PENDAHULUAN
We Shape Our Buildings
And Afterwards Our Buildings Shape Us.
Winston Churchill,1942
Dalam Beberapa Dekade Belakangan Ini, Hubungan Antara Perilaku Manusia Dan Lingkungan
Fisik Telah Menarik Perhatian Para Peneliti Dari Ilmu Sosial Ataupun Para Professional Di Bidang
Perancanaan Aritektur, Perencanaan Kota, Regional, Dan Lanskap
Kata Periaku Menunjukan Manusia Dalam Aksinya, Berkaitan Dengan Semua Aktivitas Manusia
Secara Fisik; Berupa Interaksi Manusia Dengan Sesamanya Ataupun Dengan Lingkungan Fisiknya.
Di Sisi Lain, Desain Arsitektur Akan Menghasilkan Suatu Bentuk Fisik Yang Bisa Dilihat Dan Bisa
Dipegang. Karena Itu,Hasil Desain Arsitektur Dapat Menjadi Salah Satu Fasilitator Terjadinya
Perilaku, Namun Juga Bisa Menjadi Penghalang Terjadi Perilaku.
Kebiasan Mental Dan Sikap Perilaku Seseorang Dipengaruhi Oleh Lingkungan Fisiknya. Drucker
(1969) Mengindikasikan Bawah” Sebagian Besar Yang Kita Lihat Adalah Sesuatu Yang Ingin Kita
Lihat.” Sementara Von Forester (1973) Menulis Bawah “Apa Yang Kita Bentuk Dalam Pikiran,
Itulah Realitas Yang Kita Perhitungkan.” Namun, Realitas Itu Tidak Selalu Seperti Yang Diinginkan.
Apa Yang Dibayangkan Dalam Imajinasi Arsitek Pada Proses Perancangan Mungkin Akan
Menghasilkan Akibat Yang Berbeda Pada Saat Atau Setelah Proses Penghunian.
Penandaan Lingkungan Yang Dilakukan Arsitek Melalui Karyanya Dapat Diinterpretasikan
Secara Berbeda Oleh Para Penggunanya. Misalnya, Bangunan Yang Dirancang Dengan Diding
Kaca, Tanpa Tanda-Tanda Apapun,-Yang Diharapkan Arsitek Dapat Membentuk Kesan Ruang
Dalam Yang Luas, Atau Membentuk Kesan Bersatu Dengan Ruang Luar Tanpa Batas-, Telah
Mengakibatkan Puluan Ribu Orang Terluka Karena Membentuknya. Akibat Ini Tentu Bukan
Merupakan Akibat Yang Yang Di Harapkan Oleh Arsitek Perancangannya.
Rencangan Yang Dianggap Baik Oleh Perancang, Mungkin Saja Diterima Penggunanya Sebagai
Llingkungan Yang Dingin, Memboankan Bakhan Tidak Ramah. Oleh Karena Itu, Dibutukan
Perpaduan Antara Imajinasi Dan Pertimbangan Akal Sehat Dari Arsitek. Setiap Kali Merancang,
Arsitek Membuat Asumsi-Asumsi Tentang Kebutuhan Manusia, Membuat Pikiran Aktivitas Dan
Atau Pikiraan Bagaimana Manusia Berperilaku, Bagaimana Manusia Bergerak Dalam
Lingkungannya. Kemudian, Arsitek Memutuskan Bagaimana Lingkungan Tersebut Akan Dapat
Melayani Manusia Pemakai Sebaik Mungkin. Yang Harus Di Pertimbangkan Tidak Hanya Melayani
Kebutuhan Pemakai Secara Fungsional, Rasional, Ekonomis, Dan Dapat Dipertanggungjawabkan,
Tetapi Lingkungan Juga Juga Harus Dapat Mengakomodasi Kebutukhan Pengguna Akan Ekspresi
Emosionalnya Termasuk Bersosialisasi Denagan Eama.
Dengan Premis Daar Bahwa Perancangan Arsitektur Ditunjukan Untuk Manusia Maka Untuk
Mendaptkan Perancangan Yang Baik Arsitek Perlu Mengerti Apa Yang Menjadi Kebutuhan
Manusia. Atau Dengan Perkataan Lain, Mengerti Perihal Perilaku Manusia Dalam Arti Luas.
Beragam Contoh Yang Ada Disekitar Kita Memperlihatkan Bagaimana Akibat Dari Desain Yang
Kurang Memperhatikan
Bagi Desain Arsitektur, Daftar Kebutuhan Ini Dapat Dipakai Untuk Mengetahui Sejauh Mana
Setiap Amenity Atau Fasilitas Desain Dapat Memberikan Kepuasan Bagi Pemenuhan Kebutuhan
Manusia Penggunanya. Kebutuhan Dasar Mana Yang Dapat Terpenuhui? Karena Itu, Diperlukan
Jika Kita Mengikuti Hierarki Kebutuhan Dasar Manusia Tersebut, Lihatlah Dimana Estetika
Menepati Urutannya, Apakah Tempat Teratas? Kebanyakan Perancang Menempatkan Estetika Pada
Urutan Pertama Dalam Petimbangan Desainnya. Padahal, Apabila Ditelaah Lebih Jauh Bagi Si
Pengguna, Belum Tentu Estetika Ini Menjadi Urutan Pertama Kebutuhan Yang Harus Di
Penuhuinya.
Karena Itu, Tidaklah Mengherankan Apabila Uatu Karya Arsitektur Di Gunakan Tidak Sesuai
Dengan Imajinasi Arsitek. Misalnya, Di Daerah Hunian Yang Terkenal Rawan Kriminalitas. Orang
Akan Memangkas Taman Agar Mempunyai Pandangan Yang Bebas Ke Berbagai Arah Demi
Kemanan Daripada Memikirkan Tatanan Pepohonan Untuk Membentuk Kompesisi Tertentu Dengan
Aneka Warna Bunga, Ataupun Membebtuk Ruang Dengan Uaana Romantis. Seorang Pemilik
Bengkel Motor Akan Mengutamakan Bengkelnya Terlihat Oleh Calon Pelangganya Dengan Jelas
Daripada Sekedar Mempertahankan Kerapian Visualnya.
Yang Haru Diperhatikan Dalam Desain Adalah Titik Memaksakan Pemuasan Estetika Ebagai
Kebutuhan Dasar, Tetapi Lebih Mempertimbangkan Keindahan Sebagai Uatu Peryaratan Deain
Yang Baik. Seperti Contoh Sebelumnya, Darah Hunian Bisa Dirancang Dengan Indah Tanpa Harus
Mengorbankan Keamanan. Bengkel Motor Dapat Didesain Dengan Bentuk Visual Yang Baik Dan
Tetap Terlihat Sebagai Bengkel Motor.
Untuk Memutukan Perhatian Mengenai Hierarki Kebutuhan Manusia, Dalam Perancangan,
Arsitek Harus Berpikir Akan Kebutuhan Pengguna Dan Bukan Kebutuhan Manusia Secara Umum.
Dalam Suatu Artikelnya Mengenai Tendensi Rekreasi Pada Tingkat Lingkungan Perumahan,
Seymour Gold Mengkaji Mengapa Banyak Taman Bermain Dalam Kompleks Perumahan Tidak
Dipakai. Biasanya Perancang Memakai Standar Atau Peraturan Tata Kota Yang Ada Dalam
Mentukan Jumlah Dan Lokasi Tempat Bermain. Misalnya, Untuk Sebua Kawasan Permukiman
Dengan Luas 7-10 Ha, Diperlukan Sebua Taman Bermain Anak-Anak. Kemudian, Ditempatkan
Sebuah Taman Bermain Di Tenggah Kawasan Yang Dianggap Terpusat Dan Dapat Dijangkau Dari
Jarak Yang Kurang Lebih Sama Jauhnya. Menggapa Tidak Dibuat Terbesar? Menggapa Harus
Disentralisasikan?
Berbagai Alasan Umum Kemudian Ditemukan, Seperti Meningkatnya Biaya Apabila Taman
Dibuat Terebar. Padahal, Mengapa Orang Harus Mengeluarkan Biayauntuk Taman Bermain Yang
Tidak Terpakai? Apah Sesunggunya Tujuan Membuat Taman Bermain Itu? Atau Alasan Lain
Seperti Kebisingan Yang Menyebar Apabila Terdapat Tamn Bermain Dimana-Mana, Tidak
Terpusat. Padahal, Bukankah Ada Orang Yang Suka Menikmati Dan Mendengar Suara Kecerian
Anak-Anak Bermain? Apabila Kita Mengerti Polah Bermain Anak-Anak, Mungkin Desain
Lingkungan Itu Menjadi Lain.
Sesuai Dengan Penelitian Clara Cooper, Banyak Anak Justru Menyukai Saat-Saat Bermain Dalam
Priode Waktu Yang Pendek, Seperti Diantara Waktu Pulang Sekolah Dan Waktu Makan, Atau
Beberapa Saat Sebelum Hari Menjadi Gelap Sebelum Makan Malam. Mereka Bermain Dilapangan
Kosong Di Sekitar Rumah, Didepan Rumah, Atau Trotoar Muka Rumah. Anak-Anak Tentu Tidak
Bodoh Untuk Pergi Jauh Ketaman Bermain Hanya Untuk Bermain Sejenak. Para Orang Pun Merasa
Lebih Tenang Karena Dapat Mengawasi Anak-Anaknya Bermain Disekitar Rumah Tanpah Harus
Mengkhususkan Diri Pergi Ke Tempat Bermain Yang Jauh Dari Rumah.
Arsitek Yang Berasal Dari Lingkungan Budaya Yang Berbeda Dengan Kliennya, Atau Karena
Lingkungan Pendidikan Yang Dialaminy, Mungkin Mempunyai Perfernsi Yang Berbeda Dengan
Belakangan Ini Ada Cukup Banyak Perhatian Dan Minat Untuk Mempelajari Lingkungan Yang
Humanis, Mempelajari Interaksi Manusia Dengan Lingkungan Dalam Arti Luas Sebagai Suatu
Ekologi Total, Yang Mencakup Lingkungan Alami Atau Buatan. Penelitian Pun Banyak Dilakukan
Oleh Parah Alhi Ilmu Perilaku Ataupun Perancang Lingkungan Dan Arsitek Yang Mempelajari
Interaksi Antara Manusia Dan Lingkungannya. Pendidikan Tinggi Jurusan Arsitektur Juga Mulai
Menaruh Perhatian Pada Perilaku Manusia Dalam Bangunan. Beberapa Sekolah Arsitektur, Bakhan
Mengganti Namanya Menjadi Sekolah Desain Lingkungan.
Manusia Dalam Ekosistem Relatif Mempunyai Peran Yang Angat Kecil Karena Banyak Sekali
Perubahan Terjadi Di Dalam Ekosistim Tersebut Justru Berbeda Diluar Campur Tangan Manusia.
Akan Tetapi, Manusia Dapat Menjadi Sumber Masalah Karena Manusia Selalu Menginkan Yang
Terbaik Bagi Dirinya Sendiri (Sikap Antroposentris) Dan Dalam Jangka Panjang Dapat Merugikan
Sesama Manusia Dan Atau Lingkungan Fisiknya.
Dalam Usaha Mengartikulasikan Nilai-Nilai Sosial Dan Humanis Ini, Berkembanglah Studi
Perilaku Lingkungan Yang Mempelajari Secara Lebih Khusus Interaksi Antara Perilaku Manusia
Dan Lingkungan Fisiknya. Agar Kita Dapat Menganalisis, Memjelaskan, Meramalkan, Dan Jika
Architects Today Are Too Educated To Be Either Primitive Or Totally Spontaneous, And Architecture
Is Too Complex To Be Approached With Cerefully Maintained Ignorance.
Robert Venturi,1996
Arsitektur Merupakan Sintesis Integral Antara Teori Dan Praktek. Teori Arsitektur Tidak Bisa Di
Lepaskan Dari Dunia Nyata, Baik Dunia Yang Merupakan Lingkungan Fisik Maupun Berupa
Lingkungan Kehidupan Intelektual Manusia. Untuk Mempelajari Dan Mengerti Kondisi Yang Ada
Diperlukan Teori. Sebaliknya, Agar Teori Tersebut Bisa Mendapatkan Nilai Objektivitasnya Maka
Perkembangannya Haruslah Berpijak Pada Kenyataan Factual Sebagai Data Empirik.
Karena Lingkungan Itu Tidak Hanya Berada Di Dalam Kepala Atau Pikiran Seseorang, Tentu
Akan Sangat Berbahaya Apabila Kita Mengabaikan Dunia Nyata. Memang Lingkungan Yang Ada
Dalam Pikiran Seseorang (Lingkungan Subjektif) Merupakan Hal Penting Dan Dapat Mempengaruhi
Perilaku Seseorang. Lingkungan Subjektif Tersebut Tidak Bersemi Dan Tumbuh Sepenuhnya Hanya
Dalam Benak Seseorang, Tetapi Berkaitan Dengan Dunia Luar Pikirannya. Lingkungan Subjektif Ini
Dapat Di Transformasikan. Akan Tetapi, Yang Akan Di Transformasikan Sesungunya Adalah
Lingkungan Ojektif Yang Sekaligus Berkaitan Erat Dengan Kondisi Di Luar Pikiran Seseorang.
Studi Perilaku-Lingkungan Menaruh Perhatian Pada Proses Transformasi Ini Dan Pada
Mekanisme Hubungan Manusia Dengan Seluruh Lingkungan Yang Terlibat Dalam Proses Tersebut.
Sejauh Mana Dimensi Manusia Telah Menjadi Bahan Pertimbangan Dalam Pembentukan Teori
Arsitektur, Akan Ditinjau Dalam Bab Ini. Para Alhi Dari Kalangan Ilmu Sosial Seperti Antropolog,
Sosiolog, Pikolog, Ataupun Kalangan Profesi Perancang: Arsitek, Perancang Kota Dan Regional,
Perancang Lainskep, Sama-Sama Merasakan Bawah Studi Perilaku-Lingkungan Dapat Membantu
Perancang Dengan Teori, Model, Dan Konsep Untuk Mengerti Interaksi Antara Lingkungan Dan
Manusia Dan Mengerti Desain Arsitektur Dengan Lebih Baik. Model Pengambilan Keputusan Dan
Model Perancangan Sebagai Metodologi Desain Adalah Gambaran Bagaimana Pendekatan Desain
Lingkungan Cybernetics Dan Teori Positif Dari Studi Perilaku-Lingkunganmemberi Konribusi Bagi
Proses Desain Arsitektur Atau Desain Lingkungan. Untuk Itu, Akan Diulas Terlebih Dahulu Latar
Belakang Dan Perkembangan Ilmu Perilaku-Lingkungan.
Ilmu Perilaku (Behavioral Sciences) Adalah Suatu Istilah Bagi Pengelompokan Yang Mempunyai
Cakupan Luas. Termasuk Di Dalamnya Antropologi, Sosiologi, Dan Psikologi. Kadang Kalah Ilmu
Politik Dan Emkonomi Juga Di Golongkan Dalam Kelompok Ilmu Perilaku. Semuanya Adalah
Bidang Ilmu Yang Bertujuan Mengembangkan Pemahaman Mengenai Kegiatan Manusia,Sikap, Dan
Nilai-Nilai.
Dalam Pembahasan Disini, Penekanannya Pada Studi Mengenai Hubungan Manusia Dan
Lingkungan Atau Yang Di Kenal Sebagi Studi Perilaku Lingkungan, Serta Bagaimana
Perkembangan Teori Dan Proses Desain Arsitektur.
Murid-Murid Mereka, Seperti Roger Barker Dan Herbert Wright, Mengembangkan Studi Ini.
Kemudian, Dikenal Dengan Teori Psikologi Ekologis Dan Melahirkan Konsep Mengenai Tatar
Perilaku Sebagai Salah Satu Unit Sosiofisik Dalam Skala Kecil Yang Mencakup Aturan-Aturan
Sosial Dan Asspek Ruang Fisik Dalam Kehidupan Sehari-Hari Dan Bentuk Pola Perilaku Tertentu.
Di Berbagai Tempat, Seperti Yang Bisa Temui Di Sebuah Restoran Atau Di Sebuah Pertandingan
Bola. Mekipun Ada Fariasi Dalam Tingkah Laku Individu, Pola Perilaku Yang Terjadi Tetap Sama.
Kemudian, Konsep Ini Dikembangkan Oleh Wicker (1987) Yang Mengatakan Bawah Tatar
Perilaku Ini Bukanlah Suatu Entitas Yang Statis, Melainkan Dilahirkan, Tumbuh, Beradaptasi,
Berjuang, Dan Kemudian Mati.
Pada Akhir Tahun 1950-An, Robert Sommer Dan Humphrey Osmond, Mulai Melakukan
Oerubahan-Perubahan Elemen Fisik Secara Sistimatis Pada Bangunan-Bangunan Di Kanadandan
Melakukan Pengamatan Bagaimana Perubahan Itu Berpengaruh Terhadap Perilaku Manusia. Pada
Masa Itu Pula Robert Sommer Mulai Melakukan Studi Mengenai Ruang Personal (Personal Space).
Di New York, William Ittelson Danharol Prohansky Mengembangkan Psikologi Lingkungan Melalui
Penelitian Perilaku Pasien Di Rumah Sakit Mental.
Program Doctoral Pertama Menggeluti Bidang Ilmu Ini Adalah Di City Univerity Of New York,
Pada Tahun 1975. Sebagai Suatu Pertandingan Bawah Doctor Pertama Di Bidang Psikologi Di
Peroleh Pada Tahun 1861, Sedangkan Psikolog Dari Bidang Psikologi Industri, Suatu Bidang Yang
Menyerupai Psikologi Lingkungan, Lulus Tahun 1921.
Konferensi Pertama Yang Kemudian Melahirkan Psikologi Arsitektur Di Adakan Di Universitas
Utah Tahun 1961 Dan 1966. Kemudian, Mulai Muncul Jurnal Ilmiah Yang Membahas Mengenai
Perilaku Dan Lingkungan (Seperti Jounal Of Environmental Psychology, Sejak 1981, Dan Tahun
1987 Terbit Handbook Of Environmental Pyschology) Dan Bidang Ilmu Ini Semakin Mendapat
Pengakuan Dengan Di Bentuknya Organisasi Perilaku-Lingkungan Yang Rutin Melakukan
Pertemuan Tahunan Sejak Tahun 1969.
ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella
12
Laurens
Dalam Perjalana Perkembangan Ilmu Perilaku-Lingkungan Ini Banyak Di Lakukan Penilitian Dan
Perkembangan Teori Yang Di Anggap Dapat Menjawab Semua Permasalahan Dalam Psikologi
Lingkungan. Berbagai Model Tawaran Untuk Menggambarkan Kompleksitas Hubungan Manusia
Dengan Lingkungannya. Salah Satu Model Tersebut Sebagai Berikut.
Dalam Konteks Kekuatan Politik, Ekonomi, Dan Sejarah Seseorang Memasuki Sebuah Setting
(Dalam Model Di Atas Tidak Tergambarkan Adanya Kekuatan Politik, Ekonomi, Dan Sejarah).
Kunjungan Ini Dapat Berupa Kunjungan Singkat Seperti Berjalan Melintasi Sebuah Taman Atupun
Kunjungan Yang Berlangsung Lama, Seperti Tinggal Dalam Kawasan Pemukiman. Karaktristik
Individu (M), Kualitas Setting (S), Dan Norma Sosial Budaya (Sb) Secara Bersama-Sama
Mempengaruhi Rencana Seseorang Ketika Memasuki Setting Dan Juga Apa Yang Akan Terjadi
Didalamnya.
Dalam Setting, Seseorang Berperilaku (Misalnya Menghayati, Berinteraksi), Berpikir ( Misalnya
Mengenali, Mengumpulkan, Informasi, Menghitung) Dan Mersa (Misalnya Gembira, Bersemangat,
Tenang), Dalam Keadaan Sehat Atau Secara Fisik Sakit. Hasil Dari Transaksi Dalam Setting Dapat
Berlangsung Ataupun Tidak Langsung Terlihat. Seseorang Dapat Menjadi Lebih Baik (Misalnya
Lebih Gembira, Lebih Terampil) Atau Menjadi Lebih Buruk (Misalnya, Menjadi Sedih, Stress, Atau
Menjadi Sakit). Kadang Kalah Tidak Hanya Manusianya Yang Terpengaruh, Tetapi Juga Setting-
Nya Dipengaruhi Oleh Kehadiran Manusia, Misalnya Perubahan-Perubahan Fisik Yang Di Buat
Manusia.
Sasaran Dari Psikologi Lingkungan Adalah Menggerti Semua Transaksi Ini Dan Memperbaiki
Hasil Transaksi Ini Bagi Manusia Ataupun Bagi Lingkungannya. Secara Garis Besar Terdapat Dua
Kategori Teori Dalam Studi Ini. Kategori Pertama Memusatkan Pada Stimulasi Dan Kategori Kedua
Pada Kendali.
Teori Stimulasi Menyatakan Bawah Lingkungan Fisik Sebagai Sumber Informasi Sensori
Yang Sangat Penting Bagi Manusia, Sedangkan Teori Kendali Mengutamakan Pentingnya
Pertimbangan Terhadap Besarnya Kendali Yang Dimiliki Seseorang Terhadap Stimulasi
Lingkungan.
Melalui Kajian Tersebut Di Harapkan Hasil Studi Perilaku Lingkungan Dapat Menjadi Paduan
Desain Untuk Meningkatkan Kualitas Desain Pada Tipe Tatanan Tertentu Dan Untuk Kelompok
Pengguna Tertentu Tidak Terlepas Dari Proses Desain Dan Teori Arsitektur Yang Mendasarinya.
Bahasan Mengenai Arsitektur Sering Kali Dimulai Dengan Anggapan Bawah Ada Kesepakatan
Atau Kesaman Pengertian Di Antara Semua Pihak Mengenai Arti Arsitektur. Mencari Defenisi Yang
Baku Bagi Istilah Arsitektur Hanya Akan Memunculkan Aphorisme, Suatu Batasan Yang Sempit,
Atau Pelajaran Sedemikian Panjang Lebar Yang Pada Akhirnay Tidak Menjelaskan Apa-Apa. Untuk
Mendapatkan Kesamaan Pengertiantentang Arsitektur Dalam Pembahasan Studi Perilaku-
Lingkungan, Berikut Akan Diulas Secara Singkat Pengertian Tersebut.
1. Pengertian Arsitektur
Arsitektur Adalah Kristalisasi Dari Pandangan Hidup Sehingga Arsitektur Bukan Semata-Mata
Teknik Dan Estetika Bangunan, Atau Terpecah-Pecah Menjadi Kelompok-Kelompok Seperti Ranah
Keteknikan, Rana Seni, Atau Ranah Sosial Meskipun Yang Menjadi Ranah Dalam Praktik Profesi
Perancang Adalah Matrialisasi Dari Kehidupan – Diamana Bentuk Arsitektur Di Jesakan Melalui
Spesifikasi Elemen-Elemen Strukturnya, Bahan, Ukuran Permukan, Dan Sudut-Sudutnya, Karena
Melalui Spesifikasi Inilah Kontraktor Pelaksanaan Dapat Mewujudkan Sebuah Desain Arsitektur
Tidak Dapat Hanya Di Artikan Sebagai Produk, Tetapi Juga Suatu Proses.
Arsitektur Tidak Seperti Bidang Seni Lainya Hadir Dalam Realitas Sehari-Hari. Arsitektur
Adalah Ruang Fisik Untuk Aktivitas Manusia, Yang Memungkinkan Pergerakan Manusia Dari Satu
Ruang Ke Ruang Lainya, Yang Menciptakan Tekanan Antara Ruang Dalam Banguna Dan Ruang
Luar Banggunan Dan Ruang Luar. Namaun, Bentuk Arsitektur Juga Ada Karena Perssepsi Dan
Imajinasi Manusia.
Alexander Mengatakan Bawah Karya Arsitektur Modern Adalah Karya Tidak “Nyata”, Sebab
Dipertanyakan Apakah Orang Ingin Dan Menikmati Dan Tinggal Di Sebuah Rumah Kaca Dan Baja,
Atau Semua Itu Lebi Sebagai Usaha Untuk Membuktikan Bawah Ia Menggerti Arsitektur Modern?
Dalam Munculnya Arsitektur Post-Modern, Meningkatlah Kepedulian Akan Nuansa Simbolis
Dari Lingkungan Binaan. Tetapi, Hanya Ada Sedikit Kepedulian Terhadap Hal-Hal Kemanusian
Atau Bagaiman Orang Mengalami Makna-Makna Simbolis Dari Lingkungan Di Sekitarnya, Atau
Apa Pentingnya Makna Tersebut Bagi Masyarakat Pengguna. Berbagai Kritik Yang Muncul Dalam
Beberapa Dekade Terakhir Ini (Seperti Norberg Schulz 1965; Brolin, 1976; Blake, 1974;
Rossi,1982) Menengarai Lemanya Dasar Teorinya Arsitektur Dari Para Praktisi Arsitektur,
Lemahnya Pengetahuan Mereka Menggenai Hubungan Lingkungan Dengan Perilaku Manusia
Berpengaruh Pada Karya Desain Mereka (Sommer,1974; Amos,1989).
Kurangnya Modal Manusia Sebagai Dasar Bagi Idiologi Arsitektur Mengakibatkan Munculnya
Kesalahpahaman Mengenai Hubungan Antara Manusia Dan Lingkungannya. Dalam Desain Di
Kenal Hubungan Berdasarkan Model Hubungan Stimulus-Respons(S-R) Antara Lingkungan Dan
Perilaku Manusia. Dalam Model Ini Lingkungan Dianggap Sebagai Stimulus Dan Perilaku Manusia
Sebagai Respons. Akibatnya, Timbul Anggapan Seakan-Akan Arsitektur Dapat Secara Langsung
Menetukan Perilaku Manusia Melali Bentuk Desain.
Anggapan Ini Merupakan Suatu Kesimpulan Yang Kelirukarena Dalam Hal Ini Organisasi Sosial
Tidak Diperhitungkan Sama Sekali. Jika Pun Diperhitungkan, Dianggap Sebagai Suatu Yang Pasti
Dan Menetap. Sesungunya, Arsitektur Menciptakan Suasana, Membentuk Ruangankegiatan, Yang
Menjadi Salah Satu Fasilitator Atau Penghalang Perilaku.
Kini Telah Banyak Di Sadari Bawah Variable Sosial Lebih Berperan Dari Pada Factor Arsitektur
Dalam Pembentukan Pola Sosial. Jelaslah Bawah Kemungkinan Perilaku Manusia- Spasial, Kognitif,
Ayaupun Emosyonal-Merupakan Suatu Fungsi Yang Kompleks Dari Kebiasan Dan Maksud
Seseorang. Seperti Juga Halnya Factor Lain Yang Lain Yang Dianggap Pemicu Perilaku Seseorang.
C. PENDEKATAN DESAIN
Fokus Dari Teori Arsitektur Secara Tradisyonal Adalah Pada Hubungan Antara Arsitek Dan
Artefak Yang Di Dirancangnya, Antara Seorang Perancang Dan Rancangnya Artinya, Lebih
Berdasarkan Idiologi Dan Tastamen Individual Dari Si Arsitek Itu Sendiri Dari Pada Berdasarkan
Hubungan Antara Manusia (Baik Sebagai Individu-Individu Maupun Secara Umum) Dan
Lingkungannya. Robert Gutman (1972) Mengatakan, Teori Arsitektur Biasanya Berarti
“…Seperangkap Prinsip Yang Memadu Arsitek Dalam Memadu Arsitek Dalam Mengambil Keputusan Mengenai
Masalah Yang Kompleks Yang Muncul Dalam Usaha Menerjemakan Tuntutan Desain Menjadi Bangunan. ”
Dengan Demikian, Dapat Dikatakan Bawah Teori Arsitektur Leih Mengutamakan Suatu System
Logika Yang Menggambarkan Keterkaitan Antara Komponen-Komponen Lingkungan Dari Pada
Mengenai Pengalaman Manusia. Jika Pengalaman Dibatalkan, Yang Lebih Berperan Adalah
Pengalaman Pribadi Si Perancang.
Fokus Tidak Ditunjukan Pada Pengertian Bagaimana Lingkungan Tersebut Diterima, Apa Makna
Simbolis Ataupun Konkret Bagi Setiap Orang,Ataupun Peluang-Peluang Apa Yang Ungkin Diteriam
Oleh Setiap Manusia Yang Berbeda-Beda. Pengetahuan Mengenai Perilaku Manusia, Tatanilainya,
Dan Aspirasinya Belum Menjadi Bagian Penting Dalam Pementukan Teori Arsitektur.
Dari Usulan Mengenai Focus Teori Arsitektur Tersebut, Perubahan Atau Perkembangan Teori
Arsitektur Dan Pengambilan Keputusan Desain Harus Mempertimbangkan Manusia Sebagai Suatu
Entitas Spiritual, Bukan Hanya Sebagai Entitas Fisik, Agar Hasil Desain Dapat Mencapai Sassaran
Yang Dituju. Seperti Halnya Untuk Mengerti Sebuah Jkarya Seni, Orang Harus Menyadari
Hubungan Antara Bentuk Dan Maknanya Karena Ekspresi Terkandung Dalam Bentuk.
1. Cybernetics
System Pendekatan Desain Lingkungan Sibernetik (Cybernetics) Menekankan Perlunya
Mempertimbangkan Kualitas Lingkungan Yang Di Hayati Oleh Pengguna Dan Pnegarunya Bagi
Pengguna Lingkungan Tersebut. Pendekatan Ini Secara Holistic Mengaitkan Berbagai Fenomena
Yang Mempengaruhi Hubungan Antara Manusia Dan Hubungannya, Termasuk Lingkungan Fisik
Fisik Dan Sosial Seperti. Seperti Halnya Makhluk Hidup Lain Manusia Mencari Keseimbangan
Dalam Lingkungan Yang Dinamis Dan Selalu Berubah-Ubah Itu.
Desain Lingkungan Sibernetik Ini Dapat Menjadi Wahana Untuk Mengubah Dampak Negatif
Dari Perencanaan Lingkungan Yang Berwawasan Sempit, Menjadi Lingkungan Yang Dapat
Mempunyai Kualitas Sebagai Ruang Tempat Behuni Yang Nyaman.
Foerstar (1985) Menjelaskan Bawah Dalam System Pendekatan Sibernetik Yang Merupakan
Pendekatan Multidisiplin, Dibuat Evualuasi Perbandingan Antara Apa Yang Dihayati Atau Di Alami
Tujuan Pembedaan Ini Untuk Mengetahui Seinci Mungkin Kebutuhan Lingkungan Yang Harys
Di Penuhi, Yaitu Dengan Mengetahui Bagaimana Pribadi Yang Berbeda Beraksi Berbeda Pulah
Terhadap Lingkungan Yang Beragam (Misalnya Perbedaan Perilaku Penghuni Dan Pengunjung
Sebuah Apertemen Bertingkat Banyak Dengan Sebuah Rumah Tinggal). Bagaimana Kombinasi
Tertentu Antaraindividu Dan Setting-Nya (Misalnya, Anak-Anak Yang Bekunjung Ke Sebuah
Apertemen Bertingkat Banyak) Berinteraksi Menghasilkan Berbagai Pola Perilaku Tertentu.
Dengan Demikian, Kerangka Penghunian Ini Dapat Menghubungkan Lingkungan Fisik Dan
Manusia Pengguna Dan Kebutuhanya Seara Lebih Tepat Atau Lebih Sesuai
2. Teori Positif
Teori Pasif Mencakup Pengertian Tentang Lingkungan Dan Perannya Bagi Kehidupan Manusia.
Pembentukan Teori Sendiri Lebih Dari Sekedar Membuat Uraian, Termasuk Didalamnya Adalah
Penjelasan. Seperti Dikatakan Amos(1994),
“…Thus Real I.E. Explanatory, Theory I Essential Not Only For Intellectual Reason, But Also Because It Is The Most
Practical Thing There Is.”
Teori Positif Merupakan Suatu Proses Kreatif Yang Mencakup Pembentukan Struktur
Konseptual, Baik Untuk Menata Maupun Untuk Menjelaskan Hasil Suatu Pengamatan. Tujuannya
D. PROSES DESAIN
Pendekatan Desain Yang Ada Dewasa Ini Mewarisi Tradisi Beaux Arts, Yaitu Sebagian Besar
Adalah Intutif, Tidak Terstruktur Berorientasi Pada Solusi. Pedekatan Ini Memang Memicu Pikiran
Yang Divergen Dan Dapat Menghasilkan Solusi Desain Yang Inovatif. Akan Tetapi, Juga
Meningkatkan Kemungkinan Penyelesaian Masalah Yang Keliru.
Untuk Mengurangi Kemungkinan Aktifitas Menyelesaikan Masalah Yang Keliru Karena Bukan
Merupakan Masalah Yang Sesunggunya Pada Proyek Yang Bersangkutan, Di Perlukan Suatu
Pengembangan Metode Desain Dengan Tujuan Memberi Perhatian Pada Semua Elemen Masalah
Secara Sistematis. Hal Ini Berarti Mengubah Pendekatan Yang Berorintasi Pada Solusi Menjadi
Pendekatan Yang Berorintasi Pada Masalah Secara Diskriptif, Sebelum Menetapkan Sintesis Solusi.
Model Perancangan Yang Linier Dianggap Tidak Lagi Memadai. Sebalikny, Diperlukan Satu
Siklus Desain Dengan Adanya Umpan Balik Dan Umpan Maju Pada Setiap Tahapan.
Secara Tradisional, Umpan Balik Diperoleh Arssitek Dari Kliennya, Dari Sesama Mitra Kerjanya
Dan Mungkin Dari Sejumlah Pengamat Arsitektur Atau Sekelompok Kecil Masyarakat Dalam
Peluncuran Suatu Karya Arsitektur. Masukan Ini Diperlukan Untuk Proyek Berikutnya. Akan Tetapi,
Jika Hanya Mengandalkan Data Semacam Ini Kurang Memadai Karena Ada Informasi Yang
Terlewatkan, Yaitu Tanggapan Dari Para Pengguna.
Kegagalan Dalam Suatu Desain, Baik Dari Segi Struktur Maupun Masalah Desain, Biasanya
Hanya Menjadi Bahan Diskusi Internal Arsitek Atau Perencanaan. Bahkan Tidak Jarang Seorang
Arsitek Bertindak Sebagai Bank Data Tunggal Untuk Berbagai Informasi Desain. Dalam Proses
Desain Tradisional Terdapat Tiga Pemeran Yaitu Pihak Pemilik, Arsitek, Dan Pemerinta Sebagai
Penentu Kebijaksanaan. Sering Kali Pengguna Banggunan Belum Dilibatkan Sebagai Partisipan
Dalam Seluruh Proses Desain.
Penelitian Menunjukan Bawah Terdapat Perbedaan Substansial Antara Proses Desain Yang Di
Harapkan Oleh Perencana Dan Pproses Desain Yang Sesunggunya Terjadi. Misalnya, Banyaknya
Pengambilan Keputusan Yang Semula Tidak Direncanakan Danternyata Ikut Berperan Selama
Proses Desain; Keputusan Desain Sebelum Pelaksanaan Banyak Merupakan Hasil Kompromi
1. Model Pengambilan
Pengambilan Keputusan Dalam Perancangan Merupakan Bagian Penting. Ada Beberapa Model
Yang Bisa Dipakai Para Arsitek Dan Perencana. Namun, Terdapat Model Yang Berlaku Secara
Umum (Skema 2.8). Proses Ini Melibatkan Beberapa Tahap, Yaitu Tahap Analisis Untuk
Mengidentifikasi Dan Memahami Masalah Yang Ada; Tahap Desain Atau Pembuatan Alternative
Dan Evaluasi Solusi Desain; Tahap Pilihan, Yaitu Tahap Untuk Pemilihan Alternatif.
Model Pengambilan Keputusan Tidak Dapat Dianggap Sepenunya Linier Ataupun Sepenunya
Siklis Karena Terdapat Interaksi Antar Tahapan Yang Perlu Dipertimbangkan. Masing-Masing
Tahapmterdiri Atas Analisis, Desain, Dan Pemilihan. Artinya Pada Setiap Tahap Itu Terdapat Proses
Pengambilan Keputusan.
2. Model Perancangan
Apa Bila Disadari Bawah Masalah Yang Sering Kali Timbul Pada Desain Karena Kurangnya
Perhatian Pada Kebutuhan Pengguna Atau Terlalu Banyaknya Pertimbangan Diberikan Bagi
Ekspresi Diri Sang Arsitek, Diperlukan Pendekatan Komprehensif Dalam Analisis Dan Sintesis.
Pada Model Proses Desain Berikut Ini (Skema2.9) Terlihat Perlunya Dibuat Beberapa Kelompok
Aktivitas Dalam Proses Desain Untuk Menghindari Terjadinya Kegagalan Banguan.
b. Tahap Desain
Adalah Tahap Sintesis Yang Kompleks Dan Aktif. Suatu Proses Konseptualisasi. Terdapat Dua
Pendekatan Dalam Proses Sintesis Ini. Pertama, Pendekatan Desain Berdasarkan Kebiasaan Dan
Kedua Pendekatan Yang Melibatkan Usaha Kreatif. Karena Persyaratan Desain Sering Kali
Kontradiktif, Usaha Kreatif Sangat Diperlukan. Perencana Harus Dapat Menekankan Sasaran Dan
Tujuan Dari Masing-Masing Kelompok Yang Terkait. Tahap Desain Dimulai Dengan Analisis
Mengenai System Dan Komponen Program Dan Mengorganisasikannya Kedalam Suatu Daftar
Hierarki Kepentingan.
Untuk Pada Sosialisasi, Seseorang Arsitek Membutukan Loncatan Kreativitas. Arsitek Yang
Kreatif Sering Kali Melihat Adanya Serangkaian Affordances, Dan Melihat Struktur Masalah
c. Tahap Pilihan
Tahap Ini Meliputi Evaluasi Sosialisasi Dan Keputusan Tantang Alternatif Desain Yang Sesuai
Dengan Persyaratan Dan Yang Tidak Sesuai Dengan Kebutuhan. Apabila Ternyata Tidak Ada
Alternatif Yang Sesuai Maka Proses Berikutnya Harus Kembali Ke Tahap Analisis Atau Desain.
Evaluasi Dan Pilihan Desain Yang Baik Bergantung Pada Preiksi Dan Pengertian Tentang Pengguna
Dan Perkembangannya.
Penampilan Desain Dapat Dievaluasi Dengan Beberapa Cara. Pertama, Secara Tradisyonal
Berdasarkan Logika. Kedua, Melalui Eksperimen Yang Hanya Berlaku Untuk Konstruksi Prototype.
Ketiga, Melalui Simulasi. Yang Terakhir Ini Biasanya Hanya Berupa Potongan Desain Saja.
d. Tahap Implementasi
Bisanya Tahap Ini Menjadi Tidak Terlalu Penting Lagi Apabila Pada Tahap Sebelumnya, Yaitu
Tahap Analisis, Desain, Dan Pilihan Telah Dijalankan Dengan Baik. Namun, Mengenal Perilaku
Dan Komunikasi Diantara Pihak Terkait Dalam Proses Desain Tetap Penting Seperti Mengenal
Siapa Pengguna Dan Bagaiman Pengguna Dari Hasil Desain.
e. Tahapan Evaluasi
Produk Dan Proses Biasanya Merupakan Tahapan Yang Diabaikan Oleh Arsitek. Namun, Dengan
Berkembangnya Minat Dan Perhatian Arsitek Terhadap Kepuasan Pengguna, Kini Semakin Banyak
Dilakukan Penelitian Pascapenghunian.
Pengguna Model Desain Ini Memberi Keuntungan, Antara Lain Memungkinkan Arsitek Untuk
Mengerti, Menstrukturisasi, Dan Memeriksa Desainya Sendiri Sehingga Arsitek Dapat Mengetahui
Kapan Ia Bebas Mengekspresikan Diri Dan Kapan Ia Terikat Pada Persyaratan Tertentu.
Dengan Cara Ini, Arsitek Juga Dapat Menghayati Keterbatasan Pengetahuannya Mengenai
Hubungan Antara Manusia Dan Lingkungan. Hal Ini Dapat Menjadi Masukan Bagi Studi Perilaku-
Lingkungan Untuk Melakukan Penelitian Mana Yang Menjadi Minat Arsitek. Melalui Model Ini
Maka Pendekatan Desain Tidak Lagi Dilakukan Secara Intutatif Semata, Tetapi Dengan Pendekatan
Yang Sadar Dan Eksplisit.
Each Human Being Is Unique, Unprecedented, Unrepeatable. The Species Homo Sapiens Can Be
Described In The Lifeless Words Of Physics And Chemistry, But Not The Men Of Flesh And Bone.
We Recognize Him As A Unique Person By His Voice, His Facial Expressions, And The Way He
Walks And Even More By His Creative Response To Surroundings And Events.
Dubois, 1968
Manusia Merupakan Pusat Lingkungan Dan Sekaligus Juga Menjadi Bagian Dari Lingkungan.
Karena Itu, Seorang Individu Dipengaruhi Dan Juga Mempengaruhi Lingkungannya. Keunikan Yang
Dimiliki Setiap Individu Akan Mewarnai Lingkungannya. Sebaliknya, Keunikan Lingkungan Bukan
Hanya Menjadi Wada Manusia Beraktifitas, Melainkan Juga Menjadi Bagian Integral Dari Pola
Perilaku Manusia.
Proses Dan Pola Perilaku Manusia Dikelompokan Ke Dalam Dua Bagian, Yaitu Proses Individual
Dan Proses Sosial. Meskipun Tidak Ada Proses Piskologis Manusia Yang Sama Sekali Terlepas Dari
Lingkunganny, Dalam Pembahasan Proses Individu Pada Bab Ini, Akan Ditelaah Hal-Hal Yang
Dianggap Terjadi Di Dalam Pikiran Seseorang.
Pembahasan Dalam Bab Ini Diawali Dengan Bahasan Tentang Pengertian Lingkungan, Sebagai
Bagian Yang Tidak Terpisakan Dari Penggaruh Dan Yang Mempengaruhi Perilaku Manusia.
Selanjutnya, Pembahasan Proses Individual Meliputi Hal-Hal Sebagai Berikut.
a. Presepsi Lingkungan, Yaitu Proses Bagaiman Manusia Menerima Informasi Mengenai
Lingkungan Sekitarnya Dan Bagaiman Informasi Mengenai Lingkungan Sekitarnya Dan
Bagaiman Informasi Mengenai Lingkungan Sekitarnya Dan Bagaiman Informasi Mengenai
Ruang Fisik Tersebut Diorganisasikan Ke Dalam Perilaku Manusia.
b. Kognisi Spasial, Yaitu Keragaman Proses Berpikir Selanjutnya,Mengorganisasikan,
Menyimpan, Dan Ingat Kembali Informasi Mengenai Lokasi, Jarak, Dan Tatanan Dalam
Lingkungan Fisik.
c. Perilaku Sosial, Menujukan Hasil Yang Termanifestasikan Dalam Tindakan Dan Respons
Seseorang, Termasuk Deskripsi Dan Preferensial Personal, Respons Emosyonal, Ataupun
Evaluasi Kecenderungan Perilaku Yang Muncul Dalam Interaksi Manusia Dengan
Lingkungan Fisiknya.
Proses Individual Ini Mengacu Pada Skemata Pendekatan Perilaku Berikut (3.1) Yang
Menggambarkan Hubungan Antara Lingkungan Dan Proses Perilaku Individu.
Kata Lingkungan banyak sekali digunakan dengan berbagai pengertian sesuai bidang ilmu yang
mendalaminya. Misalnya, bagi ilmu piskologi, lingkungan adalah manusia dan kepribadiannya, bagi
ilmu sosiologi adalah organisasi dan proses sosial, bagi ilmu geografi adalah tanah dan iklim, dan
bagi arsitektur adalah bangunan dan ruang luar. Kategorisasi ini bergantung pada kegunaannya
(porteous,1977).
Beberapa alhi atau analis membedakan lingkungan menjadi lingkungan fisik dan sosial atau
lingkungan piskologikal dan behavioral.
1. Lingkungan fisik terdiri atas terrestrial atau tatar geografis.
2. Lingkungan sosial terdiri atas organisasi sosial kelompok interpersonal.
3. Lingkungan piskologikal terdiri atas imaji yang dimiliki orang dalam benaknya.
4. Lingkungan behavioral mencakup elemen-elemen yang menjadi pencetus respons seseorang.
Perbedaan utama dalam penysunan klarifikasi ini adalah perbedaan antara lingkungan objektif
yang nyata di sekitar seorang individu dan lingkungan fenomenologis yang dihayati (perceived) dan
yang secara sadar ataupun tidak sadar mempengaruhi pola perilaku dan emosi seseorang.
Perbedaan ini berhubungan dengan piskologi gestalt. Miasalny, koffka (1935) membedakan
lingkungan geografis, sebagai lingkungan fisik yang sesunggunya berada di sekitar individu dan
lingkungan behavioral, sebagai lingkungan yang merupakan imaji kongnitif dari lingkungan objektif
yang kemudian menjadi dasar terjadinya perilaku. Kurt Lewin (1951) memakai istilah lingkungan
fenomenal dan lingkungan personal yang terdiri atas imaji individu mengenai dunia (komponen
perilaku) dan seperangkat kepercayaan dan juga sikap (komponen eksperensial).
Tujuan dari adanya skema pembedaan ini untuk mendapatkan suatu kerangka mengenai hal-hal
yang berpengaruh pada kehidupan manusia. Semua skema yang ada menujukan adanya lingkungan
yang potensial bagi perilaku dan lingkungan yang efektif yang terdiri atas segalah sessuatu yang ada
menjadi perhatian seseorang atau yang digunakan oleh seseorang (Gibson, 1966). Lingkungan yang
potensial tersebut terdiri atas beberapa pengertian sebagai berikut.
Hanya sedikit binatang yang dapat menjadi sumber cahaya atau arus listrik. Hubungan antara
sesama manusia juga merupakan hal penting untuk dapat di mengerti struktur lingkungan. Hubungan
sosial bergantung pada stimulasi sosial dan respons yang diberikan, yang kemudian menjadi stimulus
bagi adanya respons lain, baik untuk memenuhi kebutuhan secara simbolis maupun kebutuhan
instrumental. Selanjutnya layout dan komposisi lingkungan mempengaruhi cara manusia
berkomunikasi satu sama yang lain, yang kemudian berarti mempengaruhi proses sosialnya.
Manusia berkomunikasi dengan sesamanya melalui sentuhan, suara, atupun secara visual melalui
ekspresi, gerak tubuh, dan juga bau. Pertanyan-pertanyaan mengenai lingkungan dan sesama
manusia atau emosinya disampaikan melalui cara ini. Dari berbagai cara berkomunikasi, yang paling
utama pada manusia adalah melalui ucapan, kemudian tulisan. Akan tetapi, manusia juga
berkomunikasi secara tidak langsung dengan artefak, seperti dengan bangunan yang disekeliling
mereka (Rapoport, 1982).
Manusia hidup dalam suatu sistem sosial yang terdiri atas sekelompok individu yang saling
berinteraksi secara langsung ataupun tidak langsung demi kepentingan tertentu. Lingkungan
manusia ini terdiri atas sejumlah system sosial dengan ketentuan peran dan perilaku tertentu bagi
anggotanya. Perubahan yang terjadi dalam suatu bagian tertentu akan mempengarauhi bagian lain
sebagian suatu system, seperti suatu perubahan perilaku seseorang dapat mengubah system sosialnya
dan begitu pula sebaliknya.
Untuk dapat bertahan maka setiap system harus membawah fungsi tertentu: harus merekrut
anggota baru, mengaari mereka dengan norma-norma yang berlaku dari system yang bersangkutan,
harus menghadapi ancaman dan konflik internal dan eksternal. Perilaku manusia tidak bisa
dimengerti tanpa merujuk pada system sosial ini, yang beragam dari berbudaya yang satu yang
terkait dengan lingkungan teristerialnya. Hal ini juga berlaku bagi arsitek, perencana lingkungan,
kota, lanskep sebagai anggota subkultur lingkungan profesional. Selain mempunyai kesaman
subkultur, sekaligu juga mempunyai perbedaan nilain pada hal-hal tertentu.
3. Lingkungan Budaya
Tidak ada perbedaan yang jelas antara lingkungan teresterial, lingkungan hidup, dan lingkungan
budaya dlam kehidupan dalam kehidupan sehari-hari karena budaya berkembang dari adanya
peluang-peluang dari sumber alami, minat, dan kompetensi manusia. Mayarakat yang berimigrasi
dari atu tempat ke tempat yang lain mambawah serta banyak aspek dari budaya menjadi semacam
symbol sejara atau warisan situasi terdahulu.
Kepercayan dan sikap seseorang terhadap orang lain, lingkungan teresterial, peran seseorang di
masyarakat, dan cara manusia melakukan kegiatan kegiatan sehari-hari merupakan bagian dari
budaya seseorang. Seperti halnya sastra dan lukisan, arsitektur merupakan cara mengomunikasikan
gagasan mengenai masyarakat yang terkait budaya. Mereka merupakan budaya sumber artifisial
mengenai stimulasi dan informasi lingkungan. Sejara manusia bisa di telusuri melalui artefak yng di
ciptakanya.
Norma budaya diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya melalui proses sosialisasi.
Kesetian pada adat kebiasan ini bergantung pada persepsi seseorang terhadap penghargaan atau
keuntungan yang diperolehnya meski para psikologi berpendapat bawah banyak perilaku yang
4. Lingkungan Binaan
Lingkungan binaan merupakan bagian dari lingkungan teresterial dan lingkungan budaya.
Arsitektur terdiri atas rangkaian aktifitas bagian permukaan berbagi permukaan dari anaka macam
bahan dengan aneka warna dan tekstur, iluminasi, transparansi, dan ruang terbentuk diantaranya.
Itulah desain. Arsitektur dalam pembahas studi perilaku-lingkungan dianggap sebagai bentuk
adaptasi manusia terhadap lingkungan teresterial dan budaya bagaimana mereka berinteraksi dengan
lingkungan tersebut.
sebagaian perubaha dilakukan dengan sadar mengikuti sadar mengikuti suatu rencana. Akan
tetapi, sebagian pula terjadi tanpa direncanaakan karena proses alami, seperti gempa, tanah longsor,
erosi, abrasi atau kombinasi antara kejadianalam dan rencana manusa. Namun, pada dasarnya
property lingkungan diubah manusia untuk mandapatkan lingkungan yang lebih baik bagi
pemenuhan kebutuhannya, bagi aktfitas baru, atau pengalaman estetika yang baru. Perubahan-
peruban itu merefleksikan kepercayaan, sikap, dan waktu yang dipakai untuk membentuk suatu pola
baru bagi kepentingan masa depan.
Kadangkala perubahan yang dibuat manusia ini memberi keutungan atau kepuasan bagi
sekelompok orang. Akan tetapi, kadang juga memberi kerugian atau kehilangan bagi kelompok yan
lain bahkan keuntungan jangka pendek bisa berkibat kerugian jangka panjang. Misalnya,
pembangunan pabrik yang memberi lapangan pekerjaan bagi sejumlah orang, tetapi menimbulkan
populasi udara dan populasi air bagi masyarakat sekitarnya.
5. Penilaian lingkungan
Apabila kita berbeda dalam suatu lingkungan, bagaimana kita bia dapat menjelaskannya? Bagus?
Membosankan? Sejauh mana penilaian atau pengharapan kita tentang suatu lingkungan sama dengan
orang lain, misalnya dengan seorang arsitek, dan sejauh mana pula berbeda misalnya dengan
penduduk setempat.
Penilaian dan pengharapan seseorang terhadap suatu setting selalu melbatkan orang dan tempat.
Penilaian lingkungan berganntung pada kesaman personal seseorang terhadap setting yang
bersangkutan. Secara umum, penilaian lingkungan mengacu pada enam jenis kesaman personal,
yaitu deskripsi, evaluasi, penilaian akan keindahan, reaksi emosyonal, makna, dan sikap kepedulian
yang dikembangkan si pengamat terhadp setting tersebut.
Seringkali keenam kesamaan personal ini tumpang tindih satu sama lain. Misalny, dengan
mengatakan suatu kota itu indah, orang juga merasa senang berada disana, selalu kenangannya dan
dia peduli akan kota itu. Sebaliknya, suatu kesan tidak selalu sejalan dengan kesan yang lain.
Misalnya, suatu kota dikenang seseorang dengan baik, bukan karenah indah atau karena di
suakainya, melainkan karena pengalaman buruk yang pernah dialaminya. Dengan demikian, berbagi
penelitian lingkuangan dapat salin terkaitdari waktu ke waktu, tetapi juga bisa berbeda secara
konseptual. Karakteristik lingkungan termasuk komplesitas lingkungan, keasrian alam, langgam
arsitektural, isi lingkungkungan, perbakan yang ada, dan berbagi fitur relative lainnya.
Sementara itu, keragaman pengamat dapat di kelompokkan ke dalam:
a. Kelopok dengan kompetensi khusus (seperti arsitek, perencana, menejer hotel, pedagang);
Penilaian dan harapan yang berbeda juga muncul karena pengaruh karakteristik personal, seperti
tingkat kehidupan, budaya, kepribadian, dan pengalaman.
B. PERSEPSI
Sebagian besar dari arsitektur di bentuk oleh persepsi manusia. Meskipun arsitektur terdiri dari
bangunan atau lingkungan binaan, juga ada kehidupan di dalamnya. Arsitektur merupakan sesuatu
yang berbentuk fisik bersifat keras, solid, terjemah, juga merupakan mimpi dan fantasi manusia.
Arstektur ada masanya kini dan keberadaannya dapat meningkatkan manusia pada masa lalu, dan
membuat orang berpikir akan masa depan. Arsitektur merupakan suatu yang umum karena
dibanggun dan di pakai oleh banyak individu, tetapi juga sangat privat karena respons manusia
terhadap lingkungan arsitektur sangat personal.
Karena sifatnya yang kompleks inilah menjadi penting bagi arsitek untuk mengerti bagaimana
manusia menghayati lingkungannya
Dan bagaima manusia mamberi respons terhadap persepi tersebut ,baik secara personal maupun
sebagai kolompok pengguna .peresepsi adalah proses memperoleh atau menerima informasi dari
lingkungan .teori atau pendekatan yang menjelaskan tentang bagaimana manusia mengerti dan
menilai lingkungannya ini dapat dikelompokan dalam dua kelompok pendekatan sebagai berikut:
1. Pendekatan Konvensional
Secara umum, pendekatan konverisial ini juga dimanakan pendekatan konstuktivisme. Penilitian-
penelitiannya banyak di lakukan dalam lobarotorium dengan banyak variable yang dapat terkontrol.
Penelitian tradisional menganggap penggertian akan persepsi stimulasi yang sederhana ini adalah
jalan untuk dapat menggerti persepsi dari kehidupan sehari-hari yang lebih kompleks. Termasuk
dalam pendekatan ini adalah sebagai berikut.
a. Teori persepsi dari kategori empiricism. Seperti karya Helmholz Tichner, dan Carr, yang
menggangap data rekaman indra itu diolah dalam otak melalui proses asosiasi.
b. Penganut transacitionalim. Seperti Wiliam Ittelson yang mekankan pada peran pengalaman.
Karya ini mempengaruhi Walter Gropius, Lewis Mumford.
c. Penganut rationalism,seperti jean pieget,yang menekankan adanya pengaruh rasional dalam
pengindraan .
d. Nativism yang sangat mempengaruhi C. Norbeng Schulz dengan penekanan pada peran
gagasan pembawa .
e. Gestalt teori.dikembangkan oleh kurt koffka ,Koehler,dan Wertheimer ,yang berpendapat
bahwa dasar integrasi data adalah orgnisasi spotan dari input sensori ke otak .pendekatan
teori gestalt paling banyak berpengaruh pada pembentukan teori desain ,seperti de sausmarez
(1964) ,Isaac(1971),dan arnheim (1977).
2. Pendekatan Ekologis
Pendekatan yang kedua ini adalah pendekatan ekologis,atau dikenal dengan pendekatan
berdasarkan informasi .pendekatan ini pertama kali dikemukakan oleh J.J Gibson .menurutnya
seorang individu tidak menciptakan makna dari apa yang diindrakannya .sesungguhnya ,makna itu
telah terkandung dalam stimulus itu sendiri dan tersedia untuk organisme yang siap menyerapnya.
Ia menganggap bahwa persepsi terjadi secara spontan dan langsung .jadi, bersifat holistic
.spontanitasini terjadi karena manusia selalu mengeksplorasi lingkungannya. Dalam eksplorasi itu
manusia melibatkan setiap objek yang ada dalam lingkungannya dan setiap objek menonjolkan sifat-
sifatnya yang khas untuk organisme tersebut .penampilan makna ini disebutnya affordances.
Teori perspesi yang berpengaruh dalam bidang seni dan arsitektur adalah teori gestalt yang
mengungkapkan berbagai fenomena visual .tiga hal yang menjadi pokok teori ini, yaitu konsep form,
isomorphim dan field forces.
Bentuk form dianggap sesuatu yang fundamental ,berdiri sendiri sebagai elemen tertutup dan
terstuktur dalam dunia visual .bentuk padat/maifs (solid figure )akan tampak sebagai seuatu yang
berdiri sendiri dengan adanya latar belakang (ground) yang tampak seperti bidang homogen .prinsip
yang mengatur pengamatan manusia terhadap bentuk di dunia nyata adalah sebagai berikut.
a. Konstansi (constancy)
Prinsip ini lebih bersifat psikologis karena menyangkut arti dari suatu objek atau gejala bagi kita
yang bersifat tetap atau konstan meskipun ada perbedaan ukuran pada imajiretina .gejala konstansi
ini dapat ditunjukan pada pascamaji, yaitu suatu imaji yang tetap ada setelah stimulus yang asli tidak
lagi ada ,meliputi
(i) konstansi tempat atau lokasi Misalnya ,ketika seseoraang naik kereta api .meskipun letak
benda-benda dan hubungan antara benda berubah dalam medan penglihatan ,secara
psikologis kita menyadari bahwa keadaan tempat atau lokasi mereka sesungguhnya tidak
berubah .
(ii) konstansi warna misalnya ,kita melihat tas berwarna merah ketika lampu padam ,atau
pencahayaan berganti dengan lampu berwarna kunig ,tas tersebut akan terlihat sebagai
berwarna merah kehitaman ,atau merah kekuningan .akan tetapi ,gambaran
psikilogisdalam diri kita menyadari bahwa keadaan tempat atau lokasi mereka
sesungguhnya tidak berubah.
(iii) konstansi bentuk dan ukuran benda yang jauh terlihat lebih kecil dan benda yang berubah
posisinya dalam medan penglihatan kita akan tampak berbeda bentuknya .misalnya ,kita
tahu seberapa besar sebetulnya sebuah kereta api yang kita lihat dikejahuan hanya berupa
satu bintik kecil dan ukuran pintu ruang tamu di rumah kita walaupun posisinya berubah.
demikian juga sebuah teriakan dan bukan sebuah bisikan.
d. Persepsi gerak
Untuk mengamati gerak dibutukan patokan. Dengan demikian, gerakan adalah suatu perpindahan
posisi dari patokannya. Kalau patokannya kabur atau tidak jelas maka kita akan bisa memperoleh
informasi gerakan semu. Gerakan semu terjadi apabila ada dua rangsang yang berbeda yang muncul
hamper bersamaan waktunya, meliputi
(i) efek otokinestetik, yaitu bila kita memandang setitik cahaya dalam keadaan gelap
gulita, cahaya tersebut akan tampak bergerak ke atas atau ke bawah, ke semping kiri
dan ke kanan.
(ii) Gerakan stroboskopik, yaitu gerakan yang terjadi karena ada dua rangsang yang
berbeda yang muncul hampir bersaman. Dalam gerakan ini ada gejalah disebut phi-
phenomenon, yaitu yang terjadi apabila ada dua rangsang atau lebih yang sangat
pendek diamati sebagai gerakan dari satu rangsangan saja.
e. Ilusi
Ilusi merupakan kesalahan dalam persepsi, yaitu memperoleh kesan yang salah mengenai fakta
objektif yang disajikan oleh indra kita. Ilusi mengindikasikan tidak memandainya hubungan yang
diasumsikan si pengamat. Misalnya, antara ukuran, bentuk gometris, panjang gelombang cahaya,
dan imaji diterima.
Banyak ilusi terjadi dalam rancang arsitektur, misalnya ilusi Mueller-Lyer (gbr.3.8). Dikatakan
bawah mata manusia secara tidak sadar menginterprestasikan gambar serupa anak panah sebagai
bendah tiga dimensi, menggambarkan sudut luar (gambar kiri) atau sudut dalam (gambar kana) dari
sebuah banggunan struktur. Mekanisme perseptual menjadikan gambaran pertama (sudut luar) lebih
kecil dan sudut dalam lebih besar karean distori perspektif. Distori yang terjadi ber-variasi
bergantung pada sudut.
Pada gambar tersebut tidak ada satu pun sudut 90 derajat, tetapi semua pembagian ruang itu
diterima sebagai bersudut 90 derajat.
Beberapa ilusi lain adalah sebagai berikut
(i) ilusi yang disebabkan oleh factor-faktor eksternal, seperti pada gambar dalam cermin, atau
gaung suara. Gambar dicermin kelihatan seolah terletak di belakang kaca, gaung seolah dari
ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella
35
Laurens
arah yang berlawanan dengan posisi kita karena dari situlah suara tadi masuk kedalam telinga
kita.
(ii) Ilusi disebabkan oleh kebiasaan. Rangsang-rangsang yang di sajikan sesuai dengan kebiasaan
kita dalam mengenali rangsang akan dengan mudah menimbulkan ilusi.
(iii) Ilusi karena kesiapan mental atau harapan tertentu.
(iv) Ilusi karena rangsang terlalu kompleks. Bila rangsangan yang diamati terlalu kompleks,
rangsang tersebut dapat menutupi atau menyamarkan objektif dari objek atau gejala tertentu
pada objek.
(iv) ilusi zoliner, yang menggambarkan ilusi pada pola desain tertentu. Garis-garis sejajar yang
terpotong oleh jajaran garis bersudut 45 derajat akan tampak divergen, atau sebaliknya.
Penjelasan mengenai hukum-hukum gestall ini adalah isomorphism, yaitu terdapat pengertian
yang sama antara bentuk dari pangalaman konseptual dan bentuk dari proses neurologis manusia.
Rudolf Arnheim (1965) mengatakan kekuatan
(the forces) yang dialami ketika seseorang melihat suatu objek dapat dianggap secara psikologis
sama dengan kekuatan fisyologis yang bekerja secara fisik dalam otak, semua kekuatan itu dianggap
property dari objek yang ditangkap.
Dapat disimpulkan bawah teori gestalt ini menganggap semua persepsi manusia terorganisasi ke
dalam bentuk (figures) diaman garis, bidang, dan objek yang muncul sebagai suatu kekuatan
dinamis, yang tampak seperti sesuatu yang cenderung bergerak, sesuatu yang ringan, atau sesuatu
yang memberi kulitas gembira, sedih dengan latar belakang (ground) sekitarnya sebagai suatu bidang
homogeny.
Gambar dua dimensi yang membuat berbagai tatanan garis dan bidang berperan dalam
pembentukan persepsi visual manusia. Namun, berbeda dengan karya seni lukis, garis dan bentuk
pada gambar-gambar arsitektural berarti diagram dari objek solid dan ruang tiga dimensi. seperti
terlihat pada contoh (gambar 3.11), gambar arsitektural istana de chaillot dengan deretan sejumlah
patung menorah Eiffel, digambarkan secara diagramatis seperti diagram.
Contoh lain adalah bangun Chrysler di New York, dengan bagian puncaknya menjulang seakan
berteriak untuk lepas dari tanah, teriakan inilah kualitas ekspresinya.
Lingkungan yang tertata dengan pola yang baik dan jelas. Setiap lingkungan mempunyai seperangkat
affordances untuk aktivitas manusia atau pengalaman estetika.
Berdasarkan konsep affordances perencana lingkungan dapat merancang affordances dengan pola
yang jelas dalam suatu lingkungan. Dengan demikian, orang akan mudah melihat peluang-peluang
dalam lingkungan untuk memenuhi predisposisinya dan kebutuhannya.
Kongnisi spasial berkaitan dengan cara kita memperoleh, mengorganisasikan, menyimpan, dan
membuka kembali informasi mengenai lokasi, jarak, dan tatanan di lingkungan fisik. Termasuk di
dalamnya adalah perihal penyelesaian masalah, navigasi, mengatasi kekacauan, mencari jalan keluar
atau menolak informasi tentang jalan keluar, yang semuanya berkaitan dengan lingkungan fisik
sehari-hari secara tiga dimensional. Termasuk juga rambu-rambu, pictorial image, dan semantic di
dalam benak seseorang. Di sekitar kita, dengan mudah kita menemukan peta kongnitif atau peta
mental, misalnya di iklan, majalah, peta perjalanan, dan dalam ingatan setiap orang.
1. Peta Mental
Peta mental atau cognitive map didefenisikan oleh David Stea (1975) sebagai suatu proses yang
memungkinkan kita mengumpulkan, mengorganisasikan, menyimpan dalam inggatan, memanggil,
serta menguraikan kembali informasi tentang lokasi relative dan tanda tentang lingkungan geografis.
Semua informasi yang diperoleh disimpan dalam satu system struktur yang selalu dibawah dalam
benak seseorang, dan sampai batas tertentu struktur ini berkaitan dengan lingkungan yang
diwkilinya. Peta ini merupakan kumpulan pengalaman mental seseorang, bukan merupakan peta
kotografi yang akurat dan menangkap sehingga tidak dalam ukuran yang besar, tidak lengkap, ada
distorsi, dan sederhana.
Sebagai contoh, seorang mahasiswa A mengundung teman-temannya untuk hadir pada pesta di
rumahnya. Temannya B belum pernah rumah ke rumah A dan menanyakan jalan untuk sampai ke
rumah A tersebut. lalu, A menjelaskan dengan menyebutkan arah, bangunan, dan perempatan tempat
harus belok ke kanan, atau ke kiri; B yang sudah lama tinggal sekota denganya bisa memahami
maksud A dan bisa menemukan rumah A tanpa kesulitan.
Akan tetapi, C yang baru pindah ke kota itu tidak mengerti apa yang dikatakan A sehingga A
perlu menggambarkan peta. Dengan berbekal peta itu pun, tidak mudah bagi C untuk menemukan
rumah A karena banyak hal yang tidak sesuai dengan kenyataan. Apa yang dilakukan A,B dan C
adalah suatu proses aktif karena bukan hanya indra penglihatan yang berfungsi, melainkan juga
indra-indra yang lain. Peta mental adalah perwujudan dan gejala perepi terhadap lingkungan.
Dengan adanya peta mental itulah maka A bia menunjukkan arah rumahnya kepada teman-
temannya. Demikian juga kita bisa bepergian kesekolah atau ketempat kerja setiap hari karena peta
mental yang ada dalam diri kita. Karena dalam proses ini yang berfungsi bukan hanya indra
penglihat saja, seorang tunanetra pun juga bisa membuat peta mental tanpa memakai indra penglihat
sama sekali. Hasil rekaman dari indra-indra lainnya, seperti bauh sampah, harumnya masakan di
restoran atau suara bising, kemudian di hubungkan satu sama lain sehingga menghasilkan sebuah
peta dalam ingatan kita. Semakin banyak masukan dan semakin lama kita mengenal suatu daerah
maka semakin terinci dan baik peta mental kita.
Penelitianmengenai peta mental ini memberi pengertian bagaimana menciptakan bangunan atau
lingkungan yang mudah dilihat dan diingat sekaligus membangkitkan kekayaan pengalaman orang
yang memakainya terutama pada fasilitas publik. Seberapa jelas lingkungan harus dibuat, seberapa
jauh diharapkan orang mengeksplorasi lingkungan dengan rasa ingin tahu,itu adalah desain.
Pengetahuan akan peta mental inilahyang diharapkan dapat membekali perancang lingkungan untuk
berkarya.
5. Maka dalam Arsitektur
Upaya membuat prediksi yang akurat dan konsisten mengenai bagaimana pengguna akan
memakai dan memahami lingkungan hasil rancangan bukanlah hal mudah. Hal ini bergantung pada
bagaimana makna bangunan tersebut dihayati pengguna.dalam hal apa arsitektur dapat bermakna?
Pengertian apa yang harus dipunyai arsitek agar dapat membuat suatu prediksi yang akurat?
Kategorisasi makna dalam arsitektur di kemukakan oleh beberapa orang, seperti Morris (1938),
Gibson (1950), dan Hershberger(1974). Ada perbedaan dalam kategori ini.namun, terdapat suatu
kesamaan, yaitu sejumlah makna berkaitan dengan penggunaan sebuah objek atau suatu lingkungan
dansejumlah makna lain berkaitan dengan kualitas emosional si pengamat yang dirasakan berkenaan
dengan objek atau lingkungan tertentu. Dari semua tingkatan makna, makna simbolik adalah
tingkatan makna yang paling sedikit di mengerti oleh arsitek modern. Meskipun mereka mengacuh
pada kandungan simbolisdalam karya mereka, kebingunan ini juga terjadi dalam ilmu-ilmu perilaku.
Untuk mempermudah pengertian ini, berikut dijabarkan pengertian beberapa istilah, yaitu imaji,
simbol, dan tanda (image,symbol, and sign) yang kerap kali di pakai untuk mengungkapkan makna.
Imaji, diasumsikan sebagai sebuah imitasi atau reproduksi atau kesamaan dari sesuatu. Misalnya,
imaji Gereja St.Peter adalah imaji gereja St.Peter, tidak lebih dariitu. Akan tetapi, apa bila dilaitkan
dengan GerejaKatoli Roma,imajiini menjadi simbol (Gibson, 1966). Simbol adalah sesuatu yang
menggantikan sesuatu yang lain. Sebagai hasil dari adanya asosiasi, konversi atau bahkan kejadian
tertentu. Sebuah simbol merupakan proses koknitif dimana objek mendapat konotasi selain mengenai
penggunaannya. Objek bisa berupa lingkungan, seorang manusia, atau benda artefak lain. Maknanya
muncul dari apa yang diberikan pengamat padanya. Sementara itu, tanda adalah bentuk yang secara
konvensional disepakati, menggantikan sesuatu dalam arti yang sesungguhnya dari pada arti yang
abstrak.
Hershberger mengatakan bahwa ada dua kategori makna dalam arsitektur, yaitu makna
representasi (representational meanings) dan makna responsif (responsive meanings) .Kedua makna
ini (representational dan responsive) penting dalam membuat prediksi perilaku.arsitektur harus
mempunyai pengertian yang baik mengenai representasi yang di pakai pengguna bangunannya.
Kemudian, belajar mengenai reaksi apa yang akan muncul (perasaan, emosi,valuasi, preskripsi)
terhadaprepresentasi yang dilihatnya itu.
a. Makna Representasi
Makna ini dikelmpokkan ke dalam :
(i). Makna Presentasional (presentational meaning)
Bentuk arsitetur menampilkan dirinya sendiri bagi pengamat secara langsung dan menyeluruh.
Biasanya representasi tidak berupa verbal, tetapi lebih berupa ikon, mendekati bentung yang diamati.
Melalui representasi internal, orang memisahkan objek darikonteksnya,menghayati
bentuk,tekstur, warna, dan atribut lainnya. Kemudian, ia mulai mengategorisasikan sesuai objek atau
peristiwa yang dikenalnya. Tingkat paling dasar dari makna presentasional adalah pengenalan
bentuk, seperti bentuk kotak, segitiga, kemudian kategori pada tingkat deskriptif atau sifat, dan pada
akhirnya orang mengenal ukuran, intensitas, dan tekstur untuk mengetahui objek itu beradadekat atau
jauh, relatif terhadap diri orang tersebut.
Berbagai kelompok orang mungkin mempunyai makna presentasi yang berbeda karena apa yang
kita represetasikan juga bergatung pada pengalaman. Apabila pegalaman arsitek dan kelompok
kliennya berbeda sangat jauh makna mungkin mereka tidak melihat objek yang sama. Mungkin
sekali arsitek lebih tertarik pada bentuk suatu objek, sedangkan penggunanya mungkin tertarik pada
status, ukuran atau warna objek tersebut. Apabila hal ini terjadi dan tidak disadari arsitek,
kemungkinan karyanya tidak dapat dinikmati dengan baik oleh penggunanya.
Respon emosional terhadap lingkungan bukan sesuatu yang singkat dan tajam, melainkan
menerus dan kumulatif. Merupakan suatu kobinasi dari respons behavioral, kognitif, dan fisik.
Penilaian efektif terhadap lingkungan adalah satu aspek bagaimana seseorang
menginterpretasikan ligkungan. Dengan menganggap suatu lingkungan itu
menarik,menyenangkan ataupun mengerikan, berarti memberi atribut dengan kualitas efektif pada
lingkungan tersebut.
Lingkungan yang efektif berbeda bagi setiap orang. Namun, perilaku seseorang tidaklah terjadi
begitu saja, tetapi sampai tingkat tertentu bisa diprediksi. Misalnya, siapa yang akan memakai
fasilitas tertentu, atau siapa yang akan tertarik pada komposisi arsitektural tertentu. Meskipun begitu,
tidak berarti bahwa apabila suatu lingkunganmenawarkan sejumlah peluang untuk perilaku tertentu,
perilaku itu pasti akan terjadi. Meskipun seseorang telah menangkap affordances itu, belum tentu
iaberminat melakukan aktivitas tersebut.
Sikap seseorang sangat terkait dengan motivasi, apa yang disukai dan tidak disukainya, apa yang
dianggapnya bagus dan jelek, apa yang dianggap penting dan tidak penting. Semua sikap ini
berhubungan dengan proses sosialisasi dan pengalaman yang dimilikinya. Setiap orang mempunyai
kompetensi yang berbeda, baik secara fisik, sosial maupun budaya. Perbedaan
Fenomena ini menunjuk pada pola-pola perilaku pribadi, yang berkaitan dengan lingkungan fisik
yang ada, terkait dengan perilaku interpersonal manusia atau perilaku sosial manusia.
Bab ini membahas perilaku interpersonal manusia tersebut yang meliputi hal-hal sebagai berikut.
a. Ruang personal (personal space) berupa domain kecil sejauh jangkauan manusia yang
dimiliki setiap orang.
b. Teritorialitas (territoriality), yaitu kecenderungan untuk menguasai daerah yang lebih luas
bagi penggunaan oelh seseorang atau sekelompok pemakai atau bagi fungsi tertentu.
c. Kesesakan dan kepadatan ( crowding dan density) , yaitu keadaan apabila ruang fisik yang
tersedia sangat terbatas dibandingkan dengan jumlah penggunanya.
d. Privasi (privacy) sebagai usaha untuk mengobtimalkan pemenuhan kebutuhan sosial manusia.
Besar kecilnya jarak lari (flight distance) padabinatang dipengaruhi oleh besar kecilnya ukuran
tubuh binatang yang bersangkutan. Apakah manusia juga melakukan hal yang sama dengan binatang
jika diganggu? Seperti halnya binatang,manusia juga membuat jarak dengan sesamanya. Namun
berbeda dengan binatang yang melakukan reaksi berdasarkan rasio atau pemikiran dalam mengontrol
perilakunya.
2. Jarak Komunikasi
Edward Hall (1963)1 berpendapat bahwa ruang personal adalah suatu jarak berkomunikasi,
dimana jarak antarindividu ini adalah juga jarak berkomunikasi. Dalam pengendalian terhadap
gangguan-gangguan yang ada, manusia mengatur jarak personalnya dengan piha lain. Hal membagi
jarak tersebut dalam empat jenis, yaitu
a. Jarak intim: fase dekat (0.00-0.15 m) dan fase jauh (0.15-0.50 m)
Jarak untuk saling merangkul kekasih, sahabat atau anggota keluarga, untuk melakukan
hubungan seks atau olahraga kontak fisik, seperti gulat dan tinju. Pada jarak ini tidak
diperlukan usaha keras seperti berteriak atau menggunakan gerak tubuh untuk
berkomunikasi, cukup dengan berbisik.
b. Jarak personal: fase dekat (0.50-0.75 m) dan fase jauh (0.75-1.20 m)
Jarak untuk percakapan antara dua sabat atau antara orang yang sudah saling akrab.
Gerakan tangan diperlukan untuk berkomunikasi normal.
c. Jarak sosial: fase dekat (1.20-2.10 m) dan fase jauh (2.10-3.60 m)
Merupakan batas normal bagi individu dengan kegiatan serupa atau kelompok sosial yang
sama. Pada jarak ini komunikasi dapat terjadi dengan baik apabila seseorang berbicara
dengan suara agak keras dan gerak anggota badan disengaja untuk membantu maksud
dalam berkomunikasi. Fase jauh adalah hubungan yang bersifat formal seperti bisnis dan
sebagainya. Pada kenyataannya, jarak merupakan patokan dasar dalam pembentukan ruang
atau dalam perancangan ruang.
Semua penjelasan mengenai besaran ruang personal di atas selalu merujuk pada jarak objektif.
Para peneliti mengamati jarak ini sebagai orang ketiga atau sebagai pengamat. Akan tetapi, ruang
personal ini sungguh-sungguh dipakai di jalan, lobi, atau di kantor, manusia melakukannya dengan
dasar jarak objektif, melalui jarak interpersonal. Artinya , ruang personal merupakan suatu
pengalaman fenomenologikal.
Gifford dan Price (1979) mengusulkan adanya dua jenis ruang personal, yaitu ruang personal alfa
yang merupakan jarak objektif dan terukur di antara individu yang berinteraksi dan ruang personal
beta sebagai suatu pengalaman subjektif dalam proses mengambil jarak. Ruang personal beta ini
merupakan kepekaan seseorang terhadap jarak dalam bersosialisasi. Menurut peelitian Giffard
(1983), jarak ruang personal beta ini 24% lebih besar daripada ruang personal alfa.
(i) Daya tarik dan persahabatan membuat orang secara fisik lebih berdekatan, tidak ada rasa
takut atau terganggu oleh kehadirannya. Demikian pula adanya rasa kebersamaan dan
kegembiraan akan mengurangi besarnya ruang personal.
(ii) Tatanan fisik seperti penyekat ruangan bisa mengurangi perasaan invasi terhadap ruang
personal. Orang lebih bnyak menggunakan ruang di pojok dari pada ditengah ruang.
2. Kalsifikasi Teritorialitas
Ada berbagai teori. Ada yang berukuran besar, ada yang kecil, bahkan ada yang bersarang
dalam teori lainnya atau saling berbagi satu sama lain. Mengenal klasifikasi teritori merupakan
salah satu cara untuk dapat mengerti bagaimana teritorialitas ini terjadi.
Tingkalaku teritorialitas manusia mempunyai dasar yang agak berbeda dengan binatang karena
teritorialitas manusia berintikan pada privasi. Sementara itu, fungsi teritorialitas pada hewan
untuk mempertahankan diri, dorongan untuk mempertahankan hidup, dan mempertahankan jenis.
Tingakah laku teritorialitas hewan ini, antara lain membuat atau mendiami tempat hunian,
menyimpan bahan makanan di tempat tertentu, dan melindungi anak-anaknya dari makhluk lain.
Dorongan yang mendasari tingkah laku teritori pada hewan ini dinamakan naluri teritori.
ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella
63
Laurens
Teritorialitas pada manusia mempunyai fungsi yang lebih tinggi daripada sekedar fungsi
mempertahankan hidup. Pada manusia, teritorialitas ini tidak hanya berfungsi sebagai perwujudan
privasi saja, tetapi lebih jauh lagi teritorialitas juga mempunyai fungsi sosial dan fungsi
komunikasi.
Sama halnya dengan ruang personal, fungsi sosial dari teritorialitas, misalnya tampak pada
pertemuan-pertemuan resmi ketika sudah ditentukan tempat duduk setiap orang sesuai dengan
kedudukan, jabatan, dan pangkat yang bersangkutan. Seorang pegawai biasa tidak berani duduk di
bangku terdepan meskipun bangku itu kosong karena bangku-bangku itu untuk para pejabat.
Dengan demikian, teritorialitas juga mencerminkan lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat.
Sebagai media komunikasi, sama halnya denagn ruang personal, teritori juga terbagi dalam
beberapa golongan. Klasifikasi teritori yang terkenal adalah klasifikasi yang dibuat Altman (1980)
yang didasarkan pada derajat privasi, afiliasi, dan kemungkinan pencapaian.6
a. Teritori Primer
Teritori primer adalah tempat-tempat yang sangat pribadi sifatnya, hanya dimasuki oleh orang-
orang yang sudah sangat akrab atau yang sudah mendapat izin khusus. Teritori ini dimiliki oleh
perseorangan atau sekelompok orang yang juga mengendalikan penggunaan teritori tersebut
secara relatif tetap, berkenaan dengan kehidupan sehari-hari ketika keterlibatan psikologis
penghuninya sangat tinggi. Misalnya, ruang tidur atau ruang kantor. Meskipun ukuran dan
jumlah penghuninya tidak sama, kepentingan psikologis dari teritori primer bagi penghuninya
selalu tinggi.
b. Teritori Sekunder
Teritori sekunder adalah tempat-tempat yang dimiliki bersama oleh sejumlah orang yang sudah
cukup saling mengenal. Kendali pada teritori ini tidaklah sepenting teritori primer dan kadang
berganti pemakai, atau berbagai penggunaan dengan orang asing. Misalnya, ruang kelas, kantin
kampus, dan ruang latihan olahraga.
a. Teritori Publik
Teritori publik adalah tempat-tempat yang terbuka untuk umum. Pada prinsipnya, setiap
orang diperkenankan untuk berada di tempat tersebut. Misalnya, pusat perbelanjaan, tempat
rekreasi, lobi hotel dan ruang sidang pengadilan yang dinyatakan terbuka untuk umum.
Kadang-kadang terjadi teritori publik dikuasai oleh kelompok tertentu dan tertutup bagi
kelompok yang lain, seperti bar yang hanya untuk orang dewasa atau tempat-tempat hiburan
yang terbuka untuk dewasa umum, kecuali anggota ABRI, misalnya.
Selain pengklasifikasi tersebut, Altman (1975) juga mengemukakan dua tipe teritori lain,
yaitu objek dan ide. Meskipun keduanya bukan berwujud tempat, diyakini juga memenuhi
kriteria teritori. Karena seperti halnya dengan tempat, orang juga menandai, menguasai,
mempertahankan, dan mengontrol barang mereka, seperti buku-buku, pakaian, motor, dan
objek lain yang dianggap miliknya.
a. Faktor Personal
Karakteristik seseorang, seperti jenis kelamin, usia, dan kepribadian diyakini mempunyai
pengaruh terhadap sikap teritorialitas. Penelitian Marcel dan Benyamin (1980) disebuah
asrama mendapati bahwa pria menggambarkan teritori mereka lebih besar daripada wanita.
Penghuni asrama diminta menggambarkan teritori mereka dalam ruang tidur bersama dan
menandai mana yang dianggap teritorinya dan mana yang dianggap teritori milik teman
sekamarnya.
Pria menggambarkan teritori yang diklaim sebagai miliknya lebih besar daripada yang
digambarkan wanita. Akan tetapi, bagaimana dengan teritori mereka di tempat kerja atau
dirumah? Pada umumnya, pria menganggap dirinya mempunyai status yang lebih tinggi
ditempat kerja, dan mengklaim teritori yang lebih besar dari wanita. Sementara itu, mereka
beranggapan bahwa rumah adalah teritori bersama, tetapi dapur adalah teritori ibu atau wanita.
Melalui penelitian ini disimpulkan bahwa gender dan kepribadian merupakan dua hal yang
saling terkait dalam penentuan teritori.
b. Situasi
Apakah perbedaan tatanan fisik mempengaruhi sikap teitorialitas seseorang? Dua aspek situasi,
yaitu tatanan fisik dan sosial budaya dianggap mempunyai peran dalam menentukan sikap
teritorialitas seseorang. Oscar Newman dalam teorinya (1980) mengenai defensible space
mengemukakan bahwa kriminalitas di perumahan dan ketakutan akan kriminalitas merupakan
dua gejala yang berkaitan dengan invasi teritori.
c. Faktor Budaya
Apakah kelompok dengan latara belakang budaya yang berbeda yang mengekspresikan sikap
teritorial yang berbedah? Pada sebuah penilitian (Smith, 1981) teritori pantai pada orang
jerman dan prancis, di temukan hal yang sama, yaitu kelompok yang lebih besar mengklaim
area orang lebih kecil dibandingkan kelompok kecil dan kelompok wanita mengklaim area
lebih kecil daripada kelompok pria.
Akan tetapi, secara budaya terdapat perbedaan sikap teotorial. Orang prancis mempunyai sikap
teritorial terendah. Mereka menganggap pantai itu milik semua orang. Sementara itu, oarang
jerman lebih banyak memberi tanda-tandah kepemilikan dengan membuat istana pasir sebagai
batas teritori mereka.
Namun demikian, belum ada jawaban yang pasti apakah budaya yang satu memang lebih
bersikap teritori dibadingkan dengan budaya yang lain, ataukah hanya perbedaan dalam
ekspresi teritorialnya saja?
Sebuah studi mempelajari bagaimana dua budaya, amerika dan yunani, memberi respons
terhadap sampah. Hasil studi menunjukan bawah teritorial antara kedua budaya tersebut sama
(Worchel dan Loils, 1982). Eksperimen yang dilakukan dengan meletakan sekantung sampah
di salah satu dari tiga tempat, yaitu di halaman muka rumah, di trotoar muka rumah, dan
dijalan raya dimuka rumah.
Kantung sampah itu dipindakan dengan cepat pada kedua budaya tersebut. Akan tetapi, orang
Amerika memindakan kantung samapah yang di tempatkan di trotoar atau jalan lebih cepat dari
orang yunani. Dapat dikatakan bawah oarang Amerika lebih mempunyai sikap teritorial
dibandingkan oarang Yunani?
Kedua peneliti itu mengatakan tidak. Perbedaannya pada kedua cara budaya berpikir tentang
teritori di sekitar rumah mereka. Orang Amerika menganggap sebagai daerah semipublik atau
bahkan semiprivat. Karean itu, mereka membersikannya dengan cepat sementara itu, orang
Yunsni menganggap area itu adalah areah publik. Karena itu, tidak terlalu menjadi perhatian
atau kepeduliannya.
b. Agresi
Pertahanan dengan kekerasan yang dilakukan seseorang akan semakin keras bila pelanggaran
terjadi di teritori primernya, misalnya pencurian dirumahnya, dibandingkan dengan
pelanggaran yang terjadi di tempat umum. Pada tingkat yang lebih luas, misalnya teritori
Penandaan teritori juga bisa dilakukan dengan menempatkan logo tertentu. Namun, tentu
saja pengggunaan tanda-tanda simbolis yang tidak di kenal secara umum menjadi tidak efektif.
Batas teritori juga bisa berupa pintu apa bila dua ruang publik terletak berdampingan dan
diperlukan pembedaan tertitori. Oleh karena itu, desain pintu bisa dibuat sedemikian rupa,
misalnya dengan menggunakan bahan trasparan yang memungkinkan orang melihat ke ruang
lain sebelum memasukinya sehingga bisa menghindari terjadinya tabrakan. Bila pintu tersebut.
2. Beberapa Pengertian
Kesesakan mempunyai pengertian sehari-hari dan beberapa pengertian teknis yang kadang-
kadang bercampur. Beberapa pengerian berbeda mengenai kesesakan ataupun kepadatan.
a. Hubungan antara kesesakan dan kepadatan
Kepadatan adalah ukuran jumlah orang per unit area. Dapat diterapkan untuk pengukuran
dimanapun. Artinya, tidak terikat pada tempat tertentu, seperti perhitungan untuk skala dunia, yaitu
30 orang per km2 , dalam skala negara: Jepang, misalnya 300 orang per km2, Amerika serikat sekitar
28 oarang per km2, dan Australia mempunyai 2.5 orang per km2. Sementara itu dalam skala kota,
Hong Kong mempunyai kepadatan 40.000 orang per km2 dan New York, 8500 orang per km2
(dalam Gifford 1988) yang juga mencakup ruang terbuka.
Kepadatan memiliki ciri objektif, tetapi tidak terlepas dari skala geografis. Distribusi penduduk
dapat sedemikian rupa sehingga orang dapat tinggal dikota yang padat, dikelilingi daera luas yang
tidak berpenghuni. Seperti umumnya kota—kota di pulau jawa padat meskipun sebagian areanya
adalah daerah pertanian atau hutan.
Sementara itu, kesesakan mengacu pada pengalaman seseorang terhadap jumlah orang di
sekitarnya. Berbeda dengan kepadatan yang objektif, kesesakan bukan merupakan rasio fisik,
melainkan perasaan subjektif terhadap lingkungan sekitarnya.
Ciri pertama kesesakan adalah persepsi terhadap kepadatan, dalam arti jumlah manusia sehingga
tidak termasuk di dalamnya kepadatan yang nonmanusia. Orang yang berada sendirian di tengah
sabana yang luas ataupun dalam hutan rimba yang penuh dengan pepohonan dan binatang buas atau
di tengah kota yang penuh dengan bangunan, tetapi tidak berpenghini, tidak akan mempersepsikan
kesesakan seperti yang dialami penumpang kereta api atau bus atau pengunjung resepsi pernikahan.
Ciri kedua, karena kesesakan adalah persepsi maka sifatnya subjektif. Orang yang sudah terbiasa
naik bus yang padat penumpangnya, mungkin sudah tidak merasa sesak lagi (kepadatan tinggi, tetapi
kesesakannya rendah). Sebaliknya, orang yang biasa menggunakan kendaraan pribadi merasa sesaak
dalam bus yang agak kosong (kepadatannya rendah, tetapi kesesakannya tinggi).
Secara teoretis, kesesakan dan kepadatan dibedakan sebagai berikut. Stokols (1972) menyatakan
bawah kepadatan (density) adalah kendalah kekurangan (spatial constraint). Sementara itu,
kesesakan (croding) adalah respons subjektif terhadap ruang yang sesak (tigh space).
Kepadatan merupakan syarat yang diperlukan untuk timbulnya presepsi kesesakan, tetapi
bukanlah merupakan syarat mutlak harus ada. Misalnya, pada pasar malam atau pertunjukan
bioskop, di lapangan atau tempat-tempat keramaian lainnya, orang justru mencari kepadatan orang
ditenggah keramaian itu. Walaupun kepadatan tinggi, orang tidak merasa sesak.
ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella
76
Laurens
Kesesakan baru terjadi jika ada gangguan atau hambatan tertentu dalam interaksi sosial atau
dalam usaha suatu tujuan. Misalnya, jika orang harus berkopentensi untuk mendapat tempat duduk
di bus atau antre untuk berjabat tangan dengan pengantin dalam resepsi pernikahan atau tidak dapat
berenang dengan leluasa di kolam renang.
Apabila orang berpikir bawah daerah pedesaan atau pinggiran kota mencerminkan suatu
subbudaya tertentu, latar belakangan ini pun akan menjadi factor budaya dalam masalah keseakan.
Dalam penelitian Walden, Nelson, dan Smith (1981), di ketahui bawah penghuni Asrama yang
berasal dari daerah pedesaan merasakan kesesakan lebih besar dari pada mereka yang berasal dari
daerah perkotaan.
Sementara itu dalam hal gender, melalui suatu penelitian di laborotorium di dapati bawah pria
lebih bereaksi negatif terhadap kesesakan dibandingkan dengan wanita sehingga perilaku mereka
menjadi kasar. Kawam wanita lebih dapat menahan stress. Kepadatan tinggi berarti ada banyak
orang di sekitar anda. Namun, kesesakan bisa meningkat bisa juga tidak bergantung pada apa yang
dikerjakan orang lain itu.
Misalnya, jika banyak orang mengamati anda mengerjakan sesuatu, penampilan ada bisa menjadi
lebih baik atau sebaliknya menurun, tergantung seberapa baik anda melakukan pekerjaan itu, apa
penghargaan yang andah peroleh, dan apakah perhatian anda pada diri sendiri atau pada public.
Faktor sosial lain yang mempengaruhi rasa kesesakan adalah kualitas relasi diantara orang-orang
yang harus berbagi ruang tersebut. kesesakan akan semakin terasa apabila kerumunan orang yang
berada disekitar kita kita tidak kenal. Karena itu, kesesakan yang dirasakan terkait dengan harapan
seseorang atau relasi terhadap orang lain disekitarnya.
Kesesakan juga dipengaruhi oleh jumlah dan tipe informasi yang diperoleh seseorang sebelum
atau selama mengalami kepadatan tinggi. Merekan yang juga menerima informasi sama sekali atau
mendapat pesan mengenai reaksi emosional, (misalnya “ Anda mungkin akan merasa tidak nyaman
karena ada banyak orang dekat anda,”) akan merasa lebih tidakn nyaman dibandingkan dengan
mereka yang menerima pesan situsional (seperi“ orang akan berada dekat anda”).
Seperti uraian di atas , pengaruh personal, sosial, dan fisik dapat menyebabkan seseorang merasa
sesak. Kepadatan tinggi tidak hanya menyebabkan seseorang merasa sesak , tetapi juga
menyebabkan dampak sebagaiberikut.
a. Dampak penyakit dan patologi sosial atau penyakit kejiwaan. Meskipun tidak selalu kepadatan
tinggi berarti meningkatkannya patologi sosial.
b. Dampak pada tingkalaku sosial, yaitu agresi, menarik diri dari lingkungan sosial, cenderung
melihat sisi negatif orang lain.
c. Dampak pada hasil usaha dan suasana hati. Hasil usaha yang menurun atau suasana hati yang
cenderung murung.
Konsekwensi lain dari kepadatan tingi adalah persepsibawah control seseorang menjadi renah jadi
kita harus berbagi sumber dan mengambil keputusan bersama dengan lebih banyak oraang jika
kedapatan meningkat.
Budaya juga dapat berperan sebagai mediator atau buffer bagi akibat dari kepadatan tinggi,
kadang budaya menjadi semacam perisai bagi warganya. Bagaimana strategi yang di terapkan
budaya tertentu untuk mengatasi akibat dari kepadatan tinggi sehingga menjadi hal yang
menyenangkan? Bangsa Cina hidup dalam kepadatan tinggi, bahkan mereka cenderung memiliki
daerah dengan kepadatan tinggi dari pada kepadatan rendah. Dalam budaya Cina terdapat semacam
ketentuan mengenai akses ke ruang orang lain , anak-anak akan di hukum apabila memasuki bahkan
melihat kedaerah oaring lain (Andersen,1972). Orang-orang Cina telah berhasil beradaptasi dalam
kehidupan dengan kepadatan tinggi, seperti di China Town yang terdapat berbagai Negara. Mungkin
sekali mereka bisa hidup dalam kepadatan tinggi, tetapi dengan anggota keluarganya sendiri dan
tidak dengan orang luar atau orang asing.
Masyarakat dengan kepadatan tinggi telah mengembangkan perferensi perilaku dan
pengembangan rancang akrsitektural yang cocok dengan kepadatan tinggi. Dalam rumah-rumah di
Jepang, ruangan yang sama bisa digunakan untuk beberapa kegunaan , mengembangkan aturan
mengenai penggunaan dan transformasi ruang dari satu fungsi ke fungsi lainya.
Di Belanda, sepertihalnya di Jepang, masyarakat menciptakan komunikasi kecil dalam area-area
berkepadatan tinggi (Canter, 1971; Rapoport, 1977). Di Tokyo , banyak distrik yang menyediakan
bagi individu untuk bertemu dan berinteraksi sehingga dapat mengatasi masalah dalam rumah
mereka yang kecil. Kota-kota di belanda cenderung kompak dan terpisah dengan tema-teman terbuka
diantaranya yang memungkinkan adanya perasaan tidak sesak dalam area yang padat.
Dapat disimpulkan bawah untuk mengatasi kesesakan, masyarakat dari budaya tua
a. Membentuk jarak psikologis yang lebih besar dari antara individu,
D. PRIVASI (PRIVACY)
Terlepas dari preferensi privasi, perilaku dan tata nilai, setiap orang mempunyai keragaman
harapanakan privasi, bisa rendah bisa tinggi. Hal ini bergantung pada polah perilaku, konteks
kurtural, kepribadian seseorang, dan aspirasinya, parah penghuni penjara, misalnya mempunyai
privasi yang sanggat rendah.
Invasi pada privasi terjadi ketika seseorang secara fisik mengganggunya atau bila seseorang
seseorang mengumpulkan informasi tentang dirinya. Padahal, sesunggunya ia tidak ingin hal itu di
ketahui orang lain. Privasi dapat difasilitasi atau sebaliknya dimusnakan oleh rancangan fisik
ditempat tinggal, tempat keja, sekolah tempat-tempat umum atau bangunan pemerintahan. Privasi
sangat terkait erat dengan ruang personal, teritorialitas dan kesesakan bahkan terkait dengan
bagaimankita berbicara, pada perilaku nonverbal dan juga pada proses pengembanggan diri. Privasi
melibatkan proses psikologi lainya, seperti emosi, identitas diri, dan kemampuan orang melakukan
kontrol.
Altman melihat privasi sebagai konsep sentral dari semua proses menejemen ruang. Ruang
personal dan teritori merupakan mekanisme ketika orang dapat mengatur privasinya dari kesesakan
(crowding) merupakan merupakan kegagalan memperoleh privasi.
a. Golongan pertama adalah keinginan untuk tidak diganggu secara fisik. Golongan ini terwujud
pada tingkah laku menarik diri.
(i) Keinginan menyadari (solitude). Privasi dapat diperoleh karena dibatasi oleh elemen
tertentu sehingga bebas melakukan apa saja dan bebas dari perhatian orang lain.
(ii) Keinginan menjauh (seclusion) dari pandangan dan gangguan suara tetangga atau
kebisingan lalu lintas.
(iii) Keinginan untuk intem dengan orang-orang (intimacy). Misalnya, dengan keluarga atau
orang tertentu saja seperti kekasi, tetapi jauh dari semuah orang lainnya. Privasi diperoleh
tidak pada lingkungannya, tetapi yang terbangun di tengah-tengah kegiatan.
Berbagi tempat dipilih untuk mendapatkan privasi tertentu, misalnya seseorang yang menginkan
solitude, akan memilih teritori public, yaitu tidak ada seseorang pun mempunyai control terhadap
siapa yang bisa masuk ke dalam ruang tersebut. namun, orang mencari intimacy lebih sering memilih
teritori primer, yaitu ia mempunyaikontrol yang cukup terhadap siapa yang masuk ke dalam ruang
yang bersangkutan.
b. Golongan kedua adalah keinginan untuk menjaga kerahasiaan diri sendiri yang terwujud dalam
tingkalaku hanya memberi informasi yang perlu (control of information), yaitu
(i) Keinginan merasiakan diri sendiri (anonymity). Privasi yang diperoleh ketika berada
diantara sesama didaerah orang lain sehingga seseorang bebas berperilaku berbeda dengan
yang biasa dilakukannya, tetapi tidak ingin diketahui identitasnya. Misalnya, dandanan
para turis, persiden yang ber-incognito di antara rakyatnya untuk mengetahui bagaimana
kehidupan sesunggunya berjalan.
(ii) Keinginan untuk tidak mengungkapkan diri terlalu banyak keada orang lain (reserve).
Privasi ketika seseorang dapat mengontrol sepenunya kondisi bawah ia tidak dapat
diganggu dan ia yakin merasa aman karena tidak memiliki barier psikologis terhadap
adanya gangguan. Oaring yang berada disekitarnya menghargai dirinya yang ingin yang
membatasi komunikasi tentang dirinya dengan orang lain.
3. Tujuan Privasi
Dari uraian tersebut jelaskan bawah privasi merupakan inti dari ruang personal. Privasi adalah
kehendak untuk mengontrol akses fisik ataupun informasi terhadap diri sendiri dari pihak orang lain.
Sementara itu, ruang personal dan perwujudan privasi itu dalam bentuk ruang.
Dengan demikian privasi ini juga mempunyai fungsi dan merupakan bagian dari komunikasi.
Disimpulkan bawah privasi mempunyai tujuan sebagaiberikut.
a. Memberikan perasaan berdiri sendiri, mengembangkan identitas pribadi. Privasi merupakan
bagian penting dari ego seseorang atau identitas diri. Solitude dan intimacy khususnya dapat
digunakan seseorang untuk mengevaluasi diri, merenung bagaimana hidupnya telah berjalan,
bagaimana hubungan dengan sesamanya, dan apa yang harus dilakukanya.
b. Memberikan kesempatan untuk melepaskan emosi. Dalam kesendirian seseorang bisa berteriak
keras-keras, menangis memandang wajanyanya sendiri di cermin, dan berbicara dengan dirinya
sendiri. Masyarakat bisa membuat seseorang mampu menahan emosinya sehingga tidak
meledakannya didepan umum, kecuali dalam peristiwa tertentu seperti kematian.
c. Membantu mengevalwasi diri seniri, menilai diri sendiri. Kurangnya control atas lingkungan fisik
ataupun sosial menimbulkan rasa kurangnya rasa otonomi atau indenpedensi seseorang.
Lingkungan fisik dapat berperan sebagai mediator antara privasi dan control. Orang-orang kaya
mampu mengontrol aksesnya pada orang lain dan akses orang lain terhadapnya hampir disetiap
saat karena ia mampu menyediakan ruang-ruang pribadi, kantor pribadi, klub pribadi, transportasi
pribadi, seperti mobil dan pesawat sendiri. Apabila seseorang berada disuatu lingkungan baru
yang lebih privat, ia akan merasa memiliki control yang lebih besar atas kehidupannya.
d. Membatasi dan melindunggi diri sendiri dari komunikasi dengan orang lain. Salah satu alasan
seseorang mencari privasi adalah membatasi dan melindungi percakapan yang dibuatnya.
Apabilah seseorang ingin berbicara dengan seorang teman, pengacara atat konselornya, gurunya
mengenai hal bersifat pribadi, ia akan mencari tempat yang di anggapnya privat. Banyak hal yang
inggin disampaikan tertahan penyampaiannya karena tidak ada tempat yang dianggap cukup
privat untuk melindunggi percakapan tersebut. karyawan yang bekerja diruang terbuka (kantor
dengan open plan layout) kerap kali merasa kehilangan privasi. Mereka merasa kurang dapat
berbicara dengan bebas (Herbert, Brown, 1982).
b. Ruang-ruang semipublik sedikit lebih privat dari pada ruang public, seperti kordinator di
sebuah apertemen, taman-taman umum dilingkungan perumahan, di sekolah, atau lobi.
Penataan ruang semipublik untuk mendapatkan privasi lebih menekankan peluang terjadinya
interaksi atau menghidari terjadinya interaksi. Misalnya, ruang baca perpustakaan. Privasi
dapat di peroleh dengan penetapkan sekat pemisa yang mampu memberi privasi secara visual
bukan secara akustik. Dalam perancangan kompleks perumahan, penataan ruang diarahkan
agar prnghuni saling bertemu, mengenal, dan kemudian membentuk komunikasi yang akrab.
c. Ruang semiprivate termasuk tempat-tempat seperti kantor dengan tatanan terbuka, ruang
kumpulpara dosen, ruang tunggu VIP atau ruang keluarga tempat kelompok orang yang
hetorogen dapat bertemu, namun tetap tidak terbuka untuk kelompok lainya. Dalam hal ini
mendapatkan privasi adalah dengan menciptakan batas-batas antar kegiatan yang dapat
menimbulkan konflik. Seringkali merancang ruang semiprivate ini sukar, kecuali apabila
dikaitkan dengan keberadaan ruang privat ketika penggunannya dapat berkurang karean
orang dapt pergi menuju ruang privatnya.
d. Ruang privat biasanya hanya terbuka bagi seseorang atau sekelompok kecil. Arsitek yang
peka dapat merancang ruang untuk memaksimalkan kemampuan individu dalam mengatur
interaksi di antara sesamanya.
Contoh desain sebuah rumah sesunggunya secara relatife sudah merupakan suatu ruang yang
privat. Rumah-rumah di perkotaan dengan tembok dan pintu mungkin merupakan mekanisme yang
paling umum digunakan arsitek untuk membentuk privasi meskipun banyak terkait dengan besarnya
lahan atau jarak ke tetangga.
Di dalam rumuh di perlukan adanya berbagai tingkat privasi bagi penghuni rumah. Besarnya
rumah tidaklah menjadi penghalang untuk mendapatkan privasi,bahkan sering kali yang terjadi
adalah terbatasnya ruang, atau penataan ruang yang kurang baik sehingga penghuni rumah tidak
mempunyai privasi. Diluar rumah, privasi dapat beragam sebagai fungsi dalam desain di suatu
kawasan hunian. Pada hunian bertingkat banyak seperti apaertemen, terdapat berbagai ruangan yang
memberi privasi sangat rendah dibandingkan dengan ruang di dalam unit apaertemen, seperti ruang
Serkulasi pun dapat di desain sedemikian rupa sehingga tidak memberikan tamu terlihat atau
melewati ruang tidur untuk menuju toilet umum. Ruang semipublic dalam dalam sebuah kompleks
seperti ini dapat dirancang agar penghuni bisa mengamati tamu yang masuk, dapat melihat kegiatan
yang terjadi, tetapi sekaligus menguranngi kemungkinan adanya gangguan, memperhatikan privasi
visual, audial maupun informasional, khususnya bagi penghuni.
Pada desain perkantoran belakangan ini banyak sekali isu yang muncul tentang rendanya tingkat
kepuasan pemakai ruang kerja terhadap privasi ruang mereka. Frank Becker (1981) mengatakan
bawah seringkali arsitek merancang ruang kerja dengan perpatokan pada luas meter persegi ruang
per orang karena pertibangan efesiensi. Padahal, pegawai sangat melakukan privasi, bahkan lebih
penting daripada kenyamanan fisik, seperti suhu, ventilasi, perabot, penerangan, view, dan estetika
secara umum (Farrenkopt, 1980).
Tingkat terisolasi sebuah ruang kerja bergantung pada jenis pekerjaan, preferensi personal, dan
kaidah sosial. Ada sejumlah pekerjaan menuntut ruang solitude, ada pulah pekerjaan yang menuntut
ruang terbuka atau komunikasi antara depertemen. Ada orang yang lebih suka bekerja di ruang
terbuka bukan ruang pribadi yang tertutup, seperti penulis yang melakukan diskusi atau
brainstorming karyawan dengan rekan kerjanya sebagai suatu tim. Sementara itu, interaksi sosial
seperti percakapan informal kerap kali terjadi di lorong dan di ruang makan, sedngkan keputusan-
keputusan penting seperti yang menyangkut masalah keuangan akan di ambil seseorang atau
sekelompok orang diruang tertutup, atau wawancara dengan seseorang pelamar juga memerlukan
privasi.
Karena itu, desain sebuah kantor pun tidak tepikal dan hanya mengikuti tradisi, tetapi harus
disesuaikan dengan kegiatan dan karakteristik dari pekerjaan yang dilakukan didalamnya, perferensi
personal, dan norma-norma. Perferensi, harapan, nilai, dan perilaku seseorang berbeda satu sama lain
dan berbeda dari waktu ke waktu karena setiap individu berusaha mendapatkan privasi dalam
berbagai tingkatan yang dibutukannya.
Privasi terkait dengan proses psikologis lain, seperti mekanisme dan kendali menejemen ruang,
komunikasi, identitas, dan pertumbuhan. Lingkungan fisik arsitektural berperan memfasilitasi pivasi
ini, baik dalam arti mempermudah maupun memaksa orang dalam keterbatasan ruang arsitektural
(e) Pertumbuhan
Kesempatan untuk melalukan eksplorasi dan belajar.
(f) Kegembiraan
Adanya kendali stimulasi kenyamanan dan stimulasi kenyamanan dan tuntutan estetika.
Paduan ini di harapkan dapat menjdi jalan untuk dapat menjawab apakah desain lingkungan
tempat kerja telah membentuk fisik tidak menjadi factor yang menekan moral pekerja. Berbagai hal
di luar fisik yang menjadi perhatian steele, termasuk hal-hal positif seperti pertumbuhan, identifikasi,
dan kontak sosial. Paduan ini merupakan perkembangan dari teori hierarki kebutuhan dasar manusia
yang dikembangkan oleh Maslow (lihat Bab1).
Memang paduan semacam ini akan berlaku khusus untuk masalah desain tertentukarena tidak ada
daftar lengkap yang bisa mencerminkan kebutuhan semua pengguna bangunan ataupun arsitek.
Namun, adanya paduan semacam inin dapat memberi gambaran kebutuhan yang kerap kali muncul
pada pengguna ataupun arsitek.
Nowhere else are large group af individuals packed so closely together for so many hours, yet
expected to perform at peak afficiency on difficult learning tasks and to interact harmoniously.
Carol Weinstein, 1979
Salah satu alasan dasar menciptakan atau menata ulang kota, bagian kota, membangun bangunan,
taman atau system infranstruktur adalah menyediakan sarana untuk berbagai aktivitas manusia.
Seperti tidur, bekerja, rekreasi, ibada sebagai pemenuhan berbagai tingkat tuntutan kebutuhan
manusia seperti diuraikan dalam hierarki kebutuhan oleh Maslow.
Dalam pemenuhan kebutuhannya tersebut, terlihat adanya pola perilaku penggunanya. Barker
(1968) seorang tokoh psikologi ekologi yang mengembangkan penelitian perilaku individual di
lapangan, bukan di laborotorium seperti pada umumnya penelitian psikologi tradisyonal, menelusuri
pola perilaku manusia berkaitan dengan tatanan lingkungan fisiknya, dan melahirkan konsep “tatar
perilaku” (behavior setting).
David Haviland (1967) memakei istilah “ruang - aktivitas” untuk menggambarkan suatu unit
hubungan antara perilaku dan lingkungan bagi perancangan arsitektur. Konsep ruang aktivitas dan
tatar perilaku ini dapat dikatakan sama.
behavior setting terjadi pada pertemuan antara individu dan lingkungannya. Apabila bangunan
atau lingkungan binaan sudah pakai dan ternyata digunakan dengan cara yang tidak teriantisipasi
sebelumnya oleh perancang, ataupun terdapat perilaku pengguna secara tiba-tiba dan tidak terduga
ketika memasuki lingkungkungan tertentu, pengamatan behavior setting ini akan menjadi data
masukan yang sangat menarik bagi arsitek ataupun perancang lingkungan, baik perancangan
lingkungan, baik untuk perancangan fasilitas sejenis maupun untuk penataan ulang fasilitas yang
bersangkutan.
Tampaknya lebih mudah bagi arsitek untuk memakai kriteria nonperilaku untuk evaluasi
penggunaan metode statistic ataupun eksperimental untuk mengendalikan varian kesalahan.
Namun, pengamatan behavior setting ini arsitek dapat mengenal system sosial dari dalam setting
ini arsitek dapat mengenal system sosial dari dalam setting, dalam arti melihat pola-pola perilaku
systematis yang ditunjukan oleh penghuni lingkungan tertentu. Bagi para psikolog, pengamatan ini
memberi pandangan tentang manusia yang mengalami tekanan situsyonal, yang sering kali
berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Dengan demikian, hasil pengamatan ini dapat memperluas
wawasan pengetahuan arsitek dan perencangan lingkungan tentang manusia dari perspektif yang
berbeda, bukan hanya teoretis semata.
A. UNIT TATAR PERILAKU (Behavior Setting Unit)
Lingkungan fisik terdiri atas seperangkat permukaan dengan berbagai kualitas (lihat pembahasan
bab 3). Meskipun kadang kala lingkungan dirancang untuk tujuan estetika semata, pada umumnya
tujuan perancangan suatu lingkungan adalah guna memenuhi aktivitas tertentu. Salah satu cara bagi
para perancang lingkungan untuk memenuhi tuntutan aktivitas tersebut adalah dengan mengacu pada
system aktivitas yang terdiri atas suatu sirku perilaku (perin,1970).
Istilah ekstraindividual menunjukkan fakta operasional bahwa sebuah setting tidak bergantung
hanya pada seorang manusia atau objek. Dalam contoh perkuliahan atau rapat direksi, mungkin saja
terjadi bahwa dosen yang mempersiapkan kuliah dan direktur yang menyusun agenda rapat tidak
bisa menghadiri kegiatan dalam setting tersebut, tetapi behavior setting masih tetap bisa berjalan
dengan adanya orang pengganti. Demikian pula dengan objek dan lokasi, biasanya tidak ada objek
atau lokasi yang sedemikian pentingnya dalam sebuah setting sehingga tidak tergantikan. Yang
penting adalah konfigurasi secara keseluruhan, bagian demi bagian.
Istilah circumjacent milieu merujuk pada batas fisik dan temporal dari sebuah setting. Setiap
behavior setting berbeda dari setting lainnya menurut wakru dan ruang. Seseorang hanya bisa
menjadi partisipan dalam sebuah behavior setting apabila ia masuk kedalam setting tertentu pada
waktu dan tempat yang tepat.
ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella
89
Laurens
Sementara itu, synomorphic yang berarti ‘struktur yang sama’ menunjukkan adanya hubungan
antara milieu dan perilaku. Batas-batas milieu dan bagian internal sebuah setting tidak ditentukan
secara sembarangan, tetapi merupakan sesuatu yang harus selaras dengan pola perilaku
ekstraindividual dalam setting. Bagian ini merupakan bagian yang terpenting bagi arsitekdan
perancang lingkungan karena bagian inilah yang diotak-atik oleh perancang.
Ketidak hadiran seseorang atau suatu bagian memang dapat menimbulkan perbedaan dalam hal
berfungsinya suatu setting. Akan tetapi, tidak berarti bahwa bagian itu menghalangi terjadinya
sebuah behavior setting. Dengan demikian, bebarti suatu tatanan fisik tertentu bisa menjadi bagian
dari beberapa behavior setting apabila aktivitas yang terjadi berbeda-beda dan pada waktunya yang
berbeda pula. Melalui definisi ini terlihat bahwa setiap kriteria menunjukkan atribut tertentu dari
sebuah setting.
2. Pola Perilaku.
Suatu pola perilaku bisa terdiri atas beberapa perilaku secara bersamaan, antara lain sebagai
berikut:
a. Perilaku emosyonal
b. Perilaku untuk menyelesaikan masalah;
c. Aktivitas motoric;
d. Interaksi interpersonal;
e. Manipulasi objek.
Kombinasi dari perilaku ini membentuk suatu pola perilaku, terjadi pada lingkungan fisik
tertentu, atau pada milieu-nya
Suatu behavior setting mempunyai stuktur internal sendiri. Setiap orang atau
kelompokberperilaku berbeda karena masing-masing mempunyai peran yang berbeda-beda.
Misalnya di dalam sebuah kelas, guru mempunyai perans sebagai pelajar, ia menempati posisi
tertentu dimuka kelas misalnya berupa panggung untuk memungkinkan ia melihat seluruh kelas dan
mengendalikan pola perilaku yang terjadi.
Banyak stuktur behavior setting yang dibedakan berdasarkan siapa yang memegang kendali
aktivitas, seperti peran pendeta dalam kegiatan peribadatan di sebuah gereja. Atau peran artis dalam
sebuah pertunjukan musik.
Barker menamakan daerah yang ditempati oleh si pengendali atau pemegang kontrol tersebut
sebagai performance zone. Namun, tidak semua tatanan mempunyai performance zone dibedakan
desainnya secara arsitektural. Mialnya, ruang diskusi atau ruang rapat. Tatanan fisik bagi pemimpin
rapat sama dengan peserta rapat lainnya. Sebuah contoh behavior setting yang terjadi dalam sebuah
toko digambarkan oleh Paul Gump (dalam lang, 1987) dengan analisa sebagai berikut.
Seseorang berada dalam suatu konteks nonhuman, yaitu sebuah toko dengan pembatas fisik
berupa dinding, pembagi ruang internal berupa gang diantara rak penjualan dan sejumlah benda yang
dijual.
Tentu saja tidak ada batasan yang menyebuitkan jumlah dimensi dalam sebuah behavior setting.
Hal ini bergantung pada tujuan si pengamat sendiri. Ia akan menyeleksi dimensimana yang sesuai
dengan tujuan dan kepentingannya.
Mengacu pada tuju dimensi tersebut, apabila reting presentase tumpang-tindih antara ketujuh
dimensi tersebut rendah kedua etitas itu dikatakan sebagai dua behavior setting yang berbeda.
Sebaliknya, apabila presentasenya tinggi, artinya banyak dimensi yang tumpang tindi, kedua etitas
itu dikategorikan sebagai satu behavior setting.
Barker menguraikan sebelas pola aksi dalam setting, yang dapt segera diamati dan dicatat, ada
atau tidak adapun tidak ada dalam setting tersebut, yaitu berkaitan dengan estetika, bisnis,
pendidikan, pemerintah, nutrisi, aksi sosial, penampilan personal, kesehatan masyarakat,
professional, rekreasi, dan religious.
Setting juga dapat diamati dari sisi kuatnya tekanan pada orang yang beradaptasi. Adakah
otonomi yang dimiliki setting terhadap pengaruh dari luar? Seberapa jauh setting ini mampu
melayani kebutuhan berbagai populasi subgroup , atau bisa disebut sebagai kesejatraan anggotanya?
Manfaat dari pengujian semacam ini adalah mempersatukan berbagai minat kedalam sutau behavior
setting yang terencana dengan baik sehingga respons penghuni dapat terantisipasi dan terkendali
dengan baik.
Dari uraian mengenai behavior setting tersebut jelas bahwa beberapa objek berfungsi membentuk
batas spasial dan objek lain berfungsi mendukung pola aktivitas yang terjadi didalamnya. Objek
pembentuk batas spasial mempunyai hubungan circumjacent dengan perilaku, yaitu objek pembatas
mengelilingi perilaku, sedangkan pada jenis objek yang kedua, yaitu sebagai pendukung pola
aktivitas, perilaku mengelilingi objek.
Apabila kita ambil contoh beberapa jenis objek seperti sebuah dinding masif dan pagar kawat,
kemudian kita bandingkan dengan sebuah cangkir dan asbak, terlihat bahwa dua objek terakhir
menimbulkan pola perilaku tertentu yang berbeda satu sama lain. Aktivitas minum dan aktivitas
membuang punting, sedangkan dinding massif dan pagar kawat tidak selalu mempunyai peran yang
jelas sebagai pembatas special, kadang –kadang fungsinya rancu karena juga menandakan
kemungkinan menjadi pendukung pola perilaku tertentu, misalnya aktivitas pameran.
Penggunaan objek (cangkir dan asbak) yang tidak pada tempatnya, misalnya cangkir untuk
membuang pontong rokok,dapat juga terjadi. Namun, hal ini dapat memberi tanda pembentuk atribut
pada pengguna, orang seperti apakah dia?
Semakin kuat spesifikasi perilaku yang melekat pada suatu objek dalam setting, seperti cangking
untuk minum berarti ia semakin berada di tengah medan persepsi manusia. Sebaliknya, objek-objek
pembatas special jarang berada dipusat kesadaran kita, bahkan mungkin tidak kita sadari
keberadaannya dalam sebuah setting.
Kedua jenis objek ini mungkin menjadi stimulasi untuk meniadakan pola perilaku tertentu dan
menempatkan pola perilaku yang lain. Karena synomorphy maka perubahan pada pembatas ataupun
1. Sistem Aktivitas
System aktivitas dalam sebuah lingkungan terbentuk dari rangkaian sejumlah behavior setting.
Sistem aktivitas seseorang mengambarkan motivasi, sikap, dan pengetahuanya tentang dunia dengan
batasan penghasilan, kompetensi, dan nilai-nilai budaya yang bersangkutan (chapin dan Brail 1969;
perteous, 1977). Dengan mengetahui system aktivitas inilah maka arsitek mulai merancang dan
mengolah bentuk batas-batas behavior setting; berupa batas fisik yang jelas atau batas simbolik atau
kombinasi keduanya; menata setiap setting dalam rangkaian system aktivitas.
Dalam pengamatan behavior setting, dapat dilakukan analisis melalui beberapa cara, antara lain
sebagai berikut.
a. Menggunakan Time Budget
Time budget memungkinkan orang mengurai/mendekomposisikan suatu aktivitas sehari-hari,
aktivitas mingguan atau musiman, ke dalam seperangkat behavior setting yang meliputii hari
kerja, atau gaya hidup mereka (Michelson dan Reed, 1975). Fungsi dari time budget adalah untuk
memperlihatkan bagaimana seorang individu mengonsumsi atau menggunakan informasi ini
meliputi hal-hal sebagai berikut.
(i) jumlah waktu yang dialokasikan untuk kegiatan tertentu.dengan variasi waktu dalam sehari,
seminggu, atau semusim.
(ii) frekwensi dari aktivitas dan jenis aktivitas yang dilakukan
(iii) Pola tipekal dari aktivitas yang di lakukan.
Dari data tersebut dapat diketahui pilihan yang dibuiat orang untuk melakukan perilaku tertentu.
Artinya, menjadi dasar yang mempengaruhi sikap, nilai, dan hirarki nilai seseorang ataupun
masyarakat setempat. Premis yang dipakai adalah aktivitas yang menyita waktu paling lama,
terutama di waktu paling lama, terutama di waktu senggang mereka.Ini, selain dapat di ketahui
Melalui informasi ini, selain dapat di ketahui fasilitas apa saja yang paling diamati, layanan yang
diperlukan, khususnya di area transportasi, area rekreasi atau perencanaan tata guna lahan, juga dapat
dianalisis bentuk organisasi yang ada.
b. Melakukan sensus
Sensus adalah istilah yang dikemukakan oleh para alhi psikologi lingkungan untuk
menggambarkan proses pembelajaran semua aktivitas seseorang individu dalam waktu tertentu
dengan metode pengamatan. Seperti yang dilakukan barker dan Wright dengan mengamati perilaku
seseorang anak sepanjang hari. Cara ini di pakai dengan tujuan mendapatkan pengertian mengenai,
misalnya bagaimana para pekerja menggunakan sebuah bangunan.
Dari semua setting merupakan kekuatan metode ini karena dapat menghindari terjadinya masalah
sampling. Namun, sekaligus juga merupakan kelemahan metode ini karena menjadi sangat sulit
untuk mendekati semua lingkungan.
Dari observasi bisa di ketahui kondisi lingkungan secara fisik, seperti jumlah, jenis, dan tatanan
perabot yang ada. Melalui pengukuran yang lebih rinci bisa diketahui keadaan ambiennya, yang
sseperti suhu ruangan, kelembaban, pencahayaan ruangan, atau tingkat kebisingan.
Sebuah behavior setting seperti sebuah taman kota atau plaza, dapat di bagi menjadi beberapa
sub-setting. Kegairaan dan kehidupan dalam tempat-tempat semacam ini sangat bergantung pada
desain dari masing-masing sub-setting. Peluang atau affordances apa yang di tawarkan oleh sub-
settin tersebut. tempat teduh, penerangan yang cukup, tempat duduk yang cukup nyaman serta lokasi
yang memungkinkan orang melihat orang lain untuk menikmati dan menonton kejadian di
sekitarnya, menjadi daya untuk berkumpul.
Frampton (1980) mengkritik arsitektur dari pengerakan modern ataupun pascamoderen yang
tampak lebih gersang bagi behavior setting di bandingkan lingkungan vernacular. Banyak pengamat
yang terkesan dengan kehidupan dalam lingkungan vernacular yang mungkin di rancang secara
unselfconscious (Jacobs,1961 dan rudofsky, 1964) yang justru menawarkan banyak peluang untuk di
tanggapi dalam pemenuhan kebutuhan seseorang.
Analisis behavior setting dapat membantu arsitek untuk mengerti pola perilaku yang perna terjadi
dan mengantisipasi yang akan datang berdasarkan persepsi akan kecenderungan orang berperilaku
dalam cara-cara tertentu, untuk kemudian mengakomodasikan kekayaan perilaku tersebut ke dalam
desain sebuah bangunan atau kompleks banguan. Misalnya, aliran orang, barang, dan informasi
dalam setting bukan satu-satunya pertimbangan dalam perihal efisiensi oprasional. Dengan dalih
efisiensi, arsitek dari gerakan modern kerap kali mengurangi jalur pergerakan, sirkulasi orang dan
barang, yang sesunggunya juga dapat berarti mengurangi affordances lingkungan seperti peluang
Ada hubungantimbal balik antara individu dan system perilaku, yakni karena manusia adalah
bagian dari behavior setting yang memberi konstribusi pada behavior setting. Akan tetapi, ia juga di
dukung oleh behavior setting dalam berperilaku.
a. ruang berbatas terhadap (fixed-feature space), ruang berbatas tetap di lingkupi oleh pembatas
yang relative tetap dan tidak muda di geser, seperti dinding massif, jendela , pintu dan lantai.
b. Ruang bebatas semitetap (semifixed feature space). Adalah rumah yng pembatasnya bisa
berpinda. Pada rumah-rumah tradisional jepang misalnya, dinding dapat digeser untuk
mendapatkan setting yang berbeda sesuai dengan kebutuhan dan pada waktu yang berbeda
sesuai dengan pameran yang di batasi oleh partisi yang dapat dipindakan ketika dibutukan
setting yang berbeda.
c. Ruang informal, adalah ruang yang terbentuk hanya untuk waktu singkat, seperti ruang yang
terbentuk ketika dua atau lebih orang berkumpul. Ruang ini tidak tetap dan terjadi di luar
kesadara orang yang bersangkutan
Dengan demikian, perlu di sadari bawah dalam desain behavior setting tidak selalu perlu dibentuk
ruang-ruang tetap,baik yang berpembatas tetap maupun semitetap. Banyak ruang justru dibentuk
seketika ia diaptasikan memungkinkan adanya berbagi pola perilaku pada waktu yang berbeda tanta
perlu melakukan perubahan physical milieu.misalnya, sebuah ruang serbaguna yang dapat di pakai
pada suatu saat untuk pertandingan badminton, tenis meja, dan karate. Pada lain bisa dipakai untuk
kegiatan halal bihalal. Pada kesempatan lain bisa juga untuk tempat pertujukan sendratari. Robert
Venturi mengatakan:
“…ada justifikasi untuk bangunan serbaguna,… sebuah ruangan dapat mempunyai sejumlah fungsi pada
saat yang sama atau pada waktu yang berbeda.”
Sementara itu pada lingkungan yang faksibel, pembatas ruang atau struktur internal mudah
digeser atau dipindakan untuk membentuk setting yang berbeda guna mengakomodasikan kebutuhan
yang berbeda. Seperti ruang kantor dengan dinding partisi yang mudah dipindakan.
Bangunan atau kompleks bangunan yang dapat diadaptasikan dan fleksibel cenderung lebih bisa
bertahan terhadap perubahan walaupun tidak otomatis berarti desain bangunan seperti ini yang
terbaik. Dalam contoh plaza di bawah ini, pengguna dapat mengeser kursi ke tempat yang mereka
inginkan untuk membentuk ruang-ruang informal. Ruang-ruang informal ini terjadi saat kelompok
pengguna ingin berinteraksi dengan sesamanya. Misalnya, untuk ngobrol atau menikmati kesejukan
air mancur.
Di sisi lain, manusia mempunyai citra tentang sebuah bangunan dan pola perilaku yang di anggap
pantas diakomodasikannya berdasarkan pengalaman mereka sendiri. Misalnya, sebuah tipologi
Berikut ini contoh bagaimana desain bangunan yang di peruntukan public, dengan desain utama
tipekal, namun masih memberi peluang bagi pengguna untuk mengatur tatanan ruangnya sesuai
dengan tuntutan kebutuhannya.
The knowledge of the house is not limited to the buider alone. The unser or master of the house will even
be a better judge than the buider, just as the pilot will judge better of a rudder than the carpenter, and the
guest will judge better of a feast than the cook.
Arstotle
Sekilas tempaknya evaluasi bukanlah suatu yang baru bagi arsitek karena ia sudah melakukannya
sejak dulu apabila yang di maksud adalah membandingkan abjek hasil desainnya dengan standar
tertentu, misalnya tahap standar estetika. Kesimpulan yang didapat tentu saja menjadi sangat
subjektif. Demikian pula standar yang di pakai tidak dinyatakan dalam progan eksplisit.
Secara konseptual terdapat perbedaan antara penelian bangunan semacam ini dan evaluasi
pernahuni, yaitu hasil yang diinginkan adalah hasil yang objektif dan standar yang di pakai
dinyatakan secara eksplisit.
Pengamatan behavior setting yang diuraikan dalam bab terdahulu adalah salah satu bentuk
evaluasi purnahuni. Evaluasi ini tidak dilakukan terpisah dari proses desain dan pembuatan asumsi
mengenai penggunaan bangunan, tetapi menjadi bagian dari proses desain (lihat penjelasan pada
bab2). Kini semakin banyak arsitek dan perencana lingkungan menaruh perhatian pada evaluasi
serupa untuk mengetahui kebutuhan pengguna bangunan, atau mengetahui seberapa besar derajat
kepuasan pemakainya.
Membuat standar yang eksplisit bukanlah pekerjaan mudah, baik dalam hal mendefinisikan
maupun mengukurnya. Terlebih bila yang di ukur adalah derajat kepuasan pengguna.
Membandingkan keberhasilan satu bangunan dengan bangunan lain dari segi estetika atau fisik jelas
lebih mudah dari pada mengukur derajat kepuasan pengguna.
Kesulitan lain adalah metode yang digunakan. Bagaiman kita dapat mengetahui dengan tepat
factor apa yang menentukan kepuasan penggunanyaa. Desain arsitektunrnyakah? Atau factor lain?
Misalnya, kepuasan karyawan bekerja disebuah kantor. Apakah karena pengaruh desain
bangunannya, gajinya, promosi, ataukah fasilitas yang tinggi?
Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan maka dalam melakukan POE harus hati-hati karena
harus melibatkan semua unsur pengguna. Semua aktivitas penting yang ada dalam bangunan atau
kompleks tersebut dan penggunaan metode penggumpulan data dan analisis harus tepat. Dalam bab
ini akan dibahas mengenai pengertian evaluasi purnahuni, berbagi masalah yang muncul dalam
proses evaluasi dan metode yang di pakai.
Terdapat keragaman tujuan yang ingin di capai dengan melakukan POE ini; dalam cara
melakukan evaluasi, ataupun untuk kepentingan pada hasil evaluasi ini digunakan. Namun, secara
umum tujuan itu dapat dikategorikan sebagai berikut.
1. Keinginan untuk mengumpulkan dan mewakili pandangan pengguna (bukan klien yang
membayar arsitek), seperti parah penyewah gedung perkantoran, lain karyawan kantor mengenai
setting yang mereka tempati. Untuk tujuan ini biasanya dilakukan wawancara dan pengisian
kuesioner untuk mengetahui sikap dan tingkat kepuasan pengguna.
2. Minat dalam mengeksplorasi isu konseptual, seperti Wayfinding atau stres lingkungan. Meneliti
hal-hal teoritis. Biasanya untuk tujuan ini digunakan eksperimen lapangan dan evaluator
mempunyai kendalai yang cukup besar.
3. Mengetahui sejauh mana pengaruh kepuasan sebuah organisasi terhadap setting atau pengguna.
Termasuk di dalamnya penyusunan program dan desain bangunan baru, penempatan di gudang
baru, menyelaraskan penggunaan gedung lama setelah adanya perubahan kepentingan organisasi,
dan mengelolah ruang. Dapat dikatakankategori ini bertujuan mempengaruhi pengambilan
keputusan.
4. Pada umumnya, evaluator kelompok ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan organisasi.
Mereka tidak membuat argumentasi ilmiah, tetapi menciptakan sebuah proses dimana parah
pengguna lingkungan dan pengambilan keputusan ikut terlibat dan berpartisipasi sehingga
kepentingan mereka semuah terwakili. Untuk itu, digunakan metode interaktif seperti wawancara
kelompok dan individu serta jalan bersama.
Dengan adanya kejelasan sasaran melakukan POE, selanjutnya dapat ditentukan metode yang
akan dipakai.
B. PROSES EVALUASI
Meskipun POE beragam dalam skala, sumber daya, sasaran, minat, dan kealihan perilaku
evaluasi, secara umum terdapat tahapan sebagai berikut.
Keys dan wener (1980) menunjukan dua hal penting dalam tahap ini, sebagai berikut:
a. Adanya dukungan dari berbagai tingkatan dalam struktur organisasi;
b. Mengenal sejara proyek
Jajarab otomatis dalam organisasi harus di kenal dengan baik, untuk mencega terjadinya
halangan karena mungkin ada pihak tertentu dalam organisasi yang ingin menjegal atau
sebaliknya mendukung rencana evaluasi ini berkaitan dengan sejara proyek.
Untuk itu, di perlukan suatu strategi untuk mendapatkan kerjasama dari seluruh jajaran organissi.
Kontak personal sangat membantu untuk mengenal apa yang menjadi kebutuhan meraka dan apa
yang menjadi pandangan mereka, terutama pada mereka yang akan terkena dengan adanya evaluasi
ini.
Sering kali terjadi, merika tidak memberikan informasi yang jelas karena kekawatiran bawah
dirinya terkena dampak hasil evaluasi. Ada kecurigaan pada evaluator. Atau sebaliknya, ia akan
beradaptasi apabila merasa bawah hasil evaluasi akan memberi keuntungan bagi dirinya. Dalam hal
ini tugas para evaluator adalah mengetahui secara mendalam apa yang diinginkan para pengguna.
Karena itu, evaluator perlu mendapatkan sumber yang bisa di percaya. Untuk itu, mungkin memo
dari pihak otoritas yang berwenang dapat membantu kelancaran pencarian data. Selain mencari
sumber yang terpercaya, juga diperlakukan adanya jaminan bahwa identitas sumer informasi tidak
(i) Apakah semua orang dalam berbagai tingkat otoritas sudah dihubungi?
(ii) Apakah manfaat dari pelaksanaan evaluasi ini sudah dijelaskan pada mereka? Hal ini
termasuk menjelaskan keuntungan yang bisa mereka peroleh dalam menyelesaikan
pekerjaan atau kepuasan individu dalam membantu organisasi.
(iii) Apakah persetujuan atau pengesahan yang diperlukan sudah ditangani?
(iv) Apakah sudah disusun sebuah kerangka kerja sebagai panduan dalam mengumpulkan
data?
(v) Apakah gambaran umum mengenai setting yang akan dievaluasi sudah diperoleh?
C. METODE EVALUASI
Terdapat sejumlah metode pengumpulan data untuk melakukan evaluasi lingkungan. Berikut ini
akan dipaparkan tuju metode yang umum di pakai dalam proses evaluasi purnahuni.
1. Walk-through interview
Tenikik ini merupakan prosedur wawancara yang tidak tekstur. Diusulkan oleh Bechtel, Srivasta
(1978) dan Zeisel (1981), dan Daish (1982). Teknik ini menggunakan lingkungan fisik sebagai
wahana yang tepat untuk membantu responden mengartikulasikan reaksi mereka terhadap setting.
Misalnya, dalam evaluasi yang dilakukan depertemen pekerjaan dan pengembangan di New
Zealand, evaluator melakukan program jalan bersama, dua setengah hari sampai empat hari, dan
mewawancarai tuju sampai sepuluh kelompok partisipan selama melakukan program jalan bersama
dalam bangunan itu.
Program ini mengambarkan bawah tim evaluator ini menganggap pengguna begitu penting, lebih
dari keputusan parah alhi. Para partisipan diajak berbicara, atau wawancara bebas/tidak terstuktur
untuk mendapatkan informasi mengenai apa yang penting dimata pengguna setting itu.
Tuju langka yang diusulkan oleh tim New Zealand ini adalah sebagai berikut.
a. Membuat tim tugas yang akan merencanakan melakukan, dan mencatat evaluasi.
b. Tim tugas memilih kelompok yang akan diwawancarai dan menyusun rencana jalan bersama area
yang akan dikunjungi. Partisipan dipilih dari orang-orang yang mempunyai perhatian pada
bangunan atau setting yang dievaluasi, seperti penghuni, manajer, dan pemelihara bangunan.
c. Memilih dan merorganisasi partisipasi individu, dapat dipilih secara acak atau dikelompokan
berdasarkan pengalaman, usia, suku bangsa, dan kelompok minat.
Keuntungan dari cara ini adalh relative murah dan dapat menemukan apa yang dirasakan oleh
pengguna, apa yang dianggap penting oleh pengguna dan membantu agar klien tetap mematuhi
proses evaluasi. Kelemahan cara ini adalah perbandingan antara beberapa setting dan waktu
terkadang sukar karena perbedaan budaya dan kepribadian dari orang yang ikut berpartisipasi dalam
program jalan bersama ini mungkin saja memberi respons yang berbeda.
2. Sesi Workshop
Participant workshop dapat di pakai sebagai metode menghubungkan informasi yang di peroleh
dengan umpan balik bagi klien. Peserta workshop dapat terdiri atas perwakilan dari kelompok
pengguna yang relevan.
Sesi ini merupakan forum terdapat perbedaan-perbedaan yang dapat didiskusikan, membantu
mengklarifikasian kriteria evaluasi yang penting yang dipakai oleh kelompok-kelompok partisipan.
Sesi ini dapat menjadi sarana menjaring persepsi partisipan secara cepat dan menjejaki implementasi
3. Wawancara
Kendali dan topic yang diskusikan dalam wawancara dapat saja beragam. Ada yang melakukan
dengan sangat control seperti pengajuan pertanyaan: jika hari ini ada pemilihan rector, anda memilih
calon Aatau calon B? sebaliknya, dengan wawancara bebas/tidak terstruktur bisa berupa percakapan
sosial dengan daftar sejumlah topic, yaitu responden bebas menjawab dan tidak harus mengikuti
jawaban sesuai dengan jawaban evaluator.
Penggunaan model, gambar computer, dan simulasi dalam evaluasi perhunian dapat
meningkatkan efisiensi. Misalnya, pengguna dapat ditanyai mengenai responsnya tentang atribut
visual sebuah setting tanpa harus berada dalam setting yang bersangkutan. Ia hanya melihat selide,
film, atau gambar. Bahkan dapat menanyakan respons mereka terhadap bangunan yang belum
dibangun dengan menggunakan gambar rencana gambar atau model saja. Pengujian pun bisa
dilakukan terhadap sejumlah pengguna sekaligus.
Wawancara individual diharapkan lebih menghasilkan jawaban yang jujur dibandingkan
wawancara yang melibatkan beberapa orang sekaligus. Adanya teman teman atau atasan mungkin
mengurangi kelengkapan ataupun kejujuran jawaban yang diberikan.
4. Kuesioner
Kuesioner juga di sebut sebagai wawancara tertulis. Disini evaluator mempunyai control yang
sangat ketat terhadap topic, bahkan juga terhadap respons respondennya. Terdapat tiga isu kritis
dalam penyusunan kuisioner: laporan pengendisian, dan kelemahan.
Tampilan dari lembar kuisioner secara keseluruhan perlu di perhatikan. Apakah cukup menarik?
Ada gambarnya? Apakah tampak profesionalnya? Apakah tampak berat dan penuh oleh tulisan?
Orang dapat mempengaruhi respons terhadap kuisioner dengan susunan pertanyaan. Zeisel
ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella
114
Laurens
mengusulkan mulai dengan pertanyaan umum dengan bergerak menuju hal-hal yang spesifik.
Kelelahan bisa dikurangi dengan mengelompokan pertanyaan dari topic yang sama. Jumlah kuisoner
yang kembali atau di tanggapi responden juga penting unyuk di cermati karena hal itu menunjukan
keberhasilan metode kuisoner ini.
Kuisoner merupakan cara mendapatkan data dari responden dalam sejumlah besar dan yang
paling efektif dari sisi biaya. Demikian dengan kontrolnya yang tinggi, cara ini memungkinkan
pembandingan yang lebih besar dibadingkan dengan metode terbuka.
Pengamatan mempunyai keuntungan karena langsung dan dinamis. Apabila dilengkapi dengan
penggunaan daftar periksa (checklist) dapat menghasilkan banyak data kuantitas untuk analisis
dalam menginterprestasikan kualitas subjektif.
Untuk meneksplorasi persepsi pengguna lebih dalam lagi, beberapa alhi telah menawarkan
digunakanya pendekatan dengan permainan. Beberapa di antaranya adalah permainan dari Redding
dan Peterson, permainan dari Wilson, permainan dari Hoinville dan rekan, yang pada dasarnya
adalah berusaha melibatkan pengguna secara aktif dengan pertimbangan untung rugi atau
konsekuensi dari preferensi mereka.
Permainan rancangan Redding dan Peterson berupa papan dengan sejumlah lingkaran jarak
menyerupai papan bidik penahan atau tembak. Dengan pusatnya adalah rumah mereka.
Dari penjelasan tersebut di simpulkan bawah evaluasi purnahuni dapat dikelompokan menjadi tiga
kelompok, yaitu evaluasi teknis, evaluasi fungsional, dan evaluasi behavioral. Evaluasi ini harus
dibedakan dengan kritik arsitektur yang menekankan pada hal estetika arsitektur semata yang
dilakukan seorang alhi arsitektur dengan mengendalikan visi dan selerah estetikanya. Evaluasi
purnahuni ini menggunakan kebutuhan atau program pengguna sebagai kriteria atau tolak ukur
keberhasilan lingkungan, mengandalkan kesimpulannya pada kesan pengguna dan hasil survey atau
pengamatan.
Proses evaluasi ini menjadi bagian dari desain behavior setting yang melibatkan individu dan
berbagai kelompok dalam perencanaan dan menejemen ruang, mendidik orang dalam penggunaan
ruang secara bijak dan kreatif agar mendapatkan keseimbangan yang harmonis antara lingkungan
sosial, fisik, dan alam.
Seperti dijelaskan dalam pembahasan terdahulu, pendekatan desain lingkungan tempat studi
perilaku lingkungan ikut memberi kontribusi, merupakan pendekatan yang multi disiplin. Interaksi
antara alhi sosiial dan perancang lambat laun menghasilkan suatu gambaran yang lengkap mengenai
proses desain sosial dengan perhatian utama pada pertimbangan mengenai “ siapa,apa,dimana”.
Dengan mengacu pada model intergratif interaksi manusia dan lingkungannya maka dapat
disimpulkan adanya limaelemen dalam desain sebagai berikut.
1. Pengguna
Adalah mereka yang terlibat dalam aktivitas normal di dalam bangunan yang bersangkutan,
seperti karyawan, direksi, penghuni, dan pengujung. Latar belakang, preferensi, perilaku, dan
kebutuhan mereka merupakan hal yang dipertimbangkan dalam desain.
2. Setting
Meliputi bangunan dan lingkungan ruang luar yang dirancang dan juga organisasi yang akan
menempati lingkungan binaan tersebut. Gagasan, sasaran, kendala, dan kebiasaan organisasi harus
di pertimbangkan seperti juga persyaratan fisik, seperti luas, penerangan, suara, penataan ruang
secara spesifik, dan dekorasi.
3. Konteks Lingkungan
Meliputi lingkungan di sekitar setting. Bagaimana kondisi disekitar lingkungan? Bagaimana
dengan polusi udara, lalu lintas, tempat parker, kondisi topografi dan geografis tapak, dan iklim?
4. Proses Desain
ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella
119
Laurens
Merujuk pada sekuens tahapan yang dilalui arsitek dan perancang sosial (lihat model pada skema
2.3 dan 2.4). Pada tahap evaluasi peneliti sosial dapat berperan banyak untuk memberi masukan
hasil evaluasi sebagai umpan baik penyusun program.
5. Kontek sosio-historikal
Adalah konteks dimana bangunan atau lingkungan baru akan terjalin menjadi bagainnya.
Kecenderungan ekonomi atau politik macam apa yang akan mendominasi dalam beberapa dekade
mendatang ketika bangunan selesai dibangun? Bagaimana dengan grafik demografi? Bagaimana
dengan perkembangan dan perubahan sikap sosial dan individu?
Tentu saja beberapa prediksitentang konteks sosial-horisontal ini bisa tidak cocok. Namun tujuan
utamanya adalah berusaha memprediksi kecenderungan-kecenderungan ini untuk menghindari
terjadinya pembangunan fasilitas yang mubazir.
Pada bangunan-bangunan yang dikerjakan oleh komunitas kecil, tempat orang saling memberi
informasi dan bekerjasama sesuai dengan tradisi dalam pelaksanaannya, seperti yang dinamakan
Rapoport (1969) sebagai bangunan pereindustrial-vernacular bangunan yang sudah mengikuti
norma-norma masyarakat setempat, minat individu,iklim, kondisi geografis, dan bahan bangunan
setempat-proses semacam ini menjadi tidak penting.
Desain dengan pendekatan perilaku yang dimanfaatkan hasil evaluasi purnahuni, lebih diperlukan
pada masyarakat industry atau pascaindustri, ketika proyek yang ada melibatkan begitu banyak
individu atau kelompok dengan berbagai peran pada setiap tahapan. Ada kecenderungan komunikasi
di antara pihak terkait dalam proses desain berkurang. Sementara itu, preferensi di antara pihak-
pihak yang terlibat bisa begitu beragam. Globalisasi juga membawa desain dari suatu tempat ke
tempat lain tanpa pengujian kesesuaian dengan aktivitas dan kebutuhan. Bahkan sering kali yang
menjadi masalah adalah dari pandangan siapakah kesesuaian tersebut dilihat. Pandangan para alhi,
arsitek, dan perancang sering kali berbeda dengan pengguna lingkungan. Melalui proses ini
perbedaan pandangan dapat dikurangi dengan data aktivitas yang di kumpulakan dan dibicarakan
bersama pengguna.
Sampai batas tertentu proses desain dengan pendekatan behavior ini juga mengubah perilaku
pengguna dalam arti positif, seperti meningatkan produktivitas pekerja, mempererat hubungan sosial
antara warga, mengurangi agresi dalam komunitas tertentu, atau memfasilitasi dukungan sosial dan
membangkitkan control personal (Holahan,1983). Semakin banyak seseorang mempunyai kendali
atas lingkunganya, semakin kecil peluang terjadinya stress pada lingkungan tersebut. control
personal adalah proses individual, tetapi dukungan sisial adalah proses sosial.
Dengan terlibat dalalm proses desain berarti juga meningkatkan setiap individu bawah pengguna
bangunan atau lingkungan adalah juga pameran dalam keberhasilan desain. Sebelum munculnya
ilmu perilaku lingkungan, penguna lingkungan lebih banyak diabaikan dalam desain arsitektur.
Disisi lain, kemajuan teknologi menjaukan arsitek dengan pengguna karyanya. Arsitek semakin
menekankan dimensi estetika arsitektur dalam setting fungsional atau simbolis. Bahkan dalam
majalah arsitektur kerap ditampilkan foto dengan mutu cetakan yang eksklusif, bangunan dari
berbagai sudut pandangan, tetapi tidak terlihat ada manusia di dalamnya. Apakah hal ini juga bisa
diartikan bawah perhatian arsitek memang tertuju pada bangunan fisiknya semata, dan tidak ada
penggunanya?
Philip Johnson, seorang arsitek (seperti dikutip oleh sommer, 1983) menyatakan, pekerjaan
arsitek adalah menciptakan bangunan yang bagus. Itu saja. Baginya arsitektur lebih sebagai karya
seni dari pada sebagian lingkungan tempat manusia hidup. Akan tetapi diawal 70-an, IAI
Selanjutnya, tugas arsitek untuk mengubah paduan desain ini menjadi rancangan yang siap
diujudkan. Berikut ini contoh sebagai ilustrasi dalam sebuah buku paduan.