Anda di halaman 1dari 24

PROFIL PENGGUNAAN PENGAWET NIRA PADA PENGRAJIN GULA

KELAPA DI KECAMATAN KEMRANJEN, KABUPATEN BANYUMAS 1)

Oleh :
Muhammad Fathi Mutsaqof 2)

ABSTRAK

Gula kelapa dihasilkan dari nira kelapa. Nira kelapa adalah cairan manis yang disadap
dari pohon kelapa dan mudah rusak karena aktivitas mikrobia. Kerusakan nira kelapa
dapat dihambat dengan menambahkan bahan pengawet. Penggunaan pengawet oleh
pengrajin gula kelapa masih beragam yang akan mempengaruhi kualitas gula. Sebaran
keragaman penggunaan pengawet di Kecamatan Kemranjen masih belum diketahui. Oleh
karena itu, dilakukan penelitian mengenai profil penggunaan pengawet nira pada
pengrajin gula kelapa di Kecamatan Kemranjen. Tujuan penelitian ini adalah untuk 1)
mengetahui profil produksi gula kelapa di Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas,
2) mengetahui sebaran penggunaan pengawet pada pengrajin gula kelapa di Kecamatan
Kemranjen, 3) mengetahui harga jual gula kelapa di Kecamatan Kemranjen, Kabupaten
Banyumas. Penelitian ini menggunakan metode sensus. Total responden di Kecamatan
Kemranjen sebanyak 585 orang. Variabel yang diteliti adalah sebaran penggunaan
pengawet nira, profil produksi gula kelapa, dan sebaran harga jual gula. Hasil penelitian
menunjukan bahwa jumlah pengrajin, jumlah pohon yang disadap, dan jumlah produksi
gula di Kecamatan Kemranjen adalah 585 orang, 8.718 pohon, 2.615 Kg/hari. Jumlah
terbanyak adalah Desa Karanggintung (332 orang, 5.100 pohon, dan 1.402 Kg/hari)
sedangkan yang paling sedikit adalah Desa Kecila (3 orang, 25 pohon, dan 8 Kg/hari).
Waktu pengambilan nira dua kali sehari (96,2%) lebih banyak daripada sekali sehari
(3,8%) sedangkan waktu pemasakan gula kelapa sekali sehari lebih banyak (57,4%)
daripada pemasakan dua kali sehari (42,6%). Sebaran pengawet nira di Kecamatan
Kemaranjen adalah pengguna natrium metabisulfit sebanyak 296 orang (50,6%),
pengguna kapur + kulit manggis sebanyak 255 orang (43,6%), pengguna kapur + kayu
nangka sebanyak 25 orang (4,2%), pengguna natrium metabisulfit + kayu nangka/kulit
manggis 7 orang (1,2%), dan pengguna kapur 2 orang (0,4%). Tingkat rerata harga jual
gula kelapa di Kecamatan Kemranjen berkisar antara Rp 11,542,00 – Rp 13,600,00.
Kata kunci : gula kelapa, harga gula, nira, pengawet alami
1)
Makalah hasil penelitian S1 yang dibimbing oleh Dr. Ir. Tri Yanto, M.T. dan Karseno, S.P.,
M.P., PhD.
2)
Mahasiswa Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan UNSOED dengan NIM A1F015052

1
I. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi kekayaan hayati dan


hewani. Salah satu sektor yang menjadi mata pencaharian warga Indonesia adalah
pertanian. Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia pada tahun 2013 melakukan
sensus pertanian dan didapatkan bahwa sejumlah 31.705.337 warga Indonesia
merupakan petani. Menurut Sugiyanto (2007), Salah satu komoditas yang cukup
strategis dan memegang peranan penting di sektor pertanian khususnya sub sektor
perkebunan dalam perekonomian nasional adalah komoditas gula.
Salah satu komoditas pertanian yang menjadi unggulan di Kabupaten
Banyumas adalah gula kelapa. Kabupaten Banyumas memiliki luas lahan
perkebunan kelapa deres seluas 5.126,33 hektar. Berdasarkan luas tersebut,
diketahui bahwa dapat menyumbang produksi kelapa deres sebesar 23,3% dari
total produksi kelapa deres di Jawa Tengah tahun 2013 (Jawa Tengah dalam
Angka, 2014). Hal inilah yang membuat Kabupaten Banyumas disebut sebagai
kabupaten yang memproduksi gula kelapa terbesar di Jawa tengah.
Keamanan gula kelapa perlu diperhatikan karena menjadi komoditas utama
dari sektor perkebunan. Gula kelapa yang dihasilkan mayoritas berbahan dasar
nira kelapa. Kandungan nira yang sangat lengkap membuatnya cocok untuk
menjadi media pertumbuhan mikrobia. Kondisi nira kelapa yang mudah rusak
(terfermentasi) akibat aktivitas mikrobia membuat para penderes perlu
menambahkan pengawet agar nira kelapa tidak cepat rusak. Fermentasi ini
disebabkan oleh enzim invertase yang dihasilkan oleh mikrobia yang tumbuh di
dalam nira. Mikrobia tersebut antara lain adalah Saccharomyces cerevisae yang
akan membuat sukrosa yang terkandung dalam nira terhidrolisis menjadi gula
reduksi, sehingga kandungan dalam nira terdapat sukrosa dan gula reduksi
(Goutara dan Hasbullah 1980) dalam Marsigit (2005).
Pencegahan kerusakan nira dapat dilakukan dengan cara menambahkan
bahan pengawet nira ke dalam bumbung sebelum digunakan untuk menyadap
nira. Umumnya masyarakat menyebut bahan tersebut dengan istilah pengawet
nira. pengawet yang digunakan oleh masyarakat ada dua macam, yaitu pengawet
alami dan sintetis (Karseno et al., 2013).

2
Pada kondisi musim hujan, banyak penderes yang memilih menggunakan
pengawet sintetis seperti natrium metabisulfit agar mencegah terjadinya kegagalan
dalam pembuatan gula. Winarno (2002) menyebutkan bahwa, banyak produsen
gula kelapa yang masih menggunakan senyawa sulfit terutama pada saat musim
penghujan karena dapat mencegah resiko terjadinya “gula gemblung”. Selain
senyawa sulfit, ada juga pengawet alami seperti kulit manggis. Karseno et al
(2013) mengutarakan, pengawet alami yang dahulu banyak digunakan masyarakat
di antaranya adalah kapur yang dicampur dengan kulit buah manggis atau kayu
nangka. Kedua bahan pengawet tersebut memiliki sifat antimikroba sehingga
mampu menghambat pertumbuhan mikroba.
Pada kurun waktu 2010-2017 Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan
Koperasi (Disperindagkop) Kabupaten Banyumas telah melakukan pendataan
terkait sentra produksi gula kelapa. Data sekunder yang diperoleh dari
Disperindagkop menunjukkan bahwa kecamatan Cilongok, Ajibarang, Somagede,
Pekuncen, Purwojati, Lumbir, Wangon, Kemranjen, Sumpiuh, dan Kemranjen
merupakan sentra produksi gula kelapa.
Kecamatan Kemranjen merupakan salah satu sentra produksi gula kelapa
yang masih diperhitungkan dalam menyokong produksi gula kelapa di Kabupaten
Banyumas. Menurut data Disperindagkop (2017), tercatat 887 orang yang
berprofesi sebagai penderes gula kelapa. Setelah dilakukan validasi data ke setiap
kantor kelurahan/desa diketahui bahwa keragaman pengawet nira di lapangan
masih sangat banyak. Beberapa pengawet yang digunakan penderes dalam
pengawetan nira adalah kayu nangka, kulit manggis, pengawet niratan kapur,
senyawa sulfit, dan tentunya masih banyak pengawet lainnya baik dari alami atau
sintetis. Berdasarkan keragaman pengawet nira yang digunakan oleh pengrajin
gula, maka peneliti ingin mengetahui sebaran keragaman tersebut untuk
memperkirakan dampak penggunaan pengawet nira terhadap kualitas gula yang
dihasilkan khususnya di daerah Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas.

3
Tujuan penelitian ini adalah untuk 1) mengetahui profil produksi gula
kelapa di Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas, 2) mengetahui sebaran
penggunaan pengawet nira pada pengrajin gula kelapa di Kecamatan Kemranjen,
Kabupaten Banyumas, 3) mengetahui harga jual gula kelapa di Kecamatan
Kemranjen, Kabupaten Banyumas.
II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian sensus yang dilaksanakan di Kecamatan


Kemranjen, Kabupaten Banyumas pada bulan Januari sampai dengan Maret 2019.
Subyek penelitian ini adalah seluruh pengrajin gula kelapa di Kecamatan
Kemranjen. Metode yang digunakan untuk pengambilan data dengan
menggunakan metode sensus. Sensus adalah cara pengumpulan data jika elemen
populasi diselidiki satu per satu. Sensus merupakan cara pengumpulan data yang
menyeluruh (Rasyad, 2003). Seluruh pengrajin gula kelapa di Kecamatan
Kemranjen dijadikan responden dengan total 585 orang. Variabel yang diteliti
adalah profil produksi gula kelapa, sebaran penggunaan pengawet nira, dan
sebaran harga jual gula. Untuk mempermudah peneliti dalam mengumpulkan
informasi kuantitatif tentang variabel yang sedang diteliti digunakan kuisioner
(lampiran 1). Data awal adalah data primer yang diperoleh langsung dari tempat
penelitian dengan menggunakan kuisioner. Data yang diperoleh kemudian di
analisis menggunakan analisis statistik deskriptif. Analisis statistik deskriptif
digunakan untuk mendeskripsikan sebaran penggunaan pengawet nira, jumlah
pengrajin, jumlah pohon yang disadap, jumlah hasil gula, jenis bahan bakar,
waktu pengambilan nira dan tingkat harga jual gula kelapa

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Profil Produksi Pengrajin Gula Kelapa

Profil pengrajin gula kelapa terdiri dari jumlah pengrajin, jumlah pohon
yang disadap, jumlah produksi gula kelapa, bahan bakar yang digunakan dalam
proses pemasakan nira, waktu pengambilan nira, dan waktu pemasakan nira yang
digunakan pengrajin. Kecamatan Kemranjen memiliki 65.730 penduduk dengan

4
profesi terbanyak adalah petani atau bekerja pada sektor pertanian yang mencapai
21.080 jiwa.

Berdasarkan data yang telah didapatkan akan diperoleh informasi mengenai


jumlah pengrajin, jumlah pohon yang disadap, jumlah produksi gula kelapa, dan
jenis bahan bakar pada masing-masing desa di Kecamatan Kemranjen. Jumlah
pengrajin, jumlah pohon kelapa yang disadap, dan jumlah produksi gula kelapa
setiap harinya akan digambarkan pada Gambar 1.
5100
5000
400 332
4000

Pohon
Pengrajin

300
3000 2130
200 158 2000
100 1000 474 526
5 16 5 3 3 5 7 5 10 36 58 54 44 25 54 85 52 116
0 0
A B C D E F G H I J K L A B C D E F G H I J K L
Desa (b) Desa
(a)
1600
1400
Gula (kg/hari)

1200
1000
800
600
400
200
0
A B C D E F G H I J K L
(c) Desa

Keterangan : A = Desa Karangsalam, B = Desa Pageralang, C = Desa


Karanggintung, D = Sirau, E = Desa Kebarongan, F = Desa
Grujugan, G = Desa Kecila, H = Desa Sibalung, I = Desa
Nusamangir, J = Desa Petarangan, K = Desa Alasmalang, L = Desa
Kedungpring.
Gambar 1. Jumlah pengrajin gula kelapa (a), jumlah pohon yang disadap (b), dan
jumlah produksi gula (c)
Jumlah pengrajin di Kecamatan Kemranjen sebanyak 585 orang. Jumlah
pohon kelapa yang disadap di Kecamatan Kemranjen sebanyak 8.718 pohon.
Jumlah gula kelapa yang dihasilkan pengrajin di Kecamatan Kemranjen sebesar
2.616 Kg/hari. Berdasarkan Gambar 1a, diketahui bahwa Desa Karanggintung

5
memiliki jumlah pengrajin terbanyak yaitu sebanyak 332 orang dan desa yang
paling sedikit pengrajinnya yaitu Desa Grujugan dan Desa Kecila yang hanya
mempunyai 3 orang pengrajin. Populasi terbanyak kedua adalah Desa
Karangsalam dengan jumlah pengrajin sebanyak 158 orang. Pada Gambar 1b
ditunjukkan jumlah gula yang dihasilkan setiap harinya dimana diketahui bahwa
Desa Karanggintung merupakan penghasil gula terbanyak yaitu 1.402 Kg.
Produsen gula terbanyak nomer dua adalah Desa Karangsalam yaitu 702,1 Kg.
Desa Kecila merupakan penghasil gula kelapa tersedikit yang hanya
menghasilkan 8 Kg gula kelapa setiap harinya. Hasil produksi gula kelapa diduga
memiliki hubungan dengan banyaknya pohon kelapa yang disadap setiap harinya.
Pada Gambar 1c diperlihatkan bahwa Desa Karanggintung yang merupakan
penghasil gula kelapa terbanyak juga menyadap pohon kelapa dengan jumlah
terbanyak, yaitu sebanyak 5.100 pohon. Kemudian, Desa Karangsalam yang
menempati posisi kedua sebagai penghasil gula kelapa terbanyak juga menempati
posisi kedua dalam jumlah pohon kelapa yang disadap, yaitu sebanyak 2130
pohon. Adapun desa yang menyadap pohon kelapa paling sedikit adalah Desa
Kecila yang hanya menyadap 25 pohon.
Gula kelapa merupakan gula yang dihasilkan dari proses karamelisasi nira.
Nira yang dimasak di suhu tinggi akan membuat nira menjadi coklat dan
mengental, kemudian mengeras di suhu ruang. Proses pemasakan nira masih
menggunakan bahan bakar dari alam, karena dinilai lebih murah dan mudah
didapat dari lingkungan sekitar. Pada umumnya pengrajin menggunakan kayu
bakar, tetapi ada beberapa pengrajin yang menambahkan serbuk gergajian atau
sekam padi sebagai bahan bakar tambahan. Tabel 1 akan menunjukkan jenis
bahan bakar yang digunakan oleh pengrajin di Kecamatan Kemranjen.

6
Tabel 1. Jenis bahan bakar yang digunakan oleh pengrajin di Kecamatan
Kemranjen
Desa Jenis bahan bakar
Karangsalam Kayu bakar
Pageralang Kayu bakar, Kayu bakar + serbuk gergajian
Karanggintung Kayu bakar, Kayu bakar + serbuk gergajian
Sirau Kayu bakar
Kebarongan Kayu bakar
Grujugan Kayu bakar
Kecila Kayu bakar
Sibalung Kayu bakar
Nusamangir Kayu bakar
Petarangan Kayu bakar
Alasmalang Kayu bakar
Kedungpring Kayu bakar, Kayu bakar + serbuk gergajian
Kondisi geografis Kecamatan Kemranjen yang masih banyak hutan
membuat para pengrajin dimudahkan dalam mencari kayu bakar, sehingga banyak
desa yang cukup mengandalkan kayu bakar saja tidak perlu tambahan lainnya.
Kebutuhan bahan bakar tergantung dari jumlah nira yang dimasak, semakin
banyak nira yang dimasak maka perlu waktu yang lebih lama untuk memasaknya
sehingga butuh bahan bakar yang banyak pula.

Ada dua waktu penyadapan yaitu pagi dan atau sore. Pola penyadapan nira
ini akan ditunjukkan pada Gambar 2. Pengrajin di Kecamatan Kemranjen
kebanyakan melakukan penyadapan dua kali, yaitu pagi dan sore. Jumlah
pengrajin yang melakukan penyadapan dua kali terdapat 563 orang. Sedangkan
sisanya melakukan penyadapan dipagi hari saja, yaitu sebanyak 22 orang. Proses
menyadap pohon kelapa dua kali sehari dikarenakan hasil nira yang didapatkan
bisa lebih banyak dan mencegah kerusakan nira karena tidak terlalu lama
dibiarkan di udara terbuka. Sedangkan perngrajin yang melakukan penyadapan
sekali sehari dikarenakan lebih hemat tenaga dan waktu.

7
600 563 (96,2%)
500
400

Pengrajin
300 Pagi dan sore
200 Pagi
100 22 (3,8%)
0
Waktu Pengambilan nira

Gambar 2. Waktu pengambilan nira oleh pengrajin gula kelapa di Kecamatan


Kemranjen.

350 314
300
250
Pengrajin

200
158
150
100
50 32
5 18 16 5 5 7 10
3 12 41 4
0
A B C D E F G H I J K L
Desa

Pagi dan sore Pagi

Keterangan : A = Desa Karangsalam, B = Desa Pageralang, C = Desa


Karanggintung, D = Sirau, E = Desa Kebarongan, F = Desa Grujugan,
G = Desa Kecila, H = Desa Sibalung, I = Desa Nusamangir, J = Desa
Petarangan, K = Desa Alasmalang, L = Desa Kedungpring.
Gambar 3. Waktu pengambilan nira oleh pengrajin gula kelapa pada masing-
masing desa di Kecamatan Kemranjen.

Setiap desa memiliki pola pengambilan atau penyadapan nira masing-


masing dan informasi ini ditunjukkan oleh Gambar 3. Hampir semua pengrajin
melakukan penyadapan dua kali dalam sehari, namun ada beberapa pengrajin di
Desa Karanggintung, Desa Kecila, Desa Petarangan, dan Desa Kedungpring yang
hanya melakukan penyadapan dipagi hari saja.

8
Setelah melakukan proses penyadapan, perlu dilakukan pemasakan. Ada
dua jenis pemasakan nira, jenis yang pertama adalah memasak nira hingga
mencapai end point agar nira mengental dan membuatnya menjadi gula kelapa.
Kemudian, jenis yang kedua adalah sekedar memanaskan nira tanpa mencapai end
point hanya untuk membunuh mikrobia. End point merupakan suhu akhir
pemasakan, dimana nira sudah mulai kental dan terdapat gelembung udara yang
meletup-letup. Akhir pemasakan juga dapat diketahui secara visual, yaitu nira
yang sudah mengental jika dimasukkan ke dalam air dingin tidak bercampur.
Menurut Haryanti et al (2012), pemasakan nira dihentikan jika sudah mencapai
end point yaitu pada suhu 105 – 110 oC. Pola pemasakan gula di Kecamatan
Kemranjen akan ditunjukkan pada Gambar 4.

400
249 (57,4%)
350
300 336 (42,6%)
Pengrajin

250
200 Pagi dan Sore
150
Pagi
100
50
0
Proses Pemasakan nira

Gambar 4. Proses pemasakan nira oleh pengrajin gula kelapa di Kecamatan


Kemranjen
Mayoritas pengrajin masih menggunakan metode memasak tradisional,
yaitu menggunakan tungku yang disusun dari batu bata, kemudian direkatkan
menggunakan semen atau tanah liat. Tungku tradisional ini berbahan bakar kayu,
sekam, serbuk gergajian, atau bahan kering yang mudah terbakar. Tungku tersebut
dinilai tidak efisien karena banyak panas yang terbuang ke udara terbuka.
Seingga, efisiensi dari tungku tersebut sangat rendah hanya berkisar 5-10%
(Robith 2004 dalam Darmanto et al 2016). Akibatnya, pengrajin yang memasak
satu kali (57,4%) lebih banyak daripada yang memasak dua kali (42,6%). Proses
memasak nira hingga berubah menjadi gula memerlukan banyak waktu dan bahan
bakar. Berdasarkan hal tersebut, kebanyakan pengrajin lebih memilih untuk

9
memasak satu kali dalam sehari meskipun penyadapan dilakukan dua kali dalam
sehari. Menurut penelitian Putri (2017), dikatakan bahwa 1 liter nira
membutuhkan waktu 1,5 jam untuk mencapai titik end point. Sedangkan menurut
penelitian Darmanto et al (2016), diketahui bahwa untuk menguapkan air yang
terkandung dalam 10 liter nira membutuhkan waktu selama 5 jam. Proses lama
pemasakan nira tergantung dari berapa banyak jumlah air yang terkandung dalam
nira, karena proses pemasakan bertujuan untuk menguapkan air yang terkandung
dalam nira dan hanya menyisakan kandungan gulanya saja.
350
313
300

250
Pengrajin

200
155
150

100

50 32
19 16
3 5 5 3 12 5 7 14 55 4
0
A B C D E F G H I J K L
Desa

Pagi dan Sore Pagi

Keterangan : A = Desa Karangsalam, B = Desa Pageralang, C = Desa


Karanggintung, D = Sirau, E = Desa Kebarongan, F = Desa Grujugan,
G = Desa Kecila, H = Desa Sibalung, I = Desa Nusamangir, J = Desa
Petarangan, K = Desa Alasmalang, L = Desa Kedungpring.
Gambar 5. Waktu pengambilan nira oleh pengrajin gula kelapa pada masing-
masing desa di Kecamatan Kemranjen.
Pada Gambar 5 ditunjukkan pola waktu memasak nira oleh pengrajin gula
kelapa pada masing-masing desa di Kecamatan Kemranjen. Pada pola
penyebarannya lebih banyak desa yang memilih untuk memasak dua kali sehari
daripada memasak sekali di pagi hari. Hanya Desa Karanggintung yang paling
banyak pengrajin yang memilih untuk memasak sekali yaitu pada pagi hari.

10
B. Sebaran Penggunaan Pengawet Nira

Kandungan gula dalam nira membuat nira menjadi media yang ideal bagi
pertumbuhan mikrobia. Selama pertumbuhan mikrobia, nira akan mengalami
kerusakan akibat reaksi fermentasi. Kerusakan nira terjadi dari awal penyadapan
hingga pengangkutan ke tempat pengolahan. Proses fermentasi yang
menyebabkan nira rusak dapat dicegah dengan menambahkan pengawet baik
alami maupun sintetis. Presentase sebaran jenis pengawet yang digunakan oleh
pengrajin gula di Kecamatan Kemranjen disajikan pada Gambar 6. Jenis pengawet
yang paling banyak digunakan adalah natrium metabisulfit sebanyak 296
pengrajin (50,6%), kemudian disusul oleh pengawet campuran kapur dan kulit
manggis sebanyak 255 pengrajin (43,6%), sisanya 34 pengrajin (5,8%) adalah
pengguna pengawet jenis lainnya. Natrium metabisulfit masih banyak dijumpai di
kalangan pengrajin karena mudah diperoleh, penggunaanya yang praktis, dan
harga yang relatif murah yaitu sekitar Rp 2.500,00 sampai Rp 5.000,00.
Sedangkan kulit manggis lebih banyak dipilih daripada kayu nangka karena
dinilai lebih efektif dalam mencegah kerusakan pada nira.

350
296 (50,6%)
300
255 (43,6%)
250
I
Pengrajin

200 II
150 III
100 IV
25
7 (4,2%) 2 V
50
(1,2%) (0,4%)
0
Jenis Pengawet

Keterangan : I= Natrium metabisulfit, II= Natrium metabisulfit + Alami, III=


Kapur + kulit manggis, IV= Kapur + kayu nangka, V= kapur.
Gambar 6. Sebaran jenis pengawet nira yang digunakan pengrajin gula kelapa di
Kecamatan Kemranjen
Rahman (2007) menjelaskan bahwa Natrium Metabisulfit dan Natrium
Bisulfit merupakan bahan pengawet dimana pada kedua bahan tersebut

11
terkandung senyawa sulfit yang mampu menghambat reaksi pencoklatan dengan
mekanisme memecah senyawa polimer pada reaksi tersebut. Hal ini yang
menyebabkan gula kelapa di kalangan pengrajin dengan pengawet natrium
metabisulfit memiliki warna kuning, dan lebih cerah dibandingkan gula dengan
pengawet alami seperti kapur dan kulit manggis. Menurut Jusuf (1984 dalam
Haryanti et al 2012), dosis penggunaan Natrium Metabisulfit sebagai pengawet
pada produk pangan tidak boleh melebihi 300 ppm, karena jika lebih dari itu sulfit
akan menyebabkan asma dan muntah-muntah.
Pengrajin yang memilih menggunakan pengawet alami karena permintaan
pasar yang menghendaki gula yang sehat. Selain menghasilkan gula yang lebih
sehat, pengawet alami juga mampu meningkatkan rasa manis gula kelapa.
Terdapat banyak pengawet dari bahan alami yang mampu mencegah kerusakan
nira, namun kebanyakan pengrajin memilih untuk menggunakan kapur dan
dikombinasikan dengan kulit manggis atau kayu nangka.
Pengrajin yang menggunakan kapur saja sebagai pengawet sangatlah sedikit
dibandingkan pengawet lain. Pengrajin lebih memilih untuk mengkombinasikan
kapur dengan bahan lain seperti kulit manggis atau kayu nangka. Hal ini
disebabkan karena harga kapur terbilang cukup mahal, yaitu berkisar Rp 3,500
sampai Rp 10,000. Kapur mengandung ion OH yang bisa mencegah turunnya pH
hingga dibawah netral. Pemberian Ca(OH)2 segera memberikan perbedaan pH
pada awal penyimpanan. Hal ini diduga karena semakin tinggi konsentrasi
Ca(OH)2 yang digunakan maka ion OH- yang dilepaskan semakin banyak
(Naufalin et al, 2012). pH nira yang cukup tinggi akibat lepasnya ion OH-
membuat mikrobia sulit untuk hidup, sehingga kerusakan nira bisa dicegah.
Namun, jika penambahan larutan kapur terlalu banyak maka akan membuat pH
nira terlalu tinggi sehingga gula yang dihasilkan akan berwarna gelap.
Pengguna pengawet alami berupa campuran kapur dengan kulit manggis
berjumlah 255 pengrajin. Pengrajin yang menggunakan pengawet ini berada di
Desa Pageralang, Desa Karanggintung, Desa Sirau, Desa Kecila, Desa
Nusamangir, Desa Petarangan, Desa Alasmalang, dan Desa Kedungpring.
Pengguna pengawet jenis ini yang terbanyak berada di Desa Karanggintung.

12
Pengguna pengawet campuran kapur dengan kayu nangka sebanyak 25
orang dan hanya ada di Desa Pageralang dan Desa Kedungpring. Kayu nangka
akan dicacah hingga berubah menjadi lembaran-lembaran kecil yang kemudian
akan dicampurkan dengang larutan kapur. Pengawet jenis ini jarang ditemui
karena ketersediaan bahan di alam dimana pohon nangka sangat jarang ditemui.
Pengrajin yang menggunakan pengawet campuran antara natrium
metabisulfit dan alami terbilang sedikit, hanya 7 orang. Biasanya natrium
metabisulfit yang ditambahkan hanya sedikit, karena pengrajin tidak ingin
mengambil resiko gulanya gagal dicetak atau biasa disebut sebagai “gula
gemblung”. Adapun pengguna pengawet jenis ini hanya ada di Desa
Karangsalam, Desa Karanggintung, dan Desa Kedungpring. Sebaran jenis
pengawet nira yang digunakan pengrajin gula pada masing-masing desa di
Kecamatan Kemranjen akan ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Sebaran pengrajin gula kelapa berdasarkan jenis pengawet nira yang
digunakan
Desa Natrium Natrium Kapur + Kulit Kapur + Kayu Kapur
Metabisulfit Metabisulfit manggis nangka
+ Alami
Karangsalam 157 1 - - -
Pageralang - - 1 2 2
Karanggintung 116 1 215 - -
Sirau - - 16 - -
Kebarongan 5 - - - -
Grujugan 3 - - - -
Kecila - - 3 - -
Sibalung 5 - - - -
Nusamangir 1 - 6 - -
Petarangan 2 - 3 - -
Alasmalang - - 10 - -
Kedungpring 7 5 1 23 -

Pengrajin yang hanya menggunakan kapur merupakan populasi yang paling


sedikit, yaitu hanya 2 orang saja. Kedua pengrajin ini berada di Desa Pageralang.
Penggunaan kapur saja akan membuat biaya produksi menjadi lebih mahal. Selain
itu, jika nira terlalu banyak diberi larutan kapur maka gula yang dihasilkan akan
berwarna gelap. Menurut Styamidjaja (2008), penggunaan kapur sebenarnya

13
sudah sebagai pengawet nira, namun gula yang dihasilkan akan berwarna lebih
gelap karena kapur yang berlebihan akan menyebabkan pH nira kelapa menjadi
tinggi. Hal ini menyebabkan jarang ada pengrajin yang hanya menggunakan kapur
saja sebagai pengawet.

C. Tingkat Harga Gula Kelapa

Harga jual merupakan harga yang ditentukan oleh penjual atau produsen
untuk mendapatkan keuntungan setelah biaya produksi telah tertutupi. Mulyadi
(2005) berpendapat bahwa harga jual yang tepat adalah harga jual yang sesuai
dengan kualitas produk suatu barang atau jasa dan harga tersebut dapat diterima
serta memberikan kepuasan pada konsumen. Rata-rata harga gula kelapa di
Kecamatan Kemranjen pada masing-masing desa dapat dilihat dari Gambar 7.

Rata-rata harga jual tertinggi terdapat di Desa Pageralang yaitu Rp


13.600,00. Sedangkan rata-rata harga jual terendah berada di Desa Kedungpring
Rp 11.542,00. Setiap desa memiliki kisaran harga pasar masing-masing yang
disebabkan oleh ketersediaan bahan baku baik itu nira, pengawet nira, hingga
bahan bakar. Pada beberapa desa terdapat perbedaan harga pengawet nira,
khususnya kapur. Harga kapur di Kecamatan Kemranjen berkisar antara Rp
3.500,00 hingga Rp 10.000,00. Berdasarkan harga kapur saja, harga jual gula
dipasar bisa sangat berbeda di masing-masing daerah. Selain harga bahan
produksi, setiap desa terdapat pengepul atau pasar dimana pengrajin biasa menjual
gula kelapa hasil produksi mereka. Harga setiap pengepul bisa berbeda-beda.

14
14,000
13,500

Harga Gula (Rp)


13,000
12,500
12,000
11,500
11,000
10,500
A B C D E F G H I J K L
Desa

Keterangan : A = Desa Karangsalam, B = Desa Pageralang, C = Desa


Karanggintung, D = Sirau, E = Desa Kebarongan, F = Desa
Grujugan, G = Desa Kecila, H = Desa Sibalung, I = Desa
Nusamangir, J = Desa Petarangan, K = Desa Alasmalang, L = Desa
Kedungpring.
Gambar 7. Rata-rata harga gula pada masing-masing desa di Kecamatan
Kemranjen.
Para pengrajin biasanya sulit untuk mengembangkan jaringan pemasaran
mereka, sehingga harga pun sudah ditentukan oleh pengepul. Permasalahan ini
sesuai dengan yang ditemukan oleh Supomo (2007), bahwa para pengrajin belum
memiliki inisiatif untuk menjual gulanya ke pihak lain yang membeli gulanya
lebih mahal daripada harga yang ditetapkan oleh pengepul. Disisi lain, pengrajin
cukup sulit untuk tidak menjual gulanya ke pengepul disebabkan adanya
hubungan tidak sehat seperti pengrajin terlilit hutang dengan pengepul hingga
menimbulkan perjanjian yang merugikan pengrajin dalam proses perdagangan
gula kelapa.

15
14,000
13,500
13,500

Harga Gula (Rp)


13,000 12,745
12,561
12,500 12,396

12,000
12,000

11,500
Jenis Pengawet

I II III IV V

Keterangan : I= Natrium metabisulfit, II= Natrium metabisulfit + Alami, III=


Kapur + kulit manggis, IV= Kapur + kayu nangka, V= kapur.
Gambar 8. Rata-rata harga gula berdasarkan jenis pengawet nira yang digunakan
di Kecamatan Kemranjen
Jika membandingkan harga gula berpengawet alami dengan harga gula
berpengawet natrium metabisulfit, maka diketahui bahwa gula berpengawet alami
lebih tinggi. Hal ini terjadi karena konsumen lebih berminat untuk membeli gula
berpengawet alami (gula organik), dan dipercaya lebih sehat. Suprayitno (2008)
mengatakan bahwa hukum permintaan tidak berlaku mutlak, tetapi bersifat tidak
mutlak dan dalam keadan caretis paribus (faktor-faktor lain dianggap tetap).
Hukum permintaan berbunyi “apabila harga mengalami penurunan maka jumlah
permintaan akan naik/bertambah, dan sebaliknya apabila harga mengalami
kenaikan, maka jumlah permintaan akan turun/berkurang”. Pada kasus diatas
terdapat perbedaan dengan hukum permintaan, meskipun gula organik banyak
peminatnya tapi harga tetap lebih tinggi daripada gula non-organik. Berdasarkan
penelitian Firhas (2018), diketahui bahwa alasan seseorang memilih mengonsumsi
produk organik adalah untuk menjaga kesehatan tubuh. Hal ini dikarenakan
produk organik tidak menggunakan pestisida atau pengawet sintetis sehingga
tidak merugikan jika dikonsumsi dalam jumlah banyak.

16
IV. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan :


1. Jumlah pengrajin, jumlah pohon yang disadap, dan jumlah produksi gula
di Kecamatan Kemranjen adalah 585 orang, 8.718 pohon, 2.615 Kg/hari.
Jumlah terbanyak adalah Desa Karanggintung (332 orang, 5.100 pohon,
dan 1.402 Kg/hari) sedangkan yang paling sedikit adalah Desa Kecila (3
orang, 25 pohon, dan 8 Kg/hari). Mayoritas bahan bakar yang digunakan
adalah kayu bakar, namun terdapat pengrajin yang menambahkan serbuk
gergajian seperti di Desa Pageralang, Karanggintung, dan Kedungpring.
Waktu pengambilan nira oleh pengrajin di Kecamatan Kemranjen
Mayoritas dilakukan dua kali sehari (96,2%) dan sisanya adalah satu kali
sehari (3,8%). Sedangkan waktu pemasakan nira oleh pengrajin di
Kecamatan Kemranjen sehari sekali (57,4%) lebih banyak dibandingkan
pemasakan dua kali sehari (42,6%).
2. Sebaran penggunaan pengawet nira oleh pengrajin gula kelapa di
Kecamatan Kemranjen dari tinggi ke rendah berturut-turut adalah
pengunaan pengawet natrium metabisulfit (50,6%), diikuti pengguna
pengawet kapur yang dikombinasikan dengan kulit manggis (43,6%),
kemudian pengguna pengawet kapur yang dikombinasikan dengan kayu
nangka (4,2%), lalu pengguna pengawet natrium metabisulfit yang
dikombinasikan dengan kulit manggis atau kayu nangka (1,2%), dan yang
terakhir pengguna pengawet kapur (0,4%). Pengguna natrium metabisulfit
terbanyak ada di Desa Karangsalam, sedangkan desa pengguna kapur yang
dikombinasikan kulit manggis yang terbanyak adalah Desa
Karanggintung.

3. Tingkat rerata harga jual gula kelapa di Kecamatan Kemranjen berkisar


antara Rp 11.542,00 – Rp 13.600,00. Harga gula kelapa dengan pengawet
alami lebih tinggi dibandingkan harga gula dengan pengawet natrium
metabisulfit.

17
B. Saran

Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai alternatif pengawet lain yang


bisa digunakan untuk mengganti penggunaan natrium metabisulfit yang masih
banyak digunakan oleh pengrajin serta pengaplikasiannya di Kecamatan
Kemranjen.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Indonesia. 2013. Sensus Pertanian. Badan Pusat Statistik
Indonesia, Jakarta.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Banyumas. 2016. Kecamatan Kemranjen dalam


Angka 2016. Badan Pusat Statistik Kabupaten Banyumas, Banyumas.

Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa tengah. 2014. Jawa Tengah dalam Angka
2014. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah, Semarang.

Darmanto, T. Priangkoso, S. N. Awami. 2016. Modifikasi Tungku Untuk


Meningkatkan Produktivitas Industri Rumah Tangga Gula Aren. Jurnal
Momentum. 12 (1) : 60-63.

Dinas Perindustrian dan Perdagangan Koperasi Kabupaten Banyumas. 2017.


Rekapitulasi Data Penderes Gula Kelapa Kabupaten Banyumas Tahun
2017. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Koperasi Kabupaten Banyumas,
Banyumas.

Firhas, R. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keputusan Pembelian


Sayuran Organik Di All Fresh Cilandak Dan Total Buah Segar Thamrin.
Skripsi. IPB, Bogor.

Haryanti, P., Karseno, R. Setyawati. 2012. Aplikasi Pengawet Alami Nira Kelapa
Bentuk Serbuk Berbahan Sirih Hijau Terhadap Sifat Fisik Dan Kimia Gula
Kelapa. Jurnal Pembangunan Pedesaan. 12 (2) : 106-112.

Karseno, R. Setyawati, P. Haryanti. 2013. Penggunaan Bubuk Kulit Buah


Manggis Sebagai Laru Alami Nira Terhadap Karakteristik Fisik dan Kimia
Gula Kelapa. Jurnal Pembangunan Pedesaan. 13(1) : 27 – 38.

Marsigit, W. 2005. Penggunaan Bahan Tambahan Pada Nira Dan Mutu Gula Aren
Yang Dihasilkan Di Beberapa Sentra Produksi Di Bengkulu. Jurnal
Penelitian UNIB 11 (1) : 42-48

18
Mulyadi. 2005. Akuntasi Biaya Edisi 5. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Naufalin, R., T. Yanto dan G.B. Abdulloh, 2012. Penambahan konsentrasi


Ca(OH)2 dan bahan pengawet alami untuk peningkatan kualitas nira kelapa.
Jurnal Pembangunan Pedesaan. 12 (2): 86-96.

Putri, W. R. 2017. Pengaruh Jenis Pengawet Alami Pada Nira Dan Konsentrasi
STPP Terhadap Kualitas Gula Merah Aren. Skripsi. Fakultas Teknik.
Program Studi Teknologi Pangan. Universitas Pasundan. Bandung.

Rahman, F. 2007. Pengaruh Konsentrasi Natrium Metabisulfit (Na2S2O5) Dan


Suhu Pengeringan Terhadap Mutu Pati Biji Alpukat (Persea Americana
mill). Skripsi. Universitas Sumatera Utara, Medan.

Rasyad, R. 2003. Metode Statistik Deskriptif Untuk Umum. Grasindo, Jakarta.

Setyamidjaja, D. 2008. Bertanam Kelapa : Budidaya dan Pengolahannya.


Kanisius, Yogyakarta.

Sugiyanto, C. 2007. Permintaan Gula di Indonesia. (On-line).


http://www.searchdocument.com/pdf/1/1/data-konsumsi-gula-indonesia-
bps.html. Diakses tanggal 5 November 2018.

Supomo. 2007. Meningkatkan Kesejahteraan Pengrajin Gula Kelapa di Wilayah


Kabupaten Purbalingga. Jurnal Ekonomi Pembangunan. 12 (2) : 149-162.

Suprayitno, E. 2008. Ekonomi Mikro Perspektif Islam. UIN-Malang Press,


Malang.

Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

19
Lampiran 1. Kuisioner Penelitian
Kuesioner ini merupakan salah satu alat bantu yang digunakan dalam
melaksanakan penelitian berjudul “Profil Penggunaan Pengawet Nira pada
Pengrajin Gula Kelapa di Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas”.
Bapak/Ibu diminta untuk mengisi kuisioner dengan sejujur-jujurnya. Atas
kerjasamanya saya ucapkan terima kasih.

Peneliti: Muhammad Fathi Mutsaqof, Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman.

Petunjuk pengisian:

1. Isilah identitas Bapak/Ibu dengan lengkap.


2. Untuk pertanyaan isian, tuliskan jawaban Bapak/Ibu secara singkat dan jelas.
3. Sebelum menjawab, bacalah setiap pertanyaan dengan cermat.
A. Identitas Responden
Nama Lengkap : …………………………………………………….
Jenis Kelamin* :L/P
Umur : ……………….. tahun
Alamat : RT………RW…………Dusun..…………………..
Desa…………………………………………………
No. Telepon : …………………………………………………….
Pendidikan Terakhir : …………………………………………………….
Tanggal : …………………………………………………….
*) Pilih dengan melingkar
B. Aktivitas Pengrajin dalam Menyadap Nira dan Memproduksi Gula
Kelapa
1. Jenis pengawet nira apa saja yang Saudara gunakan? (lingkari sesuai
dengan pengawet nira yang digunakan sekarang)
a. Natrium metabisulfit / obat
b. Kapur / gamping
c. Kapur / gamping dan kayu nangka
d. Kapur / gamping dan kulit manggis

20
e. Lainnya (sebutkan)……………………………………..
2. Berapa harga pengawet nira yang Saudara gunakan? (diisi pada pengawet
nira yang digunakan sekarang)
a. Natrium metabisulfit / obat :Rp………………per bungkus
b. Kapur / gamping : Rp……………… per Kg
c. Kapur / gamping dan kayu nangka
- Kapur / gamping : Rp……………… per Kg
- Kayu nangka : Rp……………… per Kg
d. Kapur / gamping dan kulit manggis
- Kapur / gamping : Rp……………… per Kg
- Kulit manggis : Rp……………… per Kg
e. Lainnya : Rp……………… per………….
3. Berapa jumlah pengawet nira yang Saudara gunakan? (diisi pada
pengawet nira yang digunakan sekarang)
a. Natrium metabisulfit / obat : 1 bungkus untuk…………hari
b. Kapur / gamping : 1 Kg untuk……………….hari
c. Kapur / gamping dan kayu nangka
- Kapur / gamping : 1 Kg untuk……………….hari
- Kayu nangka : 1 Kg untuk……………….hari
d. Kapur / gamping dan kulit manggis
- Kapur / gamping : 1 Kg untuk……………….hari
- Kulit manggis : 1 Kg untuk……………….hari
e. Lainnya : 1…………untuk…………hari
4. Apa alasan Saudara menggunakan pengawet nira tersebut? (uraikan
dengan singkat dan jelas)
………………………………………………………………………………
………………………………………
5. Bagaimana warna gula kelapa yang dihasilkan berdasarkan pengawet nira
yang saudara gunakan?
a. Coklat tua
b. Coklat

21
c. Coklat kekuningan
d. Kuning kecoklatan
6. Bagaimana tingkat kekerasan gula kelapa yang dihasilkan ber dasarkan
pengawet nira yang saudara gunakan?
a. Sangat Keras
b. Keras
c. Agak Keras
d. Tidak Keras
7. Bagaimana kenampakan nira yang saudara sadap?
a. Jernih
b. Agak Jernih
c. Keruh
d. Sangat Keruh
8. Bagaimana aroma nira yang saudara sadap?
a. Sangat harum khas nira
b. Harum khas nira
c. Agak harum khas nira
d. Tidak harum khas nira
9. Jumlah tenaga kerja yang terlibat : ………………………… orang
10. Jumlah pohon kelapa yang disadap : ………………………….pohon
11. Berapa lama waktu penyadapan : …………………………. jam
12. Jumlah wadah yang digunakan : ………………………….buah
13. Berapa jarak lahan ke rumah : …………………………..Km
14. Jumlah gula yang dihasilkan per hari : ………………………….Kg
15. Harga jual gula : Rp………………………per Kg
16. Apa bahan bakar yang Saudara gunakan untuk memasak nira? (Lingkari
sesuai dengan bahan bakar/suluh yang digunakan sekarang)
a. Kayu bakar
b. Sekam
c. Serbuk gergajian
d. Kayu bakar dan serbuk gergajian

22
e. Lainnya……………………………………………….
17. Kapan pemasangan dan pengambilan pongkor/wadah dilakukan?
(Lingkari sesuai dengan yang dilakukan sekarang, jawaban boleh
lebih dari satu)
a. Pemasangan pagi, pengambilan sore
b. Pemasangan sore, pengambilan pagi
c. Pemasangan pagi, pengambilan pagi hari berikutnya
d. Pemasangan sore, pengambilan sore hari berikutnya
e. Lainnya…………………………………………………
18. Kapan memasak nira kelapa untuk membuat gula kelapa? (Lingkari
sesuai dengan yang dilakukan sekarang, jawaban boleh lebih dari
satu)
a. Pagi, setelah pengambilan nira (pagi hari yang sama)
b. Sore, setelah pengambilan nira (sore hari yang sama)
c. Pagi, setelah mengumpulkan nira sore hari sebelumnya
d. Sore, setelah mengumpulkan nira sore hari sebelumnya
e. Lainya……………………………………………………
19. Kemana Saudara menjual gula yang dihasilkan? (Lingkari sesuai dengan
yang dilakukan sekarang, jawaban boleh lebih dari satu)
a. Pengepul
b. Toko / warung kelontong
c. Pasar
d. Lainnya…………………………

23
Dokumentasi wawancara kepada pengrajin gula kelapa

24

Anda mungkin juga menyukai