Anda di halaman 1dari 129

BAB 1

PENDAHULUAN
We Shape Our Buildings
And Afterwards Our Buildings Shape Us.

Winston Churchill,1942

Dalam Beberapa Dekade Belakangan Ini, Hubungan Antara Perilaku Manusia Dan Lingkungan
Fisik Telah Menarik Perhatian Para Peneliti Dari Ilmu Sosial Ataupun Para Professional Di Bidang
Perancanaan Aritektur, Perencanaan Kota, Regional, Dan Lanskap
Kata Periaku Menunjukan Manusia Dalam Aksinya, Berkaitan Dengan Semua Aktivitas Manusia
Secara Fisik; Berupa Interaksi Manusia Dengan Sesamanya Ataupun Dengan Lingkungan Fisiknya.
Di Sisi Lain, Desain Arsitektur Akan Menghasilkan Suatu Bentuk Fisik Yang Bisa Dilihat Dan Bisa
Dipegang. Karena Itu,Hasil Desain Arsitektur Dapat Menjadi Salah Satu Fasilitator Terjadinya
Perilaku, Namun Juga Bisa Menjadi Penghalang Terjadi Perilaku.
Kebiasan Mental Dan Sikap Perilaku Seseorang Dipengaruhi Oleh Lingkungan Fisiknya. Drucker
(1969) Mengindikasikan Bawah” Sebagian Besar Yang Kita Lihat Adalah Sesuatu Yang Ingin Kita
Lihat.” Sementara Von Forester (1973) Menulis Bawah “Apa Yang Kita Bentuk Dalam Pikiran,
Itulah Realitas Yang Kita Perhitungkan.” Namun, Realitas Itu Tidak Selalu Seperti Yang Diinginkan.
Apa Yang Dibayangkan Dalam Imajinasi Arsitek Pada Proses Perancangan Mungkin Akan
Menghasilkan Akibat Yang Berbeda Pada Saat Atau Setelah Proses Penghunian.
Penandaan Lingkungan Yang Dilakukan Arsitek Melalui Karyanya Dapat Diinterpretasikan
Secara Berbeda Oleh Para Penggunanya. Misalnya, Bangunan Yang Dirancang Dengan Diding
Kaca, Tanpa Tanda-Tanda Apapun,-Yang Diharapkan Arsitek Dapat Membentuk Kesan Ruang
Dalam Yang Luas, Atau Membentuk Kesan Bersatu Dengan Ruang Luar Tanpa Batas-, Telah
Mengakibatkan Puluan Ribu Orang Terluka Karena Membentuknya. Akibat Ini Tentu Bukan
Merupakan Akibat Yang Yang Di Harapkan Oleh Arsitek Perancangannya.
Rencangan Yang Dianggap Baik Oleh Perancang, Mungkin Saja Diterima Penggunanya Sebagai
Llingkungan Yang Dingin, Memboankan Bakhan Tidak Ramah. Oleh Karena Itu, Dibutukan
Perpaduan Antara Imajinasi Dan Pertimbangan Akal Sehat Dari Arsitek. Setiap Kali Merancang,
Arsitek Membuat Asumsi-Asumsi Tentang Kebutuhan Manusia, Membuat Pikiran Aktivitas Dan
Atau Pikiraan Bagaimana Manusia Berperilaku, Bagaimana Manusia Bergerak Dalam
Lingkungannya. Kemudian, Arsitek Memutuskan Bagaimana Lingkungan Tersebut Akan Dapat
Melayani Manusia Pemakai Sebaik Mungkin. Yang Harus Di Pertimbangkan Tidak Hanya Melayani
Kebutuhan Pemakai Secara Fungsional, Rasional, Ekonomis, Dan Dapat Dipertanggungjawabkan,
Tetapi Lingkungan Juga Juga Harus Dapat Mengakomodasi Kebutukhan Pengguna Akan Ekspresi
Emosionalnya Termasuk Bersosialisasi Denagan Eama.
Dengan Premis Daar Bahwa Perancangan Arsitektur Ditunjukan Untuk Manusia Maka Untuk
Mendaptkan Perancangan Yang Baik Arsitek Perlu Mengerti Apa Yang Menjadi Kebutuhan
Manusia. Atau Dengan Perkataan Lain, Mengerti Perihal Perilaku Manusia Dalam Arti Luas.
Beragam Contoh Yang Ada Disekitar Kita Memperlihatkan Bagaimana Akibat Dari Desain Yang
Kurang Memperhatikan

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


1
Laurens
Perilaku Para Penggunanya. Misalnya, Meningkatnya Biaya Pemiliharaan, Rusaknya Fasilitas, Atau
Bahkan Mubazirnya Fasilitas Karena Tidak Digunakan Seperti Yang Diprediksikan Oleh Arsitek
Dalam Perancangannya. Hal Ini Terjadi Antara Lain Karena Persepsi Pengguna Kurang Diperhatikan
Dalam Proses Perancangan. Untuk Itu, Kita Perlu Memahami Kebutuan Dasar Manusia Dan
Bagaimana Hubungan Antara Desain Arsitektur Dan Perilaku Manusia.

A. KEBUTUHAN DASAR MANUSIA


Apa Yang Mendasari Pembentukan Perilaku Manusia? Terdapat Dua Kubu Pendapat Mengenai
Hal Ini. Kubu Pertama Menengkankan Pada Nature, Yang Semua Perilaku Manusia Bersumber Dari
Pembawaan Biologis Manusia. Semua Perilaku Manusia Diatur Melalui Naluri Ginetika. Sementara
Itu, Kubu Yang Kedua Berpendapat Bawah Semua Emua Perilaku Manusia Itu Nurture, Yaitu
Melaluai Pengalaman Atau Melalui Pelatihan. Kubu Ini Berpendapat, Studi Perilaku Yang Berangkat
Dari Studi Perilaku Binatang Tidak Dapat Diterapkan Begitu Saja Pada Studi Perilaku Manusia
Karena Karena Perilaku Manusia Diperoleh Melalui Pengalamanya. Para Alhi Sosiologi Dari
Kelompok Ini Menekankan Bawah Perilaku Adalah Kristalisasi Dari Pengaruh Budaya.
Sementara Itu, Seorang Psikolog, Abraham Maslow, Mengambil Jalan Tengah Diantara Kedua
Kubu Tersebut. Gagasan Ini Diterima Oleh Banyak Kalangan. Ia Menerima Asumsi Bahwa Manusia
Adalah Binatang Pada Tingkat Tertinggi Dari Rantai Evolusi (Sejalan Dengan Kubu Pertama).

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


2
Laurens
Namun,Ia Juga Membedakan Manusia Dari Binatang (Mengikuti Gagasan Kubu Kedua) Melalui
Kemampuan Manusia Untuk Belajar Melalui Motivasi Dan Kepribadiannya.
Kemudian, Maslow Membuat Daftar Hierarki Keburuan Dasar Manusia. Sesungunya, Itu Bukan
Satu-Satunya Alhi Yang Membuat Daftar Kebutuhan Ini. Ada Robert Ardrey, Alexander Leighton,
Henry Murray, Dan Peggy Peterson, Yang Masing-Masing Mengemukakan Daftar Kebutuhan Dasar
Manusia. Namun, Hierarki Maslow Ini Palinng Banyak Di Kurip Dalam Berbagai Studi Perilaku.

Table 1.1 Kebutuhan Dasar Manusia

Robert Abraham Alexsander Henry Peggy Peteron


Ardrey Maslow Leighton Murray
Security Selfactualizing Sexual Satisfaction Dependence Hermavoidance
Sex
Deference Affiliation
Expression Of Nurturance
Histility
Dominance Succorance
Sumulation Esteem Security
Expression Of Exhibition Order
Love
Frame Of
Orientation
Securing Of Love Hermavoidance Solitude
Autonomy
Identity Love And Expression Of Infavoidance Identity
Belonging Spontaneity Exhibition
Nurturance Defendence
Securing Of Achievement
Recognition
Order Prestige
Aggression
Safety-Security Orientatiaon In Rejection Rejection
Terms
Of Ones Place Deference
Sentience Abasement
Securing & Main- Play
Taining
Membership Sex Variety
Physiological
Needs Sense Of Understanding
Belonging Succorance Meaningfulness
Self-Actualization
Physical Security Understanding Aesthetic

Bagi Desain Arsitektur, Daftar Kebutuhan Ini Dapat Dipakai Untuk Mengetahui Sejauh Mana
Setiap Amenity Atau Fasilitas Desain Dapat Memberikan Kepuasan Bagi Pemenuhan Kebutuhan
Manusia Penggunanya. Kebutuhan Dasar Mana Yang Dapat Terpenuhui? Karena Itu, Diperlukan

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


3
Laurens
Seleksi Yang Lebih Rinci Dalam Menentukan Priorita Kebutuhan Yang Relevan Bagi Sebuah
Desain Atau Bagi Orang Yang Akan Menggunakan Fasilitas Tersebut. Sebab Derajat Intensitas
Pemenuhan Kebutuhan Dasar Bagi Setiap Orang Biasa Berbeda. Meskipun Urutan Atau Hirarki Ini
Dianggap Universal, Pada Praktek Desain Ada Prioritas Yang Lebih Diutamakan Bagi Setiap Orang.
Dalam Tesisnya Yang Berjudul ”The Street As A Human Resource In The Urban Lower-Class
Environment”(Suatu Pengamatan Mengenai Hubungan Antara Lingkungan Fisik Dan Kepuasan
Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia), Davit Myhrum, Seorang Arsitek Lanskap, Menemukan
Bawah Tidaklah Mungkin Menentukan Kebutuhan Dasar Mana Yang Telah Terpenuhi, Tanpa
Melakukan Suatu Analisis Intersif Dan Personal Dari Orang Yang Bersangkutan. Karena
Pembebtukan Perilaku Seseorang Adalah Suatu Proses Yang Multideterminan. Ada Pengaruh
Budaya Da Nada Factor Pengaruh Lingkungan Yang Saling Terkait Satu Sama Lain.
Karena Itu, Di Dalam Mengidentifikasikan Kebutuhan Pengguna, Penting Untuk
Dipertimbangkan Oleh Arsitek Makna Sosial Yang Mendasari Perilaku Dan Persepsi Pengguna Atau
Kelompok Pengguna Dan Bukan Bukan Semata-Mata Berdasarkan Apa Yang Dikatakan Oleh Parah
Pengguna Tetang Apa Yang Dibutukannya.
Bauhaus Dan Gerakan Modern Memekai Istilah Fungsi Untuk Menggambarkan Pengguna
Penempatan Sesuatu, Seperti Kursiuntuk Duduk, Dapur Untuk Memasak. Padahal,Kursi Juga
Merupakan Suatu Ekspresi Gaya Hidup Si Pemilik. Ada Kursi Kayu Yang Penuh Ukiran
Tradisional, Ada Kursi Metal Dengan Lagagam Modern, Atau Kursi Metal Dengan Warna-Warna
Cerah Mencolok. Dapur Pada Budaya Tertentu Juga Mempunyai Dampak Sosial Yang Berfungsi
Laten Bagi Kaum Wanitanya. Misalnya,Sebagai Tempat Untuk Menunjukan Bawah Mereka
Mengerjakan Pekerjaannya Sebagai Wanita Dalam Masyarakat Dengan Baik. Demikian Pula Jalan
Raya, Mempunyai Banyak Fungi Sosial Dari Padahanya Sebagai Tempat Orang Atau Kendaraan
Berlalu Lalang. Seperti Terlihat Pada Saat Perayaanulang Tahun Proklamasi, Saat Ada Kegiatan
Warga Di Pagi Hari, Seperti Belanja, Bertetangga, Atau Bermain.

B. DESAIN ARSITEKTUR DAN PERILAKU MANUSIA

Jika Kita Mengikuti Hierarki Kebutuhan Dasar Manusia Tersebut, Lihatlah Dimana Estetika
Menepati Urutannya, Apakah Tempat Teratas? Kebanyakan Perancang Menempatkan Estetika Pada
Urutan Pertama Dalam Petimbangan Desainnya. Padahal, Apabila Ditelaah Lebih Jauh Bagi Si
Pengguna, Belum Tentu Estetika Ini Menjadi Urutan Pertama Kebutuhan Yang Harus Di
Penuhuinya.
Karena Itu, Tidaklah Mengherankan Apabila Uatu Karya Arsitektur Di Gunakan Tidak Sesuai
Dengan Imajinasi Arsitek. Misalnya, Di Daerah Hunian Yang Terkenal Rawan Kriminalitas. Orang
Akan Memangkas Taman Agar Mempunyai Pandangan Yang Bebas Ke Berbagai Arah Demi
Kemanan Daripada Memikirkan Tatanan Pepohonan Untuk Membentuk Kompesisi Tertentu Dengan
Aneka Warna Bunga, Ataupun Membebtuk Ruang Dengan Uaana Romantis. Seorang Pemilik
Bengkel Motor Akan Mengutamakan Bengkelnya Terlihat Oleh Calon Pelangganya Dengan Jelas
Daripada Sekedar Mempertahankan Kerapian Visualnya.
Yang Haru Diperhatikan Dalam Desain Adalah Titik Memaksakan Pemuasan Estetika Ebagai
Kebutuhan Dasar, Tetapi Lebih Mempertimbangkan Keindahan Sebagai Uatu Peryaratan Deain
Yang Baik. Seperti Contoh Sebelumnya, Darah Hunian Bisa Dirancang Dengan Indah Tanpa Harus
Mengorbankan Keamanan. Bengkel Motor Dapat Didesain Dengan Bentuk Visual Yang Baik Dan
Tetap Terlihat Sebagai Bengkel Motor.
Untuk Memutukan Perhatian Mengenai Hierarki Kebutuhan Manusia, Dalam Perancangan,
Arsitek Harus Berpikir Akan Kebutuhan Pengguna Dan Bukan Kebutuhan Manusia Secara Umum.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


4
Laurens
Arsitek Dapat Mencatat Apa Yang Sesunggunya Menjadi Presepsin Dari Pengguna. Karena Beragam
Preferensi Dan Tingkat Kebutuhan Seseorang Maka Akan Sangat Bermanfaat Jika Dilakukan
Penelitian Kebutuhan Pengguna Kasus Demi Kasus, Dari Pada Sekedar Memakai Data Yang Sangat
Umum.
Randy Heste, Seorang Arsitek Lanskep, Mengatakan Bawah Perancang Pada Umumnya Lebih
Menekankan Pentingnya Activity Setting (Penataan Aktifitas). Sementara Itu, Pemakai Lebih
Mempertimbangkan Siapa Saja Orang Yang Memakai Fasilitas Itu, Atau Dengan Siapa Mereka
Akan Bersosialisasi Dalam Penggunaan Fasilitas Itu. Jadi, Terlihat Di Sini Adanya Perbedaan
Prioritas Pemenuhan Kebutuhan Dasar.
Cara Orang Memenuhi Kebutuhan Yang Sama Sekalipun, Misalnya Dalam Mengekspresikan
Status, Bisa Berbeda Satu Sama Lain. Ada Dengan Cara Mememarkan Mobilnya Ternaknya. Ada
Yang Dengan Cara Memakai Pemakai Merek Terkenal, Atau Dengan Cara Menjabat Posisi Tertentu,
Atau Melalui Beraneka Keanggotaan Pada Club Tertentu.

Dalam Suatu Artikelnya Mengenai Tendensi Rekreasi Pada Tingkat Lingkungan Perumahan,
Seymour Gold Mengkaji Mengapa Banyak Taman Bermain Dalam Kompleks Perumahan Tidak
Dipakai. Biasanya Perancang Memakai Standar Atau Peraturan Tata Kota Yang Ada Dalam
Mentukan Jumlah Dan Lokasi Tempat Bermain. Misalnya, Untuk Sebua Kawasan Permukiman
Dengan Luas 7-10 Ha, Diperlukan Sebua Taman Bermain Anak-Anak. Kemudian, Ditempatkan
Sebuah Taman Bermain Di Tenggah Kawasan Yang Dianggap Terpusat Dan Dapat Dijangkau Dari
Jarak Yang Kurang Lebih Sama Jauhnya. Menggapa Tidak Dibuat Terbesar? Menggapa Harus
Disentralisasikan?
Berbagai Alasan Umum Kemudian Ditemukan, Seperti Meningkatnya Biaya Apabila Taman
Dibuat Terebar. Padahal, Mengapa Orang Harus Mengeluarkan Biayauntuk Taman Bermain Yang
Tidak Terpakai? Apah Sesunggunya Tujuan Membuat Taman Bermain Itu? Atau Alasan Lain
Seperti Kebisingan Yang Menyebar Apabila Terdapat Tamn Bermain Dimana-Mana, Tidak
Terpusat. Padahal, Bukankah Ada Orang Yang Suka Menikmati Dan Mendengar Suara Kecerian
Anak-Anak Bermain? Apabila Kita Mengerti Polah Bermain Anak-Anak, Mungkin Desain
Lingkungan Itu Menjadi Lain.
Sesuai Dengan Penelitian Clara Cooper, Banyak Anak Justru Menyukai Saat-Saat Bermain Dalam
Priode Waktu Yang Pendek, Seperti Diantara Waktu Pulang Sekolah Dan Waktu Makan, Atau
Beberapa Saat Sebelum Hari Menjadi Gelap Sebelum Makan Malam. Mereka Bermain Dilapangan
Kosong Di Sekitar Rumah, Didepan Rumah, Atau Trotoar Muka Rumah. Anak-Anak Tentu Tidak
Bodoh Untuk Pergi Jauh Ketaman Bermain Hanya Untuk Bermain Sejenak. Para Orang Pun Merasa
Lebih Tenang Karena Dapat Mengawasi Anak-Anaknya Bermain Disekitar Rumah Tanpah Harus
Mengkhususkan Diri Pergi Ke Tempat Bermain Yang Jauh Dari Rumah.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


5
Laurens
Meskipun Analisis Pola Aktivitas Tertentu Pada Umumnya Dapat Langsung Di Terapkan Dalam
Perancangan Suatu Lingkungan, Mungkin Aja Terjadi Bawah Lingkungan Yang Dirancang Berbeda
Dengan Asumsi Terdahulu Yang Perna Dibuat. Karena, Latar Belakang Yang Berbeda Dapat
Melahirkan Kebiasaan Dan Preferensi Yang Berbeda Pula. Misalnya, Dalam Perancngan Sebuah
Tempat Perkemahan, Aka Nada Berbagai Preferensi Orang Untuk Berkemah.

Arsitek Yang Berasal Dari Lingkungan Budaya Yang Berbeda Dengan Kliennya, Atau Karena
Lingkungan Pendidikan Yang Dialaminy, Mungkin Mempunyai Perfernsi Yang Berbeda Dengan

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


6
Laurens
Kliennya. Dalam Hal Ini Proses Akulturasi, Baik Bagi Arsitek Maupun Calon Penggunanya, Dapat
Mempengaruhi Keberhasilan Sebuah Desain.
Scott (1974) Mengatakan Arsitektur Hendak Mempunyai Tujuan Yang Humanis. Bagi Norberg
Schulz (1986), Tugas Parah Perancang Adalah Menyediakan Suatu Pegangan Eksistensial Bagi
Pemakainya Agar Dapat Mewujudkan Cita-Cita Dan Mimpinya Sementara Itu, Charles Jencks
(1971) Menambakan Bawah Dalam Mayarakat Yang Pluralis, Arstek Dituntut Untuk Mengenali
Berbagai Konflik Dan Mampu Mengartikulasikan Bidang Sosial Setiap Manusia Pada Setiap Situasi
Sosial Tertentu. Atau Dengan Perkataan Lain, Membuat Desain Yang Tanggap Sosial.
Dari Contoh-Contoh Tersebut Terlihat Jika Dalam Proses Perancangan Arsitek Hanya
Memperhitungkan Ketentuan Atupun Standar Secara Fisik, Akan Memungkinkan Terjadinya Banyak
Kegagalan Dalam Desain. Lihatlah Sketsa Di Bawah Ini (Gambar 1.6). Apakah Ruang Tengah
Diantara Dua Ruang Studi Mahasiswa, Yang Dirancang Sebagai Ruang Sosialisasi Antara
Mahasiswa Dan Dosen Akan Dapat Berhasil. Mengapa? Apa Yang Menjadi Dasar Desain Dalam
Contoh Ini?

Belakangan Ini Ada Cukup Banyak Perhatian Dan Minat Untuk Mempelajari Lingkungan Yang
Humanis, Mempelajari Interaksi Manusia Dengan Lingkungan Dalam Arti Luas Sebagai Suatu
Ekologi Total, Yang Mencakup Lingkungan Alami Atau Buatan. Penelitian Pun Banyak Dilakukan
Oleh Parah Alhi Ilmu Perilaku Ataupun Perancang Lingkungan Dan Arsitek Yang Mempelajari
Interaksi Antara Manusia Dan Lingkungannya. Pendidikan Tinggi Jurusan Arsitektur Juga Mulai
Menaruh Perhatian Pada Perilaku Manusia Dalam Bangunan. Beberapa Sekolah Arsitektur, Bakhan
Mengganti Namanya Menjadi Sekolah Desain Lingkungan.
Manusia Dalam Ekosistem Relatif Mempunyai Peran Yang Angat Kecil Karena Banyak Sekali
Perubahan Terjadi Di Dalam Ekosistim Tersebut Justru Berbeda Diluar Campur Tangan Manusia.
Akan Tetapi, Manusia Dapat Menjadi Sumber Masalah Karena Manusia Selalu Menginkan Yang
Terbaik Bagi Dirinya Sendiri (Sikap Antroposentris) Dan Dalam Jangka Panjang Dapat Merugikan
Sesama Manusia Dan Atau Lingkungan Fisiknya.
Dalam Usaha Mengartikulasikan Nilai-Nilai Sosial Dan Humanis Ini, Berkembanglah Studi
Perilaku Lingkungan Yang Mempelajari Secara Lebih Khusus Interaksi Antara Perilaku Manusia
Dan Lingkungan Fisiknya. Agar Kita Dapat Menganalisis, Memjelaskan, Meramalkan, Dan Jika

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


7
Laurens
Perlu Mempengaruhi Atau Merekayasa Hubungan Antara Perilaku Manusia Dan Lingkungannya
Untuk Kepentingan Manusia Dan Lingkungan Itu Sendiri.
Untuk Itu Pembahasan Dalam Buku Ini Disusun Sebagai Berikut:
Bab1 Merupakan Bab Pendahuluan Yang Memberikan Sejauh Mana Interaksi Yang Terjadi Antara
Aritektur Sebagai Hasil Desain Dan Perilaku Manusia, Baik Sebagai Arsitek, Perencanaan
Lingkungan Maupun Ebagai Pengguna Arsitektur. Dengan Mengenal Kebutuhan Dasar Manusia,
Dapat Di Telaah Lebi Lanjut Sejauh Mana Sebuah Hasil Desain Arsitektur Telah Atau Dapat
Memenuhi Kebutuhan Manusia. Sejauh Mana Pulah Arsitek Atau Perancang Lingkungan Telah
Mempertimbangkan Kebutuhan Penggunanya.
Bab 2, Yakni Teori Deain Dan Studi Perilaku Lingkungan. Dalam Bab Ini Di Paparkan Latar
Belakang Perjalanan Perkembangan Ilmu Perilaku Yang Berawal Dari Pikologi Hingga Menjadi
Disiplin Ilmu Yang Kini Di Kenal Sebagai Ilmu Perilaku-Lingkungan, Dengan Fokus Bahasan Pada
Hubungan Interaksi Antara Manusia Dan Lingkungannya.
Dalam Desain Arsitektur, Teori Arsitektur Yang Melandasinya Di Pengaruhi Oleh Gerakan
Modern, Yang Kurang Memenuhi Perhatian Pada Dimensi Manusia. Perhatian Lebih Terfokus Pada
Hubungan Antara Arsitek Dan Artefak Hasil Rancangannya.Berbagai Faktor, Seperti Faktor
Geometrik, Formal Abstrak Teknologi Ataupun Simbolisasi Sangat Di Perhatikan. Tetapi Factor
Manusia Atau Kepuasan Pengguna Khususnya Belum Mendapat Cukup Perhatian. Ilmu Perilaku-
Lingkungan Membentuk Teori Positif Bagi Desain Arsitektur Yakni Menekankan Perlunya
Memperhatikan Kepuasan Pengguna Dari Pada Hanya Mempertimbangkan Factor Kepuasan Si
Perancang Saja.
Selanjutnya Bab 3 Dan Bab 4 Secara Berturut-Turut Menguraikan Mengenai Proses Dasar
Perilaku Manusia Dalam Melakukan Penilaian Terhadap Lingkungan. Proses Ini Mencakup Proses
Individualdan Proses Sosial. Proses Individual Membahas Hal-Hal Yang Ada Dalam Benak
Seseorang, Yaitu Bagaimana Presepsi Lingkungan Terjadi, Bagaimana Lingkungan Fisik Tersebut
Di Organisasikan Dalam Pikiran Seseorang, Dan Mengenal Berbagai Cara Orang Berpikir Dalam
Merasakan Ruang,Termasuk Preferensi Personal Dan Repons Emosyonal Terhadap Stimulus
Lingkungan.
Dalam Bab Ini Juga Akan Dibahas Mengenai Kecenderungan Perilaku Seseorang Berkaitan
Dengan Interaksinya Dengan Lingkungan Arsitektural Dan Bagaimana Seseorang Berkaitan Dengan
Setting Tertentu. Dengan Bakal Pengetahuan Ini Di Asumsikan Bawah Seorang Arsitek Atau
Perencana Lingkungan Dapat Mengerti Aksi, Kebutuhan, Dan Keinginan Seseorang Berkaitan
Dengan Lingkungan Fisiknya, Seperti Imajinasi Dan Simbolisasi Apa Yang Melekat Pada Elemen
Lingkungan Bagaimana Impresi Masyarakat Terhadap Suatu Lingkungan, Atau Hal Apa Yang
Menarik Perhatiannya.
Proses Sosial Dalam Bab 4akan Membahas Bagaimana Seseorang Membagi Ruang Dengan
Sesamanya. Dengan Fokus Pada Ruang Personal, Yaitu Suatu Domain Kecil Sepanjang Jangkauan
Tanggan Manusia, Teritorialitas, Yaitu Kecenderungan Manusia Untuk Menguasai Ruang Yang
Lebih Besar, Kesesakan, Dan Kepadatan Yang Dirasakan Dalam Ruang Tertentu,Serta Privasi Atau
Menajemen Sitting Fisik Untuk Mengoptimalkan Kebutuhan Sosial Manusia. Keseluruhan Proses
Ini Adalah Proses Yang Saling Berhubungan Satu Dengan Yang Lainnya Dalam Perilaku
Interpersonal Manusia Dan Lingkungannya.
Melalui Paparan Contoh-Contoh Desain Arsitektur Dapat Dilihat Seberapa Jauh Manusia
Mempunyai Kesamaan Dan Perbedaan Dalam Memberi Respons Terhadap Lingkungannya. Apa
Yang Mempengaruhi Kesamaan Dan Atau Perbedaan Tersebut Dan Sejauh Mana Arsitek Bisa
Mengambil Peran Guna Memenuhi Kebutuhan Pengguna Arsitektur Berkaitan Dengan Proses Dasar
Perilaku Ini Sehingga Desainnya Dapat Lebih Berorientasi Pada Pengguna.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


8
Laurens
Bab 5, Pola Aktivitas Dan Lingkungan. Dalam Bab Ini Akan Di Bahas Kaitan Antara Tatar
Perilaku Dan Lingkungan Fisik Dalam Cakupan Aktivitas Manusia Dengan Skala Yang Lebih Luas,
Yaitu Dalam Lingkungan Tempat Tinggal Atau Tempat Kerja. Pola Interaksi Ini Dapat Ditelusuri
Melalui Pengamatan Tatar Perilaku.
Sementara Itu, Evaluasi Ecara Menyeluruh Yang Dikenal Sebagai Evaluasi Purnahuni Merupakan
Suatu Bagian Dari Siklus Proses Desain Yang Melibatkan Masukan Dari Penghuni Proyek-Proyek
Sejenis. Proses Evaluasi Metode Yang Biasa Dipakai Dan Manfaat Hasil Evaluasi Tersebut Bagi
Studi Arsitektur Ataupun Bagi Pengguna Hail Deain Arsitektur Dapat Di Pelajari Dari Contoh-
Contoh Hasil Evaluasi Ppurnahuni Ini.
Pada Akhirnya, Melalui Penelahaan Studi Perilaku-Lingkungan Ini Dapat Kita Memenuhi Sejauh
Mana Konribusi Studi Ini Bagi Perancang Arsitektur Di Masa Mendatang. Dalam Hal Meningkatkan
Kempuan Menjelaskan Arsitektur, Mengerti Berbagai Respons Yang Mungkin Muncul Terhadap
Rancangan Arsitektur Tertentu, Dan Meningkatkan Pulah Kemampuan Memprediksikan
Konsekuensi Desaindan Membuat Alternatif Solusi Bagi Pemenuhan Kebutuhan Manusia Tertentu.

Daftar Pustaka Anjuran

Norberg Schulz C.1968. Intentions In Architecture. Cambridge,


Ma: Mit Press.
Repoport,Amos.1994.” A Different View Of Design”. Dalam
Thrity- Three Papers In Environment-Behaviour Research.
New Castle: The Urban International Press.
Von Foerter H. 1973. “On Constructing A Reality ”. Dalam
Environmental Design Research: Proceedings Of The 4th Annual Edra Conference.
Vol.2.Preiser W.F.E(Ed.). Stroudsbrung, Pa: Dowden, Hutchinson And Ross.
Wirawan, Sarlito. 1992. Psikologi Lingkungan. Jakarta:Rasindo.
Catatan Akhir
1. Lihat Preiser W.F.E.Et Al.(Eds). 1991.Design Intervention, Toward A More Humane
Architecture. New York: Van Nostrand Co.. Hlm.3-5.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


9
Laurens
BAB 2
TEORI ARSITEKTUR DAN STUDI PERILAKU LINGKUNGAN

Architects Today Are Too Educated To Be Either Primitive Or Totally Spontaneous, And Architecture
Is Too Complex To Be Approached With Cerefully Maintained Ignorance.
Robert Venturi,1996

Arsitektur Merupakan Sintesis Integral Antara Teori Dan Praktek. Teori Arsitektur Tidak Bisa Di
Lepaskan Dari Dunia Nyata, Baik Dunia Yang Merupakan Lingkungan Fisik Maupun Berupa
Lingkungan Kehidupan Intelektual Manusia. Untuk Mempelajari Dan Mengerti Kondisi Yang Ada
Diperlukan Teori. Sebaliknya, Agar Teori Tersebut Bisa Mendapatkan Nilai Objektivitasnya Maka
Perkembangannya Haruslah Berpijak Pada Kenyataan Factual Sebagai Data Empirik.
Karena Lingkungan Itu Tidak Hanya Berada Di Dalam Kepala Atau Pikiran Seseorang, Tentu
Akan Sangat Berbahaya Apabila Kita Mengabaikan Dunia Nyata. Memang Lingkungan Yang Ada
Dalam Pikiran Seseorang (Lingkungan Subjektif) Merupakan Hal Penting Dan Dapat Mempengaruhi
Perilaku Seseorang. Lingkungan Subjektif Tersebut Tidak Bersemi Dan Tumbuh Sepenuhnya Hanya
Dalam Benak Seseorang, Tetapi Berkaitan Dengan Dunia Luar Pikirannya. Lingkungan Subjektif Ini
Dapat Di Transformasikan. Akan Tetapi, Yang Akan Di Transformasikan Sesungunya Adalah
Lingkungan Ojektif Yang Sekaligus Berkaitan Erat Dengan Kondisi Di Luar Pikiran Seseorang.
Studi Perilaku-Lingkungan Menaruh Perhatian Pada Proses Transformasi Ini Dan Pada
Mekanisme Hubungan Manusia Dengan Seluruh Lingkungan Yang Terlibat Dalam Proses Tersebut.
Sejauh Mana Dimensi Manusia Telah Menjadi Bahan Pertimbangan Dalam Pembentukan Teori
Arsitektur, Akan Ditinjau Dalam Bab Ini. Para Alhi Dari Kalangan Ilmu Sosial Seperti Antropolog,
Sosiolog, Pikolog, Ataupun Kalangan Profesi Perancang: Arsitek, Perancang Kota Dan Regional,
Perancang Lainskep, Sama-Sama Merasakan Bawah Studi Perilaku-Lingkungan Dapat Membantu
Perancang Dengan Teori, Model, Dan Konsep Untuk Mengerti Interaksi Antara Lingkungan Dan
Manusia Dan Mengerti Desain Arsitektur Dengan Lebih Baik. Model Pengambilan Keputusan Dan
Model Perancangan Sebagai Metodologi Desain Adalah Gambaran Bagaimana Pendekatan Desain
Lingkungan Cybernetics Dan Teori Positif Dari Studi Perilaku-Lingkunganmemberi Konribusi Bagi
Proses Desain Arsitektur Atau Desain Lingkungan. Untuk Itu, Akan Diulas Terlebih Dahulu Latar
Belakang Dan Perkembangan Ilmu Perilaku-Lingkungan.

A. PERKEMBANGAN ILMU PERILAKU-LINGKUNGAN

Ilmu Perilaku (Behavioral Sciences) Adalah Suatu Istilah Bagi Pengelompokan Yang Mempunyai
Cakupan Luas. Termasuk Di Dalamnya Antropologi, Sosiologi, Dan Psikologi. Kadang Kalah Ilmu
Politik Dan Emkonomi Juga Di Golongkan Dalam Kelompok Ilmu Perilaku. Semuanya Adalah
Bidang Ilmu Yang Bertujuan Mengembangkan Pemahaman Mengenai Kegiatan Manusia,Sikap, Dan
Nilai-Nilai.
Dalam Pembahasan Disini, Penekanannya Pada Studi Mengenai Hubungan Manusia Dan
Lingkungan Atau Yang Di Kenal Sebagi Studi Perilaku Lingkungan, Serta Bagaimana
Perkembangan Teori Dan Proses Desain Arsitektur.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


10
Laurens
1. Pengertian Perilaku
Setelah Psikologi Berkembang Luas Dan Di Tuntut Mempunyai Ciri-Ciri Suatu Disiplin Ilmu
Pengetahuan Maka Jiwa Di Pandang Telalu Abstrak. Sementara Itu, Ilmu Pengetahun Menghendaki
Objeknya Bisa Diamati, Di Catat, Dan Diukur.
Hal Ini Membawa J.B.Watston (1878-1958) Memandang Psikologi Sebagai Ilmu Yang
Mempeljari Tentang Perilaku Karena Perilaku Dianggap Lebih Mudah Diamati, Di Catat, Dan
Diukur. Arti Perilaku Mencakup Perilaku Yang Kasatmata Seperti Makan, Menangis, Memasak,
Melihat, Bekerja, Dan Perilaku Yang Tidak Kasatmata, Seperti Fantasi, Motivasi Dan Proses Yang
Terjadi Pada Waktu Seseorang Diam Atau Secara Fisik Tidak Bergerak.
Sebagai Objek Studi Empiris, Perilaku Mempunyai Ciri-Ciri Sebagai Berikut.
a. Perilaku Itu Sendiri Kasatmata, Tetapi Penyebab Terjadinya Perilaku Secara Langsung
Mungkin Tidak Dapat Diamati.
b. Perilaku Mengenal Berbagai Tingkatan, Yaitu Perilaku Sederhana Dan Stereotip, Seperti
Perilaku Bintang Bersel Satu; Perilaku Kompleks Seperti Perilaku Sosial Manusia;
Perilaju Sederhana, Seperti Reflex, Tetapi Ada Juga Yang Melibatkan Proses Mental
Biologis Yang Lebih Tinggi.
c. Perilaku Bervariasi Dengan Klasifikasi: Kongnitif, Afektif, Psikomotorik Yang Mennujuk
Pada Sifat Rasional, Emosiional, Dan Gerakan Fisik Dalam Perilaku
d. Perilaku Bisa Disadari Dan Juga Bisa Tidak Di Sadari.

2. Latar Belakang Ilmu Perilaku-Lingkungan


Dalam Sejaranya, Studi Ini Kembali Kedalam Bidang Psikologi, Tetapi Bukan Bagian Inti Dari
Pendalaman Psikologi. Ssecara Historis Merupakan Bagian Dari Program Sosial Untuk Kesejatraan
Masyarakat Dan Fokusnya Adalah Hubungan Saling Menjunjung Antara Manusia Sebagai Individu
Ataupun Kelompok Dan Lingkungan Fisiknya, Untuk Meningkatkan Kehidupan Melalui Kebijakan
Perencanaan Dan Perancangan (More,1976).
Dua Tokoh Yang Mengawali Studi Ini Adalah Kurt Lewin (1890-1947) Dan Egon Brunswik
(1903-1955). Brunswik Yang Di Lahirkan Di Budapest Dan Di Besarkan Di Vienna, Percaya Bawah
Lingkungan Fisik Mempengaruhi Manusia Tanpa Manusia Sendiri Menyadari. Seperti Pengaruh
Lampu Tl Terhadap Kepuasan Kerja Seorang Pekerja Atu Produktivitasnya Meskipun Ia Sendiri
Tidak Menyadarinya. Apabila Lingkungan Sungguh Mempengaruhi Manusia Secara Psikologis,
Diyakininya Hal Ini Dapat Di Pelajari Secara Sistimatis. Brunswik Inilah Orang Pertama Yang
Menggunakan Istilah Psikologi-Lingkungan.
Kurt Lewin, Seorang Penganut Psikologi Gestalt, Yang Dilahirkan Di Prussia Dan Menjalani
Pendidikan Di Jerman, Salah Seorang Tokoh Yang Pertama Kali Memberi Pertimbangan Terhadap
Pengaruh Lingkungan Fisik Pada Perilaku Manusia. Ia Menekankan Adanya Pandangan Individual
Mengenai Lingkungan. Ia Membimbing Banyak Penelitian Dan Studi-Studi Mengenai Perubahan
Sosial. Ia Membuat Rumuan Bawah Tingkah Laku (B= Behavior) Merupakan Fungsi Dari Keadaan
Pribadi Seseorang (P=Person) Dan Lingkungan Tempat Orang Itu Berada (E= Environment) Atau
B=F(P,E).
Sementara Itu, Kaum Nativis Beranggapan Bawah Factor Manusialah (Factor P) Yang Berperan
Dalam Mentukan Tingkalaku Manusia Sehingga Apabila P Bersifat X (Px) Maka Tinggaka Laku
Orang Itu Menjadi X Pula (Bx). Demikian Pula Py Akan Menimbulkan By. Seperti Seseorang
Memiliki Sifat Pemarah Dalam Situasi Menghadapi Kesulitan. Sementara Itu, Seseorang Yang
Penyabar Akan Bertamba Sabar Dalam Menghadapi Dituasi Serupa.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


11
Laurens
Di Pihak Lian, Kaum Empiris Berpendapat Bawah Factor Lingkunganlah ( Fator E) Yang
Mentukan Sehingga Ex Akan Menimbulkan Bx, Dan Ey Menghasilkan By. Misalnya, Jika
Seseorang Dimarahi Maka Ia Merasa Tidak Senang, Sedangkan Apabila Ia Dipuji, Ia Akan Merasa
Senang.
Setelah Era Lewin, Kedua Factor Itu Dianggap Sama Penting, Tetapi Fokosnya Tetap Pada
Pengaruh E Dan P Masing-Masing Tahap B. Perkembangan Selanjutnya Muncul Teori Psikologi
Kongnitif, Yaitu Hubungan E Dan P Dalam Proses Kongnisi Manusia Lebih Mendapat Perhatian
(Skema 2.2).

Murid-Murid Mereka, Seperti Roger Barker Dan Herbert Wright, Mengembangkan Studi Ini.
Kemudian, Dikenal Dengan Teori Psikologi Ekologis Dan Melahirkan Konsep Mengenai Tatar
Perilaku Sebagai Salah Satu Unit Sosiofisik Dalam Skala Kecil Yang Mencakup Aturan-Aturan
Sosial Dan Asspek Ruang Fisik Dalam Kehidupan Sehari-Hari Dan Bentuk Pola Perilaku Tertentu.
Di Berbagai Tempat, Seperti Yang Bisa Temui Di Sebuah Restoran Atau Di Sebuah Pertandingan
Bola. Mekipun Ada Fariasi Dalam Tingkah Laku Individu, Pola Perilaku Yang Terjadi Tetap Sama.
Kemudian, Konsep Ini Dikembangkan Oleh Wicker (1987) Yang Mengatakan Bawah Tatar
Perilaku Ini Bukanlah Suatu Entitas Yang Statis, Melainkan Dilahirkan, Tumbuh, Beradaptasi,
Berjuang, Dan Kemudian Mati.
Pada Akhir Tahun 1950-An, Robert Sommer Dan Humphrey Osmond, Mulai Melakukan
Oerubahan-Perubahan Elemen Fisik Secara Sistimatis Pada Bangunan-Bangunan Di Kanadandan
Melakukan Pengamatan Bagaimana Perubahan Itu Berpengaruh Terhadap Perilaku Manusia. Pada
Masa Itu Pula Robert Sommer Mulai Melakukan Studi Mengenai Ruang Personal (Personal Space).
Di New York, William Ittelson Danharol Prohansky Mengembangkan Psikologi Lingkungan Melalui
Penelitian Perilaku Pasien Di Rumah Sakit Mental.
Program Doctoral Pertama Menggeluti Bidang Ilmu Ini Adalah Di City Univerity Of New York,
Pada Tahun 1975. Sebagai Suatu Pertandingan Bawah Doctor Pertama Di Bidang Psikologi Di
Peroleh Pada Tahun 1861, Sedangkan Psikolog Dari Bidang Psikologi Industri, Suatu Bidang Yang
Menyerupai Psikologi Lingkungan, Lulus Tahun 1921.
Konferensi Pertama Yang Kemudian Melahirkan Psikologi Arsitektur Di Adakan Di Universitas
Utah Tahun 1961 Dan 1966. Kemudian, Mulai Muncul Jurnal Ilmiah Yang Membahas Mengenai
Perilaku Dan Lingkungan (Seperti Jounal Of Environmental Psychology, Sejak 1981, Dan Tahun
1987 Terbit Handbook Of Environmental Pyschology) Dan Bidang Ilmu Ini Semakin Mendapat
Pengakuan Dengan Di Bentuknya Organisasi Perilaku-Lingkungan Yang Rutin Melakukan
Pertemuan Tahunan Sejak Tahun 1969.
ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella
12
Laurens
Dalam Perjalana Perkembangan Ilmu Perilaku-Lingkungan Ini Banyak Di Lakukan Penilitian Dan
Perkembangan Teori Yang Di Anggap Dapat Menjawab Semua Permasalahan Dalam Psikologi
Lingkungan. Berbagai Model Tawaran Untuk Menggambarkan Kompleksitas Hubungan Manusia
Dengan Lingkungannya. Salah Satu Model Tersebut Sebagai Berikut.

Dalam Konteks Kekuatan Politik, Ekonomi, Dan Sejarah Seseorang Memasuki Sebuah Setting
(Dalam Model Di Atas Tidak Tergambarkan Adanya Kekuatan Politik, Ekonomi, Dan Sejarah).
Kunjungan Ini Dapat Berupa Kunjungan Singkat Seperti Berjalan Melintasi Sebuah Taman Atupun
Kunjungan Yang Berlangsung Lama, Seperti Tinggal Dalam Kawasan Pemukiman. Karaktristik
Individu (M), Kualitas Setting (S), Dan Norma Sosial Budaya (Sb) Secara Bersama-Sama
Mempengaruhi Rencana Seseorang Ketika Memasuki Setting Dan Juga Apa Yang Akan Terjadi
Didalamnya.
Dalam Setting, Seseorang Berperilaku (Misalnya Menghayati, Berinteraksi), Berpikir ( Misalnya
Mengenali, Mengumpulkan, Informasi, Menghitung) Dan Mersa (Misalnya Gembira, Bersemangat,
Tenang), Dalam Keadaan Sehat Atau Secara Fisik Sakit. Hasil Dari Transaksi Dalam Setting Dapat
Berlangsung Ataupun Tidak Langsung Terlihat. Seseorang Dapat Menjadi Lebih Baik (Misalnya
Lebih Gembira, Lebih Terampil) Atau Menjadi Lebih Buruk (Misalnya, Menjadi Sedih, Stress, Atau
Menjadi Sakit). Kadang Kalah Tidak Hanya Manusianya Yang Terpengaruh, Tetapi Juga Setting-
Nya Dipengaruhi Oleh Kehadiran Manusia, Misalnya Perubahan-Perubahan Fisik Yang Di Buat
Manusia.
Sasaran Dari Psikologi Lingkungan Adalah Menggerti Semua Transaksi Ini Dan Memperbaiki
Hasil Transaksi Ini Bagi Manusia Ataupun Bagi Lingkungannya. Secara Garis Besar Terdapat Dua
Kategori Teori Dalam Studi Ini. Kategori Pertama Memusatkan Pada Stimulasi Dan Kategori Kedua
Pada Kendali.
Teori Stimulasi Menyatakan Bawah Lingkungan Fisik Sebagai Sumber Informasi Sensori
Yang Sangat Penting Bagi Manusia, Sedangkan Teori Kendali Mengutamakan Pentingnya
Pertimbangan Terhadap Besarnya Kendali Yang Dimiliki Seseorang Terhadap Stimulasi
Lingkungan.

3. Karakteristik Ilmu Perilaku-Lingkungan


Dari Penjelasan Tersebut Dapat Di Simpulkan Bawah Ilmu Perilaku-Lingkungan Memiliki Ciri
Sebagai Berikut.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


13
Laurens
a. Dalam Penelitian Perilaku-Lingkungan, Hubungan Perilaku Dan Lingkungan Adalah Satu
Unit Yang Dipelajari Dalam Keadaan Saling Terkait, Tidak Berdiri Sendiri. Dengan
Demikia, Yang Dipelajari Bukanlah Bagaiman Indra Pendengaran Menangkap Gelombang
Suara Dari Luar Misalnya, Ataupun Bagaimana Mengukur Konsentrasi Seseorang,
Melainkan Mempelajari Bagaimana Hubungan Anatara Kebisingan Dan Konsentrasi Kerja
Seseorang. Atau Hubungan Antara Tatanan Ruang Kerja Dan Produktivitas Kerja Seseorang.
Cara Pendekatan Ini Dinamakan Pendekatan Holistic Atau Pendekatan Elektrik.
b. Hubungan Antara Lingkungan Dan Manusia Serta Perilakunya Adalah Hubungan Timbal
Balik, Saling Terkait, Dan Saling Mempengaruhi. Kandang-Kandang Kita Tidak Tahu Antara
Factor Lingkungan Dan Perilaku, Mana Yang Merupakan Sebab Dan Mana Yang Merupakan
Akibat. Misalnya, Dalam Masalah Urbanisasi, Apakah Sarana Dan Prasarana Kota Yang
Menyebabkan Orang Berimigrasi Dari Desa Ke Kota? Ataukah Banyak Orang Berpindah Ke
Kota Maka Sarana Dan Prasarana Tersedia.
c. Studi Perilaku-Lingkungan Tidak Hanya Memutuskan Perhatian Pada Masalah Teoretis Atau
Terapan, Atau Titik Beratnya Adalah Keduanya.
d. Interdisipliner. Karena Ruang Lingkupnya Yang Bermacam-Macam Maka Dalam
Penilitiannya Harus Bekerja Sama Dengan Berbagai Ilmu/Disiplin Ilmu.

Melalui Kajian Tersebut Di Harapkan Hasil Studi Perilaku Lingkungan Dapat Menjadi Paduan
Desain Untuk Meningkatkan Kualitas Desain Pada Tipe Tatanan Tertentu Dan Untuk Kelompok
Pengguna Tertentu Tidak Terlepas Dari Proses Desain Dan Teori Arsitektur Yang Mendasarinya.

B. TINJAUAN TEORI ARSITEKTUR

Bahasan Mengenai Arsitektur Sering Kali Dimulai Dengan Anggapan Bawah Ada Kesepakatan
Atau Kesaman Pengertian Di Antara Semua Pihak Mengenai Arti Arsitektur. Mencari Defenisi Yang
Baku Bagi Istilah Arsitektur Hanya Akan Memunculkan Aphorisme, Suatu Batasan Yang Sempit,
Atau Pelajaran Sedemikian Panjang Lebar Yang Pada Akhirnay Tidak Menjelaskan Apa-Apa. Untuk
Mendapatkan Kesamaan Pengertiantentang Arsitektur Dalam Pembahasan Studi Perilaku-
Lingkungan, Berikut Akan Diulas Secara Singkat Pengertian Tersebut.

1. Pengertian Arsitektur
Arsitektur Adalah Kristalisasi Dari Pandangan Hidup Sehingga Arsitektur Bukan Semata-Mata
Teknik Dan Estetika Bangunan, Atau Terpecah-Pecah Menjadi Kelompok-Kelompok Seperti Ranah
Keteknikan, Rana Seni, Atau Ranah Sosial Meskipun Yang Menjadi Ranah Dalam Praktik Profesi
Perancang Adalah Matrialisasi Dari Kehidupan – Diamana Bentuk Arsitektur Di Jesakan Melalui
Spesifikasi Elemen-Elemen Strukturnya, Bahan, Ukuran Permukan, Dan Sudut-Sudutnya, Karena
Melalui Spesifikasi Inilah Kontraktor Pelaksanaan Dapat Mewujudkan Sebuah Desain Arsitektur
Tidak Dapat Hanya Di Artikan Sebagai Produk, Tetapi Juga Suatu Proses.
Arsitektur Tidak Seperti Bidang Seni Lainya Hadir Dalam Realitas Sehari-Hari. Arsitektur
Adalah Ruang Fisik Untuk Aktivitas Manusia, Yang Memungkinkan Pergerakan Manusia Dari Satu
Ruang Ke Ruang Lainya, Yang Menciptakan Tekanan Antara Ruang Dalam Banguna Dan Ruang
Luar Banggunan Dan Ruang Luar. Namaun, Bentuk Arsitektur Juga Ada Karena Perssepsi Dan
Imajinasi Manusia.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


14
Laurens
Hal Yang Tidak Kasatmata Adalah Hal Yang Memberi Napas Dan Menjiwai Arsitektur, The Fine
Spirit (F.L. Wright), Yang Memberi Atrti Bawah Arsitektur Bukanlah Sekedar Benda Statis Atau
Sekumpulan Objek Fisik Yang Kelak Akan Lapuk. Mempelajari Arsitektur Berarti Juga Mempelajari
Hal-Hal Yang Tidak Kasatmata Sebagai Bagian Dari Realitas, Realitas Yang Konkret Dan Realitas
Yang Simbolik.
Hal Ini Juga Menujukan Adanya Perbedaan Antara Dunia Pikir Yang Ideal Dan Dunia Nyata,
Antara The Transcendent Ideal Dan The Transient, Corruptible Physical State Sehingga Dalam
Pembahasan Atau Perancangan Arsitektur Selalu Meliputi Kedua Hal Ini. Pemenuhan Kebutuhan Di
Suatu Sisi Juga Harus Di Imbangi Dangan Keberhasilan Pemenuhan Kebutuhan Di Sisi Yang Lain.

2. Hubungan Manusia Dan Lingkungan


Arah Dan Teori Arsitektur Dewasa Ini Dapat Dikatakan Merupakan Kelanjutan Dari Gerakan
Modern Yang Dimulai Dari Revolusi Politik Serta Seni. Gerakan Ini Mempengarui Pola-Pola Yang
Di Pakai Arsitek Dalam Menganalisis Dan Merancang Bangunan, Lingkungan, Ataupun Infratruktur
Kota. Berbagai Jenis Teknologi Membangun Atau Penemuan Jenis Matrial Bangunan Berkembang.
Akan Tetapi, Yang Penting Dicatat Disini Adalah Meningkatnya Kepedulian Arsitek Akan Hal-Hal
Sosial Yang Berkaitan Dengan Desain Banguna Dan Lingkungan Umum.
Beberapa Masalah Muncul Bersamaan Dengan Idiologi Gerakan Arsitektur Modern. Ini
Disebabkan Rancangan Dibuat Sebaagi Manifistasi Dari Prinsip-Prinsip Desain, Tetapi Tidak
Berperan Dalam Memenuhui Tuntutan Gaya Hidup. Misalnya, Pada Kasus Proyek Pruitt-Igoe, St.
Louis, Yang Demikian Terkenal. Ketika Bangunan, 43 Gedung Apertemen Ini Disebut Sebagai
“Karya Cemerlang Pada Cakrawala Kota, Harapan Baru Bagi Kaum Miskin Di Kota Ini”. Namun,
Lima Belas Tahun Kemudian Bangunan Ini Didinamait Dengan Sengaja Oleh Parah Sponsornya
Sehingga Rata Dengan Tanah Sebagai Pengakuan Atas Kegagalanya Yang Membawah Malah
Petaka. Menjadi Model Peruahan Yang Nyaman Dengan Uang Sewa Murah, Proyek Ini Justru
Menjadi Sarang Penjahat Dan Perusuh. Apertemen Yang Direncanakan Sebagai Tempat Berlindung
Yang Nyaman Dan Aman Bagi Kaum Miskin Kemudian Menjadi Pangkalan Yang Penuh Terror
Diatas Tanah Tak Bertuan. Halaman Rumput Yang Direncanakan Sebagai Tempat Bermain Yang
Menyenangkan Bai Anak-Anak Ternyata Berserakan Sampah, Kaleng Bir, Dan Kotoran Manusia.
Akhirnya Pruitt-Igoe Harus Dibongkar Karena Perancangannya Tidak Sesuai Dengan Kebutuhan
Masyarakat Penggunanya.
Desain Arsitekturnya Telah Membuat Aprtemen Ini Menjadi Seprti Penjara. Lift Hanya Berhenti
Pada Setiap Tiga Lantai Sehinga Penciptalah Perangkap Pada Lantai-Lantai Di Antaranya.
Akibatnya, Perampok Dan Pemerkosa Dapat Memanfaatkan Ujung Tangga Dan Ruang Tangga Yang
Gelap Untuk Melakukan Perbuatan Kriminalnya. Bangunan Ini Menjadi Tempat Yang Tidak Aman.
Demikian Pula Yang Terjadi Pada Rancangan Unit Lingkungan Di Chandigarh India, Yang
Terasa Tak Bermakna Kecuali Sebagai Penada Lokasi. Dikarenakan Karena Taman Kota Sepi Dan
Tidak Menujang Gaya Hidup Masyarakat Pemakainya. Chandigarh, Yang Dirancang Oleh Arsite Le
Corbusier Sesuai Dengan Gagasan- Gagasan Baru Dalam Perencanaan Kota Baru Modern, Yang
Memperhatikan Kebutuhan Manusia Akan Cahayanya, Ruang, Dan Udara Segar. Namun, Yang
Tidak Dipertimbangkan Dalam Perancangan Tersebut Dalam Pola Hidup Di Kota-Kota India Lama.
Masyaraktnya Lebih Suka Berjubel Dari Pada Berada Diruangan Lenggang Dan Lebih Menyukai
Lebih Menyukai Penataan Fasilitas Ala India Dari Pada Ala Eropa.
Setelah Hasil Desain Ini Dihuni, Terbentuklah Sebuah Kota Menurut Kebutuhan Penghuninya
Dan Bukan Menurut Prediksi Arsiteknya. Taman-Taman Kosong, Sekolah Jarang Dikunjungi, Pusat

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


15
Laurens
Perkotaan Yang Rapi Telah Diubah Oleh Pola Belanja Penduduk Sehingga Tidak Lagi Menjadi
Seperti Yang Direncanakan.

Alexander Mengatakan Bawah Karya Arsitektur Modern Adalah Karya Tidak “Nyata”, Sebab
Dipertanyakan Apakah Orang Ingin Dan Menikmati Dan Tinggal Di Sebuah Rumah Kaca Dan Baja,
Atau Semua Itu Lebi Sebagai Usaha Untuk Membuktikan Bawah Ia Menggerti Arsitektur Modern?
Dalam Munculnya Arsitektur Post-Modern, Meningkatlah Kepedulian Akan Nuansa Simbolis
Dari Lingkungan Binaan. Tetapi, Hanya Ada Sedikit Kepedulian Terhadap Hal-Hal Kemanusian
Atau Bagaiman Orang Mengalami Makna-Makna Simbolis Dari Lingkungan Di Sekitarnya, Atau
Apa Pentingnya Makna Tersebut Bagi Masyarakat Pengguna. Berbagai Kritik Yang Muncul Dalam
Beberapa Dekade Terakhir Ini (Seperti Norberg Schulz 1965; Brolin, 1976; Blake, 1974;
Rossi,1982) Menengarai Lemanya Dasar Teorinya Arsitektur Dari Para Praktisi Arsitektur,
Lemahnya Pengetahuan Mereka Menggenai Hubungan Lingkungan Dengan Perilaku Manusia
Berpengaruh Pada Karya Desain Mereka (Sommer,1974; Amos,1989).
Kurangnya Modal Manusia Sebagai Dasar Bagi Idiologi Arsitektur Mengakibatkan Munculnya
Kesalahpahaman Mengenai Hubungan Antara Manusia Dan Lingkungannya. Dalam Desain Di
Kenal Hubungan Berdasarkan Model Hubungan Stimulus-Respons(S-R) Antara Lingkungan Dan
Perilaku Manusia. Dalam Model Ini Lingkungan Dianggap Sebagai Stimulus Dan Perilaku Manusia
Sebagai Respons. Akibatnya, Timbul Anggapan Seakan-Akan Arsitektur Dapat Secara Langsung
Menetukan Perilaku Manusia Melali Bentuk Desain.
Anggapan Ini Merupakan Suatu Kesimpulan Yang Kelirukarena Dalam Hal Ini Organisasi Sosial
Tidak Diperhitungkan Sama Sekali. Jika Pun Diperhitungkan, Dianggap Sebagai Suatu Yang Pasti
Dan Menetap. Sesungunya, Arsitektur Menciptakan Suasana, Membentuk Ruangankegiatan, Yang
Menjadi Salah Satu Fasilitator Atau Penghalang Perilaku.
Kini Telah Banyak Di Sadari Bawah Variable Sosial Lebih Berperan Dari Pada Factor Arsitektur
Dalam Pembentukan Pola Sosial. Jelaslah Bawah Kemungkinan Perilaku Manusia- Spasial, Kognitif,
Ayaupun Emosyonal-Merupakan Suatu Fungsi Yang Kompleks Dari Kebiasan Dan Maksud
Seseorang. Seperti Juga Halnya Factor Lain Yang Lain Yang Dianggap Pemicu Perilaku Seseorang.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


16
Laurens
Bila Kita Memprediksikan Hasil Rancangan Dengan Lebih Baik, Harus Memakai Model Yang Lebih
Baik Dari Medol Hubungan S-R Tersebut. Untuk Menjadikan Kota Atau Lingkungan Lebih
Manusiawi, Diperlakukan Kesadaran Bawah Keberhasilan Suatu Lingkungan Memenuhi Kebutuhan
Manusia Terletak Pada Bagaimana Lingkungan Tersebut Mampu Mendukung Terjadinya
Lingkungan Sosial Yang Positif. Ada Hubungan Langsung Antara Kebutuhan Fisik Dan Kebutuhan
Sosial.
Dalam Proses Arsitektur Yang Kritif, Empat Dimensi Studi Perilaku-Lingkungan, Yaitu Manusia,
Perilaku, Lingkungan, Dan Waktu Merupakan Hal Yang Mendasar. Dengan Mempelajari Bentuk
Perilaku Dan Pemaknaan Ruang Dalam Kerangka Wakru Tertentu, Memungkinkan Arsitektur Untuk
Mengerti Bagaimana Hal Tersebut Di Transmisikan Dan Bagaiman Seseorang Memliki Atau
Menginternalisasikannya.

C. PENDEKATAN DESAIN

Fokus Dari Teori Arsitektur Secara Tradisyonal Adalah Pada Hubungan Antara Arsitek Dan
Artefak Yang Di Dirancangnya, Antara Seorang Perancang Dan Rancangnya Artinya, Lebih
Berdasarkan Idiologi Dan Tastamen Individual Dari Si Arsitek Itu Sendiri Dari Pada Berdasarkan
Hubungan Antara Manusia (Baik Sebagai Individu-Individu Maupun Secara Umum) Dan
Lingkungannya. Robert Gutman (1972) Mengatakan, Teori Arsitektur Biasanya Berarti
“…Seperangkap Prinsip Yang Memadu Arsitek Dalam Memadu Arsitek Dalam Mengambil Keputusan Mengenai
Masalah Yang Kompleks Yang Muncul Dalam Usaha Menerjemakan Tuntutan Desain Menjadi Bangunan. ”
Dengan Demikian, Dapat Dikatakan Bawah Teori Arsitektur Leih Mengutamakan Suatu System
Logika Yang Menggambarkan Keterkaitan Antara Komponen-Komponen Lingkungan Dari Pada
Mengenai Pengalaman Manusia. Jika Pengalaman Dibatalkan, Yang Lebih Berperan Adalah
Pengalaman Pribadi Si Perancang.
Fokus Tidak Ditunjukan Pada Pengertian Bagaimana Lingkungan Tersebut Diterima, Apa Makna
Simbolis Ataupun Konkret Bagi Setiap Orang,Ataupun Peluang-Peluang Apa Yang Ungkin Diteriam
Oleh Setiap Manusia Yang Berbeda-Beda. Pengetahuan Mengenai Perilaku Manusia, Tatanilainya,
Dan Aspirasinya Belum Menjadi Bagian Penting Dalam Pementukan Teori Arsitektur.
Dari Usulan Mengenai Focus Teori Arsitektur Tersebut, Perubahan Atau Perkembangan Teori
Arsitektur Dan Pengambilan Keputusan Desain Harus Mempertimbangkan Manusia Sebagai Suatu
Entitas Spiritual, Bukan Hanya Sebagai Entitas Fisik, Agar Hasil Desain Dapat Mencapai Sassaran
Yang Dituju. Seperti Halnya Untuk Mengerti Sebuah Jkarya Seni, Orang Harus Menyadari
Hubungan Antara Bentuk Dan Maknanya Karena Ekspresi Terkandung Dalam Bentuk.

1. Cybernetics
System Pendekatan Desain Lingkungan Sibernetik (Cybernetics) Menekankan Perlunya
Mempertimbangkan Kualitas Lingkungan Yang Di Hayati Oleh Pengguna Dan Pnegarunya Bagi
Pengguna Lingkungan Tersebut. Pendekatan Ini Secara Holistic Mengaitkan Berbagai Fenomena
Yang Mempengaruhi Hubungan Antara Manusia Dan Hubungannya, Termasuk Lingkungan Fisik
Fisik Dan Sosial Seperti. Seperti Halnya Makhluk Hidup Lain Manusia Mencari Keseimbangan
Dalam Lingkungan Yang Dinamis Dan Selalu Berubah-Ubah Itu.
Desain Lingkungan Sibernetik Ini Dapat Menjadi Wahana Untuk Mengubah Dampak Negatif
Dari Perencanaan Lingkungan Yang Berwawasan Sempit, Menjadi Lingkungan Yang Dapat
Mempunyai Kualitas Sebagai Ruang Tempat Behuni Yang Nyaman.
Foerstar (1985) Menjelaskan Bawah Dalam System Pendekatan Sibernetik Yang Merupakan
Pendekatan Multidisiplin, Dibuat Evualuasi Perbandingan Antara Apa Yang Dihayati Atau Di Alami

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


17
Laurens
Pengguna Dengan Apa Yang Menjadi Kriteria Kinerja Yang Di Inginkan Atau Menjadi Sasaran
Klien Ataupun Yang Di Susun Secara Eksplisit Oleh Arsitek. Proses Umpan Balik Sibernetik Ini
Bertujuan Memberi Koneksi Sebagai Hasil Evaluasi Bagi Perencanaan.

Untuk Itu, Dibuatlah Pengelompokan-Pengelompokan Seperti Berikut,

a. Keinginan Klien, Dikelompokan Ke Dalam Tiga Tingkat Kinerja Sejalan Dengan


Kebutuhan Pengguna, Yaitu Tingkat Kesehatan, Keselamatan Dan Keaanan Tingkat
Fungsi Dan Efisiensi Dan Tingkat Kenyaanan Dan Tingkat Piskologis
b. Elemen-Elemen Yang Termasuk Dalamkerangka Penghunian Yaitu Bangunan Atau
Settingpengertian Setting Di Sini Dapat Disamakan Dengan Tatar Perilaku (Behavior
Setting) Bari Barker (1968) Atau Tempat-Tempat Archetypal Yang Diuraikan Oleh
Speak (1973).
c. Penghuni, Dibedakan Berdasarkan Siklus Kehidupan, Misalnya Anak-Anak, Remaja,
Orang Tua, Atau Penyadang Cacat Fisik Dan Catat Fisik Dan Cacat Mental. Masing-
Masing Kelompok Mempunyai Kebutuhan Tersendiri.
d. Kebutuhan Lain, Seperti Kebutuha Budaya Dan Adat.

Tujuan Pembedaan Ini Untuk Mengetahui Seinci Mungkin Kebutuhan Lingkungan Yang Harys
Di Penuhi, Yaitu Dengan Mengetahui Bagaimana Pribadi Yang Berbeda Beraksi Berbeda Pulah
Terhadap Lingkungan Yang Beragam (Misalnya Perbedaan Perilaku Penghuni Dan Pengunjung
Sebuah Apertemen Bertingkat Banyak Dengan Sebuah Rumah Tinggal). Bagaimana Kombinasi
Tertentu Antaraindividu Dan Setting-Nya (Misalnya, Anak-Anak Yang Bekunjung Ke Sebuah
Apertemen Bertingkat Banyak) Berinteraksi Menghasilkan Berbagai Pola Perilaku Tertentu.
Dengan Demikian, Kerangka Penghunian Ini Dapat Menghubungkan Lingkungan Fisik Dan
Manusia Pengguna Dan Kebutuhanya Seara Lebih Tepat Atau Lebih Sesuai

2. Teori Positif
Teori Pasif Mencakup Pengertian Tentang Lingkungan Dan Perannya Bagi Kehidupan Manusia.
Pembentukan Teori Sendiri Lebih Dari Sekedar Membuat Uraian, Termasuk Didalamnya Adalah
Penjelasan. Seperti Dikatakan Amos(1994),
“…Thus Real I.E. Explanatory, Theory I Essential Not Only For Intellectual Reason, But Also Because It Is The Most
Practical Thing There Is.”

Teori Positif Merupakan Suatu Proses Kreatif Yang Mencakup Pembentukan Struktur
Konseptual, Baik Untuk Menata Maupun Untuk Menjelaskan Hasil Suatu Pengamatan. Tujuannya

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


18
Laurens
Adalah Struktur Ini Dapat Digunakan Untuk Menjelaskan Apa Yang Terjadi Dan Membuat Prediksi
Mengenai Apa Yang Mungkin Akan Terjadi.
Nilai Dari Teori Poitif Ini Bergantung Pada Kekuatan Penjelasan Dan Prediksinya. Teori-
Teori Yang Berhasil Adalah Teori Yang Sederhana, Tetapi Menggeneralisasi Fenomena Dunia Dan
Dalam Penggunanya Dapat Membantu Kita Melakukan Prediksi Dengan Akurat. Hal Ini
Memungkinkan Seseorang Mendapatkan Sejumlah Pernyataan Diskriptif Dari Sebuah Pernyataan
Yang Sederhana.
Misalnya, Apabila Seseorang Mengerti Perihal Simbolisasi Yang Di Buat Manusia Pada Teritori
Lingkungan, Ia Akan Dapat Membuat Berbagai Pola Bangunan Atau Desain Lingkungan Dengan
Simbolisasi Yang Memenuhi Persyartan Tertorial Lingkungan Tersebut. Dengan Demkian,
Kreativitas Desain Tidak Mengabaikan Akibat Dari Hasil Desainnya Sendiri.
Dalam Perancangan, Salah Satu Fungsi Teori Positif Adalah Meningkatkan Kesadaran Menggenai
Perilaku Mana Dalam Lingkungan Yang Penting Bagi Manusia Sehingga Dalam Pengambilan
Keputusan Desain, Hal Tersebut Tidak Luput Menjadi Bahan Pertimbangan. Kalau Semula Hal
Tersebut Di Simpulkan Secara Intuitif, Seperti Contoh Prinsip Teritorialitas Tersebut, Yang
Sesunggunya Merupakan Perilaku Yang Diperlihatkan Oleh Setiap Orang, Tetapi Dalam Desain
Ssering Kali Diabaikan Tau Diperhitungkan Secara Sadar. Oleh Karena Itu, Denganteori Positif
Berbagai Isu Ini Dapat Di Diskusikan Dengan Jelas Dan Gambling Seingga Dapat Menjabati Celah
Yang Ada Di Antara Rancangan Yang Intutif Dan Ketidaksadaran Akan Perilaku Yang Penting Bagi
Manusia Karena Berbagai Aspek Dalam Desain Dapat Dijelaskan Secara Eksplisit.
Contoh Adalah Prinsip Desain Mengenai Defensible Open Space Berdasarkan Kontrol Teritori
Dari Oscas Newman. Denagan Adanya Uraian Yang Eksplisit Dari Prinsip-Prinsip Desain Ini,
Arsitek Dan Perancang Lain Dapat Menggunakannya Pula Dalam Perancangan Di Lingkungan Yang
Mana Pun.
Berbeda Dengan Teori Normative Yang Berangat Dari Konsensus Tentang Segala Sesuatu Yang
Disepakati Untuk Waktu Tertentu Atau Tentang Patokan Apa Yang Disebut Baik Atau Apa Yang
Seharusnya Dilakukan, Sebuah Teori Positif Akan Memperhitungkan Adanya Pengalaman Dari
Beragam Karakter Manusia Yang Mengakibatkan Beragam Pula Bentuk Tuntutan Akan Lingkungan
Fisik (Skema 2.6)

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


19
Laurens
Seperti Telah Dikemukakan, Dalam Model Ini Terlihat Keempat Dimensi Studi Perilaku-
Lingkungan, Yaitu Manusia, Perilaku, Lingkungan, Dan Waktu Merupakan Hal Yang Mendasar
Dalam Proses Perancangan.

D. PROSES DESAIN

Pendekatan Desain Yang Ada Dewasa Ini Mewarisi Tradisi Beaux Arts, Yaitu Sebagian Besar
Adalah Intutif, Tidak Terstruktur Berorientasi Pada Solusi. Pedekatan Ini Memang Memicu Pikiran
Yang Divergen Dan Dapat Menghasilkan Solusi Desain Yang Inovatif. Akan Tetapi, Juga
Meningkatkan Kemungkinan Penyelesaian Masalah Yang Keliru.
Untuk Mengurangi Kemungkinan Aktifitas Menyelesaikan Masalah Yang Keliru Karena Bukan
Merupakan Masalah Yang Sesunggunya Pada Proyek Yang Bersangkutan, Di Perlukan Suatu
Pengembangan Metode Desain Dengan Tujuan Memberi Perhatian Pada Semua Elemen Masalah
Secara Sistematis. Hal Ini Berarti Mengubah Pendekatan Yang Berorintasi Pada Solusi Menjadi
Pendekatan Yang Berorintasi Pada Masalah Secara Diskriptif, Sebelum Menetapkan Sintesis Solusi.
Model Perancangan Yang Linier Dianggap Tidak Lagi Memadai. Sebalikny, Diperlukan Satu
Siklus Desain Dengan Adanya Umpan Balik Dan Umpan Maju Pada Setiap Tahapan.

Secara Tradisional, Umpan Balik Diperoleh Arssitek Dari Kliennya, Dari Sesama Mitra Kerjanya
Dan Mungkin Dari Sejumlah Pengamat Arsitektur Atau Sekelompok Kecil Masyarakat Dalam
Peluncuran Suatu Karya Arsitektur. Masukan Ini Diperlukan Untuk Proyek Berikutnya. Akan Tetapi,
Jika Hanya Mengandalkan Data Semacam Ini Kurang Memadai Karena Ada Informasi Yang
Terlewatkan, Yaitu Tanggapan Dari Para Pengguna.
Kegagalan Dalam Suatu Desain, Baik Dari Segi Struktur Maupun Masalah Desain, Biasanya
Hanya Menjadi Bahan Diskusi Internal Arsitek Atau Perencanaan. Bahkan Tidak Jarang Seorang
Arsitek Bertindak Sebagai Bank Data Tunggal Untuk Berbagai Informasi Desain. Dalam Proses
Desain Tradisional Terdapat Tiga Pemeran Yaitu Pihak Pemilik, Arsitek, Dan Pemerinta Sebagai
Penentu Kebijaksanaan. Sering Kali Pengguna Banggunan Belum Dilibatkan Sebagai Partisipan
Dalam Seluruh Proses Desain.
Penelitian Menunjukan Bawah Terdapat Perbedaan Substansial Antara Proses Desain Yang Di
Harapkan Oleh Perencana Dan Pproses Desain Yang Sesunggunya Terjadi. Misalnya, Banyaknya
Pengambilan Keputusan Yang Semula Tidak Direncanakan Danternyata Ikut Berperan Selama
Proses Desain; Keputusan Desain Sebelum Pelaksanaan Banyak Merupakan Hasil Kompromi

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


20
Laurens
Antara Perncana Kota, Pemerinta Kota, Arsitek Dank Klien; Kontraktor Yang Menggambil Berbagai
Keputusan Selama Proses Pelaksanaan; Terakhir Pengguna Banyak Melakukan Perubahan Setelah
Banguan Selesai Dibangun.
Hal Ini Menunjukkan Bawah Model Desain Yang Ada Telah Gagal Mengidentifikasi Perbedaan
Tata Nilai Yang Dimiliki Setiap Partisipan Dalam Proses Desain. Berbagai Model Yang Ada Dalam
Proses Desain Dapat Dikelompokan Menjadi:
1. Model Diskriptif, Yaitu Model Yang Mengidentifikasi Aksi Dan Peristiwa Yang Terjadi
Selama Proses Desain;
2. Model Behavioral, Yaitu Model Yang Memakai Hipotesis: Mengapa Suatu Aktivitas
Tertentu Terjadi;
3. Model Normative, Yaitu Model Prespektif Yangnmenyatakan Apa Yang Biasaya Akan
Terjadi.
Dalam Proses Perancangan Arsitektur, Model Yang Banyak Dipakai Prespektif. Berikut Ini Adalah
Salah Satu Model Proses Desain.

1. Model Pengambilan
Pengambilan Keputusan Dalam Perancangan Merupakan Bagian Penting. Ada Beberapa Model
Yang Bisa Dipakai Para Arsitek Dan Perencana. Namun, Terdapat Model Yang Berlaku Secara
Umum (Skema 2.8). Proses Ini Melibatkan Beberapa Tahap, Yaitu Tahap Analisis Untuk
Mengidentifikasi Dan Memahami Masalah Yang Ada; Tahap Desain Atau Pembuatan Alternative
Dan Evaluasi Solusi Desain; Tahap Pilihan, Yaitu Tahap Untuk Pemilihan Alternatif.

Model Pengambilan Keputusan Tidak Dapat Dianggap Sepenunya Linier Ataupun Sepenunya
Siklis Karena Terdapat Interaksi Antar Tahapan Yang Perlu Dipertimbangkan. Masing-Masing
Tahapmterdiri Atas Analisis, Desain, Dan Pemilihan. Artinya Pada Setiap Tahap Itu Terdapat Proses
Pengambilan Keputusan.

2. Model Perancangan
Apa Bila Disadari Bawah Masalah Yang Sering Kali Timbul Pada Desain Karena Kurangnya
Perhatian Pada Kebutuhan Pengguna Atau Terlalu Banyaknya Pertimbangan Diberikan Bagi
Ekspresi Diri Sang Arsitek, Diperlukan Pendekatan Komprehensif Dalam Analisis Dan Sintesis.
Pada Model Proses Desain Berikut Ini (Skema2.9) Terlihat Perlunya Dibuat Beberapa Kelompok
Aktivitas Dalam Proses Desain Untuk Menghindari Terjadinya Kegagalan Banguan.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


21
Laurens
a. Tahap Inteligensi
Dimulai Dengan Presepsi Akan Sebuah Kebutuhan Dan Diakhiri Dengan Suatu Program
Mengenai Kebutuhan Fungsional Dan Piskologikal Yang Harus Dapt Dipenuhi Oleh Desain.
Presepsi Kebutuhan Akan Bergantung Pada Situasi Yang Ada Dan Orang Yang Terlibat, Dengan
Pertimbangan Bawah Setiap Orang Mempunyai Tujuan Dan Sasaran Yang Unik. Orang Yang
Terlibat Dapat Dikelompokan. Pertama, Kelompok Klien, Sponsor Proyek Atau Pengembang.
Kedua, Kelompok Bukan Pengguna Yang Terlibat Dalam Proyek, Yaitu Arsitek Dan Para
Professional Terkait, Pemerintah Kota Atau Daerah, Kontaktor, Dan Dan Kelompok Terakhir Adalah
Kelompok Pengguna.
Pada Tahap Ini, Konstribusi Studi Perilaku Lingkungan Pada Desain Arsitektur Adalah Memberi
Masukan Mengenai Masalah-Masalah Yang Sesunggunya Harus Diselesaikan. Tanpa Mengetahui
Hal Ini, Desain Arsitektur Akan Membuat Sosialisasi Yang Tidak Bermanfaat.
Hasil Observasi Dan Penelitian Dapat Memberi Pengertian Mengenai Perilaku Pengguna Dan
Bagaiman Hal Itu Dapat Diakomodasikan Dalam Desain. Selain Pengumpulan Informasi Tersebut,
Pada Ini Juga Dikenakan Perlunya Penggetahuan Tentang Ekologi Dalam Tapak, Finansial, Bahan
Banguan, Teknologi Dan Kemungkinan Perkembangan Di Masa Mendatang.
Apabila Pada Waktu Itu Lalu Arsitek Mengumpulkan Informasi Tersebut Melalui Buku Katolog,
Standar, Konsultasi Teknik, Kini Hal Ini Dapat Diperoleh Dengan Pendekatan Studi Perilaku-
Lingkungan. Diperlukan Penelitian, Pengamatan, Atau Teknik Untuk Dapat Menentukan Preferensi
Pengguna. Banyak Arsitek Pada Tahap Mulai Dengan Program Dengan Banguan Dari Pada Dimulai
Dengan Suatu Kebutuhan Akan Lingkungan Yang Lebih Baik. Melalui Pendekatan Perilaku-
Lingkungan, Perencanaan Meyakini Bawah Lingkungan Fisik Harus Memaksimalkan Kebebasan
Bagi Pengunanya Untuk Memilih Cara Mereka Untuk Hidupp Dan Membuka Peluang Perilaku Dan
Perseptual Untuk Mengakomodasikan Sebanyak Mungkin Kebutuhan Pengguna.

b. Tahap Desain
Adalah Tahap Sintesis Yang Kompleks Dan Aktif. Suatu Proses Konseptualisasi. Terdapat Dua
Pendekatan Dalam Proses Sintesis Ini. Pertama, Pendekatan Desain Berdasarkan Kebiasaan Dan
Kedua Pendekatan Yang Melibatkan Usaha Kreatif. Karena Persyaratan Desain Sering Kali
Kontradiktif, Usaha Kreatif Sangat Diperlukan. Perencana Harus Dapat Menekankan Sasaran Dan
Tujuan Dari Masing-Masing Kelompok Yang Terkait. Tahap Desain Dimulai Dengan Analisis
Mengenai System Dan Komponen Program Dan Mengorganisasikannya Kedalam Suatu Daftar
Hierarki Kepentingan.
Untuk Pada Sosialisasi, Seseorang Arsitek Membutukan Loncatan Kreativitas. Arsitek Yang
Kreatif Sering Kali Melihat Adanya Serangkaian Affordances, Dan Melihat Struktur Masalah

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


22
Laurens
Dengan Baik. Kadangkalah Bagi Arsitek Dalam Membuat Solusi Yang Kreatif Adalah Ketrampilan
Metodologis Dan Pengetahuan Secara Kuantatif Ataupun Kualitatif. Klarifikasi Tentang Hubungan
Dasar Antara Perilaku Manusia Dan Lingkungan Yang Dirancang Dapat Dipakai Untuk
Mengembangkan Alternative Sosialisasi.

c. Tahap Pilihan
Tahap Ini Meliputi Evaluasi Sosialisasi Dan Keputusan Tantang Alternatif Desain Yang Sesuai
Dengan Persyaratan Dan Yang Tidak Sesuai Dengan Kebutuhan. Apabila Ternyata Tidak Ada
Alternatif Yang Sesuai Maka Proses Berikutnya Harus Kembali Ke Tahap Analisis Atau Desain.
Evaluasi Dan Pilihan Desain Yang Baik Bergantung Pada Preiksi Dan Pengertian Tentang Pengguna
Dan Perkembangannya.
Penampilan Desain Dapat Dievaluasi Dengan Beberapa Cara. Pertama, Secara Tradisyonal
Berdasarkan Logika. Kedua, Melalui Eksperimen Yang Hanya Berlaku Untuk Konstruksi Prototype.
Ketiga, Melalui Simulasi. Yang Terakhir Ini Biasanya Hanya Berupa Potongan Desain Saja.
d. Tahap Implementasi
Bisanya Tahap Ini Menjadi Tidak Terlalu Penting Lagi Apabila Pada Tahap Sebelumnya, Yaitu
Tahap Analisis, Desain, Dan Pilihan Telah Dijalankan Dengan Baik. Namun, Mengenal Perilaku
Dan Komunikasi Diantara Pihak Terkait Dalam Proses Desain Tetap Penting Seperti Mengenal
Siapa Pengguna Dan Bagaiman Pengguna Dari Hasil Desain.

e. Tahapan Evaluasi
Produk Dan Proses Biasanya Merupakan Tahapan Yang Diabaikan Oleh Arsitek. Namun, Dengan
Berkembangnya Minat Dan Perhatian Arsitek Terhadap Kepuasan Pengguna, Kini Semakin Banyak
Dilakukan Penelitian Pascapenghunian.
Pengguna Model Desain Ini Memberi Keuntungan, Antara Lain Memungkinkan Arsitek Untuk
Mengerti, Menstrukturisasi, Dan Memeriksa Desainya Sendiri Sehingga Arsitek Dapat Mengetahui
Kapan Ia Bebas Mengekspresikan Diri Dan Kapan Ia Terikat Pada Persyaratan Tertentu.
Dengan Cara Ini, Arsitek Juga Dapat Menghayati Keterbatasan Pengetahuannya Mengenai
Hubungan Antara Manusia Dan Lingkungan. Hal Ini Dapat Menjadi Masukan Bagi Studi Perilaku-
Lingkungan Untuk Melakukan Penelitian Mana Yang Menjadi Minat Arsitek. Melalui Model Ini
Maka Pendekatan Desain Tidak Lagi Dilakukan Secara Intutatif Semata, Tetapi Dengan Pendekatan
Yang Sadar Dan Eksplisit.

Daftar Pustaka Anjuran

Brolin, Brent. 1976. The Failure Of Modern Architecture. Ny.:


Van Nostrand Reinhold Co.
Center, David (Ed.).1970. Architecture Psychology. London:
Riba.
Clare Cooper And Phylli Hackett.1968. Analysis Of The Design
Process At The Moderate-Income Houing Development. Berkeley; Calif.: Center Of Planning
And Development Research, University Of Califiornia.
Lang, Jon.1974.”A Model Of Designing Process”. Dalam Jon
Lang. Et Al. (Eds.). Op.Cit.Hlm.44.
Lipman, Alan,1974. “The Architectural Belief System And Social Bahavior”.
Dalam Jon Lang. Et Al.(Eds.). Op.Cit. Hlm. 23.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


23
Laurens
BAB 3
PROSES INDIVIDUAL

Each Human Being Is Unique, Unprecedented, Unrepeatable. The Species Homo Sapiens Can Be
Described In The Lifeless Words Of Physics And Chemistry, But Not The Men Of Flesh And Bone.
We Recognize Him As A Unique Person By His Voice, His Facial Expressions, And The Way He
Walks And Even More By His Creative Response To Surroundings And Events.
Dubois, 1968

Manusia Merupakan Pusat Lingkungan Dan Sekaligus Juga Menjadi Bagian Dari Lingkungan.
Karena Itu, Seorang Individu Dipengaruhi Dan Juga Mempengaruhi Lingkungannya. Keunikan Yang
Dimiliki Setiap Individu Akan Mewarnai Lingkungannya. Sebaliknya, Keunikan Lingkungan Bukan
Hanya Menjadi Wada Manusia Beraktifitas, Melainkan Juga Menjadi Bagian Integral Dari Pola
Perilaku Manusia.
Proses Dan Pola Perilaku Manusia Dikelompokan Ke Dalam Dua Bagian, Yaitu Proses Individual
Dan Proses Sosial. Meskipun Tidak Ada Proses Piskologis Manusia Yang Sama Sekali Terlepas Dari
Lingkunganny, Dalam Pembahasan Proses Individu Pada Bab Ini, Akan Ditelaah Hal-Hal Yang
Dianggap Terjadi Di Dalam Pikiran Seseorang.
Pembahasan Dalam Bab Ini Diawali Dengan Bahasan Tentang Pengertian Lingkungan, Sebagai
Bagian Yang Tidak Terpisakan Dari Penggaruh Dan Yang Mempengaruhi Perilaku Manusia.
Selanjutnya, Pembahasan Proses Individual Meliputi Hal-Hal Sebagai Berikut.
a. Presepsi Lingkungan, Yaitu Proses Bagaiman Manusia Menerima Informasi Mengenai
Lingkungan Sekitarnya Dan Bagaiman Informasi Mengenai Lingkungan Sekitarnya Dan
Bagaiman Informasi Mengenai Lingkungan Sekitarnya Dan Bagaiman Informasi Mengenai
Ruang Fisik Tersebut Diorganisasikan Ke Dalam Perilaku Manusia.
b. Kognisi Spasial, Yaitu Keragaman Proses Berpikir Selanjutnya,Mengorganisasikan,
Menyimpan, Dan Ingat Kembali Informasi Mengenai Lokasi, Jarak, Dan Tatanan Dalam
Lingkungan Fisik.
c. Perilaku Sosial, Menujukan Hasil Yang Termanifestasikan Dalam Tindakan Dan Respons
Seseorang, Termasuk Deskripsi Dan Preferensial Personal, Respons Emosyonal, Ataupun
Evaluasi Kecenderungan Perilaku Yang Muncul Dalam Interaksi Manusia Dengan
Lingkungan Fisiknya.

Proses Individual Ini Mengacu Pada Skemata Pendekatan Perilaku Berikut (3.1) Yang
Menggambarkan Hubungan Antara Lingkungan Dan Proses Perilaku Individu.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


24
Laurens
A. LINGKUNGAN

Kata Lingkungan banyak sekali digunakan dengan berbagai pengertian sesuai bidang ilmu yang
mendalaminya. Misalnya, bagi ilmu piskologi, lingkungan adalah manusia dan kepribadiannya, bagi
ilmu sosiologi adalah organisasi dan proses sosial, bagi ilmu geografi adalah tanah dan iklim, dan
bagi arsitektur adalah bangunan dan ruang luar. Kategorisasi ini bergantung pada kegunaannya
(porteous,1977).
Beberapa alhi atau analis membedakan lingkungan menjadi lingkungan fisik dan sosial atau
lingkungan piskologikal dan behavioral.
1. Lingkungan fisik terdiri atas terrestrial atau tatar geografis.
2. Lingkungan sosial terdiri atas organisasi sosial kelompok interpersonal.
3. Lingkungan piskologikal terdiri atas imaji yang dimiliki orang dalam benaknya.
4. Lingkungan behavioral mencakup elemen-elemen yang menjadi pencetus respons seseorang.

Perbedaan utama dalam penysunan klarifikasi ini adalah perbedaan antara lingkungan objektif
yang nyata di sekitar seorang individu dan lingkungan fenomenologis yang dihayati (perceived) dan
yang secara sadar ataupun tidak sadar mempengaruhi pola perilaku dan emosi seseorang.
Perbedaan ini berhubungan dengan piskologi gestalt. Miasalny, koffka (1935) membedakan
lingkungan geografis, sebagai lingkungan fisik yang sesunggunya berada di sekitar individu dan
lingkungan behavioral, sebagai lingkungan yang merupakan imaji kongnitif dari lingkungan objektif
yang kemudian menjadi dasar terjadinya perilaku. Kurt Lewin (1951) memakai istilah lingkungan
fenomenal dan lingkungan personal yang terdiri atas imaji individu mengenai dunia (komponen
perilaku) dan seperangkat kepercayaan dan juga sikap (komponen eksperensial).
Tujuan dari adanya skema pembedaan ini untuk mendapatkan suatu kerangka mengenai hal-hal
yang berpengaruh pada kehidupan manusia. Semua skema yang ada menujukan adanya lingkungan
yang potensial bagi perilaku dan lingkungan yang efektif yang terdiri atas segalah sessuatu yang ada
menjadi perhatian seseorang atau yang digunakan oleh seseorang (Gibson, 1966). Lingkungan yang
potensial tersebut terdiri atas beberapa pengertian sebagai berikut.

1. Lingkungan terrestrial atau lingkungan geografis


Arsitektur atau perencana kota kerap kali mengguankan istilah lingkungan fisik untuk
menggambarkan aspek nonsosial dan nonbudaya dari suatu lingkungan. Termasuk di dalamnya
adalah bangguan dan iklim dan sehingga disini terlihat adanya pencapuradukan unsur yang termasuk
dalam istilah ini. Padahal bangunan dan iklim adalah dua hal yang berbeda, yang satu artifisial dan
yang lainya alami.
Istilah lingkungan teresterial atau lingkungan geografis hanya untuk menujukan pada lingkungan
alam seperti tanah dan proses terjadinya. Penting untuk menggenal proses terjadinya permukaan ini
karena dalam studi perilaku-lingkungan, lingkungan binaan dianggap sebagai proses adaptasi
terhadap lingkungan teresterial. Lingkungan teresterial terdiri atas komponen padat, cair, dan gas.
Bahan permukaan bumi ini dapat dan juga telah terdiri dari komposisi artifisikal dengan bahan
organik dan non organik.
Semua bebtuk kehidupan ada dalam konteks geografi ini. Ada bagian yang sama diseluruh bumi
seperti gravitasi. Akan tetapi, ada juga yang berbeda dibagian belahan bumi seperti keberadaan bukit,
danau, sungai, jenis tanah, dan vegetasi. Keragaman ini memungkinkan keragaman manfaat
lingkungan bagi manusia yang pada akhirnya mempengaruhi perilaku manusia.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


25
Laurens
Misalnya, komponen panas matahari yang berbeda diberbagai tempat, menawarkan manfaat yang
berbeda bagi manusia. Didaerah panas, manusia melindungi diri dari radiasi panas yang menyengat,
melakukan kegiatan kegiatan di sore hari disaat radiasi berkurang. Sebaliknya dingin, manusia
melakukan kegiatan disiang hari, disaat radiasi panas masih bisa dirasakan menghangatkan badan
dan mengurungi diri di saat udara semakin dungin.radiasi matahari juga mempunyai peran yang
sanggat penting bagi kehidupan, seperti fotosintesis ataupun siklus karbondioksida. Akan tetapi,
matahari juga mengandung hal penting lainya, yaitu cahaya karena analisis cahaya dianggap penting
sebagai salah satu variable desain.
Tipe cahaya adalah radiant light ambient light. Radiant light merupakan cahaya langsung dari
sumber seperti matahari atau lampu. Sementara itu, ambient light. Terdiri atas cahaya pantulan
permukaan bumi ke segalah arah yang kualitasnya berubah-ubah dari waktu ke waktu dan dari jenis
permukaan bumi tempat jatunya cahaya tersebut.
Persepsi adalah proses memperoleh informasi secara fisik dan psikis. Karena itu, bagi orang yang
tidak buta informasi visualnya diperoleh lewat ambient light. Dalam arsitektur, informasi visual
sangat berperan, apalagi komunikasi dalam arsitektur banyak dilakukan melalui media gambar.
Selain informasi visual, terdapat juga transmisi getaran dan difusi bahan gas.
Cahaya memungkinkan orang melihat, getaran memungkinkan orang mendengar, dan difusi
bahan gas memungkinkan penciuman. Kesemuanya ini membuat makluk hidup mempunyai cukup
reseptor. Cahaya merupakan refleksi dari permukaan bumi dan di sebarkan kembali lewat partikel-
partikel debu diudara. Sementara itu, suara sampai batas tertentu dapat memantul diruang tertutup,
tetapi tidak memantul seperti cahaya, juga tidak dapat melalui ruang hamoa udara. Suara
ditumbulkan oleh berbagai kejadian mekanis, seperti pergesekan, benturan dan pergerakan. Manusia
dapat merasakan suara secar jauh lebih baik dari pada yang dapat dijelaskan oleh seseorang alhi
fisika lewat semua rumus dan peralatannya.
Bahan kimia yang menimbulkan gas menyebar kesana kemari, menyebabkan komposisi udara di
suatu tempat berbeda dengan tempat lain. Makluk hidup mempunyi kepekaan yang berbeda dalam
menangkap bau. Bau-bauan memberi informasi bagi manusia ada bauh yang di sukai dan tidak
disukai. Ada yang berkaitan dengan asosiasi mengenai sesuatu yang menyenangkan, seperti
harumnya bauh daging panggang atau menyengatnya bau toilet.
Seperti halnya terhadap suara, manusia dapat mencium bau atau aroma dengan sangat baik, lebih
baik dari yang dapat dijelaskan oleh parah alhi kimia. Manusia belajar untuk menangkap hal ini
karena semua stimulus ini berguna dalam memberi informasi kehidupan. Umberlain dari stimulus
lingkungan yang tidak digunakan manusia, tetapi sanggat dikenalbintang adalah kontak mekanis
dengan lingkungan manusia belajar membedakan semua kontak mekanis (seperti menggaruk,
berguling) seperti halnya dengan atribut lingkunganyang menyertai devormasi kulit. Manusia
mamou membedakan panas dan dingin. Akan tetapi, manusia tidak peka mengunakan indranya
seperti menggunakan indra penglihatan, pendengar atau olfaktori untuk bisa membedakan dari
sumber manakah datangnya panas tersebut. lingkungan teresterial dapat dikatakan menjadi sumber
bagi banyak pengalaman manusia: randiant light, ambient, panas, suara, bau, dan kontak mekanis.
Pengolahan permukaan yang dilakukan oleh arsitek dan perancang lingkungan tentu akan
mempengaruhi juga stimulus yang terbentuk bagi manusia atau kemanfaatan lingkungan bagi
manusia.

2. Lingkungan Makluk Hidup

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


26
Laurens
Selain alam, lingkungan jauga terdiri atas makluk hidup: manusia dan binatang. Sebagian dari
makhluk ini mempunyai kendali atas hidupnya sendiri dan stimulus yang ditawarkannya bagi makluk
lain. Derajat kendali ini berbeda dari satu kelompok ke kelompok yang lain. Manusia merupakan
sumber stimulus yang dapat menghasilkan stimuli visual, suara, kimiawi, panas dan mekanis bagi
makluk lain.

Hanya sedikit binatang yang dapat menjadi sumber cahaya atau arus listrik. Hubungan antara
sesama manusia juga merupakan hal penting untuk dapat di mengerti struktur lingkungan. Hubungan
sosial bergantung pada stimulasi sosial dan respons yang diberikan, yang kemudian menjadi stimulus
bagi adanya respons lain, baik untuk memenuhi kebutuhan secara simbolis maupun kebutuhan
instrumental. Selanjutnya layout dan komposisi lingkungan mempengaruhi cara manusia
berkomunikasi satu sama yang lain, yang kemudian berarti mempengaruhi proses sosialnya.
Manusia berkomunikasi dengan sesamanya melalui sentuhan, suara, atupun secara visual melalui
ekspresi, gerak tubuh, dan juga bau. Pertanyan-pertanyaan mengenai lingkungan dan sesama
manusia atau emosinya disampaikan melalui cara ini. Dari berbagai cara berkomunikasi, yang paling
utama pada manusia adalah melalui ucapan, kemudian tulisan. Akan tetapi, manusia juga
berkomunikasi secara tidak langsung dengan artefak, seperti dengan bangunan yang disekeliling
mereka (Rapoport, 1982).
Manusia hidup dalam suatu sistem sosial yang terdiri atas sekelompok individu yang saling
berinteraksi secara langsung ataupun tidak langsung demi kepentingan tertentu. Lingkungan
manusia ini terdiri atas sejumlah system sosial dengan ketentuan peran dan perilaku tertentu bagi
anggotanya. Perubahan yang terjadi dalam suatu bagian tertentu akan mempengarauhi bagian lain
sebagian suatu system, seperti suatu perubahan perilaku seseorang dapat mengubah system sosialnya
dan begitu pula sebaliknya.
Untuk dapat bertahan maka setiap system harus membawah fungsi tertentu: harus merekrut
anggota baru, mengaari mereka dengan norma-norma yang berlaku dari system yang bersangkutan,
harus menghadapi ancaman dan konflik internal dan eksternal. Perilaku manusia tidak bisa
dimengerti tanpa merujuk pada system sosial ini, yang beragam dari berbudaya yang satu yang
terkait dengan lingkungan teristerialnya. Hal ini juga berlaku bagi arsitek, perencana lingkungan,
kota, lanskep sebagai anggota subkultur lingkungan profesional. Selain mempunyai kesaman
subkultur, sekaligu juga mempunyai perbedaan nilain pada hal-hal tertentu.

3. Lingkungan Budaya
Tidak ada perbedaan yang jelas antara lingkungan teresterial, lingkungan hidup, dan lingkungan
budaya dlam kehidupan dalam kehidupan sehari-hari karena budaya berkembang dari adanya
peluang-peluang dari sumber alami, minat, dan kompetensi manusia. Mayarakat yang berimigrasi
dari atu tempat ke tempat yang lain mambawah serta banyak aspek dari budaya menjadi semacam
symbol sejara atau warisan situasi terdahulu.
Kepercayan dan sikap seseorang terhadap orang lain, lingkungan teresterial, peran seseorang di
masyarakat, dan cara manusia melakukan kegiatan kegiatan sehari-hari merupakan bagian dari
budaya seseorang. Seperti halnya sastra dan lukisan, arsitektur merupakan cara mengomunikasikan
gagasan mengenai masyarakat yang terkait budaya. Mereka merupakan budaya sumber artifisial
mengenai stimulasi dan informasi lingkungan. Sejara manusia bisa di telusuri melalui artefak yng di
ciptakanya.
Norma budaya diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya melalui proses sosialisasi.
Kesetian pada adat kebiasan ini bergantung pada persepsi seseorang terhadap penghargaan atau
keuntungan yang diperolehnya meski para psikologi berpendapat bawah banyak perilaku yang

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


27
Laurens
dipelajari melalui pengalaman tanpa adanya penghargaan apa pun. Dalam suatu budaya tertentu pula,
terdapat beragam perilaku masyarakat anggotanya, tidak selalu terdapat kesamaan perilaku anggota
budaya tertentu.
Lingkungan sendiri sangat kaya dengan affordances atau kemanfaatan lingkungan untuk
berperilaku, tetapi tidak semua affordances dapat digunakan. Perangkat affordances yang di pakai
oleh masyarakat tertentu bergantung pada karakteristik budaya, nilai, dan kebutuhan individunya.

4. Lingkungan Binaan
Lingkungan binaan merupakan bagian dari lingkungan teresterial dan lingkungan budaya.
Arsitektur terdiri atas rangkaian aktifitas bagian permukaan berbagi permukaan dari anaka macam
bahan dengan aneka warna dan tekstur, iluminasi, transparansi, dan ruang terbentuk diantaranya.
Itulah desain. Arsitektur dalam pembahas studi perilaku-lingkungan dianggap sebagai bentuk
adaptasi manusia terhadap lingkungan teresterial dan budaya bagaimana mereka berinteraksi dengan
lingkungan tersebut.
sebagaian perubaha dilakukan dengan sadar mengikuti sadar mengikuti suatu rencana. Akan
tetapi, sebagian pula terjadi tanpa direncanaakan karena proses alami, seperti gempa, tanah longsor,
erosi, abrasi atau kombinasi antara kejadianalam dan rencana manusa. Namun, pada dasarnya
property lingkungan diubah manusia untuk mandapatkan lingkungan yang lebih baik bagi
pemenuhan kebutuhannya, bagi aktfitas baru, atau pengalaman estetika yang baru. Perubahan-
peruban itu merefleksikan kepercayaan, sikap, dan waktu yang dipakai untuk membentuk suatu pola
baru bagi kepentingan masa depan.
Kadangkala perubahan yang dibuat manusia ini memberi keutungan atau kepuasan bagi
sekelompok orang. Akan tetapi, kadang juga memberi kerugian atau kehilangan bagi kelompok yan
lain bahkan keuntungan jangka pendek bisa berkibat kerugian jangka panjang. Misalnya,
pembangunan pabrik yang memberi lapangan pekerjaan bagi sejumlah orang, tetapi menimbulkan
populasi udara dan populasi air bagi masyarakat sekitarnya.

5. Penilaian lingkungan
Apabila kita berbeda dalam suatu lingkungan, bagaimana kita bia dapat menjelaskannya? Bagus?
Membosankan? Sejauh mana penilaian atau pengharapan kita tentang suatu lingkungan sama dengan
orang lain, misalnya dengan seorang arsitek, dan sejauh mana pula berbeda misalnya dengan
penduduk setempat.
Penilaian dan pengharapan seseorang terhadap suatu setting selalu melbatkan orang dan tempat.
Penilaian lingkungan berganntung pada kesaman personal seseorang terhadap setting yang
bersangkutan. Secara umum, penilaian lingkungan mengacu pada enam jenis kesaman personal,
yaitu deskripsi, evaluasi, penilaian akan keindahan, reaksi emosyonal, makna, dan sikap kepedulian
yang dikembangkan si pengamat terhadp setting tersebut.
Seringkali keenam kesamaan personal ini tumpang tindih satu sama lain. Misalny, dengan
mengatakan suatu kota itu indah, orang juga merasa senang berada disana, selalu kenangannya dan
dia peduli akan kota itu. Sebaliknya, suatu kesan tidak selalu sejalan dengan kesan yang lain.
Misalnya, suatu kota dikenang seseorang dengan baik, bukan karenah indah atau karena di
suakainya, melainkan karena pengalaman buruk yang pernah dialaminya. Dengan demikian, berbagi
penelitian lingkuangan dapat salin terkaitdari waktu ke waktu, tetapi juga bisa berbeda secara
konseptual. Karakteristik lingkungan termasuk komplesitas lingkungan, keasrian alam, langgam
arsitektural, isi lingkungkungan, perbakan yang ada, dan berbagi fitur relative lainnya.
Sementara itu, keragaman pengamat dapat di kelompokkan ke dalam:
a. Kelopok dengan kompetensi khusus (seperti arsitek, perencana, menejer hotel, pedagang);

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


28
Laurens
b. Kelompok klien-pengguna khusus (seperti orang tua, pekerja migran, mahasiswa);
c. Kelompok yang terbentuk oleh dasar kepribadian tertentu;
d. Kelompok masyarakat umum.

Penilaian dan harapan yang berbeda juga muncul karena pengaruh karakteristik personal, seperti
tingkat kehidupan, budaya, kepribadian, dan pengalaman.

B. PERSEPSI

Sebagian besar dari arsitektur di bentuk oleh persepsi manusia. Meskipun arsitektur terdiri dari
bangunan atau lingkungan binaan, juga ada kehidupan di dalamnya. Arsitektur merupakan sesuatu
yang berbentuk fisik bersifat keras, solid, terjemah, juga merupakan mimpi dan fantasi manusia.
Arstektur ada masanya kini dan keberadaannya dapat meningkatkan manusia pada masa lalu, dan
membuat orang berpikir akan masa depan. Arsitektur merupakan suatu yang umum karena
dibanggun dan di pakai oleh banyak individu, tetapi juga sangat privat karena respons manusia
terhadap lingkungan arsitektur sangat personal.
Karena sifatnya yang kompleks inilah menjadi penting bagi arsitek untuk mengerti bagaimana
manusia menghayati lingkungannya
Dan bagaima manusia mamberi respons terhadap persepi tersebut ,baik secara personal maupun
sebagai kolompok pengguna .peresepsi adalah proses memperoleh atau menerima informasi dari
lingkungan .teori atau pendekatan yang menjelaskan tentang bagaimana manusia mengerti dan
menilai lingkungannya ini dapat dikelompokan dalam dua kelompok pendekatan sebagai berikut:

1. Pendekatan Konvensional

Pendekatan pertama dinamakan pendekatan konvensional ,yaitu pendekatan yang berdasarkan


sensoria tau stimuli. Teori ini di menggangap adanya rangsangan dari luar individu (stimulus).
Individu menjadi sadar akan adanya stimuli ini melalui sel-sel saraf reseptor (pengindraan ) yang
peka terhadap bentuk-bentuk .energi tertentu (seperti cahaya,suara ,dan suhu) . apabila sumber energi
ini tidak cukup kuat untuk merangsang sel-sel reseptor makaterjadilah pengindraan (senation) .Jika
sejumlah pengindraan disatukan dan dikordinasikan didalam pusat saraf yang lebih tinggi (otak)
maka mansia bisa mengenali dan menilai suatu objek proeses diterimanya rangsangan(objek ,kualitas
,hubungan antargejala ,ataupun peristiwa )sampai rangangan itu disadari dan dimengerti oleh
individu yang bersangkutan inilah yang disebut dengan persepsi .proses ini digambarkan melalui
skema oleh paul A. Bell (1978) sebagai berikut.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


29
Laurens
Karena perepsi bukanlah sekadar penghindaran, persepsi di katakana sebagai penafsran
pengalaman (the interpretation of experience).
Agar terjadi penghindaran yang bermakna, ciri-cirinya adalah sebagai berikut.
a. Rangsangan yang di terima harus sesuai dengan modalitas tiap indra, yaitu sifat sensoris
daras dari masing-masing indara (cahaya untuk penglihatan, bau untuk penciuman, suhu
untuk perasa, bunyi untuk pendengaran, sifat permukaan untuk peraba, dan sebaaginya.
b. Dunia persepsi mempunyai sifat ruang (dimensi ruang) sehingga kita dapat mengatakan atas
bawah, tinggi rendah, luas sempit, latar depan dan belakang, dan sebagainya.
c. Dunia persepsi mempunyai dimensi waktu, seperti cepat lambat, tua muda, dan sebagainya.
d. Objek atau gejala-gejala dalam dunia pengamatan mempunyai struktur yang menyatu dengan
konteksnya.
e. Struktur dan konteks ini merupakan keseluruhan yang menyatu.
f. Kita melihat meja tidak berdiri sendiri, tetapi dalam ruangan tertentu, disaat tertentu, pada
posisi tertentu, dan sebagainya.
g. Dunia persepsi adalah dunia penuh arti. Kita cenderung melakukan pengamatan atau persepsi
pada gejala-gejala yang mempunyai makna bagi kita, yang ada hubungannya dengan tujuan
dalam diri kita.

Secara umum, pendekatan konverisial ini juga dimanakan pendekatan konstuktivisme. Penilitian-
penelitiannya banyak di lakukan dalam lobarotorium dengan banyak variable yang dapat terkontrol.
Penelitian tradisional menganggap penggertian akan persepsi stimulasi yang sederhana ini adalah
jalan untuk dapat menggerti persepsi dari kehidupan sehari-hari yang lebih kompleks. Termasuk
dalam pendekatan ini adalah sebagai berikut.
a. Teori persepsi dari kategori empiricism. Seperti karya Helmholz Tichner, dan Carr, yang
menggangap data rekaman indra itu diolah dalam otak melalui proses asosiasi.
b. Penganut transacitionalim. Seperti Wiliam Ittelson yang mekankan pada peran pengalaman.
Karya ini mempengaruhi Walter Gropius, Lewis Mumford.
c. Penganut rationalism,seperti jean pieget,yang menekankan adanya pengaruh rasional dalam
pengindraan .
d. Nativism yang sangat mempengaruhi C. Norbeng Schulz dengan penekanan pada peran
gagasan pembawa .
e. Gestalt teori.dikembangkan oleh kurt koffka ,Koehler,dan Wertheimer ,yang berpendapat
bahwa dasar integrasi data adalah orgnisasi spotan dari input sensori ke otak .pendekatan
teori gestalt paling banyak berpengaruh pada pembentukan teori desain ,seperti de sausmarez
(1964) ,Isaac(1971),dan arnheim (1977).

2. Pendekatan Ekologis

Pendekatan yang kedua ini adalah pendekatan ekologis,atau dikenal dengan pendekatan
berdasarkan informasi .pendekatan ini pertama kali dikemukakan oleh J.J Gibson .menurutnya
seorang individu tidak menciptakan makna dari apa yang diindrakannya .sesungguhnya ,makna itu
telah terkandung dalam stimulus itu sendiri dan tersedia untuk organisme yang siap menyerapnya.
Ia menganggap bahwa persepsi terjadi secara spontan dan langsung .jadi, bersifat holistic
.spontanitasini terjadi karena manusia selalu mengeksplorasi lingkungannya. Dalam eksplorasi itu
manusia melibatkan setiap objek yang ada dalam lingkungannya dan setiap objek menonjolkan sifat-
sifatnya yang khas untuk organisme tersebut .penampilan makna ini disebutnya affordances.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


30
Laurens
Affordances atau kemanfaatan setiap objek adalah khas untuk setiap makhluk. misalnya ,pohon
memberi manfaat sifat teduh, rindang untuk manusia, mungkin untuk serangga atau binatang lain
pohon itu mempunyai kemanfaatan yang berbeda,misalnya sebagai sarangnya . dengan perkataan
lain, objek atau stimuli itu sendiri pun aktif berinteraksi dengan makhluk yang mengindra sehingga
timbullah makna spontan tersebut .
Selama ini arsitek dan perancang ,atau seniman ,lebih banyak dipengaruhi oleh pendekatan
pertama, yaitu pendekatan tradisional. berikut ini akan dibahas terlebih dahulu pendekatan
tradisional denagn teori Gestalt agar dapat di bedakan dengan pendekatan ekologis.

3. Teori Gestalt Dalam Formal-Desain

Teori perspesi yang berpengaruh dalam bidang seni dan arsitektur adalah teori gestalt yang
mengungkapkan berbagai fenomena visual .tiga hal yang menjadi pokok teori ini, yaitu konsep form,
isomorphim dan field forces.
Bentuk form dianggap sesuatu yang fundamental ,berdiri sendiri sebagai elemen tertutup dan
terstuktur dalam dunia visual .bentuk padat/maifs (solid figure )akan tampak sebagai seuatu yang
berdiri sendiri dengan adanya latar belakang (ground) yang tampak seperti bidang homogen .prinsip
yang mengatur pengamatan manusia terhadap bentuk di dunia nyata adalah sebagai berikut.

a. Konstansi (constancy)
Prinsip ini lebih bersifat psikologis karena menyangkut arti dari suatu objek atau gejala bagi kita
yang bersifat tetap atau konstan meskipun ada perbedaan ukuran pada imajiretina .gejala konstansi
ini dapat ditunjukan pada pascamaji, yaitu suatu imaji yang tetap ada setelah stimulus yang asli tidak
lagi ada ,meliputi
(i) konstansi tempat atau lokasi Misalnya ,ketika seseoraang naik kereta api .meskipun letak
benda-benda dan hubungan antara benda berubah dalam medan penglihatan ,secara
psikologis kita menyadari bahwa keadaan tempat atau lokasi mereka sesungguhnya tidak
berubah .
(ii) konstansi warna misalnya ,kita melihat tas berwarna merah ketika lampu padam ,atau
pencahayaan berganti dengan lampu berwarna kunig ,tas tersebut akan terlihat sebagai
berwarna merah kehitaman ,atau merah kekuningan .akan tetapi ,gambaran
psikilogisdalam diri kita menyadari bahwa keadaan tempat atau lokasi mereka
sesungguhnya tidak berubah.
(iii) konstansi bentuk dan ukuran benda yang jauh terlihat lebih kecil dan benda yang berubah
posisinya dalam medan penglihatan kita akan tampak berbeda bentuknya .misalnya ,kita
tahu seberapa besar sebetulnya sebuah kereta api yang kita lihat dikejahuan hanya berupa
satu bintik kecil dan ukuran pintu ruang tamu di rumah kita walaupun posisinya berubah.
demikian juga sebuah teriakan dan bukan sebuah bisikan.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


31
Laurens
Pada contoh di atas, truss nodes, yang dipasang pada festival plaza karya Kenzo Tange di Expo
Osaka (1970), terlihat pertandingan dimensinya terhadap ukuran orang dewasa yang berdiri di
sampingnya (gambar sebelah kiri). Apabila truss nodes ini telah dipasang di tempatnya (gambar
samping kanan) pada ketinggian tertentu, kita cenderung untuk melihat ukurannya tetap raksasa,
hamper sebesar ukuran orang dewasa meskipun imaji yang di retina kita mengankat ukurannya tidak
lebih besar dari sebuah kepala jarum pentul.
b. Figur dan latar belakang
Keberadaan suatu objek pengamatan menggejala sebagai suatu figure yang menonjol di antara
objek-objek lain, baik karena sifatnya memang mencolok maupun karena dengan senja pengaamat
tertentu.
Jika objek-objek di sekitar kita tidak mempunyai daya Tarik yang sama kuat, dapat di katakana
bawah figur mempunyai bentuk yang lebih jelas di bandingkan dengan latar belakang. Figur
mempunyai struktur, sedangkan latar belakang tidak. Latar belakang di amati sebagai gejala yang
tidak punya batas, tetapi figur mempunyai batas dan figur terletak di depan latar belakang.
Pada contoh berikut ini (gambar 3.2), bangunaan pada sebelah kiri ataupun deretan banggunan
pada gambar sebelah kanan tampil sebagai figur mempunyai bentuk jelas. Sementara itu, rungan
sekitarnya menjadi latar yang berperan memperkuat daya terik figure, yang menggiring perhatian
pengamat pada objek yang menjadi figure.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


32
Laurens
Apabila seseorang berjalan kaki di suatu lingkungan seperti pada contoh di atas (gambar 3.3), ia
bisa mengalami ruang sebagai salah satu bentuk (form) atau sebagai figure dan banguan sebagai
latar belakangnya. Hubungan timabal balik ini terjadi karena kondisi pencahayaan lingkungan
yang memperjelas objek mana yang mendominasi perhatian, yang lebih memberi daya Tarik
dibandingkan objek-objek lainnya sehingga tampilan sebagai figur atau latar belakang.
c. Hukum-hukum Gestalt
Suatu Gestalt adalah suatu totalitas dan totalitas bukanlah penjumlahan dari bagian-bagian
totalitas ada unsur baru, berupa struktur dan arti yang ditentukan oleh hubungan antara bagian
dalam totalitas tersebut. hokum-hukum Gestalt mengatur pola hubungan antara bagian dalam
totolitas itu sehingga muncul dalam medan persepsi dengan cara tertentu. Hukum-hukum tersebut
meliputi
(i) hukum kedekatatan (proximity)
Objek-objek persepsi yang berdekatan akan cenderung diamati sebagai suatu kesatuan. dua
benda terletak berdekatan akan terlihat sebagagi suatu kesatuan meskipun keduannya tidak
mempunyai bentuk yang sama.

(ii) Hukum kesamaan (similarity)


Objek-objek yang cirinya (warna, bentuk, ukuran, atau dimensi, lainnya) sebagian besar
sama, akan cenderung di amati sebagai satu totalitas atau satu kesatuan. pengelompokan
elemen dalam desain cenderung berdasarkan hukuman kedekatan dan kesamaan.
Sementara itu, dua bentuk bisa bergabung menjadi bentuk yang baru, atau dalam betuk
kombinasi dimana bentuk yang kuat akan bertahan dan mengalakan bentuk yang lemah.
(iii) Hukuman bentuk tertutup (closure)
Bentuk-bentuk yang sudah kita kenal walaupun hanya tampak sebagian saja atau terlihat
sebagai suatu bentuk yang tidak sempurna, cenderung kita lihat sebagai suatu bentuk yang
sempurna.
(iv) Hukum keseimbangan (continuity)
Pola yang sama berkisinambungan walaupun ditutup leh pola lain, tetapi diamati sebagai
satu kesatuan. persitensi bentuk dan bentuk yang diingat merupakan dua fenomena yang
tidak terpisakan dalam respons perseptual seseorang terhadap sesuatu.
(v) Hukum gerak bersama (common fate)
Unsur-unsur yang bergerak dengan cara dan arah yang sama akan dilihat sebagai satu
kesatuan meskipun masing-masing unsur tersebut memiliki bentuk yang berbeda.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


33
Laurens
(vi). Persepsi kedalaman (depth perception)
Persepsi kedalaman merupakan suatu kemampuan indra penglihatan untuk menghindar ruang.
Akan tetapi, karena ruang berdimensi tiga, sedangkan penghindaran visual kita hanya
berdimensi dua, penghindaran ruang merupakan suatu penghayatan yang menyeluruh, bukan
hanya sekedar penghindaran visual. Beberapa patokan yang digunakan manusia dalam persepsi
kedalaman adalah sebagai berikut.
(a). perspektif atmosferik, yaitu semakian jauh objek dari sisi pengamat maka ia akan semakin
terlihat kabur
(b). perspektif linier, yaitu semakin jauh suatu objek dari diri si pengamat, garis-garisnya akan
semakin konvergen.
(c). kualitas permukaan (texture gradient), yaitu semakin jauh suatu objek dari diri si
pengamat, kerterjemaan kualitas teksturnya akan semakin berkurang.
(d). posisi relatif, yaitu objek yang jauh akan ditutupi atau kualitasnya menurun karena
bayangan objek-objek yang lebih dekat. Selain itu, benda yang lebih dekat akan terletak di
depan benda yang jauh dalam medan penglihatan kita. sinar dan bayangan, bagian
peermukaan yang lebih jauh dari sumber cahaya akan lebih gelap.

d. Persepsi gerak
Untuk mengamati gerak dibutukan patokan. Dengan demikian, gerakan adalah suatu perpindahan
posisi dari patokannya. Kalau patokannya kabur atau tidak jelas maka kita akan bisa memperoleh
informasi gerakan semu. Gerakan semu terjadi apabila ada dua rangsang yang berbeda yang muncul
hamper bersamaan waktunya, meliputi
(i) efek otokinestetik, yaitu bila kita memandang setitik cahaya dalam keadaan gelap
gulita, cahaya tersebut akan tampak bergerak ke atas atau ke bawah, ke semping kiri
dan ke kanan.
(ii) Gerakan stroboskopik, yaitu gerakan yang terjadi karena ada dua rangsang yang
berbeda yang muncul hampir bersaman. Dalam gerakan ini ada gejalah disebut phi-
phenomenon, yaitu yang terjadi apabila ada dua rangsang atau lebih yang sangat
pendek diamati sebagai gerakan dari satu rangsangan saja.

e. Ilusi
Ilusi merupakan kesalahan dalam persepsi, yaitu memperoleh kesan yang salah mengenai fakta
objektif yang disajikan oleh indra kita. Ilusi mengindikasikan tidak memandainya hubungan yang
diasumsikan si pengamat. Misalnya, antara ukuran, bentuk gometris, panjang gelombang cahaya,
dan imaji diterima.
Banyak ilusi terjadi dalam rancang arsitektur, misalnya ilusi Mueller-Lyer (gbr.3.8). Dikatakan
bawah mata manusia secara tidak sadar menginterprestasikan gambar serupa anak panah sebagai
bendah tiga dimensi, menggambarkan sudut luar (gambar kiri) atau sudut dalam (gambar kana) dari
sebuah banggunan struktur. Mekanisme perseptual menjadikan gambaran pertama (sudut luar) lebih
kecil dan sudut dalam lebih besar karean distori perspektif. Distori yang terjadi ber-variasi
bergantung pada sudut.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


34
Laurens
Dengan memperbesar ukuran sudut pada ujung garis horizontal, terbentuk ilusi perspektif. Garis
horizontal pada baris pertama tampak lebih panjang dari pada garis horizontal yang ketiga; jarak
antara garis horizontal pertama dan kedua tampak lebih besar dibandingkan dengan jarak antara garis
horizontal kedua dan ketiga.

Pada gambar tersebut tidak ada satu pun sudut 90 derajat, tetapi semua pembagian ruang itu
diterima sebagai bersudut 90 derajat.
Beberapa ilusi lain adalah sebagai berikut
(i) ilusi yang disebabkan oleh factor-faktor eksternal, seperti pada gambar dalam cermin, atau
gaung suara. Gambar dicermin kelihatan seolah terletak di belakang kaca, gaung seolah dari
ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella
35
Laurens
arah yang berlawanan dengan posisi kita karena dari situlah suara tadi masuk kedalam telinga
kita.
(ii) Ilusi disebabkan oleh kebiasaan. Rangsang-rangsang yang di sajikan sesuai dengan kebiasaan
kita dalam mengenali rangsang akan dengan mudah menimbulkan ilusi.
(iii) Ilusi karena kesiapan mental atau harapan tertentu.
(iv) Ilusi karena rangsang terlalu kompleks. Bila rangsangan yang diamati terlalu kompleks,
rangsang tersebut dapat menutupi atau menyamarkan objektif dari objek atau gejala tertentu
pada objek.
(iv) ilusi zoliner, yang menggambarkan ilusi pada pola desain tertentu. Garis-garis sejajar yang
terpotong oleh jajaran garis bersudut 45 derajat akan tampak divergen, atau sebaliknya.
Penjelasan mengenai hukum-hukum gestall ini adalah isomorphism, yaitu terdapat pengertian
yang sama antara bentuk dari pangalaman konseptual dan bentuk dari proses neurologis manusia.
Rudolf Arnheim (1965) mengatakan kekuatan
(the forces) yang dialami ketika seseorang melihat suatu objek dapat dianggap secara psikologis
sama dengan kekuatan fisyologis yang bekerja secara fisik dalam otak, semua kekuatan itu dianggap
property dari objek yang ditangkap.
Dapat disimpulkan bawah teori gestalt ini menganggap semua persepsi manusia terorganisasi ke
dalam bentuk (figures) diaman garis, bidang, dan objek yang muncul sebagai suatu kekuatan
dinamis, yang tampak seperti sesuatu yang cenderung bergerak, sesuatu yang ringan, atau sesuatu
yang memberi kulitas gembira, sedih dengan latar belakang (ground) sekitarnya sebagai suatu bidang
homogeny.
Gambar dua dimensi yang membuat berbagai tatanan garis dan bidang berperan dalam
pembentukan persepsi visual manusia. Namun, berbeda dengan karya seni lukis, garis dan bentuk
pada gambar-gambar arsitektural berarti diagram dari objek solid dan ruang tiga dimensi. seperti
terlihat pada contoh (gambar 3.11), gambar arsitektural istana de chaillot dengan deretan sejumlah
patung menorah Eiffel, digambarkan secara diagramatis seperti diagram.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


36
Laurens
Kandinsky, Gambar arsitektural mungkin saja mempunyai kualitas dinamis seperti halnya gambar
parah seniman lukis. Akan tetapi, hal ini hanya sebagai property dari gambar yang bersangkutan dan
mungkin aja tidak menggambarkan kualitas ruang yang sesunggunya.
Apabila kita melihat denah misalnya, harus dilihat sebagai struktur dan ruang, sebagai suatu yang
nyata, dan bukan sekedar gambar seni dua dimensi. Denah adalah arena bagi perilaku manusia.
Sayangnya, denah akanhilang ketika ketika bangunan didirikan. Hanya apabila bangunan
dihancurkan/dirobokan maka jejak denah itu dapat tampak lagi. Begitu denah tersebut dibanggun,
garis-garis dalam denah menjadi garis-garis perspektif yang konvergen, yang kemudian juga dibagi
oleh partisi atau terhalangi oleh tata perabot atau oleh pengunaan manusia. Semua pola dalam
gambar dua dimensi telah berubah menjadi urutan-urutan vista. Namun, kita mencoba
mengkonstruksikan denah yang ada dalam pikiran kita melalui fasade bangunan, melalui cuplikan-
cuplikan interior.
Anggapan tersebut bawah persepsi manusia terorganisasi dalam figure dan latar, yang mempunyai
kekuatan dinamis, menjadi dasar teori ekspresi dalam seni dan arsitektur. Arnheim (1968)
mengatakan bawah kualitas ekspresi tertentu (expressive qualities) arsitektur sangat terkait
sedemikian rupa pada konfigurasi tertentu dalam pengalaman seseorang. Bentuk-bentuk visual bisa
dirasakan seseorang karena bentuk-bentuk tersebut mempunyai kualitas ekspresi tertentu dan inilah
yang menjadi kosakata perancang arsitektur. Berikut ini contoh kualitas ekspresi arsitektural dalam
beberapa bangguan dengan pendekataan tradisional Gestatl seperti uraian di atas.
Jika orang melihat bentuk Gedung Opera Sydney, kenang yang dirasakan pengamat adalah
dominasi bentuk atap dan kualitas ekspresi arsitekturalnya, berlapis, bergelombang. Namun, apabila
kita amati bentuk tersebut dari konteks geografinya, tibul kesan yang berbeda. Penempatan bentuk
tersebut dalam konteks lingkungan pelabuhan merupakan keberhasilan arsitektur secara tematik.
Timbul perasaan adanya dorongan atau pusaran yang muncul keluar dari permukaan air, muncul
sebagai tema interaksi bentuk dengan lingkungan.
Dalam teori Gestatl mengenai intrpretasi proses persepsi visual dinyatakan bawah garis dan
bentuk banguan mengomunikasikan makna secara langsung melalui garis dan bidangnya.

Contoh lain adalah bangun Chrysler di New York, dengan bagian puncaknya menjulang seakan
berteriak untuk lepas dari tanah, teriakan inilah kualitas ekspresinya.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


37
Laurens
Jika ditinjau dari segi artikulasi bentuk, bagian atas bangunan adalah bentuk meruncing, yang di
artikulasikan melalui serangkaian kurva, bermula dari bentuk setengah lingkaran hingga bentuk
parabola.
Bagian ini di selesaikan dengan bahan metal relektif sehingga setiap kurva seakan menjadi bagian
luar yang berdiri sendiri. Terlihat jelas transisi dari bentuk setengah lingkaran yang statis menuju ke
bentuk parabola yang dinamais, dan membentuk suatu kesatuan yang berkekuatan untuk memberi
kualitas ekspresi, seperti berteriak dan mencuat keluar dari lingkungan di sekitarnya.

4. Pendekatan Ekologis Dalam Desain


Pendekatan ekologis dalam teori persepsi merupakan suatu pendekatan yang radikal karena sangat
bertolak belakang dengan konsep isomorphism dari teori Gestalt. Gibson (1966) tidak mengangap
indra sebagai saluran penghindaran, tetapi sebagai suatu system perseptual (table 3.1).
Dalam persepsi visual, Gibson mengatakan bawah selama lingkungan itu di terangi, berkas cahay
yang menuju satu titik akan di distribusikan oleh permukan bumi dan apabila seseorang bergerak,
struktur ini akan ditransformasikan. Dalam struktur tersebut terkandung informasi, yang kemudian
ditransformasikan pada manusia pengamat secara langsung. Tidak menjadi masalah berapa derajat
pencahayaan yang ada, semakin kecil pencahayaan yang jauh pada suatu permukaan maka bagian
detail yang halus dari struktur tersebut akan hilang.
Memang hipotesis mengenai cahaya, gelombang suara, dan sumber-sumber persepsi lainnya ini
masih dianggap kontroversial.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


38
Laurens
Nama Cara Unit Anatomi Aktifitas Rangsang Info
Reseptor Organ Organ Yang Ada Eksternal
Yang Di
Peroleh
Sistem Orientasi Reseptor Organ Keseimbangan Kekuatan Arah
dasar umum mekanis bagian tubuh grafitasi dan grafitasi
orientasi depan ekselerasi
Sistem mendengar Reseptor Indra Orientasi pada Getaran di Alam dan
auditori mekanis pendengaran suara udara lokasi
terjadinya
getaran
Sistem menyentuh Reseptor Kulit, Aneka macam Diformasi Kontak
haptik mekanis persendian eksplorasi tisu, dengan
dan otot konfigurasi bumi, temu
mungkin sendi, mekanis
ternal peregangan bentuk
otot objek, sifat
bahan

Sistem Mencium Reseptor Hidung membaui Konsepsi Keadaan


rasa mekanis media sumber
Dan bau mengecap Reseptor Mulut mencerap Komposisi Keadaan
menkanis media sumber
dan kemo
Sistem melihat Reseptor Indra Akomodasi Variable Informasi
visual foto peglihatan penyesuaian struktur tentang
pupil, fiksasi dalam objek,
eksplorasi ambient hewan,
light gerak,
tempat,
peristiwa

Tabel 3.1 sistem perseptual

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


39
Laurens
Untuk menangkap detail yang halus itu,orang akan melakukan eksplorasi lingkungan secara lebih
rinci, misalnya dengan mengerakan mata, kepala atau bahkan badannya. Lewat pengalamannya maka
orang dapat mengidentifikasi detail yang lebih halus dan lebih luas. Melalui pengalaman, oaring
akan belajar menaruh perhatian pada suatu detail yang sebelumnya tidak menarik perhatiannya.
Menurut model ini, duniaini terdiri atas permukaan yang beragam dari longitudinal hingga
horizontal. Tekstur permukaan horizontal akan semakin jelas mengikuti jarak terhadap si pengamat
(skema 3.3).
Kemampuan menagkap persepsi kedalam dianggap suatu pembawaan manusia, bukan suatu yang
harus di pelajari. Texture gradient inilah yang dari waktu ke waktu dimanipulasi arsitek atau
perancang dalam desain untuk mendapatkan ilusi kedalam. Dalam proses persepsi, ada struktur
lingkungan yang tersembunyi, tertutup oleh bagian lain. Bagian yang tertutup ini akan berubah
apabila orang bergerak dilingkungannya, melalui satu vista ke vista lainnya. Seperti halnya apabila
orang berjalan melalui ruangan demi ruangan atau berjalan dijalan raya. Analisis psikologi ini
banyak digunakan dalam perencanaan lingkungan atau kota, guna menekankan pengalaman estetika
si pengamat.
Kemampuan seseorang untuk menangkap affordances lingkungan merupakan pembawaan atau
suatu fungsi kedewasan seseorang, sedangkan lainnya merupakan suatu yang dipelajari lewat
pengalaman, seperti dikatakan Gibson (1979),
manusia belajar mendektesi nilai atau makna sesuatu, menangkap benda-benda yang berbeda,
mengategorisasikan, lalu mencatat perbedaan dan kesamaannya dan bahkan mempelajarinya untuk
dirinya sendiri terlepas dari untuk apa semua itu di pelajari.
Makna ekspresi dari Kapel Notre Dame-du-Haut, Ronchamp, karya Le Corbusier misalnya,
menurut teori Gestalt, diterima atau dihayati secara universal. Sementara itu, menurut teori ekologis
Gibson di katakana bawah maknanya sendiri bergantung pada asosiasi individu. Sikap yang
ditunjukan seseorang karena makna tersebut pun dianggap sebagai suatu yang di pelajari. Untuk
mendeteksi makna, seorang pengamat tidak perlu mengamati semua variable yang ada dalam berkas
optik, tetapi secara selektif. Orang akan tertarik pada penggunaan affordances lingkungan sesuai nilai
dan motivasinya, bergantung pada pengalaman terdahulunya dan juga pada keuntungan-kerugian

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


40
Laurens
yang dilihatnya apabila ia melakukan aktifitas tersebut.
Manusia menelusuri lingkungan sekitarnya, mencari peluang untuk memenuhi kebutuhannya.
Lingkungan dengan pola tertentu dapat memenuhi kebutuhan laten seseorang, yang tidak di sadari,
yang termanifestasikan dalam affordances dari

Lingkungan yang tertata dengan pola yang baik dan jelas. Setiap lingkungan mempunyai seperangkat
affordances untuk aktivitas manusia atau pengalaman estetika.
Berdasarkan konsep affordances perencana lingkungan dapat merancang affordances dengan pola
yang jelas dalam suatu lingkungan. Dengan demikian, orang akan mudah melihat peluang-peluang
dalam lingkungan untuk memenuhi predisposisinya dan kebutuhannya.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


41
Laurens
Lingkungan tertentu mungkin dapat memenuhi predisposisi laten seseorang, yang merupakan
suatu kebutuhan yang tidak disadari apabila affordances dalam pola lingkungan tersebut dirancang
dengan jelas. Salah satu usaha yang dilakukan para perancang adalah mengidentifikasikan
prediposisi manusia, atau bahkan “membentuknya”, dan menciptakan suatu setting yang mampu
memberi peluang pemenuhan predisposisi tersebut.

C. KONGNISI SPASIAL (SPATIAL CONGNITION)

Kongnisi spasial berkaitan dengan cara kita memperoleh, mengorganisasikan, menyimpan, dan
membuka kembali informasi mengenai lokasi, jarak, dan tatanan di lingkungan fisik. Termasuk di
dalamnya adalah perihal penyelesaian masalah, navigasi, mengatasi kekacauan, mencari jalan keluar
atau menolak informasi tentang jalan keluar, yang semuanya berkaitan dengan lingkungan fisik
sehari-hari secara tiga dimensional. Termasuk juga rambu-rambu, pictorial image, dan semantic di
dalam benak seseorang. Di sekitar kita, dengan mudah kita menemukan peta kongnitif atau peta
mental, misalnya di iklan, majalah, peta perjalanan, dan dalam ingatan setiap orang.

1. Peta Mental
Peta mental atau cognitive map didefenisikan oleh David Stea (1975) sebagai suatu proses yang
memungkinkan kita mengumpulkan, mengorganisasikan, menyimpan dalam inggatan, memanggil,
serta menguraikan kembali informasi tentang lokasi relative dan tanda tentang lingkungan geografis.
Semua informasi yang diperoleh disimpan dalam satu system struktur yang selalu dibawah dalam
benak seseorang, dan sampai batas tertentu struktur ini berkaitan dengan lingkungan yang
diwkilinya. Peta ini merupakan kumpulan pengalaman mental seseorang, bukan merupakan peta
kotografi yang akurat dan menangkap sehingga tidak dalam ukuran yang besar, tidak lengkap, ada
distorsi, dan sederhana.
Sebagai contoh, seorang mahasiswa A mengundung teman-temannya untuk hadir pada pesta di
rumahnya. Temannya B belum pernah rumah ke rumah A dan menanyakan jalan untuk sampai ke
rumah A tersebut. lalu, A menjelaskan dengan menyebutkan arah, bangunan, dan perempatan tempat
harus belok ke kanan, atau ke kiri; B yang sudah lama tinggal sekota denganya bisa memahami
maksud A dan bisa menemukan rumah A tanpa kesulitan.
Akan tetapi, C yang baru pindah ke kota itu tidak mengerti apa yang dikatakan A sehingga A
perlu menggambarkan peta. Dengan berbekal peta itu pun, tidak mudah bagi C untuk menemukan
rumah A karena banyak hal yang tidak sesuai dengan kenyataan. Apa yang dilakukan A,B dan C
adalah suatu proses aktif karena bukan hanya indra penglihatan yang berfungsi, melainkan juga
indra-indra yang lain. Peta mental adalah perwujudan dan gejala perepi terhadap lingkungan.
Dengan adanya peta mental itulah maka A bia menunjukkan arah rumahnya kepada teman-
temannya. Demikian juga kita bisa bepergian kesekolah atau ketempat kerja setiap hari karena peta
mental yang ada dalam diri kita. Karena dalam proses ini yang berfungsi bukan hanya indra
penglihat saja, seorang tunanetra pun juga bisa membuat peta mental tanpa memakai indra penglihat
sama sekali. Hasil rekaman dari indra-indra lainnya, seperti bauh sampah, harumnya masakan di
restoran atau suara bising, kemudian di hubungkan satu sama lain sehingga menghasilkan sebuah
peta dalam ingatan kita. Semakin banyak masukan dan semakin lama kita mengenal suatu daerah
maka semakin terinci dan baik peta mental kita.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


42
Laurens
Dari ilustrasi itu terlihat bahwa C kesulitan rumah A meskipun mengikuti gambar peta yang
dibuat A karena gambar itu berbeda dengan kenyataan. Misalnya, bangunan gereja besar yang
digambar kecil atau bahkan tidak tergambar sama sekali. Gambar jalan mobil yang jauh tergambar
kecil dan pendek, sedangkan gang dekat rumah A tergambar panjang sehingga berkesan jauh.
Perbedaan peta mental dengan kenyataan ini menunjukkan bahwa peta mental itu sangat subjektif.
Apa yang dirasakan penting oleh seseorang akan digambarkan dengan jelas, berukuran besar, dan
sebaliknya sesuatu yang dianggapnya kurang penting digambar kecil. Karena, peta mental ini peta
pengalaman, bukan peta berdasarkan ukuran yang presisi.

2. Fungsi Peta Mental


Mental image atau visi abstrak mengenai lingkungan yang diantisipasi untuk melakukan
tindakan diperlukan manusia untuk merencanakan perilaku. Seorang pilot tidak bisa mengemudikan
pesawat jika tidak mempunyai ide special yang menghubungkan dia dengan mesin dan mesin dengan
lingkungan. Demikian juga bagi seseorang untuk mempergunakan gedung, atau jalan di kota, seperti
cerita diatas, diperlukan mental image mengenai lingkungan yang bersangkutan.
Selain sebagai mental setting untuk antisipasi bertindak, mental image juga berfungsi sebagai
mediasi persepi. Mental image memungkinkan orang menandai, menstrukturisasikan dan
menyimpan informasi viual dan special, dan mengatur responnya terhadap objek yang dilihatnya.
Melalui pengalamannya, mental image ini menjadi pengukur signifikasi lingkungan bagi hidup
seseorang. Proses ini dikatakan lynch sebagai berikut.
“The environment suggests distinction and relations and observer-with great adaptability and in
light of hi own purposes-selects, organizes and endows with meaning what he sees. The image
so developed now limits and emphasizes what is seen, while itself is being tested against the
filtered perceptual input in a constant interacting process.”
Lynch (1960) dan Holahan (1982) mengemukakan bagaimana cara mengukur peta mental yang
terdiri atas beberapa unsur sebagai berikut.
a. Tanda-tanda yang mencolok (landmark), yaitu bangunan atau benda-benda alam yang
berbeda dari sekelilingnya dan terlihat jauh. Misalnya , gedung, patung, tugu, jembatan, jalan
laying, pohon, penunjuk jalan, dan sungai.
b. Jalur-jalur jalan/penghubung (paths) yang menghubungkan satu tempat dengan tempat
lainnya.
c. Titik temu antar jalur jalan (nodes), misalnya perempatan dan pertigaan.
d. Batas-batas wilayah (edges) yang membedakan wilayah yang satu dengan wilayah lainnya.
Mialnya, daerah pemukiman dibatasi oleh sungai, daerah perkotaan dibatasi oleh gerbang tol
menuju tempat parker, atau pagar lapangan golf yang luas membatasi wilayah perindustrian
dari wilayah pemukiman.
e. Distrik (district), yaitu wilayah-wilayah homogen yang berbeda dari wilayah-wilayah lain.
Misalnya, pusat perdagangan ditandai oleh bangunan-bangunan bertingkat dengan lalulintas
yang padat dan daerah kantor-kantor kedutaan besar Negara asing ditandai oleh rumah-rumah
besar dengan halaman luas serta jalan-jalan lebar.
Menurut Lynch, semakin nyata unsur-unsur itu dalam suatu lingkungan, misalnya lingkungan
kota, makin mudah orang menyusun peta mental. Artinya, orang akan lebih cepat mengenal
lingkungan geografi yang ada. Itu sebabnya orang tidak mudah tersesat di kota dengan perencanaan
yang matang meskipun kota itu metropolis, seperti New York, Tokyo, atau London. Distrik-distrik
yag teratur dan tertentu tempatnya, batas-batas wilayah yang jela, jalur-jalur jalan dan perimpangan
lurus dan bernomor urut, serta landmark yang bisa di temukan dimana-mana. System ankutan umum
pun dibuatedemikian jelas sehingga setiap orang bisa membaca arah tujuan kendaraan.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


43
Laurens
Karya Lynch (1960) dan Appleyard (1976) sangat mempengaruhi perencanaan kota dan psikologi
lingkungan. Konsep legibilitas atau kemudahan dengan apa sebuah tempat akan dimengerti secara
kognitif dan “dibaca” oleh seseorang sehingga yang bersangkutan dapat berorientasi dalam
lingkungannya, yang berkaitan dengan landmark, path, node, district, telah menjadi infrastruktur
dasar bagi berbagai studi lanjutan, dan penekanan pada tatanan ruang secara fisik.
Penggunaan teori ini dapat dilihat pada berbagai deain dengan berbagai tingkatan mualai dari
perencanaan kota, pembuatan “peta anda diini” sebagai penunjuk arah dan lokasi, peta perjalanan,
hingga penomoran dan penandaan pada bangunan individual.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


44
Laurens
Fungsi peta mental selain untuk mengatasi masalah lokasi dan jarak, juga bisa untuk tujuan
komunikasi, bahkan untuk menunjukkan identitas diri. Misalnya, Jakarta dengan Tugu Monas,
Surabaya dengan Tugu Pahlawan, Bukittinggi dengan Jam Gadang, Bandung dengan Gedung Sate,
atau London terkenal dengan jembatan di Sungai Thames, Sydney dengan Gedung Opera House, dan
Paris dengan Menara Eiffel.
Agar peta mental itu berguna maka ia harus memprediksi sesuatu, artinya tidak cukup hanya
berupa jaringan image. Image tentang lingkungan saat ini harus diasosiasikan dengan image
mengenai obyek dan peristiwa yang mungkin akan ada.
Demikian pula penelitian peta mental akan bermanfaat bagi perencanaan dan arsitek apa bila
mampu memprediksikan perilaku atau respons pengguna lingkungan baru di waktu mendatang.
Dengan dasar proses pengenmbangan kognitif dan bentuk lingkungan, Burnette (1974)
mengembangkan sebuah model pencitraan hubungan manusia-lingkungan dengan mengintegrasikan
kelima elemen Lynch. Dalam model ini digambarkan adanya keterkaitan antara kelima elemen
tersebut. Hubungan antara kelima elemen bermula dari egocentric node. Kemudian aksi berlanjut
dari paht dari node,kemudian bekerjalah batas-batas atautepian permukaan.
Konsep formal ini berangkat dari pengalaman kongkretsebagai dasar bagi hubungan spesial dari
suatu area atau distrik yang terorganisir secara abstrak, dan akhirnya landmark tampil sebagai titik
acuan simbolik yang membuat hubungan image ini dikenal (gambar 3.22).

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


45
Laurens
3. Kualitas Peta Mental
Kualitas peta mental jugaditentukan oleh objek-objek tertentu dalam lingkungan geografis itu
sendiri. Menurut Milgram (1972), dikenal atau tidaknnya suatu peta mental bergantung pada
rumusan:
R = f( C x D )
R= recognisability atau keterkenalan suatu objek di jalanan.
C = centrality atau seberapa jauh objek tersebut dari pusat arus lalu lintas penduduk.
D = difference atau seberapajauh kadarperbedaan secara arsitektural atau secara sosial
antara objek tersbut dan objek-objek lainnya.
Appleyard (1969) mengidentifikasi tiga alasan mengapa beberapa bangunan lebih muda dikenal
dibandingkan bangunan lainnya, yaitu formal attributes, visibility attributes, dan use and
significance attributes.
Yang terpenting pada atribut formal adalah kontur bangunan yang jelas,yang membedakannya,
yang membedakannya dengan keadaan disekitarnya. Misalnya, Wisma kota BNI’46 atau Hotel
Mulia di Jakarta yang mudah dibedakan dari bentuk skyline-nya. Aspek lain yang kurang dominan
adalah kompleksitas fasade, seperti Wisma Dharmala di Jakarta, atau warna yang mencolok di
lingkungannya.
Apabila banyak gedung berada dalam satu kompleks dan masing-masing mempunyai keunikan
sendiri,yang muncul adalah keseragaman dalam perbedaan, tidak ada lagi yang dominan sehingga
atribut formal bangunan tertentu menjadi lemah.
Atribut kedua adalah kemudahan dilihat, seperti lokasi di perempatan jalan, bersebelahan dengan
lapangan terbuka atau di tikungan jalan besar. Atribut ketiga adalah penggunaan yang siknifikan,
seperti sebuah rumah sakit, sebuah pompa bensin, sebuah kantor polisi, khususnya yang berkaitan
dengan penggunaan oleh orang banyak.

4. Perbedaan Individual dalam Peta Mental


Citra arsitek tentang arsitektur yang baikdiperolehnya dari pengalaman ruangnya, pengetahuan
akan bentuk dan simbolisasi yang di dapat dari pendidikannya, dan hal ini mungkin tidak dialami
oleh klien atau pengguna sehingga mental image-nya tentang arsitektur yang baik pun bisa berbeda.
Beberapa faktor yang membedakan peta mental seseorang adalah sebagai berikut.
a. Gaya Hidup (Milgram 1977)
Gaya hidup seseorang menyebabkan timbulnya selektivitas dan distorsi peta mental. Gaya
hidup ini berpengaruh terhadap tempat-tempat yang diketahui dan di kunjunginya. Seseorang
yang selalu naik mobil pribadi, tidak mengenal rute bus kota.seorang eksekutif yang bergerak
di kalangan pebisnis tentu mempunyai gambaran yang berbeda tentang kotanya dengan
pedagang keliling.
b. Keakraban dengan Lingkunga (Evan,1980)
Semakin kuat seseorang mengenal lingkungan geografisnya, semakin luas dan rincipeta
mentalnya.
c. Keakraban Sosial (Lee, 1980)
Semakin banyak teman bergaul, semakin banyak luas wilayah yang dikunjungi, dan semakin
banya ia tahu tentang wilayah-wilayah lain,semakin baik pula peta mentalnya.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


46
Laurens
d. Kelas Sosial (Michelson, 1973). Makin terbatas kemampuan seseorang, makin terbatas pula
daya geraknya dan makin sempit peta mentalnya. Semakin tinggi kelas sosial seseorang,
teman bergaulnya ada diseluruh kota, atau bahkan di berbagai kota, atau luar negeri, dan
semakin rendah kelas sosialnya, lingkup pergaulannya semakin terbatas pada
lingkungantertentu saja.hal ini juga menyebabkan perbedaan dalam peta mental.
e. PerbedaanSeksual (Appleyard, 1970)
Laki-laki mempunyai peta mental yang lebih baik dan terinci dari pada perempuan karena
kesempatan pergaulannya dan ruang geraknya lebih luas,terlebih dalam masyarakat yang
lebih memberi peluang pada kaum pria untuk bergerak dengan berbagai aktivitas.

Penelitianmengenai peta mental ini memberi pengertian bagaimana menciptakan bangunan atau
lingkungan yang mudah dilihat dan diingat sekaligus membangkitkan kekayaan pengalaman orang
yang memakainya terutama pada fasilitas publik. Seberapa jelas lingkungan harus dibuat, seberapa
jauh diharapkan orang mengeksplorasi lingkungan dengan rasa ingin tahu,itu adalah desain.
Pengetahuan akan peta mental inilahyang diharapkan dapat membekali perancang lingkungan untuk
berkarya.
5. Maka dalam Arsitektur
Upaya membuat prediksi yang akurat dan konsisten mengenai bagaimana pengguna akan
memakai dan memahami lingkungan hasil rancangan bukanlah hal mudah. Hal ini bergantung pada
bagaimana makna bangunan tersebut dihayati pengguna.dalam hal apa arsitektur dapat bermakna?
Pengertian apa yang harus dipunyai arsitek agar dapat membuat suatu prediksi yang akurat?
Kategorisasi makna dalam arsitektur di kemukakan oleh beberapa orang, seperti Morris (1938),
Gibson (1950), dan Hershberger(1974). Ada perbedaan dalam kategori ini.namun, terdapat suatu
kesamaan, yaitu sejumlah makna berkaitan dengan penggunaan sebuah objek atau suatu lingkungan
dansejumlah makna lain berkaitan dengan kualitas emosional si pengamat yang dirasakan berkenaan
dengan objek atau lingkungan tertentu. Dari semua tingkatan makna, makna simbolik adalah
tingkatan makna yang paling sedikit di mengerti oleh arsitek modern. Meskipun mereka mengacuh
pada kandungan simbolisdalam karya mereka, kebingunan ini juga terjadi dalam ilmu-ilmu perilaku.
Untuk mempermudah pengertian ini, berikut dijabarkan pengertian beberapa istilah, yaitu imaji,
simbol, dan tanda (image,symbol, and sign) yang kerap kali di pakai untuk mengungkapkan makna.
Imaji, diasumsikan sebagai sebuah imitasi atau reproduksi atau kesamaan dari sesuatu. Misalnya,
imaji Gereja St.Peter adalah imaji gereja St.Peter, tidak lebih dariitu. Akan tetapi, apa bila dilaitkan
dengan GerejaKatoli Roma,imajiini menjadi simbol (Gibson, 1966). Simbol adalah sesuatu yang
menggantikan sesuatu yang lain. Sebagai hasil dari adanya asosiasi, konversi atau bahkan kejadian
tertentu. Sebuah simbol merupakan proses koknitif dimana objek mendapat konotasi selain mengenai
penggunaannya. Objek bisa berupa lingkungan, seorang manusia, atau benda artefak lain. Maknanya
muncul dari apa yang diberikan pengamat padanya. Sementara itu, tanda adalah bentuk yang secara
konvensional disepakati, menggantikan sesuatu dalam arti yang sesungguhnya dari pada arti yang
abstrak.
Hershberger mengatakan bahwa ada dua kategori makna dalam arsitektur, yaitu makna
representasi (representational meanings) dan makna responsif (responsive meanings) .Kedua makna
ini (representational dan responsive) penting dalam membuat prediksi perilaku.arsitektur harus
mempunyai pengertian yang baik mengenai representasi yang di pakai pengguna bangunannya.
Kemudian, belajar mengenai reaksi apa yang akan muncul (perasaan, emosi,valuasi, preskripsi)
terhadaprepresentasi yang dilihatnya itu.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


47
Laurens
Dengan mempertimbangkan kedua hal tersebut maka arsitek bisa memperkirakan perilaku
tersebut selanjutnya arsitek dapat memperkirakan cara orang berperilaku dalam bangunan.

a. Makna Representasi
Makna ini dikelmpokkan ke dalam :
(i). Makna Presentasional (presentational meaning)
Bentuk arsitetur menampilkan dirinya sendiri bagi pengamat secara langsung dan menyeluruh.
Biasanya representasi tidak berupa verbal, tetapi lebih berupa ikon, mendekati bentung yang diamati.
Melalui representasi internal, orang memisahkan objek darikonteksnya,menghayati
bentuk,tekstur, warna, dan atribut lainnya. Kemudian, ia mulai mengategorisasikan sesuai objek atau
peristiwa yang dikenalnya. Tingkat paling dasar dari makna presentasional adalah pengenalan
bentuk, seperti bentuk kotak, segitiga, kemudian kategori pada tingkat deskriptif atau sifat, dan pada
akhirnya orang mengenal ukuran, intensitas, dan tekstur untuk mengetahui objek itu beradadekat atau
jauh, relatif terhadap diri orang tersebut.
Berbagai kelompok orang mungkin mempunyai makna presentasi yang berbeda karena apa yang
kita represetasikan juga bergatung pada pengalaman. Apabila pegalaman arsitek dan kelompok
kliennya berbeda sangat jauh makna mungkin mereka tidak melihat objek yang sama. Mungkin
sekali arsitek lebih tertarik pada bentuk suatu objek, sedangkan penggunanya mungkin tertarik pada
status, ukuran atau warna objek tersebut. Apabila hal ini terjadi dan tidak disadari arsitek,
kemungkinan karyanya tidak dapat dinikmati dengan baik oleh penggunanya.

(ii). Makna Referensial (referensial meaning).


Beberapa bentuk sesuai dengan representasinya dirasakan lebih penting dari pada bentuk atau
peristiwa lainnya. Bentuk-bentuk ini bertindak sebagai tanda atau simbol bagi objek atau peristiwa
lainnya. Misalnya, sebuah pintu dengan ukuran, bentuk, warna, tekstur tertentu menjadi semacam
acuan untuk melakukan aktivitas “melewati” bagi kebanyaan pengamat, yaitu dimana ada pintu
dengan karakteristik tertentu, disitu ia bisa melewatinya. Kadang-kadang arsitek merancang sebuah
pintu dengan bentuk yang mengacu ke bentuk lain yang tidak biasa untuk objek sebuah pintu.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


48
Laurens
Tingkat pemaknaan pada kategori referensial sangatlah banyak sehingga sukar bagi arsitek utuk
membuat prediksi tentang respons para penggunanya.tingkat paling dasar adalah mengenali
kegunaan suatu objek. Selain itu,arsitek juga dapat mengomunikasikan nilai lain dari berbagai
kegunaan. Misalnya desain sebuah tangga: objek harus dapat terlihat berfungsi untuk turun dan naik
(kegunaan Manusia) juga harus terlihat kuat menahan berat tubuh manusia (kegunaan bangunan) dan
mungkinkan orang berpindah dari satu lantai ke lantai lain (kegunaan fisik). Jika dibuat lebar maka
dapat menunjukkan bahwa objek dapat dilewati banyak orang pada saat yang sama(fungsi sosial).
Apabila di tempatkan di posisi utama seperti dalam sebuah gedung ketika seorang tokoh bisa
terlihat oleh publik saat sedangmenuruninya (fungsi psikologis) jika dibuat dengan detail halus bisa
mengidikasikan nilai (bentuk,warna,atau status), sedangkan pengguna mementingkan makna
referensial (kegunaan, nilai). Hal ini berarti telah terdapat perbedaan respons terhadap arsitek dan
penggunanya.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


49
Laurens
b. Makna Repsponsif
Makna ini terdiri atas:
(i) Makna afeksif
Begitu representasi seseorang terbentuk, selanjunya respon internal bekerja, salah satu dari respon
ini adalah makna efektif. Di sini perasaan dan emosi seseorang berjalan. Misalnya, ketika melihat
bentuk sebuah bangunan, tanpa mengetahui fungsi atau kegunaannya, bisa muncul perasaan
senang, perasaan bosan, tidak suka karenakombinasi garis, warna, atau teksturyang ada. Atau
orang bisa terpana dan berdiri memandang sebuah bangunan yang dianggapnya menarik dan
dikaguminya. Makna afektif adalah respons yang didasarkan pada pengalaman. Karena itu makna
ini juga bergantung pada nilai-nilai budaya pengguna.
Misalnya, sebuah taman bermain kompleks hunian yang disukai anak menjadi tidak lagi menarik
baginya setelah ia mengunjungi Disneyland.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


50
Laurens
Adanya pergeseran tingkat adaptasi ini merupakan salah satu alasan mengapa tempat yag sama
bisa memberi makna efektif yang berbeda bagi orang yang berbeda.

Respon emosional terhadap lingkungan bukan sesuatu yang singkat dan tajam, melainkan
menerus dan kumulatif. Merupakan suatu kobinasi dari respons behavioral, kognitif, dan fisik.
Penilaian efektif terhadap lingkungan adalah satu aspek bagaimana seseorang
menginterpretasikan ligkungan. Dengan menganggap suatu lingkungan itu
menarik,menyenangkan ataupun mengerikan, berarti memberi atribut dengan kualitas efektif pada
lingkungan tersebut.

(ii) Makna Evaluatif


Makna ini muncul sebagai respons terhadap representasi ataupu makna efektif yang berkaitan
dengan perasaan dan emosi seketika. Disini kegunaan dan nilai seseorang menjadi hal pokok.
Misalnya seorang pemelihara bangunan akan melihat detail secara berbeda dengan seorang ahli
sejarah.
Karena pengguna bangunan tidak selalu homogen, akan selalu ada konflik dalam tujuan, minat,
atau aktivitas yang harus menjadi perhatian arsitek dalam membuat prediksi desain.
(iii) Makna Preskriptif
Setelah menghadapi situasi, orang dipengaruhi oleh representasi tersebut, mengevaluasinya dan
memutuska apa yang akan dikerjakan. Respon ini dinamakan makna preskriptif.
Arsitektur biasanya preskriptif dalam arti sesuatu dibuat sedemikian rupa melalui tatanan massa
dan ruang agar misalnya terasa nyaman, atau agar orang tidak melewatinya, atau orang berjalan
perlahan menuju sisi tertentu. Karena itu, makna preskriptif menjadi penting untuk arsitek agar
bangunannya dapat digunakan sesuai peruntukan yang direncanakannya.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dikatakan bahwa lingkungan mempunyai makna yang
berkaitan dengan kelekatan personal seseorang pada lingkungannya, mengomunikasikan konsep
arsitektural atau konsep filosofi, dan mengomunikasikan kegunaan atau fungsinya.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


51
Laurens
Arsitektur mengomuniasikan pesan arsitek pada penggunanya melalui bahasa nonverbal sehingga
keterampilan berkomunikasi dari seorang arsitek menjadi begitu penting dibandingkan dengan
konvensi apa pun mengenai pengiriman pesan lewat bangunan. Banyak orang lebih menyukai
fungsi yang jelas dibandingkan ketidak jelasan fungsi sebuah bangunan.
Makna yang diperoleh dari kemanfaatan sebuah bangunan memberi arti yang begitu kuat terhadap
apresiasi arsitektur.
D. PERILAKU SPESIAL (SPETIAL BEHAVIOR)
Perilaku spesial atau bagaimana orang menggunakan tatanan dalam lingkungan adalah sesuatu
yang dapat diamati secara langsung sehingga pada tingkat deskriptif hal ini tidak menjadi kontroversi
seperti halnya usaha orang menjelaskan proses persepsi dan kognisi.
Para ahli ekonomi, sosiologi, antropologi memperbincangkan aspek perilaku spesial yang berbeda
sehingga menawarkan penjelasan yang beragam pula. Arsitek dan perencana kota umumnyalebih
menaruh perhatian pada perilaku skala mikro, mulai dari ruangan hingga lingkungan atau distrik
dalam kota. Pendekatan perilaku-lingkungan mengenai perilaku manusia menunjukkan bahwa
perilaku seseorang adalah fungsi dari motivasinya, affordances lingkungan, dan image-nya tentang
dunia diluar dari persepsi langsung dan makna citra tersebut bagi orang yang bersangkutan.

1. Perbedaan Perilaku Individu


Manusia bersosialisasi secara berbeda, dibesarkan dilingkungan geografis dan sosial yang
berbeda. Mereka mempunyai motivasi yang berbeda, melihat dan menggunakan lingkungannya
secara berbeda pula. Lalu, bagaimana mengklasifikasi perbedaan ini? Teori fungsional dalam
sosiologi (Michelson, 1970, Moleski,1978) merupakan suatu pendekatan yang memfokuskan
bahasanya pada sistem budaya, sosial, kepribadian, dan organismik lingkungan sebagai dasar untuk
mempelajari perilaku sosial.
Masing-masing subsistem mempunyai fungsi utama untuk memelihara hubungan internal-
eksternal dan kegunaan dari sebuah sistem sosial. Misalnya, subsistem budaya berfungsi untuk
memelihara pola tindakan tertentu dan mengatur hubungan internal-eksternal bagi seluruh sistem
tindakan. Integrasi adalah tugas utama dari subsistem sosial, pencapaian tujuan untuk subsistem
kepribadian dan adaptasi untuk subsistem organismik.
Dari waktu ke waktu peran seseorang dalam masyarakat berubah. Ada pola spesifik yang
kelihatannya nvarian seperti digambarkan Parson dalam teori cybernetic. Budaya menduduki posisi
tertinggi dalam hierarki kontrol, diikuti oleh kelompok sosial, kepribadian, dan terakhir subsistem
organismik lingkungan. Artinya, karakter fisik seseorang lebih mudah dikendalikan dibanding
lainnya. Berdasarkan model ini, budaya yang merupakan sistem kepercayaan, tata nilai, simbol, dan
gaya yang menjadi karakteristik sekelompok orang, megendalikan banyak perilaku manusia.
Perancang secara terus menerus berhubungan dengan budaya dan subbudaya yang berbeda sehingga
jika hanya mengandalkan intuisi individu perancang tidak cukup untuk merancang sejalan dengan
tata nilai manusia.

2. Kompetensi Individu dan Kelompok


Perananarsitektur atau lingkungan binaan adalah menyediakan lingkungan yang akomodatif yang
tidak memaksakan seseorang untuk melakuan sesuatu, kecuali memang ditujukan untuk menghindari
hal-hal negatif. Seperti yang dikatakan oleh F.Langdon, seorang sosiolog bahwa proses persepsi,
kognisi, atau pun perilaku spesial sangat dipengaruhi oleh kompetensi seseorang atau sekelompok
orang dan potensi lingkungan yang ada.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


52
Laurens
Istilah kompetensi lingkungan dicetuskan oleh Powell Lawton (1977) untuk membantu mengerti
kebutuhan lingkungan dari berbagai sekmen usia, tetapi ada kesamaan dalam penerapannya.
Kompetensi adalah suatu istilah yang mencakup seperangkat atribu seperti kesehatan mental dan
fisik, kapasitas intelektual dan kekuatan ego. Banyak kualitas yang menentukan kemampuan
seseorang yang sukar di ukur, terutama yang berkaitan dengan budaya dan perilaku budaya.

Lingkungan yang efektif berbeda bagi setiap orang. Namun, perilaku seseorang tidaklah terjadi
begitu saja, tetapi sampai tingkat tertentu bisa diprediksi. Misalnya, siapa yang akan memakai
fasilitas tertentu, atau siapa yang akan tertarik pada komposisi arsitektural tertentu. Meskipun begitu,
tidak berarti bahwa apabila suatu lingkunganmenawarkan sejumlah peluang untuk perilaku tertentu,
perilaku itu pasti akan terjadi. Meskipun seseorang telah menangkap affordances itu, belum tentu
iaberminat melakukan aktivitas tersebut.
Sikap seseorang sangat terkait dengan motivasi, apa yang disukai dan tidak disukainya, apa yang
dianggapnya bagus dan jelek, apa yang dianggap penting dan tidak penting. Semua sikap ini
berhubungan dengan proses sosialisasi dan pengalaman yang dimilikinya. Setiap orang mempunyai
kompetensi yang berbeda, baik secara fisik, sosial maupun budaya. Perbedaan

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


53
Laurens
ini mempengaruhi cara lingkungan dihayati oleh seseorang, atau citra yang dimilikinya mengenai
lingkungan tertentu, dan bagaimana lingkungan itu dipakainya.
Mungkin sekali terjadi bahwa seseorang tidak dapat menggunakan affordances yang ada di
lingkungan tertentu, sementara orang lain dapat menggunakannya. Hal ini terkait dengan kompetensi
untuk melakukan hal itu, misalnya saja karena adanya tekanan budaya yang menghalangi seseorang
untuk melakukan sesuatu, atau karena kekurangan dana atau tidak punya waktu.
Pertanyaan menarik berkaitan dengan desain adalah pada tingkat kompetensi mana pertimbangan
desain harus diambil, apakah orang harus ditantang oleh lingkungan sedemikian rupa agar orang
menjadi nyaman secara fisik dan psikis? Sebuah tempat bermain yang dirancang sedemikian rupa
sehingga tampak tidak terstruktur atau mendekati bentuk yang alamiah, ternyata sangat disukai anak-
anak yang merasa tertantang untuk menaklukkan bentuk-bentuk tidak terstrutur tersebut.

Daftar Pustaka Anjuran


Gary T. Moore dkk. (ed). 1976. Environmental Knowing.
Stroudsburg, Pennsylvania: Dowden, Hutchinson & Ross Inc.
Gibson, J. 1966. The Senses Considered as Perceptual System.
Boston: Houghton Mifflin.
Isaac ARG.1971. Approach toarchitectural Design. Toronto:
University of Toronto Press.
Levi, David. 1974. “The Gestalt Psychology of Expression in Architecture”.
Dalam Jon Lang. Op.cit.
Park, Luning. 1968. Formal and Symbolic Aesthetics in the Languange of Architecture.
The Hague: Mouton.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


54
Laurens
Wilson, forrest. 1984. A Graphic Survey of Perception and Behavior for the design professions. New
York: Van Nostrand Reinhold Co.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


55
Laurens
BAB 4
PROSES SOSIAL
“...each individual must... make a continuous Adjustment between his needs for solitude
And companionship...”
Alan F. Westin, 1967
Respons terhadap seseorang terhadap lingkungannya bergantung pada bagamana individu yang
bersangkutan tersebut mempersepsikan lingkungannya. Salah satu hal yang dipersepsi manusia
tentang lingkungannya adalah ruang disekitarnya, baik ruang natural maupun runag buatan. Aspek
sosialnya adalah bagaimana manusia berbagi dan membagi ruang dengan sesamanya.
Manusia mempunyai kepribadian individual, tetapi manusiajuga makhluk sosial, hidup dalam
masyarakat dalam suatu kolektivitas. Dalam memenuhi ebutuhan sosialnnya inilahmanusia
berperilaku sosial dalam lingkungannya yang dapat diamati dari
1. Fenomena perilaku lingkungan;
2. Kelompok- kelompok pemakai;
3. Tempat terjadinya aktivitas.

Fenomena ini menunjuk pada pola-pola perilaku pribadi, yang berkaitan dengan lingkungan fisik
yang ada, terkait dengan perilaku interpersonal manusia atau perilaku sosial manusia.
Bab ini membahas perilaku interpersonal manusia tersebut yang meliputi hal-hal sebagai berikut.
a. Ruang personal (personal space) berupa domain kecil sejauh jangkauan manusia yang
dimiliki setiap orang.
b. Teritorialitas (territoriality), yaitu kecenderungan untuk menguasai daerah yang lebih luas
bagi penggunaan oelh seseorang atau sekelompok pemakai atau bagi fungsi tertentu.
c. Kesesakan dan kepadatan ( crowding dan density) , yaitu keadaan apabila ruang fisik yang
tersedia sangat terbatas dibandingkan dengan jumlah penggunanya.
d. Privasi (privacy) sebagai usaha untuk mengobtimalkan pemenuhan kebutuhan sosial manusia.

A. RUANG PERSONAL (PERSONAL SPACE)


1. Apakah Ruang Personal Itu?
Manusia mempersepsikan ruang disekitarnya lengkap dengan isinya dan tidak berdiri sendiri. Jika
isi ruang itu adalah manusia lain orang akan membuat suatu jarak tertentu antara dirinya dan orang
lain, dan jarak tersebut sangat ditentukan oleh kualitas hubungan antar orang yang bersangkutan.
Seringkali kita tidak menyadari adanya ruang personal ini sampai kita
merasa terganggu oleh keberadaan orang lain dalam jarak tertentu. Robert
Sommer (1969) mendefinisakan ruang personal sebagai suatu area dengan
batas maya yang mengelilingi seseorang dan orang lain tidak diperkenankan
masuk kedalamnya.
Jadi ruang personal itu seolah-olah merupakan sebuah balon atau tabung
yang menyelubungi kita, membatasi jarak dengan orang lain, dan tabung itu
membesar atau mengecil bergantung dengan siapa sedang kita berhadapan.
Atau dengan kata lain, luas atau sempitnya kapsul tersebut bergantung pada
kadar dan sifat hubungan individu dengan individu lainnya (gambar 4.1).

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


56
Laurens
Studi mengenai ruang ini dimulai dengan pengamatan pada jarak yang dibuat oleh binatang
dengan sesamanya. Apabila seekor binatang didekati dengan sesuatu yang tidak dikenalnya maka
sampai pada jarak tertentu ia akan bersiap-siap untuk lari. Jika terus didekati maka ia akan melakuan
perlawanan karena sesuatu yang asing memasuki daerahnnya dan ia merasa terganggu (gambar 4.2).

Besar kecilnya jarak lari (flight distance) padabinatang dipengaruhi oleh besar kecilnya ukuran
tubuh binatang yang bersangkutan. Apakah manusia juga melakukan hal yang sama dengan binatang
jika diganggu? Seperti halnya binatang,manusia juga membuat jarak dengan sesamanya. Namun
berbeda dengan binatang yang melakukan reaksi berdasarkan rasio atau pemikiran dalam mengontrol
perilakunya.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


57
Laurens
Jika seekor anjing yang diganggu sudah dapat kita duga akan bereaksi menyalak dan menggigit
pengganggunya, tidak demikian dengan manusia. Perilaku manusia lebih sulit diduga.
Studi ruang personal berawal dari pengamatan tentang binatang. Namun, seperti kita lihat pada
gambar, manusia pun membentuk ruang personal dengan sesamanya.
Dalam kehidupan sehari-hari jarak yang jarak yang diperkenankan oleh seseorang terhadap orang
lain bergantung pada bagaimana sikap danpandangan orang yang bersagkutan terhadap orang lain
itu. Semakin seseorang merasa akrab,semakin dekat pulalah jarak yang diperkenankannya. Misalnya,
antara seorang anak dan ibunya dan antara dua orang sahabat. Sebaliknya, lawan bicaranya juga bisa
memperkirakan bagaimana sikap dan pandangan orang lain terhadap dirinya dari orang tersebut
menjaga jarak. Kalau reaksinya ketika didekati justru makin menjauhkan diri, itu berarti ia kurang
suka kepada lawan bicaranya. Akan tetapi, kalau reaksi waktu didekati makin memperdekat jarak,
artinya orang itu bersedia untuk berhubungan akrab.
Ruang personal dapat diartikan sebagai suatu komponen jarak dalam relasi interpersonal. Ia
menjadi indikator dan sekaligus menjadi bagian dari perkembangan hubungan iterpersonal. Apakah
hubungan itu berkembang menuju keakraban atau sebaliknya.
Raung personal juga dikatakan sebagai teritori portabel yang dapat berpidah-pindah. Teritori
adalah tempat yang pintu masuknya terkontrol. Tempat orang tertentu boleh memasuki daerah
tersebut dan sejumlah orang lain tidak diijinkan masuk.
Ada bermacam-macam teritor. Namun, berbeda dengan teritori lain, ruang personal selalu
mengelilingi orang yang bersangkutan,mengikuti keberadaan yang bersangkutan ketika ia duduk
ataupun berdiri. Batas teritori ini tidak sama di semua sisi. Pada umumnya, disisi belakang seseorang
jarak itu mengecil. Ruang personal dapat dimasuki secara sengaja, misalnya ibu yang memeluk
anaknya ataupun diterobos secara tidak sengaja saat bersenggolan atau saling bertabrakan karena
tidak saling melihat.

2. Jarak Komunikasi
Edward Hall (1963)1 berpendapat bahwa ruang personal adalah suatu jarak berkomunikasi,
dimana jarak antarindividu ini adalah juga jarak berkomunikasi. Dalam pengendalian terhadap
gangguan-gangguan yang ada, manusia mengatur jarak personalnya dengan piha lain. Hal membagi
jarak tersebut dalam empat jenis, yaitu
a. Jarak intim: fase dekat (0.00-0.15 m) dan fase jauh (0.15-0.50 m)
Jarak untuk saling merangkul kekasih, sahabat atau anggota keluarga, untuk melakukan
hubungan seks atau olahraga kontak fisik, seperti gulat dan tinju. Pada jarak ini tidak
diperlukan usaha keras seperti berteriak atau menggunakan gerak tubuh untuk
berkomunikasi, cukup dengan berbisik.
b. Jarak personal: fase dekat (0.50-0.75 m) dan fase jauh (0.75-1.20 m)
Jarak untuk percakapan antara dua sabat atau antara orang yang sudah saling akrab.
Gerakan tangan diperlukan untuk berkomunikasi normal.
c. Jarak sosial: fase dekat (1.20-2.10 m) dan fase jauh (2.10-3.60 m)
Merupakan batas normal bagi individu dengan kegiatan serupa atau kelompok sosial yang
sama. Pada jarak ini komunikasi dapat terjadi dengan baik apabila seseorang berbicara
dengan suara agak keras dan gerak anggota badan disengaja untuk membantu maksud
dalam berkomunikasi. Fase jauh adalah hubungan yang bersifat formal seperti bisnis dan
sebagainya. Pada kenyataannya, jarak merupakan patokan dasar dalam pembentukan ruang
atau dalam perancangan ruang.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


58
Laurens
d. Jarak publik: fase dekat (3.60-7.50 m) dan fase jauh (>7.50 m) untuk hubungan yang lebih
formal lagi seperti penceramah didepan kelas atau aktor dengan hadirinnya. Suatu jarak
yang tidak digunakan dalam interaksi antara dua individu, tetapi dalam suatu pembicaraan
antara satu orang dan tiga puluh atau lebih orang. Pada jarak ini sering kali orang sudah
tidak mengindahkan sesamanya dan diperlukan usaha keras untuk bisa berkomunikasi
dengan baik.

Semua penjelasan mengenai besaran ruang personal di atas selalu merujuk pada jarak objektif.
Para peneliti mengamati jarak ini sebagai orang ketiga atau sebagai pengamat. Akan tetapi, ruang
personal ini sungguh-sungguh dipakai di jalan, lobi, atau di kantor, manusia melakukannya dengan
dasar jarak objektif, melalui jarak interpersonal. Artinya , ruang personal merupakan suatu
pengalaman fenomenologikal.
Gifford dan Price (1979) mengusulkan adanya dua jenis ruang personal, yaitu ruang personal alfa
yang merupakan jarak objektif dan terukur di antara individu yang berinteraksi dan ruang personal
beta sebagai suatu pengalaman subjektif dalam proses mengambil jarak. Ruang personal beta ini
merupakan kepekaan seseorang terhadap jarak dalam bersosialisasi. Menurut peelitian Giffard
(1983), jarak ruang personal beta ini 24% lebih besar daripada ruang personal alfa.

3. Faktor Yang Mempengaruhi Besarnya Raung Personal


Berapa besarnya sebuah ruang personal? Pertanyaan initelah menjadi bahan penelitian sejak 1959.
Secara umum ada tigacara mengukur ruang personal, yaitu melalui metode simulasi, subjek diminta
untuk membayangkan adanya orang yang mendekatinya dari berbagai posisi, kemudian menandai
pada lembar simulasi jarak yang dianggap sudah menimbulkan rasa terganggu pada subjek yang
bersangkutan.
Cara kedua adalah metode jarak henti, yaitu menempatkan partisipan pada beberapa posisi,
kemudian mendekati subjek yang berhenti pada jarak yang dianggap mengganggunya. Cara ketiga
adalah cara pengamatan alamiah di lapangan. (gambar 4.4).

Gambar 4.4 Pengamatan Jarak Antarsesama

Gambar 4.5 Bagaimana Kualitas Hubungan Mereka?


Berdasarkan penelitian tersebut, dapat terlihat bagaimana kualitas hubungan diantara mereka dan
beberapa faktor yang mempengaruhi ruang personal, antara lain sebagai berikut.3
a. Faktor personal
Faktor ini meliputi
(i) Jenis kelamin
Heska dan Nelson (1972) mengatakan bahwa salah satu penentu perbedaan yang bergantung
pada diri individu itu sendiri adalah jenis kelamin. Wanita atau pria sama-sama membuat
jarak dengan lawan bicara yang berlainan jenis kelaminnya. Sebaliknya, dalam hal lawan
bicaranya sama jenis, wanita akan mengurangi jarak ruang personalnya jika lawan biaranya
itu akrab. Semakin akrab hubungannya dengan lawan bicaranya maka semakin kecil jarak
ruang personalnya.
Sementara itu, pada pria keakraban pada sesama jenis tidak berpengaruh pada ruang
personalnya. Pada umumnya, hubungan pria dengan pria mempunyai jarak ruang personal
yang terbesar. (Gifford, 1982), diikuti hubungan antara wanita dan wanita, dan raung
personal terbesar adalah antara lawanjenis.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


59
Laurens
Namun, Altum (1975)mengemukakan bahwa salah satu kemungkinan perbedaan besarnya
ruang personal dalam kaitannya dengan jenis kelamin ini lebih disebabkan oleh perbedaan
dalam sosialisasi antara pria dan wanita daripada karena perbedaan biologis.
(ii) Umur
Pada umumnya, semakin bertambahnya umur seseorang, semakin besar ruang jarak
personal yang akan dikenakannya pada orang-orang tertentu (Hayduk, 1983). Pada remaja
misalnya, ruang personal terhadap lawan jenis akan lebih besar daripada pada anak-anak.
Sebaliknya anak-anak akan membuat jarak lebih besar dengan orang yang tidak dikenal dari
pada remaja atau orang dewasa. Pada usia berapakah ruang persoal ini mulai timbul pada
siri seseorang?
Menurut Castell (1970), pada usia delapan belas bulan seorang anak mulai memilih jarak
interpersonal yang berbeda bergantung pada orang-orang dan situasi yang dihadapinya.
Altman (dalam sarlito, 1992) dalam penelitiannya menyatakan bahwa ruang personal baru
tumbuh pada usia remaja. Sementara itu, Evans dan Howard (1973) mengataka pada usia 12
tahun seorang remaja sudah membentuk ruang personal yang sama seperti orang dewasa.
(iii) Tipe Kepribadian
Selanjutnya, dibuktikan tipe kepribadian berpengaruh pada ruang personal seseorang. Duke
dan Nowski menyatakan bahwa orang dengan kepribadian eksternal (merasa bahwa segala
sesuatu lebih di tentukan oleh hal diluar dirinya sendiri) memerlukan ruang personal lebih
besar dibandingkan orang bertipe internal (merasa bahwa segala sesuatu lebih ditentukan
oleh hal di dalam dirinya sendiri).
Cook (1970) juga berpendapat bahwa orang dengan kepribadian introver (tidak mudah
berteman, pemalu), memerlukan ruang personal lebih besar dari pada orang yang
berkepribadian ekstrover (orang yang mudah bergaul, banyak berteman).
(iv) Latar belakang Budaya
Holahan (1982), mengatakan bahwa latar belakang suku bangsa dan kebudayaan seseorang
juga mempengaruhi ruang personal seseorang. Misalnya, orang Jerman lebih formal dalam
berkomunikasi dengan orang lain dan karenanya mereka lebih menjaga jarak. Apabila ruang
personal mereka terganggu maka mereka menjadi ofensif. Orang Arab dalam
berkomunikasi harus sangat berdekatan, antar sesama jenis mereka bersentuhan, saling
memeluk, mencium, dan orientasi merekalebih banyak langsung (Mehrabian, 1966).

b. Faktor Situasi Lingkungan


Variasi dalam jarak ruang personal juga dipengaruhi oleh situasi lingkungan tempat orang-orang
tersebut berinteraksi. Faktor situasi ini dapat dikelompokkan dalam situasi sosial dan situasi fisik,
kooperasi kompetisi, dan status (tabel 4.1).

Tabel 4.1 Pemilihan Tempat Duduk di Tiga Bar dan Restoran

(i) Daya tarik dan persahabatan membuat orang secara fisik lebih berdekatan, tidak ada rasa
takut atau terganggu oleh kehadirannya. Demikian pula adanya rasa kebersamaan dan
kegembiraan akan mengurangi besarnya ruang personal.
(ii) Tatanan fisik seperti penyekat ruangan bisa mengurangi perasaan invasi terhadap ruang
personal. Orang lebih bnyak menggunakan ruang di pojok dari pada ditengah ruang.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


60
Laurens
(iii) Sommer (1969) melakukan sejumlah simulasi mengenai situasi kooperatif kompetitif dan
mendapati bahwa sudut orientasi menjadi penting. Dalam situasi kompetitif orang akan
memilih duduk berhadapan, sedangkan dalam situasi kooporatif orang memilih duduk
berdampingan atau orientasi tidak langsung.
(iv) Semakin besar perbedaan status ini akan semakin besar pula ruangan personalnya.
Misalnya, seorang siswa yang akan makan di kantin lebih memilih duduk berdekatan
dengan temannya dari pada dengan dosen atau rektornya karena perbedaan status sosial
yang dirasakannya. Dalam kehidupan sehari-hari, semua variabel itu bekerja bersamaan,
ada yang memperbesar ruang personal, ada yang memperkecilnya. Yang menjadi
pertanyaan adalah variabel mana yang paling dominan dalam mempengaruhi besarnya
ruang personal? Disimpulkan (Gifford, 1982) bahwa daya tarik adalah pengaruh terbesar,
diikuti oleh kompetisi-kooperasi.

c. Faktor Budaya dan Variasi Etnis


Budaya merupakan modifier utama dalam penentuan jarak interpersonal. Penggunaan bahasa
dalam berinteraksi akan mempengaruhi besarnya ruang personal. Ruang personal terkait dengan
budaya. Pada setiap budaya anak-anak belajar berbagai ketentuan mengenai jarak.
Mereka belajar secara perlahan dan terus-menerus sehingga mereka tidak lagi membutuhkan
proses kognitif dari satu momen ke momen lain untuk mendapatkan jarak personal yang sesuai.

4. Ruang Personal dan Desain Arsitektur


Ruang personal dimiliki oleh setiap orang. Dengan perkataan lain, ruang personal ini merupakan
bagian dari kemanusiaan seseorang. Berbagai rumusan menjelaskan kurangnya ruang personal
berarti kurangnya jarak interpersonal. Hal ini dapat mengakibatkan rasa tidak nyaman, rasa tidak
aman, stres, adanya ketidak seimbangan, komunikasi yang buruk, dan segala kendala pada rasa
kebebasan. Jadi, ruang personal berperan dalam menentukan kualitas hubungan seorang individu
dengan individu lainnya.
Meskipun ruang personal bukanlah penentu desain suatu tatanan ruang dan jarak interpersonal
tidak dapat jadi pedoman bagi arsitek untuk merancang bagaimana tatanan ruang yang baik,
pengetahuan akan ruang personal dapat melengkapi informasi bagi arsitek agar lebih peka terhadap
kebutuhan ruang para pemakai ruang. Terdapat sejumlah penelitian yang memusatkan
pengamatannya pada peran ruang personal dalam lingkungan dan kebanyakan mencakup
pengamatan pada tatanan perabot, terutama diruang-ruang publik, seperti perpustakaan, bandara,
sekolah, dan perkantoran.

a. Ruang Sosiopetal (Sociopetal)


Istilah sosiopetal merujuk pada suatu tatanan yang mampuh memfasilitasi interaksi sosial.
Tatanan sosiopetal yang paling umum adalah meja makan, tempat anggota keluarga berkumpul
mengelilingi meja dan saling berhadapan satu sama lain. Ruang rapat dengan tatanan
perabotnya akan menentukan posisi pimpinan rapat. Pemakaian meja bundar akan semakin
memperkuat pembentukan ruang sosiopetal.
Selain tata perabot, pembentukan ruang pun akan sangat berperan dalam keberhasilan
membentuk ruang sosiopetal.

b. Ruang Sosiofugal (sociofugal)

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


61
Laurens
Ruang sosiofugal adalah tatanan yang mampuh mengurangi interaksi sosial. Tatanan sosiofugal
kerap kali ditemukan pada ruang tunggu. Misalnya, ruang tunggu stasiun kereta api atau
bandara tempat para pengunjung duduk saling membelakangi.

Gambar 4.6 Ruang Sosiopetal dan sosiofugal


Tatanan yang baik bergantung pada interaksi sosial yang diharapkan terjadi di lingkungan
tersebut. Misalnya, pada ruang tunggu di bandara, tampak deretan kursi yang dibuat pada lantai
sehingga tidak memungkinkan untuk digeser. Tatanan ini disukai oleh para pebisnis yang tidak
memerlukan perbincangan dengan sesama pemakai ruang tunggu. Namun, bagi keluarga yang
menunggu kedatangan anggota keluarga atau kerabatnya, deretan kursi ini dirasakan kurang nyaman.
Banyak terlihat anak-anak berlutut di kursi agar dapat saling berbincang dengan orang tuanya atau
anggota keluarga yang lain sambil menunggu.
Meskipun tatanan tempat duduk sudah dibuat saling berhadapan, tidak selalu berarti bahwa akan
terjadi percakapan (Gifford, 1981). Ada faktor lain seperti kepribadian seseorang yang juga akan
mempengaruhi proses sosialisasi. Eastman dan Harper (1971) melakukan pengamatan di
perpustakaan mengenai bagaimana orang menggunakan tatanan ruan tertentu. Dengan mengikuti
jarak sosial yang di kemukakan E.T Hall, ditemukan bahwa bila sebuah kursi telah ditempati maka
orang cenderung menghindari pemakaian kursi di dalam radius 2.00 m. Orang cenderung memilih
kursi pada meja yang belum terisi, mereka menghindari posisi duduk yang saling berdampingan.
Namun, jika mereka duduk berdampingan maka hampir selalu terjadi percakapan. Data seperti ini
diharapkan dapat memperkaya arsitek dengan informasi pada saat akan merancang sebuah fungsi
tertentu, misalnya sebuah perpustakaan.
Interaksi juga dipengaruhi oleh kedekatan atau jarak seperti pada pengelompokan ruang atau
massa bangunan, penataan ruang kantor yang terbuka. Interaksi dapat dihidupkan melalui penataan
ruang sosiopetal, terutama pada penggunaan ruang yang sangat intensif, seperti penempatan kamar

mandi bersama pada sebuah asrama.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


62
Laurens
B. TERITORIALITAS (TERRITORIALITY)

1. Apakah Teritorialitas Itu?


Seperti halnya ruang personal, teritorialitas merupakan perwujudan “ego” seseorang karena
orang tidak ingin diganggu, atau dapat dikatakan sebagai perwujudan dari privasi seseorang. Jika
kita amati lingkungan di sekitar kita dengan mudah, akan kita dapati indikator teritorialitas
manusia seperti papan nama, pagar batas, atau papan pengumuman yang mencantumkan
kepemilikan suatu lahan.
Jualian Edney (1974) mendefinisikan teritorialitas sebagai sesuatu yang berkaitan dengan ruang
fisik, tanda, kepemilikan, pertahanan, penggunaan yang ekslkusif, personalisasi, dan identitas.
Termasuk didalamnya dominasi, kontrol, konflik, keamanan, gugatan akan sesuatu, dan
pertahanan.
Apabila ruang personal merupakan gelembung maya yang portabel, berpindah-pindah
mengikuti gerakan individu yang bersangkutan, teritorialitas merupakan suatu tempat yang nyata,
yang relatif tetap dan tidak berpindah mengikuti gerakan individu yang bersangkutan.
Teritori berarti wilayah atau daerah dan teritorialitas adalah wilayah yang dianggap sudah
menjadi hak seseorang. Misalnya, kamar tidur seseorang adalah wilayah yang dianggap sudah
menjadi hak seseorang. Meskipun yang bersangkutan tidak sedang tidur disana dan ada orang
yang memasuki kamar tersebut tanpa izinnya, ia akan tersinggung rasa teritorialitasnya dan ia
akan marah.
Contoh lain misalnya bangku-bangku di kantin. Apabila ada orang yang menempati tempat
tersebut, kemudian ingin pergi sebentar untuk memesan makanan, atau pergi ke toilet, ia akan
meninggalkan sesuatu seperti buku, atau tas di atas meja. Orang lain yang melihat ada buku, tas di
situ diharapkan tahu bahwa bangku tersebut sudah menjadi teritorinya sehingga tidak diduduki.
Dari uraian tersebut, teritorialitas dapat diartikan sebagai suatu pola tingkah laku yang ada
hubungannya dengan kepemilikan atau hak seseorang atau sekelompok orang atas suatu tempat
atau suatu lokasi geografis. Pola tingkalaku ini mencakup personalisasi dan pertahanan terhadap
gangguan dari luar.
Fisher mengatakan bahwa kepemilikan atau hak dalam teritorialitas ditentukan oleh persepsi
orang yang bersangkutan sendiri. Persepsi ini bisa aktual, yaitu memang pada kenyataannya ia
benar memiliki, seperti kamar tidur, tetapi bisa juga hanya merupakan kehendak untuk menguasai
atau mengontrol suatu tempat, seperti meja makan di kantin.
Masalahnya, aktualitas persepsi bisa jadi sangat subjektif. Misalnya, jika seorang penghuni liar
di perkampungan kumuh di sebuah kota besar diharuskan meninggalkan gubuknya, ia akan
menolak karena ia merasa gubuk itu sudah menjadi teritorinya. Ia merasa sudah menguasai tempat
itu bertahun-tahun tanpa ada yang mengusiknya.

2. Kalsifikasi Teritorialitas
Ada berbagai teori. Ada yang berukuran besar, ada yang kecil, bahkan ada yang bersarang
dalam teori lainnya atau saling berbagi satu sama lain. Mengenal klasifikasi teritori merupakan
salah satu cara untuk dapat mengerti bagaimana teritorialitas ini terjadi.
Tingkalaku teritorialitas manusia mempunyai dasar yang agak berbeda dengan binatang karena
teritorialitas manusia berintikan pada privasi. Sementara itu, fungsi teritorialitas pada hewan
untuk mempertahankan diri, dorongan untuk mempertahankan hidup, dan mempertahankan jenis.
Tingakah laku teritorialitas hewan ini, antara lain membuat atau mendiami tempat hunian,
menyimpan bahan makanan di tempat tertentu, dan melindungi anak-anaknya dari makhluk lain.
Dorongan yang mendasari tingkah laku teritori pada hewan ini dinamakan naluri teritori.
ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella
63
Laurens
Teritorialitas pada manusia mempunyai fungsi yang lebih tinggi daripada sekedar fungsi
mempertahankan hidup. Pada manusia, teritorialitas ini tidak hanya berfungsi sebagai perwujudan
privasi saja, tetapi lebih jauh lagi teritorialitas juga mempunyai fungsi sosial dan fungsi
komunikasi.
Sama halnya dengan ruang personal, fungsi sosial dari teritorialitas, misalnya tampak pada
pertemuan-pertemuan resmi ketika sudah ditentukan tempat duduk setiap orang sesuai dengan
kedudukan, jabatan, dan pangkat yang bersangkutan. Seorang pegawai biasa tidak berani duduk di
bangku terdepan meskipun bangku itu kosong karena bangku-bangku itu untuk para pejabat.
Dengan demikian, teritorialitas juga mencerminkan lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat.
Sebagai media komunikasi, sama halnya denagn ruang personal, teritori juga terbagi dalam
beberapa golongan. Klasifikasi teritori yang terkenal adalah klasifikasi yang dibuat Altman (1980)
yang didasarkan pada derajat privasi, afiliasi, dan kemungkinan pencapaian.6

a. Teritori Primer
Teritori primer adalah tempat-tempat yang sangat pribadi sifatnya, hanya dimasuki oleh orang-
orang yang sudah sangat akrab atau yang sudah mendapat izin khusus. Teritori ini dimiliki oleh
perseorangan atau sekelompok orang yang juga mengendalikan penggunaan teritori tersebut
secara relatif tetap, berkenaan dengan kehidupan sehari-hari ketika keterlibatan psikologis
penghuninya sangat tinggi. Misalnya, ruang tidur atau ruang kantor. Meskipun ukuran dan
jumlah penghuninya tidak sama, kepentingan psikologis dari teritori primer bagi penghuninya
selalu tinggi.

b. Teritori Sekunder
Teritori sekunder adalah tempat-tempat yang dimiliki bersama oleh sejumlah orang yang sudah
cukup saling mengenal. Kendali pada teritori ini tidaklah sepenting teritori primer dan kadang
berganti pemakai, atau berbagai penggunaan dengan orang asing. Misalnya, ruang kelas, kantin
kampus, dan ruang latihan olahraga.

a. Teritori Publik
Teritori publik adalah tempat-tempat yang terbuka untuk umum. Pada prinsipnya, setiap
orang diperkenankan untuk berada di tempat tersebut. Misalnya, pusat perbelanjaan, tempat
rekreasi, lobi hotel dan ruang sidang pengadilan yang dinyatakan terbuka untuk umum.
Kadang-kadang terjadi teritori publik dikuasai oleh kelompok tertentu dan tertutup bagi
kelompok yang lain, seperti bar yang hanya untuk orang dewasa atau tempat-tempat hiburan
yang terbuka untuk dewasa umum, kecuali anggota ABRI, misalnya.
Selain pengklasifikasi tersebut, Altman (1975) juga mengemukakan dua tipe teritori lain,
yaitu objek dan ide. Meskipun keduanya bukan berwujud tempat, diyakini juga memenuhi
kriteria teritori. Karena seperti halnya dengan tempat, orang juga menandai, menguasai,
mempertahankan, dan mengontrol barang mereka, seperti buku-buku, pakaian, motor, dan
objek lain yang dianggap miliknya.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


64
Laurens
Ruang kerja seseorang bisa menjadi teritori sekunder ketika ia masih mengizinkan orang lain
seperti tamunya masuk. Demikian pula dengan ide, orang mempertahankannya melalui hak paten,
atau hak cipta; pemilik perangkat lunak memasang kunci dengan kode-kode tertentu pada program
mereka agar tidak dikuasai orang lain. Objek dan ide ini merupakan teritori yang didasarkan pada
proses kognitif, namun hingga kini tidak banyak penelitian mengenai hal ini.
Selain tipologi tersebut, Lyman dan Scott (1967) juga membuat klasifikasi tipe teritorialitas yang
sebanding dengan klasifikasi Altman. Namun, terdapat dua tipe yang berbeda, yaitu teritori interaksi
(interactional territories) dan teritori badan (body territory).
Teritori interaksi ditujukan pada suatu daerah yang secara temporer dikendalikan oleh
sekelompok orang yang berinteraksi. Misalnya, sebuah tempat perkemahan yang sedang dipakai oleh
sekelompok remaja untuk kegiatan perkemahan, ruang kuliah yang dipakai oleh sejumlah mahasiswa
peserta mata kuliah tertentu, lapangan sepak bola yang dipakai untuk pertandingan oleh sekelompok
klub sepak bola. Apabila terjadi intervensi kedalam daerah ini, tentu dianggap sebagai gangguan.
Misalnya, sekelompok anak yang masuk ke dalam lapangan bola ketika sedang ada pertandingan
bola orang dewasa, atau seorang anak kecil masuk dalam ruang kuliah yang tidak diperuntukkan
baginya.
Sementara itu, teritori badan dibatasi oleh badan manusia. Namun berbeda dengan ruang personal
karena batasannya bukanlah ruang maya, melainkan kulit manusia, artinya segala sesuatu mengenai
kulit manusia tanpa izin dianggap gangguan. Orang akan mempertahankan diri terhadap gangguan
tersebut.
3. Pelanggaran dan Pertahanan Teritori
Bentuk pelanggaran teritori yang dapat diindikasikan adalah invasi. Seseorang secara fisik
memasuki teritori orang lain biasanya dengan maksut mengambil kendali atas teritori tersebut dari
pemiliknya. Hal ini bisa terjadi pada berbagai tingkatan, misalnya seorang anak mengambil alih
ruang kerja kakaknya yang biasa dipakai untuk menjahit dengan memasang komputer, atau invasi
Amerika atas Irak.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


65
Laurens
Bentuk kedua adalah kekerasan. Suatu bentuk pelanggaran yang bersifat temporer atas teritori
seseorang. Biasanya tujuannya bukanlah untuk menguasai kepemilikannya, melainkan suatu bentuk
gangguan. Vandalisme, penyerangan tabrak lari, atau pencurian termasuk dalam kategori ini.
Kadang-kadang gangguan ini terjadi tidak dengan sengaja. Misalnya, ketika seorang anak laki-laki
yang belum bisa membaca memasuki toilet wanita. Namun, bisa juga terjadi gangguan ini dilakukan
dengan sengaja tanpa harus memasuki teritori secara fisik. Misalnya, pencurian atau gangguan pada
data komputer di sebuah perusahaan, atau memasuki gelombang radio tertentu tanpa izin.
Bentuk ketiga adalah kontaminasi. Seseorang mengganggu teritori orang lain dengan
meninggalkan sesuatu yang tidak menyenangkan seperti sampah, coretan atau bahkan merusaknya.
Misalnya, ketika orang yang menyewa rumah Anda meninggalkan barang-barangnya dan Anda tidak
menyukai barang bekas tersebut. Atau pabrik membuang limbah produksinya di teritori publik yang
mengganggu baik karena baunya maupun polusi racunnya.
Tidak semua teritori dilanggar dan seandainya pun terjadi pelanggaran tidak selalu dipertahankan.
Pertahanan yang dilakukan pemilik teritori adalah (1) pencegahan, seperti memberi lapisan
pelindung, memberi rambu-rambu, atau pagar batas sebagai antisipasi sebelum terjadi pelanggaran
dan (2) reaksi sebagai respons terhadap terjadinya pelanggaran, seperti langsung menghadapi si
pelanggar. Pertahanan yang ketiga adalah batas sosial. Digunakan pada tepi teritori interaksional.
Pertahanan ini terdiri atas suatu kesepakatan yang dibuat oleh tuan rumah dan tamunya. Misalnya,
perlunya seseirang menggunakan paspor untuk memasuki wilayah negara tertentu atau diperlukan
identitas diri seperti KTP ketika memasuki lingkungan perumahan tertentu.

4. Pengaruh Pada Teritorialitas


Beberapa faktor yang mempengaruhi keanekaan teritori adalah karakteristik personal seseorang,
perbedaan situasional baik berupa tatana fisik maupun situasi sosial budaya seseorang.

a. Faktor Personal
Karakteristik seseorang, seperti jenis kelamin, usia, dan kepribadian diyakini mempunyai
pengaruh terhadap sikap teritorialitas. Penelitian Marcel dan Benyamin (1980) disebuah
asrama mendapati bahwa pria menggambarkan teritori mereka lebih besar daripada wanita.
Penghuni asrama diminta menggambarkan teritori mereka dalam ruang tidur bersama dan
menandai mana yang dianggap teritorinya dan mana yang dianggap teritori milik teman
sekamarnya.
Pria menggambarkan teritori yang diklaim sebagai miliknya lebih besar daripada yang
digambarkan wanita. Akan tetapi, bagaimana dengan teritori mereka di tempat kerja atau
dirumah? Pada umumnya, pria menganggap dirinya mempunyai status yang lebih tinggi
ditempat kerja, dan mengklaim teritori yang lebih besar dari wanita. Sementara itu, mereka
beranggapan bahwa rumah adalah teritori bersama, tetapi dapur adalah teritori ibu atau wanita.
Melalui penelitian ini disimpulkan bahwa gender dan kepribadian merupakan dua hal yang
saling terkait dalam penentuan teritori.

b. Situasi
Apakah perbedaan tatanan fisik mempengaruhi sikap teitorialitas seseorang? Dua aspek situasi,
yaitu tatanan fisik dan sosial budaya dianggap mempunyai peran dalam menentukan sikap
teritorialitas seseorang. Oscar Newman dalam teorinya (1980) mengenai defensible space
mengemukakan bahwa kriminalitas di perumahan dan ketakutan akan kriminalitas merupakan
dua gejala yang berkaitan dengan invasi teritori.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


66
Laurens
Bentuk desaintertentu, seperti penghalang yang nyata ataupun barier simbolis dapat digunakan
untuk memisahkan teritori publik dan pribadi. Dengan adanya peluang bagi pemilik teritori
untuk melakukan pengamatan daerahnya akan meningkatkan rasa aman dan mengurangi
kriminalitas dalam teritori tersebut.
Apabila kita amati jalan-jalan di kompleks perumahan di kota-kota besar, banyak jalan masuk
ke kawasan perumahan tersebut yang diberi portal, bahkan diberi pintu gerbang yang kukuh
sebagai suatu bentuk sikap teritorial untuk mendapatkan rasa aman. Adanya pembatasan atau
portal itu meningkatkan perasaan teritorialitas penghuni, perasaan memiliki sehingga perilaku
mereka berubah dan menunjukkan sikap mempertahankan.
Desain tata letak bangunan atau desain jalan dapat mempengaruhi perilaku penghuni
sedemikian rupa. Mereka akan saling bertemu atau justru saling menghindar. Penghuni yang
kerap bertemu ketika berada di halaman ketika keluar rumah atau berjalan membuat hubungan
sosial mereka meningkat sehingga tanpa secara sengaja menunjukkan peluang saling
mengawasi ruamhnya atau rumah tetangganya, yang kemudian bisa berarti mampu mengurangi
kriminalitas karena para penghuni lebih memperhatikan sikap teritorialnya.
Bentuk jalan cul de sac misalnya, dapat memfasilitasi keakraban diantara para warganya untuk
saling mengenal dan mengawasi keamanan lingkungan dibandingkan dengan jalan lurus atau
jalan lingkar (loop) sehingga iklim sosial ini dapat memunculkan sikap teritorialitas, mampu
meningkatkan perasaan ikut bertanggung jawab akan keamanan tetangga dan lingkungan.

c. Faktor Budaya
Apakah kelompok dengan latara belakang budaya yang berbeda yang mengekspresikan sikap
teritorial yang berbedah? Pada sebuah penilitian (Smith, 1981) teritori pantai pada orang
jerman dan prancis, di temukan hal yang sama, yaitu kelompok yang lebih besar mengklaim
area orang lebih kecil dibandingkan kelompok kecil dan kelompok wanita mengklaim area
lebih kecil daripada kelompok pria.
Akan tetapi, secara budaya terdapat perbedaan sikap teotorial. Orang prancis mempunyai sikap
teritorial terendah. Mereka menganggap pantai itu milik semua orang. Sementara itu, oarang
jerman lebih banyak memberi tanda-tandah kepemilikan dengan membuat istana pasir sebagai
batas teritori mereka.
Namun demikian, belum ada jawaban yang pasti apakah budaya yang satu memang lebih
bersikap teritori dibadingkan dengan budaya yang lain, ataukah hanya perbedaan dalam
ekspresi teritorialnya saja?
Sebuah studi mempelajari bagaimana dua budaya, amerika dan yunani, memberi respons
terhadap sampah. Hasil studi menunjukan bawah teritorial antara kedua budaya tersebut sama
(Worchel dan Loils, 1982). Eksperimen yang dilakukan dengan meletakan sekantung sampah
di salah satu dari tiga tempat, yaitu di halaman muka rumah, di trotoar muka rumah, dan
dijalan raya dimuka rumah.
Kantung sampah itu dipindakan dengan cepat pada kedua budaya tersebut. Akan tetapi, orang
Amerika memindakan kantung samapah yang di tempatkan di trotoar atau jalan lebih cepat dari
orang yunani. Dapat dikatakan bawah oarang Amerika lebih mempunyai sikap teritorial
dibandingkan oarang Yunani?
Kedua peneliti itu mengatakan tidak. Perbedaannya pada kedua cara budaya berpikir tentang
teritori di sekitar rumah mereka. Orang Amerika menganggap sebagai daerah semipublik atau
bahkan semiprivat. Karean itu, mereka membersikannya dengan cepat sementara itu, orang
Yunsni menganggap area itu adalah areah publik. Karena itu, tidak terlalu menjadi perhatian
atau kepeduliannya.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


67
Laurens
Teritorialitas kererap kali lebih tampak pada kelompok lain dalam area publik. Mereka mengukir
daerah yang dianggap teritorinya, mencantumkan nama kelompok atau gengnya dengan grafiti, dan
berusaha mempertahankannya dari kelompok lain.
Kecenderungan agresivitas teritorialitas pada manusia lebih besar dari binatang. Kecenderungan
ini menjadi semakin besar apabila tidak terdapat batas-batas teritori yang jelas. Misalnya, tawuran
antargeng anak kota jika wilayah kekuasaan mereka tidak jelas. Sebaliknya, jika batas teritori itu
jelas dan ada kesepakatan bersama maka kemungkinan konflik itu kecil.

Dapatkah ruang ini diklaim sebagai teritori sekelompok orang saja?

5. Teritorialitas dan Perilaku


Teritorialitas berfungsi sebagai proses sentral dalam personalisasi, agresi, dominasi,
memenangkan, koordinasi, dan kontrol.
a. Personalisasi dan Penandaan
Personalisasi dan penandaan seperti memberi nama, tanda, atau menempatkan di lokasi
strategis, bisa terjadi tanpa kesadaran akan teritorialitas. Seperti membuat pagar batas,
memberi papan nama yang merupakan tanda kepemilikan. Meski belum tentu akan memacu
terjadinya pertahanan aktif, hal ini lebih memberi keuntungan psikologis bagi pemiliknya.
Perilaku personalisasi bisa juga dilakukan secara verbal. Misalnya, ketika seorang adik
berkata kepada kakaknya, ”ini mejaku,pergi” Namun pada umumnya, penandaan lebih
ditujukan pada tempelan teritori primer ataupun sekunder.
Penandaan juga dipakai seseorang untuk mempertahankan haknya di teritori publik, seperti
nomor kursi di kereta api, pesawat terbang, atau bioskop. Personalisasi dan penandaan
muncul dimana-mana, termasuk tempat yang kita tidak harapkan. Misalnya, disebuah tempat
bermain, pemain menyentuh atau memegang mesin simulasi, berulangkali atau lebih lama
ketika ia merasa ada orang lain yang mau mengambilnya atau ingin memakainya.
Personalisasi dan penandaan kadang juga dibuat dengan sengaja dengan maksut tertentu,
seperti tulisan “tidak menerima sumbangan” dan “dilarang parkir di depan pintu”.

b. Agresi
Pertahanan dengan kekerasan yang dilakukan seseorang akan semakin keras bila pelanggaran
terjadi di teritori primernya, misalnya pencurian dirumahnya, dibandingkan dengan
pelanggaran yang terjadi di tempat umum. Pada tingkat yang lebih luas, misalnya teritori

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


68
Laurens
daerah atau negara, perang sangat sudah sering terjadi karena adanya agresi. Agresi biasanya
terjadi apabila batas teritori tidak jelas.

c. Dominasi dan Kontrol


Dominasi dan Kontrol umumnya lebih banyak terjadi pada teritori primer. Mahasiswa lebih
menganggap laborotorium sebagai teritori sekunder atau teritori publik, bukan teritori
primernya sehingga ia tidak terlalu mendominasi dan mengontrol. Misalnya, pintu
laborotorium yang seharusnya tertutup dibandingkan pintu kamar tidurnya sendiri.
Kemampuan tatanan ruang untuk menawarkan privasi melalui kontol teritori menjadi
penting. Hal ini berarti tatanan tersebut mampu memenuhi beberapa kebutuhabn dasar
manusia, yaitu kebutuhan akan identitas yang berkaitan dengan kebutuhan akan kepemilikan
harga diri dan aktualisasi diri. Seperti yang dikemukakan oleh meslow, hal tersebut
merupakan kebutuhan untuk mengetahui siapa dirinya dan bagaimana perannya didalam
masyarakat. Kebutuhan akan stimulasi yang berkaitan dengan pemenuhan akan aktualisasi
diri. Kebutuhan akan keamanan, seperti bebas dari sensor, bebas dari penyerangan dari luar,
dan memiliki percaya diri. Demikian pulah kebutuhan akan suatu kerangka acuan yang
mencakup pemiliharaan hubungan seseorang dengan orang lain dan dengan lingkungannya.

6. Teritorialitas dalam desain arsitektur


Apa hubungannya gugatan teritori dan desain arsitektur? Penerapannya dalam desain mengacu
pada pola tika laku manusia yang berkaitan dengan teritorialitas sehingga dapat menguranggi agresi,
meningkatkan kontrol, dan membangkitkan rasa tertib dan aman.
Terdapat banyak cara dalam mengolah penggunaan elemen fisik untuk membuat demarkasi
teritori. Semakin banyak sebuah desain mampu menyediakan teritori primer bagi penghuninya,
desain itu akan semakin baik dalam memenuhi kebutuhan penghuninya. Sebuah ruang terbuka,
sebuah ruang atau ruang arsitektural dapat diklaim sebagai teritori yang bersifat publik atau pun
bersifat pribadi, bergantung pada pencapain, bentuk pengawasan, siapa yang memakai ruang
tersebut, siapa yang merawat dan bertanggung jawab atas ruang itu. Sebab ruang ruang tidur
dianggap lebih pribadi sifatnya dari pada dapur tempat kita tinggal. Karena untuk ruang tidur kita
memiliki kunci sendiri untuk masuk, bisa merawat dan menata sesuai dengan kehendak kita.
Sementara itu, untuk ruang keluarga atau dapur pemeliharaanya ditanggung bersama seluruh
penghuni rumah tersebut sehingga bisa dimasuki oleh siapa saja yang memiliki kunci masuk
kedalammya.
Kendala pertama dalam penciptaan teritori primer ini adalah dana dan kebijakan organisasi
pengelola, seperti kemudahan pengawasan pekerjaan. Di beberapa tempat kerja bahkan jenis
pekerjaannya sendiri yang menjadi kendala utama untuk membentuk teritori primer, seperti harus
bekerja sama atau berurtan.
a. Publik dan privat
Kita selalu dihadapkan pada gradisi teritori yang bersifat primer, sekunder, ataupun publik dan
desain arsitektur. Berikut contoh sebuah hunian di bali yang dibatasi oleh dinding keliling dan
pintu masuk melalui gapura/candi benter sebagai penada teritori.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


69
Laurens
Ruang-ruang fungsi ditata sesuai dengan data istiadat bali. Sebuah fungsi serupa fungsi
bangunan, seperti ruang tidur sebagai bangunan sendiri, dapur sebagai bangunan sendiri
sehingga ketika seseorang telah melewati gapura, ia tidak langsung masuk dalam ruang yang
bersifat privat. Ia tidak merasa berbeda dalam teori hunian yang sifatnya pribadi karena tidak
dengan sendirinya mempunyai akses ke rung-ruang fungsi tersebut. Untuk menuju ruang-ruang
yang bersifat intem tidak dapat dicapai dengan mudah. Dengan demikian, rumah bali ini
membentuk gradasi teritori melalui urutan asibilitas.
Pada kompleks perumahan real estate di perkotaan juga diberi penanda teritori kompleks.
Biasanya berupa gapura

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


70
Laurens
Atau pos penjaga dengan portal besi atau kayu sehingga meskipun jalan yang ada didalam
kompleks perumahan tersebut adalah jalan umum atau teritori publik, tidak mudah bagi orang
asing memasukinya. Seseorang yang bukan penghuni dikawasan tersebut akan merasa asing,
atau setidaknya merasa sebagai tamu dikawasan tersebut. Sebaliknya sebagi penghuni, orang
merasa telah berada dalam teritorialnya meski sesunggunya ia berada diteritori publik.
Ruang publik adalah area terbuka. Ruang ini dapat dicapai oleh siapa saja pada waktu
kapan saja dan tanggung jawab pemiliharanya adalah kolektif. Sementara itu, ruang privat
adalah area yang aksibilitasnya ditentukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan
tanggung jawab ada pada mereka. Kadang derajat aksibilitas itu merupakan suatu peraturan
atau ketentuan. Akan tetapi, dapat juga terjadi sebagai suatu kesepakatan saja diantara para
pemakainya.
Apabila seseorang atau sekelompok oarang mendapat peluang untuk memakai sebagian area
publik untuk kepentingannya dan hanya secara tidak langsung berguna bagi orang lain, akan
terbentuk semacam kesepakatan umum bahwa penggunaan itu dibenarkan secara temporer
ataupun permanen. Misalnya, ketika masa panen tiba, petani menjamur padi di sepanjang jalan
raya tanpa diganggu oleh lalu lintas ataupun pejalan kaki karena orang menyadari pentingnya
kontribusi dari setiap anggota masyarakat demi keberhasilan panen tersebut. Begitu pula di
daerah pesisir pantai, para nelayan menjamur jala dan atau ikan hasil tangkapannya di jalan
umum, bahkan samapai di halaman desa.

Penduduk dirumah susun menjemur pakaian di tangga-tangga umum, atau menggunakan


pagar sebagai tempat jemurannya yang kesemuanya adalah ruang publik.
Dalam perancangan ruang-ruang arsitektural, apabila disadari adanya derajat teritori yang
berkaitan dengan aksesibilitas menuju ruang-ruang tertentu, arsitek dapat mengekspresikan
perbedaan teritori ini baik melalui batas nyata, seperti dinding, pintu, ataupun batas simbolik
melalui artikulasi bentuk, penggunaan material, permainan cahaya dan warna sehingga dapat
terbentuk suatu tatanan yang utuh.
Dengan demikian, diharapkan dapat meningkatkan kesadaran penghuni akan adanya
perbedaan lingkungan yang berkaitan dengan perbedaan teritori dan perbedaan derajat

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


71
Laurens
aksebilitas ruang tertentu. Cara orang memberi batas teritori secara simbolik, misalnya dengan
bentuk pintu gerbang dengan langgam dari etnik tertentu yang membedakan daerah satu
dengan daerah lainnya.

Penandaan teritori juga bisa dilakukan dengan menempatkan logo tertentu. Namun, tentu
saja pengggunaan tanda-tanda simbolis yang tidak di kenal secara umum menjadi tidak efektif.

Batas teritori juga bisa berupa pintu apa bila dua ruang publik terletak berdampingan dan
diperlukan pembedaan tertitori. Oleh karena itu, desain pintu bisa dibuat sedemikian rupa,
misalnya dengan menggunakan bahan trasparan yang memungkinkan orang melihat ke ruang
lain sebelum memasukinya sehingga bisa menghindari terjadinya tabrakan. Bila pintu tersebut.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


72
Laurens
berfungsi membatasi ruang publik dengan ruang privat, bisa dipakai bahan masif.
Karakter setiap ruang bergantung pada siapa yang menentukan penataan ruang dan perabot,
siapa yang bertanggung jawab memeliharanya, dan siapa yang merasa bertaanggung jawab atas
ruang tersebut. Konsep publik dan privat dalam arti berbeda tanggung jawab memudahkan
arsitektur untuk merancang daerah mana yang penataannya dilakukan oleh arsitek dan daerah
mana yang diserahkan pada penghuni.
b. Ruang Peralihan
Pada rancangan di mana pengguna ruang sama sekali tidak mempunyai kontribusi dalam
penataannya, atau sama sekali tidak mempunyai peluang untuk ikut membentuk lingkungannya
karena sepenuhnya bergantung pada struktur organisasi pengelola atau kemauan arsitek, sukar
untuk menstimulasi pengguna agar bisa menjadi penghuni agar ia bisa merasa nyaman
dilingkungannya. Ini terjadi karena ia tidak merasa terlibat dalam tanggung jawab lingkungan.
Akibatnya seluruh area dianggapnya teritori publik.
Apabila teritori primer individual tidak dimungkinkan dalam desain, arsitek bisa merancang
adanya teritori primer atau sekunder bagi kelompok orang. Merancang adanya peluang
mengatur diri bagi pengguna , seperti membuat “sarang” bagi seseorang atau sekelompok
pengguna, memberi kenyamanan agar ia atau mereka bisa merasa aman, tidak terganggu dan
mempunyai lingkungan sesuai dengan selera dan kebutuhannya. Sekolah Montessori, Delft,
adalah contoh sebuah rancangan yang membentuk peluang-peluang bagi pengguna untuk
merasa nyaman dan aman di lingkungan publik.
Daerah peralihan dibuat sebagai penghubung berbagai teritori yang berbeda sifatnya. Area
pintu masuk sekolah dirancang sebagai daerah transisi, bukan hanya semata-mata sebagai
ruang terbuka tanpa keluar masuknya siswa. Daerah ini dirancang sebagai daerah penerima
sebelum masuk kelas dengan segala pengaturan dan pengawasan guru dan daerah hingga
mengantar mereka pulang menuju rumah masing-masing
Sebagai daerah peralihan dari teritori primer yang bersifat privat ke teritori publik,
perwujudan arsitekturalnya hendaknya ramah karena ia akan merupakan daerah “selamat
datang” sekaligus “selamat jalan”. Area peralihan semacam ini juga dipakai sebagai wadah
melakukan kontak sosial sehingga secara administratif bisa termasuk teritori publik ataupun
teritori privat.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


73
Laurens
Pada rancangan rumah tunggal lebih muda untuk mendapatkan hierarki teritori yang jelas.
Namun, pada rumah susun hierarki teritori yang jelas lebih suka diperoleh. Hierarki tergantung
tidak saja pada posisi rumah terhadap jalan, tetapi juga pada kepadatan lalulintas.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


74
Laurens
Pada jalan dengan lalu lintas padat, gugatan teritori pada ruang luar biasanya lebih kecil. Karena
itu pola rumah umumnya merupakan suatu rangkaian hierarki teritori dari publik ke privat, dari pusat
ke tepian. Beberapa contoh bagaimana orang menata ruang peralihan ini, misalnya menanami
“berm” di tepi jalan yang sesungguhnya teritori publik dengan tanaman sesuai selera penghuni,
menyirami dan merawatnya dengan baik, menata jalan di muka rumah memarkir kendaraannya, atau
sebaliknya menata agar jalan di muka rumah tidak dijadikan tempat parkir oleh umum, yang pada
akhirnya tentu saja akan meningkatkan kualitas ruang publik.
Pada area transisi ini, gugatan teritori individual dan kolektif dan saling tunpang-tindih. Untuk
menghindari terjadinya konflik maka diperlukan kesepakatan. Keberhasilan ruang-ruang peralihan
akan membentuk ruang komunal yang baik, yaitu setiap penghuni akan memberikan kontribusinya
demi kenyamanan lingkungan.
Oskar Newman menyajikan sejumlah contoh bangunan bertingkat banyak yang mempunyai
hirarki teritori dengan jelas sebagai dasar perancangan sistem strukturnya. Misalnya, Stopleton
Hause di staten Island, dimana pintu masuk di koridor dibuat agak menjorok kedalam membentuk
sebuah ruang transisi antara teritori semi publik dan semi privat. Atau apertemen dupleks di
Riverband yang mempunyai koridor single loaded, setiap apertemen terbuka kearah sebuah patio
yang berfungsi sebagai ruang transisi. Teritorialitas dibentuk di setiap pintu masuk. Sebuah dinding
setinggi 1.50 m memisakan patio tersebut dari jalan umum. Dari pintu apertemen ada tangga sebagai
gerbang simbolik.

Beberapa bangunan memungkinkan peluang perilaku teritori yang lebih mudah.


(i) Karena adanya demarkasi teritori yang jelas antara publik, semipublik, semiprivat, dan privat
yang bisa menjadi barier, simbolis, seperti penggelolahan tekstur permukaan, anak tangga,
penempatan lampu dan bollard, atau barier sesunggunya sepertinya adanya dinding.
(ii) Penempatan pintu dan jendela yang memungkinkan terjadi penyelamatan alamiah. Misalnya,
bila ruang di rancang agar orang dapat melihat area publik dan semipublik dari lingkungannya
sebagai bagian dari aktifitas sehari-hari sehingga bisa mengurangi perilaku antisosial.
(iii) Penggunaan bentuk dan bahan yang tidak berasosiasi dengan hal rawan.
(iv) Lokasi pengembangan pemukiman di daera tempat masyarakat tidak merasa terancam.
Arsitek dapat memberi kontribusi dalam merancang suatu lingkungan yang menawar peluang-
peluang bagi individu untuk membuat identifikasi dan tanda-tanda personal sedemikian rupa
sehingga bisa bersinergi dengan kepentingan publik membentuk suatu tempat yang sunggu menjadi

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


75
Laurens
teritori mereka. Suatu tempat yang dikontrol dan dikelolah oleh setiap individu sehingga bisa
menghindari kriminalitas.

C. KESESAKAN DAN KEPADATAN (CROWDING AND DENSITY)


1. Apakah kesesakan itu?
Bentuk lain dari persepsi terhadap lingkungan adalah kesesakan (crowding). Kalau kita berada
di kereta apai atau bus yang penuh dengan penumpang , kita merasa akan sesak karena didesak
orang. Demikian pulah kita menghindari resepsi pernikahan yang dihadiri ribuan undangan, kita
harus antre lama sekali untuk memberi ucapan selamat kepada mempelai, kita merasa sesak. Jadi,
kesesakan ini adah hubungannya dengan kepadatan (density), yaitu banyaknya jumlah manusia
dalam suatu batas ruang tertentu. Makin banyak jumlah manusia berbanding luasnya ruangan, makin
padatlah keadaannya.

2. Beberapa Pengertian
Kesesakan mempunyai pengertian sehari-hari dan beberapa pengertian teknis yang kadang-
kadang bercampur. Beberapa pengerian berbeda mengenai kesesakan ataupun kepadatan.
a. Hubungan antara kesesakan dan kepadatan
Kepadatan adalah ukuran jumlah orang per unit area. Dapat diterapkan untuk pengukuran
dimanapun. Artinya, tidak terikat pada tempat tertentu, seperti perhitungan untuk skala dunia, yaitu
30 orang per km2 , dalam skala negara: Jepang, misalnya 300 orang per km2, Amerika serikat sekitar
28 oarang per km2, dan Australia mempunyai 2.5 orang per km2. Sementara itu dalam skala kota,
Hong Kong mempunyai kepadatan 40.000 orang per km2 dan New York, 8500 orang per km2
(dalam Gifford 1988) yang juga mencakup ruang terbuka.
Kepadatan memiliki ciri objektif, tetapi tidak terlepas dari skala geografis. Distribusi penduduk
dapat sedemikian rupa sehingga orang dapat tinggal dikota yang padat, dikelilingi daera luas yang
tidak berpenghuni. Seperti umumnya kota—kota di pulau jawa padat meskipun sebagian areanya
adalah daerah pertanian atau hutan.
Sementara itu, kesesakan mengacu pada pengalaman seseorang terhadap jumlah orang di
sekitarnya. Berbeda dengan kepadatan yang objektif, kesesakan bukan merupakan rasio fisik,
melainkan perasaan subjektif terhadap lingkungan sekitarnya.
Ciri pertama kesesakan adalah persepsi terhadap kepadatan, dalam arti jumlah manusia sehingga
tidak termasuk di dalamnya kepadatan yang nonmanusia. Orang yang berada sendirian di tengah
sabana yang luas ataupun dalam hutan rimba yang penuh dengan pepohonan dan binatang buas atau
di tengah kota yang penuh dengan bangunan, tetapi tidak berpenghini, tidak akan mempersepsikan
kesesakan seperti yang dialami penumpang kereta api atau bus atau pengunjung resepsi pernikahan.
Ciri kedua, karena kesesakan adalah persepsi maka sifatnya subjektif. Orang yang sudah terbiasa
naik bus yang padat penumpangnya, mungkin sudah tidak merasa sesak lagi (kepadatan tinggi, tetapi
kesesakannya rendah). Sebaliknya, orang yang biasa menggunakan kendaraan pribadi merasa sesaak
dalam bus yang agak kosong (kepadatannya rendah, tetapi kesesakannya tinggi).
Secara teoretis, kesesakan dan kepadatan dibedakan sebagai berikut. Stokols (1972) menyatakan
bawah kepadatan (density) adalah kendalah kekurangan (spatial constraint). Sementara itu,
kesesakan (croding) adalah respons subjektif terhadap ruang yang sesak (tigh space).
Kepadatan merupakan syarat yang diperlukan untuk timbulnya presepsi kesesakan, tetapi
bukanlah merupakan syarat mutlak harus ada. Misalnya, pada pasar malam atau pertunjukan
bioskop, di lapangan atau tempat-tempat keramaian lainnya, orang justru mencari kepadatan orang
ditenggah keramaian itu. Walaupun kepadatan tinggi, orang tidak merasa sesak.
ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella
76
Laurens
Kesesakan baru terjadi jika ada gangguan atau hambatan tertentu dalam interaksi sosial atau
dalam usaha suatu tujuan. Misalnya, jika orang harus berkopentensi untuk mendapat tempat duduk
di bus atau antre untuk berjabat tangan dengan pengantin dalam resepsi pernikahan atau tidak dapat
berenang dengan leluasa di kolam renang.

b. Kepadatan Sosial dan Kepadatan Spasial


Penilitian-penilitian membuktikan bawah karena sifatnya yang subjektif, jenis kepadatan atau
rasio jumlah orang per unit area dapat dibedakan dalam dua cara, yaitu kepadatan sosial dan
kepadatan spesial. Loo (1973) dan Saegert (1974) mengemukakan bawah pada manusia terdapat
kepadatan sosial disamping kepadatan ruang /spasial.
Di sebuah ruangan pertemuan yang padat dengan pengunjung misalnya, kepadatan itu bisa
disebabkan oleh persepsi bawah ruangannya terlalu sempit untuk jumlah undangan (kepadatan
ruang), tetapi bisa juga karena persepsi bawah undangannya terlalu banyak untuk ruangan itu
(kepadatan sosial).

c. Kepadatan Dalam dan Kepadatan Luar


Kepadatan dalam bangunan dan kerpadatan luar berbeda secara dramatis. Di kota Hong Kong
atau Manhattan, perhitungan kepadatan sebagai jumlah orang per blok akan sangat tinggi. Meskipun
dalam perhitungan bisa terdapat seseorang yang memiliki apertemen dengan empat ruang tidur,
sekaligus satu keluarga yang terdiri atas lima anggota keluarga yang menempati apaertemen satu
kamar.
Kepadatan dalam adalah rasio jumlah individu di dalam bangunan, sedangkan kepadatan luar
adalah rasio individu dalam ruang di luar bangunan. Holahan mengklasifikasikan kepadatan sebagai
berikut.
(i) Kepadatan pedesaan, yaitu kepadatan di dalam rumah tinggi, tetapi kepadatan di luar rendah.
(ii) Kepadatan di pinggir kota, yaitu kepadatan didalam ataupun di luar rumah itu rendah.
(iii) Kepadatan pemukiman kumuh di kota, yaitu kepadatan di luar dan di dalam rumah tinggi.
(iv) Kepadatan permukiman mewah di kota besar, yaitu kepadatan di dalam rendah, diluar rumah
tinggi

d. Kepadatan versus kedekatan


Kepdatan dalam dan luar di lihat parah alhi usaha awal untuk pengukuran fektor lain, yaitu berapa
banyak orang yang ada dan seberapa dekat keberadaan mereka. Semua perhitungan kepadatan
mengasumsikan bawah jarak antara satu individu dan individu lainnya adalah sama. Padahal, tentu
saja tidak.
Di beberapa tatanan individu terkelompok dalam kumpulan tertentu sehingga Knowles (1979)
berpendapat bawah perhitungan kepadatan lebih baik diartikan sebagai jumlah dan kedekatan
seseorang dalam suatu kumpulan dari pada sekedar perhitungan jumlah orang per unit area. Knowles
mengusulkan rumusan umum untuk suatu interaksi sosial berdasarkan perhitungan kedekatan ini
yaitu, akibat dari keberadaan orang lain pada diri seseorang akan meningkatkan sebesar akar dari
jumlah orang dan menurun sebanding dengan akar dari jarak di antara mereka.

3. Pengaruh pada kesesakan


Dalam kondisi seperi apa kita merasa sesak? Factor yang menyebabkan orang merasa sesak
adalah karakteristik personal dan situasi. Variable utama dari pengaruh personal adalah locus of

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


77
Laurens
control atau kontak personal, yakni kecenderungan seseorang untuk menganggap control itu pada
dirinya (internal) atau di luar dirinya (eksternal).
Variable lain berkaitan dengan pengalaman akan kesesakan, yaitu kecenderungan alternative atau
sosiabilitas. Seseorang yang mempunyai kecenderungan mudah bergaul mempunyai toleransi yang
tinggi terhadap situasi yang padat dari pada mereka yang cenderung tidak alternative.
Pengalaman, budaya, dan gender, juga dapat mempengaruhi rasa kesesakan. Pengalaman
seseorang tentang kepadatan tingi dapat berupa pengalaman jangka pendek, seperti kehidupan di
Asrama selama masa studinya, atau merupakan pengalaman panjang yang kemudian terbenam dalam
budaya.

Apabila orang berpikir bawah daerah pedesaan atau pinggiran kota mencerminkan suatu
subbudaya tertentu, latar belakangan ini pun akan menjadi factor budaya dalam masalah keseakan.
Dalam penelitian Walden, Nelson, dan Smith (1981), di ketahui bawah penghuni Asrama yang
berasal dari daerah pedesaan merasakan kesesakan lebih besar dari pada mereka yang berasal dari
daerah perkotaan.
Sementara itu dalam hal gender, melalui suatu penelitian di laborotorium di dapati bawah pria
lebih bereaksi negatif terhadap kesesakan dibandingkan dengan wanita sehingga perilaku mereka
menjadi kasar. Kawam wanita lebih dapat menahan stress. Kepadatan tinggi berarti ada banyak
orang di sekitar anda. Namun, kesesakan bisa meningkat bisa juga tidak bergantung pada apa yang
dikerjakan orang lain itu.
Misalnya, jika banyak orang mengamati anda mengerjakan sesuatu, penampilan ada bisa menjadi
lebih baik atau sebaliknya menurun, tergantung seberapa baik anda melakukan pekerjaan itu, apa
penghargaan yang andah peroleh, dan apakah perhatian anda pada diri sendiri atau pada public.
Faktor sosial lain yang mempengaruhi rasa kesesakan adalah kualitas relasi diantara orang-orang
yang harus berbagi ruang tersebut. kesesakan akan semakin terasa apabila kerumunan orang yang
berada disekitar kita kita tidak kenal. Karena itu, kesesakan yang dirasakan terkait dengan harapan
seseorang atau relasi terhadap orang lain disekitarnya.
Kesesakan juga dipengaruhi oleh jumlah dan tipe informasi yang diperoleh seseorang sebelum
atau selama mengalami kepadatan tinggi. Merekan yang juga menerima informasi sama sekali atau
mendapat pesan mengenai reaksi emosional, (misalnya “ Anda mungkin akan merasa tidak nyaman
karena ada banyak orang dekat anda,”) akan merasa lebih tidakn nyaman dibandingkan dengan
mereka yang menerima pesan situsional (seperi“ orang akan berada dekat anda”).

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


78
Laurens
Tatanan ruang dalam bangunan ataupun diluar banguan juga mempengaruhi kesesakan. Sebuah
asrama yang memiliki lorong panjang, menimbulkan kesesakan dan stress bagi penghuni
dibandingkan lorong yang pendek. Tinggal di hunian bertingkat banyak menimbulkan kesesakan
yang lebih besar dibandingkan hunian bertingkat rendah, dan juga sikap negatif seperti kurangnya
control, keamanan, privasi kepuasan bangunan, dan rendanya kualitas relasi dengan sesama
penghuni. Penghuni yang tinggal di lantai yang lebih tinggi tidak terlalu sesak dibandingkan dengan
yang tinggal di lantai bawah (Schiffenbauer,1979), hal ini mungkin terjadi karena lebih sedikit tamu
yang menuju atas atau karena pemandangan dari jendela dilantai atas lebih luas dan lebih terang.

4. Dampak Kepadatan Pada Manusia

Seperti uraian di atas , pengaruh personal, sosial, dan fisik dapat menyebabkan seseorang merasa
sesak. Kepadatan tinggi tidak hanya menyebabkan seseorang merasa sesak , tetapi juga
menyebabkan dampak sebagaiberikut.
a. Dampak penyakit dan patologi sosial atau penyakit kejiwaan. Meskipun tidak selalu kepadatan
tinggi berarti meningkatkannya patologi sosial.
b. Dampak pada tingkalaku sosial, yaitu agresi, menarik diri dari lingkungan sosial, cenderung
melihat sisi negatif orang lain.
c. Dampak pada hasil usaha dan suasana hati. Hasil usaha yang menurun atau suasana hati yang
cenderung murung.
Konsekwensi lain dari kepadatan tingi adalah persepsibawah control seseorang menjadi renah jadi
kita harus berbagi sumber dan mengambil keputusan bersama dengan lebih banyak oraang jika
kedapatan meningkat.
Budaya juga dapat berperan sebagai mediator atau buffer bagi akibat dari kepadatan tinggi,
kadang budaya menjadi semacam perisai bagi warganya. Bagaimana strategi yang di terapkan
budaya tertentu untuk mengatasi akibat dari kepadatan tinggi sehingga menjadi hal yang
menyenangkan? Bangsa Cina hidup dalam kepadatan tinggi, bahkan mereka cenderung memiliki
daerah dengan kepadatan tinggi dari pada kepadatan rendah. Dalam budaya Cina terdapat semacam
ketentuan mengenai akses ke ruang orang lain , anak-anak akan di hukum apabila memasuki bahkan
melihat kedaerah oaring lain (Andersen,1972). Orang-orang Cina telah berhasil beradaptasi dalam
kehidupan dengan kepadatan tinggi, seperti di China Town yang terdapat berbagai Negara. Mungkin
sekali mereka bisa hidup dalam kepadatan tinggi, tetapi dengan anggota keluarganya sendiri dan
tidak dengan orang luar atau orang asing.
Masyarakat dengan kepadatan tinggi telah mengembangkan perferensi perilaku dan
pengembangan rancang akrsitektural yang cocok dengan kepadatan tinggi. Dalam rumah-rumah di
Jepang, ruangan yang sama bisa digunakan untuk beberapa kegunaan , mengembangkan aturan
mengenai penggunaan dan transformasi ruang dari satu fungsi ke fungsi lainya.
Di Belanda, sepertihalnya di Jepang, masyarakat menciptakan komunikasi kecil dalam area-area
berkepadatan tinggi (Canter, 1971; Rapoport, 1977). Di Tokyo , banyak distrik yang menyediakan
bagi individu untuk bertemu dan berinteraksi sehingga dapat mengatasi masalah dalam rumah
mereka yang kecil. Kota-kota di belanda cenderung kompak dan terpisah dengan tema-teman terbuka
diantaranya yang memungkinkan adanya perasaan tidak sesak dalam area yang padat.
Dapat disimpulkan bawah untuk mengatasi kesesakan, masyarakat dari budaya tua
a. Membentuk jarak psikologis yang lebih besar dari antara individu,

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


79
Laurens
b. Memberikan kesempatan dan tempat untuk melarikan diri,
c. Mengembangkan norma-norma yang ketat mengenai apa yang boleh dikatakan pada siapa,
d. Membatasi siapa yang boleh pergi, di dalam rumah, dan bagaimana setiap ruang di dalam rumah
digunakan,
e. Menguragi interaksi sosial dengan rekanan di dalam rumah, sebaliknya mendorong agar hal itu
terjadiruang publik dan
f. Belajar menghargai tingkat yang lebih tinggi dari stimulasi sosial.

5. Kesesakan dan Desain Arsitektur


Apabila masalah yang ada adalah kesesakan, solusi desainnya jelas menyediakan lebih banyak
ruang. Dengan pertimbangan biyaya dan keduannya kesesakan tidak selalu berarti kepadatan yang
tinggi. Berikut ini beberapa contoh tatanan ruang dalam desain arsitektur.
a. Permukiman
Rumaha adalah lingkungan primer yang paling penting dalam hidup seseorang. Dalam desain
tempat tinggal seperti asrama di hindari lorong yang panjang. Penempatan pintu dapat
menguranggi kesesakan panjangnya lorong meskipun pintu tersebut tidak terkunci. Pembagian
lorong menjadi dua mampu mengurangi kepadatan, mendorong penggunaan fasilitas public secara
terpisah oleh dua kelompok penghuni, dan di bantu oleh pembentukan kekerabatan dalam
kelompok.
Gery Evans (1979) mengusulkan penguraian kesesakan dengan memberi peluang bagi
penghuni untuk membagi ruang, seperti partisi meskipun tidak kedap suara dapat menguragi
gannguan visual di antara individu yang harus berbagi ruang sehingga mampu mengurangi beban
ganguan dan meningkatkan rasa control. Kadang-kadang control penuh atas sebuah ruang kecil
lebih disukai dari pada berbagi control atas ruang besar.
b. Ruang publik
Dalam sebuah ruang tunggu kantor pemerintah, adanya partisi justru meningkatkan kesesakan
karena orang yang sedang menunggu merasa seperti mereka sedang digiring, tidak lagi merasa
bebas. Dengan demikian, selain memperluas ruang, usaha untuk mengguranggi efek negatif dari
kesesakan adalah membuat zona-zona perilaku.
Taman-taman kota atau hutan terbuka merupakan tempat yang disukai warga untuk melepas
diri dari kesesakan kehidupan kota. Kesesakan mungkin terjadi dipintu-pintu masuk taman
rekreasi, tempat berkemah misalnya. Akan tetapi, keberadaan ruang terbuka ini sanggat
bermanfaat untuk kenyaman warga.
Tempat hunian terpadat adalah sel dalam penjara. Penambahan jumlah penghuni, tidak hanya
meningkatkan kepadatan, tetapi kerap kali juga menimbulkan dampak seperti kerusuhan dan
perkelahian.

D. PRIVASI (PRIVACY)

1. Apakah privasi itu?


Privasi adalah keinginan atau kecenderuangan pada diri seseorang untuk tidak diganggu
kesendiriannya. Dalam ilmu psikoanalis, privasi berarti dorongan untuk melindunggi ego seseorang
dari gangguan yang tidak di kehendakinya.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


80
Laurens
Seperti halnya dengan ruang personal, privasi merupakan suatu proses yang sangat penting dalam
hidup manusia. Untuk mampu mendapatkan privasi, seorang harus terampil membuat keseimbangan
antara keinginannya dan keinginan orang lain dan lingkungan fisik di sekitarnya. Amos (1977)
mengemukakan bawah privasi adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk
mengendalikan interaksi mereka dengan orang lain baik secara visual, audial, maupun olfaktori
untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.
Irwin Altman (1979), seorang toko dalam psikologi lingkungan, dalam gagasannya mengenai
privasi sebagai kontrol selektif dari akses pada diri sendiri ataupun kelompok.
Dapat di artikan inti dari privasi adalah adanya menajemen informasi dan menejemen interaksi
sosial sehingga akses pada dirinya sendiri dapat diartikan informasi mengenai dirinya sendiri ataupun
berarti interaksi sosial dengan dirinya. Biasanya kita berpendapat bawah setiap individu akan
mencapai privasi, tetapi Westin (1967) mengatakan bawah kadang-kadang kita juga ingin berada
dalam kesendirian bersama seseorang atau beberapa orang yang kita pilih.
Setiap orang mendambakan beberapa di tampat khusus yang menjadi faforitnya bersama
seseorang yang dikasihinya; dalam hal ini kedua insan ini mencapai privasi. Atau sekelompok remaja
ingin merayakan suatu acara seperti pesta ulang tahun atau bercanda bersama kelompok bermainya
tanpa diganggukelompok lain. Disini mereka juga mereka mendapatkan privasi. Ini yang di maksud
oleh Altman sebagai akses pada diri sendiri ataupun kelompok.
Kata akses pada diri sendiri juga dapat di artikan lewat berbagai jalan. Misalnya, Sri Paus
pemimpin tertinggi umat Katolik , seringkali berdiri di atas balkon gereja untuk menyampaikan
pidatonya, umat dapat melihatnya, dapat mempunyai akses visual. Akan tetapi, tidak seorang pun
umat yang bertatap muka dan berbincang dengannya. Artinya, Sri Paus mempunyai privasi yang
tinggi meskipun banyak orang melihatnya. Seseorang dapat mencri privasi dengan mengunci diri
dalam kamar kerja untuk bekerja, tetapi membiarkan diri diganggu oleh musik.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


81
Laurens
Dalam banyak percakapan orang memberikan lawan bicaranya mempunyai akses kepadanya
secara visual ataupun akustikal. Artinya, kita bebas melihat dan mendengarnya, tetapi sama sekali ia
tidak memberikan akses untuk kita menyentunya. Karyawan yang bekerja diruang kerja terbuka
sering menggeluh karena tidak mempunyai privasi, merasa segalah pembicaranya dapat di dengar
orang lain meskipun sesunggunya ia mendapatkan privasi visual. Contoh-contoh ini menggambarkan
betapa kompleksnya penting tentang privasi pada saat beberapa jalur komunikasi dapat terbuka
sementara jalur yang lain tertutp.
Pengertian privasi menunjukan adanya control selektif, tidak serba otomatis, dan privasi tidak
berarti menutup semu jalur, tetapi mampu mengontrol terbuka dan tertutupnya jalur komunikasi.
Karna pengertian yang kompleks, mengatur privasi pun harus dilakukan dengan hati-hati. Privasi
termanifestasikan dalam perilaku, tata nilai, kepercayaan, dan harapan. Pada salah satu studi
(Walden, Nelson, Smith, 1981) dikemukakan bawah preferensi privasi pada penghuni asrama adalah
kondisi kehidupan yang ramai dan bukan yang sunyi.

Terlepas dari preferensi privasi, perilaku dan tata nilai, setiap orang mempunyai keragaman
harapanakan privasi, bisa rendah bisa tinggi. Hal ini bergantung pada polah perilaku, konteks
kurtural, kepribadian seseorang, dan aspirasinya, parah penghuni penjara, misalnya mempunyai
privasi yang sanggat rendah.
Invasi pada privasi terjadi ketika seseorang secara fisik mengganggunya atau bila seseorang
seseorang mengumpulkan informasi tentang dirinya. Padahal, sesunggunya ia tidak ingin hal itu di
ketahui orang lain. Privasi dapat difasilitasi atau sebaliknya dimusnakan oleh rancangan fisik
ditempat tinggal, tempat keja, sekolah tempat-tempat umum atau bangunan pemerintahan. Privasi
sangat terkait erat dengan ruang personal, teritorialitas dan kesesakan bahkan terkait dengan
bagaimankita berbicara, pada perilaku nonverbal dan juga pada proses pengembanggan diri. Privasi
melibatkan proses psikologi lainya, seperti emosi, identitas diri, dan kemampuan orang melakukan
kontrol.
Altman melihat privasi sebagai konsep sentral dari semua proses menejemen ruang. Ruang
personal dan teritori merupakan mekanisme ketika orang dapat mengatur privasinya dari kesesakan
(crowding) merupakan merupakan kegagalan memperoleh privasi.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


82
Laurens
2. jenis privasi
Holahan (1982) perna membuat alat untuk mengukur kadar dan mengetahui jenis privasi dan ia
mendapatkan bawah ada enam jenis privasi, terbagi dalam dalam dalam dua golongan.

a. Golongan pertama adalah keinginan untuk tidak diganggu secara fisik. Golongan ini terwujud
pada tingkah laku menarik diri.
(i) Keinginan menyadari (solitude). Privasi dapat diperoleh karena dibatasi oleh elemen
tertentu sehingga bebas melakukan apa saja dan bebas dari perhatian orang lain.
(ii) Keinginan menjauh (seclusion) dari pandangan dan gangguan suara tetangga atau
kebisingan lalu lintas.
(iii) Keinginan untuk intem dengan orang-orang (intimacy). Misalnya, dengan keluarga atau
orang tertentu saja seperti kekasi, tetapi jauh dari semuah orang lainnya. Privasi diperoleh
tidak pada lingkungannya, tetapi yang terbangun di tengah-tengah kegiatan.

Berbagi tempat dipilih untuk mendapatkan privasi tertentu, misalnya seseorang yang menginkan
solitude, akan memilih teritori public, yaitu tidak ada seseorang pun mempunyai control terhadap
siapa yang bisa masuk ke dalam ruang tersebut. namun, orang mencari intimacy lebih sering memilih
teritori primer, yaitu ia mempunyaikontrol yang cukup terhadap siapa yang masuk ke dalam ruang
yang bersangkutan.

b. Golongan kedua adalah keinginan untuk menjaga kerahasiaan diri sendiri yang terwujud dalam
tingkalaku hanya memberi informasi yang perlu (control of information), yaitu
(i) Keinginan merasiakan diri sendiri (anonymity). Privasi yang diperoleh ketika berada
diantara sesama didaerah orang lain sehingga seseorang bebas berperilaku berbeda dengan
yang biasa dilakukannya, tetapi tidak ingin diketahui identitasnya. Misalnya, dandanan
para turis, persiden yang ber-incognito di antara rakyatnya untuk mengetahui bagaimana
kehidupan sesunggunya berjalan.
(ii) Keinginan untuk tidak mengungkapkan diri terlalu banyak keada orang lain (reserve).
Privasi ketika seseorang dapat mengontrol sepenunya kondisi bawah ia tidak dapat
diganggu dan ia yakin merasa aman karena tidak memiliki barier psikologis terhadap
adanya gangguan. Oaring yang berada disekitarnya menghargai dirinya yang ingin yang
membatasi komunikasi tentang dirinya dengan orang lain.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


83
Laurens
(iii) Selanjutnya, keinginan untuk tidak terlibat dengan para tetangga (not neighboring). Tidak
suka kehdupan bertetangga.
Meskipun ada kecenderungan pada golongan kedua ini untuk merahasiakan sesuatu tentang diri
sendiri, antara privasi dan kerahasian terdapat perbedaan yang hakiki. Perbedaan antara kedua
konsep itu (Werren dan Leslett, 1977 dalam Sarlito, 1992) adalah privasi merupakan consensus
masyarakat dan hak individu yang diakui oeh masyarakat. Sementara itu, kerahasiaan lebih
mempunyai konotasi negatif, tidak disukai masyarakat, dan tidak ada kaitannya dengan hak individu.

3. Tujuan Privasi
Dari uraian tersebut jelaskan bawah privasi merupakan inti dari ruang personal. Privasi adalah
kehendak untuk mengontrol akses fisik ataupun informasi terhadap diri sendiri dari pihak orang lain.
Sementara itu, ruang personal dan perwujudan privasi itu dalam bentuk ruang.
Dengan demikian privasi ini juga mempunyai fungsi dan merupakan bagian dari komunikasi.
Disimpulkan bawah privasi mempunyai tujuan sebagaiberikut.
a. Memberikan perasaan berdiri sendiri, mengembangkan identitas pribadi. Privasi merupakan
bagian penting dari ego seseorang atau identitas diri. Solitude dan intimacy khususnya dapat
digunakan seseorang untuk mengevaluasi diri, merenung bagaimana hidupnya telah berjalan,
bagaimana hubungan dengan sesamanya, dan apa yang harus dilakukanya.
b. Memberikan kesempatan untuk melepaskan emosi. Dalam kesendirian seseorang bisa berteriak
keras-keras, menangis memandang wajanyanya sendiri di cermin, dan berbicara dengan dirinya
sendiri. Masyarakat bisa membuat seseorang mampu menahan emosinya sehingga tidak
meledakannya didepan umum, kecuali dalam peristiwa tertentu seperti kematian.
c. Membantu mengevalwasi diri seniri, menilai diri sendiri. Kurangnya control atas lingkungan fisik
ataupun sosial menimbulkan rasa kurangnya rasa otonomi atau indenpedensi seseorang.
Lingkungan fisik dapat berperan sebagai mediator antara privasi dan control. Orang-orang kaya
mampu mengontrol aksesnya pada orang lain dan akses orang lain terhadapnya hampir disetiap
saat karena ia mampu menyediakan ruang-ruang pribadi, kantor pribadi, klub pribadi, transportasi
pribadi, seperti mobil dan pesawat sendiri. Apabila seseorang berada disuatu lingkungan baru
yang lebih privat, ia akan merasa memiliki control yang lebih besar atas kehidupannya.
d. Membatasi dan melindunggi diri sendiri dari komunikasi dengan orang lain. Salah satu alasan
seseorang mencari privasi adalah membatasi dan melindungi percakapan yang dibuatnya.
Apabilah seseorang ingin berbicara dengan seorang teman, pengacara atat konselornya, gurunya
mengenai hal bersifat pribadi, ia akan mencari tempat yang di anggapnya privat. Banyak hal yang
inggin disampaikan tertahan penyampaiannya karena tidak ada tempat yang dianggap cukup
privat untuk melindunggi percakapan tersebut. karyawan yang bekerja diruang terbuka (kantor
dengan open plan layout) kerap kali merasa kehilangan privasi. Mereka merasa kurang dapat
berbicara dengan bebas (Herbert, Brown, 1982).

4. Privasi dalam Desain Arsitektur


Tujuan dari perencangan adalah memberi setiap orang privasi besar mungkin sesuai dengan
diinginkanya meskipun hal ini tidak berarti membangun rumah, kantor, sekolah, atau bangunan
umum berupa kompertemen terpisa bagi setiap orang.
Yang pentinga adalah hidup dan bekerja dalam suatu tatanan yang memungkinkan bagi orang
individu untuk memilih keterbukan atau ketertutupan dalam berinteraksi dengan orang lain. Karena

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


84
Laurens
itu, lahirlah hirarki ruang. Mulailah dari ruang yang sangat publik hingga ruang yang sangat pribadi
atau privat.
Tempat-tempat umum seperti mal sering kali lebih merupakanntempat berinteraksi dengan orang
asing dari pada dengan teman. Sementara itu pada tatanan ruang yang lebih kecil, orang akan lebih
banyak orang berhadapan dengan teman. Sementara itu, pada tatanan ruang yang lebih kecil, orang
akan lebih banyak berhadapan dengan teman atau orang yang sudah dikenalnya. Pada umumnya,
interaksi yang terjadi diruang public adalah interaksi yang tidak direncanakan.
a. penataan ruang public untuk mendapat privasi merupakan penataan ruang agar pertemuan
antara orang-orang asing, yang tidak saling mengenal dapat terjadi dengan tenang dan efisien.
Tenang diartikan sebagai terdapat control terhadap perhatian yang diinginkan. Misalnya
pengamatan atau sorotan pencopet, penjambret, atau pemerkosa. Efisien dalam pengertian
penataan ruang sedemikian rupa agar tidak terjadi tabrakan, yang bisaberakibat transaksi
bisnis tidak jadi berlangsung. Hal ini juga berartimerancang penataan ruang agar terjadi
interaksi yang positif diantara sesama orang asing yang akan berinteraksi, misalnya makan
bersama di plaza dan ruang-ruang bersama.

b. Ruang-ruang semipublik sedikit lebih privat dari pada ruang public, seperti kordinator di
sebuah apertemen, taman-taman umum dilingkungan perumahan, di sekolah, atau lobi.
Penataan ruang semipublik untuk mendapatkan privasi lebih menekankan peluang terjadinya
interaksi atau menghidari terjadinya interaksi. Misalnya, ruang baca perpustakaan. Privasi
dapat di peroleh dengan penetapkan sekat pemisa yang mampu memberi privasi secara visual
bukan secara akustik. Dalam perancangan kompleks perumahan, penataan ruang diarahkan
agar prnghuni saling bertemu, mengenal, dan kemudian membentuk komunikasi yang akrab.
c. Ruang semiprivate termasuk tempat-tempat seperti kantor dengan tatanan terbuka, ruang
kumpulpara dosen, ruang tunggu VIP atau ruang keluarga tempat kelompok orang yang
hetorogen dapat bertemu, namun tetap tidak terbuka untuk kelompok lainya. Dalam hal ini
mendapatkan privasi adalah dengan menciptakan batas-batas antar kegiatan yang dapat
menimbulkan konflik. Seringkali merancang ruang semiprivate ini sukar, kecuali apabila
dikaitkan dengan keberadaan ruang privat ketika penggunannya dapat berkurang karean
orang dapt pergi menuju ruang privatnya.
d. Ruang privat biasanya hanya terbuka bagi seseorang atau sekelompok kecil. Arsitek yang
peka dapat merancang ruang untuk memaksimalkan kemampuan individu dalam mengatur
interaksi di antara sesamanya.

Contoh desain sebuah rumah sesunggunya secara relatife sudah merupakan suatu ruang yang
privat. Rumah-rumah di perkotaan dengan tembok dan pintu mungkin merupakan mekanisme yang
paling umum digunakan arsitek untuk membentuk privasi meskipun banyak terkait dengan besarnya
lahan atau jarak ke tetangga.
Di dalam rumuh di perlukan adanya berbagai tingkat privasi bagi penghuni rumah. Besarnya
rumah tidaklah menjadi penghalang untuk mendapatkan privasi,bahkan sering kali yang terjadi
adalah terbatasnya ruang, atau penataan ruang yang kurang baik sehingga penghuni rumah tidak
mempunyai privasi. Diluar rumah, privasi dapat beragam sebagai fungsi dalam desain di suatu
kawasan hunian. Pada hunian bertingkat banyak seperti apaertemen, terdapat berbagai ruangan yang
memberi privasi sangat rendah dibandingkan dengan ruang di dalam unit apaertemen, seperti ruang

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


85
Laurens
lobi lift atau ruang public lain. Pada umumnya, ruang publik di hunian bertingkat rendah lebih
menawarkan privasi dari pada di hunian bertingkat banyak. Penghuni mempunyai hubungan sosial
dengan tetangganya lebih baik daripada dihunian bertingkat banyak.
Panjang lorong dapat menguranggi privasi penghuni (Baum, Aiello, Calesnick, 1979). Rendanya
privasi dirasakan penghuni karena ia harus berpapasan dengan orang yang tidak dikenalnya di
gedung tempat tinggal. Christopher Alexander dalam merancang hunian murah di Peruvian, dengan
ruang dalam yang sanggat terbatas, membuat privacy gradient atau tinkat privasi yang berjenjang,
yaitu dengan menempatkan ruang public di dekat pintu masuk dan berjenjang hingga ruang yang
sangat privat pada lokasi terjauh dari pintu masuk.
Pada desain bangunan umum, seperti rumah sakit dan rumah jompo, umumnya privasi menjadi
hal yang terabaikan. Biasanya kendala keuangan menyebabkan tidak setiap individu mempunyai
ruang untuk mendapatkan solitude, bahkan jenis privasi lain pun sering kali sanggat sedikit
diperhatikan. Beberapa usulan dalam desain bangunan seperti ini, misalnya tidak adanya pandangan
langsung dari pintu masuk ke area-area yang privat, seperti tempat tidur dan kamar mandi.

Serkulasi pun dapat di desain sedemikian rupa sehingga tidak memberikan tamu terlihat atau
melewati ruang tidur untuk menuju toilet umum. Ruang semipublic dalam dalam sebuah kompleks
seperti ini dapat dirancang agar penghuni bisa mengamati tamu yang masuk, dapat melihat kegiatan
yang terjadi, tetapi sekaligus menguranngi kemungkinan adanya gangguan, memperhatikan privasi
visual, audial maupun informasional, khususnya bagi penghuni.
Pada desain perkantoran belakangan ini banyak sekali isu yang muncul tentang rendanya tingkat
kepuasan pemakai ruang kerja terhadap privasi ruang mereka. Frank Becker (1981) mengatakan
bawah seringkali arsitek merancang ruang kerja dengan perpatokan pada luas meter persegi ruang
per orang karena pertibangan efesiensi. Padahal, pegawai sangat melakukan privasi, bahkan lebih
penting daripada kenyamanan fisik, seperti suhu, ventilasi, perabot, penerangan, view, dan estetika
secara umum (Farrenkopt, 1980).
Tingkat terisolasi sebuah ruang kerja bergantung pada jenis pekerjaan, preferensi personal, dan
kaidah sosial. Ada sejumlah pekerjaan menuntut ruang solitude, ada pulah pekerjaan yang menuntut
ruang terbuka atau komunikasi antara depertemen. Ada orang yang lebih suka bekerja di ruang
terbuka bukan ruang pribadi yang tertutup, seperti penulis yang melakukan diskusi atau
brainstorming karyawan dengan rekan kerjanya sebagai suatu tim. Sementara itu, interaksi sosial
seperti percakapan informal kerap kali terjadi di lorong dan di ruang makan, sedngkan keputusan-
keputusan penting seperti yang menyangkut masalah keuangan akan di ambil seseorang atau
sekelompok orang diruang tertutup, atau wawancara dengan seseorang pelamar juga memerlukan
privasi.
Karena itu, desain sebuah kantor pun tidak tepikal dan hanya mengikuti tradisi, tetapi harus
disesuaikan dengan kegiatan dan karakteristik dari pekerjaan yang dilakukan didalamnya, perferensi
personal, dan norma-norma. Perferensi, harapan, nilai, dan perilaku seseorang berbeda satu sama lain
dan berbeda dari waktu ke waktu karena setiap individu berusaha mendapatkan privasi dalam
berbagai tingkatan yang dibutukannya.
Privasi terkait dengan proses psikologis lain, seperti mekanisme dan kendali menejemen ruang,
komunikasi, identitas, dan pertumbuhan. Lingkungan fisik arsitektural berperan memfasilitasi pivasi
ini, baik dalam arti mempermudah maupun memaksa orang dalam keterbatasan ruang arsitektural

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


86
Laurens
untuk menjadi kreatif dalam mendapatktan privasinya. Kreativitas arsitek pada bangunan atau ruang
publik dituntut untuk dapat memaksimalkan kemampuan individu dalam mengatur interaksi dengan
sesamanya.
Terdapat sejumlah paduan desain yang disusun dengan tujuan membuat arsitek merancang
lingkungan agar memuaskan pengguna. Salah satu paduan desain sebuah kantor atau tempat kerja
sebagai berikut.
(a) Perlindungan dan keamanan(shelter dan security) mencakup perlindungan yang cukup
terhadap ganguan iklim, seperti adanya penerangan alami tanpa harus menimbulkan
kesilauan, atau fantasi alami yang memberi udara segar tanpa menimbulkan ganguan tipan
angina di dalam ruang kerja.
(b) Kontak sosial
adanya suatu keseimbangankomunikasi,tidak terlalu banyak dan terlalu minim, ada
privasi.
(c) Pemenuhan pekerjaan
tatanan ruang mikro dan manusia dengan peralatan kerjanya untuk memfasilitasi
penampilan kerja yang baik yang baik.
(d) Identifikasi simbolis
Simbolis-simbolis tempat kerja yang dapat menunjukan staus pekerjua dalam arti positif.

(e) Pertumbuhan
Kesempatan untuk melalukan eksplorasi dan belajar.
(f) Kegembiraan
Adanya kendali stimulasi kenyamanan dan stimulasi kenyamanan dan tuntutan estetika.

Paduan ini di harapkan dapat menjdi jalan untuk dapat menjawab apakah desain lingkungan
tempat kerja telah membentuk fisik tidak menjadi factor yang menekan moral pekerja. Berbagai hal
di luar fisik yang menjadi perhatian steele, termasuk hal-hal positif seperti pertumbuhan, identifikasi,
dan kontak sosial. Paduan ini merupakan perkembangan dari teori hierarki kebutuhan dasar manusia
yang dikembangkan oleh Maslow (lihat Bab1).
Memang paduan semacam ini akan berlaku khusus untuk masalah desain tertentukarena tidak ada
daftar lengkap yang bisa mencerminkan kebutuhan semua pengguna bangunan ataupun arsitek.
Namun, adanya paduan semacam inin dapat memberi gambaran kebutuhan yang kerap kali muncul
pada pengguna ataupun arsitek.

Daftar pustaka anjuran


Sommer, Robert. 1969. Personal space: the behavioral basis of design. Englewood cliffs. New York:
prentice-hall.
Hall, edwar. 1959. The silent language. Garden city. New York: doubleday.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


87
Laurens
BAB 5
POLA PERILAKU DAN LINGKUNGAN

Nowhere else are large group af individuals packed so closely together for so many hours, yet
expected to perform at peak afficiency on difficult learning tasks and to interact harmoniously.
Carol Weinstein, 1979

Salah satu alasan dasar menciptakan atau menata ulang kota, bagian kota, membangun bangunan,
taman atau system infranstruktur adalah menyediakan sarana untuk berbagai aktivitas manusia.
Seperti tidur, bekerja, rekreasi, ibada sebagai pemenuhan berbagai tingkat tuntutan kebutuhan
manusia seperti diuraikan dalam hierarki kebutuhan oleh Maslow.
Dalam pemenuhan kebutuhannya tersebut, terlihat adanya pola perilaku penggunanya. Barker
(1968) seorang tokoh psikologi ekologi yang mengembangkan penelitian perilaku individual di
lapangan, bukan di laborotorium seperti pada umumnya penelitian psikologi tradisyonal, menelusuri
pola perilaku manusia berkaitan dengan tatanan lingkungan fisiknya, dan melahirkan konsep “tatar
perilaku” (behavior setting).
David Haviland (1967) memakei istilah “ruang - aktivitas” untuk menggambarkan suatu unit
hubungan antara perilaku dan lingkungan bagi perancangan arsitektur. Konsep ruang aktivitas dan
tatar perilaku ini dapat dikatakan sama.
behavior setting terjadi pada pertemuan antara individu dan lingkungannya. Apabila bangunan
atau lingkungan binaan sudah pakai dan ternyata digunakan dengan cara yang tidak teriantisipasi
sebelumnya oleh perancang, ataupun terdapat perilaku pengguna secara tiba-tiba dan tidak terduga
ketika memasuki lingkungkungan tertentu, pengamatan behavior setting ini akan menjadi data
masukan yang sangat menarik bagi arsitek ataupun perancang lingkungan, baik perancangan
lingkungan, baik untuk perancangan fasilitas sejenis maupun untuk penataan ulang fasilitas yang
bersangkutan.
Tampaknya lebih mudah bagi arsitek untuk memakai kriteria nonperilaku untuk evaluasi
penggunaan metode statistic ataupun eksperimental untuk mengendalikan varian kesalahan.
Namun, pengamatan behavior setting ini arsitek dapat mengenal system sosial dari dalam setting
ini arsitek dapat mengenal system sosial dari dalam setting, dalam arti melihat pola-pola perilaku
systematis yang ditunjukan oleh penghuni lingkungan tertentu. Bagi para psikolog, pengamatan ini
memberi pandangan tentang manusia yang mengalami tekanan situsyonal, yang sering kali
berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Dengan demikian, hasil pengamatan ini dapat memperluas
wawasan pengetahuan arsitek dan perencangan lingkungan tentang manusia dari perspektif yang
berbeda, bukan hanya teoretis semata.
A. UNIT TATAR PERILAKU (Behavior Setting Unit)

Lingkungan fisik terdiri atas seperangkat permukaan dengan berbagai kualitas (lihat pembahasan
bab 3). Meskipun kadang kala lingkungan dirancang untuk tujuan estetika semata, pada umumnya
tujuan perancangan suatu lingkungan adalah guna memenuhi aktivitas tertentu. Salah satu cara bagi
para perancang lingkungan untuk memenuhi tuntutan aktivitas tersebut adalah dengan mengacu pada
system aktivitas yang terdiri atas suatu sirku perilaku (perin,1970).

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


88
Laurens
“…. Apa yang dinyatakan oleh suatu sirkuit perilaku adalah ergonomic antropologis, membawa perilaku orang
menuju pemenuhan kebutuhannya sehari-hari pada berbagai skala: ruangan, rumah, blok, lingkungan, kota, untuk
mempelajari sumber-sumbermana manusia dan lingkungan fisik-yang diperlukan untuk mendukung atau memenuhi
kebutuhanya.”

1. Defenisi behavior setting


Roger Barker dan Herbert Wright memakai istilah behavior setting berdiri sendiri secara
independen, tidak terkait dengan investigatornya. Akan tetapi untuk tujuan ilmiah, diperlukan
definisi yang lebih akurat, terukur, dan terutama mengetahui derajat ketergantungan antarunit.
Ketika seorang dosen menyiapkan suatu perkuliahan, atau seorang direktur menyusun agenda
rapat tim direksinya, setiap orang bertindak untuk memastikan akan keberadaan suatu behavioe
setting. Pada setiap kasus tersebut, direncanakan adanya serangkaian aktivitas bersama orang lain
ketika terdapat sejumlah pola perilaku tertentu yang dikombinasikan dengan objek tertentu dalam
batasan ruang dan waktu tertentu.
Pada contoh di atas terlihat bahwa ada sejumlah syarat untuk terbentuknya sebuah behavior
setting. Tanpa kelengkapan tersebut, misalnya tidak terdapat orang lain selain dosen, rangkaian
aktivitas dalam setting tersebut tidak ada. Lalu, bagaimana seseorang bisa mengetahui bahwa ia
sedang menghadapi dua bagian yang berbeda dari behavior setting yang sama, seperti dihadapkan
pada dua entitas yang berbeda? Dari contoh aktivitas perkuliahan dan rapat direksi, terlihat dengan
jelas perbedaan tersebut. kuliah tidak sama dengan rapat direksi. Akan tetapi, dalam kasusu ini pun
kita perlu memastikan apakah dua perkuliahan dari kelas yang sama dapat menghasilkan dua setting
yang berbeda? Atau dalam setting rapat direksi yang sama, apakah terdapat pola aktivitas yang
berbeda?
Untuk menjelaskan hal semacam inilah, Roger Barker mengembengkan pengujian struktur dan
tingkat independensi dari behavior setting. Uji structural ini terdiri atas sejumlah kriteria dan tanpa
kelengkapan kriteria ini maka sebuah entitas tidak dapat dikatakan sebagai sebuah behavior setting.
Behavior setting didefinisikan sebagai suatu kombinasi yang stabil antara aktivitas, tempat, dan
kriteria sebagai berikut.1
a. terdapat suatu aktivitas yang berlubang, berupa suatu pola perilaku (standing pattern of
behavior). Dapat terdiri atas satu atau lebih pola perilaku ekstraindividual.
b. Dengan tata lingkungan tertentu (circumjacent milieu), milieu ini berkaitan dengan pola
perilaku.
c. Membentuk suatu hubungan yang sama antar keduannya (synomorphy).
d. Dilakukan pada periode waktu tertentu.

Istilah ekstraindividual menunjukkan fakta operasional bahwa sebuah setting tidak bergantung
hanya pada seorang manusia atau objek. Dalam contoh perkuliahan atau rapat direksi, mungkin saja
terjadi bahwa dosen yang mempersiapkan kuliah dan direktur yang menyusun agenda rapat tidak
bisa menghadiri kegiatan dalam setting tersebut, tetapi behavior setting masih tetap bisa berjalan
dengan adanya orang pengganti. Demikian pula dengan objek dan lokasi, biasanya tidak ada objek
atau lokasi yang sedemikian pentingnya dalam sebuah setting sehingga tidak tergantikan. Yang
penting adalah konfigurasi secara keseluruhan, bagian demi bagian.
Istilah circumjacent milieu merujuk pada batas fisik dan temporal dari sebuah setting. Setiap
behavior setting berbeda dari setting lainnya menurut wakru dan ruang. Seseorang hanya bisa
menjadi partisipan dalam sebuah behavior setting apabila ia masuk kedalam setting tertentu pada
waktu dan tempat yang tepat.
ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella
89
Laurens
Sementara itu, synomorphic yang berarti ‘struktur yang sama’ menunjukkan adanya hubungan
antara milieu dan perilaku. Batas-batas milieu dan bagian internal sebuah setting tidak ditentukan
secara sembarangan, tetapi merupakan sesuatu yang harus selaras dengan pola perilaku
ekstraindividual dalam setting. Bagian ini merupakan bagian yang terpenting bagi arsitekdan
perancang lingkungan karena bagian inilah yang diotak-atik oleh perancang.
Ketidak hadiran seseorang atau suatu bagian memang dapat menimbulkan perbedaan dalam hal
berfungsinya suatu setting. Akan tetapi, tidak berarti bahwa bagian itu menghalangi terjadinya
sebuah behavior setting. Dengan demikian, bebarti suatu tatanan fisik tertentu bisa menjadi bagian
dari beberapa behavior setting apabila aktivitas yang terjadi berbeda-beda dan pada waktunya yang
berbeda pula. Melalui definisi ini terlihat bahwa setiap kriteria menunjukkan atribut tertentu dari
sebuah setting.

2. Pola Perilaku.
Suatu pola perilaku bisa terdiri atas beberapa perilaku secara bersamaan, antara lain sebagai
berikut:
a. Perilaku emosyonal
b. Perilaku untuk menyelesaikan masalah;
c. Aktivitas motoric;
d. Interaksi interpersonal;
e. Manipulasi objek.
Kombinasi dari perilaku ini membentuk suatu pola perilaku, terjadi pada lingkungan fisik
tertentu, atau pada milieu-nya

Suatu behavior setting mempunyai stuktur internal sendiri. Setiap orang atau
kelompokberperilaku berbeda karena masing-masing mempunyai peran yang berbeda-beda.
Misalnya di dalam sebuah kelas, guru mempunyai perans sebagai pelajar, ia menempati posisi
tertentu dimuka kelas misalnya berupa panggung untuk memungkinkan ia melihat seluruh kelas dan
mengendalikan pola perilaku yang terjadi.
Banyak stuktur behavior setting yang dibedakan berdasarkan siapa yang memegang kendali
aktivitas, seperti peran pendeta dalam kegiatan peribadatan di sebuah gereja. Atau peran artis dalam
sebuah pertunjukan musik.
Barker menamakan daerah yang ditempati oleh si pengendali atau pemegang kontrol tersebut
sebagai performance zone. Namun, tidak semua tatanan mempunyai performance zone dibedakan
desainnya secara arsitektural. Mialnya, ruang diskusi atau ruang rapat. Tatanan fisik bagi pemimpin
rapat sama dengan peserta rapat lainnya. Sebuah contoh behavior setting yang terjadi dalam sebuah
toko digambarkan oleh Paul Gump (dalam lang, 1987) dengan analisa sebagai berikut.
Seseorang berada dalam suatu konteks nonhuman, yaitu sebuah toko dengan pembatas fisik
berupa dinding, pembagi ruang internal berupa gang diantara rak penjualan dan sejumlah benda yang
dijual.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


90
Laurens
Orang tersebut berada dalam suatu system perilaku ketika ia mempunyai peran dan sebaliknya
system tersebut mendukung aktivitas yang terjadi dalam toko. Dalam toko terdapat serangkaian
kejadian yang berurutan, sebuah program yang meliputi perilaku yang terjadi berulang-ulang, tidak
hanya pada seorang pembeli dan pedagang di toko tersebut.
Hubungan kesetaraan (synomorphy) yang terjadi di sini cukup rumit. Andil pembeli terhadap pola
perilaku yang terjadidi toko meliputi mencari dan memilih barang. Lemari-lemari panjang
memamerkan sejumlah makanan untuk proses mencari dan memilih tersebut. di sisi lain, pedagang
yang menata dagangnya harus mempunyai akses langsung dengan barang dagananya. Akan tetapi,
ilieu yang juga harus memungkinkan terjadinya interaksi antara pembeli dan pedagang, bukan di
desain untuk kepentingan pedangang atau pembeli saja. Artinya, lemari panjang itu memungkinkan
terjadinya interaksi antara pedagang dan pembeli. Seperti pembeli bisa melihat barang dagangan,
menanyakan harganya, memilih, kemudian pedagang memberikan barang yang dipilih dan atau
dibeli. Si pembeli bisa berhubungan dengan pedangang, tetapi tidak bisa memasuki daerah kerja si
pedagang.
Contoh di atas menggambarkan betapa kompleksnya perilaku manusia yang harus diwadahi oleh
suatu tatanan fisik dan terlihat bawah setiap behavior setting terdiri atas beberaapa sub perilaku yang
lebih sederhana.
Untuk mengetahui sejauh mana interdependensi antara dua entitas, yang masing-masing
mempunyai atribut untuk menjadi sebuah behavior setting, apakah mereka dapat dikatakan
merupakan satu atau dua behavior setting, dapat dilakukan pengujian. Pengujian derajat
ketergantungan ini ditinjau dalam berbagai dimensi lain meliputi
a. Aktivita;
b. Penghuni;
c. Kepemimpinan;
Dengan mengetahui posisi fungsional penghuni, dapat diketahui peran sosial yang ada dalam
komunitas tersebut. siapa berperan sebagai pemimpin. Siapa yang mengarakan acara atau
kegiatan dalam setting. Atau siapa yang mengendalikan behavior setting. Di banyak setting,
posisi pemimpin dapat dipisakan agar dapt dikenali kekuatan-kekuatan lain yang ada ikut
mengambil bagian dalam setting tersebut.
d. Populasi;
Sebuah setting dapat mempunyai banyak atau sedikit partisipan. Komunitas di anggap lebih
baik apabila memiliki banyak setting. Penghuninya bisa ikut aktifitas berpartisipasi dan tidak
atas perinta atau pengarahan pemimpinya saja.
ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella
91
Laurens
e. Ruang
Ruang tempat terjadinya setting tentu sangat beragam, bisa di ruang terbuka atau ruang
tertutup.
f. Waktu;
Kelangsungan sebuah setting dapat terjadi secara rutin atau sewaktu-waktu saja. Misalnya,
apel pagi tentara yang dilakukan setiap pagi atau sebuah perayaan upacara tuju belas agustus.
Durasi pada setting yang sama dapat berlangsung sesaat atau terus menerus sepanjang tahun,
misalnya pertokohan.
g. Ojek;
h. Mekanisme perilaku.

Tentu saja tidak ada batasan yang menyebuitkan jumlah dimensi dalam sebuah behavior setting.
Hal ini bergantung pada tujuan si pengamat sendiri. Ia akan menyeleksi dimensimana yang sesuai
dengan tujuan dan kepentingannya.
Mengacu pada tuju dimensi tersebut, apabila reting presentase tumpang-tindih antara ketujuh
dimensi tersebut rendah kedua etitas itu dikatakan sebagai dua behavior setting yang berbeda.
Sebaliknya, apabila presentasenya tinggi, artinya banyak dimensi yang tumpang tindi, kedua etitas
itu dikategorikan sebagai satu behavior setting.
Barker menguraikan sebelas pola aksi dalam setting, yang dapt segera diamati dan dicatat, ada
atau tidak adapun tidak ada dalam setting tersebut, yaitu berkaitan dengan estetika, bisnis,
pendidikan, pemerintah, nutrisi, aksi sosial, penampilan personal, kesehatan masyarakat,
professional, rekreasi, dan religious.
Setting juga dapat diamati dari sisi kuatnya tekanan pada orang yang beradaptasi. Adakah
otonomi yang dimiliki setting terhadap pengaruh dari luar? Seberapa jauh setting ini mampu
melayani kebutuhan berbagai populasi subgroup , atau bisa disebut sebagai kesejatraan anggotanya?
Manfaat dari pengujian semacam ini adalah mempersatukan berbagai minat kedalam sutau behavior
setting yang terencana dengan baik sehingga respons penghuni dapat terantisipasi dan terkendali
dengan baik.

B. BATAS BEHAVIOR SETTING


Di manakah batas sebuah behavior setting untuk dapat membedakan suatu setting lainya? Batas
suatu behavior setting adalah dimana perilaku tersebut berhenti. Ada beberapa kemungkinan bentuk
pembatas ini.
Batas yang idial adalah batas yang jelas seperti sebuah dinding massif. Dinding pembentuk batas
yang jelas merupakan batas akhir suatu setting dan batas awal setting itu tidak jelas , masalah yang
muncul adalah tidak jelasnya pemisahan ativitas, terutama apabila sebagian aspek dari pola perilaku
harus diperlukan, tetapi pemisahan secara audial sangat diperlukan.
Masalah juga muncul apabila pemisahan atau batas yang ada hanya berupa batas simbolik, bukan
batas fisik. Misalnya, melalui pola lantai, atau perbedaan warna lantai yang belum tentu dapat
dikenali atau diketahui oleh setiap orang yang terlibat dalam aktivitas di daerah itu. Kadang-kadang
tanda-tanda atau rambu yang di buat hanya dimengerti oleh sekelompok orang tertentu sehingga
menjadi tidak efektif lagi sebagai batas behavior setting.
Masalah batas behavior setting juga dapat terjadi karena tumpang-tindinya behavior setting.
Untuk mengatasinya selain dapat dibangun sebuah dinding sebagai batas yang jelas, juga dengan

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


92
Laurens
pengaturan administratif, atau kadang-kadang juga dipakai tanda-tanda simbolik. Untuk menentukan
pembatas macamapa yang diperlukan, harus diketahui terlebih dahulu derajat pemisahan yang
diperlukan untuk masing-masing behavior setting. Kadang-kadang juga terjadi bentrokan antara nilai
estetika-estetika dan kebutuhan demi kelangsungan sebuah aktivitas, antara idiologi mengenai
bagaimana seharusnya sesuatu ditata menurut arsitek perancangnya dan kenyataan perilaku manusia
penggunanya. Misalnya, dalam perancang ruang kerja. Idealisme membuat ruang kerja terbuka
dengan tatanan ala lanskap, akan berhadapan dengan kebutuhan dan preferensi penggunanya,
terutama dalam berinteraksi dengan sesama. Kerapkali di ruang kerja itu dirancang lebih fleksibel
dari pada fleksibilitas perilaku manusianya. Sebaliknya, terlalu banyak dinding pembatas juga akan
menimbulkan masalah bagi penggunanya karena sukarnya pengguna berinteraksi dengan sesama.

Dari uraian mengenai behavior setting tersebut jelas bahwa beberapa objek berfungsi membentuk
batas spasial dan objek lain berfungsi mendukung pola aktivitas yang terjadi didalamnya. Objek
pembentuk batas spasial mempunyai hubungan circumjacent dengan perilaku, yaitu objek pembatas
mengelilingi perilaku, sedangkan pada jenis objek yang kedua, yaitu sebagai pendukung pola
aktivitas, perilaku mengelilingi objek.
Apabila kita ambil contoh beberapa jenis objek seperti sebuah dinding masif dan pagar kawat,
kemudian kita bandingkan dengan sebuah cangkir dan asbak, terlihat bahwa dua objek terakhir
menimbulkan pola perilaku tertentu yang berbeda satu sama lain. Aktivitas minum dan aktivitas
membuang punting, sedangkan dinding massif dan pagar kawat tidak selalu mempunyai peran yang
jelas sebagai pembatas special, kadang –kadang fungsinya rancu karena juga menandakan
kemungkinan menjadi pendukung pola perilaku tertentu, misalnya aktivitas pameran.
Penggunaan objek (cangkir dan asbak) yang tidak pada tempatnya, misalnya cangkir untuk
membuang pontong rokok,dapat juga terjadi. Namun, hal ini dapat memberi tanda pembentuk atribut
pada pengguna, orang seperti apakah dia?
Semakin kuat spesifikasi perilaku yang melekat pada suatu objek dalam setting, seperti cangking
untuk minum berarti ia semakin berada di tengah medan persepsi manusia. Sebaliknya, objek-objek
pembatas special jarang berada dipusat kesadaran kita, bahkan mungkin tidak kita sadari
keberadaannya dalam sebuah setting.
Kedua jenis objek ini mungkin menjadi stimulasi untuk meniadakan pola perilaku tertentu dan
menempatkan pola perilaku yang lain. Karena synomorphy maka perubahan pada pembatas ataupun

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


93
Laurens
pada objek pendukung perilaku dapat diperhitungkan dan juga akan mengubah pola perilaku
peghuninya.
Dalam mengambangkan survey behavior setting, Barker memulai penelitiannya dari pengertian
akan interaksi internal dan hubunganm eksternal sebagai suatu perangkat perilaku. Hal ini dapat
bergantung pada keputusan seorang alhi dalam bidang aktivitas yang bersangkuta. Pada sebuah
organisasi formal atau komunal-baik yang berskala besar sebuah pabrik atau sekolah, atau berskala
kecil seperti sebuah rumah tinggal- hal penting yang harus di sadari perancang adalah system
aktivitas yang berlaku. Sejauh mana sebuah behavior setting harus bersarang, tumpang-tindih atau
terpisa satu sama lain dalam rangkaian sejumlah behavior setting yang ada.

1. Sistem Aktivitas
System aktivitas dalam sebuah lingkungan terbentuk dari rangkaian sejumlah behavior setting.
Sistem aktivitas seseorang mengambarkan motivasi, sikap, dan pengetahuanya tentang dunia dengan
batasan penghasilan, kompetensi, dan nilai-nilai budaya yang bersangkutan (chapin dan Brail 1969;
perteous, 1977). Dengan mengetahui system aktivitas inilah maka arsitek mulai merancang dan
mengolah bentuk batas-batas behavior setting; berupa batas fisik yang jelas atau batas simbolik atau
kombinasi keduanya; menata setiap setting dalam rangkaian system aktivitas.
Dalam pengamatan behavior setting, dapat dilakukan analisis melalui beberapa cara, antara lain
sebagai berikut.
a. Menggunakan Time Budget
Time budget memungkinkan orang mengurai/mendekomposisikan suatu aktivitas sehari-hari,
aktivitas mingguan atau musiman, ke dalam seperangkat behavior setting yang meliputii hari
kerja, atau gaya hidup mereka (Michelson dan Reed, 1975). Fungsi dari time budget adalah untuk
memperlihatkan bagaimana seorang individu mengonsumsi atau menggunakan informasi ini
meliputi hal-hal sebagai berikut.
(i) jumlah waktu yang dialokasikan untuk kegiatan tertentu.dengan variasi waktu dalam sehari,
seminggu, atau semusim.
(ii) frekwensi dari aktivitas dan jenis aktivitas yang dilakukan
(iii) Pola tipekal dari aktivitas yang di lakukan.

Dari data tersebut dapat diketahui pilihan yang dibuiat orang untuk melakukan perilaku tertentu.
Artinya, menjadi dasar yang mempengaruhi sikap, nilai, dan hirarki nilai seseorang ataupun
masyarakat setempat. Premis yang dipakai adalah aktivitas yang menyita waktu paling lama,
terutama di waktu paling lama, terutama di waktu senggang mereka.Ini, selain dapat di ketahui
Melalui informasi ini, selain dapat di ketahui fasilitas apa saja yang paling diamati, layanan yang
diperlukan, khususnya di area transportasi, area rekreasi atau perencanaan tata guna lahan, juga dapat
dianalisis bentuk organisasi yang ada.

b. Melakukan sensus
Sensus adalah istilah yang dikemukakan oleh para alhi psikologi lingkungan untuk
menggambarkan proses pembelajaran semua aktivitas seseorang individu dalam waktu tertentu
dengan metode pengamatan. Seperti yang dilakukan barker dan Wright dengan mengamati perilaku
seseorang anak sepanjang hari. Cara ini di pakai dengan tujuan mendapatkan pengertian mengenai,
misalnya bagaimana para pekerja menggunakan sebuah bangunan.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


94
Laurens
Untuk mendapatkan data mengenai pola interaksi dalam lingkungan tersebut, dilakukan
sejumlah pengamatan yang membandingkan bagian lingkunganan, atau membandingkan bagian
lingkungan yang sama pada waktu yang berbeda, dan membandingkan lingkungan yang berbeda
sama sekali. Biasanya tahun dilakukannya survey atau pengamatan merupakan suatu interval tertentu
untuk mendapatkan data rata-rata dari frekwensi perubahan yang mungkin terjadi karena adanya
pergantian penghuni, musim, atau factor lain.
Hal yang dapat mewakili data pengamatan behavior setting meliputi
(i) Manusia (siapa yang datang, ke man dan mengapa, siapa mengendalikan setting?);
(ii) Kar4akteristik ukuran (berapa banyak orang per jam objek yang di pakei setting,
bagaimana ukuran setting secara fisik, berapa sering dan berapa lama setting itu ada?);
(iii) Objek (ada berapa banyak objek dan apa jenis objek yang di pakakei dalam setting,
kemungkinan apa saja yang ada bagi stimulasi, respons, dan adaptasi?);
(iv) Pola aksi (aktivitas apa yang terjadi di sana, berapa sering terjadi pengulangan yang
dilakukan orang?);
Setiap setting diamati secara individual. Orang-orang yang memiliki informasi dan pengetahuan
dapat diamati keterangannya mengenai setting yang bersangkutan. Adanya sampel

Dari semua setting merupakan kekuatan metode ini karena dapat menghindari terjadinya masalah
sampling. Namun, sekaligus juga merupakan kelemahan metode ini karena menjadi sangat sulit
untuk mendekati semua lingkungan.
Dari observasi bisa di ketahui kondisi lingkungan secara fisik, seperti jumlah, jenis, dan tatanan
perabot yang ada. Melalui pengukuran yang lebih rinci bisa diketahui keadaan ambiennya, yang
sseperti suhu ruangan, kelembaban, pencahayaan ruangan, atau tingkat kebisingan.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


95
Laurens
Analisis system fungsional, termasuk aktivitas dan kelomponen fisik. Melalui pengamatan dapat
di peroleh data bagaimana ruang digunakan dan fungi-fungi apa saja yang ada. Seperti terlihat di
sini, ruang digunakan sebagi kantor dan gudang. Melalui pengamatan yang tajam, dapat dikenali
yang manakah aktivitas yang lebih tajam, dapat dikenali yang manakah aktivitas yang lebih
dominan.
Dengan tatanan kantor yang terbuka, ketika seorang staf masuk membawa sesuatu atau
mendiskusikan sesuatu atau mendiskusikan sesuatu dengan seseorang, staf lain terlihat terganggu.
Melalui pengamatan juga dapat di ketahui bagaimana interaksi antara kedua staf tersebut.

c. Studi asal dan tujuan


Studi asal dan tujuan adalah suatu studi yang mengamati, mengidentifikasi awal dan akhir dari
pola-pola pergerakan. Studi semacam ini menggambarkan pola perilaku yang sesunggunya terjadi,
bukan hanya seperti yang dibayngkan oleh arsitek, melainkan yang membementuk kehidupan
seseorang atau sekelompok orang. Studi asal dan tujuan merupakan pendekatan makro yang dapat di
terapkan pada skala urban atau skala bangunan.
Rancangan yang dibuat semata-mata berdasarkan imajinasi arsitek sering kali menjadi rancangan
yang ideal bagi arsitek, tetapi mungkin miskin akan affordances dan peluang-peluang bagi seorang
pengguna untuk memenuhi kebutuhanya.
Citra suatu tempat dapat di pelajari dari kelompok visual yang membentuk citra atau aurah tempat
atau lingkungan tersebut. bagaimana presepsi pengguna terhadap lingkungan dan memberi respons
terhadap lingkungan dan memberi respon terhadap affordances yang ada. Melalui studi asal dan
tujuan ini, yang dapat dilakukan dengan bantuan fotografi atau film, dapat dibuat rekaman untuk

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


96
Laurens
mengungkapkan pengalaman visual dan spasial dan mempelajari sekuen ruang serta perilaku
pengguna dalam ruang secara runtut dan logis.
Peristiwa, perilaku, dan objek yang terjadi dalam setting dan mungkin tidak teramati dalam setting
dan mungkin tidak teramati ketika pengamatan melintasinya dapat terekam, untuk kemudian
dianalisis secara lebih rinci.

Sebuah behavior setting seperti sebuah taman kota atau plaza, dapat di bagi menjadi beberapa
sub-setting. Kegairaan dan kehidupan dalam tempat-tempat semacam ini sangat bergantung pada
desain dari masing-masing sub-setting. Peluang atau affordances apa yang di tawarkan oleh sub-
settin tersebut. tempat teduh, penerangan yang cukup, tempat duduk yang cukup nyaman serta lokasi
yang memungkinkan orang melihat orang lain untuk menikmati dan menonton kejadian di
sekitarnya, menjadi daya untuk berkumpul.
Frampton (1980) mengkritik arsitektur dari pengerakan modern ataupun pascamoderen yang
tampak lebih gersang bagi behavior setting di bandingkan lingkungan vernacular. Banyak pengamat
yang terkesan dengan kehidupan dalam lingkungan vernacular yang mungkin di rancang secara
unselfconscious (Jacobs,1961 dan rudofsky, 1964) yang justru menawarkan banyak peluang untuk di
tanggapi dalam pemenuhan kebutuhan seseorang.
Analisis behavior setting dapat membantu arsitek untuk mengerti pola perilaku yang perna terjadi
dan mengantisipasi yang akan datang berdasarkan persepsi akan kecenderungan orang berperilaku
dalam cara-cara tertentu, untuk kemudian mengakomodasikan kekayaan perilaku tersebut ke dalam
desain sebuah bangunan atau kompleks banguan. Misalnya, aliran orang, barang, dan informasi
dalam setting bukan satu-satunya pertimbangan dalam perihal efisiensi oprasional. Dengan dalih
efisiensi, arsitek dari gerakan modern kerap kali mengurangi jalur pergerakan, sirkulasi orang dan
barang, yang sesunggunya juga dapat berarti mengurangi affordances lingkungan seperti peluang

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


97
Laurens
berinteraksi, adanya rasa aman dan memiliki. Seperti kasus perumahan Pruitt-igoe yang menekankan
efisensi dalam sirkulasi vertical.
Jalur sirkulasi yang tidak efisiensi akan membabwa akibat buruk bagi kelancaran oprasi ssebuah
organisasi, seperti meningkatnya biaya dan waktu oprasional. Karena itu, salah satu tuga dalam tahap
intelligence suatu proses desain (lihat bab 2) adalah mempertimbangkan apa yang sesunggunya
menjadi prioritas, harus efisien dalam oprasional organisasi yang di rencanakannya.
Plaza pada gambar terseubut sebagai sebuah Behavior setting tampak hidup karena desain sub-
setting yang sesuai dengan predisposisi penggunanya. Bandingkannlah behavior setting ini dengan
gambar plaza pada gambar berikut (gambar 5.8). tanpa adanya affordances yang sesuai dengan
predisposisi masyarakat penggunanya, tempat umum semacam ini akan mati, tidak di minati orang.

Ada hubungantimbal balik antara individu dan system perilaku, yakni karena manusia adalah
bagian dari behavior setting yang memberi konstribusi pada behavior setting. Akan tetapi, ia juga di
dukung oleh behavior setting dalam berperilaku.

2. Aktivitas dan Perilaku


Dalam bab terdahulu telah dibahas bahwa perbedaan struktur atau pola milieu akan membawa
perbedaan perilaku dan seperangkat affordances yang dianggap efektif bagi seseorang atau
sekelompok orang bergantung pada jumlah factor, seperti predisposisi, kompetensi dan penghargaan
yang diterima atau biaya yang harus dikeluarkan demi perilaku tertentu.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


98
Laurens
Behavior setting sebagai satu kesatuan cenderung lebih memaksa di bandingkan dengan pola
perilaku atau milieu itu sendiri. Disini, Barker, sebagai pencetus konsep behavior setting,
mengemukakakan gagasan yang kontradiktif. Disauatu sisi ia mengatakan bawah lingkungan
nonsosial, lingkungan ekologi bukanlah demand behavior. Akan tetapi disisi lain, ia menerima
konsep piskologi Gestalt mengenai persepsi physiognomic, yaitu milieu mempunyai demand quality.
Ada tuntutan tertentuu seperti ruang terbuka yang merangsang seorang anak untuk berlaian. Hal ini
dijelaskan dalam konsep Kurt Lewin mengenai kualitas yang mengandung (invitational quality).
Kekuatan mempunyai peran kuat dalam menentukan perilaku seseorang atau sekelompok orang.
Misalnya, keberadaan guru, dosen, peraturan administratife, hukum dan norma budaya memberi
tekanan dan pada seseorang atau sekelompok orang untuk mengikutinya sehingga orang terbiasa
untuk berperilaku tertentu. Misalnya, di dalam kelas duduk mendengarkan ketika guru memberi
penerangan dan bukan ngobrol atau bernyanyi keras-keras.
Jika seseorang memilih behavior setting ternentu karena mereka mempunyai kemampuan dan
kemauan untuk mengikuti pola perilaku dalam setting tersebut, hal ini terjadi karena pola perilaku
yang ada berpontensi untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pada jumlah behavior setting, kasusnya
yang berasosiasi dengan kelembagan formal, terdapat persyaratan untuk bisa mengikutinya, dan
mereka yang tidak bersedia mengikuti persyaratan itu tidak dapat beradaptasi di dalamnya.
Orang juga beradaptasi terhadap milieu akibat penggunaan terus-menerus yang pada akirnya
mengurangi kemampuan milieu untuk memenuhi pola perilaku yang di harapkan. Sampai pada titik
tertentu, milieu ini tidak lagi berfungsi sehingga tidak perlu di buang atau di ganti yang baru.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bawah dalam mempelajari perilaku lingkungan, hal penting
untuk di ketahui bukan hanya uraian mengenai hasil pengamatan, melainkan juga informasi
mengenai reaksi terhadap kondisi yang bersangkutan. Atau dengan perkataan lain, bukan hanya
menggunakan informasi etik, melainkan juga informasi emik. Informasi etik adalah informasi
informal eksternal yang di peroleh dari luar partisipaan. Karena itu, ia sama dengan lintas budaya,
sedangkan informasi emik adalah informasi internal yang mengandung makna dan interprestasi
subjek yang di amati.

3. Behavior Setting Dalam Desain


Dalam berbagi argumentai di katakana bawah desain behavior setting yang baik adalah yang
sesuai atau pas dengan struktur perilaku penggunanya. Hal ini bisa menjadi perdebatan panjang,
memunculkan sejumlah seperti berapa yang harus di keluarkan untuk mencapai setting yang sesuai?

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


99
Laurens
Nilai siapa yang dijadikan ukura? Semua pertanyaan ini muncul karena setiap orang mempunyai
ekspresi yang berbeda.
Itu sebabnya desain arsitektur di sebut sebagai suatu proses argumentatife. Argumentasi di
lontarkan dalam membuat desain yang dapat di adaptasikan, flakibel atau terbuka (open-ended).
Edward Hall mengidentifikasi tiga tipe dasar pola ruang sebagai berikut.

a. ruang berbatas terhadap (fixed-feature space), ruang berbatas tetap di lingkupi oleh pembatas
yang relative tetap dan tidak muda di geser, seperti dinding massif, jendela , pintu dan lantai.
b. Ruang bebatas semitetap (semifixed feature space). Adalah rumah yng pembatasnya bisa
berpinda. Pada rumah-rumah tradisional jepang misalnya, dinding dapat digeser untuk
mendapatkan setting yang berbeda sesuai dengan kebutuhan dan pada waktu yang berbeda
sesuai dengan pameran yang di batasi oleh partisi yang dapat dipindakan ketika dibutukan
setting yang berbeda.
c. Ruang informal, adalah ruang yang terbentuk hanya untuk waktu singkat, seperti ruang yang
terbentuk ketika dua atau lebih orang berkumpul. Ruang ini tidak tetap dan terjadi di luar
kesadara orang yang bersangkutan

Dengan demikian, perlu di sadari bawah dalam desain behavior setting tidak selalu perlu dibentuk
ruang-ruang tetap,baik yang berpembatas tetap maupun semitetap. Banyak ruang justru dibentuk
seketika ia diaptasikan memungkinkan adanya berbagi pola perilaku pada waktu yang berbeda tanta
perlu melakukan perubahan physical milieu.misalnya, sebuah ruang serbaguna yang dapat di pakai
pada suatu saat untuk pertandingan badminton, tenis meja, dan karate. Pada lain bisa dipakai untuk
kegiatan halal bihalal. Pada kesempatan lain bisa juga untuk tempat pertujukan sendratari. Robert
Venturi mengatakan:

“…ada justifikasi untuk bangunan serbaguna,… sebuah ruangan dapat mempunyai sejumlah fungsi pada
saat yang sama atau pada waktu yang berbeda.”
Sementara itu pada lingkungan yang faksibel, pembatas ruang atau struktur internal mudah
digeser atau dipindakan untuk membentuk setting yang berbeda guna mengakomodasikan kebutuhan
yang berbeda. Seperti ruang kantor dengan dinding partisi yang mudah dipindakan.
Bangunan atau kompleks bangunan yang dapat diadaptasikan dan fleksibel cenderung lebih bisa
bertahan terhadap perubahan walaupun tidak otomatis berarti desain bangunan seperti ini yang
terbaik. Dalam contoh plaza di bawah ini, pengguna dapat mengeser kursi ke tempat yang mereka
inginkan untuk membentuk ruang-ruang informal. Ruang-ruang informal ini terjadi saat kelompok
pengguna ingin berinteraksi dengan sesamanya. Misalnya, untuk ngobrol atau menikmati kesejukan
air mancur.
Di sisi lain, manusia mempunyai citra tentang sebuah bangunan dan pola perilaku yang di anggap
pantas diakomodasikannya berdasarkan pengalaman mereka sendiri. Misalnya, sebuah tipologi

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


100
Laurens
Bangunan disebut gereja. Kemudian, pola perilaku yang di anggapnya pantas untuk setting
tersebut akan berbeda dengan bangunan yang dianggapnya sebuah mal atau tempa pembelanjaan.
Saat ia memasuki bangunan atau lingkungan tertentu, perilakunya pun menyesuaikan.
Di sini juga kerap kali terjadi perbedaan citra antara arsitek dan masyarakat pengguna hasil
desainya. Apabila dalam penyusunsn program dalam desainnya arsitektural, arsitektur berpatokan
pada citra tipologi bangunan yang berbeda tentu memungkinkan adanya penggunaanhasil desain
yang sesuai dengan bayangan atau imajinasi arsitek.
Konsep system aktivitas dan behavior setting memberi dasar yang lebih luas dalam
mempertimbangkan lingkungan dari pada hanya semata-mata tata guna lahan, tipe bangunan, dan
tipe ruangan secara fisik. Dengan demikian, membebaskan arsitek dari bebtuk-bentuk klise, bentuk-
bentuk prototip, atau memaksakan citra yang tidak sesuai dengan pola perilaku masyarakat
penggunanya. Sebaliknya, membawah arsitek berpikir pola perilaku dan milieu sebagai suatu etitas
atau satu kesatuan.
Pengamatan suatu behavior setting dapat membantu arsitek untuk mengerti preferensi pengguna
karena preferensi terekspresikan dalam perilaku. Apabila kompetensi pengguna meningkat maka
penggunaan lingkungan pun akan menjadi semakin luas. Sebaliknya, menurunya tingkat kompotensi
pengguna, misalnya karena tua atau cacat fisik, akan menyebabkan penggunaan lingkungan lebih
terbatas. Hal ini menggambarkan kolerasi yang erat antara tahapan kompetensi seseorang dalam
siklus hidupnya-tumbuh, beranjak dewasa, mandiri, berkeluarga, membesarkan anak pension dan
lingkungan. Pola lingkungan yang berbeda, seperti urban dan pedesaan, pusat kota, daerah rekreasi,
juga memberi pengalaman yang berbeda bagi setiap orang dalam tingkat komptensinya tersebut.
Selian tingkat kompotensi fisik dan pola lingkungan, budaya juga menunjukan adanya perbedaan
system aktivitas dasar dalam menempati suatu behavior setting. Rapoport (1969) mengidentifikasi
lima aspek budaya yang tercermin dalam desain sebuah rumah, yaitu cara menjalankan aktivitas
dasar, struktur keluarga, peran seperti tidur atau makna dijalankan berbeda-beda. Seperti di sejumlah
budaya, ayah sebagai kepala keluarga selalu makan lebih dahulu, baru seluru anggota keluarga lain
makan bersama-sama. Hal ini akan tercermin dalam desain ruang makan.
Peran gender tampak seperti pada masyarakat arab yang mempengaruhi desain tatanan ruang,
penghubung ruang, desain ruang terbuka, dan akses ke jalann. Hubungan sosial dalam keluarga juga

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


101
Laurens
mempengaruhi desain lingkungan, seperti rumah-rumah di amerika latin yang menempatkan dapur
sebagai teman bersosialisasi kaum wanita, atau menjamu teman-temannya. Hanya tamu yang di
anggap sudah akrab yang diajak masuk ke ruang keluarga.
Dari uraian tersebut jelas bawah organisasi keluarga dan behavior setting. Sejalan dengan pikiran
ini lahirlah berbagai teknik untuk mengamati perilaku yang ada dan memprediksi yang akan datang.
Metode pengamatan ini akan di bahas secara lebih rinci dalam bab berikut.

Berikut ini contoh bagaimana desain bangunan yang di peruntukan public, dengan desain utama
tipekal, namun masih memberi peluang bagi pengguna untuk mengatur tatanan ruangnya sesuai
dengan tuntutan kebutuhannya.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


102
Laurens
ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella
103
Laurens
ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella
104
Laurens
BAB 6
EVALUASI LINGKUNGAN BINAAN

The knowledge of the house is not limited to the buider alone. The unser or master of the house will even
be a better judge than the buider, just as the pilot will judge better of a rudder than the carpenter, and the
guest will judge better of a feast than the cook.
Arstotle

Sekilas tempaknya evaluasi bukanlah suatu yang baru bagi arsitek karena ia sudah melakukannya
sejak dulu apabila yang di maksud adalah membandingkan abjek hasil desainnya dengan standar
tertentu, misalnya tahap standar estetika. Kesimpulan yang didapat tentu saja menjadi sangat
subjektif. Demikian pula standar yang di pakai tidak dinyatakan dalam progan eksplisit.
Secara konseptual terdapat perbedaan antara penelian bangunan semacam ini dan evaluasi
pernahuni, yaitu hasil yang diinginkan adalah hasil yang objektif dan standar yang di pakai
dinyatakan secara eksplisit.
Pengamatan behavior setting yang diuraikan dalam bab terdahulu adalah salah satu bentuk
evaluasi purnahuni. Evaluasi ini tidak dilakukan terpisah dari proses desain dan pembuatan asumsi
mengenai penggunaan bangunan, tetapi menjadi bagian dari proses desain (lihat penjelasan pada
bab2). Kini semakin banyak arsitek dan perencana lingkungan menaruh perhatian pada evaluasi
serupa untuk mengetahui kebutuhan pengguna bangunan, atau mengetahui seberapa besar derajat
kepuasan pemakainya.
Membuat standar yang eksplisit bukanlah pekerjaan mudah, baik dalam hal mendefinisikan
maupun mengukurnya. Terlebih bila yang di ukur adalah derajat kepuasan pengguna.
Membandingkan keberhasilan satu bangunan dengan bangunan lain dari segi estetika atau fisik jelas
lebih mudah dari pada mengukur derajat kepuasan pengguna.
Kesulitan lain adalah metode yang digunakan. Bagaiman kita dapat mengetahui dengan tepat
factor apa yang menentukan kepuasan penggunanyaa. Desain arsitektunrnyakah? Atau factor lain?
Misalnya, kepuasan karyawan bekerja disebuah kantor. Apakah karena pengaruh desain
bangunannya, gajinya, promosi, ataukah fasilitas yang tinggi?
Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan maka dalam melakukan POE harus hati-hati karena
harus melibatkan semua unsur pengguna. Semua aktivitas penting yang ada dalam bangunan atau
kompleks tersebut dan penggunaan metode penggumpulan data dan analisis harus tepat. Dalam bab
ini akan dibahas mengenai pengertian evaluasi purnahuni, berbagi masalah yang muncul dalam
proses evaluasi dan metode yang di pakai.

A. DEVENISI EVALUASI PURNAHUNI


Evaluasi purnahuni atau dikenal sebagai post-occupancy evaluation (POE) didefenisikan sebagai
pengujian efektivitas sebuah lingkungan binaan bagi kebutuhan manusia (Zemring dan Reizenstein,
1981), baik pengujian evektifitas bangunanya sendiri maupun efektifitas bangunannya sendiri
maupun aktifitas programnya terhadap kebutuhan pengguna. Termasuk dalam defenisi ini adalah
eksperimen lapangan yang terkendali, studi lapangan, studi teoretis, dan juga penelitian aplikatif.
Beberapa ciri dari POE adalah sebagai berikut.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


105
Laurens
1. POE cenderung terfokus pada sebuah bangunan atau sebuah setting saja, seperti kantor,
rumah, sekolah. Jadi, hasil yang diperoleh dari suatu setting tidak dengan sendirinya bisa
digeneralisasikan pada setting serupa lainya.
2. Perilaku evaluasi cenderung lebih menguraikan daripada mamanipulasi setting .
3. Evaluasi dilakukan di lapangan dan bukan di laborotorium.

Terdapat keragaman tujuan yang ingin di capai dengan melakukan POE ini; dalam cara
melakukan evaluasi, ataupun untuk kepentingan pada hasil evaluasi ini digunakan. Namun, secara
umum tujuan itu dapat dikategorikan sebagai berikut.
1. Keinginan untuk mengumpulkan dan mewakili pandangan pengguna (bukan klien yang
membayar arsitek), seperti parah penyewah gedung perkantoran, lain karyawan kantor mengenai
setting yang mereka tempati. Untuk tujuan ini biasanya dilakukan wawancara dan pengisian
kuesioner untuk mengetahui sikap dan tingkat kepuasan pengguna.
2. Minat dalam mengeksplorasi isu konseptual, seperti Wayfinding atau stres lingkungan. Meneliti
hal-hal teoritis. Biasanya untuk tujuan ini digunakan eksperimen lapangan dan evaluator
mempunyai kendalai yang cukup besar.
3. Mengetahui sejauh mana pengaruh kepuasan sebuah organisasi terhadap setting atau pengguna.
Termasuk di dalamnya penyusunan program dan desain bangunan baru, penempatan di gudang
baru, menyelaraskan penggunaan gedung lama setelah adanya perubahan kepentingan organisasi,
dan mengelolah ruang. Dapat dikatakankategori ini bertujuan mempengaruhi pengambilan
keputusan.
4. Pada umumnya, evaluator kelompok ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan organisasi.
Mereka tidak membuat argumentasi ilmiah, tetapi menciptakan sebuah proses dimana parah
pengguna lingkungan dan pengambilan keputusan ikut terlibat dan berpartisipasi sehingga
kepentingan mereka semuah terwakili. Untuk itu, digunakan metode interaktif seperti wawancara
kelompok dan individu serta jalan bersama.

Dengan adanya kejelasan sasaran melakukan POE, selanjutnya dapat ditentukan metode yang
akan dipakai.

B. PROSES EVALUASI
Meskipun POE beragam dalam skala, sumber daya, sasaran, minat, dan kealihan perilaku
evaluasi, secara umum terdapat tahapan sebagai berikut.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


106
Laurens
Proses POE ini tampak linier, namun sesunggunya tidak harus selalu demikian karena siklus dengan
umpan balik (lihat bab 2) selalu terjadi.

1. Tahapan pengumpulan data awal


Tahapan ini merupakan tahapan kritis, awal pertemuan antara evauator mengidentifikasi sumber-
sumber yang ada, menentukan kerangka waktu untuk pelaksanaan POE, dan mempelajari konteks
dan sejarah setting.

Keys dan wener (1980) menunjukan dua hal penting dalam tahap ini, sebagai berikut:
a. Adanya dukungan dari berbagai tingkatan dalam struktur organisasi;
b. Mengenal sejara proyek
Jajarab otomatis dalam organisasi harus di kenal dengan baik, untuk mencega terjadinya
halangan karena mungkin ada pihak tertentu dalam organisasi yang ingin menjegal atau
sebaliknya mendukung rencana evaluasi ini berkaitan dengan sejara proyek.
Untuk itu, di perlukan suatu strategi untuk mendapatkan kerjasama dari seluruh jajaran organissi.
Kontak personal sangat membantu untuk mengenal apa yang menjadi kebutuhan meraka dan apa
yang menjadi pandangan mereka, terutama pada mereka yang akan terkena dengan adanya evaluasi
ini.
Sering kali terjadi, merika tidak memberikan informasi yang jelas karena kekawatiran bawah
dirinya terkena dampak hasil evaluasi. Ada kecurigaan pada evaluator. Atau sebaliknya, ia akan
beradaptasi apabila merasa bawah hasil evaluasi akan memberi keuntungan bagi dirinya. Dalam hal
ini tugas para evaluator adalah mengetahui secara mendalam apa yang diinginkan para pengguna.
Karena itu, evaluator perlu mendapatkan sumber yang bisa di percaya. Untuk itu, mungkin memo
dari pihak otoritas yang berwenang dapat membantu kelancaran pencarian data. Selain mencari
sumber yang terpercaya, juga diperlakukan adanya jaminan bahwa identitas sumer informasi tidak

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


107
Laurens
dipublikasikan sehingga narasumber lebih berani mengemukakan apa yang dialami atau
diinginkannya.
Dalam operasionalisasinya, struktur informal kerap kali lebih memudakan evaluasi dari pada
mengandalkan jalur formal atau birokrasi. Secara umum, gambaran mengenai setting dievaluasi
dapat di peroleh melalui interviu individual dan kelompok serta mengambil kesimpulan dari
dokumen yang ada. Laporan-laporan hasil riset terdahulu dalam jurnal ilmiah juga bisa membantu
memberikan pengertian akan konteks evaluasi. Sebagai data awal ini, Friedman dkk. (1978)
mengusulkan adanya lima komponen sebagai masukan tahap ini, sebagai berikut.
a. Setting
Setting adalah proyek yang dievaluasi dengan aspek karakteristik sosial dan fisiknya, seperti
kualitas keseluruhan desain, matrial, kualitas ambien panas, penerangan, suara elemen dengan
nilai simbolik bagi pengguna dan orang lain, kondisi elemen permanen ataupun tomporer
termasuk pemeliharaan, tujuan organisasi, kebutuhan, dan pola komunikasi.
b. Pengguna
Pengguna adalah orang yang secara langsung atau tidak langsung mengggunakan setting yang
dievaluasi. Klasivikasi pengguna sangat beragam dan mungkin sedikit lagi yang mempunyai
akses pada evaluator. Meski begitu, penting untuk menguraikan kelompok pengguna, kebutuhan,
presepsi, aktifitasnya.
c. Konteks lingkungan atau fisik.
Konteks lingkungan dan fisik adalah segalah hal yang mengelilingi proyek, yang mungkin
menjadi pembatas aktivitas bagi kelompok orang tertentu. Demikian juga iklim yang
menyebabkan masalah ketidaknyamanan bagi pengguna.
d. Aktivitas Desain dan Manajemen Ruang
Aktivitas desain dan manajemen ruangan mungkin merupakan aspek yang paling diabaikan dalam
evaluasi. Arsitek dalam salah satu aktor dalam proses pembangunan yang kompleks yang
melibatkan berbagai pihak. Misalnya, ahli perbankan, keuangan, dewan direksi, pemegang saham,
dan manajer ruang.
e. Konteks Sosio-Historik
Dalam tahap pengumpulan data awal ini, evaluator bisa mendapatkan kronologi pembangunan
proyek, mengumpulkan berbagai data baik berupa gambar, foto, maupun dokumen tertulis yang
ada. Dari sini bisa ditelusuri perubahan-perubahan yang pernah ada, indikasi kebutuhan
pengguna, juga apakah persepsi dan nilai arsitek sejalan ataukah berbeda dari pengguna.
Sasaran pada tahap ini adalah mengawali ekplorasi setting dan mengembangkan sebuah kerja sama
dengan klien. Beberapa hal penting dalam tahap ini antara lain sebagai berikut.

(i) Apakah semua orang dalam berbagai tingkat otoritas sudah dihubungi?
(ii) Apakah manfaat dari pelaksanaan evaluasi ini sudah dijelaskan pada mereka? Hal ini
termasuk menjelaskan keuntungan yang bisa mereka peroleh dalam menyelesaikan
pekerjaan atau kepuasan individu dalam membantu organisasi.
(iii) Apakah persetujuan atau pengesahan yang diperlukan sudah ditangani?
(iv) Apakah sudah disusun sebuah kerangka kerja sebagai panduan dalam mengumpulkan
data?
(v) Apakah gambaran umum mengenai setting yang akan dievaluasi sudah diperoleh?

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


108
Laurens
2. Tahap Merancang Riset
Pada tahap ini spesifikasi POE harus dikembangkan secara rinci yang meliputi
a. Tanggapan terhadap Sasaran Riset
Sebelum evaluator menemukan metode yang akan dipakai, ia harus mengkaji sasaran POE. Untuk
apa artinya penggunaan informasi POE. Apakah untuk memberikan masukan bagi penyusunan
program proyek baru? Apakah evaluasi ini untuk kontribusi ilmu pengetahuan dalam ilmu
perilaku lingkungan? Atau untuk mengetahui metode apa yang pernah aipakai oleh evaluator lain
dalam area serupa?
b. Mengembangkan strategi
McGraht (1981) mengusulkan tujuan strategi dasar intik melakukan evaluasi, yaitu ekperimen
lapangan, studi lapangan, simulasi computer, survey sampel teori formal, penentuan, eksperimen
laboratorium, dan simulasi eksperimental.
Untuk ketiga sasaran evaluasi seperti dijelaskan sebelumnya, yakni mempelajari spesifikasi
setting, generality, dan ketepantan dalam argumentasi, menggunakan studi lapangan ketepatan
dalam argumentasi, menggunakan studi lapangan adalah yang paling kondusif. Kesulitannya
adalah kurangnya kendali sehingga mempengaruhi ketepatan jawabannya. Misalnya orang
mengatakan menyukai rumahnya. Sukar memastikan apakah ia benar-benar menyukai rumahnya
karena rumah itu sungguh memenuhi kebutuhan mereka atau karena mereka telah terlanjur
memilihnya.
c. Sampling
Penggunaan sampling dapat mengurangi atau sebaliknya memberi penjelasan alternative
mengenai hasil evaluasi. Misalnya, karena ternyata orang yang menghasilkan kuisioner adalah
orang yang dipilih oleh manajer. Untuk menghindari bias seperti ini, evaluator dapat membuat
sampel acak, atau dikombinasikan dengan sampel bertingkat, yaitu dengan memilih sejumlah
orang dari setiap kelompok.
d. Memilih dan Mengembangkan Desain dan Metode Riset
Bechtel dan Srivasta mengemukakan empat belas metode yang biasa digunakan dalam evaluasi
purnahuni, yaitu wawancara terbuka, wawancara terstruktur, peta kognitif, peta perilaku, catatan
harian, observasi langsung, observasi partisipan, fotografi, film, kuesioner, tes psikologi, daftar
pengecekan sifat, data arsip, dan data demografi.
Bagaimana seseorang memilih metode pengumpulan data yang akan dipakai? Pertama-tama
evaluator harus memeriksa rencana dan sasaran evaluasi. Metode yang dipilih harus sejalan
dengan tujuan itu. Misalnya, bila tujuannya adalah mempengaruhi keputusan klien, metode yang
dipilih harus melibatkan klien, seperti jalan bersama klien, workshop, dan wawancara.
Metode harus dipilih sedemikian rupa hingga kekuatan yang satu dapat menutupi kelemahan yang
lain, misalnya wawancara dan kuesioner. Keduanya mempunyai keunggulan karena responden
dapat ditanya mengenai motivasi dan alasan perilaku mereka. Akan tetapi, hal ini sangat
bergantung pada keterampilan atau minat responden dalam mengemukakan perasaan mereka,
terbatas pada ingatan mereka, ataupun karena keinginan mereka untuk tampil gagah, intelektual,
dan rasional. Sebaliknya, metode seperti observer langsung atau pengamatan jejak tapak yang
ditinggalkan pengguna, mungkin tidak terlalu dipengaruhi oelh persepsi, ingatan, atau
kekhawatiran responden.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


109
Laurens
Akan tetapi, observer untuk mengevaaluasi kondisi internal seseorang menimbulkan kesulitan
interpretasi karena sangat subjek. Perasaan puas dan tidak puas sangat sukar diukur. Karena itu,
wawancara perlu dikombinasikan dengan observasi.
e. Metode dan Prosedur Pra-testing
Adalah suatu langkah kritis yang kerap kali tidak di lakukan karena waktu yang terbatas. Dua
langka yang dianjukan adalah melengkapi semua kuesioner dan instrument lain untuk
mengidentifikasi secara dini adanya ambiguitas atau masalah potensial. Yang kedua adalah semua
mtode dan prosedur harus di uji dalam setting dan di analisis dengan lengkap.
f. Membuat Rincian Anggaran
Untuk eluruh kegiatan selama evaluasi ini.
Catatan penting dalam tahapan merancang riset ini adalah memeriksa:
(i) Apakah tujuan penggunaan hasil evaluasi ini sudah jelas, termasuk perlunya generalisasi?
(ii) Apakah simple mencerminkan tujuan akhir dari evaluasi ini?
(iii) Apakah bias yang ada dalam sampling telah dipertimbangkan?
(iv) Apakah pemilihan metode sejalan dengan kriteria rencana evaluasi?
(v) Apakah dipakai beberapa metode sehingga kelemahan di satu tempat dapat ditutupi oleh
metode yang lain?
(vi) Apakah semua metode sudah di coba sehingga bisa di ketahui kelemahannya dan dapat
ditutupi oleh yang lain?

3. Tahapan Mengumpulkan Data


Penting untuk mengetahui masalah umum dalam pengumpulan data, data yakni etika. Karena
evaluasi purnahuni ini selalu berhubungan dengan data, termasuk data yang sangat pribadi dan
sensitive, seperti data kesehatan seseorang, data kinerja kerja seseorang, harus berhati-hati dengan
etika.
Seperti pengambilan data dengan mengunakan foto berlensa tele, bagaimanapenerapan prinsip
etika di sini?
Apalagi dalam banyak kasus, evaluator mendapatkan data karena kesedian partisipannya untuk
meluangkan waktu sehingga penaganan data jangan sampai merugikan narasumbernya. Apabila
identitas individu partisipannya dan kehidupan pribadinya terpengaruh oleh evaluasi ini, evaluator
perlu mendapatkan izin tertulis darinya. Kepada mereka juga dijelaskan bawah mereka dapat
menghentikan keterlibatannya kapan saja sehingga mereka tidak perlu merasatertekan.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


110
Laurens
Pada umumnya, apabila observasi di lakukan hanya dengan menghitung jumlah dan tidak sampai
mendata identitas mereka, tidak perlu izin atau surat pernyataan. Namun, tetap perlu perlu
diperhatikan apabila partisipan mempunyai ketergantungan dalam hal tertentu pada evaluator,
misalnya murid atau karyawan. Kesimpulan dari hasil evaluasi ini harus dijelaskan juga pada para
partisipan pada akhir evaluasi.
Beberapa pertanyaan mendasar yang diperlukan pada tahap ini adalah sebagai berikut.
a. Apakah semua prosedur perihal pengumpulan data telah dipersiapkan secara tertulis, diuji,
dijelaskan pada semua anggota tim evaluator dan dilatihkan pada mereka?
b. Apakah kecukupan mengenai prosedur pengumpulan data ini dimonitori, seperti pengecekan di
tempat oleh ketua evaluator?
c. Apakah implikasi etika dari evaluasi ini telah matang di pertimbangkan dan apabila di perlukan
telah izin tertulis

4. Tahap Analisis Data


Analisis data merupakan hal terlamah dalam banyak evaluasi purnahuni. Tidak hanya keluguan
evaluator mengenai teknik statistic dan analisis, tetapi sering kali analisis yang di lakukan tidak
sesuai dengan pernyataan utama dalam evaluasi.
Masalah terbesar yang ada dalam evaluasi purnahuni adalah karena evaluator berkonsultasi
dengan alhi arsitek yang tidak mengerti masalah secara mendalam, lalu mengusulkan teknik analisis
yang tidak sesuai sehingga evaluator menggunakan hasil perhitungan dengan laporan yang keliru.
Masalah ini semakin di perburuk dengan kenyataan dilapangan seperti kecilnya sampel yang
diambil, seleksi yang yang tidak acak, ataupun hal-hal lain yang menguranggi kadar validitas data.
Dapat disimpulkan bawah pengertian adalah hal yang paling penting. Evaluator harus mengerti
benar tujuan teknik analisis, apa yang dianalisis, dan implikasi dari setiap masalah metodologis
terhadap interprestasi hasil. Selama proses menganalisis data, klien harus terus diberi laporan
berkala, dan dilibatkan dalam analisis seperti halnya dalam pengumpulan data.
Pertanyaan penting dalam tahap ini adalah sebagai berikut.
a. Apakah metode analisis benar-benar telah sesuai dengan tujuan dan kriteria evaluasi?

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


111
Laurens
b. Apakah asumsi dibalik metode telah dimengerti? Misalnya untuk metode statistik, apakah
kebutuhan bagi ukuran sampel yang sama, atau beberapa ukuran sampel minuman?
c. Apakah implikasi dari hasil metode dan prosedur telah dimengerti dan diberitahukan?

5. Tahapan Menyajikan Informasi


Cara penyampaian informasi berpengaruh terhadap penggunaannya, apakah selanjutnya akan
digunakan atau tidak. Reizenstein mengusulkan agar evaluator membuat penyajian dalam beberapa
cara. Setiap orang terbiasa dengan cara tertentu. Misalnya, alhi sosial biasa membaca laporan, arsitek
atau perencana lebih suka membaca prestasi visual (gambar atau model tiga dimensi). Presentasi
visual seperti slides atau video film dapat melengkapi laporan tertulis.
Craig Zimiring, misalnya menyajikan dalam bentuk poster-poster besar yang diberikan pada
partisipan dan mendapatkan tanggapan balik dari mereka. Selanjutnya, dipublikasikan dalam jurnal-
jurnal imiah.
Pertanyaan penting dalam tahapp ini adalah sebagai berikut.
a. Apakah informasi yang ditargetkan telah dengan jelas di sampaikan pada penggunaan
informasi? Misalnya, jika informasi ditujukan untuk kelompok peneliti, apakah telah
dipublikasikan dalam wadah yang sesuai? Apakah informasi yang relavan dengan peraturan
telah disampaikan pada yang berkempetingan dan dalam bentuk yang dipahami?
b. Apakah informasi telah disajikan dengan jelas?
c. Apakah penemuan-penemuan telah disajikan dalam jurnal yang tepat?

C. METODE EVALUASI
Terdapat sejumlah metode pengumpulan data untuk melakukan evaluasi lingkungan. Berikut ini
akan dipaparkan tuju metode yang umum di pakai dalam proses evaluasi purnahuni.

1. Walk-through interview
Tenikik ini merupakan prosedur wawancara yang tidak tekstur. Diusulkan oleh Bechtel, Srivasta
(1978) dan Zeisel (1981), dan Daish (1982). Teknik ini menggunakan lingkungan fisik sebagai
wahana yang tepat untuk membantu responden mengartikulasikan reaksi mereka terhadap setting.
Misalnya, dalam evaluasi yang dilakukan depertemen pekerjaan dan pengembangan di New
Zealand, evaluator melakukan program jalan bersama, dua setengah hari sampai empat hari, dan
mewawancarai tuju sampai sepuluh kelompok partisipan selama melakukan program jalan bersama
dalam bangunan itu.
Program ini mengambarkan bawah tim evaluator ini menganggap pengguna begitu penting, lebih
dari keputusan parah alhi. Para partisipan diajak berbicara, atau wawancara bebas/tidak terstuktur
untuk mendapatkan informasi mengenai apa yang penting dimata pengguna setting itu.
Tuju langka yang diusulkan oleh tim New Zealand ini adalah sebagai berikut.
a. Membuat tim tugas yang akan merencanakan melakukan, dan mencatat evaluasi.
b. Tim tugas memilih kelompok yang akan diwawancarai dan menyusun rencana jalan bersama area
yang akan dikunjungi. Partisipan dipilih dari orang-orang yang mempunyai perhatian pada
bangunan atau setting yang dievaluasi, seperti penghuni, manajer, dan pemelihara bangunan.
c. Memilih dan merorganisasi partisipasi individu, dapat dipilih secara acak atau dikelompokan
berdasarkan pengalaman, usia, suku bangsa, dan kelompok minat.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


112
Laurens
d. Mencari dokumen untuk membantu memperjelas setting yang dievaluasi seperti pada tahap
pengumpulan data yang telah di jelaskan di depan. Dokumen dapat berupa program, rencana atau
gambar, dan surat-menyurat, khususnya yang mempunyai pengaruh besar terhadap pengambilan
keputusan selama masa perencanaan, pelaksanaan, ataupun penghunian.
e. Mempersiapkan jalan bersama. Termasuk lembar-lembar catatan, semua peralatan yang
diperlukan selama jalan barsama itu, misalnya light meter dan sound meter. Pada bangunan yang
terdapat ruang-ruang dengan fungsi sejenis, misalnya ruang kuliah di kampus, atau ruang
perwatan dirumah salit, area yang dikunjungi diwakili oleh satu ruang saja.
f. Memfasilitasi jalan bersama. Dimulai dari penjelasan tentang maksud dan struktur dari program
jalan bersama ini. Dalam perjalanan, evaluator dapat menanyai partisipan. Misalnya, menurut
anda apa yang paling penting dirumah ini? Apa yang berjalan paling mulus dan paling
bermasalah? Bagin yang paling dianggap bermasalah dapat difoto di ukur, misalnya suhu atau
kebisingan.
g. Menandai atau menyajikan data. Sebaliknya rekomendasi diberikan dengan memakai tanda-tanda
kunci seperti menejemen perilaku (misalnya privasi di telefon umum), tipe ruangan, dan elemen
bangunan.

Keuntungan dari cara ini adalh relative murah dan dapat menemukan apa yang dirasakan oleh
pengguna, apa yang dianggap penting oleh pengguna dan membantu agar klien tetap mematuhi
proses evaluasi. Kelemahan cara ini adalah perbandingan antara beberapa setting dan waktu
terkadang sukar karena perbedaan budaya dan kepribadian dari orang yang ikut berpartisipasi dalam
program jalan bersama ini mungkin saja memberi respons yang berbeda.
2. Sesi Workshop
Participant workshop dapat di pakai sebagai metode menghubungkan informasi yang di peroleh
dengan umpan balik bagi klien. Peserta workshop dapat terdiri atas perwakilan dari kelompok
pengguna yang relevan.
Sesi ini merupakan forum terdapat perbedaan-perbedaan yang dapat didiskusikan, membantu
mengklarifikasian kriteria evaluasi yang penting yang dipakai oleh kelompok-kelompok partisipan.
Sesi ini dapat menjadi sarana menjaring persepsi partisipan secara cepat dan menjejaki implementasi

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


113
Laurens
hasil evaluasi. Akan tetapi, forum ini juga membuka kemungkinan terjadinya tekanan sosial terutama
dengan adanya individu yang cenderung mendominasi, dan berakibat mempengaruhi sesi workshop.
Untuk itu diperlukan moderator yang baik.

3. Wawancara
Kendali dan topic yang diskusikan dalam wawancara dapat saja beragam. Ada yang melakukan
dengan sangat control seperti pengajuan pertanyaan: jika hari ini ada pemilihan rector, anda memilih
calon Aatau calon B? sebaliknya, dengan wawancara bebas/tidak terstruktur bisa berupa percakapan
sosial dengan daftar sejumlah topic, yaitu responden bebas menjawab dan tidak harus mengikuti
jawaban sesuai dengan jawaban evaluator.
Penggunaan model, gambar computer, dan simulasi dalam evaluasi perhunian dapat
meningkatkan efisiensi. Misalnya, pengguna dapat ditanyai mengenai responsnya tentang atribut
visual sebuah setting tanpa harus berada dalam setting yang bersangkutan. Ia hanya melihat selide,
film, atau gambar. Bahkan dapat menanyakan respons mereka terhadap bangunan yang belum
dibangun dengan menggunakan gambar rencana gambar atau model saja. Pengujian pun bisa
dilakukan terhadap sejumlah pengguna sekaligus.
Wawancara individual diharapkan lebih menghasilkan jawaban yang jujur dibandingkan
wawancara yang melibatkan beberapa orang sekaligus. Adanya teman teman atau atasan mungkin
mengurangi kelengkapan ataupun kejujuran jawaban yang diberikan.

4. Kuesioner
Kuesioner juga di sebut sebagai wawancara tertulis. Disini evaluator mempunyai control yang
sangat ketat terhadap topic, bahkan juga terhadap respons respondennya. Terdapat tiga isu kritis
dalam penyusunan kuisioner: laporan pengendisian, dan kelemahan.
Tampilan dari lembar kuisioner secara keseluruhan perlu di perhatikan. Apakah cukup menarik?
Ada gambarnya? Apakah tampak profesionalnya? Apakah tampak berat dan penuh oleh tulisan?
Orang dapat mempengaruhi respons terhadap kuisioner dengan susunan pertanyaan. Zeisel
ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella
114
Laurens
mengusulkan mulai dengan pertanyaan umum dengan bergerak menuju hal-hal yang spesifik.
Kelelahan bisa dikurangi dengan mengelompokan pertanyaan dari topic yang sama. Jumlah kuisoner
yang kembali atau di tanggapi responden juga penting unyuk di cermati karena hal itu menunjukan
keberhasilan metode kuisoner ini.
Kuisoner merupakan cara mendapatkan data dari responden dalam sejumlah besar dan yang
paling efektif dari sisi biaya. Demikian dengan kontrolnya yang tinggi, cara ini memungkinkan
pembandingan yang lebih besar dibadingkan dengan metode terbuka.

5. Mencatat Penggunaan Waktu


Lamanya waktu yang digunakan oleh partisipan untuk melakukan aktivitas tertentu diperoleh dari
wawancara, time buddget dan observasi. Zimring (1982) menggunakan “teknik insiden kritis” untuk
mengumpulkan insiden spesifik dari perilaku pengguna yang terjadi dalam setting, yaitu dengan
menggunakan kartu indeks yang telah dipersiapkan dengan sejumlah pertanyaan kunci seperti
dimana insiden itu terjadi? Siapa yang terlibat? Bagaiman mulainya? Apa yang terjadi? Bagaiman
akhirnya?
Dengan cara ini staf ditugasi mencatat insiden spesifik yang terjadi, misalnya saja adanya konflik
teritori. Time budget mengenaimemberikan gambar bagaimana orang menggunakan waktunya
dalam setting (lihat pembahasan dalam bab 5).

6. Observasi Aktivitas Lingkungan


Pengamatan perilaku ini berguna untuk membangun suatu pengertian mengenai setting karena
evaluator tinggal dalam setting dan di hadapkan pada berbagai perilaku verbal ataupun nonverbal.
Pengamat dapat mengambil posisi sebagai “pengamat rahasia”, “pengamat dikenal”, “partisipan
marginal”, ataupun sebagai “partisipan penuh”.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


115
Laurens
Misalnya, Whyte (1980), dalam studinya mengenai ruang public ia menempatkan kamera dan
lensa tele diatap bangunan dan merekam semua kejadian diruang public tanpa sepengetahuan
pengguna plaza tersebut. disisi lain, Hollis Wheeler, seoran mahasiswa sosiologi, bekerja penuh
sebagai staf untuk beberapa pecan pada instusi yang di evaluasinya. Berbagai cara lain untuk
merekam pengamatan dilakukan dalam evaluasi purnahuni, seperti system notasi naratif, pola
perilaku, yaitu memberi catatan langsung di atas peta.
Penggunaan peta perilaku ini mulai di kembangkan oleh Ittelson, Rivlin, dan Proshansky (1970).
Gambar 6.5 dibawah diambil selang waktu lima belas detik setelah gambar diatas. Selang waktu
pengambilan foto yang cukup pendek sanggat penting dalam mengamati perilaku karena perubahan
yang terjadi begitu cepat, terutama pada daerah-daerah dengan aktivitas tinggi.

Pengamatan mempunyai keuntungan karena langsung dan dinamis. Apabila dilengkapi dengan
penggunaan daftar periksa (checklist) dapat menghasilkan banyak data kuantitas untuk analisis
dalam menginterprestasikan kualitas subjektif.

7. Metode Penilaian Lingkungan Fisik

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


116
Laurens
Untuk mengeksplorasi presepsi, sikap, dan perilaku pengguna evaluasi purnahuni menilai setting-
nya sendiri. Terdapat banyak cara untuk melakukanya bergantung pada keperluan evaluasi.
Beberapa di antranya adalah sebagai berikut.
a. Penilaian energy
Dengan semakin meningkatnya kesadaran akan penggunaan energy, hubungan antara
penampilan bangunan secara fisik dan kinerja pengguna merupakan hal penting. Misalnya,
untuk apa saja energy digunakan? Apakah ruang-ruang yang menggunakan terang langit
merupakan ruang yang digunakan intensif oleh pengguna, untuk apa? Bagaimana hubungan
penggunaan energy dengan perilaku pengguna?
Selain melalui wawancara, evaluator dapat mengamati apakah jendelah terbuka atau tertutup?
Apakah lampu dinyalakan pada siang hari?
b. Privacy
Menurut hipotesis Archea (1977), orang adalah public-setting mengatur perilakunya menurut
“akses visual” atau penampakan visual mereka.pada tempat-tempat yang terlihat oleh umum,
orang lebih cenderung memperlihatkan perilakunya, berhati-hati dengan perilakunya
dibandingkan di tempat-tempat yang tidak terlihat umum atau bahkan tersembunyi. Karena
itu, di restoran, orang cenderung memilih tempat di dekat dinding dari pada di tengah ruang.

Untuk meneksplorasi persepsi pengguna lebih dalam lagi, beberapa alhi telah menawarkan
digunakanya pendekatan dengan permainan. Beberapa di antaranya adalah permainan dari Redding
dan Peterson, permainan dari Wilson, permainan dari Hoinville dan rekan, yang pada dasarnya
adalah berusaha melibatkan pengguna secara aktif dengan pertimbangan untung rugi atau
konsekuensi dari preferensi mereka.
Permainan rancangan Redding dan Peterson berupa papan dengan sejumlah lingkaran jarak
menyerupai papan bidik penahan atau tembak. Dengan pusatnya adalah rumah mereka.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


117
Laurens
Kesponden menempatkan lokasi aktivitas yang menjadi prioritas mereka dalam papan tersebut
dalam jarak yang diinginkannya. Misalnya bagi anak-anak, tempat bermain sebagai prioritasnya
ditempatkan dalam jarak 1blok, sekolah mereka ditempatkan dalam jarak 2 blok, dan seterusnya
sesuai dengan preferensi mereka.
Berbagai kelompok pengguna bisa mempunyai prioritas yang berbeda dalam lingkaran permainan
tersebut. dari bentuk permainan ini kemudian bisa diperoleh preferensi dari masing-masing
kelompok pengguna.
Permainan ini berupa papan elektrik yang mencantumkan sejumlah gambar dan kata-kata
mengenai variable atau atribut lingkungan dan variable aksibilitas. Responden dapat memilih
prioritas mereka dengan pertimbangan biaya dan keunggulan atau kerugian dari masing-masing
alternative. Hasil pilihan mereka dapat langsung terlihat pada papan elektronik tersebut.

C. MANFAAT INFORMASI EVALUASI LINGKUNGAN

Dari penjelasan tersebut di simpulkan bawah evaluasi purnahuni dapat dikelompokan menjadi tiga
kelompok, yaitu evaluasi teknis, evaluasi fungsional, dan evaluasi behavioral. Evaluasi ini harus
dibedakan dengan kritik arsitektur yang menekankan pada hal estetika arsitektur semata yang
dilakukan seorang alhi arsitektur dengan mengendalikan visi dan selerah estetikanya. Evaluasi
purnahuni ini menggunakan kebutuhan atau program pengguna sebagai kriteria atau tolak ukur
keberhasilan lingkungan, mengandalkan kesimpulannya pada kesan pengguna dan hasil survey atau
pengamatan.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


118
Laurens
Berbeda dengan penelitian desain secara teknis semata, seperti pengamatan kinerja bahan
bangunan, atau kondisi ambien lingkungan, atau pengamatan teknis lainya, evaluasi behavior setting
berhubungan dengan manusia. Karena itu, dalam penelitian behavior ini dapat dikatakan evaluator
bekerja bersama masyarakat dari pada untuk masyarakat.

Proses evaluasi ini menjadi bagian dari desain behavior setting yang melibatkan individu dan
berbagai kelompok dalam perencanaan dan menejemen ruang, mendidik orang dalam penggunaan
ruang secara bijak dan kreatif agar mendapatkan keseimbangan yang harmonis antara lingkungan
sosial, fisik, dan alam.
Seperti dijelaskan dalam pembahasan terdahulu, pendekatan desain lingkungan tempat studi
perilaku lingkungan ikut memberi kontribusi, merupakan pendekatan yang multi disiplin. Interaksi
antara alhi sosiial dan perancang lambat laun menghasilkan suatu gambaran yang lengkap mengenai
proses desain sosial dengan perhatian utama pada pertimbangan mengenai “ siapa,apa,dimana”.
Dengan mengacu pada model intergratif interaksi manusia dan lingkungannya maka dapat
disimpulkan adanya limaelemen dalam desain sebagai berikut.
1. Pengguna
Adalah mereka yang terlibat dalam aktivitas normal di dalam bangunan yang bersangkutan,
seperti karyawan, direksi, penghuni, dan pengujung. Latar belakang, preferensi, perilaku, dan
kebutuhan mereka merupakan hal yang dipertimbangkan dalam desain.
2. Setting
Meliputi bangunan dan lingkungan ruang luar yang dirancang dan juga organisasi yang akan
menempati lingkungan binaan tersebut. Gagasan, sasaran, kendala, dan kebiasaan organisasi harus
di pertimbangkan seperti juga persyaratan fisik, seperti luas, penerangan, suara, penataan ruang
secara spesifik, dan dekorasi.
3. Konteks Lingkungan
Meliputi lingkungan di sekitar setting. Bagaimana kondisi disekitar lingkungan? Bagaimana
dengan polusi udara, lalu lintas, tempat parker, kondisi topografi dan geografis tapak, dan iklim?
4. Proses Desain
ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella
119
Laurens
Merujuk pada sekuens tahapan yang dilalui arsitek dan perancang sosial (lihat model pada skema
2.3 dan 2.4). Pada tahap evaluasi peneliti sosial dapat berperan banyak untuk memberi masukan
hasil evaluasi sebagai umpan baik penyusun program.
5. Kontek sosio-historikal
Adalah konteks dimana bangunan atau lingkungan baru akan terjalin menjadi bagainnya.
Kecenderungan ekonomi atau politik macam apa yang akan mendominasi dalam beberapa dekade
mendatang ketika bangunan selesai dibangun? Bagaimana dengan grafik demografi? Bagaimana
dengan perkembangan dan perubahan sikap sosial dan individu?
Tentu saja beberapa prediksitentang konteks sosial-horisontal ini bisa tidak cocok. Namun tujuan
utamanya adalah berusaha memprediksi kecenderungan-kecenderungan ini untuk menghindari
terjadinya pembangunan fasilitas yang mubazir.
Pada bangunan-bangunan yang dikerjakan oleh komunitas kecil, tempat orang saling memberi
informasi dan bekerjasama sesuai dengan tradisi dalam pelaksanaannya, seperti yang dinamakan
Rapoport (1969) sebagai bangunan pereindustrial-vernacular bangunan yang sudah mengikuti
norma-norma masyarakat setempat, minat individu,iklim, kondisi geografis, dan bahan bangunan
setempat-proses semacam ini menjadi tidak penting.
Desain dengan pendekatan perilaku yang dimanfaatkan hasil evaluasi purnahuni, lebih diperlukan
pada masyarakat industry atau pascaindustri, ketika proyek yang ada melibatkan begitu banyak
individu atau kelompok dengan berbagai peran pada setiap tahapan. Ada kecenderungan komunikasi
di antara pihak terkait dalam proses desain berkurang. Sementara itu, preferensi di antara pihak-
pihak yang terlibat bisa begitu beragam. Globalisasi juga membawa desain dari suatu tempat ke
tempat lain tanpa pengujian kesesuaian dengan aktivitas dan kebutuhan. Bahkan sering kali yang
menjadi masalah adalah dari pandangan siapakah kesesuaian tersebut dilihat. Pandangan para alhi,
arsitek, dan perancang sering kali berbeda dengan pengguna lingkungan. Melalui proses ini
perbedaan pandangan dapat dikurangi dengan data aktivitas yang di kumpulakan dan dibicarakan
bersama pengguna.
Sampai batas tertentu proses desain dengan pendekatan behavior ini juga mengubah perilaku
pengguna dalam arti positif, seperti meningatkan produktivitas pekerja, mempererat hubungan sosial
antara warga, mengurangi agresi dalam komunitas tertentu, atau memfasilitasi dukungan sosial dan
membangkitkan control personal (Holahan,1983). Semakin banyak seseorang mempunyai kendali
atas lingkunganya, semakin kecil peluang terjadinya stress pada lingkungan tersebut. control
personal adalah proses individual, tetapi dukungan sisial adalah proses sosial.
Dengan terlibat dalalm proses desain berarti juga meningkatkan setiap individu bawah pengguna
bangunan atau lingkungan adalah juga pameran dalam keberhasilan desain. Sebelum munculnya
ilmu perilaku lingkungan, penguna lingkungan lebih banyak diabaikan dalam desain arsitektur.
Disisi lain, kemajuan teknologi menjaukan arsitek dengan pengguna karyanya. Arsitek semakin
menekankan dimensi estetika arsitektur dalam setting fungsional atau simbolis. Bahkan dalam
majalah arsitektur kerap ditampilkan foto dengan mutu cetakan yang eksklusif, bangunan dari
berbagai sudut pandangan, tetapi tidak terlihat ada manusia di dalamnya. Apakah hal ini juga bisa
diartikan bawah perhatian arsitek memang tertuju pada bangunan fisiknya semata, dan tidak ada
penggunanya?
Philip Johnson, seorang arsitek (seperti dikutip oleh sommer, 1983) menyatakan, pekerjaan
arsitek adalah menciptakan bangunan yang bagus. Itu saja. Baginya arsitektur lebih sebagai karya
seni dari pada sebagian lingkungan tempat manusia hidup. Akan tetapi diawal 70-an, IAI

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


120
Laurens
mensponsori konferensi antara parah alhi sosial dan perancang dan kini arsitek menyatakan bawah
evaluasi bangunan memainkan peran utama dalam pengembangan dan pemeliharaan institusi
(Shibbey, dalam Gifford 1987).
Hasil survey, wawancara pengamatan, ataupun masukan dari partisipasi langsung pengguna
dalam evaluasi purnahuni dapat digunakan dalam merumuskan panduan desain. Meski beragam dari
satu setting ke setting lain, dapat dikelompokan menjadi sebagai berikut:
(1) Shelter dan sekuriti;
(2) Sosial kontak yang sesuai;
(3) Identifikasi simbolik yang positif;
(4) Perangkat kerja, kesenangan;
(5) Peluang untuk tumbuh dan berkembang.

Selanjutnya, tugas arsitek untuk mengubah paduan desain ini menjadi rancangan yang siap
diujudkan. Berikut ini contoh sebagai ilustrasi dalam sebuah buku paduan.

Persoalan muncul ketika sejumlah pengguna meningkatkan dan masing-masing ingin


menggunakan bangunan dan lingkungan sesuai dengan kehendaknya sendiri.

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


121
Laurens
Selanjutnya, dalam buku paduan ini digambarkan paduan bagi pengguna melalui gamabar-gambar
grafis agar mereka dapat membuat perencanaannya sendiri

ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella


122
Laurens
ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella
123
Laurens
ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella
124
Laurens
ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella
125
Laurens
ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella
126
Laurens
ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella
127
Laurens
ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella
128
Laurens
ARSITEKTUR dan PERILAKU MANUSIA (Magdalena Leisubun) Jonce Marcella
129
Laurens

Anda mungkin juga menyukai