatan

Tarik Hasil Pengelasan SMAW Plat Baja ST 37 Dengan Pendingin penting dalam
terbentuknya struktur dasar material yang akan menentukan material properthies. Fokus dari

material properties dalam penelitian ini adalah uji tarik,dimana spesimen hasil pengelasan

dicelupkan kepada cairan pendingin oli memiliki kekuatan uji tarik tertinggi yaitu 144,27

kg/mm2.

Jordy Muhammad,dkk melakukan penelitian tentang pengaruh media pendingin

terhadap kekerasan baja ST 37. Proses pengelasan dalam penelitian ini menggunakan metode

pengelasan SMAW (shielded metal arc welding). Media pendinginan menggunakan media

air, oli SAE 40 dan air garam (10%). Spesimen yang digunakan mengacu pada standarisasi

ASTM E92 dengan panjang 100 mm, lebar 30 mm dan tebal 5 mm. Pada proses pengelasan,

elektroda yang digunakan berjenis E6013 dengan tegangan 20 volt, kuat arus 100 ampere dan

kecepatan las 3,4 cm/menit dibuatkan kampuh berbentuk x. Sebelum pemberian media

pendingin, spesimen dipanaskan mencapai suhu 900℃ selama 15 menit. Pengujian kekerasan

dilakukan dengan metode pengujian vickers menggunakan indentor intan dengan sudut 136 o

dan berat pembebanan sebesar 30 kg. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan

bahwa media pendinginan menggunakan air meiliki kekerasan sebesar 123,60 VHN, media

pendingin oli SAE 40 memilikihasil sebesar 94,27 dimana memiliki hasil yang sama dengan

media pendingin air garam (10%). Proses pendinginan tidak terlalu berpengaruh signifikan

dibanding dengan spesimen raw material dimana mempunyai nilai kekerasan sebesar 92,70

VHN.

Penelitian pengaruh media pendingin terhadap struktur mikro baja yang diteliti

oleh Erizal (2014) , yang berjudul Analisa Struktur Mikro pada Daerah Las dan HAZ

hasil pengelasan shielded metal arc welding(SMAW) pada baja karbon medium dan

quenching air laut. Spesimen dalam penelitian ini terdapat dua jenis, yaitu spesiemn

yang dilas dan tidak. Kedua spesimen diberlakukan proses quenching pada

temperature 850oC. Diperoleh hasil bahwa struktur mikro pada spesimen yang
dilakukan quenching pada daerah logam HAZ tampak jelas batas butir Ferrite dan

martensitenya dan pada daerah logam las tampak ferrite dan martensitenya dominan.

Hal ini disebabkan karena sifat media pendingin air laut yang teratur dan cepat dalam

proses pendinginan sehingga tercipta ikatan yang keras.

Penelitian tentang pengaruh media pendingin terhadap struktur mikro menurut

Priadi Made Angga ,dkk (2017) pengaruh media pendingin terhadap kekerasan dan

struktur mikro hasil penngelasan oxy acetylene pada material baja st 37 dengan media

air mempunyai hasil ferrit lebih mendominasi dibandingkan dengan perlit. Dengan

media pendingin oli mempunyai ferrit lebih mendominasi dibandingkan dengan perlit

dan berwarna terang menandakan bahwa baja bersifat tidak keras namun ulet yang

berarti baja dengan media pendingin oli memiliki tingkat kekerasan yang rendah.

Adapun jenis metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

eksperimen. Terdapat dua jenis variable yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

variabel bebas yang berupa media pendingin air, media pendingin udara dan media

pendingin oli dan variabel terikatnya berupa sifat kekerasan. Dari hasil penelitian

yang telah dilakukan dimana kekerasan daerah logam induk dengan media pendingin

air memperoleh nilai rata-rata sebesar 63,10 Kg/mm2, pendingin udara memperoleh

nilai rata-rata sebesar 65,61 Kg/mm2, dan media pendingin oli memperoleh nilai rata-

rata sebesar 62,68 Kg/mm2. Kekerasan pada daerah HAZ dengan media pendingin air

memperoleh nila rata-rata sebesar 68,49 Kg/mm2, media pendingin udara

memperoleh nilai rata-rata sebesar 71,05 Kg/mm2 dan media pendingin oli

memperoleh nilai rata-rata sebesar 70,34 Kg/mm2. Kekerasan pada daerah logam las

dengan media pendingin air memperoleh nilai rata-rata sebesar 60,99 Kg/mm2, media

pendingin udara memperoleh nilai rata-rata sebesar 61,79 Kg/mm2 dan media

pendingin oli memperoleh nilai rata-rata sebesar 60,79 Kg/mm2. Berdasarkan dari
hasil yang telah didapatkan baik pada logam induk, daerah HAZ dan logam Las

dimana tingkat kekerasan yang lebih baik diperoleh dari proses pendinginan udara

dibandingkan dengan media pendingin air dan media pendingin oli dari proses

pengelasan oxy acytelene.

Penelitian yang dilakukan oleh kurniawan ade ,dkk (2014), dengan konsentrasi

judul pengaruh variasi media pendingin terhadap kekerasan dan struktur makro hasil

penngelasan gmaw (mig). Bahan yang digunakan untuk spesimen adalah baja karbon

rendah dengan jenis baja ST 37. Pembuatan spesimen dengan dimensi ukuran panjang

100 mm, lebar 60 mm dan lebar 8 mm,kemudian dibuat slot ditengah spesimen

dengan lebar 2 mm dan kedalaman 1,5 mm. proses pengelasan dengan cara mendatar

tepat ditengah slot dengan diikuti pengukuran suhu dan waktu pengelasan. Proses

pemberian media pendinginan setelah proses pengelasan dengan cara dicelupkan

selama 15 menit. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menghasilkan nilai

kekerasan berbeda-beda dari ke lima media pendingin. Nilai kekerasan tertinggi

dihasilkan oleh media pendingin air dengan nilai kekerasan sebesar 240,2 HVN,

sedangkan nilai kekerasan terendah dihasilkan oleh media pendingin udara kompresor

dengan nilai kekerasan sebesar 204,2 HVN.

Penelitian yang relevan selanjutnya dilakukan oleh Yuri,et al., (2016) dengan

meneliti pengaruh media pendingin pada proses hardening material baja S45C.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan buku literatur dan

jurnal. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui sifat mekanik baja yang

didinginkan dengan media pendingin air garam, oli, air dan udara dalam media

pendingin terhadap tingkat kekerasan pada baja S45C setelah dikeraskan dalam proses

hardening dan struktur mikro. Penelitian dimulai dari pemotongan specimen uji

kekerasan dengan diameter 65 mm x 7 mm x 10 mm dan uji impact dengan diameter


10 mm x 10 mm x 55 mm. Hasil yang diperoleh uji kekerasan air garam memiliki

nilai rata-rata kekerasan 95 BHN, nilai rata-rata kekerasan oli 89 BHN, nilai rata-rata

kekerasan air 94 BHN, nilai rata-rata kekerasan udara 87 BHN dan nilai kekerasan

tanpa di hardening 88 BHN. uji impact pada udara memiliki nilai rata-rata 1,175

J/𝑚𝑚2, nilai rata-rata impact air garam 0,257 J/𝑚𝑚2, nilai rata-rata impact air 0,369

J/𝑚𝑚2, nilai rata-rata impact oli 1,128 J/𝑚𝑚2dan nilai rata-rata impact tanpa

dihardening 0,955 J/𝑚𝑚2.

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Pegertian las

Definisi pengelasan menurut DIN (Deutsche Industrie Norman) adalah

ikatan metalurgi pada sambungan logam atau logam paduan yang dilaksanakan

dalam keadaan lumer atau cair. Dengan kata lain, las merupakan sambungan

setempat dari beberapa batang logam dengan menggunakan energi panas.

Pengelasan merupakan proses penyambungan antara dua bagian logam

atau lebih dengan menggunakan energi panas. Berdasarkan kajian tentang

pengelasan diatas, dimana pengelasan merupakan proses penyambungan pelat

atau pun logam.

Anggoro (2016: 9), Pengelasan dapat diartikan dengan proses

penyambungan dua buah logam atau lebih sampai titik rekristalisasi logam

dengan atau tanpa menggunakan bahan tambah dan menggunakan energi

panas sebagai pencair bahan yang dilas.Pengelasan juga dapat diartikan

sebagai ikatan tetap dari benda atau logam yang dipanaskan.


Pengelasan (Welding) adalah salah satu teknik penyambungan logam

dengan cara mencairkan sebagian logam induk dan logam pengisi dengan atau

tanpa tekanan dan dengan atau tanpa tambahan logam lain.(Fahrizal

Mochammad,2016).

Dari uraian beberapa pengertian pengelasan diatas, maka dapat

disimpulkan bahwa pengelasan dapat diartikan dengan proses penyambungan

dua buah logam sampai titik rekristalisasi logam, dengan atau tanpa ,

menggunakan bahan tambah dan menggunakan energi panas sebagai pencair

bahan yang dilas. Pengelasan juga dapat diartikan sebagai ikatan tetap dari

benda atau logam yang dipanaskan.

2.2.2 Las SMAW

Seiring dengan perkembangan teknologi dibidang konstruksi,

pengelasan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pertumbuhan dan

peningkatan industri, karena mempunyai peranan yang sangat penting dalam

rekayasa dan reparasi produksi logam. Hampir pada setiap pembangunan suatu

konstruksi dengan logam melibatkan unsur pengelasan. Salah satu jenis

pengelasan yang banyak dipakai untuk mengelas baja karbon adalah Shielded

Metal Arc Welding (SMAW). Shielded Metal Arc Welding (SMAW)

merupakan proses pengelasan yang palingbanyak digunakan, karena proses

pengelasan dengan cara ini dapat menghasilkan 2 sambungan yang kuat juga

mudah untuk digunakan (Erizal, 2015).

Kelebihan pengelasan dengan SMAW, antara lain dapat diandalkan

untuk mengelas berbagai tipe sambungan, posisi, serta lokasi yang sulit

dikerjakan, biaya pengoperasian yang relatif rendah dan dapat dipakai untuk
mengelas didalam maupun diluar ruangan (Wdodo, 2016: 6). Tidak

diperlukannya hose untuk gas pelindung ataupun air pendingin, serta dapat

dioperasikan pada tempat yang jauh dari sumber tenaga, dan kualitas

sambungan dapat dirancang sedemikian rupa dengan menggunakan berbagai

jenis elektroda. Shielded Metal Arc Welding (SMAW) juga sering disebut

sebagai stick welding. Hal ini dikarenakan elektrodanya yang berbentuk stick.

Proses pengelasan ini adalah proses pengelasan yang relative paling banyak

dan luas penggunaannya (Saputra Hendi,dkk.2014). Didalam pengelasan

SMAW ini l3terjadi gas penyelimut ketika elektroda terselaput itu mencair,

sehingga dalam proses ini tidak diperlukan tekanan/pressure gas inert

untuk mengusir oksigen atau udara yang dapat menyebabkan korosi atau

gelembung-gelembung didalam hasil las-lasan.

Sedangkan menurut Fachrizal Mochammad (2016: 23)

menyatakan bahwa,SMAW adalah proses las busur manual dimana panas dari

pengelasan dihasilkan oleh busur listrik antara elektroda terumpan

berpelindung flux dengan benda kerja..

Proses pengelasan SMAW (Shielded Metal Arc Welding)

dilakukan dengan menggunakan energi listrik (AC/DC), energi listrik

dikonversi menjadi energi panas dengan membangkitkan busur listrik melalui

sebuah elektroda. Busur listrik diperoleh dengan cara mendekatkan elektroda

las ke benda kerja/logam yang akan dilas pada jarak beberapa milimeter,

sehingga terjadi aliran arus listrik dari elektroda ke benda kerja, karena adanya

perbedaan tegangan antara elektroda dan benda kerja (logam yang akan dilas).
Dengan demikian maka dapat disimpulkan las SMAW merupakan

suatu proses pengelasan dengan menggunakan arus listrik, dengan elektroda

berselaput untuk menyambung dua atau lebih logam, menjadi suatu

sambungan yang tetap.

2.2.3. Elektroda Terbungkus

Bakhori Ahmad (2017: 16) menyatakan bahwa ”Pemilihan

logam pengisi las berupa elektroda las / filler metal electrode sebagai logam

pengisi dalam proses pengelasan sangat berpengaruh dalam menentukan

mutu hasil pengelasan, begitu juga fluks dan gas sebagai pelindung

(shielding)”.

Dalam pengelasan elektroda terbungkus (SMAW), elektroda

adalah suatu bahan pengumpan atau penambah untuk mengisi celah (grove)

antara dua material yang terbuat dari baja batangan terbungkus oleh fluks

(Rianto Endro,2015).

Elektroda terdapat beberapa jenis, dengan kriteria dan

penggunaan yang berbeda pula. Elektroda terdiri dari dua bagian yaitu bagian

yang berselaput (fluks) dan tidak berselaput yang merupakan pangkal untuk

menjepitkan tang las. Elektroda terdiri dari dua jenis bagian yaitu bagian yang

bersalut ( fluks ) dan tidak bersalut yang merupakan pakal untuk menjepitkan

tang las. Fungsi fluks atau lapisan elektroda dalam las adalah untuk

melindungi logam cair dari lingkungan udara menghasilkan gas pelindung,


menstabilkan busur, sumber unsur paduan. Elektroda las dalam pengelasan

SMAW dapat berpengaruh terhadap hasil lasan (Soleh et al., 2017: 30).

Pada dasarnya bila ditinjau dari logam yang dilas, kawat elektroda

dibedakan menjadi elektroda untuk baja lunak, baja karbon tinggi, baja

paduan, besi tuang, dan logam non ferro. Pemilihan elektroda pada pengelasan

baja karbon sedang dan baja karbon tinggi harus benar-benar diperhatikan

apabila kekuatan las diharuskan sama dengan kekuatan material.

Penggolongan elektroda diatur berdasarkan standar sistem AWS

(American Welding Society) dan ASTM (American Society Testing Material).

Elektroda jenis E6013 dapat dipakai dalam semua posisi pengelasan dengan

arus las AC maupun DC. Elektroda dengan kode E6013 untuk setiap huruf dan

setiap angka mempunyai arti masing-masing yaitu:

E = Elektroda untuk las busur listrik.

60 = Menyatakan nilai tegangan tarik minimum hasil pengelasan dikalikan

dengan 1000 Psi (60.000 Ib/in2) atau 42 kg/mm2.

1= Menyatakan posisi pengelasan, 1 berarti dapat digunakan untuk pengelasan

semua posisi.

3 = Jenis selaput elektroda Rutil-Kalium dan pengelasan dengan arus AC atau

DC.
Elektroda digunakan dalam pengelasan las busur listrik sebagai

sumber panas dan bahan tambah untuk menyambukngkan dua atau lebih

logam dengan melihat kriteria dan jenis logam yang akan dilas.

2.2.4. Baja Karbon

Baja karbon adalah paduan antara Fe dan C dengan kadar C

sampai 2,14%. Sifatsifat mekanik baja karbon tergantung dari kadar C yang

dikandungnya. Setiap baja termasuk baja karbon sebenarnya adalah paduan

multi komponen yang disamping Fe selalu mengandung unsur-unsur lain

seperti Mn, Si, S, P, N, H, yang dapat mempengaruhi sifat-sifatnya. Baja

karbon dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian menurut kadar karbon yang

dikandungnya.

Menurut Jasman, dkk (2016: 1) sifat baja sangat dipengaruhi

kadar karbon, sebenarnya yang mempengaruhi sifat baja bukan kadar karbon

sendiri tetapi stuktur mikronya, baja dengan komposisi kimia yang sama dapat

mempunyai sifat sangat berbeda bila struktur mikronya berbeda.

Unsur-unsur yang terkandung dalam baja akan mempengaruhi sifat-

sifat mekanis dan fisis dari baja yang bersangkutan. Jenis-jenis baja umumnya

ditentukan berdasarkan kandungan unsur karbon yang terkandung dalam

material baja tersebut (Saputra Hendi.dkk,2014). tiga kelompok baja bila

ditinjau dari jumlah kandungan karbon yang terdapat dalam strukturnya, yaitu:
a) Baja karbon tinggi adalah baja dengan kandungan karbon 0,70

% – 1,70 %.

b) Baja karbon menengah adalah baja dengan kandungan karbon

0,31 % - 0,70 %.

c) Baja karbon rendah adalah baja dengan kandungan karbon

0,04 % - 0,30 %.

Baja karbon dapat disimpulkan dengan baja dengan kandungan karbon

dimana semakin tinggi kandungan karbon didalam baja berpengaruh terhadap

sifat mekanik baja.

2.2.5. Struktur Mikro

Menurut A.S Muhroni dan B.H Kembaren (2013) struktur mikro adalah

struktur terkecil yang terdapat dalam suatu bahan yang keberadaannya tidak

dapat dilihat dengan mata telanjang, tetapi harus menggunakan alat pengamat

struktur mikro diantaranya: mikroskop cahaya, microscope electron,

microscope field ion, microscope fiel emission, dan mikroskop sinar-X.

Sedangkan menurut Fadhilah (2016 : 4) mikrostruktur adalah kumpulan fasa-

fasa dan stuktur yang ada di logam yang sudah diamati dengan metode

metalografi.
Menurut Anggoro (2017: 14) struktur mikro dapat diperoleh dari

Proses yang berhubungan dengan panas yang tinggi menggunakan pengelasan

atau perlakuan panas (heat treatment) akan meenyebabkan struktur dari baja

tersebut berubah dan berbeda dari sebelum dilakukan pemanasan hingga

setelah dilakukan pemanasan.

Tingkat perubahan mikro struktur yang terjadi disamping dipengaruhi

oleh faktor-faktor dari material yang dilas juga tergantung pada temperatur

maksimum yang dicapai ketika pengelasan, waktu/lamanya temperatur itu

terjadi dan kecepatan pendinginan. Menurut Syahrani,dkk (2018) pada

umumnya struktur mikro yang terjadi tergantung pada komposisi kimia dari

logam induk, kondisi logam induk seperti geometri atau proses pengerjaan

sebelumnya, teknik pengelasan yang diterapkan, serta perlakuan panas yang

diberikan. Pada proses pengelasan, transformasi (austenit) (ferit) merupakan

tahap ya ng paling krusial karena struktur mikro logam las yang berarti juga

sifat-sifat mekanisnya sangat ditentukan pada tahap ini. Menurut Amin (2015:

2) Diantara faktor-faktor yang mempengaruhi transformasi (austenit) ke

(ferit) adalah masukan panas (heat input), komposisi kimia las, kecepatan

pendinginan dan bentuk sambungan las .

Struktur mikro dapat diartikan pula dengan perubahan struktur mikro

suatu bahan karena perlakuan panas yang diperoleh dari proses pengelasan

yang menjadi berubah dari sebelumnya dan hanya bisa dilihat dengan

mikroskop cahaya,elektron dan mikroskop khusus lainnya.

2.2.6. Uji Kekerasan


Kekerasan merupakan salah satu metode yang lebih cepat dan lebih

murah untuk menentukan sifat mekanik suatu material. Menurut Kumayasari

dan Sultoni (2017 : 85) Kekerasan bukanlah konstanta fisika, nilainya tidak

hanya bergantung pada material yang diuji, namun juga dipengaruhi oleh

metode pengujiannya. Apabila metode pengujian yang digunakan berbeda,

maka hasil dari sifat mekanisnya pun akan berbeda.

Dalam dunia industri,uji kekerasan suatu benda sangatlah diperlukan

dengan tujuan mengetahui batasan-batasan dari benda tersebut. Untuk

mengetahui kekerasan suatu benda/bahan. Hardness test merupakan uji NDT

(Non Destructive test) dimana pada pengujian ini dapat diketahui suatu nilai

kekerasan pada sebuah material/spesimen uji (Furqon, et al., 2016: 23).

Menurut A.S Mohruni dan B.H kembaren (2014) Pengujian kekerasan

dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu metode goresan (scratch

hardness), metode pantul (rebound), dan metode penekanan(indentation

hardness). Salah satu metode menggunaan indentor pada uji kekerasan adalah

uji kekerasan Rockwell. Menurut Putra (2018: 3) Pengujian kekerasan

rockwell cocok untuk suatu material yang keras atau lunak, penggunaannya

sederhana dan penekanannya dapat dengan leluasa. Pengujian kekerasan

Rockwell didasarkan pada kedalaman masuknya penekan benda uji (Rizal dan

Ismardi, 2014:140).

Prinsip dasar yang digunakan pada metode penekanan.sebagai ukuran

kekerasan adalah ketahanan bahan terhadap deformasi plastis. Menurut

Trihutomo (2014 : 83) Kekerasan suatu material harus diketahui, khususnya


untuk material yang dalam penggunaannya akan mengalami pergesekan

(frictional force) dan deformasi plastis.

Menurut Syahrani, dkk (2018), hardness atau kekerasan merupakan

ketahanan suatu material (baja karbon) terhadap penetrasi atau daya tembus

dari bahan lain yang lebih keras ( Penetrator ). Kekerasan merupakan suatu

sifat dari bahan yang banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur paduannya.

Sedangkan menurut Widodo dan Suheni (2016: 48), Kekerasan sering

dinyatakan sebagai kemampuan untuk menahan indentasi/penetrasi/ abrasi.

Dari beberapa pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa kekerasan

adalah, metode untuk mengetahui sifat mekanis suatu material dengan melihat

kemampuan indentasi dari bahan yang lain yang memiliki sifat mekanis lebih

keras.
BAB III

METODE PENELITIAN

Untuk memperoleh data yang akan mengungkap permasalahan yang akan

diselesaikan,perlu adanya suatu metode dalam penelitian tersebut. Salah satu metode

penelitian yaitu penelitian eksperimen. Seperti yang dijelaskan oleh Sugiyono (2015)

penelitian eksperimen merupakan penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh

dari perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi terkendalikan.

3.1 Waktu dan tempat pelaksanaan

Untuk memperlancar dan memudahkan dalam proses penelitian, maka

waktu dan tempat pelaksanaan penelitian direncanakan terlebih dahulu, adapunwaktu

dan tempat pelaksanaan sebagai beriukt :

3.1.1 Waktu

Waktu penelitian dilaksanakan pada 30 oktober – 1 desember

2019

3.1.2 Tempat
Tempat penelitian dilakukan di laboratorium Teknik Mesin ,

Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang

Anda mungkin juga menyukai